OLEH :
ARIFATUL FARIDA
PO714201151006
CI LAHAN CI INSTITUSI
MAKASSAR
2017
LAPORAN PENDAHULUAN SISTEM PERKEMIHAN DENGAN KASUS BENIGNA PROSTAT
HIPERPLASIA (BPH)
A. Definisi
Hiperplasia prostat benigna adalah suatu keadaan di mana kelenjar prostat
mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang
paling umum pada pria lansia.
BPH ( Benigna Prostat Hiperplasi) adalah pembesaran progresif dari kelenjar
prostat yang dapat menyebabkan obstruksi dan retriksi pada jalan urine.(Rendy,
M.Clevo,2012)
Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah
B. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia sampai
sekarang belum diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi
terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut.
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang
diduga timbulnya Benign Prostatic Hyperplasia antara lain :
1. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT). Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor
androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostatmengalami
hiperplasia.
2. Ketidak seimbangan estrogen – testoteron. Dengan meningkatnya usia pada pria
terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan testosteron sedangkan estradiol
tetap. yang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma.
3. Interaksi stroma – epitel. Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth
faktor dan penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia
stroma dan epitel.
4. Penurunan sel yang mati. Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama
hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem cell. Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
(Roger Kirby, 1994 : 38).
D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi.Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan
cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas
sehabismiksi,kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus
mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency),dan waktu miksi
memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum
penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala
antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia),
perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria)
(Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
a. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
b. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak
sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria
dan menjadi nocturia.
c. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan
ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus
mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah
berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
- Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
- Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
- Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
- Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
- Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.
b. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing
dahulu kemudian dipasang kateter.
- Normal : Tidak ada sisa
- Grade I : sisa 0-50 cc
- Grade II : sisa 50-150 cc
- Grade III : sisa > 150 cc
- Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.
E. Penatalaksanaan
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
1. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor
alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif
segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian
lama.
2. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
3. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan
prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam.
Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan
melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
4. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari
retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive
dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat
dilakukan dengan:
1. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi
kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok
dubur.
2. Medikamentosa
3. Mengharnbat adrenoreseptor α
4. Obat anti androgen
5. Penghambat enzim α -2 reduktase
6. Fisioterapi
7. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal,
infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter,
hidronefrosis jenis pembedahan:
1. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy).Yaitu pengangkatan sebagian
atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang
dimasukkan malalui uretra.
2. Prostatektomi Suprapubis. Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi
yang dibuat pada kandung kemih.
3. Prostatektomi retropubis. Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi
pada abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki
kandung kemih.
4. Prostatektomi Peritoneal. Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui
sebuah insisi diantara skrotum dan rektum.
5. Prostatektomi retropubis radikal. Yaitu pengangkatan kelenjar prostat
termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui
sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher
kandung kemih pada kanker prostat.
Terapi Invasif Minimal
1. Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT). Yaitu pemasangan prostat
dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena
yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
2. Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
3. Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
F. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007) dan Tucker dan
Canobbio (2008) adalah :
1. Pre Operasi
a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi
kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari
pembesaran prostat dan obstruksi uretra.
c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status
kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi
prosedur bedah.
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
2. Post Operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema,
trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder
pada pembedahan
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler (
tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.
e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten
akibat dari pembedahan.
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada
pembedahan, dan pemasangan kateter.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
1) Pasien mengatakan nyeri berkurang
2) Ekspresi wajah pasien tenang
3) Pasien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
4) Pasien akan tidur / istirahat dengan tepat.
5) Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)
Rasional : nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih sekitar kateter
menunjukkan spasme kandung kemih.
2) Jelaskan pada pasien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
Rasional : Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
3) Pertahankan patensi kateter dan system drainase. Pertahankan selang bebas
dari lekukan dan bekuan
Rasional : mempertahankan fungsi kateter dan drainase system. Menurunkan
resiko distensi/spasme kandung kemih
4) Berikan informasi yang akurat tentang kateter, drainase, dan spasme kandung
kemih
Rasional : menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerjasama.
5) Kolaborasi pemberian antispasmodic contoh :
. Oksibutinin klorida (Ditropan), supositoria
Rasional : merilekskan otot polos, untuk memberikan penurunan spasme dan
nyeri
. Propantelin bromide (pro-bantanin)
Rasional : menghilangkan spasme kandung kemih oleh kerja antikolinergik.
Intervensi :
1) Jelaskan pada pasien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan
cara untuk menghindari.
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien sehingga mau kooperatif dalam
tindakan perawatan
2) Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi
kebisingan
Rasional : Suasana tenang akan mendukung istirahat
3) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
Rasional : Menentukan rencana mengatasi gangguan
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi
nyeri/analgetik.
Rasional : Mengurangi nyeri sehingga pasien bisa istirahat dengan cukup .
DAFTAR PUSTAKA
Sumber: Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern. Buku Saku DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria hasil NOC Edisi 9. Alih Bahasa Ns. Esti Wahuningsih,
S.Kep dan Ns. Dwi Widiarti, S,Kep. EGC. Jakarta.
Doenges, EM, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.