Anda di halaman 1dari 19

A.

Pengertian

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dapat didefinisikan sebagai pembesaran


kelenjar prostat yang memanjang ke atas, ke dalam kandung kemih, yang menghambat
aliran urin, serta menutupi orifisium uretra (Smeltzer & Bare, 2003). Secara patologis,
BPH dikarakteristikkan dengan meningkatnya jumlah sel stroma dan epitelia pada
bagian periuretra prostat. Peningkatan jumlah sel stroma dan epitelia ini disebabkan
adanya proliferasi atau gangguan pemrograman kematian sel yang menyebabkan
terjadinya akumulasi sel (Roehrborn, 2011).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.
Price&Wilson (2005).
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang
keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi
orifisium uretra.

B. Klasifikasi

Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong (2005)


secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml
2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas
atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak
dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total

C. Etiologi

Penyebab pasti BPH belum diketahui. Namun, IAUI (2003) menjelakan bahwa
terdapat banyak faktor yang berperan dalam hiperplasia prostat, seperti usia, adanya
peradangan, diet, serta pengaruh hormonal. Faktor tersebut selanjutnya mempengaruhi
prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang kemudian memicu proliferasi sel
prostat. Selain itu, pembesaran prostat juga dapat disebabkan karena berkurangnya
proses apoptosis. Roehrborn (2011) menjelaskan bahwa suatu organ dapat membesar
bukan hanya karena meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga karena berkurangnya
kematian sel.
BPH jarang mengancam jiwa. Namun, keluhan yang disebabkan BPH dapat
menimbulkan ketidaknyamanan. BPH dapat menyebabkan timbulnya gejala LUTS (lower
urinary tract symptoms) pada lansia pria. LUTS terdiri atas gejala obstruksi (voiding
symptoms) maupun iritasi (storage symptom) yang meliputi: frekuensi berkemih
meningkat, urgensi, nokturia, pancaran berkemih lemah dan sering terputus-putus
(intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis berkemih, dan tahap selanjutnya terjadi
retensi urin (IAUI, 2003).
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses
penuaan

D. Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang
dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,
antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan
periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia
lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan
adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini
sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat
hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa
reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam
sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan
kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi
yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi
uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi
detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang
trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah
terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika
dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan
jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke
dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor.
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu
lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter
dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi
kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal
akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan
bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
E. Tanda dan gejala

Gambaran tanda dan gejala secara klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua
tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi
melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama
(hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan
waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena
overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun
belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan
gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari
(nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi
(disuria) (Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa
ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa Tanda dan gejala dari
BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-
anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat
berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih),
retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a) Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
 Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
 Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
 Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
 Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
 Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.
b) Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
 Normal : Tidak ada sisa
 Grade I : sisa 0-50 cc
 Grade II : sisa 50-150 cc
 Grade III : sisa > 150 cc
 Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.

F. Pemeriksaan diagnostik
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,
sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan
adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran
kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari
fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak
perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen
density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15,
sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
2. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua
defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya
menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan
pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT,
BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan
sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi
buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus
urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik
sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan
ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria,
residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal,
mendeteksi residu urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat
bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui fungsi
ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum,
sementara dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat
adanya tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat
adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.
G. Penatalaksanaan

1. Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a) Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian
lama.
b) Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c) Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai
dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka
dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d) Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian
terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan
obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH
dapat dilakukan dengan:
a) Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi
kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok
dubur.
b) Medikamentosa
 Mengharnbat adrenoreseptor α
 Obat anti androgen
 Penghambat enzim α -2 reduktase
 Fisioterapi
c) Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi
ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih,
hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
 TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
 Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
 Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung
kemih.
 Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
 Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada
abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung
kemih pada kanker prostat.
d) Terapi Invasif Minimal
 Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung
kateter.
 Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
 Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
2. Keperawatan
a. Pre operasi
 Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT,
BT, AL)
 Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia
 Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
 Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam.  Sebelum
pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen
puasa minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan
masuknya udara
b. Post operasi
1. Irigasi/Spoling dengan Nacl
 Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
 Hari pertama post operasi  : 60 tetes/menit
 Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
 Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
 Hari ke 4 post operasi diklem
 Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah
(urin dalam kateter bening)
2. Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah
(cairan serohemoragis < 50cc)
3. Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi
selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan
baik obat injeksi bisa diganti dengan obat oral.
4. Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post
operasi
5. Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi
dengan betadin
6. Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
7. DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
8. Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
9. Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
10. Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan
untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih
dan perdarahan dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat
melemaskan otot polos dapat membantu mengilangkan spasme.
Kompres hangat pada pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
11. Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan
tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan
abdomen, perdarahan
12. Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol
berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai
kontrol berkemih.
13. Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan
kemudian jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah
pembedahan.
14. Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan
sejumlah bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena
tampak lebih gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi
dengan memasang traksi pada kateter sehingga balon yang menahan
kateter pada tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik.

H. Pengkajian keperawatan

Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan.


Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :
1. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus
preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan
oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi
sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan
volume cairan.
2. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya
karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat
dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
3. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh
pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin,
aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih,
nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi
karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya
obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan
mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan
bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna
keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada
kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena
protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena
perubahan pola makan dan makanan.
4. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada
postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan
berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran
baik cairan maupun nutrisinya.
5. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar
yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul
tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
6. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan
tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk
menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu
dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti
adanya demam (pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi
balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada
saluran perkemihannya.
7. Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat
ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
8. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun
postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin,
urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih.
I. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah sebagai berikut :
1. Pre operasi
 Nyeri akut
 Cemas
 Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
 Kerusakan eleminasi urin
2. Post operasi
 Nyeri akut
 Resiko infeksi
 Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan
 Defisit perawatan diri
J. Intervensi Keperawatan

Pre Operasi

No Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi Keperawatan

1 Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan 1. Manajemen Nyeri


keperawatan selama ….x 24 Definisi : perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat
Definisi : Sensori dan jam, klien dapat: kenyamanan yang dapat diterima pasien
pengalaman emosional Intervensi:
1. Mengontol nyeri 1. Kaji secara menyeluruh tentang nyeri, meliputi: lokasi,
yang tidak menyenangkan
Definisi : tindakan seseorang karakteristik, waktu kejadian, lama, frekuensi, kualitas,
yang timbul dari untuk mengontrol nyeri intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus
kerusakan jaringan aktual Indikator: 2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan,
atau potensial, muncul  Mengenal faktor-faktor khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi
tiba-tiba atau lambat penyebab secara efektif
dengan intensitas ringan Mengenal onset/waktu kejadian 3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
sampai berat dengan nyeri 4. Gunakan komunikasi terapeutik agar klien dapat
 tindakan pertolongan non- mengekspresikan nyeri
akhir yang bisa
analgetik 5. Kaji latar belakang budaya klien
diantisipasi atau diduga 6. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas
 Menggunakan analgetik
dan berlangsung kurang hidup: pola tidur, nafsu makan, aktifitas mood, hubungan,
 melaporkan gejala-gejala
dari 6 bulan. kepada tim kesehatan pekerjaan, tanggungjawab peran
(dokter, perawat) 7. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri,  keluarga dengan
Faktor yang  nyeri terkontrol nyeri kronis
berhubungan : Agen Keterangan: 8. Evaluasi  tentang keefektifan dari tindakan mengontrol
1   = tidak pernah dilakukan nyeri yang telah digunakan
injuri (biologi, kimia, fisik,
9. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
psikologis) 2   = jarang dilakukan
10. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
3   = kadang-kadang dilakukan lama terjadi, dan tindakan pencegahan
Batasan karakteristik : 4   = sering dilakukan 11. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
 Laporan secara verbal 5   = selalu dilakukan respon klien terhadap ketidaknyamanan  (contoh :
atau non verbal adanya temperatur ruangan, penyinaran, dll)
nyeri 12. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
 Fakta dari observasi 2. Menunjukkan tingkat 13. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi, (ex: relaksasi,
 Posisi untuk nyeri guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-
menghindari nyeri Definisi : tingkat keparahan dingin, massase)
 Gerakan melindungi dari nyeri yang dilaporkan atau 14. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
 Tingkah laku berhati- ditunjukan 15. Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon
hati Indikator: klien
 Muka topeng  Melaporkan nyeri 16. Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
 Gangguan tidur (mata  Frekuensi nyeri 17. Anjurkan klien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri
sayu, tampak capek,  Lamanya episode nyeri secara tepat
sulit atau gerakan  Ekspresi nyeri: wajah 18. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi
kacau, menyeringai)  Posisi melindungi tubuh keluhan
 Terfokus pada diri  Kegelisahan 19. Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota
sendiri  Perubahan Respirasirate keluarga saat tindakan nonfarmakologi dilakukan, untuk
 Fokus menyempit  Perubahan Heart Rate pendekatan preventif
(penurunan persepsi  Perubahan tekanan Darah 20. monitor kenyamanan klien terhadap manajemen nyeri
waktu, kerusakan  Perubahan ukuran Pupil
proses berpikir,  Perspirasi 2. Pemberian Analgetik
penurunan interaksi  Kehilangan nafsu makan Definisi : penggunaan agen farmakologi  untuk   mengurangi atau
dengan orang dan Keterangan: menghilangkan nyeri
lingkungan)     1 :  berat Intervensi:
 Tingkah laku distraksi, 1. Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan keparahan
    2 :  agak berat
contoh : jalan-jalan, sebelum pengobatan
menemui orang lain     3 :  sedang 2. Berikan obat dengan prinsip 12 benar
dan/atau aktivitas,     4 :  sedikit 3. Cek riwayat alergi obat
aktivitas berulang-     5 :  tidak ada 4. Libatkan klien dalam pemilhan analgetik yang akan
ulang) digunakan
 Respon autonom 5. Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari satu
(seperti diaphoresis, analgetik jika telah diresepkan
perubahan tekanan 6. Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik, NSAID)
darah, perubahan berdasarkan tipe dan keparahan nyeri.
nafas, nadi dan dilatasi 7. Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesudah pemberian
pupil) analgetik
 Perubahan autonomic 8. Monitor reaksi obat dan efeksamping obat
dalam tonus otot 9. Dokumentasikan respon dari analgetik dan efek-efek yang
(mungkin dalam tidak diinginka.
rentang dari lemah ke 10. Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek
kaku) analgetik (konstipasi/iritasi lambung)
 Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah, 3. Manajemen lingkungan : kenyamanan
merintih, menangis, Definisi : memanipulasi lingkungan untuk kepentingan terapeutik
waspada, iritabel, Intervensi :
nafas panjang/berkeluh 1. Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat
kesah) 2. Batasi pengunjung
 Perubahan dalam nafsu 3. Tentukan hal-hal yang menyebabkan ketidaknyamanan
makan dan minum seperti pakaian lembab
4. Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
5. Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman
6. Sediakan lingkungan yang tenang
7. Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga kenyamanan
8. Atur posisi pasien yang membuat nyaman.

2 Cemas Setelah dilakukan asuhan  Menurunkan cemas


keperawatan selama......x24 Definisi : meminimalkan rasa takut, cemas, merasa dalam bahaya
Definisi : Perasaan jam pasien menunjukan dapat : atau ketidaknyamanan terhadap sumber yang tidak diketahui
gelisah yang tak jelas dari Intervernsi:
ketidaknyamanan atau 1. Mengontrol cemas: 1. Tenangkan pasien
ketakutan yang disertai Definisi : Tindakan seseorang 2. Jelaskan seluruh prosedurt tindakan kepada pasien dan
respon autonom (sumner untuk mengurangi perasaan perasaan yamng mungkin muncul pada saat melakukan
tidak spesifik atau tidak tertekan/terbebani dan tindakan
diketahui oleh individu); ketegangan dari sumber yang 3. Berusaha memahami keadaan pasien
perasaan keprihatinan tidak dapat diidentifikasi 4. Berikan informasi tentang diagnosa, prognosis dan tindakan
disebabkan dari antisipasi Indikator : 5. Mendampingi pasien untuk mengurangi kecemasan dan
terhadap bahaya. Sinyal  Monitor intensitas cemas meningkatkan kenyamanan
ini merupakan peringatan  Meghilangkan penyebab 6. Dorong pasien untuk menyampaikan tentang isi perasaannya
adanya ancaman yang cemas 7. Kaji tingkat kecemasan
akan datang dan  Menurunkan stimulus 8. Dengarkan dengan penuh perhatian
memungkinkan individu lingkungan ketika cemas 9. Ciptakan hubungan saling percaya
untuk mengambil langkah  Mencari informasi untuk 10. Bantu pasien menjelaskan keadaan yang bisa menimbulkan
untuk menyetujui menurunkan cemas kecemasan
terhadap tindakan.  Gunakan strategi koping 11. Bantu pasien untuk mengungkapkan hal hal yang membuat
efektif cemas
Faktor yang  Melaporkan kepada perawat 12. Ajarkan pasien teknik relaksasi
berhubungan : terpapar penurunan lama cemas 13. Berikan obat obat yang mengurangi cemas
racun, konflik yang tidak  Menggunakan teknik
disadari tentang nilai-nilai relaksasi  untuk menurunkan
utama/tujuan hidup, cemas
berhubungan dengan  Mempertrahankan hubungan
keturunan/herediter, sosial
kebutuhan tidak  Mempertahankan konsentrasi
terpenuhi, transmisi  Melaporkan kepada perawat
iterpersonal, krisis tidur cukup
situasional/maturasional,  Melaporkan kepada perawat
ancaman kematian, bahwa cemas tidak
ancaman terhadap konsep mempengatruhi keadaan fisik
diri, stress, substans  Tidak adanya tingkahlaku
abuse, perubahan dalam: yang menunjukan cemas
status peran, status
kesehatan, pola interaksi,
fungsi peran, lingkungan, Keterangan
status ekonomi. 1 :Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
Batasan karakteristik:
3 : Kadang-kadang
Perilaku :
menunjukkan
 Produktivitas
4 : Sering menunjukkan
berkurang
 Scanning dan 5 : Selalu menunjukkan
kewaspadaan
 Kontak mata yang
buruk 2. Koping yang baik
 Gelisah Definisi : Tindakan untuk
 Pandangan sekilas mengelola stressor yang
 Pergerakan yang menggunakan sumber individu
tidak berhubungan, Indikator :
(misal : berjalan  Mengenal koping efektif
dengan menyeret  Mengenal koping tak efektif
kaki, pergelangan  Memverbalkan kemampuan
tangan/lengan kontrol
 Menunjukkan  Melaporkan menurunnya
perhatian seharusnya stress
dalam kejadian hidup  Memverbalkan penerimaan
 Insomnia terhadap situasi
 Resah  Mencari informasi yang
Affektive: berkaitan dengan penyakit
 Penyesalan dan pengobatannya
 Irritable  Modifikasi gaya hidup sesuai
 Kesedihan yang kebutuhan
mendalam  Beradaptasi dengan
 Ketakutan perubahan perkembangan
 Gelisah, gugup  Menggunakan support sosial
 Mudah tersinggung yang memungkinkan
 Rasa nyeri hebat dan  Mengerjakan sesuatu yang
menetap menurunkan stress
 Ketidakberdayaan  Mengenal strategi koping
meningkat multipel
 Membingungkan  Menggunakan strategi
 Ketidaktentuan koping efektif
 Peningkatan  Menghindari situasi penuh
kewaspadaan stress
 Fokus pada diri  Memverbalkan kebutuhan
 Perasaan tidak akan bantuan
adekuat  Mencari pertolongan
 Ketakutan professional yang sesuai
 Distress  Melaporkan menurunnya
 Kekhawatiran, prihatin keluhan fisik
 Cemas  Melaporkan menurunnya
Fisiologis : perasaan negatif
 Suara gemetar  Melaporkan kenyamanan
 Gemetar, tangan psikologis yang meningkat
tremor
 Goyah Keterangan:
 Respirasi meningkat 1 :Tidak pernah menunjukkan
(simpatis) 2 : Jarang menunjukkan
 Keinginan kencing 3 : Kadang-kadang
(parasimpatis) menunjukkan
 Nadi meningkat 4 : Sering menunjukkan
(simpatis) 5 : Selalu menunjukkan
 Berkeringat banyak
 Wajah tegang
 Anorexia (simpatis)
 Jantung berdetak kuat
(simpatis)
 Diare (parasimpatis)
 Keragu-raguan dalam
berkemih
(parasimpatis)
 Kelelahan (Simpatis)
 Mulut kering
(simpatis)
 Kelemahan (simpatis)
 Wajah kemerahan
(simpatis)
3 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan asuhan 1. Manajemen Nutrisi
nutrisi: kurang dari keperawatan selama …. X 24 Definisi : membantu dengan atau menyediakan masukan diet
kebutuhan tubuh jam klien dapat menunjukkan seimbang dari makanan dan cairan
1. status nutrisi yang  baik Intervensi :
Definisi : Nutrisi cukup untuk 1. Catat jika klien memiliki alergi makanan
Definisi : Intake nutrisi
memenuhi kebutuhan 2. Catat makanan kesukaan klien
tidak cukup untuk metabolisme tubuh 3. Tentukan jumlah kalori dan tipe nutrien yang dibutuhkan
keperluan metabolisme Indikator : 4. Dorong asupan kalori sesuai tipe tubuh dan gaya hidup
tubuh  Masukan nutrisi 5. Dorong asupan zat besi
 -          Masukan makanan 6. Tawarkan makanan ringan
dan cairan 7. Berikan gula tambahan k/p
Batasan karakteristik :  Tingkat energi cukup 8. Tawarkan bumbu sebagai pengganti garam
 Berat badan  20 %  Berat badan stabil 9. Berikan makanan tinggi kalori, protein dan minuman yang
di bawah ideal  Nilai laboratorium mudah dikonsumsi
 Dilaporkan adanya 10. Berikan pilihan makanan
intake makanan yang Keterangan: 11. Sesuaikan diet dengan gaya hidup klien
kurang dari RDA 1  : Sangat bermasalah 12. Ajarkan klien cara membuat catatan makanan
(Recomended Daily 13. Monitor asupan nutrisi dan kalori
2  : Cukup bermasalah
Allowance) 14. Timbang berat badan secara teratur
3  : Masalah sedang 15. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan
 Membran mukosa dan
4  : Sedikit bermasalah bagaimana memenuhinya
konjungtiva pucat
 Kelemahan otot yang 5  : Tidak ada masalah 16. Ajarkan teknik penyiapan dan penyimpanan makanan
digunakan untuk 17. Tentukan kemampuan klien untuk memenuhi kebutuhan
menelan/mengunyah nutrisinya
 Luka, peradangan pada
rongga mulut 2. Monitor nutrisi
 Mudah merasa Definisi : mengumpulkan dan menganalisa data dari pasien untuk
kenyang, sesaat mencegahatau meminimalkan malnutrisi.
setelah mengunyah Intervensi :
makanan 1. BB klien dalam interval spesifik
 Dilaporkan atau fakta 2. Monitor adanya penurunan BB
adanya kekurangan 3. Monitor tipe dan jumlah nutrisi untuk aktivitas biasa
makanan 4. Monitor  respon emosi klien saat berada dalam situasi yang
 Dilaporkan adanya mengharuskan makan.
perubahan sensasi rasa 5. Monitor interaksi anak dengan orang tua selama makan.
 Perasaan 6. Monitor lingkungan selama makan.
ketidakmampuan untuk 7. Jadwalkan pengobatan dan tindakan, tidak selama jam
mengunyah makanan makan.
 Miskonsepsi 8. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
 Kehilangan BB dengan 9. Monitor turgor kulit
makanan cukup 10. Monitor kekeringan, rambut kusam dan mudah patah.
 Keengganan untuk 11. Monitor adanya bengkak pada alat pengunyah,
makan peningkatan perdarahan, dll.
 Kram pada abdomen 12. Monitor mual dan muntah
 Tonus otot jelek 13. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, kadar Ht.
 Nyeri abdominal 14. Monitor kadar limfosit dan elektrolit.
dengan atau tanpa 15. Monitor makanan kesukaan.
patologi 16. Monitor pertumbuhan dan perkembangan.
17. Monitor kadar energi, kelelahan, kelemahan.
18. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan pada jaringan
Faktor yang konjungtiva.
berhubungan : 19. Monitor kalori dan intake nutrisi.
20. Catat adanya edema, hiperemia, hipertropik papila lidah
Ketidakmampuan
dan cavitas oral.
pemasukan atau
21. Catat jika lidah berwarna merah keunguan.
mencerna makanan atau
mengabsorpsi zat-zat gizi
berhubungan dengan
faktor biologis, psikologis
atau ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Carpenito, L. J., (2000), Buku saku diagnosa keperawatan, Edisi 8. EGC : Jakarta.
2. Corwin, E. J., (2009), Buku saku pathofisiologi. Edisi 3. EGC: Jakarta.
3. DeLaune & Ladner. (2002). Fundamental of nursing: Standards and practice. New
York: Delmar.
4. Doenges, M. E., Moorhous, M. F., & Geissler, A. C., (1999), Rencana asuhan
keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan
pasien. Edisi 3. EGC: Jakarta.
5. IAUI (Ikatan Ahli Urologi Indonesia). (2003). Pedoman penatalaksanaan BPH di
Indonesia. Style sheet: www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf. (Diunduh pada 17 Februari
2015).
6. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2010). Profil penduduk lansia 2009.
Komnas Lansia: Jakarta
7. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2009). Lampu kuning ledakan kaum
renta. Style sheet: http://www.komnaslansia.or.id/modules.php?
name=News&file=article&sid =26. (Diunduh 16 Februari 2015)
8. Mansjoer, A., dkk, (2000), Kapita selekta kedokteran, Edisi Jilid 2, Media Aesculapius,
Jakarta.
9. Nies, M.A. & McEwen, M. (2007). Community / publuc helath nursing: Promoting the
health of populations. (4th edition). St Lois: Saunders Elsevier
10. Parsons, J.K. (2010). Benign prostatic hyperplasia and male lower urinary tract
symptoms: Epidemiology and risk factors. Springer Journal, Curr Bladder Dysfunct
Rep, 5:212–218.
11. Purnomo, B. B., (2000), Dasar-dasar urologi. CV Info Medika: Jakarta.
12. Putra, R.A. (2012). 2020, Lansia Indonesia lebih banyak hidup di kota. Style sheet:
http://mizan.com/news_det/2020-lansia-indonesia-lebih-banyakhidup-di-kota.html.
(Diunduh 16 Februari 2015).
13. Roehrborn, C. G., & McConnell, J. D. (2011). Benign prostatic hyperplasia: etiology,
pathophysiology, epidemiology, and natural history. CampbellWalsh Urology. (10th
ed). Philadelphia: Saunders Elsevier.
14. Sjamsuhidajat, R., & Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2). EGC. (Hal
782–786): Jakarta
15. Smeltzer S.C., & Bare, B.G. (2003). Brunner & Suddarth’s textbook of medical
surgical nursing. (10th Ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
16. Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community and public health nursing. Missouri:
Mosby
17. Wilkinson M. Judith & Ahern R. Nancy. 2011. Buku saku diagnosis keperawatan. Edisi
9. EGC : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai