Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)

A. Anatomi dan Fisiologi


Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan
oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat
yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa
urin (air kemih). Sistem perkemihan terdiri dari:
1. Dua ginjal (ren) yang menghasilkan urine.
2. Dua ureter yang membawa urine dari ginjal ke vesika urinari
(kandung kemih).
3. Satu vesika urinaria (VU), tempat urine dikumpulkan.
4. Satu urethra, urine dikeluarkan dari vesika urinaria.

Gambar Anatomi Sistem Perkemihan

B. Definisi
Benigna prstatic hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering
terjadi sebagai hasil pertumbuhan dan pengendalian hormone prostat (Elin
2011, dalam Nurarif, 2015).
C. Manifestasi Klinis
1. Gejala pada umumnya
a. Selalu ingin berkemih, terutama pada malam hari.
b. Nyeri saat buang air kecil.
c. Inkontinensia urine atau beser.
d. Sulit mengeluarkan urine.
e. Mengejan pada waktu berkemih.
f. Aliran urine tersendat-sendat.
g. Mengeluarkan urine yang disertai darah.
h. Merasa tidak tuntas setelah berkemih.
2. Berdasarkan gejala dan tanda:
a. Ringan
1) Asimtomatik.
2) Kecepatan urinary puncak <10ml/s.
3) Volume urin residual setelah pengosongan >25-50 ml.
4) Peningkatan BUN dan kreatinin serum.
b. Sedang
Sama seperti tanda diatas ditambah obstruktif penghilangan gejala
dan iritatif penghilangan gejala.
c. Parah
Sama seperti diatas ditambah satu atau dua lebih komplikasi BPH.
3. Berdasarkan berat derajat dari pemeriksaan colok dubur dan sisa
volume urin menurut Wim de Jong (2005):
a. Derajat I
1) Penonjolan prostat batas atas mudah diraba.
2) Sisa volume urin <50 ml.
b. Derajat II
1) Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai.
2) Sisa volume urine 50-100 ml.
c. Derajat III
1) Batas atas prostat tidak dapat teraba.
2) Sisa volume urine >100 ml.
d. Derajat IV
1) Batas atas prostat tidak dapat diraba.
2) Retensi urine total.

D. Etiologi
Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan
testosteron esterogen karena produksi testosterone menurun dan terjadi
konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose perifer. Karena
proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-perlahan, efek perubahan
juga terjadi perlahan-lahan (Wim de Jong, 2005).

E. Patofisiologi
Patofisiologi benigna prostat hiperplasia disebabkan karena beberapa
faktor, yaitu faktor usia dan hormonal. Seiring bertambahnya usia, kelenjar
prostat akan mengalami pembesaran. Pembesaran prostat ini dipengaruhi oleh
hormon androgen, terutama dihidrotestosteron dan testosteron. Kadar
testosteron dalam kelenjar prostat mengalami penurunan seiring dengan
bertambahnya usia, hal ini disebabkan karena adanya isoenzim alfa-5-
reduktase mengubah testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT). Penurunan
kadar testosteron ini kemudian akan mengakibatkan ketidakseimbangan
hormon androgen, sehingga terjadi peningkatan rasio esterogen/androgen
dalam serum serta jaringan prostat, terutama pada stroma. DHT juga akan
berikatan dengan reseptor androgen pada nukleus sel, sehingga dapat
menyebabkan hiperplasia.
Prostat dibagi ke dalam 3 zona, yaitu zona sentral, zona perifer, dan zona
transisional. Zona perifer terletak pada sisi posterior sampai lateral dari uretra
dan merupakan zona terbesar, yaitu sekitar 75% dari seluruh kelenjar prostat.
Zona sentral berukuran lebih kecil dan terletak disekitar duktus ejakulatorius.
Bagian terkecil dari prostat merupakan zona transisional, yaitu sekitar 5% yang
terletak pada kedua sisi uretra pars prostatika. Pada benigna prostat hiperplasia,
zona transisional membesar hingga 95% dan menekan zona lain. Pembesaran
zona transisional ini dapat menyebabkan obstruksi saluran kemih dan juga pada
beberapa pasien gejalanya minimal. Hal ini terjadi karena turunnya elastisitas
uretra pars prostatika karena penurunan kolagen dan peningkatan proteoglikan,
sehingga uretra pars prostatika lebih resisten terhadap tekanan dan pembesaran
terjadi lebih banyak ke arah luar. Jika pembesaran terjadi ke arah dalam, akan
terjadi penekanan pada lumen urethra pars prostatika, sehingga menyebabkan
obstruksi saluran kemih/bladder outlet obstruction (BOO).
Obstruksi pada saluran kemih akan membuat tekanan intravesika
meningkat, sehingga buli-buli harus berkontraksi lebih untuk melawan
kenaikan tekanan tersebut setiap kali miksi. Kontraksi berlebih ini lama-lama
dapat menyebabkan hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
divertikula, sakula, ataupun selula pada buli-buli. Fase di mana hipertrofi otot
detrusor ini terjadi disebut dengan fase kompensasi dinding otot. Bila keadaan
ini berlangsung secara kronis, otot detrusor akan mengalami dekompensasi dan
tidak mampu lagi untuk berkontraksi, sehingga menyebabkan retensi urin
dalam vesika urinaria yang dapat menjadi infeksi ataupun batu. Tekanan tinggi
yang terus menerus ini juga menyebabkan terjadinya aliran balik urin dari buli-
buli ke ureter, sehingga menyebabkan hidroureter ataupun hidronefrosis.
Perubahan-perubahan struktur ini akan menyebabkan terbentuknya gejala
LUTS, baik obstruktif ataupun iritatif.

F. Pathway

Estrogen dan Factor Sel prostat Prolikerasi


testosteron pertumbuhan umur panjang abnormal sel stem
tidak seimbang
pertumbuhan Sel yang mati Sel yang mati
sel struma berkurang berkurang

Prostat membesar

Penyempitan TURP
lumen posterior
Iritasi mukosa Pemasangan DC Kurangnya
Obstruksi
kandung kencing/ informasi terhadap
Retensi urine terputusnya pembedahan
jaringan
Cemas
Risiko Ransangan luka
perdaraha saraf
n diameter Tempat masuknya
Gate kontrol mikroorganisme
terbuka
Risiko infeksi
Nyeri akut

G. (Terlampir)

H. Penatalaksanaan
1. Watchful Waiting
Pasien tidka mendapatkan terapi apapun dan hamnya diberi penjelasan
mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya,
misalnya jangan terlalu banyak minum dan mengonsumsi kopi atau alkohol
setelah makan malam, kurang konsumsi makanan atau minuman yang
menyebabkan iritasi pada buli-buli misalnnya kopi dan cokelat, batasi obat
obatan influenza yang menggandung fenilpropanolamin, kurangi makanan
pedas dan asin, dan jangan menahan kencing terlalu lain. Setiap enam bulan
pasien diminta untuk kontrol dan ditanya dan diperiksa tentang perubahan
keluhan yang dirasakan, penilaian IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine,
maupun volume residual urine. Jika keluhan miksi bertambah jelekdaripada
sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan untuk memberikan terapi yang lain.

2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau mengurangi
volume prostat sebagai komponen statik. Jenis obbat yang digunakan
adalah:
a. Antagonis adregernik reseptor α yang dapat berupa.
b. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride.
c. Fitofarmaka.
3. Terapi Intervensi
Terapi intervensi dibagi kedalam dua gelombang, yaitu teknik ablasi
jaringan prostat atau pembedahan dan teknik instrumentasi alternatif.
Termasuk ablasi jaringan prostat adalah: pembedahan terbuka, TURP, TUIP,
TUVP, laser prostatektomi. Sedangkan teknik instrumentasi alternatif adalah
interstisial laser coagulation, TUNA, TUMT, dilatasi balon, dan stent
uretra.
Reseksi prostat transuretral (TURP). Prosedur yang dilakukan dengan
bantuan alat yang disebut resektoskop ini bertujuan untuk menurunkan
tekanan pada kandung kemih dengan cara menghilangkan kelebihan
jaringan prostat. Efek samping operasi TURP adalah pembengkakan uretra.
Karena itu pasien yang menjalani TURP biasanya tidak akan bisa berkemih
secara normal selama dua hari dan harus dibantu dengan menggunakan
kateter. Alat ini akan dilepas dokter setelah kondisi uretra pulih kembali.
Selain efek samping, operasi TURP juga dapat menimbulkan komplikasi
berupa ejakulasi retrograde, yaitu sperma tidak akan mengalir melalui penis
melainkan masuk ke dalam kandung kemih.
Vaporisasi prostat transuretral (TUVP). Tujuan prosedur ini hampir
sama dengan TURP. Namun dalam TUVP, bagian prostat yang ditangani
akan dihancurkan dan tidak dipotong. Jika penghancuran jaringan prostat
dalam prosedur TUVP dibantu dengan sinar laser, maka metode tersebut
dinamakan photovaporization (PVP).
Transurethral microwave thermotherapy (TUMT). Dokter akan
memasukkan alat yang dapat memancarkan gelombang mikro ke area
prostat melalui uretra. Energi gelombang mikro dari alat tersebut akan
menghancurkan bagian dalam dari kelenjar prostat yang membesar,
sehingga mengecilkan ukuran prostat serta memperlancar aliran urine.
Prosedur ini umumnya hanya dilakukan untuk BPH yang ukurannya tidak
terlalu besar dan sifatnya hanya sementara, sehingga seringkali dibutuhkan
TUMT ulangan.
Transurethral needle ablation (TUNA). Dokter akan menancapkan
jarum-jarum pada kelenjar prostat pasien, kemudian gelombang radio akan
dialirkan pada jarum-jarum tersebut. Efeknya, jaringan prostat yang
menghalangi aliran urine akan memanas dan hancur. Sama seperti TUMT,
tindakan ini hanya bersifat sementara sehingga dibutuhkan terapi ulangan.
Insisi prostat transuretral (TUIP). Prosedur ini menggunakan alat yang
sama dengan TURP, yaitu resektoskop. Namun pada TUIP, dokter akan
memperluas saluran uretra agar urine bisa mengalir secara lancar dengan
cara membuat irisan pada otot persimpangan antara kandung kemih dan
prostat. Efek samping prosedur ini sama dengan TURP, yaitu pasien tidak
akan bisa berkemih secara normal selama waktu tertentu dan harus dibantu
dengan menggunakan kateter. Prosedur ini berisiko lebih rendah dalam
menyebabkan ejakulasi retrograde.

I. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi ureum (BUN),
kreatinin, elektrolit, tes sensitivitas dan biakan urine.
2. Radiologi
Pemeriksaan radiologi meliputi intravena pylografi, BNO, sistogram,
retrograd, USG, CT-Scan, cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi
sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk, ultrasonografi
dapat dilakukan secara transabdominal atau trans rectal (TRUS = Trans
Rectal Ultra Sonografi) selain untuk mengetahui untuk mengetahui
pembesaran prostat juga dapat mengetahui volume buli-buli, mengukur sisa
urine, dan keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan batu.
3. Prostatektomi Retro Pubis
Pembuatan insisi pada abdomen bawah, tapi kandung kemih tidak
dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematosis prostat diangkat melalui insisi
pada anterior kapsula prostat.
4. Prostatektomi Parineal
Pembedahan dengan mengangkat kelenjar prostat melalui perineum.

J. Komplikasi
Pembesaran prostat jinak (BPH) kadang-kadang dapat mengarah pada
komplikasi akibat ketidakmampuan kandung kemih dalam mengosongkan urin.
Beberapa komplikasi yang mungkin dapat timbul antara lain:
1. Infeksi saluran kemih.
2. Penyakit batu kandung kemih.
3. Retensi urin akut atau ketidakmampuan berkemih.
4. Kerusakan kandung kemih dan ginjal.

K. Pengkajian Keperawatan yang Diperlukan


1. Identitas
2. Keluhan utama: sesak napas
3. Riwayat kesehatan: pasien BPH dengan post operasi TURP
4. Pemeriksaan fisik
a. B1 (Breath) : Distress napas, odem paru, hipoksia, sianosis.
b. B2 (Blood) : Hipertensi, aritmia.
c. B3 (Brain : Penurunan kesadaran, TIK meningkat, konfusi
sampai koma.
d. B4 (Bladder) : Gagal ginjal akut
e. B5 (Bowel) : Mual,muntah
f.B6 (Bone) : gatal-gatal pada kulit
L. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, pembedahan.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer yang tidak
adekuat,prosedur invasive.
3. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit,perawatan dan
pengobatannya berhubungan dengan kurang familier terhadap informasi,
kognitif.
4. Potensial komplikasi: perdarahan.
M.Rencana Keperawatan meliputi Tujuan dan Implementasi
Berdasarkan NOC dan NIC
1. Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
(pembedahan).
a. Tujuan: Setelah dilakukan askep 2x24 jam tingkat kenyamanan
klien meningkat, nyeri terkontrol.
b. Kriteria hasil
1) Nyeri berkurang.
2) Skala nyeri 2-3.
3) Ekspresi wajah tenang dan dapat istirahat tidur.
4) Tanda vital dalam rentang normal.
c. Intervensi:
1) Kaji nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor presipitasi.
2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidak nyamanan.
3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri klien sebelumnya.
4) Berikan lingkungan yang tenang.
5) Kurangi faktor presipitasi nyeri.
6) Anjurkan teknik non farmakologis (relaksasi,distraksi)
untuk mengatasi nyeri.
7) Kolaborasi dengan tim medis lain dalam pemberian
analgesik.
2. Dx 2: Resiko infeksi b.d pertahanan tubuh primer yang tidak
adekuat, prosedur invasif,luka perdarahan
a. Tujuan: Setelah dilakukan askep 2x24 jam infeksi terkontrol dan
terdeteksi.
b. Kriteria hasil:
1) Bebas dari tanda dan gejala infeksi.
2) Angka lekosit normal (4-11,000).
c. Intervensi
1) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.
2) Monitor hitung granulosit dan WBC.
3) Monitor kerentanan terhadap infeksi.
4) Pertahankan teknik aseptik untuk setiap tindakan.
5) Infeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase.
6) Inspeksi keadaan luka dan sekitarnya.
7) Dorong klien untuk intake nutrisi dan cairan yang adekuat.
8) Anjurkan istirahat cukup.
9) Ajari dan anjarkan klien untuk meningkatkan mobilitas dan
latihan.
10) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain dalam pemberian
terapi.
3. Dx 3: Kurang pengetahuaan tentang
penyakit,perawatan,pengobatannya b.d kurang familier terhadap
informasi,terbatasnya kognitif.
a. Tujuan: Setelah dilakukan askep 1x24 jam, pemgetahuan klien
meningkat.
b. Kriteria hasil:
1) Klien mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan.
2) Klien kooperatif saat dilakukan tindakan.
c. Intervensi
1) Kaji tingkat pengetahuan klien tentang proses penyakit.
2) Jelaskan tentang patofisiologi penyakit, tanda dan gejala
serta penyebabnya.
3) Sediakan informasi tentang kondisi pasien.
4) Berikan informasi tentang perkembangan klien.
5) Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin
diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang
dan atau kontrol proses penyakit.
6) Diskusikan tentang pilihan tentang terapi atau kontrol
proses penyakit.
7) Diskusikan tentang pilihan tentang terapi atau pengobatan.
8) Jelaskan alasan dilaksanakannya tindakan atau terapi.
9) Dorong klien untuk menggali pilihan-pilihan atau
memperoleh alternatif pilihan.
10) Jelaskan kemungkinan komplikasi yang mungkin terjadi.
11) Anjurkan klien untuk mencegah efek samping dari penyakit.
12) Gali sumber-sumber atau dukungan yang ada.
13) Anjurkan klien untuk melaporkan tanda dan gejala yang muncul
pada petugas kesehatan.
4. Dx 4: Potential komplikasi (PK): Perdarahan.
a. Tujuan: Setelah dilakukan askep 1x24 jam perawat akan
menangani atau mengurangi komplikasi dari pada perdarahan dan klien
mengalami peningkatan Hb > 10 gr %.
b. KH: Pasien mengalami peningkatan Hb > 10 gr %.
c. Intervensi
1) Pantau tanda dan gejala perdarahan post op (drainage, drip
spool,urine).
2) Monitor tanda-tanda vital.
3) Pantau laborat Hb, HMT, AT.
4) Kolaborasi untuk transfusi bila terjadi perdarahan.
5) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk terapinya.
6) Pantau perdarahan pada daerah yang dilakukan operasi.

DAFTAR PUSTAKA

Hahn RG, The Transurethral Resection Syndrom. Acta Anaesthesion Scand.


1991 ; 35 (7); 557-567. Leslie SW. Transurethral Resection of the Prostate.
Dari www.emedicine.com/MED/topic3071.htm. Diakses pada 8 Mei 2019.
Marrero AS, Prodigalidad AM, Ambrosio AZ. Prediction and Early Diagnosis of
Transurethral Prostatectomy Syndrome. Members
http://members.tripod.com/nktiuro/paper2.htm. Diakses pada 8 Mei 2019.
Moorthy HK,Philip S.TURP Syndrome, Current Concepts In The
Pathophysiology And Management.Indian J Urol 2001;17:97-102
Nurarif, A.H. dan Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosis Medis dan Nanda-Nic-Noc (3rd ed). Yogyakarta: Mediaction.

Anda mungkin juga menyukai