Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori Diabetes Melitus

1. Definisi

Diabetes Melitus suatu gangguan metabolisme karbohidrat, protein

dan lemak akibat dari ketidak seimbangan antara ketersediaan insulin

dengan kebutuhan insulin. Gangguan tersebut dapat berupa defisiensi

insulin absolut, gangguan pengeluaran insulin oleh sel beta pankreas,

ketidakadekuatan atau kerusakan pada reseptor insulin, produksi insulin

yang tidak aktif dan kerusakan insulin sebelum bekerja.

Diabetes Melitus tipe II dikarakteristikkan dengan hiperglikemia,

resistensi insulin dan kerusakan relatif sekresi insulin [ CITATION Soe182 \l

1033 ]. Diabetes Melitus merupakan penyakit kronik, progresif yang

dikarakteristikan dengan kemampuan tubuh untuk melakukan metabolisme

karbohidrat, lemak, dan protein awal terjadinya hyperglikemia (kadar gula

yang tinggi dalam darah) (Black & Hawk,2009) dalam buku [ CITATION

Dam151 \l 1033 ].

2. Klasifikasi Diabetes

a. Diabetes Tipe I

Diabetes tipe ini muncul ketika pankreas sebagai pabrik insulin

tidak dapat atau kurang mampu memproduksi insulin. Akibatnya,

insulin tubuh kurang atau tidak ada sama sekali. Gula menjadi

9
10

menumpuk dalam peredaran darah karena tidak dapat diangkut ke

dalam sel.

Diabetes tipe I juga disebut insulin-dependent diabetes karena

sipasien sangat bergantung pada insulin. Ia memerlukan suntikan

insulin setiap hari untuk mencukupi kebutuhan insulin dalam tubuh.

Karena biasanya terjadi pada usia yang sangat muda, dulu diabetes tipe

ini juga disebut juvenile diabetes. Namun, kedua istilah ini kita telah

ditinggalkan karena diabetes tipe I kadang juga bisa ditemukan pada

usia dewasa. Di samping itu, diabetes tipe lain bisa juga diobati dengan

suntikan insulin. Oleh karena itu, sekarang istilah yang dipakai adalah

diabetes tipe I.

Diabetes tipe I biasanya adalah penyakit otoimun, yaitu penyakit

yang disebabkan oleh gangguan sistem imun atau kekebalan tubuh si

pasien dan mengakibatkan rusaknya sel pankreas. Teori lain juga

menyebutkan bahwa kerusakan pancreas akibat pengaruh genetik

(keturunan), infeksi virus, atau malnutrisi.

Pengidap diabetes tipe I ini tidak banyak. Namun, jumlahnya

terus meningkat 3% setiap tahun, terutama pada anak 0-14 tahun (data

Diabetes Eropa). Tahun 2015 IDF mencatat ada 542.000 diabetes tipe I

di seluruh dunia, yang akan bertambah 86.000 orang setiap tahun.

Di Indonesia, statistik mengenai diabetes tipe I belum ada,

diperkirakan tidak lebih dari 2%. Mungkin ini disebabkan karena

sebagian karena sebagian tidak terdiagnosis atau tidak diketahui


11

sampai si pasien sudah mengalami komplikasi dan keburu meninggal.

Penyakit ini biasanya pada usia anak atau remaja, baik pria maupun

wanita. Biasanya gejalanya timbul mendadak dan bisa berat sampai

mengakibatkan koma apabila tidak segera ditolong dengan suntikan

insulin.

b. Diabetes Tipe II

Diabetes tipe ini adalah jenis yang paling sering dijumpai.

Biasanya terjadi pada usia di atas 40 tahun, tetapi bisa pula timbul

pada usia di atas 20 tahun. Sekitar 90-95% penderita diabetes adalah

tipe II.

Pada diabetes tipe II, pancreas masih bisa membuat insulin,

tetapi kualitas insulinnya buruk, tidak dapat berfungsi dengan baik

sebagai kunci untuk memasukkan gula ke dalam sel. Akibatnya, gula

dalam darah meningkat. Pasien biasanya tidak perlu tambahan

suntikan insulin dalam pengobatannya, tetapi memerlukan obat untuk

memperbaiki fungsi insulin itu, menurunkan gula, memperbaiki

pengolahan gula di hati, dan lain-lain.

Kemungkinan lain terjadinya diabetes tipe II adalah sel-sel

jaringan tubuh dan otot si pasien tidak peka atau sudah resisten

terhadap insulin (dinamakan resistensi insulin atau insulin resistance)

sehingga gula tidak dapat masuk ke dalam sel dan akhirnya tertimbun

dalam peredaran darah. Keadaan ini umumnya terjadi pada pasien

yang gemuk atau mengalami obesitas.


12

Sama halnya dengan diabetes tipe I, diabetes tipe II juga

mempunyai nama lain, yaitu non insulin-dependnt diabetes atau adult-

onset diabetes. Namun, kedua istilah ini juga kurang tepat karena

diabetes tipe II kadang juga membutuhkan pengobatan dengan insulin

dan bisa timbul pada usia remaja juga.

c. Diabetes Gestasional

Diabetes yang muncul hanya pada saat hamil disebut tipe gestasi

atau gestasional diabetes. Keadaan ini terjadi karena pembentukan

beberapa hormon pada ibu hamil yang menyebabkan resistensi

insulin.

Catatan IDF tahun 2015 ada 20,9 juta orang yang terkena

diabetes gestasi, atau 16,2 % dari ibu hamil dengan persalinan hidup.

Kasus diabetes gestasi paling banyak ditemukan di Negara-negara

Asia Tenggara, lebih tinggi daripada di benua Afrika, yang bisa

berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan ibu hamil.

Diabetes semacam ini biasanya baru diketahui setelah kehamilan

bulan keempat ke atas, kebanyakan pada trimester ketiga (tiga bulan

terakhir kehamilan). Setelah persalinan , pada umumnya gula darah

akan kembali normal.

Namun, yang perlu diwaspadai adalah lebih dari setengah ibu

hamil dengan diabetes akan menjadi tipe II di kemudian hari. Ibu

hamil dengan diabetes harus ekstre waspada dalam menjaga gula


13

darahnya, rajin kontrol gula darah, dan memeriksakan diri ke dokter

agar tidak terjadi komplikasi, baik pada si ibu maupun si janin.

d. Diabetes Tipe Lain

Ada pula diabetes yang tidak termasuk dalam kelompok di atas yaitu

diabetes sekunder atau akibat dari penyakit lain, yang mengganggu

produksi insulin atau memengaruhi kerja insulin. Penyebab diabetes

semacam ini adalah :

1) Radang pankreas (pankreatitis)

2) Gangguan kelenjar adrenal atau hipofisis

3) Penggunaan hormon kortikosteroid

4) Pemakaian beberapa obat anti kolesterol

5) Malnutrisi

6) Infeksi

[ CITATION Tan174 \l 1033 ].

3. Faktor risiko diabetes melitus (DM) Tipe II

Banyak faktor risiko yang memungkinkan orang mendapatkan DM tipe II,

di antaranya adalah (WHO, 2011) dalam buku (Nuari, 2017) :

a. Usia : DM tipe II akan terjadi setelah usia 40 tahun.

b. Obesitas : obesitas sangat tinggi pada DM tipe II.

c. Kurangnya latihan fisik : menunjukkan bahwa aktifitas fisik secara

teratur meningkatkan sensitivitasinsulin dan meningkatkan toleransi

glukosa.
14

d. Perilaku diet : orang overweight yang mengonsumsi diet energi tinggi

memiliki risiko untuk diabetes.

e. Stress berat atau berkepanjangan : stress fisik atau trauma

berhubungan dengan intoleransi glukosa yang disebabkan oleh efek

hormonal pada metabolisme glukosa dan sekresi insulin.

f. Obat-obatan hormon : daftar obat yang mengganggu metabolisme

glukosa telah disusun.

g. Riwayat kehamilan : wanita dengan riwayat DM gestasional atau bayi

lahir besar berat badan melebihi 4 kg berisiko untuk DM.

h. Merokok : perokok berada pada risiko yang lebih tinggi untuk DM tipe

II dan komplikasinya.

i. Riwayat keluarga : 25 % sampai 33% dari semua pasien DM tipe II

memiliki riwayat keluarga diabetes.

j. Etnis : risiko diabetes tipe II lebih tinggi di Afrika Amerika dan

Hispanik dari pada di Kaukasia-Amerika.

4. Patogenesis Diabetes Melitus Tipe II

Pathogenesis diabetes mellitus tipe II ditandai dengan adanya

resistensi insulin perifer, gangguan ‘’hepatic glucose production (HGP)’’,

dan penurunan fungsi sel beta, yang akhirnya akan menuju ke kerusakan

total sel beta.

Pada stadium prediabetes (IFG dan IGT) mula-mula timbul

resistensi insulin (RI) yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi

insulin untuk mengkompensasi RI itu agar kadar glukosa darah tetap


15

normal. Lama kelamaan sel beta akan tidak sanggup lagi mengkompensasi

RI hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta makin

menurun saat itulah diagnosis diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan

fungsi sel beta itu berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama

sekali tidak mampu lagi mengeksresikan insulin, suatu keadaan

menyerupai diabetes tipe I. Kadar glukosa darah makin meningkat

[ CITATION Soe182 \l 1033 ].

5. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik utama diabetes berupa polifagia, poliuria,

polidipsia, kelemahan, berat badan turun, tanpa sebab yang jelas

mengantuk. Kondisi ini dapat berlangsung perlahan dari beberapa hari atau

beberapa minggu berupa kesemutan , gatal, mata kabur, impotensi pada

pria, dan pruritus pada wanita (Arif Mansjoer, 1999 : 580)

Manifestasi klinik lainnya dapat berkembang tergantung pada

komplikasi yang sedang berkembang seiring dengan perjalanan penyakit

[ CITATION Rum141 \l 1033 ].

6. Tata Laksana

Tata laksana DM dapat dibagi menjadi 2 yaitu terapi farmakologi

dan terapi non-farmakologi. Terapi farmakologi menggunakan obat

hipoglikemik oral sementara terapi non-farmakologi dilakukan dengan

terapi gizi dan latihan jasmani (Soegondo, 2009 ; Yunir dan Soebardi,

2009).
16

Dalam aspek psikosomatik, penderita DM dapat mengalami

depresi dan ansietas yang kadangkala memerlukan pengobatan khusus.

Diketahui bahwa faktor emosional atau stress dapat mempengaruhi

perjalanan penyakit dan mengganggu pengobatan DM (Mudjaddid dan

Putranto, 2009) dalam jurnal (Owen, 2016)

7. Komplikasi

Diabetes yang tidak tertangani dengan baik atau tidak terkontrol lama-

kelamaan akan menyebabkan beberapa komplikasi yang menakutkan.

Komplikasi tersebut antara lain :

a. Penyakit jantung koroner, dapat terjadi 2 hingga 4 kali lebih besar

dibanding bukan pengidap DM.

b. Stroke dapat terjadi 2 hingga 5 kali lebih besar dibandingkan dengan

yang bukan pengidap DM.

c. Luka gangren, dapat terjadi 5 kali lebih besar disbanding dengan yang

bukan pengidap DM.

d. Gagal ginjal, bisa terjadi 7 kali lebih besar dibanding bukan pengidap

DM.

e. Buta, dapat terjadi 25 kali lebih besar dibandingkan dengan yang

bukan pengidap DM.

f. Gangguan saraf, seperti keluhan nyeri atau kesemutan pada kaki dan

tangan, impotensi dll.

g. Mudah terkena infeksi pada tubuh, misalnya TBC, infeksi jamur, dll.

[ CITATION Yah181 \l 1033 ].


17

B. Tinjauan Teori Kecemasan

1. Pengertian Kecemasan

Ansietas merupakan respon emosional dan penilaian individu

yang subjektif yang dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan belum

diketahui secara khusus faktor penyebabnya.

Ansietas merupakan emosi dan subjektif tanpada objek yang

spesifik sehingga orang merasakan suatu was-was (khawatir) seolah-olah

ada sesuatu yang buruk akan terjadi dan pada umumnya disertai gejala-

gejala otonomik yang berlangsung beberapa waktu.

Kecemasan merupakan keadaan perasaan afektif yang tidak

menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan

orang terhadap bahaya yang akan datang. Keadaan yang tidak

menyenangkan itu sering kabur dan sulit menunjuk dengan tepat, tetapi

kecemasan itu sendiri selalu dirasakan [ CITATION Les152 \l 1033 ].

2. Tanda dan Gejala Kecemasan

Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami

ansietas [ CITATION Les152 \l 1033 ] antara lain :

a) Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah

tersinggung.

b) Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.

c) Takut sendirian , takut pada keramaian dan banyak orang.

d) Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.

e) Gangguan konsentrasi dan daya ingat.


18

f) Keluhan-keluhan somatic, misalnya rasa sakit padaotot dan tulang,

pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-berdebar, sesak nafas,

gangguan pencernaan, gangguan perkemihan dan sakit kepala.

3. Rentang Respon Kecemasan

Tingkatan kecemasan dibagi menjadi 4 [ CITATION Les152 \l 1033 ], antara

lain :

Respon adaptif Respon maladaptive

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

Tingkat Kecemasan (Peplau, 1952 dalam Hawari, 2001)

Gambar 2.1 Tingkat kecemasan

a. Kecemasan ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan

sehari-hari dan meneybabkan seseorang menjadi waspada dan

meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi

belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi

yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel.lapang persepsi

meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasimeningkat

dan tingkah laku sesuai situasi. Kecemasan ringan mempunyai

karakteristik :

1) Berhubungan dengan ketegangan dalam peristiwa sehari-hari

2) Kewaspadaan meningkat
19

3) Persepsi terhadap lingkungan meningkat

4) Dapat menjadi motivasi positif untuk belajar dan menghasilkan

kreatifitas

5) Respon fisiologis : sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah

meningkat sedikit, gejala ringan pada lambung, muka berkerut,

serta bibir bergetar

6) Respon kognitif : mampu menerima rangsangan yang kompleks,

konsentrasi pada masalah, menyelesaikan maslah secara efektif,

dan terangsang untuk melakukan tindakan

7) Respon perilaku dan emosi : tidak dapat duduk tenang, remor

halus pada tangan, dan suara kadang-kadang meninggi.

b. Kecemasan sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk

memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang

lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun

dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada

tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan

pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat

dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk

belajar namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi menurun,

perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah

ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan

menangis.
20

Kecemasan sedang mempunyai karakteristik :

1) Respon biologis : sering nafas pendek, nadi ekstra sistol dan

tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia,

diare/konstipasi, sakit kepala, sering berkemih, dan letih.

2) Respon kognitif : memusatkan perhatian pada hal yang penting

dan mengesampingkan yang lain, lapang persepsi menyempit, dan

rangsangan dari luar tidak mampu diterima.

3) Respon perilaku dan emosi : gerakan tersentak-sentak, terlihat

lebih tegas, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur, dan

perasaan tidak aman.

c. Kecemasan berat

Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang.

Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada

sesuatuyang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal

lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat

memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada

tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat

tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi

menyempit, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya

sendiri dan keinginanuntuk menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan

tidak berdaya, bingung, disorientasi. Kecemasan berat mempunyai

karakteristik :
21

1) Individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan

mengabaikan hal yang lain.

2) Respon fisiologis : nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik,

berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur, serta tampak

tegang.

3) Respon kognitif : tidak mampu berpikir berat lagi dan

membutuhkan banyak pengarahan/tuntunan, serta lapng persepsi

menyempit.

4) Respon perilaku dan emosi : perasaan terancam meningkat dan

komunikasi menjadi terganggu (verbalisasi cepat).

d. Panik (sangat berat)

Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror

karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak

mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan

geljala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi

pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren , tidak

dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit,

mengalami halusinasi dan delusi.

Panik (kecemasan sangat berat) mempunyai karakteristik :

1) Respon fisiologis : nafas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit

dada, pucat, hipotensi, serta rendahya koordinasi motorik.


22

2) Respon kognitif : gangguan realitas, tidak dapat berfikir logis,

persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi, dan

ketidakmampuan memahami situasi

3) Respon prilaku dan emosi : agitasi, mengamuk dan marah,

ketakutan, berteriak-teriak, kehilangan kendali atau control diri

(aktifitas motorik tidak menentu), perasaan terancam serta dapat

berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan atau orang

lain.

4. Patofisiologi

Kecemasan merupakan respon dari persepsi ancaman yang diterima

oleh system syaraf pusat. Persepsi ini timbul akibat adanya rangsangan

dari luar serta dari dalam yang berupa pengalaman masa lalu dan faktor

genetik. Rangsangan tersebut dipersepsi oleh panca indra, diteruskan dan

direspon oleh sistem syaraf pusat sesuai pola hidup tiap individu. Di dalam

syaraf pusat, proses tersebut melibatkan jalur Cortex Cerebri – Limbic

System – Reticular Activating System – Hypothalamus yang memberikan

impuls kepada kelenjar hipofise untuk mensekresi mediator hormonal

terhadap target organ yaitu kelenjar adrenal, yang kemudian memacu

sistem syaraf otonom melalui mediator hormonal yang lain (Mudjaddid,

2009) dalam jurnal (Owen, 2016).

5. Skala Kecemasan Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)

Kecemasan dapat diukur dengan alat ukur kecemasan yang disebut

HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale). Skala HARS merupakan


23

pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya simptom pada

individu yang mengalami kecemasan. Menurut skala HARS terdapat 14

simptom yang Nampak pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap

item yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor antara 0 sampai dengan 4.

Skala HARS pertama kalidigunakan pada tahun 1950 yang diperkenalkan

oleh Max Hamilton. Skala Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) dalam

penilaian kecemasan terdiri dari 14 item [ CITATION Les152 \l 1033 ],

meliputi :

1) Perasaan cemas firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah

tersinggung.

2) Merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu

3) Ketakutan : takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal

sendiri dan takut pada binatang besar.

4) Gangguan tidur sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari,

tidak pulas dan mimpi buruk.

5) Gangguan kecerdasan : penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit

konsentrasi.

6) Perasaan depresi : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada

hoby, sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari

7) Gejala somatik : nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara

tidak stabil dan kedutan otot

8) Gejala sensorik : perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka

merah dan pucat serta merasa lemah


24

9) Gejala kardiovaskuler : takikardi, nyeri di dada, perasaan tercekik,

sering menarik napas panjang dan merasa napas pendek

10) Gejala pernapasan : rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering

menarik napas panjang dan merasa napas pendek.

11) Gejala gastrointestinal : sulit menelan, obstipasi, berat badan

menurun, mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah

makan, perasaan panas di perut

12) Gejala urogenital : sering kencing, tidak dapat menahan kencing,

aminorea, ereksi lemah atau impotensi

13) Gejala vegetatif : mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu

rom berdiri, pusing atau sakit kepala

14) Perilaku sewaktu wawancara : gelisah, jari-jari gemetar,

mengkerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat

dan napas pendek dan cepat.

Cara penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan

kategori :

0 = tidak ada gejala sama sekali

1 = ringan / satu dari gejala yang ada

2 = sedang / separuh dari gejala yang ada

3 = berat / lebih dari ½ gejala yang ada

4 = sangat berat / semua gejala ada

Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan

item 1-14 denhgan hasil :


25

Skor < 14= tidak ada kecemasan

Skor 14-20 = kecemasan ringan

Skor 21-27 = kecemasan sedang

Skor 28-41 = kecemasan berat

Skor 42-56 = panik / kecemasan sangat berat

6. Penatalaksanaan Kecemasan

Penatalaksanaan ansietas pada tahap pencegahan dan terapi

memerlukan suatu metode pendekatan yang bersifat holistik, yaitu

mencakup fisik (somatik), psikologik atau psikiatrik, psikososial dan

psikoreligius dalam buku [ CITATION Les152 \l 1033 ].

a. Upaya meningkatkan kekebalan terhadap stress, dengan cara :

1) Makan makanan yang bergizi dan seimbang

2) Tidur yang cukup

3) Cukup olahraga

4) Tidak merokok

5) Tidak meminum minuman keras

b. Terapi psikofarmaka

Pengobatan untuk cemas dengan memakai obat-obatan yang

berkhasiat memulihkan fungsi gangguan neuro-transmitter (sinyal

penghantar saraf) di susunan saraf pusat otak (limbic system). Terapi

psikofarmaka yang sering dipakai adalah obat anti cemas (anxiolytic),


26

yaitu seperti diazepam, clobazam, bromazepam, lorazepam, buspirone

HCI, meprobamate dam alprazolam.

c. Terapi somatik

Gejala atau keluhan fisik (somatik) sering dijumpai sebagai gejala

ikutan atau akibat dari kecemasan yang berkepanjangan . untuk

menghilangkan keluhan-keluhan somatic (fisik) itu dapat diberikan

obat-obatan yang ditunjukkan pada organ tubuh yang bersangkutan.

d. Psikoterapi

Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan individu, antara lain :

1) Psikoterapi suportif

2) Psikoterapi re-edukatif

3) Psikoterapi re-konstruktif

4) Psikoterapi kognitif

5) Psikoterapi psiko-dinamik

6) Psikoterapi keluarga

e. Terapi psikoreligius

Untuk meningkatkan keimanan seseorang yang erat hubungannya

dengan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai

problem kehidupan yang merupakan stressor psikososial.

7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Faktor – faktor yang mempengaruhi kecemasan ( Lestari, 2015) adalah

sebagai berikut :

a. Umur
27

b. Keadaan fisik

c. Sosial budaya

d. Tingkat pendidikan

e. Tingkat pengetahuan

8. Hubungan DM dengan Kecemasan

Menurut (Taylor, 1995) Saat seseorang didiagnosis menderita DM

maka respon emosional yang biasanya muncul yaitu penolakan,

kecemasan dan depresi, tidak jauh berbeda dengan penyakit kronis lain.

Penderita DM memiliki tingkat depresi dan kecemasan yang tinggi, yang

berkaitan dengan terapi yang harus dijalani dan terjadinya komplikasi

serius. Kecemasan yang dialami penderita berkaitan dengan terapi yang

harus dijalani seperti diet atau pengaturan makan, pemeriksaan kadar gula

darah, konsumsi obat dan juga olah raga. Selain itu, resiko komplikasi

penyakit yang dapat dialami penderita juga menyebabkan terjadinya

kecemasan.

Alexander dan Seyle mengatakan konflik psikologis, kecemasan,

depresi, dan stress dapat menyebabkan semakin memburuknya kondisi

kesehatan atau penyakit yang diderita oleh seseorang. Penderita DM jika

mengalami kecemasan, akan mempengaruhi proses pengobatan dan

menghambat kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari. Menurut Taylor

(1995) Pasien diabetes yang mengalami kecemasan memiliki kontrol gula

darah yang buruk dan meningkatnya gejala-gejala penyakit (Owen, 2016).


28

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kecemasan dan

depresi memiliki hubungan yang erat dengan DM. Penelitian yang telah

dilakukan oleh Chapman, Shuttleworth, Huber (2014), Alduraywish dkk

(2017), dan Rehman & Kezmi, (2015) menyatakan bahwa terdapat 1.795

responden yang mengalami depresi dan 1.673 responden yang mengalami

kecemasan dari total sampel 2.127 responden. Hal ini dapat ditarik

kesimpulan bahwa ada masalah yang berat antara DM dengan kecemasan

dan depresi.

Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronik yang tidak

dapat disembuhkan. Hal ini menyebabkan pasien DM harus menjalani

diet, olahraga, dan pengobatan yang dilakukan sepanjang hidup. Rumitnya

pengobatan dan mahalnya biaya perawatan menjadikan stresor tersendiri

bagi pasien DM. Selain itu, adanya berbagai komplikasi yang dapat

mempengaruhi kualitas hidup pasien. Komplikasi tersebut dapat berupa

retinopati, neuropati, gagal ginjal, strok, dan jantung. Sehingga hal ini

dapat mengakibatkan reaksi psikologis yang negatif seperti cemas, depresi,

putus asa, dan lebih sering mengeluh tentang permasalahan kesehatannya

(Rehman & kazmi, 2015). Saat cemas saraf di otak akan terangsang

untuk bekerja ekstra. Kinerja yang berlebihan akan memicu saraf otak

mengeluarkan protein bernama Heat Shock Protein (HSP). Protein ini

berfungsi melindungi sel-sel di saraf otak. Namun, jika produksinya terlalu

banyak, HSP dapat merusak sel-sel saraf di otak. Pada jangka panjang,

rusaknya sel-sel saraf dan produksi hormon stres akan mengakibatkan


29

depresi atau stres secara psikis (Prokaltim, 2015). Perasaan cemas dan

depresi sama-sama sangat menguras energi bahkan dapat membuat

kehilangan semangat untuk menjalani hidup khusunya pada pasien DM.

Memang tidak mudah untuk menghilangkan rasa cemas dan depresi.

Namun ada beberapa cara yang dapat dilakukan seperti rekreasi, olahraga

teratur, diet, dan selalu berfikir positif (Hellosehat, 2017). Selain itu

kesadaran akan tingginya risiko kecemasan dan depresi juga penting

karena dibutuhkan perencanaan perawatan yang lebih baik seperti

dukungan psikologis agar pengobatan yang dijalani lebih efektif

(Chapman dkk, 2014) dalam (Sari, anggi, 2018).

9. Hubungan Usia dengan Kecemasan

Menurut Stuart G.W & Laraia M.T (2007) dalam (Vellyana,

Lestari, & Rahmawati, 2017) menyatakan bahwa maturitas atau

kematangan individu akan mempengaruhi kemampuan koping mekanisme

seseorang sehingga individu yang lebih matur sukar mengalami

kecemasan karena individu mempunyai kemampuan adaptasi yang lebih

besar terhadap kecemasan dibandingkan usia yang belum matur. Terbukti

pada penelitian didapatkan usia yang matur yaitu usia dewasa lebih

prevalensi tingkat kecemasannya lebih sedikit dibandingkan dengan usia

remaja. Hal ini membuktikan usia yang matur memiliki kemampuan

koping yang cukup dalam mengatasi kecemasan.

a. Mekanisme terjadinya Kecemasan pada Usia


30

Gangguan kecemasan muncul disebabkan karena beberapa

faktor, diantaranya usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan

kondisi kesehatan. Pada usia dewasa (36-45 tahun) lebih rentan

terkena gangguan kecemasan karena pada usia ini merupakan masa

peralihan dari dewasa muda menjadi dewasa tua karena beberapa

orang menganggap bahwa usia yang lebih tua memiliki pengalaman

yang banyak sehingga ketika mengalami gangguan kecemasan sudah

mengetahui bagaimana mengatasinya dan biasanya usia yang lebih tua

tidak mempunyai banyak beban pikiran.

10. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kecemasan

Menurut Kaplan dan Sadock dalam (Arafah, Hrp, Yustina, &

Ardinata, 2015) faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat

kecemasan pasien antara lain. Faktor-faktor intrinsik (Usia, Jenis Kelamin,

tingkat pendidikan, Pengalaman Pasien Menjalani Pengobatan) dan faktor

ekstrinsik (lamanya terapi, jenis pembiayaan dan dukungan keluarga).

Pria dan wanita berbeda secara psikologis dalam cara mereka

bertindak, dari gaya mereka berkomunikasi sampai cara mereka berusaha

untuk mempengaruhi orang lain. Penelitian akademik menunjukkan

perbedaan besar dalam karakteristik percakapan dan sifat di jenis kelamin.

Penelitian telah menunjukkan bahwa, secara umum, perempuan lebih

sosial-emosional dalam interaksi mereka dengan orang lain, sedangkan

laki-laki lebih mandiri dan tidak emosional (Merchant, 2012) dalam jurnal

(Hasibuan, noviyanti, 2017).


31

Selain itu jenis kelamin juga mempengaruhi tingkat kecemasan

seseorang yaitu wanita memiliki kecemasan tiga kali lebih besar (62%)

dibandingkan pria (21,5%) sedangkan depresi pada wanita 2 kali lipat

lebih besar dari pada laki-laki (Frinatikasari, 2017).

a. Mekanisme terjadinya Kecemasan pada Jenis Kelamin Perempuan

Pada perempuan terdapat faktor hormonal yang mempengaruhi

yaitu perubahan hormon estrogen ketika siklus menstruasi. Perubahan

hormonal ini mempengaruhi neurotrasnmitter serotonin dan adrenalin

sehingga perempuan menjadi lebih sensitif dan ekspresif dalam

mengekspresikan gejala kecemasannya.


32

C. Kerangka Teori

Penderita Diabetes Melitus

Faktor Internal : Faktor Eksternal :


- Usia - Jenis diabetes
- Jenis kelamin - Lama menderita diabetes
- Jenis terapi
- Pekerjaan
- Ada tidaknya penyakit
- Pendidikan
penyerta

Kecemasan

 Penurunan produksi insulin


 Peningkatan produksi glukagon

Akan menyebabkan terganggunya


proses pengobatan dan peningkatan
gejala.

= diteliti
33

= tidak diteliti

Gambar 2.2. Kerangka

Penjelasan :

Pada pasien DM yang merupakan suatu penyakit kronis akan terpapar

stresor sehingga dapat menyebabkan stres. Pasien yang tidak mampu menghadapi

stres akan mengalami cemas dan depresi dimana cemas yang akan diteliti dalam

penelitian ini.

Tingkat kecemasan pada pasien dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

internal dan faktor eksternal dimana faktor internal bagian usia dan jenis kelamin

yang akan diteliti dalam penelitian ini. Tingkat kecemasan yang semakin tinggi

akan mempengaruhi proses pengobatan pada pasien dan meningkatkan keluhan

gejala kecemasan pada pasien.


34

D. Kerangka Konsep

Pada pasien yang menderita Diabetes Melitus tidak mampu menghadapi

stress, dan akan mengalami cemas. Tingkat kecemasan pada pasien dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan faktor eksternal dimana faktor

internal yaitu usia dan jenis kelamin. Dari hasil penelitian ini didapatkan ada

hubungan usia dan jenis kelamin dengan tingkat kecemasan pasien diabetes

melitus tipe II.

Variabel Independen Variabel Dependen

Usia Tingkat Kecemasan Pasien


DM Tipe II
Jenis Kelamin

Keterangan :

: Variabel yang diteliti / independen

: Variabel terikat / dependen


35

: Variabel yang berhubungan

Gambar 2.3 Kerangka konsep

E. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Alternatif (Ha)

a. Ada hubungan antara usia dengan tingkat kecemasan pada pasien

Diabetes Melitus tipe II

b. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kecemasan pada

pasien Diabetes Melitus tipe II

2. Hipotesis Nol (H0)

a. Tidak ada hubungan antara usia dengan tingkat kecemasan pada

pasien Diabetes Melitus tipe II

b. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kecemasan

pada pasien Diabetes Melitus tipe II

Anda mungkin juga menyukai