Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN BENIGNA PROSTAT

HIPERTROPI (BPH)
§ Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH
) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa ata
u semua komponen prostat meliputijaringan kelenjar /
jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretrapars prostatika ( Lab /
UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193 ).
§ BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (
secara umum pada pria lebihtua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi u
retral dan pembatasanaliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).
Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yangpasti k
elenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang eratkaitannya deng
an BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
1). Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor
androgen menyebabkan epitel danstroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2). Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunantestos
teron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3). Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunantransfo
rming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4). Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epiteldari k
elenjar prostat.
5). Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit ( Roger Kirby, 1994 : 38 ).

4. Gejala Benigna Prostat Hiperplasia


Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma
Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang
disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra
prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai
berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan
waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari
(Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
1. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain
1). Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms)antar
a lain: hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal dribbling,terasa ada sisa
setelah miksi disebut gejala obstruksi dan gejala iritatif dapatberupa urgensi, frekuensi
serta disuria.
2) Pemeriksaan Fisik
§ Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapatmeningkat
pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampaisyok pada retensi ur
in serta urosepsis sampai syok - septik.
§ Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahuiadanya
hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser padakeadaan retensi ak
an menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen danklien akan terasa ingin miksi
. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknyaresidual urin.
§ Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktururetra, bat
u uretra, karsinoma maupun fimosis.
§ Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
§ Rectal touch /
pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukankonsistensi sistim persarafan
unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Denganrectal toucher dapat diketahui deraj
at dari BPH, yaitu :
a). Derajat I = beratnya ± 20 gram.
b). Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c). Derajat III = beratnya > 40 gram.
3) Pemeriksaan Laboratorium
§ Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar guladigunakan unt
uk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
§ Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
§ PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting
diperiksa sebagai kewaspadaan adanyakeganasan.
4) Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urindapat di
periksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :
a). Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
b). Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c). Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
5) Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
a). BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.
b). USG (Ultrasonografi),
digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume danbesar prostat juga keadaan bul
i –
buli termasuk residual urin. Pemeriksaandapat dilakukan secara transrektal, transur
etral dan supra pubik.
c). IVP (Pyelografi Intravena)
Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis.
d) Pemeriksaan Panendoskop
Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli.
2. Penatalaksanaan
Modalitas terapi BPH adalah :
1). Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 –
6 bulan kemudian setiap tahuntergantung keadaan klien
2). Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berattanpa dis
ertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi (misalnya: Hipoxis
rosperi, Serenoa
repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongansupresor androgen.
3). Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a). Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
b). Klien dengan residual urin > 100 ml.
c). Klien dengan penyulit.
d). Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e). Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
a). TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat ® 90 - 95 % )
b). Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
c). Perianal Prostatectomy
d). Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
4). Alternatif lain (misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi, Terapi Ultrasonik .
B. Diagnosa keperawatan.
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah sebagai berikut :
Pre Operasi :
1). Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih unmtuk
berkontraksi secara adekuat.
2). Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi kandung kemih, kolik
ginjal, infeksi urinaria.
3). Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis..
4). Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur bedah
5). Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurangnya informasi
Post Operasi :
1) Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter,
irigasi kandung kemih sering.
3) Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
4) Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari TUR-
P.
5) Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
6) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan

B. Rencana Asuhan Keperawatan


1. Sebelum Operasi
a. Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih untuk
berkontraksi secara adekuat.
1) Tujuan : tidak terjadi obstruksi
3) Kriteria hasil :
Berkemih dalam jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih

4) Rencana tindakan dan rasional


1. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
R/ Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih
2. Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urina
R / Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi
3. Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih
R/ Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan yang dapat
mempengaruhi fungsi ginjal
4. Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung.
R / Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta membersihkan ginjal
,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri

5. Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)


R/ mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat penyembuhan

b. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi kandung kemih, kolik
ginjal, infeksi urinaria.
1). Tujuan
Nyeri hilang / terkontrol.
2). Kriteria hasil
Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan ketrampilan relaksasi danaktivi
tas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu. Tampak
rileks, tidur /istirahat dengan tepat.
3). Rencana tindakan dan rasional
a) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 0 - 10 ).
R / Nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih / masase urin
sekitar kateter menunjukkan spasme buli-buli, yang cenderung lebih
berat pada pendekatan TURP ( biasanya menurun dalam 48 jam ).
b) Pertahankan
patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan selang bebas darilekukan dan bek
uan.
R/ Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan
resiko distensi / spasme buli - buli.
c). Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
R/ Diperlukan selama fase awal selama fase akut.
d) Berikan tindakan kenyamanan (
sentuhan terapeutik, pengubahan posisi, pijatanpunggung ) dan aktivitas terapeutik.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokusksn kembali perhatian dan
dapat meningkatkan kemampuan koping.
f) Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik
R / Menghilangkan spasme
c. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis.
1). Tujuan
Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
2). Kriteria hasil
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -
tanda vital stabil, nadiperifer teraba, pengisian perifer
baik, membran mukosa lembab dan keluaran urintepat.
3). Rencana tindakan dan rasional
a). Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/.
R/ Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan volume total karena ketidakl
cukupan jumlah natrium diabsorbsi tubulus ginjal.
b). Pantau masukan dan haluaran cairan.
R/ Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
c). Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan
tekanan darah, diaforesis, pucat,
R/ Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
d). Tingkatkan tirah baring dengan kepala lebih tinggi
R/ Menurunkan kerja jantung memudahkan hemeostatis sirkulasi.
g). Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh:
Hb / Ht, jumlah sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosi
R/ Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan penggantian. Serta
dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi
misalnya penurunan faktorpembekuan darah,
d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur
bedah.
1). Tujuan
Pasien tampak rileks.

2). Kriteria hasil


Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan rentang yang yang
tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.

3). Rencana tindakan dan rasional


a). Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya
R/ Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
b). Memberikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.
R / Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.
c). Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah atau perasaan.
R/ Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan masalah

e. Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan


dengan kurangnya informasi
1). Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya.
2). Kriteria hasil
Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng perlu, berpartisipasi dalam program
pengobatan.

3). Rencana tindakan dan rasional


a). Dorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan perhatian.
R / Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
b) Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien
R/ Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi
terapi.

II. Sesudah operasi


1. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
- Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
- Ekspresi wajah klien tenang.
- Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
- Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
- Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Rencana tindakan :
1. Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
R/ Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
2. Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk mengenal gejala – gejala
dini dari spasmus kandung kemih.
R/ Menentukan terdapatnya spasmus sehingga obat – obatan bisa diberikan
3. Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam 24 sampai 48 jam.
R/ Memberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
4. Beri penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter.
R/ Mengurang kemungkinan spasmus.
5. Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama sesudah tindakan TUR-P.
R / Mengurangi tekanan pada luka insisi
6. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam, visualisasi.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan
kemampuan koping.
7. Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah peningkatan tekanan
pada kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat bekuan pada selang.
R/ Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan distensi kandung
kemih dengan peningkatan spasme.
8. Observasi tanda – tanda vital
R/ Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
9. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat – obatan (analgesik atau anti spasmodik )
R / Menghilangkan nyeri dan mencegah spasmus kandung kemih.
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter,
irigasi kandung kemih sering.
Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .
Kriteria hasil:
- Klien tidak mengalami infeksi.
- Dapat mencapai waktu penyembuhan.
- Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda shock.
Rencana tindakan:
1. Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
R/ Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial
infeksi.
R/ Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan
fungsi ginjal. Pertahankan posisi urobag dibawah.
R/ Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.
3. Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
R/ Mencegah sebelum terjadi shock.
4. Observasi urine: warna, jumlah, bau.
R/ Mengidentifikasi adanya infeksi.
5. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
R/ Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.

3. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan .


Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
Kriteria hasil:
- Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
- Tanda – tanda vital dalam batas normal .
- Urine lancar lewat kateter .
Rencana tindakan:
1. Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda –
tanda perdarahan .
R/ Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui tanda – tanda perdarahan
2. Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter
R/ Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan
kandung kemih
3. Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan defekasi .
R/ Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan mengendapkan
perdarahan .
4. Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau huknah, untuk
sekurang – kurangnya satu minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan prostat .
5. Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi dilepas .
R/ Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan.
Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan .
6. Observasi: Tanda – tanda vital tiap 4 jam,masukan dan haluaran dan warna urine
R/ Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat mencegah
kerusakan jaringan yang permanen .
4. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari TUR-
P.
Tujuan: Fungsi seksual dapat dipertahankan
Kriteria hasil:
- Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .
- Klien menyatakan pemahaman situasi individual .
- Klien menunjukkan keterampilan pemecahan masalah .
- Klien mengerti tentang pengaruh TUR – P pada seksual.
Rencana tindakan :
1 . Beri kesempatan pada klien untuk memperbincangkan tentang pengaruh TUR – P terhadap
seksual .
R/ Untuk mengetahui masalah klien .
2 . Jelaskan tentang : kemungkinan kembali ketingkat tinggi seperti semula dan kejadian
ejakulasi retrograd (air kemih seperti susu)
R/ Kurang pengetahuan dapat membangkitkan cemas dan berdampak disfungsi seksual
3 . Mencegah hubungan seksual 3-4 minggu setelah operasi .
R/ Bisa terjadi perdarahan dan ketidaknyamanan
4 . Dorong klien untuk menanyakan kedokter salama di rawat di rumah sakit dan kunjungan
lanjutan .
R / Untuk mengklarifikasi kekhatiran dan memberikan akses kepada penjelasan yang
spesifik.
5. Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
Tujuan: Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan .
Kriteria hasil:
- Klien akan melakukan perubahan perilaku.
- Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
- Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat
lanjutan .
Rencana tindakan:
1. Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan .
2. Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu; dan memakai
pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
R/ Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi kebutuhan
mengedan pada waktu BAB
3. Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
R/ Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan darah .
4. Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
R/. Untuk menjamin tidak ada komplikasi .
5. Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh .
R/ Untuk membantu proses penyembuhan .
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan
Tujuan: Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil:
- Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
- Klien mengungkapan sudah bisa tidur .
- Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .
Rencana tindakan:
1. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk
menghindari.
R/ meningkatkan pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan
.
2. Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan .
R/ Suasana tenang akan mendukung istirahat
3. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
R/ Menentukan rencana mengatasi gangguan
4. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri ( analgesik ).
R/ Mengurangi nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan cukup .

DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G.,
2000. Rencana Asuhan Keperawatan : PedomanUntuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit BukuKedokteran EGC.
Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta,Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya, Fakultas KedokteranAirlangga
/ RSUD. dr. Soetomo.
Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press. Surabaya
Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Penyakit Benigna Prostatic Hypertrophy


1. Definisi
a. BPH is one of the most common disorders affecting men, the prostate is the urologic organ most
frequently affected by benign and malignant neoplasma. “BPH merupakan penyakit yang paling
sering terjadi pada pria, prostat merupakan organ urology yang paling sering dipengaruhi oleh
neoplasma jinak dan ganas.” ( Polaski, 1996, hal. 1447 )
b. BPH adalah pembesaran adenomatous dari kelenjar prostat. ( Long,1996, hal. 331 )
c. BPH adalah penbesaran glandula dan jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan
perubahan emdokrin berkenaan proses penuaan. ( Tucker, 1998, hal. 605 )
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa BPH adalah pembesaran kelenjar prostat yaitu
kelenjar yang melingkari kandung kemih sehingga menutup setengah atau seluruh bagian uretra
sehingga menghambat pengeluaran urine.

2. Etiologi
Penyebabnya tidak pasti, tetapi bukti-bukti menunjukan bahwa hormon menyebabkan
hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular pada prostat. ( Smeltzer, 2001, hal.
1625 )
Hormon androgen merupakan hormon yang paling memungkinkan sebagai penyebab dari
BPH. Dengan meningkatnya umur seseorang, terjadi penurunan kadar hormon androgen, disertai
naiknya kadar estrogen secara relatif. Estrogen juga meningkatkan sensitivitas jaringan prostat
terhadap androgen. ( Underwood, 2000, hal. 610 )
Beberapa faktor timbulnya BPH antara lain diet, dampak dari inflamasi penyakit kronis, sosial
ekonomi, hereditas, dan ras. Angka kejadian meningkat pada kulit hitam dan angka kejadian rendah
pada bangsa Asia. Laki-laki dengan perkembangan hipogonadisme yang permanen memungkinkan
timbulnya BPH. Proses penuaan ( aging ) merupakan faktor resiko yang utama bagi perkembangan
BPH, 80% laki-laki diatas 80 tahun memiliki resiko yang tinggi terkena BPH. ( Black, 1997, hal. 2350 )

3. Patofisiologi
Hiperplasia prostat jinak ( BPH ) adalah pertumbuhan dari nodula-nodula fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat. Lebih dari 50 % pria diatas usia 50 tahun mengalami pertumbuhan nodular
ini. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stoma fibrosa yang jumlahnya berbeda-
beda. Sebab dari BPH tidak diketahui. Pembesaran jaringan prostat periutretral menyebabkan
obtruksi leher kandung kemih dan uretra pars prostatika, yang mengakibatkan berkurangnya aliran
kemih dari kandung kemih.
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari hal-hal berikut dalam derajat yang
berbeda-beda : sering berkemih, nokturia, urgensi ( kebelet ), urgensi dengan inkontinensia,
tersendat-sendat, mengeluarkan tenaga untuk mengeluarkan kemih, rasa tidak lampias, inkontinensia
overflow, dan kemih yang menetes setelah berkemih. Kandung kemih yang teregang dapat teraba
pada pemeriksaan abdomen, dan tekanan suprapubik pada kandung kemih yang penuh akan
menimbulkan rasa ingin berkemih. Prostat diraba sewaktu pemeriksaan rectal untuk menilai besarnya
kelenjar.
Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau tidak adanya aliran
kemih, dan ini memerlukan reseksi bedah pada prostat. Prostatektomi dapat dilakukan dalam
berbagai cara, yang paling sering adalah metode reseksi transuretral. (Silvya Price, 2005, hal 1154)

4. Manifestasi Klinis
Kompleks gejala obstruktif dan iritatif mencangkup peningkatan frekuensi berkemih, nokturia,
dorongan ingin berkemih, abdomen tegang, volume urine menurun dan harus mengejan saat berkemih,
aliran urine tidak lancar, dimana urine uterus meets setelah berkemih (dribbling), rasa seperti kandung
kemih tidak kissing dengan baik, retensi urine akut (bila lebih dari 60 ml urine tetap berada dalam
kandung kemih setelah berkemih) dan kekambuhan infeksi saluran kemih. Pada akhirnya, dapat terjadi
azotemia (akumulasi produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urine kronis dan volume
residu yang besar. Gejala generalisata juga mungkin tampak termasuk keletihan, anoreksia, mual dan
muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik. (Smeltzer, 2001, hal. 1625 )

5. Komplikasi
a. Retensi urine
Retensi urin adalah kesulitan miksi karena kegagalan mengeluarkan urin dari vesika urinaria.
b. Hidronefrosis
Hidronefrosis adalah pelebaran pasu pada ginjal serta pengerutan jaringan ginjal, sehingga ginjal
menyerupai kantong yang berisi kemih, kondisi ini terjadi karena tekanan dan aliran balik ureter ke
ginjal akibat kandung kemih tidak mampu lagi menampung urine dan urine tidak bisa dikeluarkan.
c. Pielonefritis
Pielonefritis adalah infeksi pada ginjal yang diakibatkan oleh bakteri yang masuk ke ginjal dan kandung
kemih.
d. Azotemia
Azotemia ditandai dengan terjadinya peningkatan ureum, fenolamin dan metabolik lain serta racun-
racun sisa metabolisme.
e. Uremia
Uremia adalah peningkatan ureum di dalam darah akibat ketidakmampuan ginjal menyaring hasil
metabolisme ureum.
f. Anemia
Anemia terjadi karena pendarahan massif dan terus-menerus dari saluran kemih yang mengalami iritasi
dan pecahnya pembuluh darah akibat penegangan berlebihan oleh kelenjar prostat. (Arief Mansjoer,
2000, hal. 332)

6. Pemeriksaan Diagnostik
Urinalisa : warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah); penampilan keruh; pH 7 atau lebih
besar (menunjukan infeksi); bakteria, SDP, SDM mungkin ada secara mikroskopis.
Kultur urin : dapat menunjukan Staphylococcus aureus, Klebsiella, Pseudomonas, atau Escherichia coli.
Sitologi urine : untuk mengesampingkan kanker kandung kemih
BUN/ kreatinin : meningkatkan bila fungsi ginjal dipengaruhi
Asam fosfat serum/ antigen khusus prostatik : Peningkatan karena pertumbuhan selular dan pengaruh hormonal pada
kanker prostat (dapat mengindikasikan metastase tulang)
SDP : mungkin lebih besar dari 11.000, mengindikasikan infeksi bila pasien tidak imunosupresi.
Penentuan kecepatan aliran urine : mengkaji derajat obstruksi kandung kemih
IVP dengan film pasca-berkemih : menunjukan pelambatan pengosongan kandung kemih, membedakan derajat
obstruksi kandung kemih dan adanya pembesaran prostat, divertikuli kandung kemih dan penebalan
abnormal otot kandung kemih.
Sistouretrografi berkemih : digunakan sebagai ganti IVP untuk memvisualisasi kandung kemih dan uretra karena
menggunakan bahan kontras lokal.
Sistogram : mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untuk mengidentifikasi disfungsi yang tak
berhubungan dengan BPH.
Sistouretroskopi : untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan perubahan dinding kandung kemih.
Sistometri : Mengevaluasi fungsi otot detrusor dan tonusnya.
Ultrasound transrektal : Mengukur ukuran prostat, jumlah residu urine; melokalisasi lesi yang tak berhubungan dengan
BPH.
(Doenges, 2002, hal. 672)

7. Penatalaksanaan
a. Observasi (watchful waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan ialah mengurangi
minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, Menghindari obat-obat
dekongestan (Parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan
minum alkhol agar tidak terlalu sering miksi.
Setiap tiga bulan lakukan kontrol keluhan, sisa kencing dan pemeriksaan rektal.
b. Terapi Medikamentosa
1. Penghambat adrenergik α
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin atau yang lebih
selektif α 1a ( tamsulosin ). Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2 – 0,4
mg/hari. Penggunaan antagonis α -1-adrenergikkarena secara selektif mengurangi obstruksi pada
buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
2. Penghambat enzim 5- α -reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (Proscar) dengan dosis 1x5 mg/hari. Obat golongan ini dapat
menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.
c. Terapi Bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi
absolut untuk terapi bedah yaitu :
1) Retensi urine berulang
2) Hematuria
3) Tanda penurunan fungsi ginjal
4) Infeksi saluran kemih berulang
5) Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel, hidroureter, dan hidronefrosis
6) Ada batu saluran kemih
Jenis pengobatan ini paling tinggi efektivitasnya. Intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi
Transurethral Resection of the Prostate (TUR P), Transurethral Incision of the Prostate (TUIP).
Indikasi TUR P ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gram dan pasien
cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TUR P jangka pendek adalah pendarahan, infeksi,
hiponatremia (TUR P), atau retensi oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang
ialah striktur uretra, ejakulasi retrograde (50-90%) atau impotensi (4-40%)
Indikasi TUIPialah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil. Komplikasinya bisa
ejakulasi retrograde (0-37%).
( Mansjoer, 2000, hal. 333-334)

C. Proses Keperawatan Benigna Prostatic Hypertrophy


Proses keperawatan merupakan metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktek
keperawatan. Hal ini disebut sebagai suatu pendekatan problem solving yang memerlukan ilmu, teknik
dan keterampilan interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien / keluarga.
Proses keperawatan terdiri dari lima tahap yaitu pengkajian, perumusan, diagnosa,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
( Nursalam, 2001,hal.1, dikutip dari Iyer,1996)

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan basic dari tahap
berikutnya. Pengkajian perlu dilakukan secara sistematis mulai dari pengumpulan data,
mengidentifikasi evaluasi status dan kesehatan klien. ( Nursalam, 2001, hal. 17, dikutip dari Iyer, et. al,
1996)
Pada pengkajian dilakukan pengumpulan data yang dari dua tipe yaitu data subjektif dan data
objektif. Data subjektif adalah data yang didapat dari klien sebagai suatu pendapat terhadap situasi dan
kejadian. Sedangkan data objektif adalah data yang didapat dari observasi dan diukur, ( Nursalam,
2001, hal. 19, dikutip dari Iyer, et. al, 1996)
Pengumpulan data pada pengkajian klien memiliki karakteristik yaitu lengkap, akurat, nyata
dan relevan ( Nursalam, 2001, hal. 23 ). Sumber data sangat penting dimana dalam pengkajian sumber
data diperoleh dari klien, yang menjadi data primer adalah orang terdekat misalnya suami, istri, orang
tua, anak dan temannya, catatam klien, riwayat penyakit, konsultasi, hasil pemeriksanaan diagnostik,
cataan mesi dan anggota kesehatan lainnya, perawat lain dan kepustakaan ( Nursalam, 2001, hal.24
– 25 )
Ada tiga metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada tahap pengkajian :
komunikasi yang efektif, observasi dan pemeriksaan fisik. Teknik tersebut sangat bermanfaat bagi
perawat dalam pendekatan pad klien secara rasional, sistematika dalam pengumpulan data,
merumuskan diagnosa keperawatan dan merencanakannya.
Adapun data dasar pengkajian pada BPH adalah sebagai berikut :
1) Sirkulasi
Tanda : Peninggian Tekanan Darah ( efek pembesaran ginjal )
2) Eliminasi
Gejala : Penurunan kekuatan / dorongan aliran urine; tetesan, keragu-raguan pada berkemih awal,
ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap; dorongan dan frekuensi
berkemih, nokturi, disuria, hematuria, riwayat batu ( statis urinaria ), konstipasi ( prostrusi prostat ke
dalam rektum )
Tanda : Massa padat di bawah abdomen bawah ( distensi kandung, kemih ), nyeri tekan kandung kemih, hernia
inguinalis, hemorrhoid ( mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang memerlukan
pengosongan kandung kemih mengatasi tahanan).
3) Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia : mual, muntah, penurunan berat badan
4) Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri suprapubis, panggul atau punggung; tajam, kuat (pada prostatitis akut) nyeri punggung bawah
5) Keamanan
Gejala : Demam
6) Seksualitas
Gejala : Masalah tentang efek kondisi / terapi pada kemampuan seksual, penurunan kekuatan kontraksi
ejakulasi
Tanda : Pembesaran, nyeri tekan prostat
7) Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal; penggunaan antibiotik uranaria atau agen
antibiotik, penggunaan anti hipertendif atau anti depresan
(Doenges, 2000, hal. 671-672)

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia dari
kelompok atau individu dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengindentifikasi dan memberikan
interpretasi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah, dan
merubah. ( Nursalam, 2001, hal. 35, dikutip dari Carpenito, 2000)
Diagnosa keperawatan adalah masalah aktual dan potensial dimana berdasarkan pendidikan
dan pengalaman ia mampu dan mempunyai kewenangan memberikan tindakan keperawatan. (
Nursalam, 2001, hal. 35, dikutip dari Gordon, 1976)
Tujuan dari diagnosa keperawatan adalah untuk mengindentifikasi masalah dimana adanya
respon klien terhadap status kesehatan ataupun penyakit, faktor-faktor yang menunjang atau
menyebabkan suatu masalah atau etiologi dan kemampuan klien untuk mencegah dan menyelesaikan
masalah.
Di dalam menetapkan diagnosa keperawatan telah ditetapkan langkah-langkah yang
diklasifikasi dan analisa data, validasi data dan perumusan diagnosa keperawatan. Maka tugas perawat
berikutnya adalah merumuskan diagnosa keperawatan yang dibagi menjadi 5 jenis yaitu diagnosa
actual, diagnosa resiko, diagnosa kemungkinan, diagnosa wellness dan diagnosa sindrom. (Nursalam,
2001, hal.43, dikutip dari Carpenito, 2000)
Adapun diagnosa yang timbul pada klien dengan Benigna Prostatic Hypertrophy adalah:
a. Retensi urine (akut/ kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik; pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
b. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa : distensi kandung kemih; kolik ginjal; infeksi urinaria;
terapi radiasi.
c. Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis dari
drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis. Endokrin, ketidakseimbangan
elektrolit (disfungsi ginjal).
d. Ketakutan/ ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan : kemungkinan prosedur
bedah/ malignansi. Malu/ hilang martabat sehubungan dengan pemajanan genital sebelum, selama
dan sesudah tindakan; masalah tentang kemampuan seksualitas.
e. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang terpajan/ mengingat, salah interpretasi informasi. Tidak mengenal sumber
informasi. Masalah tentang area sensitif.
(Doenges, 2000, hal. 673-678)

3. Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, maka perlu dibuat rencana keperawatan,
perencanaan keperawatan meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi,
mengoreksi, masalah-masalah yang diidentifikasi pada diagnosa keperawatan dan menyimpulkan
rencana dokumen. (Nursalam, 2001, hal 51, dikutip dari Iyer, et. al, 1996)
Dalam tahapan perencanaan keperawatan ini diperlukan suatu tujuan rencana yaitu tujuan
administrative dan tujuan klinik. (Nursalam, 2001, hal.51, dikutip dari Carpenito, 2000). Untuk
mengevaluasi rencana tindakan maka diperlukan beberapa langkah yaitu menentukan prioritas,
menentukan rencana tindakan dan pendokumentasian, (Nursalam, 2001, hal. 52)
Untuk menentukan prioritas masalah penulis mengambil gambaran pada hirarki Maslow dan
hirarki Kalish (Nursalam, 2001, hal 53, dikutip dari Iyer, et. al, 1996). Hirarki Maslow yang menjelaskan
kebutuhan manusia dibagi dalam lima tahap : (1) Fisiologis; (2) Rasa aman dan nyaman; (3) Sosial; (4)
Harga diri; (5) Aktualisasi diri.
Sedangkan Hirarki Kalish menjelaskan kebutuhan fisiologis menjadi kebutuhan untuk
mempertahankan hidup : udara, air, temperatur, eliminasi, istirahat dan menghindari nyeri.
Terdapat tiga tahap rencana tindakan yaitu : rencana tindakan perawat, rencana tindakan
pelimpahan (medis dan tim kesehatan lain), program atau perintah medis untuk klien yang dalam
pelaksanaannya dibantu oleh perawatan (Nursalam, 2001, hal 54, dikutip dari Carpenito, 2000).
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien Benigna Prostatic Hypertrophy
ini maka rencana keperawatan yang dapat direncanakan adalah:
a. Retensi urine (akut/kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik; pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor,ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
ujuan : Berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba distensi kandung kemih.
riteria hasil : Menunjukkan residu pasca-berkemih kurang dari 50 ml; dengan tak adanya tetesan/ kelebihan cairan.
Intervensi:
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
R: Meminimalkan retensi urine distensi berlebihan pada kandung kemih.
2) Tanyakan pasien tentang inkontinensia stress .
R : Tekanan ureteral tinggi menghambat pengosongan kandung kemih atau dapat menghambat berkemih
sampai tekanan abdominal meningkat cukup untuk mengeluarkan urine secara tidak sadar.
3) Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan.
R : Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi.
4) Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. Perhatikan penurunan haluaran urine dan perubahan
berat jenis
R : Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas, yang dapat mempengaruhi fungsi
ginjal. Adanya defisit aliran darah ke ginjal mengganggu kemampuannya untuk memfilter dan
mengkonsentrasi substansi.
5) Perkusi/ palpasi area suprapubik.
R : Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubik.
6) Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi jantung, bila diindikasikan.
R: Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung
kemih dari pertumbuhan bakteri.
7) Awasi TTV dengan ketat. Observasi hipertensi, edema perifer/ dependen, perubahan mental. Timbang
tiap hari. Pertahankan pemasukan dan pengeluaran akurat.
R : Kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik; dapat
berlanjut ke penurunan ginjal total
8) Berikan/ dorong kateter lain dan perawatan perineal.
R : Menurunkan resiko infeksi asenden.
9) Berikan rendam duduk sesuai indikasi.
R : Meningkatkan relaksasi otot, penurunan edema, dan dapat meningkatkan upaya berkemih.
10) Kolaborasi dalam pemberian obat antispasmodik sesuai indikasi
R : Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi oleh kateter.

b. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa : distensi kandung kemih; kolik ginjal; infeksi urinaria;
terapi radiasi.
ujuan : Melaporkan nyeri hilang/ terkontrol.
eria hasil : - Tampak rilek.
- Mampu untuk tidur/ istirahat dengan tepat.
Intervensi:
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) lamanya.
R: Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan/ keefektifan intervensi.
2) Plester selang drainase pada paha dan kateter pada abdomen (bila traksi tidak diperlukan).
R : Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis-skrotal.
3) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan.
R : Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut. Namun, ambulasi dini dapat
memperbaiki pola berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik
4) Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung; membantu pasien melakukan posisi yang
nyaman; mendorong penggunaan relaksasi/ latihan nafas dalam; aktifitas terapeutik.
R : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan kemampuan koping
5) Dorong menggunakan rendam duduk, sabun hangan untuk perineum.
R : Meningkatkan relaksasi otot
6) Masukan kateter dan lakukan masase prostat.
R : Pengaliran kandung kemih menurunkan tegangan dan kepekaan kelenjar.
7) Berikan obat sesuai indikasi (narkotik, antibakterial, antispasmodik dan sedatif kandung kemih)
arkotik : Untuk menghilangkan nyeri berat, memberikan relaksasi mental dan fisik.
ntibakterial : Menurunkan adanya bakteri dalam traktus urinarius juga yang dimasukkan melalui sistem drainase.
ntispasmodik dan Sedatif kandung kemih : menghilangkan kepekaan kandung kemih.

c. Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis dari
drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis. Endokrin, ketidakseimbangan
elektrolit (disfungsi ginjal).

ujuan : Mempertahankan hidrasi kuat.


eria hasil : - Tanda Vital stabil.
- Nadi perifer teraba.
- Pengisian kapiler baik.
- Membran mukosa lembab
Intervensi :
1) Awasi keluaran dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/ jam.
R : Diuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total cairan, karena ketidakcukupan jumlah
natrium diabsorbsi dalam tubulus ginjal.
2) Dorong peningkatan pemasukan oral berdasarkan kebutuhan individu.
R : Pasien dibatasi pemasukan oral dalam upaya mengontrol gejala urinaria, homeostatik pengurangan
cadangan dan peningkatan resiko dehidrasi/ hipovolemia.
3) Awasi TD, nadi dengan sering. Evaluasi pengisian kapiler dan membran mukosa oral.
R : Memampukan deteksi dini/ intervensi hipovolemik sistemik.
4) Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi.
R : Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostatis sirkulasi.
5) Awasi elektrolit khususnya natrium dan berikan cairan IV (cairan faal hipertonik) sesuai kebutuhan.
R : Bila pengumpulan cairan terkumpul dari area ekstraseluler, natrium dapat mengikuti perpindahan,
menyebabkan hiponatremia. Menggantikan kehilangan cairan dan natrium untuk mencegah/
memperbaiki hipovolemia.

d. Ketakutan/ ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan : kemungkinan prosedur


bedah/ malignansi. Malu/ hilang martabat sehubungan dengan pemajanan genital sebelum, selama
dan sesudah tindakan; masalah tentang kemampuan seksualitas
ujuan : Tampak rileks.
eria hasil : - Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi.
- Menunjukkan rentang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
- Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani.
Intervensi :
1) Selalu ada untuk pasien. Buat hubunga saling percaya dengan pasien/ orang terdekat.
R : Manunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu. Membantu dalam diskusi tentang subjek
sensitif.
2) Berikan informasi tentang prosedur dan tes khusus dan apa yang akan terjadi. Contoh kateter, urine
berdarah, iritasi kandung kemih. Ketahui seberapa banyak informasi yang diinginkan pasien.
R : Membantu pasien memahami tujuan dari apa yang dilakukan dan mengurangi masalah karena
ketidaktahuan. Termasuk ketakutan akan kanker. Namun kelebihan informasi tidak membantu dan
dapat meningkatkan ansietas.
3) Pertahankan prilaku nyata dalam melakukan prosedur/ menerima pasien. Lindungi privasi pasien.
R : Menyatakan penerimaan dan menghilangkan rasa malu pasien.
4) Dorong pasien/ orang terdekat untuk menyatakan masalah/ perasaan.
R : Mendefenisikan masalah, memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan, memperjelas
kesalahan konsep, dan solusi pemecahan masalah.
5) Beri penguatan informasi pasien yang telah diberikan sebelumnya.
R : Memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan kepercayaan pada pemberi
perawatan dan pemberian informasi.

e. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang terpajan/ mengingat, salah interpretasi informasi. Tidak mengenal sumber
informasi. Masalah tentang area sensitif.
uan : Pengetahuan meningkat.
Kriteria hasil : - Menyatakan pemahaman proses penyakit/ prognosis.
- Mengidentifikasi hubungan tanda/ gejala proses penyakit.
- Melakukan perubahan pola hidup/ perilaku yang perlu.
- Berpartisipasi dalam program pengobatan.
Tindakan / intervensi :
1) Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien.
R : Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.
2) Dorong menyatakan rasa takut/ perasaan dan perhatian
R : Membantu pasien mengalami perasaan dapat menrupakan rehabilitasi vital.
3) Berikan informasi bahwa kondisi tidak ditularkan secara seksual.
R : Mungkin merupakan ketakutan yang tak dibicarakan.
4) Anjurkan makanan berbumbu, kopi, alkohol, mengemudi mobil lama, pemasukan cairan cepat
(terutama alkohol).
R : Dapat menyebabkan iritasi prostat dengan masalah kongesi.
5) Bicarakan masalah seksual
R : Aktivitas seksual dapat meningkatkan nyeri selama episode akut.
6) Berikan informasi tentang anatomi dasar seksual.
R : Memiliki informasi tentang anatomi membantu pasien memahami implikasi tindakan lanjut.
7) Kaji ulang/ gejala yang memerlukan evaluasi medik.
R : Intervensi cepat dapat mencegah komplikasi lebih serius.
8) Diskusikan perlunya pemberitahuan pada perawat kesehatan lain tantang diagnosa.
R : Menurunkan resiko terapi tak tepat, contohnya penggunaan dekongestan, antikolinergik, dan
antidepresan dapat meningkatkan retensi urine dan dapat mencetuskan episode akut
9) Beri penguatan pentingnya evaluasi medik untuk sedikitnya 6 bulan sampai 1 tahun termasuk
pemeriksaan rektal, urinalisa.
R : Hipertropi berulang dan/ atau infeksi (disebabkan oleh organisme yang sama atau berbeda), tidak umum
dan akan memerlukan perubahan terapi untuk mencegah komplikasi serius.
(Doenges, 2000,hal. 679-685)

4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik Tahap
ini adalah tahap keempat dalam proses keperawatan, oleh karena itu pelaksanaan dimulai setelah
rencana tindakan disusun ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai
tujuan.(Nursalam, 2000, hal. 63, dikutip dari Iyer,et.al, 1996)
Dalam pelaksanaan tindakan ada tiga tahapan yang harus dilalui yaitu : persiapan,
perencanaan dan pendokumentasian.
a. Fase persiapan meliputi :
antisipasi tindakan keperawatan
nalisa pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan
ahui konflikasi yang mungkin timbul
an alat ( resources )
an lingkungan yang kondusif
entifikasi aspek hukum dan etik
b. Fase intervensi terdiri dari :
1) Independen : tindakan yang dilakukan oleh perawat tanpa petunjuk atau perintah dokter atau tim
kesehatan lainnya.
2) Interdependen : tindakan keperawatan yang memerlukan kerjasama dengan kesehatan lainnya (
dokter, gizi laboratorium )
3) Dependen berhubungan dengan tindakan medis atau menandakan tindakan medis dilakukan.
c. Fase dokumentasi
Menurut suaut catatan lengkap dan akurat dari tindakan yang telah dilaksanakan ( Nursalam, 2001,
hal. 64 ) yang terdiri dari tiga tipe yaitu :
ter assisted oriented record ( SOR )
m oriented record ( POR )
ter assisted record ( CAR )
Dalam pelaksanaan tindakan asuhan keperawatan pada klien Benigna Prostatic Hypertrophy
perawat dapat berperan sebagai pelaksana keperawatan, memberi support, mendidik, advokasi,
konselor, dan pencatatan atau penghimpun data.

5. Evaluasi
Pada tahap terakhir proses keperawatan yaitu evaluasi yang merupakan tindakan intelektual
unutk proses keperawatan yang merupakan tindakan untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan sejauh mana diagnosa keperawatan rencana tindakan dan pelaksanaan sudah berhasil
dilaksanakan. Dikutip dari Griffit dan Christensen, 1986 ( Nursalam, 2001, hal. 71 ), evaluasi adalah
salah satu yang direncanakan dan perbadingan yang sistematis pada status kesehatan klien
sedangkan Nursalam, ( 2001, hal. 71 ) mengatakan evaluasi adalah tindakan intelektual untuk
melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diganosa keperawatan, rencana
tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.
Tujuan evaluasi adalah untuk mendapatkan umpan balik rencana keperawatan, nilai serta
asuhan keperawatan mallaui hasil perbandingan melalui standar yang telah ditentukan sebelumnya.
Proses evaluasi dibagi menjadi dua yaitu mengukur pencapaian tujuan dan membandingkan
data yang terkumpul dengan tujuan pencapaian tujuan ( Nursalam, 2001, hal. 74 ).
Komponen-komponen evaluasi dibagi 5 komponen, yaitu menentukan kriteria standar
pertanyaan evaluais, mengumpulkan data terbaru, menganalisa dan membandingkan data, terhadap
kriteria dan standar merangkum hasil dan membuat kesimpulan. (Nursalam, 2001, hal. 74, dikutip dari
Pinnell dan Wineses, 1986).
Evaluasi terdiri dari dua jenis yaitu : evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif
disebut juga dengan evaluasi proses, evaluasi jangka pendek atau evaluasi berjalan, dimana evaluasi
dilakukan secepatnya setelah tindakan keperawatan dilakukan sampai tujuan tercapai. Sedangkan
evaluasi sumatif disebut evaluasi hasil, evaluasi akhir, evaluasi jangka panjang. Evaluasi ini dilakukan
pada akhir tindakan keperawatan paripurna dilakukan dan menjadi suatu metode dalam memonitor
kualitas dan efesiensi tindakan yang diberikan. Bentuk evaluasi ini lazimnya menggunakan format
”SOAP”. ( Nursalam, 2001, hal. 74 ).
Hasil dari evaluasi dari yang diharapkan dalam pemberian tindakan keperawatan melalui
proses keperawtan pada klien dengan Benigna Prostatic Hypertrophy berdasarkan tujuan pemulangan
adalah :
1. Pola berkemih normal.
2. Nyeri/ ketidaknyamanan hilang.
3. Komplikasi tercegah minimal.
4. Proses penyakit/ prognosis dan program terapi dipahami.
(Doenges, 2000, hal. 673)

Diposting oleh David Yusuf di 20.54


Kirimkan Ini lewat Email
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Makalah benigna prostat hiperplasia

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya dinyatakansebagai pembesaran
prostat jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit yang biasa terjadi. Ini di lihat dari frekuensi terjadinya
BPH di dunia, di Amerik secara umum dan di Indonesia secara khususnya. Di dunia, diperkirakan
bilangan penderita BPH adalah seramai 30 juta, bilangan ini hanya pada kaum pria kerana wanita tidak
mempunyai kalenjar prostat, maka oleh sebab itu, BPH terjadi hanya pada kaum pria
(emedicine,2009).

Jika dilihat secara epidemiologinya, di dunia, dan kita jaraskan menurut usia, maka dapat di lihat
kadar insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan seseorang itu menderita penyakit ini adalah
sebesar 40%, dan setelah meningkatnya usia, yakni dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun,
persentasenya meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya
bisa sehingga 90% (A.K. Abbas, 2005). Akan tetapi, jika di lihat secara histologi penyakit BPH, secara
umum membabitkan 20% pria pada usia 40-an, dan meningkat secara dramatis pada pria berusia 60-
an, dan 90% pada usia 70 . Di indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan
kedua setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir 50
persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun, dengan kini usia harapan hidup mencapai 65
tahun ditemukan menderita penyakit PPJ atau BPH ini. Selanjutnya, 5 persen pria Indonesia sudah
masuk ke dalam lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat, dari 200 juta lebihbilangan
rakyat indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yangberusia 60 tahun dan ke atas
adalah kira-kira seramai 5 juta, maka dapat secaraumumnya dinyatakan bahwa kira-kira 2.5 juta pria
Indonesia menderita penyakitBPH atau PPJ ini. Indonesia kini semakin hari semakin maju dan dengan
berkembangnya sesebuah negara, maka usia harapan hidup pasti bertambah dengan sarana yang
makin maju dan selesa, maka kadar penderita BPH secara pastinya turut meningkat. (Furqan, 2003)
Secara pasti, bilangan penderita pembesaran prostat jinak belum di dapat, tetapi secara prevalensi di
RS, sebagai contoh jika kita lihat di Palembang, di RS Cipto Mangunkusumo ditemukan 423 kasus
pembesaran prostat jinak yang dirawat selama tiga tahun (1994-1997) dan di RS Sumber Waras
sebanyak 617 kasus dalam periode yang sama (Ponco Birowo, 2002). Ini dapat menunjukkan bahawa
kasus BPH adalah antara kasus yang paling mudah dan banyak ditemukan. Kanker prostat, juga
merupakan salah satu penyakit prostat yang lazim berlaku dan lebih ganas berbanding BPH yang hanya
melibatkan pembesaran jinak daripada prostat. Kenyataan ini adalah berdasarkan bilangan dan
presentase terjadinya kanker prostat di dunia secara umum dan Indonesia secara khususnya.

Secara umumnya, jika diperhatikan, di dunia, pada 2003, terdapat lebih kurang 220,900 kasus baru
ditemukan, dimana, daripada jumlah ini, 29,000 daripadanya berada di tahap membunuh (A.K. Abbas,
2005) . Seperti juga BPH, kanker prostat juga menyerang pria berusia lebih dari 50 dan pada usia di
bawah itu bukan merupakan suatu yang abnormal. Secara khususnya di Indonesia, menurut
(WHO,2008), untuk tahun 2005, insidensi terjadinya kanker prostat adalah sebesar 12 orang setiap
100,000 orang, yakni yang keempat setelah kanker saluran napas atas, saluran pencernaan dan hati .
Setelah secara umum melihat dan mengetahui akan epidemiologi dari kedua penyakit, yakni BPH dan
kanker prostat, penulis tertarik untuk mengetahui dengan lebih dalam lagi mengenai gambaran
penyakit ini terutama berdasarkan gambaran secara histopalogi memandangkan tiada penelitian
khusus yang setakat diketahui oleh penulis mengenainya dijalankan di Medan.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian dari BPH ?


2. Apa etiologi dari BPH ?

3. Apa Klasifikasi dari BPH ?

4. Apa Manifestasi klinis dar BPH ?

5. Bagaiman Patifisiologi dari BPH ?

6. Apa Pemeriksaan penunjang dari BPH ?

7. Apa Penatalaksanaan medis dari BPH ?

8. Apa saja Komplikasi dari BPH ?

9. Bagaimana WOC pada BPH ?

10. Bagaimana Konsep keperawatan pada BPH ?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui pengertian dari BPH ?

2. Untuk mengetahui etiologi dari BPH ?

3. Untuk mengetahui klasifikasi dari BPH ?

4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dar BPH ?

5. Untuk mengetahui bagaiman patifisiologi dari BPH ?

6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari BPH ?

7. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dari BPH ?

8. Untuk mengetahui apa saja komplikasi dari BPH ?

9. Untuk mengetahui bagaimana WOC pada BPH ?

10. Untuk mengetahui bagaimana Konsep keperawatan pada BPH ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP TEORI

1. DEFENISI

a. Hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau
hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun
secara histologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,1994)
b. BPH adalah pembesaran adenomatous dari kelenjar prostat, lebih dari setengahnya dan orang yang
usianya diatas 50 tahun dan 75 % pria yang usianya 70 tahun menderita pembesaran prostat (C. Long,
1996 :331).

c. Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Price&Wilson (2005)

d. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria > 50
tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran urinarius.
(Doenges, 1999)

e. BPH adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke
dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutupi orifisium uretra (Brunner and
Suddart, 2001)

f. BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan
Bare, 2002)

Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung
kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.

2. ETIOLOGI

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya BPH, namun
beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat
telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bilaperubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%,
untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesis yang diduga menjadi penyebab
timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011) meliputi :

1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)

Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel
kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron
(DHT) dalam sel prostad merupakan factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat
menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein
yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT
pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas
enzim5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan
sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

2. Teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)

Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan kadar estrogen relative
tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone relative meningkat.
Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranandalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat
dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel
prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone
meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai umur yang lebih panjangsehingga masa prostat
jadi lebih besar.

3. Faktor interaksi stroma dan epitel-epitel

Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma
melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi
dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel
parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic
Fibroblast Growth Factor (BFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi
yang lebih besar padapasien dengan pembesaran prostad jinak. BFGF dapat diakibatkan oleh adanya
mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.

4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi
sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya,
kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringannormal, terdapat keseimbangan antara laju
poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat
dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan
jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa
prostat.

5. Teori sel stem.


Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam kelenjar prostat istilah
ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat
ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika
hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel
stroma maupun sel epitel.

3. KLASIFIKASI

Menurut Rumahorbo (2000), terdapat empat derajat pembesaran kelenjar prostat yaitu sebagai
berikut :

1. Derajat Rektal

Derajat rektal dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat ke arah rektum. Rectal
toucher dikatakan normal jika batas atas teraba konsistensi elastis, dapat digerakan, tidak ada nyeri
bila ditekan dan permukaannya rata. Tetapi rectal toucher pada hipertropi prostat di dapatkan batas
atas teraba menonjol lebih dari 1 cm dan berat prostat diatas 35 gram.Ukuran dari pembesaran
kelenjar prostat dapat menentukan derajat rectal yaitu sebagai berikut :

1). Derajat O : Ukuran pembesaran prostat 0-1 cm

2). Derajat I : Ukuran pembesaran prostat 1-2 cm

3). Derajat II : Ukuran pembesaran prostat 2-3 cm

4). Derajat III : Ukuran pembesaran prostat 3-4 cm

5). Derajat IV : Ukuran pembesaran prostat lebih dari 4 cm

2. Derajat Klinik

Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien disuruh BAK sampai selesai dan
puas, kemudian dilakukan katerisasi. Urine yang keluar dari kateter disebut sisa urine atau residual
urine. Residual urine dibagi beberapa derajat yaitu sebagai berikut :

1). Normal sisa urine adalah nol

2). Derajat I sisa urine 0-50 ml

3). Derajat II sisa urine 50-100 ml

4). Derajat III sisa urine 100-150 ml

5). Derajat IV telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama sekali. Bila kandung kemih
telah penuh dan klien merasa kesakitan, maka urine akan keluar secara menetes dan periodik, hal ini
disebut Over Flow Incontinencia. Pada derajat ini telah terdapat sisa urine sehingga dapat terjadi
infeksi atau cystitis, nocturia semakin bertambah dan kadang-kadang terjadi hematuria.

3. Derajat Intra Vesikal


Derajat ini dapat ditentukan dengan mempergunakan foto rontgen atau cystogram, panendoscopy.
Bila lobus medialis melewati muara uretra, berarti telah sampai pada stadium tida derajat intra
vesikal. Gejala yang timbul pada stadium ini adalah sisa urine sudah mencapai 50-150 ml,
kemungkinan terjadi infeksi semakin hebat ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, menggigil dan
nyeri di daerah pinggang serta kemungkinan telah terjadi pyelitis dan trabekulasi bertambah.

4. Derajat Intra Uretral

Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk melihat sampai seberapa
jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra. Pada stadium ini telah terjadi retensio urine total.

4. MANIFESTASI KLINIS

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan diluar saluran
kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih
bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih sehingga
urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran, miksi lemah. Intermiten
(kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)

b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi yang
sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa adanya gejala obstruksi,
seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang
merupakan tanda infeksi atau urosepsis.

3. Gejala diluar saluran kemih

Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan miksi sehingga
mengakibatkan tekanan intra abdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak
pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak
nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman
pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis
dan volume residual yang besar.

Tahapan Perkembangan Penyakit BPH

Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong (2005) secara klinis
penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :

1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur


ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan

sisa urin kurang dari 50 ml

2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur

dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50-

100 ml.

3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas

prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari

100ml.

4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total

5. PATOFISIOLOGI

Hiperplasia prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,


pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh
dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar
dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad
terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-
lahan.

Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah
prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau
divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan
vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin
dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).

Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran urin tidak
deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten),
dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi).
Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang
tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi
kosongsetelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan
frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/
urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).

Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi,akan terjadi inkontinensia
paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan
gagalginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktumiksi penderita harus
mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkanhernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa
urin, dapatmenyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batuini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batutersebut dapat juga menyebabkan
sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Penunjang Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007)


pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :

1. Laboratorium

a. Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk melihat adanya sel leukosit,
bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk menegtahui kuman penyebab infeksi dan
sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba.

b. Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang menegenai saluran
kemih bagian atas. Elektrolit kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsin
ginjal dan status metabolic.

c. Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau
sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak perlu dilakukan biopsy. Sedangkan bila
nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate specific antigen density (PSAD) lebih besar sama dengan 0,15
maka sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian pula bila nila PSA > 10 ng/ml.

2. Radiologis/pencitraan

a. Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh dengan urin sebagai tanda adanya
retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat, serta
osteoporosis akbibat kegagalan ginjal.

b. Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui kemungkinan adanya kelainan pada ginjal
maupun ureter yang berupa hidroureter atau hidronefrosis. Dan memperkirakan besarnya kelenjar
prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat)
atau ureter dibagian distal yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelok-
belok di vesika, penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi
buli-buli.

c. Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa masa ginjal,
menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli, mengukur sisa urin dan batu ginjal,
divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.

7. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-
stadium dari gambaran klinis

a. Stadium I

Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif,
misalnya menghambat adrenoresptor alfa sepertialfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah
efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.

b. Stadium II

Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi
endoskopi melalui uretra (trans uretra).

c. Stadium III

Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup
besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.

d. Stadium IV

Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan
memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi
diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.

Pada penderita yang keadaan umumnya tidak


memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif
dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan
konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.

2. Terapi medikamentosa

Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH adalah :

a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk mengurangi tekanan
pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker (penghambat alfa
adrenergenik)

c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/ dehidrotestosteron


(DHT).

Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011)
diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka

1. Penghambat adrenergenik alfa

Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif
alfa (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari.
Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada
buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak
ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi
relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran
urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni
dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2
minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan
di hidung dan lemah. Ada obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari
seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan, obatobat ini mempunyai efek pada
otot kandung kemih dan sfingter uretra.

2. Pengahambat enzim 5 alfa reduktase

Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan ini dapat
menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini
bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar.
Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru menunjukkan perbaikan sedikit 28 % dari
keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat
memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya adalah libido,
impoten dan gangguan ejakulasi.

3. Fitofarmaka/fitoterapi

Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya pygeum
africanum, saw palmetto, serenoa repeus. Efeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1- 2
bulan dapat memperkecil volum prostat.

8. KOMPLIKASI

Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :

1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi

2. Infeksi saluran kemih

3. Involusi kontraksi kandung kemih


4. Refluk kandung kemih.

5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat
buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.

6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi

7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu endapan dalam buli-
buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila
terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.

8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi pasien harus
mengedan.

9. WOC
B. KONSEP KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

1. Identitas

BPH merupakan pembesaran progresif dari kelenjar prostat (


secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi ur
etral dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 ). Hiperplasia prostat atau BPH
adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hyperplasia
beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars prostatika
(Muttaqin : 2012).

2. Keluhan Utama

Merupakan keluhan yang paling dirasakan oleh klien sehingga ia mencari pertolongan. Keluhan yang
diungkapkan klien pada umumnya yaitu adanya rasa nyeri. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan
oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Hal- hal yang perlu dikaji adalah mulai kapan keluhan dirasakan, lokasi keluhan, intensitas, lamanya
atau frekuensi, faktor yang memperberat atau memperingan serangan, serta keluhan- keluhan lain
yang menyertai dan upaya- upaya yang telah dilakukan.
4. Riwayat Personal dan Keluarga

Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang pernah menderita
penyakit BPH atau tidak.

5. Riwayat Pengobatan

Apakah klien pernah menggunakan obat- obatan. Yang perlu dikaji perawat yaitu: Kapan pengobatan
dimulai, Dosis dan frekuensi,Waktu berakhirnya minum obat

6. Pemeriksaan Fisik

a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi

dapatmeningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada re
tensi urin serta urosepsis sampai syok.

b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefro
sis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat
palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi.
Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.

1) Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra,
karsinoma maupun fimosis.

2) Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis.

3) Rectal touch /
pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesik
o uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :

Derajat I = beratnya  20 gram.

Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.

Derajat III = beratnya  40 gram.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang timbul adalah :

Pre Operasi :

1. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder dari pembesaran prostat, dekompensasi
otot destrusor dan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi secara adekuat.

2. Kecemasan atau ancietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi
prosedur bedah

Post Operasi

1.Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada post operasi.

3. RENCANA KEPERAWATAN

Pre Operasi

1.Retensi urin berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder dari pembesaran prostat, dekompensasi
otot destrusor dan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi secara adekuat.

Tujuan : Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 3x24 jam pola eliminasi optimal sesuai
kondisi klien

Kriteria hasil : Frekuensi miksi dalam batas 5-8x/jam, tidak teraba distensi kandung kemih.

INTERVENSI RASIONAL
1.Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-41. Meminimalkan retensi urina
jam dan bila tiba-tiba dirasakan. distensi berlebihan pada kandung
kemih.

2.Observasi aliran urin perhatian ukuran


dan kekuatan pancaran urin. 2. Untuk mengevaluasi ibstruksi dan
pilihan intervensi.

3.Awasi dan catat waktu serta jumlah


setiap kali berkemih. 3. Retensi urine meningkatkan
tekanan dalam saluran
perkemihan yang dapat
mempengaruhi fungsi ginjal.

4.Berikan cairan sampai 3000 ml sehari4. Peningkatkan aliran cairan


dalam toleransi jantung. meningkatkan perfusi ginjal serta
membersihkan ginjal ,kandung
kemih dari pertumbuhan bakteri.

5. Mengurangi spasme kandung


kemih dan mempercepat
penyembuhan
5.Berkolaborasi dalam pemberia obat
sesuai indikasi (antispamodik)

2. Kecemasan/ ancietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur
bedah.

Tujuan : Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 1x24 jam kecemasan klien berkurang.

Kriteria hasil

Klien menyatakan kecemasan berkurang, mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab


atau faktor yang memengaruhinya, kooperatif terhadap tindakan, wajah tenang.
INTERVENSI RASIONAL

1. Dampingi klien dan bina hubungan 1.Menunjukkan perhatian, hubungan


saling percaya. saling percaya dapat membantu
klien kooperatif terhadap tindakan
medis.

2.Membantu pasien dalam memahami


2.Memberikan informasi tentang tujuan dari suatu tindakan.
prosedur tindakan yang akan
dilakukan.
3.Memberikan kesempatan pada
pasien dan konsep solusi pemecahan
3.Dorong pasien atau orang terdekat masalah.
untuk menyatakan masalah atau
perasaan.
4.Mengurangi rangsangan eksternal
yang tidak perlu.
4.Beri lingkungan yang tenang dan
suasana istirahat.

Post Operasi

1. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada post operasi.

Tujuan: Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang atau hilang.

Kriteria hasil : Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang, Ekspresi wajah klien tenang, TTV dalam
batas normal (TD: 120/80 mmHg, RR:16-24 x/mnt,N:80-100x/mnt,T:36’C)

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji nyeri dengan pendekatan 1.Menjadi parameter dasar untuk


mengetahui sejauh mana
PQRST.
intervensi yang diperlukan dan
sebagai evaluasi keberhasilan dari
intervensi manajemen nyeri
keperawatan.

2.Pendekatan dengan menggunakan


relaksasi dan nonfarmalogi lainnya
2. Jelaskan dan bantu klien dengan telah menunjukkan Keefektifan
tindakan pereda nyeri non farmakologi dalam mengurangi nyeri.
dan non-infasif.

3.Dengan manajemen nyeri dapat


mengurangi nyeri.

3. Lakukan manajemen nyeri


a. Posisi fisiologi akan meningkatkan
keperawatan asupan O2ke jaringan yang
mengalami iskemia.
a. Atur posisi fisiologi
b. Istirahat akan menurunkan
kebutuhan O2 jaringan perifer dan
meningkatkan suplai darah pada
jaringan yang mengalami
peradangan.
b. Istirahatkan klien
c. Lingkungan yang nyaman akan
menurunkan stimulasi eksternal.

d. Meningkatkan asupan O2sehingga


akan menurunkan nyeri.

e. Pengetahuan yang akan dirasakan


membantu mengurangi nyeri dan
c. Manajemen lingkungan : ciptakan dapat mengembangkan kepatuhan
suasana yang nyaman. klien terhadap recana terapiutik.

f. Distraksi dapat menurunkan


stimulus iinternal dengan
d. Ajarkan tehnik relaksasi pernapasan mekanisme peningkatan produksi
dalam endorphin dan enkefalin yang
dapat memblok reseptor nyeri
untuk tidak dikirimkan ke korteks
serebri sehingga menurunkan
e. Tingkatkan pengetahuan tentang nyeri persepsi nyeri.
dan menghubungkan berapa lama
nyeri akan berlangsung.
4. Analgesik memblok lintasan nyeri
sehingga nyeri akan berkurang.
f. Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri.

4. Kolaborasi

Pemberian obat analgesic

A. KESIMPULAN
BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh faktor
penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih
dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya BPH,
namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada
prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bilaperubahan mikroskopik ini berkembang,
akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka
kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90
tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)

Anda mungkin juga menyukai