HIPERTROPI (BPH)
§ Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH
) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa ata
u semua komponen prostat meliputijaringan kelenjar /
jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretrapars prostatika ( Lab /
UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193 ).
§ BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (
secara umum pada pria lebihtua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi u
retral dan pembatasanaliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).
Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yangpasti k
elenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang eratkaitannya deng
an BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
1). Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor
androgen menyebabkan epitel danstroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2). Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunantestos
teron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3). Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunantransfo
rming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4). Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epiteldari k
elenjar prostat.
5). Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit ( Roger Kirby, 1994 : 38 ).
b. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi kandung kemih, kolik
ginjal, infeksi urinaria.
1). Tujuan
Nyeri hilang / terkontrol.
2). Kriteria hasil
Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan ketrampilan relaksasi danaktivi
tas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu. Tampak
rileks, tidur /istirahat dengan tepat.
3). Rencana tindakan dan rasional
a) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 0 - 10 ).
R / Nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih / masase urin
sekitar kateter menunjukkan spasme buli-buli, yang cenderung lebih
berat pada pendekatan TURP ( biasanya menurun dalam 48 jam ).
b) Pertahankan
patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan selang bebas darilekukan dan bek
uan.
R/ Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan
resiko distensi / spasme buli - buli.
c). Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
R/ Diperlukan selama fase awal selama fase akut.
d) Berikan tindakan kenyamanan (
sentuhan terapeutik, pengubahan posisi, pijatanpunggung ) dan aktivitas terapeutik.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokusksn kembali perhatian dan
dapat meningkatkan kemampuan koping.
f) Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik
R / Menghilangkan spasme
c. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis.
1). Tujuan
Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
2). Kriteria hasil
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -
tanda vital stabil, nadiperifer teraba, pengisian perifer
baik, membran mukosa lembab dan keluaran urintepat.
3). Rencana tindakan dan rasional
a). Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/.
R/ Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan volume total karena ketidakl
cukupan jumlah natrium diabsorbsi tubulus ginjal.
b). Pantau masukan dan haluaran cairan.
R/ Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
c). Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan
tekanan darah, diaforesis, pucat,
R/ Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
d). Tingkatkan tirah baring dengan kepala lebih tinggi
R/ Menurunkan kerja jantung memudahkan hemeostatis sirkulasi.
g). Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh:
Hb / Ht, jumlah sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosi
R/ Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan penggantian. Serta
dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi
misalnya penurunan faktorpembekuan darah,
d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur
bedah.
1). Tujuan
Pasien tampak rileks.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G.,
2000. Rencana Asuhan Keperawatan : PedomanUntuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit BukuKedokteran EGC.
Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta,Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya, Fakultas KedokteranAirlangga
/ RSUD. dr. Soetomo.
Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press. Surabaya
Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
2. Etiologi
Penyebabnya tidak pasti, tetapi bukti-bukti menunjukan bahwa hormon menyebabkan
hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular pada prostat. ( Smeltzer, 2001, hal.
1625 )
Hormon androgen merupakan hormon yang paling memungkinkan sebagai penyebab dari
BPH. Dengan meningkatnya umur seseorang, terjadi penurunan kadar hormon androgen, disertai
naiknya kadar estrogen secara relatif. Estrogen juga meningkatkan sensitivitas jaringan prostat
terhadap androgen. ( Underwood, 2000, hal. 610 )
Beberapa faktor timbulnya BPH antara lain diet, dampak dari inflamasi penyakit kronis, sosial
ekonomi, hereditas, dan ras. Angka kejadian meningkat pada kulit hitam dan angka kejadian rendah
pada bangsa Asia. Laki-laki dengan perkembangan hipogonadisme yang permanen memungkinkan
timbulnya BPH. Proses penuaan ( aging ) merupakan faktor resiko yang utama bagi perkembangan
BPH, 80% laki-laki diatas 80 tahun memiliki resiko yang tinggi terkena BPH. ( Black, 1997, hal. 2350 )
3. Patofisiologi
Hiperplasia prostat jinak ( BPH ) adalah pertumbuhan dari nodula-nodula fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat. Lebih dari 50 % pria diatas usia 50 tahun mengalami pertumbuhan nodular
ini. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stoma fibrosa yang jumlahnya berbeda-
beda. Sebab dari BPH tidak diketahui. Pembesaran jaringan prostat periutretral menyebabkan
obtruksi leher kandung kemih dan uretra pars prostatika, yang mengakibatkan berkurangnya aliran
kemih dari kandung kemih.
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari hal-hal berikut dalam derajat yang
berbeda-beda : sering berkemih, nokturia, urgensi ( kebelet ), urgensi dengan inkontinensia,
tersendat-sendat, mengeluarkan tenaga untuk mengeluarkan kemih, rasa tidak lampias, inkontinensia
overflow, dan kemih yang menetes setelah berkemih. Kandung kemih yang teregang dapat teraba
pada pemeriksaan abdomen, dan tekanan suprapubik pada kandung kemih yang penuh akan
menimbulkan rasa ingin berkemih. Prostat diraba sewaktu pemeriksaan rectal untuk menilai besarnya
kelenjar.
Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau tidak adanya aliran
kemih, dan ini memerlukan reseksi bedah pada prostat. Prostatektomi dapat dilakukan dalam
berbagai cara, yang paling sering adalah metode reseksi transuretral. (Silvya Price, 2005, hal 1154)
4. Manifestasi Klinis
Kompleks gejala obstruktif dan iritatif mencangkup peningkatan frekuensi berkemih, nokturia,
dorongan ingin berkemih, abdomen tegang, volume urine menurun dan harus mengejan saat berkemih,
aliran urine tidak lancar, dimana urine uterus meets setelah berkemih (dribbling), rasa seperti kandung
kemih tidak kissing dengan baik, retensi urine akut (bila lebih dari 60 ml urine tetap berada dalam
kandung kemih setelah berkemih) dan kekambuhan infeksi saluran kemih. Pada akhirnya, dapat terjadi
azotemia (akumulasi produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urine kronis dan volume
residu yang besar. Gejala generalisata juga mungkin tampak termasuk keletihan, anoreksia, mual dan
muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik. (Smeltzer, 2001, hal. 1625 )
5. Komplikasi
a. Retensi urine
Retensi urin adalah kesulitan miksi karena kegagalan mengeluarkan urin dari vesika urinaria.
b. Hidronefrosis
Hidronefrosis adalah pelebaran pasu pada ginjal serta pengerutan jaringan ginjal, sehingga ginjal
menyerupai kantong yang berisi kemih, kondisi ini terjadi karena tekanan dan aliran balik ureter ke
ginjal akibat kandung kemih tidak mampu lagi menampung urine dan urine tidak bisa dikeluarkan.
c. Pielonefritis
Pielonefritis adalah infeksi pada ginjal yang diakibatkan oleh bakteri yang masuk ke ginjal dan kandung
kemih.
d. Azotemia
Azotemia ditandai dengan terjadinya peningkatan ureum, fenolamin dan metabolik lain serta racun-
racun sisa metabolisme.
e. Uremia
Uremia adalah peningkatan ureum di dalam darah akibat ketidakmampuan ginjal menyaring hasil
metabolisme ureum.
f. Anemia
Anemia terjadi karena pendarahan massif dan terus-menerus dari saluran kemih yang mengalami iritasi
dan pecahnya pembuluh darah akibat penegangan berlebihan oleh kelenjar prostat. (Arief Mansjoer,
2000, hal. 332)
6. Pemeriksaan Diagnostik
Urinalisa : warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah); penampilan keruh; pH 7 atau lebih
besar (menunjukan infeksi); bakteria, SDP, SDM mungkin ada secara mikroskopis.
Kultur urin : dapat menunjukan Staphylococcus aureus, Klebsiella, Pseudomonas, atau Escherichia coli.
Sitologi urine : untuk mengesampingkan kanker kandung kemih
BUN/ kreatinin : meningkatkan bila fungsi ginjal dipengaruhi
Asam fosfat serum/ antigen khusus prostatik : Peningkatan karena pertumbuhan selular dan pengaruh hormonal pada
kanker prostat (dapat mengindikasikan metastase tulang)
SDP : mungkin lebih besar dari 11.000, mengindikasikan infeksi bila pasien tidak imunosupresi.
Penentuan kecepatan aliran urine : mengkaji derajat obstruksi kandung kemih
IVP dengan film pasca-berkemih : menunjukan pelambatan pengosongan kandung kemih, membedakan derajat
obstruksi kandung kemih dan adanya pembesaran prostat, divertikuli kandung kemih dan penebalan
abnormal otot kandung kemih.
Sistouretrografi berkemih : digunakan sebagai ganti IVP untuk memvisualisasi kandung kemih dan uretra karena
menggunakan bahan kontras lokal.
Sistogram : mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untuk mengidentifikasi disfungsi yang tak
berhubungan dengan BPH.
Sistouretroskopi : untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan perubahan dinding kandung kemih.
Sistometri : Mengevaluasi fungsi otot detrusor dan tonusnya.
Ultrasound transrektal : Mengukur ukuran prostat, jumlah residu urine; melokalisasi lesi yang tak berhubungan dengan
BPH.
(Doenges, 2002, hal. 672)
7. Penatalaksanaan
a. Observasi (watchful waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan ialah mengurangi
minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, Menghindari obat-obat
dekongestan (Parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan
minum alkhol agar tidak terlalu sering miksi.
Setiap tiga bulan lakukan kontrol keluhan, sisa kencing dan pemeriksaan rektal.
b. Terapi Medikamentosa
1. Penghambat adrenergik α
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin atau yang lebih
selektif α 1a ( tamsulosin ). Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2 – 0,4
mg/hari. Penggunaan antagonis α -1-adrenergikkarena secara selektif mengurangi obstruksi pada
buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
2. Penghambat enzim 5- α -reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (Proscar) dengan dosis 1x5 mg/hari. Obat golongan ini dapat
menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.
c. Terapi Bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi
absolut untuk terapi bedah yaitu :
1) Retensi urine berulang
2) Hematuria
3) Tanda penurunan fungsi ginjal
4) Infeksi saluran kemih berulang
5) Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel, hidroureter, dan hidronefrosis
6) Ada batu saluran kemih
Jenis pengobatan ini paling tinggi efektivitasnya. Intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi
Transurethral Resection of the Prostate (TUR P), Transurethral Incision of the Prostate (TUIP).
Indikasi TUR P ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gram dan pasien
cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TUR P jangka pendek adalah pendarahan, infeksi,
hiponatremia (TUR P), atau retensi oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang
ialah striktur uretra, ejakulasi retrograde (50-90%) atau impotensi (4-40%)
Indikasi TUIPialah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil. Komplikasinya bisa
ejakulasi retrograde (0-37%).
( Mansjoer, 2000, hal. 333-334)
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan basic dari tahap
berikutnya. Pengkajian perlu dilakukan secara sistematis mulai dari pengumpulan data,
mengidentifikasi evaluasi status dan kesehatan klien. ( Nursalam, 2001, hal. 17, dikutip dari Iyer, et. al,
1996)
Pada pengkajian dilakukan pengumpulan data yang dari dua tipe yaitu data subjektif dan data
objektif. Data subjektif adalah data yang didapat dari klien sebagai suatu pendapat terhadap situasi dan
kejadian. Sedangkan data objektif adalah data yang didapat dari observasi dan diukur, ( Nursalam,
2001, hal. 19, dikutip dari Iyer, et. al, 1996)
Pengumpulan data pada pengkajian klien memiliki karakteristik yaitu lengkap, akurat, nyata
dan relevan ( Nursalam, 2001, hal. 23 ). Sumber data sangat penting dimana dalam pengkajian sumber
data diperoleh dari klien, yang menjadi data primer adalah orang terdekat misalnya suami, istri, orang
tua, anak dan temannya, catatam klien, riwayat penyakit, konsultasi, hasil pemeriksanaan diagnostik,
cataan mesi dan anggota kesehatan lainnya, perawat lain dan kepustakaan ( Nursalam, 2001, hal.24
– 25 )
Ada tiga metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada tahap pengkajian :
komunikasi yang efektif, observasi dan pemeriksaan fisik. Teknik tersebut sangat bermanfaat bagi
perawat dalam pendekatan pad klien secara rasional, sistematika dalam pengumpulan data,
merumuskan diagnosa keperawatan dan merencanakannya.
Adapun data dasar pengkajian pada BPH adalah sebagai berikut :
1) Sirkulasi
Tanda : Peninggian Tekanan Darah ( efek pembesaran ginjal )
2) Eliminasi
Gejala : Penurunan kekuatan / dorongan aliran urine; tetesan, keragu-raguan pada berkemih awal,
ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap; dorongan dan frekuensi
berkemih, nokturi, disuria, hematuria, riwayat batu ( statis urinaria ), konstipasi ( prostrusi prostat ke
dalam rektum )
Tanda : Massa padat di bawah abdomen bawah ( distensi kandung, kemih ), nyeri tekan kandung kemih, hernia
inguinalis, hemorrhoid ( mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang memerlukan
pengosongan kandung kemih mengatasi tahanan).
3) Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia : mual, muntah, penurunan berat badan
4) Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri suprapubis, panggul atau punggung; tajam, kuat (pada prostatitis akut) nyeri punggung bawah
5) Keamanan
Gejala : Demam
6) Seksualitas
Gejala : Masalah tentang efek kondisi / terapi pada kemampuan seksual, penurunan kekuatan kontraksi
ejakulasi
Tanda : Pembesaran, nyeri tekan prostat
7) Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal; penggunaan antibiotik uranaria atau agen
antibiotik, penggunaan anti hipertendif atau anti depresan
(Doenges, 2000, hal. 671-672)
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia dari
kelompok atau individu dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengindentifikasi dan memberikan
interpretasi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah, dan
merubah. ( Nursalam, 2001, hal. 35, dikutip dari Carpenito, 2000)
Diagnosa keperawatan adalah masalah aktual dan potensial dimana berdasarkan pendidikan
dan pengalaman ia mampu dan mempunyai kewenangan memberikan tindakan keperawatan. (
Nursalam, 2001, hal. 35, dikutip dari Gordon, 1976)
Tujuan dari diagnosa keperawatan adalah untuk mengindentifikasi masalah dimana adanya
respon klien terhadap status kesehatan ataupun penyakit, faktor-faktor yang menunjang atau
menyebabkan suatu masalah atau etiologi dan kemampuan klien untuk mencegah dan menyelesaikan
masalah.
Di dalam menetapkan diagnosa keperawatan telah ditetapkan langkah-langkah yang
diklasifikasi dan analisa data, validasi data dan perumusan diagnosa keperawatan. Maka tugas perawat
berikutnya adalah merumuskan diagnosa keperawatan yang dibagi menjadi 5 jenis yaitu diagnosa
actual, diagnosa resiko, diagnosa kemungkinan, diagnosa wellness dan diagnosa sindrom. (Nursalam,
2001, hal.43, dikutip dari Carpenito, 2000)
Adapun diagnosa yang timbul pada klien dengan Benigna Prostatic Hypertrophy adalah:
a. Retensi urine (akut/ kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik; pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
b. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa : distensi kandung kemih; kolik ginjal; infeksi urinaria;
terapi radiasi.
c. Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis dari
drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis. Endokrin, ketidakseimbangan
elektrolit (disfungsi ginjal).
d. Ketakutan/ ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan : kemungkinan prosedur
bedah/ malignansi. Malu/ hilang martabat sehubungan dengan pemajanan genital sebelum, selama
dan sesudah tindakan; masalah tentang kemampuan seksualitas.
e. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang terpajan/ mengingat, salah interpretasi informasi. Tidak mengenal sumber
informasi. Masalah tentang area sensitif.
(Doenges, 2000, hal. 673-678)
3. Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, maka perlu dibuat rencana keperawatan,
perencanaan keperawatan meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi,
mengoreksi, masalah-masalah yang diidentifikasi pada diagnosa keperawatan dan menyimpulkan
rencana dokumen. (Nursalam, 2001, hal 51, dikutip dari Iyer, et. al, 1996)
Dalam tahapan perencanaan keperawatan ini diperlukan suatu tujuan rencana yaitu tujuan
administrative dan tujuan klinik. (Nursalam, 2001, hal.51, dikutip dari Carpenito, 2000). Untuk
mengevaluasi rencana tindakan maka diperlukan beberapa langkah yaitu menentukan prioritas,
menentukan rencana tindakan dan pendokumentasian, (Nursalam, 2001, hal. 52)
Untuk menentukan prioritas masalah penulis mengambil gambaran pada hirarki Maslow dan
hirarki Kalish (Nursalam, 2001, hal 53, dikutip dari Iyer, et. al, 1996). Hirarki Maslow yang menjelaskan
kebutuhan manusia dibagi dalam lima tahap : (1) Fisiologis; (2) Rasa aman dan nyaman; (3) Sosial; (4)
Harga diri; (5) Aktualisasi diri.
Sedangkan Hirarki Kalish menjelaskan kebutuhan fisiologis menjadi kebutuhan untuk
mempertahankan hidup : udara, air, temperatur, eliminasi, istirahat dan menghindari nyeri.
Terdapat tiga tahap rencana tindakan yaitu : rencana tindakan perawat, rencana tindakan
pelimpahan (medis dan tim kesehatan lain), program atau perintah medis untuk klien yang dalam
pelaksanaannya dibantu oleh perawatan (Nursalam, 2001, hal 54, dikutip dari Carpenito, 2000).
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien Benigna Prostatic Hypertrophy
ini maka rencana keperawatan yang dapat direncanakan adalah:
a. Retensi urine (akut/kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik; pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor,ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
ujuan : Berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba distensi kandung kemih.
riteria hasil : Menunjukkan residu pasca-berkemih kurang dari 50 ml; dengan tak adanya tetesan/ kelebihan cairan.
Intervensi:
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
R: Meminimalkan retensi urine distensi berlebihan pada kandung kemih.
2) Tanyakan pasien tentang inkontinensia stress .
R : Tekanan ureteral tinggi menghambat pengosongan kandung kemih atau dapat menghambat berkemih
sampai tekanan abdominal meningkat cukup untuk mengeluarkan urine secara tidak sadar.
3) Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan.
R : Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi.
4) Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. Perhatikan penurunan haluaran urine dan perubahan
berat jenis
R : Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas, yang dapat mempengaruhi fungsi
ginjal. Adanya defisit aliran darah ke ginjal mengganggu kemampuannya untuk memfilter dan
mengkonsentrasi substansi.
5) Perkusi/ palpasi area suprapubik.
R : Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubik.
6) Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi jantung, bila diindikasikan.
R: Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung
kemih dari pertumbuhan bakteri.
7) Awasi TTV dengan ketat. Observasi hipertensi, edema perifer/ dependen, perubahan mental. Timbang
tiap hari. Pertahankan pemasukan dan pengeluaran akurat.
R : Kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik; dapat
berlanjut ke penurunan ginjal total
8) Berikan/ dorong kateter lain dan perawatan perineal.
R : Menurunkan resiko infeksi asenden.
9) Berikan rendam duduk sesuai indikasi.
R : Meningkatkan relaksasi otot, penurunan edema, dan dapat meningkatkan upaya berkemih.
10) Kolaborasi dalam pemberian obat antispasmodik sesuai indikasi
R : Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi oleh kateter.
b. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa : distensi kandung kemih; kolik ginjal; infeksi urinaria;
terapi radiasi.
ujuan : Melaporkan nyeri hilang/ terkontrol.
eria hasil : - Tampak rilek.
- Mampu untuk tidur/ istirahat dengan tepat.
Intervensi:
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) lamanya.
R: Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan/ keefektifan intervensi.
2) Plester selang drainase pada paha dan kateter pada abdomen (bila traksi tidak diperlukan).
R : Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis-skrotal.
3) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan.
R : Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut. Namun, ambulasi dini dapat
memperbaiki pola berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik
4) Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung; membantu pasien melakukan posisi yang
nyaman; mendorong penggunaan relaksasi/ latihan nafas dalam; aktifitas terapeutik.
R : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan kemampuan koping
5) Dorong menggunakan rendam duduk, sabun hangan untuk perineum.
R : Meningkatkan relaksasi otot
6) Masukan kateter dan lakukan masase prostat.
R : Pengaliran kandung kemih menurunkan tegangan dan kepekaan kelenjar.
7) Berikan obat sesuai indikasi (narkotik, antibakterial, antispasmodik dan sedatif kandung kemih)
arkotik : Untuk menghilangkan nyeri berat, memberikan relaksasi mental dan fisik.
ntibakterial : Menurunkan adanya bakteri dalam traktus urinarius juga yang dimasukkan melalui sistem drainase.
ntispasmodik dan Sedatif kandung kemih : menghilangkan kepekaan kandung kemih.
c. Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis dari
drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis. Endokrin, ketidakseimbangan
elektrolit (disfungsi ginjal).
e. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang terpajan/ mengingat, salah interpretasi informasi. Tidak mengenal sumber
informasi. Masalah tentang area sensitif.
uan : Pengetahuan meningkat.
Kriteria hasil : - Menyatakan pemahaman proses penyakit/ prognosis.
- Mengidentifikasi hubungan tanda/ gejala proses penyakit.
- Melakukan perubahan pola hidup/ perilaku yang perlu.
- Berpartisipasi dalam program pengobatan.
Tindakan / intervensi :
1) Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien.
R : Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.
2) Dorong menyatakan rasa takut/ perasaan dan perhatian
R : Membantu pasien mengalami perasaan dapat menrupakan rehabilitasi vital.
3) Berikan informasi bahwa kondisi tidak ditularkan secara seksual.
R : Mungkin merupakan ketakutan yang tak dibicarakan.
4) Anjurkan makanan berbumbu, kopi, alkohol, mengemudi mobil lama, pemasukan cairan cepat
(terutama alkohol).
R : Dapat menyebabkan iritasi prostat dengan masalah kongesi.
5) Bicarakan masalah seksual
R : Aktivitas seksual dapat meningkatkan nyeri selama episode akut.
6) Berikan informasi tentang anatomi dasar seksual.
R : Memiliki informasi tentang anatomi membantu pasien memahami implikasi tindakan lanjut.
7) Kaji ulang/ gejala yang memerlukan evaluasi medik.
R : Intervensi cepat dapat mencegah komplikasi lebih serius.
8) Diskusikan perlunya pemberitahuan pada perawat kesehatan lain tantang diagnosa.
R : Menurunkan resiko terapi tak tepat, contohnya penggunaan dekongestan, antikolinergik, dan
antidepresan dapat meningkatkan retensi urine dan dapat mencetuskan episode akut
9) Beri penguatan pentingnya evaluasi medik untuk sedikitnya 6 bulan sampai 1 tahun termasuk
pemeriksaan rektal, urinalisa.
R : Hipertropi berulang dan/ atau infeksi (disebabkan oleh organisme yang sama atau berbeda), tidak umum
dan akan memerlukan perubahan terapi untuk mencegah komplikasi serius.
(Doenges, 2000,hal. 679-685)
4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik Tahap
ini adalah tahap keempat dalam proses keperawatan, oleh karena itu pelaksanaan dimulai setelah
rencana tindakan disusun ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai
tujuan.(Nursalam, 2000, hal. 63, dikutip dari Iyer,et.al, 1996)
Dalam pelaksanaan tindakan ada tiga tahapan yang harus dilalui yaitu : persiapan,
perencanaan dan pendokumentasian.
a. Fase persiapan meliputi :
antisipasi tindakan keperawatan
nalisa pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan
ahui konflikasi yang mungkin timbul
an alat ( resources )
an lingkungan yang kondusif
entifikasi aspek hukum dan etik
b. Fase intervensi terdiri dari :
1) Independen : tindakan yang dilakukan oleh perawat tanpa petunjuk atau perintah dokter atau tim
kesehatan lainnya.
2) Interdependen : tindakan keperawatan yang memerlukan kerjasama dengan kesehatan lainnya (
dokter, gizi laboratorium )
3) Dependen berhubungan dengan tindakan medis atau menandakan tindakan medis dilakukan.
c. Fase dokumentasi
Menurut suaut catatan lengkap dan akurat dari tindakan yang telah dilaksanakan ( Nursalam, 2001,
hal. 64 ) yang terdiri dari tiga tipe yaitu :
ter assisted oriented record ( SOR )
m oriented record ( POR )
ter assisted record ( CAR )
Dalam pelaksanaan tindakan asuhan keperawatan pada klien Benigna Prostatic Hypertrophy
perawat dapat berperan sebagai pelaksana keperawatan, memberi support, mendidik, advokasi,
konselor, dan pencatatan atau penghimpun data.
5. Evaluasi
Pada tahap terakhir proses keperawatan yaitu evaluasi yang merupakan tindakan intelektual
unutk proses keperawatan yang merupakan tindakan untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan sejauh mana diagnosa keperawatan rencana tindakan dan pelaksanaan sudah berhasil
dilaksanakan. Dikutip dari Griffit dan Christensen, 1986 ( Nursalam, 2001, hal. 71 ), evaluasi adalah
salah satu yang direncanakan dan perbadingan yang sistematis pada status kesehatan klien
sedangkan Nursalam, ( 2001, hal. 71 ) mengatakan evaluasi adalah tindakan intelektual untuk
melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diganosa keperawatan, rencana
tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.
Tujuan evaluasi adalah untuk mendapatkan umpan balik rencana keperawatan, nilai serta
asuhan keperawatan mallaui hasil perbandingan melalui standar yang telah ditentukan sebelumnya.
Proses evaluasi dibagi menjadi dua yaitu mengukur pencapaian tujuan dan membandingkan
data yang terkumpul dengan tujuan pencapaian tujuan ( Nursalam, 2001, hal. 74 ).
Komponen-komponen evaluasi dibagi 5 komponen, yaitu menentukan kriteria standar
pertanyaan evaluais, mengumpulkan data terbaru, menganalisa dan membandingkan data, terhadap
kriteria dan standar merangkum hasil dan membuat kesimpulan. (Nursalam, 2001, hal. 74, dikutip dari
Pinnell dan Wineses, 1986).
Evaluasi terdiri dari dua jenis yaitu : evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif
disebut juga dengan evaluasi proses, evaluasi jangka pendek atau evaluasi berjalan, dimana evaluasi
dilakukan secepatnya setelah tindakan keperawatan dilakukan sampai tujuan tercapai. Sedangkan
evaluasi sumatif disebut evaluasi hasil, evaluasi akhir, evaluasi jangka panjang. Evaluasi ini dilakukan
pada akhir tindakan keperawatan paripurna dilakukan dan menjadi suatu metode dalam memonitor
kualitas dan efesiensi tindakan yang diberikan. Bentuk evaluasi ini lazimnya menggunakan format
”SOAP”. ( Nursalam, 2001, hal. 74 ).
Hasil dari evaluasi dari yang diharapkan dalam pemberian tindakan keperawatan melalui
proses keperawtan pada klien dengan Benigna Prostatic Hypertrophy berdasarkan tujuan pemulangan
adalah :
1. Pola berkemih normal.
2. Nyeri/ ketidaknyamanan hilang.
3. Komplikasi tercegah minimal.
4. Proses penyakit/ prognosis dan program terapi dipahami.
(Doenges, 2000, hal. 673)
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya dinyatakansebagai pembesaran
prostat jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit yang biasa terjadi. Ini di lihat dari frekuensi terjadinya
BPH di dunia, di Amerik secara umum dan di Indonesia secara khususnya. Di dunia, diperkirakan
bilangan penderita BPH adalah seramai 30 juta, bilangan ini hanya pada kaum pria kerana wanita tidak
mempunyai kalenjar prostat, maka oleh sebab itu, BPH terjadi hanya pada kaum pria
(emedicine,2009).
Jika dilihat secara epidemiologinya, di dunia, dan kita jaraskan menurut usia, maka dapat di lihat
kadar insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan seseorang itu menderita penyakit ini adalah
sebesar 40%, dan setelah meningkatnya usia, yakni dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun,
persentasenya meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya
bisa sehingga 90% (A.K. Abbas, 2005). Akan tetapi, jika di lihat secara histologi penyakit BPH, secara
umum membabitkan 20% pria pada usia 40-an, dan meningkat secara dramatis pada pria berusia 60-
an, dan 90% pada usia 70 . Di indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan
kedua setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir 50
persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun, dengan kini usia harapan hidup mencapai 65
tahun ditemukan menderita penyakit PPJ atau BPH ini. Selanjutnya, 5 persen pria Indonesia sudah
masuk ke dalam lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat, dari 200 juta lebihbilangan
rakyat indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yangberusia 60 tahun dan ke atas
adalah kira-kira seramai 5 juta, maka dapat secaraumumnya dinyatakan bahwa kira-kira 2.5 juta pria
Indonesia menderita penyakitBPH atau PPJ ini. Indonesia kini semakin hari semakin maju dan dengan
berkembangnya sesebuah negara, maka usia harapan hidup pasti bertambah dengan sarana yang
makin maju dan selesa, maka kadar penderita BPH secara pastinya turut meningkat. (Furqan, 2003)
Secara pasti, bilangan penderita pembesaran prostat jinak belum di dapat, tetapi secara prevalensi di
RS, sebagai contoh jika kita lihat di Palembang, di RS Cipto Mangunkusumo ditemukan 423 kasus
pembesaran prostat jinak yang dirawat selama tiga tahun (1994-1997) dan di RS Sumber Waras
sebanyak 617 kasus dalam periode yang sama (Ponco Birowo, 2002). Ini dapat menunjukkan bahawa
kasus BPH adalah antara kasus yang paling mudah dan banyak ditemukan. Kanker prostat, juga
merupakan salah satu penyakit prostat yang lazim berlaku dan lebih ganas berbanding BPH yang hanya
melibatkan pembesaran jinak daripada prostat. Kenyataan ini adalah berdasarkan bilangan dan
presentase terjadinya kanker prostat di dunia secara umum dan Indonesia secara khususnya.
Secara umumnya, jika diperhatikan, di dunia, pada 2003, terdapat lebih kurang 220,900 kasus baru
ditemukan, dimana, daripada jumlah ini, 29,000 daripadanya berada di tahap membunuh (A.K. Abbas,
2005) . Seperti juga BPH, kanker prostat juga menyerang pria berusia lebih dari 50 dan pada usia di
bawah itu bukan merupakan suatu yang abnormal. Secara khususnya di Indonesia, menurut
(WHO,2008), untuk tahun 2005, insidensi terjadinya kanker prostat adalah sebesar 12 orang setiap
100,000 orang, yakni yang keempat setelah kanker saluran napas atas, saluran pencernaan dan hati .
Setelah secara umum melihat dan mengetahui akan epidemiologi dari kedua penyakit, yakni BPH dan
kanker prostat, penulis tertarik untuk mengetahui dengan lebih dalam lagi mengenai gambaran
penyakit ini terutama berdasarkan gambaran secara histopalogi memandangkan tiada penelitian
khusus yang setakat diketahui oleh penulis mengenainya dijalankan di Medan.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP TEORI
1. DEFENISI
a. Hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau
hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun
secara histologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,1994)
b. BPH adalah pembesaran adenomatous dari kelenjar prostat, lebih dari setengahnya dan orang yang
usianya diatas 50 tahun dan 75 % pria yang usianya 70 tahun menderita pembesaran prostat (C. Long,
1996 :331).
c. Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Price&Wilson (2005)
d. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria > 50
tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran urinarius.
(Doenges, 1999)
e. BPH adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke
dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutupi orifisium uretra (Brunner and
Suddart, 2001)
f. BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan
Bare, 2002)
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung
kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.
2. ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya BPH, namun
beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat
telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bilaperubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%,
untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesis yang diduga menjadi penyebab
timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011) meliputi :
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel
kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron
(DHT) dalam sel prostad merupakan factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat
menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein
yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT
pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas
enzim5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan
sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan kadar estrogen relative
tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone relative meningkat.
Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranandalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat
dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel
prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone
meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai umur yang lebih panjangsehingga masa prostat
jadi lebih besar.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma
melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi
dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel
parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic
Fibroblast Growth Factor (BFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi
yang lebih besar padapasien dengan pembesaran prostad jinak. BFGF dapat diakibatkan oleh adanya
mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi
sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya,
kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringannormal, terdapat keseimbangan antara laju
poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat
dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan
jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa
prostat.
3. KLASIFIKASI
Menurut Rumahorbo (2000), terdapat empat derajat pembesaran kelenjar prostat yaitu sebagai
berikut :
1. Derajat Rektal
Derajat rektal dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat ke arah rektum. Rectal
toucher dikatakan normal jika batas atas teraba konsistensi elastis, dapat digerakan, tidak ada nyeri
bila ditekan dan permukaannya rata. Tetapi rectal toucher pada hipertropi prostat di dapatkan batas
atas teraba menonjol lebih dari 1 cm dan berat prostat diatas 35 gram.Ukuran dari pembesaran
kelenjar prostat dapat menentukan derajat rectal yaitu sebagai berikut :
2. Derajat Klinik
Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien disuruh BAK sampai selesai dan
puas, kemudian dilakukan katerisasi. Urine yang keluar dari kateter disebut sisa urine atau residual
urine. Residual urine dibagi beberapa derajat yaitu sebagai berikut :
5). Derajat IV telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama sekali. Bila kandung kemih
telah penuh dan klien merasa kesakitan, maka urine akan keluar secara menetes dan periodik, hal ini
disebut Over Flow Incontinencia. Pada derajat ini telah terdapat sisa urine sehingga dapat terjadi
infeksi atau cystitis, nocturia semakin bertambah dan kadang-kadang terjadi hematuria.
Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk melihat sampai seberapa
jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra. Pada stadium ini telah terjadi retensio urine total.
4. MANIFESTASI KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan diluar saluran
kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih
bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih sehingga
urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran, miksi lemah. Intermiten
(kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi yang
sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
Keluhan akibat hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa adanya gejala obstruksi,
seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang
merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan miksi sehingga
mengakibatkan tekanan intra abdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak
pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak
nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman
pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis
dan volume residual yang besar.
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong (2005) secara klinis
penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50-
100 ml.
prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari
100ml.
5. PATOFISIOLOGI
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah
prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau
divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan
vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin
dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran urin tidak
deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten),
dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi).
Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang
tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi
kosongsetelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan
frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/
urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi,akan terjadi inkontinensia
paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan
gagalginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktumiksi penderita harus
mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkanhernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa
urin, dapatmenyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batuini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batutersebut dapat juga menyebabkan
sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
a. Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk melihat adanya sel leukosit,
bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk menegtahui kuman penyebab infeksi dan
sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba.
b. Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang menegenai saluran
kemih bagian atas. Elektrolit kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsin
ginjal dan status metabolic.
c. Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau
sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak perlu dilakukan biopsy. Sedangkan bila
nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate specific antigen density (PSAD) lebih besar sama dengan 0,15
maka sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian pula bila nila PSA > 10 ng/ml.
2. Radiologis/pencitraan
a. Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh dengan urin sebagai tanda adanya
retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat, serta
osteoporosis akbibat kegagalan ginjal.
b. Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui kemungkinan adanya kelainan pada ginjal
maupun ureter yang berupa hidroureter atau hidronefrosis. Dan memperkirakan besarnya kelenjar
prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat)
atau ureter dibagian distal yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelok-
belok di vesika, penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi
buli-buli.
c. Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa masa ginjal,
menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli, mengukur sisa urin dan batu ginjal,
divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-
stadium dari gambaran klinis
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif,
misalnya menghambat adrenoresptor alfa sepertialfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah
efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi
endoskopi melalui uretra (trans uretra).
c. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup
besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan
memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi
diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
2. Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk mengurangi tekanan
pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker (penghambat alfa
adrenergenik)
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011)
diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif
alfa (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari.
Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada
buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak
ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi
relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran
urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni
dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2
minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan
di hidung dan lemah. Ada obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari
seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan, obatobat ini mempunyai efek pada
otot kandung kemih dan sfingter uretra.
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan ini dapat
menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini
bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar.
Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru menunjukkan perbaikan sedikit 28 % dari
keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat
memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya adalah libido,
impoten dan gangguan ejakulasi.
3. Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya pygeum
africanum, saw palmetto, serenoa repeus. Efeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1- 2
bulan dapat memperkecil volum prostat.
8. KOMPLIKASI
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat
buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu endapan dalam buli-
buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila
terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi pasien harus
mengedan.
9. WOC
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
1. Identitas
2. Keluhan Utama
Merupakan keluhan yang paling dirasakan oleh klien sehingga ia mencari pertolongan. Keluhan yang
diungkapkan klien pada umumnya yaitu adanya rasa nyeri. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan
oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
Hal- hal yang perlu dikaji adalah mulai kapan keluhan dirasakan, lokasi keluhan, intensitas, lamanya
atau frekuensi, faktor yang memperberat atau memperingan serangan, serta keluhan- keluhan lain
yang menyertai dan upaya- upaya yang telah dilakukan.
4. Riwayat Personal dan Keluarga
Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang pernah menderita
penyakit BPH atau tidak.
5. Riwayat Pengobatan
Apakah klien pernah menggunakan obat- obatan. Yang perlu dikaji perawat yaitu: Kapan pengobatan
dimulai, Dosis dan frekuensi,Waktu berakhirnya minum obat
6. Pemeriksaan Fisik
dapatmeningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada re
tensi urin serta urosepsis sampai syok.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefro
sis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat
palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi.
Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.
1) Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra,
karsinoma maupun fimosis.
3) Rectal touch /
pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesik
o uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang timbul adalah :
Pre Operasi :
1. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder dari pembesaran prostat, dekompensasi
otot destrusor dan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi secara adekuat.
2. Kecemasan atau ancietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi
prosedur bedah
Post Operasi
1.Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada post operasi.
3. RENCANA KEPERAWATAN
Pre Operasi
1.Retensi urin berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder dari pembesaran prostat, dekompensasi
otot destrusor dan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi secara adekuat.
Tujuan : Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 3x24 jam pola eliminasi optimal sesuai
kondisi klien
Kriteria hasil : Frekuensi miksi dalam batas 5-8x/jam, tidak teraba distensi kandung kemih.
INTERVENSI RASIONAL
1.Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-41. Meminimalkan retensi urina
jam dan bila tiba-tiba dirasakan. distensi berlebihan pada kandung
kemih.
2. Kecemasan/ ancietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur
bedah.
Tujuan : Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 1x24 jam kecemasan klien berkurang.
Kriteria hasil
Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada post operasi.
Tujuan: Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil : Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang, Ekspresi wajah klien tenang, TTV dalam
batas normal (TD: 120/80 mmHg, RR:16-24 x/mnt,N:80-100x/mnt,T:36’C)
INTERVENSI RASIONAL
4. Kolaborasi
A. KESIMPULAN
BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh faktor
penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih
dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya BPH,
namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada
prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bilaperubahan mikroskopik ini berkembang,
akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka
kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90
tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)