Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

GAGAL GINJAL KRONIK


A. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan
ireversibel, yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer 2008).
Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi
glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 yang terjadi
selama lebih dari 3 bulan (Kallenbach et al. 2005).

B. KLASIFIKASI
Gagal ginjal kronis dibagi menjadi lima stadium berdasarkan laju penyaringan (filtrasi)
glomerulus (Glomerular Filtration Rate = GFR) yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini. GFR
normal adalah 90 - 120 mL/min/1.73 m2.
Stadium GFR Deskripsi
(ml/menit/1.73m2)
1 90 120 Kerusakan minimal pada ginjal, filtrasi masih
normal atau sedikit meningkat.
2 60-89 Fungsi ginjal sedikit menurun
3 30-59 Penurunan fungsi ginjal yang sedang
4 15-29 Penurunan fungsi ginjal yang berat
5 Kurang dari 15 Gagal ginjal stadium akhir (End Stage Renal
Disease)
C. PENYEBAB
Penyebab gagal ginjal akut dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu :
1. Penyebab prerenal, yakni berkurangnya aliran darah ke ginjal. Hal ini dapat disebabkan
oleh :
a. Hipovolemia (volume darah yang kurang), misalnya karena perdarahan yang hebat.
b. Dehidrasi karena kehilangan cairan, misalnya karena muntah-muntah, diare,
berkeringat banyak dan demam.
c. Dehidrasi karena kurangnya asupan cairan.
d. Obat-obatan, misalnya obat diuretic yang menyebabkan pengeluaran cairan berlebihan
berupa urin.
e. Gangguan aliran darah ke ginjal yang disebabkan sumbatan pada pembuluh darah
ginjal.
2. Penyebab renal di mana kerusakan terjadi pada ginjal.
a. Sepsis: Sistem imun tubuh berlebihan karena terjadi infeksi sehingga menyebabkan
peradangan dan merusak ginjal.
b. Obat-obatan yang toksik terhadap ginjal.
c. Rhabdomyolysis: terjadinya kerusakan otot sehingga menyebabkan serat otot yang
rusak menyumbat sistem filtrasi ginjal. Hal ini bisa terjadi karena trauma atau luka
bakar yang hebat.
d. Multiple myeloma.
e. Peradangan akut pada glomerulus, penyakit lupus eritematosus sistemik, Wegener's
granulomatosis, dan Goodpasture syndrome.
3. Penyebab postrenal, di mana aliran urin dari ginjal terganggu.
a. Sumbatan saluran kemih (ureter atau kandung kencing) menyebabkan aliran urin
berbalik arah ke ginjal. Jika tekanan semakin tinggi maka dapat menyebabkan
kerusakan ginjal dan ginjal menjadi tidak berfungsi lagi.
b. Pembesaran prostat atau kanker prostat dapat menghambat uretra (bagian dari saluran
kemih) dan menghambat pengosongan kandung kencing.
c. Tumor di perut yang menekan serta menyumbat ureter.
d. Batu ginjal.
D. PATOFISIOLOGI
a. Fase mula
Ditandai dengan penyempitan pembuluh darah ginjal dan menurunnya aliran darah
ginjal, terjadi hipoperfusi dan mengakibatkan iskemi tubulus renalis. Mediator
vasokonstriksi ginjal mungkin sama dengan agen neurohormonal yang meregulasi aliran
darah ginjal pada keadaan normal yaitu sistem saraf simpatis, sistem renin - angiotensin ,
prostaglandin ginjal dan faktor faktor natriuretik atrial. Sebagai akibat menurunnya aliran
darah ginjal maka akan diikuti menurunnya filtrasi glomerulus.
b. Fase maintenance.
Pada fase ini terjadi obstruksi tubulus akibat pembengkaan sel tubulus dan
akumulasi dari debris. Sekali fasenya berlanjut maka fungsi ginjal tidak akan kembali
normal walaupun aliran darah kembali normal.Vasokonstriksi ginjal aktif merupakan titik
tangkap patogenesis gagal ginjal dan keadaan ini cukup untuk mengganggu fungsi ekskresi
ginjal. Macam-macam mediator aliran darah ginjal tampaknya berpengaruh. Menurunnya
cardiac output dan hipovolemi merupakan penyebab umum oliguri perioperative.
Menurunnya urin mengaktivasi sistem saraf simpatis dan sistem renin - angiotensin.
Angiotensin merupakan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dan menyebabkan
menurunnya aliran darah ginjal.
c. Gagal ginjal kronik
Pada gagal ginjal kronik , terjadi banyak nephron-nephron yang rusak sehingga
nephron yang ada tidak mampu memfungsikan ginjal secara normal. Dalam keadaan
normal, sepertiga jumlah nephron dapat mengeliminasi sejumlah produk sisa dalam tubuh
untuk mencegah penumpukan di cairan tubuh. Tiap pengurangan nephron berikutnya,
bagaimanapun juga akan menyebabkan retensi produk sisa dan ion kalium. Bila kerusakan
nephron progresif maka gravitasi urin sekitar 1,008. Gagal ginjal kronik hampir selalu
berhubungan dengan anemi berat.
Retensi cairan dan natrium dapat mengakibatkan edema, CHF, dan hipertensi.
Hipotensi dapat terjadi karena aktivitas aksis renin angitensin dan kerja sama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron. Kehilangan garam mengakibatkan risiko hipotensi dan
hipovolemia. Muntah dan diare menyebabkan perpisahan air dan natrium sehingga status
uremik memburuk (Nursalam dan Fransisca, 2008).
Asidosis metabolik akibat ginjal tidak mampu mensekresi asam (H) yang
berlebihan. Penurunan sekresi asam akibat tubulus ginjal tidak mampu men sekresi
ammonia dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan ekskresi fosfat dan
asam organik lain terjadi (Nursalam dan Fransisca, 2008).
Anemia terjadi akibat produksi eritropoietin yang tidak memadai, memendeknya
usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecendurungan untuk mengalami perdarahan
akibat status uremik pasien, terutama dari saluran pencernaan. Eritropoietin yang
diproduksi oleh ginjal, menstimulasi sumsum tulang untuk menhasilkan sel darah merah,
dan produksi eritropoietin menurun sehingga mengakibatkan anemia berat yang disertai
keletihan, angina, dan sesak napas (Nursalam dan Fransisca, 2008).
Pada gagal ginjal kronik filtrasi glomerulus rata-rata menurun dan selanjutnya
terjadi retensi air dan natrium yang sering berhubungan dengan hipertensi. Hipertensi akan
berlanjut bila salah satu bagian dari ginjal mengalami iskemi. Jaringan ginjal yang iskemi
mengeluarkan sejumlah besar renin , yang selanjutnya membentuk angiotensin II, dan
seterusnya terjadi vasokonstriksi dan hipertensi.

E. TANDA DAN GEJALA


Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal,
kondisi lain yang mendasari, dan usia pasien.
1. Kardiovaskuler :
a. Pada gagal ginjal kronis mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari
aktivasi system rennin-angiotensin-aldosteron)
b. Pitting edema (kaki, tangan, sakrum)
c. Edema periorbital
d. Gagal jantung kongestif
e. Edema pulmoner (akibat cairan berlebih)
f. Pembesaran vena leher
g. Nyeri dada dan sesak napas akibat perikarditis (akibat iritasi pada lapisan pericardial
oleh toksin uremik), efusi pericardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis
yang timbul dini, dan gagal jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
h. Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis, gangguan elektrolit dan kalsifikasi
metastatic.
2. Dermatologi/integument :
a. Rasa gatal yang parah (pruritis) dengan ekskoriasis akibat toksin uremik dan
pengendapan kalsium di pori-pori kulit.
b. Warna kulit abu-abu mengkilat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom.
c. Kulit kering, bersisik
d. Kuku tipis dan rapuh
e. Rambut tipis dan kasar
3. Gastrointestinal :
a. Fetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh bakteri
di mulut menjadi ammonia sehingga napas berbau ammonia. Akibat lain adalah
timbulnya stomatitis dan parotitis
b. Ulserasi dan perdarahan pada mulut
c. Anoreksia, mual, muntah yang berhubungan dengan gangguan metabolism di dalam
usus, terbentuknya zat-zat toksik akibat metabolism bakteri usus seperti ammonia dan
metil guanidine, serta sembabnya mukosa usus
d. Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui
e. Konstipasi dan diare
f. Perdarahan dari saluran GI (gastritis erosive, ulkus peptic, dan colitis uremik)
4. Neurologi :
a. Ensefalopati metabolic. Kelemahan dan keletihan, tidak bias tidur, gangguan
konsentrasi, tremor, asteriksis, mioklonus, kejang
b. Konfusi
c. Disorientasi
d. Kelemahan pada tungkai
e. Rasa panas pada telapak kaki
f. Perubahan perilaku
g. Burning feet syndrome. Rasa kesemutan dan seperti terbakar, terutama di telapak kaki.
5. Muskuloskleletal :
a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Fraktur tulang
d. Foot drop
e. Restless leg syndrome. Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan
f. Miopati. Kelemahan dan hipertrofi otot-otot terutama otot-otot ekstremitas proksimal.
6. Reproduksi :
a. Atrofi testikuler
b. Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-laki akibat produksi
testosterone dan spermatogenesis yang menurun. Sebab lain juga dihubungkan dengan
metabolic tertentu (seng, hormone paratiroid). Pada wanita timbul gangguan
menstruasi, gangguan ovulasi sampai amenore
7. Hematologi :
a. Anemia, dapat disebabkan berbagai factor antara lain :
- Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan eritropoesis pada
sumsum tulang menurun.
- Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik.
- Defisiensi besi, asam folat, dan lain-lain, akibat nafsu makan yang berkurang.
- Perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan kulit
b. Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder
c. Gangguan perfusi trombosit dan trombositopenia. Mengakibatkan perdarahan akibat
agregasi dan adhesi trombosit yang berkurang serta menurunnya factor trombosit III
dan ADP (adenosine difosfat).
d. Gangguan fungsi leukosit. Fagositosis dan kemotaksis berkurang, fungsi limfosit
menurun sehingga imunitas juga menurun.
8. Endokrin :
a. Gangguan metabolism glukosa, resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Pada
gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin<15 mL/menit), terjadi penurunan klirens
metabolic insulin menyebabkan waktu paruh hormone aktif memanjang. Keadaan ini
dapat menyebabkan kebutuhan obat penurun glukosa darah akan berkurang.
b. Gangguan metabolisme lemak
c. Gangguan metabolisme vitamin D
9. Sistem lain :
a. Tulang: osteodistrofi renal, yaitu osteomalasia, osteitis fibrosa, osteosklerosis, dan
kalsifikasi metastatic
b. Asidosis metabolic akibat penimbunan asam organic sebagai hasil metabolisme.
c. Elektrolit : hiperfosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi dalam (24 jam
48) jam setelah ginjal rusak.
2. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
3. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan memekatkan : menetap
pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
4. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan rasio urin/
serum saring (1 : 1).
5. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan ginjal.
6. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal tidak mampu
mengabsorpsi natrium.
7. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
8. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan warna merah
diduga nefritis glomerulus.

Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal kronik, antara lain:
1. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus,
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus, Eritomatosus
Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, (Volume Overload) neuropati perifer, proritus, uremic,
frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidiosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
khlorida).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dan
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin peningkatan kadar
asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi: proteiuria, leukosuria, cast, isostenuria.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi
ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil
(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik,
gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

G. PENATALAKSANAAN
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya menurut
Suwitra (2007) antara lain:
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
LFG
Derajat Rencana Tatalaksana
(ml/mn/1,73m2)
1 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi
perburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskuler
2 60-80 Menghambat perburukan (progession) fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 15 Terapi pengganti ginjal
Di bawah ini merupakan penjelasan dari penatalaksanaan penyakit ginjal kronik
berdasarkan tabel diatas adalah:
1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal
yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal
dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG
sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah
tidak banyak bermanfaat.
2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed
factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid antara lain,
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus dengan cara penggunaan obat-obatan nefrotoksik, hipertensi berat,
gangguan elektrolit (hipokalemia). Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus adalah:
a. Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik (Suwitra
2007).

LFG ml/mnt Asupan protein g/kg/hr Fosfat g/kg/hr


60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hr, termasuk 0,35 gr/kg/hr 10 g
nilai biologi tinggi
5-25 0,6-0,8/kg/hr, termasuk 0,35 gr/kg/hr 10 g
protein nilai biologis tinggi /tambahan
0,3 g asam amino esensial / asam keton
60 (SN) 0,8/kg/hr (+ 1 gr protein/ g proteinuria 9 g
atau 0,3 g / kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton
Pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.
Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih (protein overload) akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah
dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan
meningkattkan progresifitas pemburuan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein
juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu
berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah
terjadinya hiperfosfatemia.
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi hipertensi, memperkecil risiko
gangguan kardiovaskuler juga memperlambat pemburukan kerusakan nefron.
Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angiotensin
(Angiotensin Converting Enzym/ ACE inhibitor dapat memperlambat proses
perburukan fungsi ginjal.

H. PENGKAJIAN
1. Demografi
Lingkungan yang tercemar oleh timah, cadmium, merkuri, kromium dan sumber air
tinggi kalsium beresiko untuk gagal ginjal kronik, kebanyakan menyerang umur 20-50
tahun, jenis kelamin lebih banyak perempuan, kebanyakan ras kulit hitam.
2. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat infeksi saluran kemih, penyakit peradangan, vaskuler hipertensif, gangguan
saluran penyambung, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati
toksik dan neropati obstruktif.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit vaskuler hipertensif, penyakit metabolik, riwayat menderita penyakit
gagal ginjal kronik.
4. Pola kesehatan fungsional
a. Pemeliharaan kesehatan
Penggunaan obat laksatif, diamox, vitamin D, antacid, aspirin dosis tinggi, personal
hygiene kurang, konsumsi toxik, konsumsi makanan tinggi kalsium, purin, oksalat,
fosfat, protein, kebiasaan minum suplemen,control tekanan darah dan gula darah
tidak teratur pada penderita tekanan darah tinggi dan diabetes mellitus.
b. Pola nutrisi dan metabolik
Perlu dikaji adanya mual, muntah, anoreksia, intake cairan inadekuat, peningkatan
berat badan cepat (edema), penurunan berat badan (malnutrisi), nyeri ulu hati, rasa
metalik tidak sedap pada mulut (pernafasan amonia), penggunanan diuretic, demam
karena sepsis dan dehidrasi.
c. Pola eliminasi
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut), abdomen kembung,
diare konstipasi, perubahan warna urin.
d. Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan ekstrim, kelemahan, malaise, keterbatsan gerak sendi.
e. Pola istirahat dan tidur
Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen)
f. Pola persepsi sensori dan kognitif
Rasa panas pada telapak kaki, perubahan tingkah laku, kedutan otot, perubahan
tingkat kesadaran, nyeri panggul, sakit kepala, kram/nyeri kaki (memburuk pada
malam hari), perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah, penglihatan kabur, kejang,
sindrom kaki gelisah, rasa kebas pada telapak kaki, kelemahan khusussnya
ekstremitas bawah (neuropati perifer), gangguan status mental, contoh penurunan
lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau.
g. Persepsi diri dan konsep diri
Perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, menolak, ansietas, takut,
marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian, kesulitan menentukan kondisi,
contoh tak mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran.
h. Pola reproduksi dan seksual
Penurunan libido, amenorea, infertilitas, impotensi dan atropi testikuler.
i. Pengkajian fisik
1) Keluhan umum : lemas, nyeri pinggang.
2) Tingkat kesadaran komposmentis sampai koma.
3) Pengukuran antropometri : berat badan menurun, lingkar lengan atas (LILA)
menurun.
4) Tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi lemah, disritmia,
pernapasan kusmaul, tidak teratur.
j. Kepala
1) Mata: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur, edema
periorbital.
2) Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.
3) Hidung : pernapasan cuping hidung
4) Mulut : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia, mual,muntah serta
cegukan, peradangan gusi.
k. Leher : pembesaran vena leher.
l. Dada dab toraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan dangkal dan
kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis, edema pulmoner, friction rub
pericardial.
m. Abdomen : nyeri area pinggang, asites.
n. Genital : atropi testikuler, amenore.
o. Ekstremitas : capirally refill time > 3 detik,kuku rapuh dan kusam serta tipis,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, foot drop, kekuatan otot.
p. Kulit : ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu, mengkilat atau
hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan rapuh, memar (purpura), edema.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan melemah
2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi renal
3. Gangguan Pertukaran gas nerhubungan dengan perubahan membran kapiler paru.
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury
5. Mual berhubungan dengan paparan toksin
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan ketidakseimbangan suplay oksigen

J. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa
No. Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1. Kelebihan volume NOC: NIC:
cairan berhubungan Fluid balance Fluid Management:
dengan mekanisme Tujuan : 1. Pertahankan intake dan output
pengaturan melemah Setelah dilakukan tindakan secara akurat
keperawatan selama 3x24 2. Kolaborasi dalam pemberian
jam kelebihan volume diuretik
cairan teratasi dengan 3. Batasi intake cairan pada
kriteria: hiponatremi dilusi dengan serum
1. Tekanan darah (4) Na dengan jumlah kurang dari
2. Nilai nadi radial dan 130 mEq/L
perifer (4) 4. Atur dalam pemberian produk
3. MAP (4) darah (platelets dan fresh frozen
4. CVP (4) plasma)
5. Keseimbangan intake 5. Monitor status hidrasi
dan output dalam 24 jam (kelembaban membrane mukosa,
(4) TD ortostatik, dan keadekuatan
6. Kestabilan berat badan dinding nadi)
(4) 6. Monitor hasil laboratorium yang
7. Serum elektrolit (4) berhubungan dengan retensi
8. Hematokrit (4) cairan (peningkatan kegawatan
9. Asites (4) spesifik, peningkatan BUN,
10. Edema perifer (4) penurunan hematokrit, dan
peningkatan osmolalitas urin)
7. Monitor status hemodinamik
(CVP, MAP, PAP, dan PCWP)
jika tersedia
8. Monitor tanda vital

Hemodialysis Therapy:
1. Timbang BB sebelum dan
sesudah prosedur
2. Observasi terhadap dehidrasi,
kram otot dan aktivitas kejang
3. Observasi reaksi tranfusi
4. Monitor TD
5. Monitor BUN,Creat, HMT
danelektrolit
6. Monitor CT

Peritoneal Dialysis Therapy:


1. Jelaskan prosedur dan tujuan
2. Hangatkan cairan dialisis
sebelum instilasi
3. Kaji kepatenan kateter
4. Pelihara catatan volume
inflow/outflow dan keseimbangan
cairan
5. Kosongkan bladder sebelum
insersi peritoneal kateter
6. Hindari peningkatan stres
mekanik pada kateter dialisis
peritoneal (batuk)
7. Pastikan penanganan aseptik pada
kateter dan penghubung
peritoneal
8. Ambil sampel laboratorium dan
periksa kimia darah (jumlah
BUN, serum kreatinin, serum Na,
K, dan PO4)
9. Cek alat dan cairan sesuai
protokol
10. Kelola perubahan dialysis
(inflow, dwell, dan outflow)
sesuai protokol
11. Ajarkan pasien untuk memonitor
tanda dan gejala yang
mebutuhkan penatalaksanaan
medis (demam, perdarahan, stres
resipratori, nadi irreguler, dan
nyeri abdomen)
12. Ajarkan prosedur kepada pasien
untuk diterapkan dialisis di
rumah.
13. Monitor TD, nadi, RR, suhu, dan
respon klien selama dialisis
14. Monitor tanda infeksi (peritonitis)
2. Resiko NOC: NIC:
ketidakseimbangan Electrolyte Balance Electrolyte Management
elektrolit berhubungan Tujuan: 1. Berikan cairan sesuai resep, jika
dengan disfungsi renal Setelah dilakukan asuhan diperlukan
selama 3x24 jam 2. Pertahankan keakuratan intake
ketidakseimbangan dan output
elektrolit teratasi dengan 3. Berikan elektrolit tambahan
kriteria hasil: sesuai resep jika diperlukan
1. Peningkatan sodium (4) 4. Konsultasikan dengan dokter
2. Peningkatan potassium tentang pemberian obat
(4) elektrolit-sparing (misalnya
3. Peningkatan klorida (4) spiranolakton), yang sesuai
5. Berikan diet yang tepat untuk
ketidakseimbangan elektrolit
pasien
6. Anjurkan pasien dan / atau
keluarga pada modifikasi diet
tertentu, sesuai
7. Pantau tingkat serum potassium
dari pasien yang memakai
digitalis dan diuretik
8. Atasi aritmia jantung
9. Siapkan pasien untuk dialisis
10. Pantau elektrolit serum normal
11. Pantau adanya manifestasi dari
ketidakseimbangan elektrolit
3. Gangguan pertukaran NOC: NIC:
gas berhubungan Respiration status: Gas Oxygen Therapy
dengan perubahan Exchange 1. Pertahankan kepatenan jalan
membrane kapiler napas
paru Tujuan: 2. Kelola pemberian oksigen
Setelah dilakukan tambahan sesuai resep
keperawatan selama 2x24 3. Anjurkan pasien untuk
jam klien Gangguan mendapatkan resep oksigen
pertukaran gas teratasi tambahan sebelum perjalanan
dengan kriteria hasil: udara atau perjalanan ke dataran
1. Tekanan oksigen di tinggi yang sesuai
darah arteri (PaO2) (4) 4. Konsultasi dengan tenaga
2. Tekan karbondioksida di kesehatan lain mengenai
darah arteri (PaCO2) (4) penggunaan oksigen tambahan
3. PH arterial (4) saat aktivitas dan/atau tidur
4. Saturasi oksigen (4) 5. Pantau efektivitas terapi oksigen
5. Keseimbangan perfusi (pulse oximetry, BGA)
ventilasi (4) 6. Observasi tanda pada oksigen
6. Sianosis (4) yang disebabkan hipoventilasi
7. Monitor aliran oksigen liter
8. Monitor posisi dalam oksigenasi
9. Monitor tanda-tanda keracunan
oksigen dan atelektasis
10. Monitor peralatan oksigen untuk
memastikan bahwa tidak
mengganggu pasien dalam
bernapas
4. Nyeri akut NOC : NIC :
berhubungan dengan Pain Control Pain Management
agen injury Setelah dilakukan asuhan 1. Tentukan dampak nyeri terhadap
selama 2x24, nyeri teratasi kualitas hidup klien (misalnya
dengan kriteria hasil: tidur, nafsu makan, aktivitas,
1. Kenali awitan nyeri (2) kognitif, suasana hati, hubungan,
2. Jelaskan faktor kinerja kerja, dan tanggung jawab
penyebab nyeri (2) peran).
3. Gunakan obat analgesik 2. Kontrol faktor lingkungan yang
dan non analgesik (2) mungkin menyebabkan respon
4. Laporkan nyeri yang ketidaknyamanan klien (misalnya
terkontrol temperature ruangan,
pencahayaan, suara).
3. Pilih dan terapkan berbagai cara
(farmakologi, nonfarmakologi,
interpersonal) untuk meringankan
nyeri.
4. Observasi tanda-tanda non verbal
dari ketidaknyamanan, terutama
pada klien yang mengalami
kesulitan berkomunikasi.

5. Mual berhubungan NOC: NIC:


dengan paparan toksin Nausea and Vomitting Nausea Management
Control 1. Dorong pasien untuk memantau
Tujuan: mual secara sendiri
Setelah dilakukan tindakan 2. Dorong pasien untuk
keperawatan selama 2x24 mempelajari strategi untuk
jam mual teratasi dengan mengelola mual sendiri
kriteria hasil: 3. Lakukan penilaian lengkap mual,
1. Mengenali awitan mual termasuk frekuensi, durasi,
(4) tingkat keparahan, dengan
2. Menjelaskan faktor menggunakan alat-alat seperti
penyebab (4) jurnal perawatan, skala analog
3. Penggunaan anti emetik visual, skala deskriptif duke dan
(4) indeks rhodes mual dan muntah
(INV) bentuk 2.
4. Identifikasi pengobatan awal
yang pernah dilakukan
5. Evaluasi dampak mual pada
kualitas hidup.
6. Pastikan bahwa obat antiemetik
yang efektif diberikan untuk
mencegah mual bila
memungkinkan.
7. Identifikasi strategi yang telah
berhasil menghilangkan mual
8. Dorong pasien untuk tidak
mentolerir mual tapi bersikap
tegas dengan penyedia layanan
kesehatan dalam memperoleh
bantuan farmakologis dan
nonfarmakologi
9. Promosikan istirahat yang cukup
dan tidur untuk memfasilitasi
bantuan mual
10. Dorong makan sejumlah kecil
makanan yang menarik bagi
orang mual
11. Bantu untuk mencari dan
memberikan suport emosional
6. Intoleransi aktivitas NOC: NIC:
berhubungan dengan Activity Tolerance Activity Therapy
gangguan Tujuan 1. Kolaborasikan dengan Tenaga
ketidakseimbangan Setelah dilakukan Rehabilitasi Medik dalam
suplay oksigen keperawatan selama 3x24 merencanakan program terapi
jam pasien bertoleransi yang tepat.
terhadap aktivitas 2. Bantu klien untuk
Kriteria hasil: mengidentifikasi aktivitas yang
1. Saturasi Oksigen saat mampu dilakukan
aktivitas (4) 3. Bantu untuk memilih aktivitas
2. Nadi saat aktivitas (4) konsisten yang sesuai dengan
3. RR saat aktivitas (4) kemampuan fisik, psikologi dan
4. Tekanan darah sistol dan social
diastol saat istirahat (4) 4. Bantu untuk mengidentifikasi dan
5. Mampu melakukan mendapatkan sumber yang
aktivitas sehari-hari diperlukan untuk aktivitas yang
(ADLs) secara mandiri diinginkan
(4) 5. Bantu untuk mendapatkan alat
bantuan aktivitas seperti kursi
roda, krek.
6. Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan diwaktu luang
7. Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas
8. Sediakan penguatan positif bagi
yang aktif beraktivitas
9. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi diri
dan penguatan
10. Observasi adanya pembatasan
klien dalam melakukan aktivitas.
11. Monitor nutrisi dan sumber
energi yang adekuat
12. Monitor pasien akan adanya
kelelahan fisik dan emosi secara
berlebihan
13. Monitor respon kardiovaskular
terhadap aktivitas (takikardia,
disritmia, sesak nafas,
diaphoresis, pucat, perubahan
hemodinamik)
14. Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
15. Monitor responfisik, emosi,
social dan spiritual.
LAPORAN PENDAHULUAN
HEMODIALISA
A. Hemodialisis
Hemodialisis adalah terapi pengganti faal ginjal dengan tujuan untuk mengeluarkan
(eliminasi) sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan air dan
elektrolit antara kompartemen darah pasien dengan kompartemen larutan dialisat (konsentrat)
melalui selaput (membran) semi permeabel yang bertindak sebagai ginjal buatan (artificial
atau dializer). Hemodialisa sering dilakukan pada pasien dengan penyakit ginjal kronik atau
gagal ginjal kronik (Kandarini, 2013).
Zat-zat tersebut dapat berupa zat yang terlarut dalam darah, seperti toksin ureum dan
kalium, atau zat pelarutnya, yaitu air atau serum darah (Suwitra, 2006). Proses pembersihan
ini hanya bisa dilakukan diluar tubuh, sehingga memerlukan suatu jalan masuk ke dalam
aliran darah, yang disebut sebagai vascular access point (Novicky, 2007).
Proses dialisa menyebabkan pengeluaran cairan dan sisa metabolisme dalam tubuh
serta menjaga keseimbangan elektrolit dan produk kimiawi dalam tubuh (Ignatavicius &
Workman 2006). Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik
dari dalam darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien
ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh
pasien. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersikulasi di
sekitarnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi membran
semipermeabel tubulus (Rosdiana 2011). Proses hemodialis dilakukan 1-3 kali dalam
seminggu di rumah sakit dengan memerlukan waktu sekitar 2-45 jam setiap kali hemodialisis
(Syamsir&Hadibroto 2007).Keputusan untuk inisiasi terapi dialisis berdasarkan parameter
laboratorium bila LFG antara 5 dan 8 ml/menit/l .73 m2.
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis, dan
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan
cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi ke cairan dialisat dengan
konsentrasi yang lebih rendah (Rosidana 2011).
Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran
air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, yaitu air bergerak dari daerah
dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke daerah dengan tekanan yang lebih rendah
(cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang
dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis (Rosdiana 2011).
B. Indikasi Hemodialisis
Indikasi dilakuka]n hemodialisis pada pasien PGK terbagi 2 kategori (Kandarini, 2012)
yaitu :
a. Hemodialisis segera atau emergency, yaitu (Daurgirdas et al., 2007) :
1) Uremia ( BUN >150mg/dL)
2) Oliguria (urin < 200ml/12jam)
3) Anuria (urin < 50ml/ 12jam)
4) Asidosis berat (pH < 7.1)
5) Hiperkalemia
6) Ensefalopati uremikum
7) Neuropati Uremikum
8) Hipertermia
9) Disnatremia (Natrium > 160 atau < 115 mmol/L)
b. Hemodialisis kronik, yaitu hemodialisis yang dilakukan seumur hidup. K/DOQI
dalam Daurgirdas et al. (2007) mengatakan bahwa dialisis dimulai bila
LFG<15ml/menit tetapi karena gejala klinis setiap orang berbeda maka dialisis
dimulai apabila dijumpai salah satu gejala yaitu :
1. LFG < 15ml/menit, tergantung gejala klinis penderita
2. Malnutrisi atau hilangnya massa otot
3. Gejala uremia antara lain anoreksia, mual muntah, lethargy
4. Hipertensi yang susah dikontrol
5. Kelebihan cairan
Hemodialisis harus dimulai lebih awal pada pasien dengan :
1) Diabetes : lebih banyak mengalami komplikasi, lebih sulit untuk mengatur diet
ginjal dan diabetes.
2) Neuropati perifer : indikasi efek uremia pada sistem saraf perifer.
3) Ensefalopati uremikum : indikasi efek yang berat pada sistem saraf pusat.
4) Hipertensi maligna : mungkin dapat membaik dengan pengeluaran cairan pada
dialisis.
Persiapan untuk program dialisis regular, antara lain:
Setiap pasien yang akan menjalani program dialisis regular harus mendapatinformasi
yang harus dipahami sendiri dan keluarganya. Beberapa persiapan (preparasi) dialisis
regular:
1) Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu
2) Psikoligis yang stabil
3) Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular selama waktu tidak terbatas
sebelum transplantasi ginjal
4) Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai dengan jadwal yang telah
ditentukan. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menjamin kualitas hidup optimal
5) Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan :
6) Diet, perbatasan asupan cairan dan buah-buahan
7) Obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialisis
8) Operasi A-V fistula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg/% terutama pasien
wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus.

C. Mekanisme Hemodialisis
Prinsip dari Hemodialisis adalah dengan menerapkan proses osmotis dan ultrafiltrasi
pada ginjal buatan, dalam membuang sisa-sisa metabolisme tubuh. Pada
hemodialisis, darah dipompa keluar dari tubuh lalu masuk kedalam mesin dialiser (yang
berfungsi sebagai ginjal buatan) untuk dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses difusi
dan ultrafiltrasi oleh cairan khusus untuk dialisis (dialisat). Tekanan di dalam ruang
dialisat lebih rendah dibandingkan dengan tekanan di dalam darah, sehingga cairan,
limbah metabolik dan zat-zat racun di dalam darah disaring melalui selaput dan masuk ke
dalam dialisat. Proses hemodialisis melibatkan difusi solute (zat terlarut) melalui suatu
membrane semipermeable. Molekul zat terlarut (sisa metabolisme) dari kompartemen
darah akan berpindah kedalam kompartemen dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut
dapat melewati membran semipermiabel demikian juga sebaliknya. Setelah dibersihkan,
darah dialirkan kembali ke dalam tubuh (Permadi, 2011).
Mesin hemodialisis (HD) terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan
dialisat, dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah dari tempat
tusukan vaskuler ke alat dialiser. Dialiser adalah tempat dimana proses HD berlangsung
sehingga terjadi pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat. Sedangkan
tusukan vaskuler merupakan tempat keluarnya darah dari tubuh penderita menuju dialiser
dan selanjutnya kembali lagi ketubuh penderita. Kecepatan dapat di atur biasanya diantara
300-400 ml/menit. Lokasi pompa darah biasanya terletak antara monitor tekanan arteri dan
monitor larutan dialisat. Larutan dialisat harus dipanaskan antara 34-39 C sebelum
dialirkan kepada dializer. Suhu larutan dialisat yang terlalu rendah ataupun melebihi suhu
tubuh dapat menimbulkan komplikasi. Sistem monitoring setiap mesin HD sangat penting
untuk menjamin efektifitas proses dialisis dan keselamatan (Permadi, 2011).
Pada saat proses Hemodialisis, darah kita akan dialirkan melalui sebuah saringan
khusus (Dialiser) yang berfungsi menyaring sampah metabolisme dan air yang berlebih.
Kemudian darah yang bersih akan dikembalikan kedalam tubuh. Pengeluaran sampah dan
air serta garam berlebih akan membantu tubuh mengontrol tekanan darah dan kandungan
kimia tubuh jadi lebih seimbang.
Hemodialisis idealnya dilakukan selama 10-15 jam per minggu. Namun waktu yang
dibutuhkan terlalu lama, sehingga hemodialisis sering dilakukan selama 4-5 jam dengan
frekuensi 2 kali seminggu pada interval 2 hari diantara hemodialisis. Frekuensi menjalani
hemodialisis dilakukan agar menyeimbangkan kembali kadar garam, air dan pH yang
tidak normal akibat gagal ginjal kronik (Widyastuti, 2014).
D. Prinsip Hemodialisa
1. Akses Vaskuler :
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik biasanya
memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara. Akut memiliki akses
temporer seperti vascoth.
2. Membran semi permeable
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan kontak diantara
darah dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi.
3. Difusi
Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang menyebabkan pemindahan zat
terlarut adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang konsentrasi tinggi ke area
dengan konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi tercipta antara darah dan dialisat yang
menyebabkan pemindahan zat pelarut yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang
dibutuhkan.
4. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan mengambil
bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan tersebut.
5. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai ultrafiltrasi artinya
adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga tipe dari tekanan
dapat terjadi pada membrane :
a. Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan dalam
membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan resisten vena
terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan positip mendorong cairan
menyeberangi membrane.
b. Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane oleh
pompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan negative menarik cairan keluar
darah.
c. Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang
berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut. Larutan dengan
kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari larutan lain dengan
konsentrasi yang rendah yang menyebabkan membrane permeable terhadap air.

E. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat hemodialisis, antara lain:
a. Hipotensi
Dapat terjadi selama dialisis ketika cairan dikeluarkan.
b. Emboli udara
Jarang terjadi, namun bisa terjadi akibat udara yang memasuki sistem vaskular pasien.
c. Nyeri dada
Terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sikulasi di luar tubuh.
d. Pruritus
Selama terapi adanya produk akhir metabolisme yang tersisa di dalam kulit
e. Gangguan keseimbangan dialisis
Akibat perpindahan cairan cerebral dan muncul sebagai serangan kejang, berpotensi
besar jika terdapat uremia yang berat.
f. Malnutrisi
Akibat kontrol diet dan kehilangan nutrient selama hemodialisa.
g. Fatigue dan kram
Pasien dapat mengalami kecapean akibat hipoksia yang disebabkan edema pulmoner.
Hipoksia pulmoner terjadi akibat retensi cairan dan sodium.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, Syamsir dan Hadibroto, Iwan. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama
Aziz, M. Farid, dkk. 2008. Panduan Pelayanan Medik: Model Interdisiplin Penatalaksanaan
kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal.
Baradero, Mary, dkk. 2005. Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta:
EGC
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. 2000. Rencana
Asuhan Keperawatan; Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Faiz, Omar dan Moffat, David. 2004. Anatomy at a Glance. Jakarta: Penerbit Erlangga
Ignatavicius, DD,. & Workman. L,. (2006). Medical surgical nursing, critical thinking for
collaborative care. Elsevier Saunders.
James, Joyce, dkk. 2008. Prinsip-prinsip Sains untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit
Erlangga
McCloskey, 1996, Nursing Interventions Classification (NIC), Mosby, US
Nanda, 2009, Nursing Diagnosis Deffinition and Classification, Mosby year Book. USA
Price, Sylvia A and Willson, Lorraine M, 1996, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
penyakit, Edisi empat, EGC, Jakarta
Ralph & Rosenberg, 2003, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2005-2006,
Philadelphia USA
OCallaghan, Chris. 2009. At A Glance Sistem Ginjal Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Smeltzer, S.S.B. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B,.Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (Ed). (2009). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. (Edisi 4). Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Penyakit Dalam
FKUI
Suwitra, Ketut. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI.

Anda mungkin juga menyukai