Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

ELIMINASI

OLEH:
Lala Nuril Maula
18200100022

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU
2020-2021
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Definisi Gangguan Eliminasi Urine


Elimmasi merupakan sebuah proses pembuangan hasil dari sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh yang dapat melalui urine maupun bowel (Tarwoto &
Wartonah, 2006). Kebutuhan eliminasi manusia dibagi menjadi dua yaitu,
kebutuhan eliminasi urine (buang air kecil) dan kebutuhan eliminasi fekal (buang
air besar).
Eliminasi urine (buang air kecil) merupakan proses pemenuhan kandung
kemih. Dan sistem yang berperan dalam sistem ini yaitu ginjal, ureter, kandung
kemih, dan uretra. Gangguan eliminasi uirne dapat diartikan sebagai adanya
disfungsi pada eliminasi urine (NANDA, 2015).

2. Epidemiologi
Inkontinensia urin (UI) merupakan keluhan subjektif individu yang tidak
mampu menahan rasa berkemih sehingga memberikan dampak gangguan
kebersihan dan hubungan sosial individu (NIH, 1988 dalam Ismail, 2013). Dari
kondisi tersebut menyebabkan ketidaknyamanan serta distress pada individu.
Masalah UI tidak hanya dialami oleh lanisa, tetapi juga pada anak, remaja dan
orang dewasa. Prevalensi uneresis nocturnal pada anak usia 7 tahun sebesar 10%
dan 28% atlet wanita mengalami UI pada saat melakukan aktivitas olahraganya
(Bradway & Hernly, 1988 dalam Ismail, 2013). Data lain juga menunjukkan
bahwa UI paling sering dialami pada usia pertengahan (middle age) dan juga
lansia. Peningkatan jumlah UI pada usia dewasa muda sebesar 10-20% sedangkan
pada usia dewasa lanjut sebesar 20-30%. Dan peningkatan prevalensi terbesar
adalah terjadi pada lansia yaitu sekitar 30-50% (Chan & Wong, 1999 dalam
Ismail, 2013).

3. Etiologi
Etiologi gangguan dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi urine yaitu
sebagai berikut:
- Ketidakseimbangan intake cairan
- Adanya obstruksi
- Adanya infeksi pada saluran perkemihan
- Pertumbuhan jaringan yang abnormal
- Adanya masalah sistemik

4. Tanda dan Gejala


1) Inkontinensia Urine
- Tidak dapat menahan atau mengontrol rasa ingin buang air kecil
sebelum sampai di WC
- Sering mengompol
2) Retensi Urine
- Distensi serta ketidaksanggupan untuk berkemih
- Urine yang keluar tidak seimbang dengan intake
- Meningkatnya keinginan untuk berkemih
- Ketidaknyamanan pada daerah pubis

5. Patofisiologi dan Clinical Pathway


Gangguan eliminasi urine yang dialami oleh individu berbeda-beda.
Gangguan eliminasi urine pada lanjut usia dapat disebabkan karena adanya trauma
pada cedera medula spinalis (CMS). Cedera medula spinalis (CMS) merupakan
salah satu gangguan yang terjadi pada fungsi syaraf yaitu syaraf berkemih dan
defekasi. Komplikasi yang terjadi pada cedera spinal dapat menyebabkan syok
neurogenik yang dikaitkan sebagai syok spinal. Syok spinal merupakan depresi
yang terjadi secara tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia) di
bawah tingkat cedera. Otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla
spinalis yang ada di bawah tingkat cedera tersebut menjadi paralisis komplet dan
fleksid, sehingga mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih serta
defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yaitu, pengisian dan penyimpanan
urine serta pengosongan kandung kemih. Selama fase pengisian, pengaruh sistem
saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan
meningkatkan resistensi pada saluran kemh. Penyimpanan urine dikoordinasikan
oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang
dikaitkan dengan peningkatan pada tekanan otot dari otot leher kandung kemih
dan proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal dapat terjadi karena akibat dari kontraksi
yang simultan antara otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal tersebut
dipengaruhi oleh saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmitter utama
seperti asetilkolin yaitu suatu agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls
afferen ditransmisikan ke saraf simpatis pada ujung ganglion dorsal spinal sakral
segmen 2-4 dan diinformasikan ke batang otot. Kemudian selama fase
pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral
dihentikan dan kemudian timbul kontraksi otot detrusor. Hambatan aliran simpatis
pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot uretra trigonal dan
proksimal. Impuls berjalan sepanjang dari nervus pudendus untuk merelaksasikan
otot halus dan skelet dari spingter eksterna.
Pathway
Degeneratif

Ketidakseimbangan hormon
testosteron dan estrogen

Penyempitan lumen posterior


Pembesaran bagian
periuretra
Obstruksi VU dan uretra

BPH
Retensi urin

Kerusakan otor spingter


eksterna

- Inkontinensia urinarius
fungsional
- Inkontinensia urine aliran Peningkatan tekanan pada
berlebih daerah obstruksi
- Inkontinensia urinne refleks
- Inkontinensia urine stres
- Inkontinensia urine dorongan Gangguan eliminasi
urin

6. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan yaitu sebagai berikut:
a. Pemeriksaan urine (Urinalisis)
Pada pemeriksaan ini hal yang dikaji adalah:
- Warna: umumnya normal yaitu jernih
- pH: normal yaitu 4,6-8,0
- glokosa dalam kedaan normal negatif
- Ukuran protein normal sampai 10 mg/100ml
- Keton dalam kondisi normal yaitu negatif
- Berat jenis yang normal 1,010-1,030
- Bakteri dalam keadaan normal negatif
b. Tes darah
Pada pemeriksaan tes darah hal yang dikaji adalah BUN, bersih kreatinin,
nitrogen non protein, pencitraan radionulida, klorida, fosfat dan magnesium
meningkat.
c. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Alat yang digunakan untuk melihat adanya gangguan pada perkemihan,
yang menggunakan gelombang suara yang tidak dapat didengar, frekuensi tinggi,
dan memantul dari struktur jaringan.
d. Pielogram Intravena
Dilakukan dengan cara memvisualisasi duktus dan pelvis renalis serta
memperlihatkan ureter, kandung kemih dan uretra. Tindakan ini tidak bersifat
invasif.
e. Pengosongan Sitoureterogram (Volding Cystoureterpgram)
Tindakan yang dilakukan yaitu dengan mengambil foto saluran kemih
bagian bawah sebelum, selama, dan setelah mengosongkan kandung kemih.
Manfaatnya yaitu untuk mencari adanya kelainan pada uretra serta untuk
menentukan apakah terdapat refleks fesikoreta.
f. Arteriogram Ginjal
Tindakannya yaitu dengan cara memasukkan kateter melalui arteri femonilis
dan aorta abdominus sampai melalui arteri renalis. Zat kontras kemudian
disuntikkan ditempat ini, yang kemudian akan mengalir dalam arteri renalis dan
ke dalam cabang-cabangnya.
Indikasinya yaitu:
- Melihat stenosis renalis yang menyebabkan kasus hipertensi
- Mendapatkan gambaran dan suplai dari pengaliran darah ke daerah korteks
- Menetapkan struktur suplai darah giinjal dari donro sebelum melakukan
transplantasi ginjal.
- Mendapatkan gambaran pembuluh darah dari suatu neoplasma
7. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan yang sering muncul (PES)
1) Hambatan eliminasi urine
 Definisi: disfungsi eliminasi urin
 Batasan Karakteristik
- Disuria - Inkontinensia urin
- Sering berkemih - Retensi urin
- Anyang-anyangan - Dorongan berkemih
- Nokturia
 Faktor yang Berhubungan
- Penyebab multipel
2) Inkontinensia urinarius fungsional
 Definisi: ketidakmampuan individu yang biasanya kontinen untuk
mencapai toilet tepat waktu untuk berkemih, sehingga mengalami
pengeluaran urine yang tidak disengaja.
 Batasan Karakteristik
- Mengosongkan kandung kemih dengan tuntas
- Inkontinensia urine dini hari
- Sensasi ingin berkemih
- Berkemih sebelum mencapai toilet
 Faktor yang Berhubungan
- Faktor perubahan lingkungan
- Kelemahan struktur panggul
3) Retensi urine
 Definisi: pengoosngan kandung kemih tidak tuntas
 Batasan Karakteristik
- Tidak ada haluaran urine - Menetes
- Berkemih sedikit - Inkontinensia aliran berlebih
- Distensi kandung kemih - Residu urine
- Sering berkemih - Sensasi kandung kemih penuh
 Faktor yang Berhubungan
- Akan dikembangkan

b. Perencanaan / Nursing Care Plan


Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
Hambatan elminasi Setelah dilakukan  Manajemen Cairan
urin perawatan selama 1x24 - Jaga intake yang masuk
jam, hambatan eliminasi dan catat output
urin dapat teratasi dengan - Masukkan kateter urin
kriteria hasil: - Monitor hasil laboratorium
- Pola eliminasi urine dengan retensi cairan
normal 4x dalam 24 jam (peningkatan BUN,
- Bau urin normal penurunan hematokrit)
- Warna urine normal - Monitor TTV
(jernih) - Monitor makanan/cairan
yang dikonsumsi dan
hitung asupan kalori harian
Inkontinensia Setelah dilakukan  Bantuan perawatan diri:
urinarius fungsional perawatan selama 1x24 eliminasi
jam, hambatan eliminasi - Bantu pasien ke toilet
urin dapat teratasi dengan untuk eliminasi pada
kriteria hasil: interval waktu tertentu
- Pola berkemih teratur - Buat jadwal aktivitas
6x dalam 24 jam terkait eliminasi
- Berkemih >150 ml tiap - Sediakan alat bantu
kalinya (kateter)
- Mengkonsumsi cairan - Monitor integritas kulit
dalam jumlah yang pasien
cukup
Retensi urin Setelah dilakukan  Monitor cairan
perawatan selama 1x24 - Tentukan apakah pasien
jam, hambatan eliminasi mengalami kehausan atau
urin dapat teratasi dengan gejala perubahan cairan
kriteria hasil: - Monitor asupan dan
- Pola eliminasi urine pengeluaran
normal 5x dalam 24 jam - Monitor kadar serum
- Bau urin normal albumin dan protein total
- Warna urine normal - Monitor tanda dan gejala
(jernih) asites
- Jumlah urin 250ml - Periksa turgor kulit dengan
- Intake cairan terpenuhi memegang jaringan sekitar
dalam 24 jam tulang, misalnya tangan
DAFTAR PUSTAKA

Ata, Hatta. 2017. Asuhan Keperawatan pada Pasien Gangguan Eliminasi Urine
dan Fekal. [serial online] website: https://kupdf.net/download/asuhan-
keperawatan-pada-pasien-dengan-gangguan-eliminasi-urine-dan-
fekal_599502abdc0d608d5b300d1a_pdf diakses pada 02 Maret 2019.

Bulechek, G. M. et al. 2016. Nursing Intervention Classification (NIC), Edisi 6.


United Kingdom: Elsevier. Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Intansari
Nurjannah & Rossana Devi T.

Hartono, S. 2017. Laporan Pendahuluan Eliminasi Urine dan Fekal. [serial online]
website: https://docplayer.info/72152393-A-definisi-laporan-pendahuluan-
eliminasi-urine-dan-fekal.html diakses pada 02 Maret 2019.

Ismail, Dewi D. S. L. 2013. Aspek Keperawatan pada Inkontinensia Urine. Jurnal


Ilmu Keperawatan, No. 1 Vol. 1: 3-11.

Moorhead, S., et al. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC), Edisi 5.


United Kingdom: Elsevier. Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Intansari
Nurjannah & Rossana Devi T.

Nanda. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017.


Jakarta: EGC.

Nanda. 2018. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2018-2020.


Jakarta: EGC.

Potter & Perry. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Volume 2. Jakarta:
EGC.

Perry, Potter. 2005. Fundamental Keperawatan, edisi 4, volume 1. Jakarta: EGC


Tarwoto & Wartonah. 2004. Kebutuhan Dasar manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai