B. KLASIFIKASI
Gagal ginjal kronis dibagi menjadi lima stadium berdasarkan laju penyaringan (filtrasi)
glomerulus (Glomerular Filtration Rate = GFR) yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini. GFR
normal adalah 90 - 120 mL/min/1.73 m2.
Stadium GFR Deskripsi
(ml/menit/1.73m2)
1 90 120 Kerusakan minimal pada ginjal, filtrasi masih
normal atau sedikit meningkat.
2 60-89 Fungsi ginjal sedikit menurun
3 30-59 Penurunan fungsi ginjal yang sedang
4 15-29 Penurunan fungsi ginjal yang berat
5 Kurang dari 15 Gagal ginjal stadium akhir (End Stage Renal
Disease)
C. PENYEBAB
Penyebab gagal ginjal akut dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu :
1. Penyebab prerenal, yakni berkurangnya aliran darah ke ginjal. Hal ini dapat disebabkan
oleh :
a. Hipovolemia (volume darah yang kurang), misalnya karena perdarahan yang hebat.
b. Dehidrasi karena kehilangan cairan, misalnya karena muntah-muntah, diare,
berkeringat banyak dan demam.
c. Dehidrasi karena kurangnya asupan cairan.
d. Obat-obatan, misalnya obat diuretic yang menyebabkan pengeluaran cairan berlebihan
berupa urin.
e. Gangguan aliran darah ke ginjal yang disebabkan sumbatan pada pembuluh darah
ginjal.
2. Penyebab renal di mana kerusakan terjadi pada ginjal.
a. Sepsis: Sistem imun tubuh berlebihan karena terjadi infeksi sehingga menyebabkan
peradangan dan merusak ginjal.
b. Obat-obatan yang toksik terhadap ginjal.
c. Rhabdomyolysis: terjadinya kerusakan otot sehingga menyebabkan serat otot yang
rusak menyumbat sistem filtrasi ginjal. Hal ini bisa terjadi karena trauma atau luka
bakar yang hebat.
d. Multiple myeloma.
e. Peradangan akut pada glomerulus, penyakit lupus eritematosus sistemik, Wegener's
granulomatosis, dan Goodpasture syndrome.
3. Penyebab postrenal, di mana aliran urin dari ginjal terganggu.
a. Sumbatan saluran kemih (ureter atau kandung kencing) menyebabkan aliran urin
berbalik arah ke ginjal. Jika tekanan semakin tinggi maka dapat menyebabkan
kerusakan ginjal dan ginjal menjadi tidak berfungsi lagi.
b. Pembesaran prostat atau kanker prostat dapat menghambat uretra (bagian dari saluran
kemih) dan menghambat pengosongan kandung kencing.
c. Tumor di perut yang menekan serta menyumbat ureter.
d. Batu ginjal.
D. PATOFISIOLOGI
a. Fase mula
Ditandai dengan penyempitan pembuluh darah ginjal dan menurunnya aliran darah
ginjal, terjadi hipoperfusi dan mengakibatkan iskemi tubulus renalis. Mediator
vasokonstriksi ginjal mungkin sama dengan agen neurohormonal yang meregulasi aliran
darah ginjal pada keadaan normal yaitu sistem saraf simpatis, sistem renin - angiotensin ,
prostaglandin ginjal dan faktor faktor natriuretik atrial. Sebagai akibat menurunnya aliran
darah ginjal maka akan diikuti menurunnya filtrasi glomerulus.
b. Fase maintenance.
Pada fase ini terjadi obstruksi tubulus akibat pembengkaan sel tubulus dan
akumulasi dari debris. Sekali fasenya berlanjut maka fungsi ginjal tidak akan kembali
normal walaupun aliran darah kembali normal.Vasokonstriksi ginjal aktif merupakan titik
tangkap patogenesis gagal ginjal dan keadaan ini cukup untuk mengganggu fungsi ekskresi
ginjal. Macam-macam mediator aliran darah ginjal tampaknya berpengaruh. Menurunnya
cardiac output dan hipovolemi merupakan penyebab umum oliguri perioperative.
Menurunnya urin mengaktivasi sistem saraf simpatis dan sistem renin - angiotensin.
Angiotensin merupakan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dan menyebabkan
menurunnya aliran darah ginjal.
c. Gagal ginjal kronik
Pada gagal ginjal kronik , terjadi banyak nephron-nephron yang rusak sehingga
nephron yang ada tidak mampu memfungsikan ginjal secara normal. Dalam keadaan
normal, sepertiga jumlah nephron dapat mengeliminasi sejumlah produk sisa dalam tubuh
untuk mencegah penumpukan di cairan tubuh. Tiap pengurangan nephron berikutnya,
bagaimanapun juga akan menyebabkan retensi produk sisa dan ion kalium. Bila kerusakan
nephron progresif maka gravitasi urin sekitar 1,008. Gagal ginjal kronik hampir selalu
berhubungan dengan anemi berat.
Retensi cairan dan natrium dapat mengakibatkan edema, CHF, dan hipertensi.
Hipotensi dapat terjadi karena aktivitas aksis renin angitensin dan kerja sama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron. Kehilangan garam mengakibatkan risiko hipotensi dan
hipovolemia. Muntah dan diare menyebabkan perpisahan air dan natrium sehingga status
uremik memburuk (Nursalam dan Fransisca, 2008).
Asidosis metabolik akibat ginjal tidak mampu mensekresi asam (H) yang
berlebihan. Penurunan sekresi asam akibat tubulus ginjal tidak mampu men sekresi
ammonia dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan ekskresi fosfat dan
asam organik lain terjadi (Nursalam dan Fransisca, 2008).
Anemia terjadi akibat produksi eritropoietin yang tidak memadai, memendeknya
usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecendurungan untuk mengalami perdarahan
akibat status uremik pasien, terutama dari saluran pencernaan. Eritropoietin yang
diproduksi oleh ginjal, menstimulasi sumsum tulang untuk menhasilkan sel darah merah,
dan produksi eritropoietin menurun sehingga mengakibatkan anemia berat yang disertai
keletihan, angina, dan sesak napas (Nursalam dan Fransisca, 2008).
Pada gagal ginjal kronik filtrasi glomerulus rata-rata menurun dan selanjutnya
terjadi retensi air dan natrium yang sering berhubungan dengan hipertensi. Hipertensi akan
berlanjut bila salah satu bagian dari ginjal mengalami iskemi. Jaringan ginjal yang iskemi
mengeluarkan sejumlah besar renin , yang selanjutnya membentuk angiotensin II, dan
seterusnya terjadi vasokonstriksi dan hipertensi.
Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal kronik, antara lain:
1. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus,
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus, Eritomatosus
Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, (Volume Overload) neuropati perifer, proritus, uremic,
frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidiosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
khlorida).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dan
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin peningkatan kadar
asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi: proteiuria, leukosuria, cast, isostenuria.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi
ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil
(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik,
gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.
G. PENATALAKSANAAN
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya menurut
Suwitra (2007) antara lain:
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
LFG
Derajat Rencana Tatalaksana
(ml/mn/1,73m2)
1 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi
perburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskuler
2 60-80 Menghambat perburukan (progession) fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 15 Terapi pengganti ginjal
Di bawah ini merupakan penjelasan dari penatalaksanaan penyakit ginjal kronik
berdasarkan tabel diatas adalah:
1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal
yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal
dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG
sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah
tidak banyak bermanfaat.
2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed
factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid antara lain,
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus dengan cara penggunaan obat-obatan nefrotoksik, hipertensi berat,
gangguan elektrolit (hipokalemia). Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus adalah:
a. Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik (Suwitra
2007).
H. PENGKAJIAN
1. Demografi
Lingkungan yang tercemar oleh timah, cadmium, merkuri, kromium dan sumber air
tinggi kalsium beresiko untuk gagal ginjal kronik, kebanyakan menyerang umur 20-50
tahun, jenis kelamin lebih banyak perempuan, kebanyakan ras kulit hitam.
2. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat infeksi saluran kemih, penyakit peradangan, vaskuler hipertensif, gangguan
saluran penyambung, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati
toksik dan neropati obstruktif.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit vaskuler hipertensif, penyakit metabolik, riwayat menderita penyakit
gagal ginjal kronik.
4. Pola kesehatan fungsional
a. Pemeliharaan kesehatan
Penggunaan obat laksatif, diamox, vitamin D, antacid, aspirin dosis tinggi, personal
hygiene kurang, konsumsi toxik, konsumsi makanan tinggi kalsium, purin, oksalat,
fosfat, protein, kebiasaan minum suplemen,control tekanan darah dan gula darah
tidak teratur pada penderita tekanan darah tinggi dan diabetes mellitus.
b. Pola nutrisi dan metabolik
Perlu dikaji adanya mual, muntah, anoreksia, intake cairan inadekuat, peningkatan
berat badan cepat (edema), penurunan berat badan (malnutrisi), nyeri ulu hati, rasa
metalik tidak sedap pada mulut (pernafasan amonia), penggunanan diuretic, demam
karena sepsis dan dehidrasi.
c. Pola eliminasi
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut), abdomen kembung,
diare konstipasi, perubahan warna urin.
d. Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan ekstrim, kelemahan, malaise, keterbatsan gerak sendi.
e. Pola istirahat dan tidur
Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen)
f. Pola persepsi sensori dan kognitif
Rasa panas pada telapak kaki, perubahan tingkah laku, kedutan otot, perubahan
tingkat kesadaran, nyeri panggul, sakit kepala, kram/nyeri kaki (memburuk pada
malam hari), perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah, penglihatan kabur, kejang,
sindrom kaki gelisah, rasa kebas pada telapak kaki, kelemahan khusussnya
ekstremitas bawah (neuropati perifer), gangguan status mental, contoh penurunan
lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau.
g. Persepsi diri dan konsep diri
Perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, menolak, ansietas, takut,
marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian, kesulitan menentukan kondisi,
contoh tak mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran.
h. Pola reproduksi dan seksual
Penurunan libido, amenorea, infertilitas, impotensi dan atropi testikuler.
i. Pengkajian fisik
1) Keluhan umum : lemas, nyeri pinggang.
2) Tingkat kesadaran komposmentis sampai koma.
3) Pengukuran antropometri : berat badan menurun, lingkar lengan atas (LILA)
menurun.
4) Tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi lemah, disritmia,
pernapasan kusmaul, tidak teratur.
j. Kepala
1) Mata: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur, edema
periorbital.
2) Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.
3) Hidung : pernapasan cuping hidung
4) Mulut : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia, mual,muntah serta
cegukan, peradangan gusi.
k. Leher : pembesaran vena leher.
l. Dada dab toraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan dangkal dan
kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis, edema pulmoner, friction rub
pericardial.
m. Abdomen : nyeri area pinggang, asites.
n. Genital : atropi testikuler, amenore.
o. Ekstremitas : capirally refill time > 3 detik,kuku rapuh dan kusam serta tipis,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, foot drop, kekuatan otot.
p. Kulit : ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu, mengkilat atau
hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan rapuh, memar (purpura), edema.
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan melemah
2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi renal
3. Gangguan Pertukaran gas nerhubungan dengan perubahan membran kapiler paru.
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury
5. Mual berhubungan dengan paparan toksin
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan ketidakseimbangan suplay oksigen
J. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa
No. Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1. Kelebihan volume NOC: NIC:
cairan berhubungan Fluid balance Fluid Management:
dengan mekanisme Tujuan : 1. Pertahankan intake dan output
pengaturan melemah Setelah dilakukan tindakan secara akurat
keperawatan selama 3x24 2. Kolaborasi dalam pemberian
jam kelebihan volume diuretik
cairan teratasi dengan 3. Batasi intake cairan pada
kriteria: hiponatremi dilusi dengan serum
1. Tekanan darah (4) Na dengan jumlah kurang dari
2. Nilai nadi radial dan 130 mEq/L
perifer (4) 4. Atur dalam pemberian produk
3. MAP (4) darah (platelets dan fresh frozen
4. CVP (4) plasma)
5. Keseimbangan intake 5. Monitor status hidrasi
dan output dalam 24 jam (kelembaban membrane mukosa,
(4) TD ortostatik, dan keadekuatan
6. Kestabilan berat badan dinding nadi)
(4) 6. Monitor hasil laboratorium yang
7. Serum elektrolit (4) berhubungan dengan retensi
8. Hematokrit (4) cairan (peningkatan kegawatan
9. Asites (4) spesifik, peningkatan BUN,
10. Edema perifer (4) penurunan hematokrit, dan
peningkatan osmolalitas urin)
7. Monitor status hemodinamik
(CVP, MAP, PAP, dan PCWP)
jika tersedia
8. Monitor tanda vital
Hemodialysis Therapy:
1. Timbang BB sebelum dan
sesudah prosedur
2. Observasi terhadap dehidrasi,
kram otot dan aktivitas kejang
3. Observasi reaksi tranfusi
4. Monitor TD
5. Monitor BUN,Creat, HMT
danelektrolit
6. Monitor CT
C. Mekanisme Hemodialisis
Prinsip dari Hemodialisis adalah dengan menerapkan proses osmotis dan ultrafiltrasi
pada ginjal buatan, dalam membuang sisa-sisa metabolisme tubuh. Pada
hemodialisis, darah dipompa keluar dari tubuh lalu masuk kedalam mesin dialiser (yang
berfungsi sebagai ginjal buatan) untuk dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses difusi
dan ultrafiltrasi oleh cairan khusus untuk dialisis (dialisat). Tekanan di dalam ruang
dialisat lebih rendah dibandingkan dengan tekanan di dalam darah, sehingga cairan,
limbah metabolik dan zat-zat racun di dalam darah disaring melalui selaput dan masuk ke
dalam dialisat. Proses hemodialisis melibatkan difusi solute (zat terlarut) melalui suatu
membrane semipermeable. Molekul zat terlarut (sisa metabolisme) dari kompartemen
darah akan berpindah kedalam kompartemen dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut
dapat melewati membran semipermiabel demikian juga sebaliknya. Setelah dibersihkan,
darah dialirkan kembali ke dalam tubuh (Permadi, 2011).
Mesin hemodialisis (HD) terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan
dialisat, dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah dari tempat
tusukan vaskuler ke alat dialiser. Dialiser adalah tempat dimana proses HD berlangsung
sehingga terjadi pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat. Sedangkan
tusukan vaskuler merupakan tempat keluarnya darah dari tubuh penderita menuju dialiser
dan selanjutnya kembali lagi ketubuh penderita. Kecepatan dapat di atur biasanya diantara
300-400 ml/menit. Lokasi pompa darah biasanya terletak antara monitor tekanan arteri dan
monitor larutan dialisat. Larutan dialisat harus dipanaskan antara 34-39 C sebelum
dialirkan kepada dializer. Suhu larutan dialisat yang terlalu rendah ataupun melebihi suhu
tubuh dapat menimbulkan komplikasi. Sistem monitoring setiap mesin HD sangat penting
untuk menjamin efektifitas proses dialisis dan keselamatan (Permadi, 2011).
Pada saat proses Hemodialisis, darah kita akan dialirkan melalui sebuah saringan
khusus (Dialiser) yang berfungsi menyaring sampah metabolisme dan air yang berlebih.
Kemudian darah yang bersih akan dikembalikan kedalam tubuh. Pengeluaran sampah dan
air serta garam berlebih akan membantu tubuh mengontrol tekanan darah dan kandungan
kimia tubuh jadi lebih seimbang.
Hemodialisis idealnya dilakukan selama 10-15 jam per minggu. Namun waktu yang
dibutuhkan terlalu lama, sehingga hemodialisis sering dilakukan selama 4-5 jam dengan
frekuensi 2 kali seminggu pada interval 2 hari diantara hemodialisis. Frekuensi menjalani
hemodialisis dilakukan agar menyeimbangkan kembali kadar garam, air dan pH yang
tidak normal akibat gagal ginjal kronik (Widyastuti, 2014).
D. Prinsip Hemodialisa
1. Akses Vaskuler :
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik biasanya
memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara. Akut memiliki akses
temporer seperti vascoth.
2. Membran semi permeable
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan kontak diantara
darah dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi.
3. Difusi
Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang menyebabkan pemindahan zat
terlarut adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang konsentrasi tinggi ke area
dengan konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi tercipta antara darah dan dialisat yang
menyebabkan pemindahan zat pelarut yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang
dibutuhkan.
4. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan mengambil
bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan tersebut.
5. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai ultrafiltrasi artinya
adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga tipe dari tekanan
dapat terjadi pada membrane :
a. Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan dalam
membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan resisten vena
terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan positip mendorong cairan
menyeberangi membrane.
b. Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane oleh
pompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan negative menarik cairan keluar
darah.
c. Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang
berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut. Larutan dengan
kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari larutan lain dengan
konsentrasi yang rendah yang menyebabkan membrane permeable terhadap air.
E. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat hemodialisis, antara lain:
a. Hipotensi
Dapat terjadi selama dialisis ketika cairan dikeluarkan.
b. Emboli udara
Jarang terjadi, namun bisa terjadi akibat udara yang memasuki sistem vaskular pasien.
c. Nyeri dada
Terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sikulasi di luar tubuh.
d. Pruritus
Selama terapi adanya produk akhir metabolisme yang tersisa di dalam kulit
e. Gangguan keseimbangan dialisis
Akibat perpindahan cairan cerebral dan muncul sebagai serangan kejang, berpotensi
besar jika terdapat uremia yang berat.
f. Malnutrisi
Akibat kontrol diet dan kehilangan nutrient selama hemodialisa.
g. Fatigue dan kram
Pasien dapat mengalami kecapean akibat hipoksia yang disebabkan edema pulmoner.
Hipoksia pulmoner terjadi akibat retensi cairan dan sodium.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, Syamsir dan Hadibroto, Iwan. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama
Aziz, M. Farid, dkk. 2008. Panduan Pelayanan Medik: Model Interdisiplin Penatalaksanaan
kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal.
Baradero, Mary, dkk. 2005. Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta:
EGC
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. 2000. Rencana
Asuhan Keperawatan; Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Faiz, Omar dan Moffat, David. 2004. Anatomy at a Glance. Jakarta: Penerbit Erlangga
Ignatavicius, DD,. & Workman. L,. (2006). Medical surgical nursing, critical thinking for
collaborative care. Elsevier Saunders.
James, Joyce, dkk. 2008. Prinsip-prinsip Sains untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit
Erlangga
McCloskey, 1996, Nursing Interventions Classification (NIC), Mosby, US
Nanda, 2009, Nursing Diagnosis Deffinition and Classification, Mosby year Book. USA
Price, Sylvia A and Willson, Lorraine M, 1996, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
penyakit, Edisi empat, EGC, Jakarta
Ralph & Rosenberg, 2003, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2005-2006,
Philadelphia USA
OCallaghan, Chris. 2009. At A Glance Sistem Ginjal Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Smeltzer, S.S.B. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B,.Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (Ed). (2009). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. (Edisi 4). Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Penyakit Dalam
FKUI
Suwitra, Ketut. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI.