Anda di halaman 1dari 16

BPH (BENIGNA PROSTAT HIERPLASIA)

A. Pengertian
Benigna prostat hiperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat karena
hyperplasia beberapa/semua komponen prostat meliputi jaringan
kelenjar/fibromuskuler yg menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika.
Benigna prostat hiperplasia adalah pembesaran prostat yang jinak berupa
hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun, masyarakat sering
menyebutnya dengan hipertropi prostat padahal secara histologi yang dominan adalah
hyperplasia (Potter & Perry, 2006).
BPH adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat mengalami pembengkakan,
memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis paling umum pada pria
(Rakhmawati, 2016). BPH adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai hasil dari
pertumbuhan dan pengendalian hormone prostat (Rakhmawati, 2016).

B. Etiologi
Penyebab BPH belum jelas. Beberapa teori telah dikemukakan di antaranya: Teori
dihidrotestosteron, Ketidak seimbangan antara estrogen-testosteron, Interaksi stroma-
epitel, Berkurangnya kematian sel prostat, dan Teori sel stem.Oleh karena proses
pembesaran prostat terjadi secara perlahan- lahan maka efek terjadinya perubahan pada
traktus urinarius juga terjadi secara perlahan-lahan. Perubahan patofisiologik
yangdisebabkan oleh kombinasi retensi urethra daerah prostat, tonus trigonum dan leher
vesika, dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar detrusor dipersyarafi oleh
sistem para simpathis sedang trigonum dan leher vesika dan prostat oleh saraf simpathis.
Pada taraf awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang
bertambah pada leher vesika dan daerah prostat, kemudian detrusor akan mencoba
mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat (Rowiyatun, 2016).

Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat
detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampak apabila
dilihat dari dalam vesika dengan sistoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar
diantara serat detrusor sehingga membentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil
dinamakan sakula dan apabila besar disebut devertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi sehingga akan mengalami
retentio urinae total. Apabila vesika menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin
sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urine di dalam vesika, hal ini
menyebabkan rasa tidak tuntas pada akhir miksi masih ditemukan sisa urine di dalam
vesika, jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga
penderita tidak mampu lagi miksi oleh karena produksi urine akan terus terjadi maka pada
suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urine sehingga tekanan intravesika akan
naik terus dan apabila tekanan vesika akan naik terus dan apabila tekanan vesika menjadi
lebih tinggi daripada tekanan sfinfter akan terjadi inkontinensia paradoks (overflow
incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluks vesiko urethral dan
menyebabkan dilatasi ureter dan sistem pelvio kalises ginjal dan akibat tekanan
intravesikel yang diteruskan ke ureter dan ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal
ginjal. Proses kerusakan ginjal dapat dipercepat apabila disertai adanya infeksi
(Rowiyatun, 2016).
C. Patofisiologi
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan maka efek
perubahannya juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi
pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan
detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi (buli-buli balok). Mukosa
dapat menerobos keluar diantara serat detrusor. Tonjolan serat yang kecil dinamakan
sakula, sedangkan yang besar dinamakan divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan
akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin. Hal ini menyebabkan pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin
dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini
berlanjut maka pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga penderita tidak
mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka vesika tidak mampu lagi
menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat dan dapat terjadi
inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,
hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada
waktu miksi penderita terus mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau
hemoroid. Karena selalu terbentuk sisa urin terbentuk batu endapan di dalam kandung
kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu juga
dapat menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis (Smeltzer &
Bare, 2008; Heffner & Schust, 2010)
D. Pathway
E. Tanda dan Gejala
Gejala dan Tanda Benign Prostatic Hyperplasia
Gejala prostat hiperplasia dibagi menjadi gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala
obstruktif disebabkan oleh karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau
gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi dengan terputus-putus. Gejala
obstruktif yaitu gejala harus menunggu pada permukaan miksi (hesitency), miksi
terputus (intermittency), menetes pada akhir miksi (terminal dribbling), pancaran miksi
menjadi lemah, rasa belum puas sehabis miksi. Sedangkan gejala iritatif disebabkan
oleh karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran
prostat mnyebabkan rangsangan pada vesika, sehingga vesika sering berkontraksi
meskipun belum penuh, keadaan membuat system skoring untuk menentukan beratnya
keluhan klinik penderita prostat hiperplasia. Gejala iritatif yaitu bertambahnya
frekuensi miksi (frequency), nocturia, miksi sulit ditahan (urgency), dan nyeri pada
waktu miksi (dysuria) (Rowiyatun, 2016).

1. Gejala Klinis
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH disebut sebagai Lower Urinary
Tract Symptom (LUTS). Sindroma ini dibagi menjadi dua, yaitu: gejala obstruktif
dan gejala iritatif. Gejala obstruksi, terdiri dari pancaran melemah, akhir buang air
kecil belum terasa kosong (incomplete emptying), menunggu lama pada permulaan
buang air kecil (hesitancy), harus mengedan saat buang air kecil (straining), buang
air kecil terputus-putus (intermittency), dan waktu buang air kecil memanjang yang
akhirnya menjadi retensi urin dan terjadi inkontinen karena overflow. Kedua, gejala
iritatif terdiri dari sering buang air kecil (frequency), tergesa-gesa untuk buang air
kecil (urgency), buang air kecil malam hari lebih dari satu kali (nocturia), dan sulit
menahan buang air kecil (urge incontinence). Dari kedua macam gejala tersebut,
gejala obstruktif biasanya lebih menonjol. Bila terjadi gejala iritasi lebih menonjol
harus dipikirkan penyebab lain selain BPH (Nurarif & Kusuma, 2015).
2. Tanda Klinis
Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada
pemeriksaan colok dubur/ digital rectal examination (DRE). Ukuran dan
konsistensi prostat perlu diketahui, walaupun ukuran prostat yang ditentukan
melalui DRE tidak berhubungan dengan derajat obstruksi. Pada BPH, prostat
teraba membesar dengan konsistensi kenyal. Apabila teraba indurasi atau terdapat
bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan keganasan.
Kategori keparahan BPH berdasarkan tanda dan gejala (Nurarif & Kusuma, 2015):
Keparahan
Kekhasan gejala dan tanda
penyakit
Ringan Asimptomatik
Kecepatan urinary puncak <10 mL/s
Volume urine residual setelah pengosongan >25-50 mL
Peningkatan BUN dan Kreatin serum
Sedang Semua tanda diatas ditambah obstruktif penghilangan gejala
dan iritatif penghilangan gejala (tanda dan destrusor yang
tidak stabil)
Parah Semua yang diatas ditambah satu atau dua atau lebih
komplikasi BPH

F. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan
semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih karena urin tidak mampu
melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak
diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intra
abdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko
urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria.
Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis.
G. Penegakan Diagnosis
Diagnosis pembesaran prostat dapat ditegakan dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang pada pasien, diantaranya (Rowiyatun,
2016):
1. Anamnesis
Dilakukan untuk menilai gejala obstruktif dan gejala iritatif

2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat kita lakukan tindakan diantaranya:
a. Palpasi suprapubik, akan kita temukan bahwa vesika urinaria penuh dan
terdapat rasa nyeri.

b. Rectal toucher + bimanual, dapat ditentukan pembesaran prostat

H. Pemeriksaan
Diantara pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan BPH adalah sebagai
berikut (iaui.or.id):
1. Pemeriksaan fisik
BPH biasanya terjadi pada pria usia lanjut oleh karena itu pada pemeriksaan
fisik kita menghadapi pria dengan tanda-tanda usia lanjut seperti rambut telah
beruban, pada kulit muka terdapat keriput dan sebagainya. Tanda-tanda vital,
seperti: tensi, nadi, respirasi biasanya cukup baik kecuali bila BPH nya telah
disertai berbagai penyulit. Karena usia penderita yang cukup lanjut, pemeriksaan
keadaan umum penderita harus dikerjakan dengan teliti, tidak jarang terdapat
penyakit-penyakit lain seperti: hipertensi, obstruksi jalan nafas kronis, penyakit
parkinson, diabetes melitus, bekas stroke dan lain-lain. Pemeriksaan abdomen juga
harus diteliti. Daerah pinggang kanan dan kiri harus diperiksa dengan teknik
palpasi bimanual. Bila ginjal teraba, patut dicurigai adanya hidronefrosis karena
stasis urin. Bila penderita merasakan nyeri pada saat ditekan agak kuat, mungkin
terdapat pyelonefritis.
Pada inspeksi daerah suprasimfisis, bila penderita dalam keadaan retensio
urine, akan kelihatan menonjol. Penonjolan ini bila dipalpasi akan terasa adanya
balottement dan penderita akan tersa ingin kencing. Kemudian dengan cara perkusi
dapat diperkirakan ada tidaknya residual urine. Penting juga memeriksa penis dan
uretra untuk mendeteksi kemungkinan penyebab yang lain dari keluhannya
misalnya adanya stenosis meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma ataupun
fimosis. Scrotum bisa juga diperiksa untuk menentukan ada tidaknya hernia,
orchitis maupun epidiymitis.
2. Pemeriksaan colok dubur
a. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong:
- Grade 0: Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
- Grade 1: Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
- Grade 2: Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
- Grade 3: Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
- Grade 4: Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum. 
b. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, pasien dipersilakan
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
- Normal: Tidak ada sisa
- Grade I: sisa 0-50 cc
- Grade II: sisa 50-150 cc
- Grade III: sisa > 150 cc
- Grade IV: pasien sama sekali tidak bisa kencing
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, elektrolit serum, perlu dikerjakan sebagai
dasar keadaan umum penderita. Pemeriksaan kadar gula juga perlu dikerjakan
terutama untuk megetahui kemungkinan adanya neuropati diabetes yang dapat
menyebabkan keluhan miksi. Pemeriksaan urinalisa juga harus dikerjakan,
termasuk pemeriksaan bakteriologiknya. Adanya hematuria berarti perlu evaluasi
lenjut secara lengkap. Pemeriksaan petanda tumor (Prostate Spesific Antigen =
PSA) sudah banyak digunakan, juga merupakan salah satu sarana untuk
menyingkirkan dugaan keganasan. Harap diingat bahwa masa prostat yang besar
dapat menaikkan kadar PSA dalam darah dalam batas-batas tertentu. Hasil PSA
yang normal merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum memulai
terapi medikamentosa BPH.
4. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran
urin ini dapat diperiksa dengan Uroflowmeter. Jumlah urine yang cukup untuk
mendapatkan flowmetrogram yang representatif paling sedkit 150 ml dan maksimal
400 ml, yang ideal antara 200-300 ml. Penilaian hasil:
Flow rate maksimal: 15 ml/detik: non obstuktif; 10-15 ml/detik: border line;
10 ml/detik: obstruktif. Walaupun ada beberapa prosedur untuk mendiagnosis
BPH, Uroflowmetri merupakan cara terbaik dan paling tidak invasif dalam
mendeteksi adanya obstruksi traktus urinarius bagian bawah.
5. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
Perkembangan teknik pemeriksaan ultrasonogarfi (USG) membawa manfaat yang
besar bagi evaluasi penderita BPH. Selain itu dengan USG ini dapat pula diperiksa
buli-buli, misalnya ada batu buli-buli, tumor buli-buli, dan divertikel. Juga dapat
diperiksa jumlah residual urine. Terdapat beberapa macam tranducer untuk
pemeriksaan prostat yaitu: suprapubic (abdominal), transrektal dan transuretral.
Pemeriksaan Rontgenologik, yaitu: pyelografi intravena (IVP) sekarang tidak lagi
merupakan pemeriksaan rutin untuk evaluasi penderita BPH tetapi hanya
dikerjakan secara selektif.
I. Penatalaksanaan
Tidak semua penderita BPH memerlukan terapi, untuk menentukan apakah
penderita BPH perlu mendapatkan terapi serta modalitas terapi mana yang akan dipilih
tergantung dari berat ringannya keluhan serta tanda-tanda klinis dari penderita.
Keluhan ringan, sedang, atau berat dinilai dengan menggunakan sistem skoring.
Bebereapa modalitas terapi untuk BPH antara lain (Nurarif & Kusuma, 2015;
iaui.or.id):
1. Watchful Waiting (Observasi)
Watchful atau observasi adalah hanya mengawasi saja secara berkala dan tidak
memberikan pengobatan. Pengawasan berkala maksudnya adalah memeriksa ulang
setiap 3-6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan penderita. Pada
pemeriksaan ulang ini dinilai skor dari simtomnya, fisik, laboratorium dan flow
urinnya. Indikasi dari sikap “watchful” adalah BPH yang diketemukan secara
kebetulan, penderita dengan keluhan yang ringan (berdasarkan nilai skoring) serta
tidak dijumpai penyulit.
2. Medikamentosa
Indikasi dari terapi medikamentosa adalah BPH dengan keluhan ringan, sedang,
atau berat tanpa disertai penyulit dan BPH dengan indikasi terapi pembedahan
tetapi masih terdapat indikasi kontra atau belum “well motivied”. Macam obat yang
digunakan adalah:
a. Supresi Androgen
Asumsi yang mendasari terapi dengan supresi androgen pada BPH adalah
kontrasi atau supresi androgen menurunkan volume dan gejala prostat pada
penderita BPH, dan pria dengan kelainan bawaan berupa defisiensi enzim 5 α
reduktase, ternyata kelenjar prostat tidak berkembang. Supresi androgen dapat
terjadi dengan memberikan:
1) Penghambat enzim 5 α reduktase
2) Anti androgen
3) Analog Luteinizing hormone relasting hormone (LHRH).
Anti androgen dan analog LHRH tidak dipakai untuk pengobatan BPH
karena efek sampingnya sangat merugikan. Efek samping tersebut ialah
hilangnya libido, impotensi, hilangnya habitus pria, ginekomastia dan rasa
panas di wajah.
b. Golongan Alpha Blocker
Tegangan otot polos prostat dikontrol dominan oleh reseptor alpha-1. Kontraksi
otot polos prostat, yang merupakan bagian dari sindroma obstruktif BPH, dapat
dihambat oleh obat-obat alpha blocker, misalnya: phenoxybenzamin, alfuzosin,
doxazin, indoramin dan terazosin. Tetapi harus dimulai dengan dosis rendah dan
dengan hati-hati dinaikkan, tergantung respons individual.
3. Intervensi Invasif
Indikasi operasi pada pasien BPH adalah:
1. Retensio urine berulang.
2. Gangguan fungsi ginjal karena hambatan aliran urine karena pembesaran
prostat.
3. Hematuria (kencing darah baik yang makroskopis atau mikroskopis) karena
pembesaran prostat.
4. Infeksi traktus urinarius berulang karena pembesaran prostat.
5. Batu saluran kencing oleh karena pembesaran prostat.
6. Perubahan fisiologi dan anatomis proksimal dari prostat dan kandung kemih
(divertikel, hidronefrosis dll)
7. Gagal atau menolak terapi medikamentosa.
8. Hernia hemmorhoid karena mengejan saat kencing.
Tindakan invasif yang dapat dilakukan pada pasien BPH, antara lain:
a. Open prostatektomi, dikenal dengan 2 cara:
1) Freyer, teknik: suprapubik transvesikacal prostatektomi
2) Millin, teknik: Retropubik transkapsular prostatektomi.

b. Transuretra Reseksi Prostat (TURP)


TURP yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui
sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra, Sampai sekarang
reseksi prostat transuretra menjadi “gold standard” dari pembedahan prostat dan
merupakan tindakan endo urologik terbanyak (90-95%) untuk mengatasi
obstruksi intravesikal yang disebabkan oleh BPH.
c. Transuretra Insisi Prostat (TUIP)
Pada TUIP tidak dikerjakan reseksi prostat tetapi hanya melakukan insisi pada
posisi jam 5 dan jam 7 dari kelenjar prostat dengan menggunakan pisau dari
Collin.
d. Transuretra Laser Insisi Prostat (TULIP)
4. Intervensi Invasif Minimal, meliputi
a. Transuretral Ballon Dilatasi (TUBD)
Dengan menggunakan balon kateter yang berkapasitas antara 75F-110F dengan
tekanan antara 3-5 atmosfir, uretra prostatika didilatasi selama 10-30 menit.
Terapi ini dikerjakan untuk BPH yang kecil dan tanpa pembesaran dari lobus
medius. Terdapat perbaikan keluhan dan flowmetrik sampai 3-6 bulan sesudah
tindakan walaupun secara sitoskopik ternyata tidak ada perbedaan di daerah
uretra prostatika pra dan pasca tindakan.
b. Prostat Stent
Stent dibuat dari bahan kawat yang dianyam hingga berbentuk tabung. Stent
dipasang di uretra prostatika untuk mencegah berdempetnya prostat.
J. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada pasien BPH dengan menggunakan
diagnosa NANDA antara lain adalah:
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injury biologis
2) Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer yang tidak adekuat.
3) Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
4) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan
DAFTAR PUSTAKA
Aini, Nur. 2016. Benign Prostat Hiperplasia. Malang: UMM

Bulecheck, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M. 2016. Nursing Interventions


Classification (NIC), 6th Indonesian Edition. Elsevier Singapore Pte Ltd

Heffner, L.J. & Schust, D.J. 2010. At A Glance Sistem Reproduksi edisi ke dua. Jakarta:
Erlangga.

Herdman, T. H., Kamitsuru, S. 2015. NANDA International Inc. Diagnosis Keperawatan:


Definisi dan Klasifikasi 20015-2017, Ed 10. Jakarta : EGC

Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M.L., Swanson, E. 2016. Nursing Outcomes
Classification (NOC), 5th Indonesian Edition. Elsevier Singapore Pte Ltd

Nurarif, H.A. & Kusuma, A. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan diagnosa
medis dan Nanda NIC NOCedisi revisi jilid 1. Jogjakarta: Penerbit Medication.

Potter, A., Perry, A.G. 2006. Fundamental of Nursing: Concept, Process, and Practice. 4th
edition. United States: Mosby.

Rakhmawati, PI. 2016. Asuhan Keperawatan pada Pasien Benign Prostat Hiperplasia.
Purwokerto: Universitas Muhamadiya Purwokerto

Rowiyatun. 2016. Hubungan Volume Prostat dengan Peningkatan Tekanan Darah


Penderita BPH Pada Ultrasonografi. Semarang: UMS

Smeltzer, C. S. & Bare, G. B. 2008. Brunner & Suddarth’s Texbook of Medical-Surgical


Nursing11th Edition. Philadelpia: Lippincot Williams & Wilkins.

Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia diakses di


http://www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf pada tanggal 22 Januari 2018 pukul 19.00
WIB
NO DIAGNOSA NOC NIC
1 Gangguan eliminasi urine (00016) Eliminasi urine (0503) Manajemen eliminasi urine (0590):
Berhubungan dengan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama  Ajarkan pada klien dan keluarga tentang tanda
 Obstruksi anatomis 3x24 jam gangguan eliminasi urine klien teratasi, dan gejala infeksi saluran kencing
 Penyebab multiple dengan kriteria hasil :  Instruksikan pada klien dan keluarganya untuk
 Kerusakan sensorimotorik  Pola eliminasi klien sesuai range yang mencatat output urine
 ISK ditentukan  Dapatkan urine midstream untuk pemeriksaan
Data subjektif:  Bau, jumlah, warna urine khas urinalisis
 …………………………………  Urine bebas partikel dan jernih  Laporkan pada dokter jika terjadi tanda dan
………………………………  Intake dan output 24 jam seimbang gejala ISK
Data objektif :  Urine keluar tanpa nyeri/tanpa  Anjurkan minum 2 liter per hari jika tidak
 Disuri hesitancy/tanpa urgency terdapat kontraindikasi
 Frekuensi  Pengosongan bladder sempurna  Instruksikan klien untuk memonitor tanda dan
 Hesitansi  BUN 7-18 mEq/L, Creatinin 0,6-1,3 mEq/L gejala ISK
 Inkontinensia  Analisa urine baik  Monitor eliminasi urine, termasuk frekuensi,
 Nokturi konsistensi, bau, volume, dan warnanya
 Retensi  Monitor tanda dan gejala retensi urine
 Urgensi
 ………………………………

2 Nyeri akut (00132) berhubungan dengan Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400):
 Agen injuri fisik Tingkat kenyamanan (2100)  Lakukan pengkajian komprehensif terhadap
 Agen injuri biologi Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama nyeri (PQRST), observasi tanda nonverbal
 Agen injuri kimia 3x24 jam klien dapat mengontrol nyeri dan adanya ketidaknyamanan
 Agen injuri psikologis mencapai tingkat kenyamanan, ditandai dengan:  Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
 Klien mengenali faktor penyebab nyeri mengetahui pengalaman nyeri
Data subyektif  Klien mengenali lamanya (onset) nyeri  Kaji lstsr belakang budaya yang mempengaruhi
 Laporan secara verbal  Klien mampu menggunakan metode respon nyeri
…………………………………. nonfarmakologik untuk mengurangi nyeri  Tentukan dampak nyeri terhadap kualitas hidup
Data obyektif  Klien menggunakan analgetik sesuai (ex: tidur, selera makan, aktivitas, kognisi,
 Posisi untuk menahan nyeri kebutuhan mood, dll)
 Tingkah laku berhati-hati  Klien melaporkan nyeri terkontrol  Sediakan informasi tentang nyeri, misalnya
 Gangguan tidur (mata sayu,  Klien melaporkan skala nyeri berkurang penyebab, onset dan durasi nyeri, antisipasi
tampak capek, menyeringai)  Klien melaporkan frekuensi nyeri berkurang ketidaknyamanan karena prosedur tertentu
 Perubahan autonomic dalam tonus  Ekspresi wajah postur tubuh rilek  Kontrol factor lingkungan yang dapat
otot (mungkin dalam rentang dari  Klien melaporkan kenyamanan mempengaruhi respon klien terhadap
lemah ke kaku)  Klien mengekpresikan kepuasan dengan ketidaknyamanan (ex: suhu ruang, kebisingan,
 Tingkah laku ekspresif (contoh : control nyeri cahaya)
gelisah, merintih, menangis,  Ajarkan teknik nonfarmakologi (ex:
waspada, iritabel, nafas biofeedback, TENS, hypnosis, relaksasi, guided
panjang/berkeluh kesah imagery, terapi music, distraksi, terapi bermain,
 Perubahan dalam nafsu terapi aktivitas, acupressure, aplikasi
makan/minum panas/dingin, dan massase).
 Fokus menyempit (penurunan  Tingkatkan istirahat dan tidur.
persepsi waktu, penurunan  Monitor kepuasan pasien dengan manajemen
interaksi dengan lingkungan) nyeri yang dilakukan
 Tingkah laku distraksi Respon  Observasi reaksi nonverbal dari
autonom (seperti diaphoresis, ketidaknyamanan
perubahan tekanan darah, perubah  Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
 .....................................................  Evaluasi efektivitas intervensi
 Kolaborasikan pemberian analgetik

3 Risiko Infeksi Status imun Kontrol infeksi


Factor risiko: Pengetahuan : kontrol infeksi  Terapkan unversal precaution
 Penyakit kronik Kontrol resiko  Batasi pengunjung bila perlu
 Imunitas didapat tidak adekuat Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam  Beri higiene yang baik
 Pertahanan primer tidak adekuat risiko infeksi teratasi, dengan kriteria hasil:  Monitor tanda dan gejala infeksi (local dan
(kulit rusak, trauma jaringan, stasis  Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi sistemik)
cairan tubuh, perubahan sekresi  Klien menunjukkan kemampuan untuk  Ajarkan teknik cuci tangan
pH, gangguan peristalsis) mencegah timbulnya infeksi  Ajarkan pada pasien dan keluarga tentang tanda
 Jumlah leukosit normal
 Pertahanan sekunder tidak adekuat  Klien menunjukkan perilaku hidup sehat dan gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya
(penurunan Hb, leucopenia, respon  Status imun, gastrointestinal, kepada petugas
inflamasi ditekan) Genitourinaria normal  Kolaborasi dokter bila ada tanda infeksi
 Peningkatan paparan lingkungan
(pathogen) Proteksi infeksi
 Imunosupresi  Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan
 Prosedur invasive prosedur.
 Kurangnya pengetahuan untuk  Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
menghindari paparan pathogen infeksi kandung kencing
 Tingkatkan cairan dan nutrisi
 Malnutrisi
 Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
 Agen farmasetik (contoh:
kemerahan, panas, drainase
imunosupresan)
 Pertahankan teknik aseptic dalam tiap tindakan
 Rupture membrane amnion
 Ganti peralatan perawatan pasien per prosedur
 Trauma
protocol
 Kerusakan jaringan
 Lakukan pemeriksaan kultur bila suspek infeksi
Data obyektif
dan laporkan hasilnya pada petugas yang
 Kerusakan jaringan:……… berwenang
 Tanda vital:………………..  Tingkatkan intake nutrisi dan cairan
 AL:…, AE:…, AT: …, Hb:…, TP:  Tingkatkan tidur dan istirahat
….., Alb:….,
 Kelola pemberian antibiotic
 Malnutrisi: BB/TB:..../…., IMT:….
 Ajarkan pada pasien dan keluarga cara
 Prosedur invasive:….. menghindari infeksi
Penyakit kronik
 Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
dan lokal

4 Kecemasan (00146) berhubungan dengan : Kontrol kecemasan. Penurunan kecemasan


 Krisis situasional Koping.  Gunakan pendekatan teknik komunikasi
 Sterss Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam terapeutik
 Perubahan: status kesehatan, status kecemasan klien teratasi dengan kriteria hasil:  Bantu klien mengenal situasi yang menimbulkan
ekonomi, lingkungan, pola  Klien mampu memonitor intensitas cemas. kecemasan
interaksi, fungsi peran  Klien mampu menghilangkan faktor penyebab  Nyatakan dengan jelas harapan terhadap perilaku
 Ancaman kematian kecemasan. klien
 Perubahan konsep diri  Klien mampu mengenal dan mengungkapkan  Jelaskan semua prosedur pengobatan dan
 Hospitalisasi gejala cemas perawatan
 Klien mampu menggunakan strategi koping  Temani klien untuk memberikan keamanan dan
Data subyektif yang efektif untuk mengontrol kecemasan. mengurangi takut
 Kawatir,takut,sedih  Klien melaporkan tidur yang adekuat.  Anjurkan keluarga untuk mendampingi klien
 Nyeri perut  Vital sign klien dalam kisaran :  Instruksikan pada klien untuk menggunakan
 Anoreksia,mual, diare TD : 120/80 mmHg, tehnik relaksasi (misal mendengarkan musik).
 Keinginan kencing. RR : 25-60x/mnt (bayi), 20-30 x/mnt (1-4  Dorong klien untuk mengungkapkan perasaan,
 ………………………. tahun), 14-25 x/mnt (5-14 tahun), 11-24x/mnt ketakutan, persepsi
(>14 tahun),  Identifikasi tingkat kecemasan klien
Data obyektif  Penampilan fisik, perilaku, bahasa tubuh dan tingkat  Kolaborasi pemberian obat anti cemas
 Kontak mata kurang aktivitas klien menunjukkan berkurangnya kecemasan
 Kurang istirahat,gelisah
 Berfokus pada diri sendiri
 Kesulitan bemafas
 Tampak tegang
 Peningkatan TD, HR, RR:
………………………………
 Peningkatan perspirasi, reflek
 ………………………………

Anda mungkin juga menyukai