Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi

Benigna prostate hyperplasia adalah pertumbuhan nodul-nodul

fibriadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai

dari bagian periuretral sebagai proliperasi yang terbatas dan tumbuh

dengan menekan kelenjar normal yang tersisa (Guyton & Hall, 2016)

Benigna prostate hyperplasia adalah kondisi patologis yang paling umum

pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk

intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun (Brunner & Suddarth,

2017)

Transurethral Resection of the Prostate (TURP) adalah suatu

prosedur operasi untuk membuang bagian dalam dari kelenjar prostat,

demi mengurangi gejala yang disebabkan oleh pembesaran prostat.

Prosedur ini berlangsung sekitar 1-2 jam. Sebuah instrumen yang disebut

resectoscope dimasukkan melalui penis dan uretra. Resectoscope

membantu dokter untuk melihat dan memotong jaringan prostat yang

menghambat aliran urine (Aspiani, 2016). Reseksi kalenjar prostat

dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas)

supaya daerah yang akan dioperasi tetap terang dan tidak tertutup oleh

darah. Dampak dari TURP dapat menimbulkan trauma ureter yang

8
9

menyebabkan timbulnya nyeri pada pasien pasca tindakan TURP . Nyeri

akut post TURP BPH disebabkan oleh resektoskopi yang dimasukan

melalui uretra untuk mereksi kalenjar prostat yang obstruksi sehingga

menimbulkan luka bedah yang menyebabkan nyeri. Nyeri pasca operasi

TURP BPH dapat menimbulkan kecemasan yang membuat

ketidaknyamanan dan gangguan rasa aman (Sjamsuhidajat, 2012).

2. Anatomi Fisiologi

Menurut Guyton dan Hall (2016), kelenjar prostat berada dibawah

kandung kemih, mengelilingi uretra posterior dan disebelah proksimalnya

berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat

ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot

dasar panggul.

Gambar 2.1 Anatomi Kelenjar Prostat

Menurut Guyton dann Hall (2016) fisiologi prostat adalah suatu

alat tubuh yang tergantung kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan

mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti. Bagian yang peka terhadap

estrogen adalah bagian tengah, sedangkan bagian tepi peka terhadap


10

androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang

mengalami hiperplasi karena sekresi androgen berkurgan sehingga kadar

estrogen relatif bertambah. Sel-sel kelenjar kelenjar prostat dapat

membentuk enzim asam fosfatase yang paling aktif bekerja.

Prostat bersifat difus dan bermuara ke dalam pelksus santorini.

Persarafan prostat terutama berasal dari simpatis pleksus hipoglaktikus dan

serabut yang berasal dari nervus sakralis ketiga dan keempat melalui

pleksus sakralis. Drainase limfe prostat ke nodi limfatisi obturatoria, iliaka

eksterna dan pre sakralis, serta sangat penting dalam mengevaluasi luas

penyebaran penyakit dari prostat (Purwanto, 2016). Sedangkan menurut

Smeltzer & Barre (2017), sewaktu perangsangan seksual, prostat

mengeluarkan cairan encer seperti susu yang mengandung berbagai enzim

dan ion ke dalam duktus ejakulatorius. Cairan ini menambah volume

cairan vesikula seminalis dan sperma. cairan prostat bersifat basa (alkalis).

Sewaktu mengendap di cairan vagina wanita, bersama ejakulat yang lain,

cairan ini dibutuhkan karena motilitas sperma akan berkurang dalam

lingkungan dengan pH rendah.

3. Etiologi

Menurut Sjamsuhidajat (2012), dengan bertambahnya usia, akan

terjadi perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen karena produksi

estrogen menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada

jaringan adiposa di perifer. Perubahan mikroskopik pada prostat telah


11

terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikrokopik ini

berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria

usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun 80%.

Sekitar 50% dari angka tersebut menyebabkan gejala dan tanda klinis.

Menurut Nursalam (2016), hingga sekarang belum diketahui secara

pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan

bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar

dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang

diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah:

a. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan

estrogen pada usia lanjut.

b. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu

pertumbuhan stroma kelenjar prostat.

c. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel

yang mati. Diduga hormon androgen berperan menghambat

proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi

peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostate. Estrogen

diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat.

d. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal

sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel

epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.


12

Etiologi Nyeri pada Post Operasi TURP Pada klien dengan post

operasi TURP akan mengalami nyeri yang disebabkan oleh beberapa

faktor berikut ini:

a. Tindakan Pembedahan

Pada post operasi TURP nyeri disebabkan karena trauma

(reseksi jaringan prostat), iritasi foley kateter dan traksi kateter

pasca TURP pada luka operasi. Tindakan pembedahan pada

prosedur TURP menyebabkan kerusakan jaringan karena reseksi

pembedahan. Adanya luka atau kerusakan jaringan akan

melepaskan bahan kimia endogen yang dapat mempengaruhi

keberadaan non iseptor yang merupakan saraf aferen primer

untuk menerima dan menyalurkan rangsangan nyeri (Guyton &

Hall, 2016)

b. Adanya Clots (Gumpalan Darah)

Pada pasien post operasi TURP nyeri tidak hanya

diakibatkan hanya pembedahan, namun pasien mengalami nyeri

karena adanya clot darah/gumpalan darah dikandung kencing

sehingga dapat menyumbat kateter. Clots tersebut merupakan

sisa-sisa jaringan hasil reseksi didalam. Gumpalan darah dapat

menyebabkan nyeri jika clot darah / gumpalan darah sangat

banyak sehingga kandung kencing sangat teregang. Nyeri

disebabkan karena cairan irigasi dari penampung tetap menetes


13

sedangkan aliran kateter kebawah tidak lancar, sehingga kandung

kencing melendung (Guyton & Hall, 2016)

4. Klasifikasi

Tabel 2.1
Klasifikasi BPH

Keparahan penyakit Kekhasan gejala dan tanda


Ringan Asimtomatik
Kecepatan urinary puncak<10mL/s
Volume urin residual setelah pengosongan >25-50 mL
Peningkatan BUN dan kreatinin serum
Sedang Semua tanda diatas ditambah obstruktif penghilangan gejaladan iritatif
penghilangan gejala tanda dari destrusor yang tidakstabil)
Parah Semua tanda diatas ditambah satu atau dua lebih komplikasiBPH

Sumber: ISO farmakoterapi 2 hal: 146

Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2012), dibedakan menjadi 3

tingkat seperti terlihat dalam tabel 2.1 yang dinilai berdasakan pemeriksaan fisik

dengan colok dubur dan pemeriksaan sisa volume urin/atau residu urin yang ada

di kandung kemih setelah pasien berkemih dengan menggunakan kateter.

Tabel 2.2
Derajat berat hipertrofi prostat

Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin


I Penonjolan prostat, Batas atas dapat diraba < 50 ml
II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapatdicapai 50 – 100 ml
III Batas atas prostat tidak dapat diraba > 100 ml
IV Batas atas prostat tidak dapat diraba Retensi urin total

Menurut Sjamsuhidajat (2012)

a. Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan tindakan bedah,

diberi pengobatan konservatif.

b. Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan


14

biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethral

resection /tur).

c. Derajat tiga reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan

prostate sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya

dengan pembedahan terbuka, melalui transretropublik/perianal.

d. Derajat empat tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien

dari retensi urine total dengan pemasangan kateter.

5. Manifestasi klinis/tanda gejala

Menurut Purwanto (2016), pasien BPH dapat menunjukkan

berbagai macam tanda dan gejala. Gejala BPH berganti-ganti dari waktu-

kewaktu dan mungkin dapat semakin parah, menjadi stabil, atau semakin

buruk secara spontan. Berbagai tanda dan gejala dapat dibagi dalam dua

kategori: obstruktif (terjadi ketika faktor dinamik/atau faktor statik

mengurangi pengosongan kandung kemih) dan iritatif (hasil dari obstruksi

yang sudah berjalan lama pada leher kandung kemih).

Menurut Toisutta (2018), timbulnya gejala LUTS (lower urinary

tract symptom) merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk

untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli- buli mengalami

kepayahan (fatique) sehingga jatuh kepada fase dekompensasi yang

diwujudkan dalam bentuk retensi urine akut. Adapun gejala dan tanda

yang nampak pada pasien dengan BPH:

a. Retensi urine
15

b. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing

c. Miksi yang tidak puas

d. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia)

e. Miksi harus mengejan

f. Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria)

g. Massa pada abdomen bagian bawah(hematuria)

h. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi

i. Kolikrenal

j. Berat badan turun

Menurut LeMone et al (2016), mengatakan bahwa obstruksi dini

pada saluran keluar yaitu:

a. Pancaran lemah, hesistansi, intermitensi, menetes/dribbling, mengejan

saat berkemih, retensi urin akut.

b. Frekuensi, urgensi, nokturia, disuria,inkontinensia.

c. Kandung kemih yang teraba (atau dapat diperkusi) inkontinensia.

d. Pembesaran prostat yang licin pada pemeriksaan RT.

6. Patofisiologis

Umumnya BPH terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan

hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya

adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma yang progresif menekan

atau mendesak jaringan-jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati

yang menghasilkan kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan


16

perluasannya dan adenoma cenderung tumbuh ke dalam lumennya, yang

membatasi pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan

untuk mengosongkan kandung kemih. Serat-serat muskulus destrusor

berespon hipertropi, yang menghasilkan trabekulasi di dalam kandung

kemih. Pada beberapa kasus jika obstruksi keluar terlalu hebat, terjadi

dekompensasi kandung kemih menjadi struktur yang flasid (lemah),

berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara efektif. Karena terdapat sisa

urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan batu kandung kemih.

Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis. Retensi

progresif bagi air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema hebat.

Menurut (LeMone et al., 2016), pembesaran prostat terjadi secara

perlahan-lahan pada traktus urinarius, terjadi perlahan-lahan. Pada tahap

awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang

mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian

detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya serat

destrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat destrusor ke dalam

mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai

(trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa

vesika dapat menerobos keluar di antara serat destusor sehingga terbentuk

tojolan mukosa, yang apabila kecil dinamakan sekula dan apabila besar

disebut diverkel. Fase penebalan destrusor adalah fase kompensasi yang

apabila berlanjut destrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan

mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga


17

terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi

saluran kemih atas.

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra

prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan

peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli–

buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tekanan itu. Kontraksi

yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli–buli

berupa hipertropi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula,

dan divertikel buli–buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut yang

oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah

atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan

gejala prostatismus(Nursalam, 2016).


18

6. Patofisiologi

Bagan 2.1
Patofisilogi BPH

Perubahan Usia (Usia Lanjut)

Ketidakseimbangan Produkasi Estrogen dan Testosteron

Kadar Testosteron Menurun Kadar Estrogen Meningkat

Proligenerasi Sel Prostat Hiperplasia Sel Stroma Pada Jaringan Prostat

BPH

Pembedahan TUR P

Perdarahan Terputusnya Kontinuitas Jaringan Terpasang Kateter Defisit Pengetahuan

Resiko Kekurangan Volume Cairan Nyeri Akut Adanya Media Masuk Kuman

Resiko Infeksi
19

7. Komplikasi TUR-P

Meskipun TURP merupakan tindakan pembedahan invasif, tetapi

TURP dapat menyebabkan beberapa komplikasi. Komplikasi terbagi atas:

a. Komplikasi intraoperatif

1) Perdarahan

2) Sindrom TURP

3) Ekstravasasi

4) Injuri orifisium atau sfingter eksternal

b. Komplikasi pasca-operasi

1) Bladder tamponade

2) Infeksi

3) Retensi urin

4) Inkontinensi urin

5) Striktur uretra

6) Stenosis leher kandung kemih

7) Ejakulasi retrograde

8) Disfungsi ereksi

9) Rekuren Benign Prostate Hypertrophy

10) Meninggal

Sindrom TURP, Infeksi Perdarahan yang terjadi selama TURP sulit

untuk diukur karena besarnya jumalah cairan irigasi yang digunakan.

Pasien kehilangan darah antara 2,4 – 2,6 mL per menit selama reseksi.
20

Kehilangan darah bisa dilihat dengan mengukur kadar hemoglobin. Faktor

yang memperberat perdarahan adalah ukuran kelenjar prostat yang besar

(>40-60 gr), adanya infeksi, waktu operasi yang lama (>1 jam) dan

penggunaan kateter sebelum operasi.

Rekuren atau perdarahan yang persisten terkadang menyebabkan

terbentuknya klot dan bladder tamponade yang membutuhkan evakuasi

atau intervensi. Perdarahan juga dipengaruhi dari berat jaringan prostat

yang direseksi.

Berdasarkan beberapa penelitian, resiko perdarahan dan kebutuhan

transfusi darah meningkat pada pasien dengan berat jaringan prostat yang

direseksi >30 gram. Sedangkan pasien dengan berat jaringan prostat yang

direseksi berat jaringan prostat yang direseksi <30 gram jarang

membutuhkan transfusi darah

Sindrom TURP disebabkan karena absorpsi cairan irigasi yang

berlebihan (2000 ml atau lebih) yang menyebabkan sakit kepala, cemas,

bingung, dispnoe, aritmia, hipotensi dan kejang.11 Absorpsi cairan irigasi

yang berlebihan juga bisa menyebabkan konsentrasi serum natrium <130

mmol/L.21 Hal ini terjadi 15 menit setelah mulai reseksi atau selambatnya

24 jam pasca-operasi.

Faktor yang mempengaruhi absorpsi cairan irigasi adalah tekanan

hidrostatik dari cairan irigasi, tekanan vena perifer yang rendah, durasi

pembedahan, kehilangan darah yang besar, dan perforasi kandung kemih

atau kapsul prostat.


21

Sebagian besar kematian disebabkan oleh komplikasi dini pasca-

operasi infark miokard. dalam sebagian besar penelitian, kematian terjadi

dalam minggu pertama pasca-operasi oleh karena sepsis, infark miokard

dan emboli pulmonal.

8. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Purwanto (2016), pemeriksaan penunjang yang

seharusnya dilakukan pada pasien dengan BPH adalah:

a. Pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher)

Pemeriksaan colok dubur adalah memasukkan jari telunjuk yang

sudah diberi pelicin ke dalam lubang dubur. Pada pemeriksaan colok

dubur dinilai:

1) Tonus sfingter ani dan refleks bulbo-kavernosus(BCR).

2) Mencari kemungkinan adanya massa didalam lumenrectum.

3) Menilai keadaanprostate.

b. Laboratorium

1) Urinalisa untuk melihat adanya infeksi,hematuria.

2) Ureum, creatinin, elektrolit untuk melihat gambaran fungsiginjal.

c. Pengukuran derajat beratobstruksi

1) Menentukan jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan

(normal sisa urin kosong dan batas intervensi urin lebih dari

100cc).

2) Pancaran urin (uroflowmetri) syarat : jumlah urin dalam vesika 125

s/d 150 ml. angka normal rata-rata 10 s/d 12 ml/detik, obstruksi


22

ringan 6-8ml/detik.

d. Pemeriksaan lain

1) BNO/IVP untuk menentukan adanya divertikel, penebalanbladder

2) USG dengan transuretral ultrasonografi prostat (TRUS P) untuk

menentukan volume prostate

3) Trans-abdominal USG : untuk mendeteksi bagian prostat yang

menonjol ke buli-buli yang dapat dipakai untuk meramalkan

derajat berat obstruksi apabila ada batu dalamvesika.

4) Cystoscopy untuk melihat adanya penebalan pada dindingbladder.

Pasca tindakan TURP atau reseksi prostat transuretral umumnya

memang dilakukan pemeriksaan sampel jaringan untuk diperiksa di

laboratorium patologi anatomi. Tujuannya adalah untuk mengetahui jenis

sel penyebabnya dan adakah kecenderungan sel bersifat ganas. Jika

berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut tergolong sel jinak sebagai

penyebab pembesaran prostat maka selanjutnya tidak diperlukan terapi

khusus lainnya.

Terkait dengan pemeriksaan urin, hambatan aliran urin pada

kecurigaan kasus pembesaran prostat jinak dapat menyebabkan stasis urin

di kandung kemih. Stasis urin berisiko menjadi tempat berkembangnya

bakteri di saluran kemih. Pemeriksaan urin berguna untuk menilai adakah

kelainan di saluran kemih salah satunya infeksi kuman.


23

9. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Nyeri karena tindakan pembedahan

Untuk menangani masalah nyeri akut pada pasien karena

tindakan pembedahan adalah dengan dilakukannya teknik relaksasi

dan distraksi. Tindakan relaksasi mencakup relaksasi otot skeletal

yang dapat menurunkan intensitas nyeri dengan merilekskan

ketegangan otot yang menunjang adanya nyeri. Sedangkan tindakan

distraksi mencakup distraksi visual, pendengaran, pernafasan dan

intelektual. Distraksi dapat menurunkan persepsi nyeri menurunkan

perhatian terhadap nyeri dan meningkatkan toleransi terhadap nyeri

(Smeltzer, S.C, 2015)

b. Penatalaksanaan Nyeri karena adanya Clots (Gumpalan Darah)

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh cara mengatasi

adanya clots pada aliran urin adalah dengan cara spooling

menggunakan spuit 50 cc dengan NaCl 0,9 % dimasukkan pada salah

satu lubang kateter secara perlahan dan dilakukan secara berulang

sampai aliran urine lancar (Smeltzer & Barre, 2017)

B. Proyek Inovasi Intervensi Foot Massage Therapy

1. Definisi

Massage therapy (MT) adalah suatu teknik yang dapat

meningkatkan pergerakan beberapa struktur dari kedua otot dan jaringan


24

subkutan, dengan menerapkan kekuatan mekanik ke jaringan. Pergerakan

ini dapat meningkatkan aliran getah bening dan aliran balik vena,

mengurangi pembengkakan dan memobilisasi serat otot, tendon dengan

kulit. Dengan demikian, massage therapy dapat digunakan untuk

meningkatkan relaksasi otot untuk mengurangi rasa sakit, stres, dan

kecemasan yang membantu pasien meningkatkan kualitas tidur dan

kecepatan pemulihan. Selain itu, massage therapy dapat meningkatkan

pergerakan pasien dan pemulihan setelah operasi, yang memungkinkan

pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Nurlaily Afianti, 2017). Dari

beberapa penelitian menggambarkan bahwa foot massage adalah salah

satu metode yang paling umum dari terapi komplementer. Terapi pijat dan

refleksi merupakan pendekatan terapi manual yang digunakan untuk

memfasilitasi penyembuhan, kesehatan, dan dapat digunakan oleh perawat

di hampir setiap pelayan perawatan. Pada tindakan foot massage berarti

sentuhannya dapat merangsang oksitosin yang merupakan neurotransmiter

di otak yang berhubungan dengan perilaku seseorang, dengan kata lain

sentuhan merangsang produksi hormon yang menyebabkan perasaan aman

dan menurunkan stres serta kecemasan sehingga foot massage dapat

bermanfaat secara fisik dan mental emosional (Aay Rumhaeni, 2019)

2. Tujuan

Untuk kondisi pasien di ruang ICU intervensi foot massage

menjadi pilihan karena kaki mudah diakses tanpa memerlukan reposisi


25

dari pasien dan juga massage pada kaki, selain merangsang sirkulasi dapat

menurunkan edema dan latihan pasif untuk sendinya, serta melalui

intervensi ini perawat dapat memberikan rasa nyaman dan kesejahteraan

bagi pasien. Foot massage menjadi salah satu tindakan massage yang

dikembangkan dan diimplementasikan di rumah sakit dalam manajemen

nyeri non farmakologi (Chanif, 2013). Foot massage dapat membantu

menutup gerbang di posterior horns dari sumsum tulang belakang dan

memblokir bagian dari nyeri ke sistem saraf pusat, selain itu foot massage

juga dapat menurunkan tingkat kecemasan dan stres dengan cara

meningkatkan tingkat dopamine yang ada di tubuh (Abdelaziz &

Mohammed, 2014).

3. Prinsip Pelaksanaan

Menurut (Chanif, 2016) ada lima teknik foot massage, yaitu:

effleurage (pijatan dengan gerakan melingkar berulangkali) , petrissage

(memijat dengan gerakan menekan dan meremas jaringan), tapotement

(memukul dengan gerakan pukulan ringan pada bagian yang berdaging),

vibration(menggetarkan untuk merangsang/menenangkan urat saraf) dan

friction(gerakan menggerus melingkar untuk menghancurkan sisa-sisa

metabolisme tubuh yang menyebabkan otot kaku. Kelima teknik ini

mampu menstimulasi nervus (A-Beta) di kaki dan lapisan kulit yang berisi

tactile dan reseptor. Kemudian reseptor mengirimkan impuls nervus ke

pusat nervus sistem. Sistem gate control diaktivasi melalui inhibitor


26

inteurneuron dimana rangsangan interneuron di hambat, hasilnya fungsi

inhibisi dari T-cell menutup gerbang. Pesan nyeri tidak ditransmisikan ke

nervus sistem pusat. Oleh karena itu, otak tidak menerima pesan nyeri,

sehingga nyeri tidak diinterpretasikan.

Teknik foot massage akan efektif bila dilakukan dengan durasi

waktu pemberian 5-20 menit dengan frekuensi pemberian 1 sampai 2 kali

hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Aay Rumhaeni,

2019) yang menyatakan bahwa foot hand massage yang diberikan 4 kali

selama 20 menit dalam 2 hari dapat menurunkan intensitas nyeri pada

klien dengan Infark Miokard. Berdasarkan uraian diatas tentang foot

massage maka, foot massage dapat dijadikan alternatif utama dalam

pelaksanaan manajemen nyeri non farmakologi pada pasien-pasien post

operasi TUR-P di rumah sakit. Hal ini dikarenakan tindakan foot massage

mudah dilakukan, ekonomis dan terbukti sangat efektif menurunkan nyeri

secara evidance based.

Upaya mengurangi rasa nyeri pada pasien post operasi TUR-P

dengan menggunakan Foot Massage di ruang ICU dimana secara kultur

budaya massage dapat diterima, dan foot massage aman diberikan pada

pasien di ruang ICU, selain tidak perlu merubah posisi pasien TUR-P yang

masih terpasang traksi di hari ke nol post operasinya, massage ini dapat

memberikan rasa aman karena kehadiran perawat yang kontak langsung

skin to skin terhadap pasien.


27

4. Prosedur Pelaksanaan

Prosedur Pelaksanaan Foot Massage adalah sebagai berikut:

a. Perawat mencuci tangan

b. Angkat papan kaki tempat tidur pasien

c. Tempatkan handuk dibawah paha dan tumit

d. Melumuri kedua telapak tangan dengan lotion atau minyak baby oil

e. Lakukan pemijitan kaki dimulai dari telapak kaki sampai dengan

bagian jari-jari kaki selama 15 detik disetiap bagian kaki kanan dan

kiri.

f. Observasi tingkat kenyamanan pasien pada saat dilakukan massage

g. Cuci tangan setelah tindakan

h. Evaluasi catat prosedur termasuk : tindakan yang dilakukan, posisi

yang ditetapkan, kondisi kulit, adanya edema, gerakan sendi, dan

kenyamanan pasien.

i. Lakukan kontrak selanjutnya

j. Perawat mencuci tangan

k. Dokumentasi kegiatan.

Langkah-langkah Foot Massage Therapy:

a. Dengan memakai bagian tumit telapak tangan peneliti, peneliti

menggosok dan memijat telapak kaki pasien secara perlahan dari arah

dalam ke arah sisi luar kaki pada bagian terluas kaki kanan selama 15

detik
28

b. Dengan menggunakan tumit telapak tangan peneliti dibagian sempit

dari kaki kanan, peneliti menggosok dan memijat secara perlahan

bagian telapak kaki pasien dari arah dalam ke sisi luar kaki selama 15

detik

c. Pegang semua jari-jari oleh tangan kanan dan tangan kiri menopang

tumit pasien, kemudian peneliti memutar pergelangan kaki tiga kali

searah jarum jam dan tiga kali berlawanan arah jarum jam selama 15

detik

d. Tahan kaki diposisi yang menunjukan ujung jari kaki mengarah keluar

(menghadap ke peneliti), gerakan maju dan mundur tiga kali selama 15

detik. Untuk mengetahui fleksibilitas

e. Tahan kaki di area yang lebih luas bagian atas dengan menggunakan

seluruh jari (ibu jari ditelapak kaki dan dan empat jari dipunggung

kaki)dan kedua belah bagian kemudian kaki digerakan ke sisi depan

dan belakang tiga kali selama 15 detik

f. Tangan kiri menopang kaki kemudian tangan kanan memutar dan

memijit masing-masing jari kaki sebanyak tiga kali di kedua arah,

untuk memeriksa ketegangan (15 detik)

g. Pegang kaki kanan dengan kuat dengan menggunakan tangan kanan

pada bagian punggung kaki sampai kebawah jari-jari kaki dan tangan

kiri yang menopang tumit, genggam bagian punggung kaki, berikan

pijatan lembut selama 15 detik


29

h. Posisi tangan berganti, tangan kanan menopang tumit dan tangan kiri

yang memegang punggung kaki, sampai bawah jari kaki kemudian

pijat dengan lembut selama 15 detik

i. Pegang kaki dengan lembut tapi kuat dengan tangan kanan dibagian

punggung kaki hingga kebawah jari-jari dan gunakan tangan kiri untuk

menopang tumit dan pergelangan kaki dan berikan tekanan lembut

selama 15 detik

j. Menopang tumit menggunakan tangan kiri dan dengan menggunakan

tangan kanan untuk memutar searah jarum jam dan berlawanan arah

jarum jam serta menerapkan tekanan lembut selama 15 detik

k. Menopang tumit dengan menggunakan tangan kiri dan dengan

menggunakan tangan kanan pada bagian sela-sela jari bagian dalam

dengan gerakan keatas dan kebawah, gerakan lembut selama 15 detik

l. Tangan kanan memegang jari kaki dan tangan kiri memberikan

tekanan ke arah bagian bawah kaki menggunakan tumit tangan dengan

memberikan tekanan lembut selama 15 detik

C. Asuhan Keperawatan Teoritis

1. Pengkajian

Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses

keperawatan. Menurut Wilkinson & Ahern (2013), fokus pengkajian

pasien dengan BPH adalah sebagai berikut:

a. Sirkulasi
30

Pada kasus BPH sering dijumpai adanya penurunan tekanan darah.

Peningkatan nadi sering dijumpai pada kasus postoperasi BPH yang

terjadi karena kekurangan volume cairan.

b. Integritas Ego

Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas

egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan

yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental,

perubahan perilaku.

c. Eliminasi

Pada kasus post operasi BPH terjadi gangguan eliminasi yang terjadi

karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu

adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan

dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh: merah

terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan,

peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain

terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya

konstipasi.

d. Makanan dan cairan

Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek

penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari

anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia,


31

mual, muntah, penurunan berat badan. Tindakan yang perlu dikaji

adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.

e. Nyeri dan kenyamanan

Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan

dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan

yang harus dipenuhi. Pada pasien post operasi biasanya ditemukan

adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung

bawah.

f. Keselamatan/keamanan

Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor

keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat

penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian

paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-

tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada pre

operasi), sedang pada post operasi perlu adanya inspeksi balutan dan

juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada

saluran perkemihannya.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah sebagai berikut :

a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan spasme otot

spincter, adanya tindakan pembedahan.


32

b. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi

sekunder, perubahan sistem irigasi pasca pembedahan.

c. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée

mikroorganisme melalui kateterisasi, dan jaringan terbuka.

d. Resiko perdarahan berhubungan dengan prosedur pembedahan

(TURP).

e. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah

interpretasi informasi, perubahan status kesehatan.

3. Intervensi Keperawatan

Menurut (Nursalam, 2016), rencana keperawatan secara sederhana

dapat diartikan sebagai suatu dokumentasi tulisan tangan dalam

menyelesaikan masalah, tujuan, dan intervensi keperawatan. Adapun

diagnosa keperawatan pada kasus BPH berupa:

Tabel 2.3
Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC


1 Nyeri berhubungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri:
dengan spasme otot perawatan selama 3x24 jam 1. Observasi dan catat
spincter, adanya maka kontrol nyeri dapat lokasi, beratnya dan
tindakan pembedahan. teratasi, dengan kriteria hasil: karakteristik nyeri
1. Melaporkan penurunan (menetap, hilang timbul)
nyeri. 2. Tingkatkan tirah baring,
2. Skala nyeri menunjukkan 2 biarkan klien melakukan
(0-10). posisi yang nyaman.
3. Klien tampak tenang. 3. Dorong menggunakan
teknik relaksasi dengan
latihan pijat kaki.
4. Kaji ulang faktor-faktor
yang menignkatkan atau
menghilangkan nyeri.
5. Kolaborasi pemberian
analgetik sesuai indikasi.
2 Perubahan pola Setelah dilakukan tindakan Manajemen eliminasi:
eliminasi urine keperawatan, menunjukkan pola 1. Lakukan irigasi kateter
33

berhubungan dengan eliminasi utrine adekuat, dengan secara berkala atau terus-
obstruksi sekunder, kriteria hasil: menerus dengan teknik
perubahan sistem irigasi 1. Pasien dapat buang air kecil steril.
pasca pembedahan. teratur bebas dari distensi 2. Atur posisi selang kateter
kandung kemih. dan urin bag sesuai
2. Menunjukan residu pasca gravitasi dalam keadaan
berkemih kurang dari 50 ml. tertutup.
3. Observasi adanya tanda-
tanda shock/hemoragi.
4. Mempertahankan
kesterilan sistem drainage
cuci tangan sebelum dan
sesudah menggunakan
alat dan observasi aliran
urin serta adanya bekuan
darah atau jaringan.
5. Monitor urine setiap jam
(hari pertama operasi)
dan setiap 2 jam (mulai
hari kedua post operasi).
3 Resiko terjadinya infeksi Setelah dilakukan tindakan Manajemen pencegahan
berhubungan dengan keperawatan tidak terjadi infeksi:
port de entrée infeksi, dengan kriteria hasil: 1. Pertahankan sistem
mikroorganisme melalui 1. Tidak ada tanda-tanda infeksi kateter steril.
kateterisasi, dan jaringan seperti radang, dan kemerahan 2. Ambulasi dengan kantung
terbuka 2. TTV dalam batas normal. drainase dependen.
3. Awasi tanda vital,
perhatikan demam ringan,
menggi gil, nadi dan
pernapasan cepat, gelisah,
disorientasi.
4. Observasi drainase dari
luka, sekitar kateter supra
pubik.
5. Observasi terjadinya
tanda-tanda infeksi
(kalor, dolor, rubor,
tumor dan fungsio laesa).
6. Lakukan rawat luka
dengan teknik aseptik.
7. Kolaborasi dengan tim
dokter dalam pemberian
antibiotik
4 Resiko perdarahan Setelah dilakukan tindakan Hydration management:
berhubungan dengan keperawatan tidak terjadi 1. Monitor keadaan umum
prosedur pembedahan perdarahan, dengan kriteria pasien.
(TURP). hasil: 2. Observasi vital sign
1. Vital sign dalam batas sesuai indikasi.
normal. 3. Pantau output cairan
2. Tidak ada tandatanda selama tindakan
perdarahan. continuous bladder
3. Tidak ada dehidrasi. irrgation.
5 Ansietas berhubungan Setelah dilakukan tindakan Pengajaran
dengan proses penyakit. perawatan pasien dan keluarga prosedur/perawatan:
memahami tentang prognosis, 1. Kaji tingkat kecemasan
34

kondisi, dan pengobatan, klien.


dengan kriteria hasil: 2. Beri kesempatan kepada
1. Mengetahui tentang penyakit klien untuk
yang diderita. mengungkapkan
2. Mengetahui tentang tindakan perasaannya.
pencegahan terhadap 3. Beri penjelasan kepada
komplikasi. klien dan keluarga
tentang penyakit yang
dialami klien.
4. Ciptakan lingkungan
yang tenang.
(Nursalam, 2016)

4. Implementasi Keperawatan

Selama tahap implementasi, perawat melaksanakan rencana asuhan

keperawatan. Instruksi keperawatan diimplementasikan untuk membantu

klien memenuhi kebutuhan yang telah direncanakan.

5. Evaluasi

Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk

mencapai kemampuan klien dan tujuan dengan melihat perkembangan

klien. Evaluasi klien BPH dilakukan berdasarkan kriteria yang telah

ditetapkan sebelumnya pada tujuan, yaitu :

a. Nyeri dapat teratasi atau hilang.

b. Mempertahankan hidrasi adekuat.

c. Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti radang, dan kemerahan.

d. Tidak ada tanda-tanda perdarahan.

e. Mengetahui tentang penyakit yang diderita.

Anda mungkin juga menyukai