Anda di halaman 1dari 29

1.

Definisi
Benigna prostate hyperplasia(BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai hasil dari
pertumbuhan dan pengendalian hormon prostate. (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 91)

Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu penyakit perbesaran atau hipertrofi dari prostate.
Kata-kata hipertrofi sering kali menimbulkan kontroversi di kalangan klinik karena sering rancu
dengan hiperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa dari segi kualitas terjadi pembesaran sel, namun
tidak diikuti oleh jumlah (kualitas). Namun, hiperplasia merupakan pembesaran ukuran sel
(kualitas) dan diikuti oleh penambahan jumlah sel (kuantitas). BPH sering menyebabkan
gangguan dalam eliminasi urin karena pembesaran prostat yang cenderung kearah depan atau
menekan vesika urinaria. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 130)

Benigna Prostat Hiperplasia adalah pertumbuhan nodul-nodul fibriadenomatosa majemuk dalam


prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas
dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. (Wijaya A. S., 2013, hal. 97)

Jadi kesimpulannya penyakit BPH adalah penyakit yang disebabkan karena ketidak seimbangan
antara hormon estrogen dan testosteron yang diikuti dengan pembesaran sel, sehingga terjadi
pembesaran pada prostat.

2. Etiologi
Penyebab pastinya belum diketahui secara pasti dari hiperplasia prostat, namun faktor usia dan
hormonal menjadi predisposisi terjadinya BPH. Beberapa hipotensi menyebutkan bahwa
hiperplasia prostat sangat erat kaitannya dengan :

 Peningkatan DTH (dehidrotestosteron)


Peningkatan liam alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari
kelenjar prostat mangalami hiperplasia.
 Ketidak seimbangan estrogen-testosteron
Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses penuaan, pada pria terjadi
peningkatan hormon estrogen dan penurunan hormon testosteron. Hal ini yang memicu
terjadinya hiperplasia stroma pada prostate.

 Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat


Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel, sehingga akan
terjadi BPH.

 Berkurangnya kematian sel (apoptosis)


Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat.

 Teori stem sel


Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan memicu terjadi benigna
prostat hyperplasia. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 131)

3. Manifestasi klinis
BPH merupakan yang diderita oleh klien laki-laki dengan usia rata-rata lebih dari 50 tahun di
karenakan peningkatan usia akan membuat ketidak seimbangan rasio antara estrogen dan
testosteron, dengan meningkatnya kadar estrogen diduga berkaitan dengan terjadinya hiperplasia
stroma, sehingga timbul dengan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya ploriferasi
sel tetapi kemudian estrogen lah yang berperan untuk memperkembang stroma. Gambaran klinis
dari BPH sebenarnya sekunder dari dampak obstruksi saluran kencing, sehingga klien kesulitan
untuk miksi. Berikut ini adalah beberapa gambaran klinis pada klien BPH :
 Gejala prostatimus (nokturia,urgency,penurunan daya aliran urin). Kondisi ini dikarenakan
oleh kemampuan vesika urinaria yang gagal mengeluarkan urin secara sepontan dan reguler,
sehingga volume urin masih sebagaiAN besar tertinggal dalam vesika.
 Retensi urin
Pada awal obstruksi,biasanya pancaran urin lemah, terjadi hesistansi, intermitensi,urin menetes,
dorongan mengejan yang kuat saat miksi dan retensi urin. Retensi urin sering dialami oleh klaien
yang mengalami BPH kronis. Secarafisiologis,vesika urinariamemiliki kemampuan untuk
mengeluarkan urin melalui kontraksi otot detrusor. Namun obstruksi yang berkepanjangan akan
membuat beban kerja m.destrusor semakin berat dan pada akhirnya mengalami dekompensasi.

 Pembesaran prostat
Hal ini diketahui melalui pemeriksaan rektal toucher (RT) anterior. Biasanya didapatkan
gambaran pembesaran prostat dengan konsistensi jinak.

 Inkontinensia
Inkontinensia yang terjadi menunjukan bahwa m.detrusor gagal dalam melakukan kontraksi.
Dekompensasi yang berlangsung lama akan mengiritabilitas serabut syaraf urinarius, sehingga
kontrol untuk miksi hilang.

(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 132)

Berbagai tanda dan gejala dapat dibagi dalamdua kategori: obstruktif (terjadi ketika faktor
dinamik dan atau faktor static mengurangi pengosongan kandung kemih) dan iritatif (hasil dari
obstruksi yang sudah berjalan lama pada leher kandung kemih). (Nurarif & Kusuma, 2015, hal.
91).

Adapun tanda dan gejala yang tampak pada pasien dengan BPH :

 Retensi urin.
 Kurang atau lemahnya pancaran urin dikarenakan pembesaran pada kelenjar prostat sehingga
saluran uretra terhimpit,dan membuat pancaran urin menjadi lemah.
 Miksi yang tidak puas, karena adanya pembesaran pada kelenjar prostat ini membuat uretra
menyempit dan maka dari itu dapat menghambat urine yang akan dimiksikan sehinnga akan
menimbulkan rasa miksi yang tidak puas,karena ada sebagaian urin yang belum keluar
dengan tuntas.
 Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari, karena hambatan dari korteks berkurang
dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
 Terasa panas, nyeri atau sekitar saat miksi (disuria), karena adanya ketidak stabilan detrusor
sehingga terjadi kontraksi involunter.
(Wijaya A. S., 2013, hal. 100)

4. Patofisiologi
Prostat sebagai kelenjar ejakulat memiliki hubungan fisiologis yang sangat erat dengan
dihidrotestoteron (DHT). Hormon ini merupakan hormon yang memacu pertumbuhan prostat
sebagai kelenjar ejakulat yang nantinya akan mengoptimalkan fungsinya. Hormon ini disintesis
dalam kelenjar prostat dari hormon testosteron dalam darah. Proses sintesis ini dibantu oleh
enzim 5□-reduktase tipe 2. Selain DHT yang sebagai prekursor, estrogen juga memiliki
pengaruh terhadap pembesaran kelenjar prostat. Seiring dengan penambahan usia,maka prostat
akan lebih sensitif dengan stimulasi androgen, sedangkan estrogen mampu memberikan proteksi
terhadap BPH. Dengan pembesaran yang melebihi dari normal, maka akan terjadi desakan pada
traktus urinarius. Pada tahap awal, obstruksi traktus urinarius jarang menimbulkan keluhan,
karena dengan dorongan mengejan dan kontraksi yang kuat dari m.detrusor mampu
mengeluarkan urin secara spontan. Namun obstruksi yang sudah kronis membuat dekompensasi
dari m.detrusor untuk berkontraksi yang ahirnya menimbulkan obstruksi saluran kemih.
(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 132)
Keluhan yang biasanya muncul dari obstruksi ini adalah dorongan mengejan saat miksi yang
kuat, pancaran urin lemah,disuria (saat kencing terasa terbakar), palpasi rektal toucher
menggambarkan hipertrofo prostat,distensi vesika n hipertrofi fibromuskuler yang terjadi pada
klien BPH menimbulkan iritasi pada mukosa uretra. Iritabilitas ini lah nantinya akan
menyebabkan keluhan frekuensi, urgensi, inkontinensia urgensi dan nukturia. Obstruksi yang
berkelanjutan akan menimbulkan komplikasi yang lebih besar , misalnya hidronefrosis, gagal
ginjal dan lain sebagainya. Oleh karena itu kateterisasi untuk tahap awal sangat efektif untuk
mengurangi distensi vesika urinaria. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 133)

Pembesaran pada BPH terjadi secara bertahap mulai dari zona periuretral dan
transisional.Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat zona transsisional yang posisinya
proksimal dari spinter externus dikedua sisi dari verumontanum dan di
zona periuretral.kedua zona tersebut hanya merupakan hanya dua persen dari volume
prostat.sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat.Hiperplasia ini terjadi secara nodular dan
sering diiringi oleh proliferasi fibro muskular untuk lepas dari jaringan epitel. Oleh karena itu,
hiperplasia zona transisional ditandai oleh banyaknya jaringan kelenjr yang tumbuh pada pucuk
dan cabang dari pada duktus. Sebenarnya ploriferasi zona transisional dan zona sentral pada
prostat berasal dari turunan duktus Wolffi dan proliferasi zona periferberasal dari sinus
urogenital. Sehingga, berdasarkan latar belakang embriologis inilah bisa diketahui mengapa BPH
terjadi pada zona transisional dan sentral, sedangkan Ca prostat terjadi pada zona perifer
(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 133)

Degeneratif

Pathway

Estrogen meningkat

Testosteron menurun
Dehidrostestosteronmeningkat

hiperplasiaepitel danstroma prostate

Peningkatan sel sistem

Proliferasi sel

BPH

Obstruksi sal.kencing bawah

kronis

Secondary Effect

Residu urin tinggi

Iritabilitas N.urinarius

Kehilangan kontrol miksi

Fungsi seksual turun

Disfusi seksual

Tekan intravesika meningkat

Inkontinensia urinarius fungsional

Refleks berkemih meningkat

urgensi

Retensi urin

Sensitifitas meningkat

Nyeri akut
Hambatan

Dekompensasi vesika urinaria

Aliran fisula urin

Kerusakan integritas kulit

Peningkatan epidermal growtht factor

Penurunan transforming growth factor beta

(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 134)

5. Klasifikasi
Berbagai tanda dan gejala dapat dibagi dalam dua kategori : obstruktif (terjadi ketika faktor
dinamik dan faktor statik mengurangi pengosongan kandung kemih) dan iritatif (hasil dari
obstruksi yang sudah berjalan lama pada leher kandung kemih).

Kategori keparahan BPH

Menurut R. Sjamsuhidayat dan Wim de Jong

 Derajat I : biasanya belum memerlukan tindakan tindakan bedah, diberi pengobatan


konservatif. Dengan menggunakan obat golongan reseptor alfa-adrenergik inhibitor mampu
merelaksasikan otot polos prostat dan saluran kemih akan lebih terbuka, seperti alfuzosin dan
tamsulosin dan biasanya dikombinasikan dengan finasteride.
 Derajat II : merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasannya dianjurkan reseksi
endoskopik melalui uretra (trans urethral resection/tur) .
 Derajat III : reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila di perkirakan prostate sudah cukup
besar, reseksi tidak cukup satu jam sebaiknya dengan pembedahan terbuka,melalui trans
vesikal retropublik atau perianal.
 Derajat IV : tindakan harus segera dilakukan membebaskan klient dari retensi
urine total dengan pemasangan kateter.
(Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 92)

Gambar pada penderita BPH:

6. Komplikasi
Komplikasi Benigna Prostat Hiperlasia kadang-kadang dapat mengarah pada komplikasi akibat
ketidak mampuan kandung kemih dalam mengosongkan urin. Beberapa komplikasi yang
mungkin muncul antara lain :

 Retensi kronik dapat menyebabkan reluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal


ginjal.
 Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi. Karena produksi
urin terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak lagi mampu menampung urin, sehingga
tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi
inkontinensia paradox (overflow incontinence ). Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko
ureter dan dilatasi. Ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak.
 Hernia atau hemoroid. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan traktus urinarius bagian atas
akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
meningkatkan pada tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid.
 Kerena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu..(Wijaya A. S.,
2013, hal. 102)

1. Konsep Asuhan Keperawatan Benigna Prostat Hiperplasia


2. Pengkajian
3. Identitas :
4. Umur :
BPH biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 131)

1. Jenis kelamin:
Hanya dialami oleh seorang laki laki (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 131)

1. Alasan masuk rumah sakit:


Biasanya pasien mecngeluh nyeri pada saat miksi dan perasaan ingin miksi yang mendadak saat
miksi harus menunggu lama dan kencing terputus- putus.

(Wijaya A. S., 2013, hal. 103)

1. Keluhan utama:
Nyeri saat miksi (Wijaya A. S., 2013, hal. 103)

1. Upaya yang dilakukan:


Pemberian obat golongan reseptor alfa-adrenergik inhibitor untuk merelaksasikan otot polos
prostat dan salura kemih agar terbuka (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 136)

2. Status kesehatan saat ini


3. Keluhan Utama
Keluhan utama yang menjadikan alasan pasien karena biasanya nyeri saat miksi, pasien juga
sering mengeluh saat miksi, pasien juga sering BAK berulang ulang (anyang-anyangan),
terbangun ingin miksi saat malam hari, perasaan ingin miksi yang sangat mendesak, kalau miksi
harus menunggu lama, harus mkencing terputus putus. (Wijaya A. S., 2013, hal. 103)

1. Alasan Masuk Rumah Sakit


Pasien mengeluh nyeri saat miksi,pasien merasakan jika inginmiksi harus menunggu lama,harus
mengedan dan kencing terputus-putus. (Wijaya A. S., 2013, hal. 103)

1. Riwayat Penyakit Sekarang


Pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien melalui metode PQRST dalam bentuk
narasi

 P (paliatif dan profokatif) : pasien mengeluh sakit pada saat miksi dan harus menunggu lama
dan harus mengedan.
 Q (Quality atau Quanty): pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seks.
 R (Regio dan Radiasi) :keluhan tersebut tempatnya , yaitu di bawah kandung kemih
 S (Saverit atau Scale) : keluhan tersebut mengganggu aktifitas dan mengeluh sering BAK
berulang-ulang.
 T (Timing) : saat pasien ingin miksi dan lebih sering terbangun pada saat malam hari.
(Wijaya A. S., 2013, hal. 103)

3. Riwayat kesehatan terdahulu


4. Riwayat penyakit sebelumnya :
Klien pernah menderita BPH sebelumnya dan apakah klien pernah dirawat dirumah sakit
sebelumnya. (Wijaya A. S., 2013, hal. 103)

1. Riwayat penyakit keluarga:


Mungkin diantara keluarga pasien sebelumnya ada yang menderita penyakit yang sama dengan
penyakit sekarang. (Wijaya A. S., 2013, hal. 103)

1. Riwayat pengobatan :
Pemberian obat golongan reseptor alfa-adrenergik inhibitor mampu merelaksasikan otot polos
prostat dan saluran kemih akan lebih terbuka.obat golongan 5-alfa-reduktase inhibitor mampu
menurunkan kadar dehidrotestosteron intraprostat, sehingga dengan turunya kadar testosteron
dalam plasma maka prostat akan mengecil. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 136)
4. Pemeriksaan fisik
5. Keadaan umum
6. Kesadaran
Pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia, keluhan yang sering dialami dikenal dengan istilah
LUTS (lower urunary tract symtoms) yaitu pancaran urin lemah, intermitensi,ada sisa urin pasca
miksi, urgensi, frekuensi dan disuria. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 137)

2. Tanda-tanda vital:
3. Tekanan darah : mengalami peningkatan pada tekanan darah
4. Nadi : adanya peningkatan nadi. Hal ini merupakan bentuk kompensasi dari nyeri yang tibul
akibat opstruksi meatus uretalis dan adanya distensi bladder.
5. Respirasi : terjadi peningkatan frekuensi nafas akibat nyeri yang dirasakan pasien.
6. Suhu : terjadi peningkatan suhu akibat retensi urin berlangsung lama seiring ditemukan
adanya tanda gejala urosepsis. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 137)
7. Pemeriksaan body sistem
8. Sistem pernafasan
9. Inspeksi : biasanya klien terjadi sesak nafas ,frekuensi pernafasan
10. Palpasi : pada palpasi supra simfisis akan teraba distensi badder.
11. Auskultasi : biasanya terdengar suara nafas tambahan seperti ronchi,wheezing,suara nafas
menurun, dan perubahan bunyi nafas. (Prabowo & Pranata, 2014, p. 137)
12. Sistem kardiovaskular
13. Inspeksi : tidak terdapat sianosis , tidak terdapat perubahan letak maupun pemeriksaan pada
inspeksi.

14. Palpasi : biasannya denyut nadi meningkat akral hangat CRT detik
15. Perkusi : pada pemeriksaan manusia normal pemeriksaan perkusi yang didapatkan pada
thorax adalah redup. (Prabowo & Pranata, 2014, p. 137)
16. Sistem persyarafan
17. Inspeksi : klient menggigil, kesadaran menurun dengan adanya infeksi dapat terjadi urosepsis
berat sampai pada syok septik. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 137)
18. Sistem perkemihan
19. Inspeksi : terdapat massa padat dibawah abdomen bawah (distensi kandung kemih)
20. Palpasi : pada palpasi bimanual ditemukan adanya rabaan pada ginjal. Dan pada palpasi
supra simfisis akan teraba distensi bladder dan terdapat nyeri tekan.
21. Perkusi :dilakukan untuk mengetahui adatidaknya residual urin terdapat suara redup
dikandung kemih karena terdapat residual (urin). (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 137)
22. Sistem pencernaan
23. Mulut dan tenggorokan : hilang nafsu makan mual dan muntah.
24. Abdomen : datar (simetris)
25. Inspeksi : bentuk abdomen datar , tidak terdapat masa dan benjolan.
26. Auskultasi : biasanya bising usus normal.
27. Palpasi ; tidak terdapat nyeri tekan dan tidak terdapat pembesaran permukaan halus.
28. Perkusi ; tympani (Wijaya, 2013, p. 100).
29. Sistem integumen
30. Palpasi : kulit terasa panas karena peningkatan suhu tubuh karena adanya tanda gejala
urosepsis klien menggigil , kesadaran menurun. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 137)
31. Sistem endokrin
Inspeksi : adanya perubahan keseimbangan hormon testosteron dan esterogen pada usia lanjut.
(Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 91)

1. Sistem reproduksi
Pada pemeriksaan penis, uretra, dan skrotum tidak ditemukan adanya kelainan, kecuali adanya
penyakit penyerta seperti stenosis meatus. Pemeriksaan RC (rectal toucher) adalah pemeriksaan
sederhana yangpaling mudah untuk menegakan BPH. Tujuannya adalah untuk menentukan
konsistensi sistem persarafan unut vesiko uretra dan besarnya prostate. (Prabowo & Pranata,
2014, hal. 137)

1. Sistem muskuloskletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatkan kateter tidak boleh
fleksi selama traksi masih diperlukan. (Wijaya, 2013, p. 106)

1. Sistem pengindraan
Inspeksi : pada pasien BPH biasanya pada sistem ini tidak mengalami gangguan (Prabowo &
Pranata, 2014, p. 137).

1. Sistem imun
Tidak terjadi kelainan imunitas pada penderita BPH. (Prabowo & Pranata, 2014, p. 137)

5. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan lainya yang bisa membantu penegakan diagnosis BPH adalah USG ginjal( melihat
komplikasi) dan vesika urinaria(tampak pembesaran jaringan prostat). Pemeriksaan uroflowmetri
sangat penting dengan melihat pancaran urin.berikut penilaian dari pemeriksaan uroflowmwtri :

 Flow rate maksimal > 15ml/detik = non ostruktif


 Flow rate maksimal 10-15ml/detik = border line
 Flow rate maksimal < 15ml/detik = obstruktif. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 138)
1. Pemeriksaan penunjang antara lainnya :
2. BNO/ IVP : untuk menentukan adanya divertikel, penebalan bladder.
3. USG dengan Transuretral Ultrasonografi prostat (TRUS P) unruk menentukan volume
prostat.
4. Trans-abdomal USG : untuk mendeteksi bagian prostat yang menonjol ke buli-buli yang
dapat dipakai untuk meramalkan derajat berat obstruksi apabila ada batu dalam vesika.
5. Cystoscopy untuk melihat adanya penebalan pada dinding bladder.
(Wijaya A. S., 2013, hal. 101)

2. Pemeriksaan laboratorium
3. Hasil Pemeriksaan darah lengkap tidak menunjukan adanya kelainan, kecuali disertai dengan
urosepsis yaitu adnya peningkatan leukosit.
4. Pemeriksaan urin lengkap akan ditemukan adanya bakteri patogen pada kultur jika ada
infeksi dan adanya eritrosit jika terjadi reptur pada jaringan prostat.
5. Pada kondisi post operasi pemeriksaan PA dilakukan untuk keganasan/jinak dari jaringan
prostat yang hiperplasia.
(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 138)

6. Penatalaksanaan
Penyakit BPH merupakan penyakit bedah, sehingga terapi bersifat simptomatis untuk
mengurangi tanda gejala yang diakibatkan oleh obstruksi pada saluran kemih. Terapi
simptomatis ditujukan untuk merelaksasi otot polos atau dengan menurunkan kadar hormonal
yang mempengaruhi pembesaran prostat. Sehingga obstruksi akan berkurang. Jika keluhan masih
bersifat ringan maka observasi diperlukan dengan pengobatan simptomatis untuk mengevaluasi
perkembangan klient. Jika telah terjadi obstruksi/atau retensi urin, inveksi,
vesikolithiasis,insufisiensi ginjal, maka harus dilakukan pembedahan.

1. Terapi simptomatis
Pemberian obat golongan reseptor alfa-adrenergik inhibitor mampu merelaksasikan otot polos
prostat dan saluran kemih akan lebih terbuka.obat golongan 5-alfa-reduktase inhibitor mampu
menurunkan kadar dehidrotestosteron intraprostat, sehingga dengan turunya kadar testosteron
dalam plasma maka prostat akan mengecil.
1. TUR-P (Transuretral Resection Prostatectomy)
Tindakan ini merupakan tindakan pembedahan non insisi yaitu pemotongan secara elektis prostat
melalui meatus uretralis. Jaringan prostat yang membesar dan menghalangi jalanya urin akan
dibuang melalui elektrokauter dan dikeluarkan melalui irigasi dilator. Tindakan ini memiliki
banyak keuntungan, yaitu meminimalisir tindakan pembedahan terbuka, sehinnga masa
penyembuhan semakin cepat dan tingkat resiko infeksi bisa ditekan.
1. Pembedahan terbuka (Prostatectomy)
Tindakan ini bisa dilakukan jika prostat terlalu besar diikuti dengan penyakit penyerta lainnya,
misal tumor vesika urinaria, vesikolithiasis, dan adanya adenoma yang besar.

(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 136)

7. Pemeriksaan klinis
Untuk mengetahuin apakah pembesaran prostat ini bersifat benigna atau malnigna dan untuk
memastikan tidak ada penyakit penyerta lainnya. Berikut pemeriksaannya:

1. Urinalisis dan kultur urine


Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (red blood cell) dalam urin
yang memanifestasikan adanya perdarahan/hematuria.

1. DPL (Deep Peritoneal Lavage)


Digunakan untuk melihat ada tidaknya perdarahan internal dalam sbdomen. Sampel yang
diambil adalah cairan abdomen dan diperiksa jumlah sel darah merahnya.

1. Ureum, Elektrolit dan Serum Kreatinin


Untuk menentukan status fungsi ginjal . hal ini digunakan sebagai data pendukung untuk
mengetahui penyakit komplikasi dari BPH, karena obstruksi yang berlangsung kronis seringkali
menimbulkan hidronefrosis yang lambat laun akan memperberat fungsi ginjal dan pada ahirnya
menjadi gagal ginjal.

1. PA (Patologi Anatomi )
Dilakukan dengan sempel jaringan pasca operasi. Sempel jaringan akan dilakukan pemeriksaan
mikroskopis untuk mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau malnigna, sehingga akam
menjadi landasan untuk treatmen selanjutnya.

1. Catatan harian berkemih


Setiap hari perlu dilakukan evaluasi output urin. Sehingga akan terlihat bagaimana siklus
rutinitas miksi dari pasien. Data ini digunakan sebagai bekal untuk membandingkan dengan pola
eliminasi urin yang normal.

1. Uroflowmetri
Demgan menggunakan alat pengukur, maka akan terukur pancaran urin. Pada obstruksi dini
seringkali pancaran melemah bahkan meningkat. Hal ini disebabkan obstruksi dari kelenjar
prostat pada traktus urinarius. Selain itu volume residu urin juga harus diukur. Normalresidual
urin < 100ml. Namun residual tinggi membuktikan bahwa vesika urinaria tidak mampu
mengeluarkan urine secara baik karena adanya obstruksi.

1. USG Ginjal dan Vesika Urinaria


USG ginjal bertujuan untuk melihat adanya komplikasi penyerta dari BPH, misalnya
hidronephrosis. Sedangkan USG pada vesika urinaria akan memperlihatkan gambar pembesaran
kelenjar prostat. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 135)

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang biasanya sering muncul pada klient dengan Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH).

1. Retensi urin
Definisi : pengosongan kandung kemih tidak komplet

. (PPNI, 2017, hal. 115)

Batasan Karakteriksi :
Objek

1. Tidak ada haluaran urin.


2. Distensi kandung kemih.
3. Urin menetes.
4. Inkontinensia overlow
5. Residu urine
6. Haluaran urin sering dan sedikit atau tidak ada
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 469)

Subjek

1.
2. Sering berkemih.
3. Sensasi kandung kemih penuh
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 469)

Faktor yang berhubungan:

1. Sumbatan
2. Tekanan ureter tinggi
3. Inhibisi arkus reflek
4. Spingter yang kuat
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 469)

2. Nyeri akut
Definisi: pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual
atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan beritensitas ringan hingga berat yang
berlangsung hingga 3 bulan
(PPNI, 2017, hal. 172)

Batasan karakteristik

Subjektif

1. Mengeluh nyeri
(PPNI, 2017, hal. 172)

Objektif

1. Tampak meringis
2. gelisah
3. Sulit tidur
4. Frejuensi nadi meningkat
(PPNI, 2017, hal. 172)

3. Inkontinensia urin fungsional


Definisi; pengeluaran urin tidak terkendali karena kesulitan dan tidak mampu mencapai toilet
pada waktu yang tepat

. (PPNI, 2017, hal. 104)

Batasan karakteristik:

Subjek

1. Mengompol sebelum mencapai toilet atau usaha mencapai toilet


(PPNI, 2017, hal. 104)
Mampu mengkosongkan kandung kemih secara tuntas lama waktu yang di perlukan untuk
mencapai toilet lebih panjang dari waktu antara merasakan dorongan ingin berkemih dan
berkemih tanpa kendali, mengeluarkan urin sebelum mencapai toilet, kemungkinan hanya
inkontinensia di pagi hari,dan merasakan dorongan ingin berkemih.

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 460)

Faktor yang berhubungan

1. Perubahan faktor lingkungan


2. Gangguan koknisi
3. Gangguan penglihatan
4. Keterbatasan neuromuskular
5. Faktor psikologis
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 460)

4. Kerusakan integritas kulit


Definisi: kerusakan kulit (dermis/epidermis) atau jaringan (membran
mukosa,kornea,fasia,otot,tedon, tulang, kartilago, kapsul sendi, ligamen)

(PPNI, 2017, hal. 282)

Batasan karakteristik

Objektif

1. Kerusakan jaringan dan lapisan kulit


2. Kerusakan pada permukaan kulit (epidermis)
3. Infasi struktur tubuh
(PPNI, 2017, hal. 282)
Faktor yang berhubungan

1. Kelembapan
2. Obat
3. Kelembapan kulit
4. Mobilitas fisik
5. Perubahan pigmentasi
6. Perubahan turgor
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 397)

5. Disfungsi sexsualitas
Definisi; disfungsi sexsual selama fase respon sexsual berupa hasrat,terangsang,orgasme, atau
reaksi yang di rasakan tidak memuaskan, tidak bermakna atau tidak adekuat.

(PPNI, 2017, hal. 156)

Batasan karakteristik

Subjektif

1. Mengunkapkan aktifitas seksual berubah


2. Mengungkapkan eksitasi seksual berubah
3. Merasa hubungan seksual tidak memuaskan
4. Mengungkapkan peran seksual berubah
5. Mengeluh hasrat seksual menurun
6. Mengungkapkan fungsi seksual berubah
7. Mengeluh nyeri saat berhubungan seksual
(PPNI, 2017, hal. 156)

Objektive
1. Pembatasan aktual akibat penyakit atau terapi.
2. Perubahan dalam pencapaian persepsi peran sexs.
3. Mencari penegasan tentang kemampuan respon gairah sexsual
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 391)

Faktor yang berhubungan

1. Perubahan struktur atau fungsi tubuh.


2. Perubahan biopsiko sexsualitas.
3. Konflik nilai
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 391)

3. Itervensi Keperawatan
Berikut ini adalah interfensi yang dirumuskan untuk mengatasimasalah keperawatan pada klient
dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH).

1. Retensi urin berhubungan dengan tekanan intra vesika meningkat


Kriteria hasil:

1. Residu pasca berkemih > 100-200 ml.


2. Menunjukkan pengosongan kandung kemih dengan prosedur bersih.
3. Mendiskripsikan prosedur perawatan di rumah.
4. Melaporkan spasme kandung kemih.
5. Mempunyai keseimbangan asupan dan haluaran 24 jam.
6. Mengosongkan kandung kemih secara tuntas.
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 470)

Aktivitas keperawatan

Pengkajian
1. Identifikasi dan dokumentasikan pola pengosongan kandung kemih.
2. Perawatan retensi urin.
3. Pantau drajat distensi kandung kemih melalui palpasi dan perkusi
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 470)

Penyuluhan untuk pasien dan keluarga

1. Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih yang harus di laporkan.
2. Perawatan retensi urin: intruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat haluaran urine bila di
perlukan.(Wilkinson J. M., 2016, hal. 470)
Aktivitas lain

1. Lakukan program pelatihan pengosongan kandung kemih


2. Bagi cairan dalm sehari untuk menjamin asupan yang adekuat tanpa menyebabkan kandung
kemih overdistensi (Wilkinson J. M., 2016, hal. 470)
Aktivitas kolaborativ

1. Rujuk ke perawat terapi enterestoma untuk instruksi kateterisasi intermiten mandiri


menggunakan prosedur setiap 4-6jam saat terjaga
2. Perawatan retensi urin: rujuk pada sepesialis kontinensia urin jika di perlukan.(Wilkinson J.
M., 2016, hal. 470)
3. Nyeri akut berhubungan karena adanya sensitifitas yang meningkat.
Kriteria hasil

1. Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai kenyamanan.
2. Mempertahankan tingkat nyeri pada atau kurang denganskala 0-10
3. Menggunakan tindakan meredakan nyeri dengan analgesik dan non-analgesik secara
tepatmelaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis.
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 296)

Aktivitas keperawatan
Pengkajian

1. Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0 sampai 10 (0=tidak ada
nyeri atau tidak kenyamanan, 10= nyeri berat)
2. Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau pereda nyeri oleh analgesik dan kemungkinan
efek sampingnya.
3. Manajemen nyeri : lakukan pengkajian nyeri meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan
durasi,frekuensi,kualitas, intensitas atau keparahan nyeri dan faktor presipitasinya.
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 298)

Penyuluhan untuk pasien dan keluarga

1. Intruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika peredaan nyeri tidak dapat
dicapai.
2. Informasikan pada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan
strategi koping yang didasarkan.
3. Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesik narkotik atau oipid (resiko ketergantungan atau
overdosis).
4. Managemen nyeri : berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama
akan berlangsung dan antisipasi ketidak nyamanan akibat prosedur.
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 298)

Aktivitas lain

1. Bantu pasien untuk berfokus pada hal lain , bukan pada nyeri dan rasa tidak nyaman dengan
melakukan pengalihan melalui televisi,radio,dan interaksi dengan pengunjung.
2. Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan yang efektif di masa lalu seperti
distraksi relaksasi atau kompres hangat atau dingin
3. Gunakan pendekatan yang positif untuk mengoptimalkan respon pasien terhadap analgesik.
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 298)
Aktivitas kolabiratif

1. Kelola nyeri paska bedah awal dengan pemberian obat yang terjadwal atau PCA.
2. Management nyeri: gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih berat
dan laporkan pada dokter jika tindakan tidak berhasil atau keluhan saat ini merupakan
perubahan yang bermakna dari pengalaman nyeri pasien di masa lalu
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 298)

3. Inkontensia urin fungsional berhubungan dengan kehilangan kontrol miksi.


Kriteria hasi

1. Mengidentifikasi keinginan berkemih


2. Melakukan eliminasi secara mandiri
3. Mempertahankan pola eliminasi yang dapat didug
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 468)

Aktivitas keperawatan

Pengkajian

1. Pantau eliminasi urin ,termasuk frekuensi, bau, volume dan warna.


2. Kumpulkan spesimen urine prosi tengah untuk urinalis.
3. Identifikasi faktor yang menyebabkan episode inkontinensia .(Wilkinson J. M., 2016, hal.
468)
Penyuluhan untuk pasien dan keluarga

1. Anjurkan pasien dan keluarga untuk melakukan perawatan kulit dan higine untuk mencegah
kerusakan kulit.
2. Lakukan strategi management kandung kemih selama melakukan aktivitas di tempat yang
jauh dari rumah.
3. Ajarkan pasien dan pemberi asuhan tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih.
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 469)

Aktivitas lain

1. Beri pakaian pelindung atau pengalas jika perlu.


2. Modifikasi pakaian yang mudah dan cepat di lepas.
3. Bantu pasien untuk eliminasi dan berkemih tepat waktu pada interval yang di programkan.
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 469)

Aktivitas kolaboratif

1. Konsultasikan dengan dokter dan ahli terapi okupasi untuk bantuan ketangkasan manual.
2. Rujuk ke penyedia perawatan primer (minta pasien untuk menghubungi penyedia ) jika tanda
dan gejala infeksi kandung kemih terjadi.
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 469)

4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan residual urine tinggi.


Kriteria hasil

1. Haluaran urin normal (0,5/kg/jam


2. Asupan dan haluaran cairan seimbang
Kulit hangat dan kering

(Wilkinson J. M., 2016, hal. 397)

Aktivitas keperawatan
Pengkajian

1. Kaji kelembapan pada area genetalia.


2. Inspeksi adanya kemerahan, pembengkakan, atau tanda tanda dehisensi atau efiserasi pada
area insisi pada pos oprasi bph.
3. Inspeksi luka pada setiap mengganti balutan.
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 398)

Penyuluhan untuk pasien dan keluarga

1. Ajarkan perawatan luka insisi pembedahan,termasuk tanda dan gejala infeksi, cara
mempertahankan luka insisi tetap kering saat mandi, dan mengurangi penekanan pada insisi
tersebut.
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 398)

Aktifitas lain

1. Evaluasi tindakan pengobatan atau pembalutan topikal yang dapat meliputi balutan
hydropoloid , balutan hydrofilik, balutan absorben dsb.
2. Lakukan perawatan luka atau perawatan kulit secara rutin.
3. Bersihkan dan balut area insisi pembedahan menggunakan prinsip steril.
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 398)

Aktivitas kolaborati

1. Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein, mineral,kalori dan vitamin.
2. Konsultasikan pada dokter tentang implementasi pemberian makanan dan nutrisi enteral atau
parenteral untuk meningkatkan potensi penyembuhan luka.
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 398)
5. Disfungsi seksual berhubungan dengan fungsi seksual yang menurun.
Kriteria hasil

1. Menunjukan keinginan untuk mendiskusikan perubahan fungsi seksual


2. Mengungkapkan secara verbal cara untuk menghindari penyakit menular seksual.
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 392)

Aktifitas keperawatan

Pengkajian

1. Pantau asdanya indikator resolusi disfungsi seksual (misalnya meningkatnya kapasitas ke


intiman.
2. Konseling seksual.
(Wilkinson J. M., 2016, hal. 392)

Penyuluhan untuk pasien dan keluarga

1. Beri informasi yang di perlukan untuk meningkatkan fungsi seksual


2. Informasikan secara dini kepada pasien bahwa seksualitas merupakan bagian penting dari
kehidupan dan bahwa penyakit,obat dan stress sering kali mengubah fungsi seksual.
3. Ajarkan kepada pasien hanya teknik yang sesuai dengan nilai dan keyakinan
(pasien).(Wilkinson J. M., 2016, hal. 392)
Aktifitas lainya

1. Beri waktu dan prifasi uintuk membahas permasalahan seksual pasien


2. Ingatkan pasien dan pasangan tentang kemungkinan ketidak tertarikan terhadap penurunan
kapasitas atau ketidak nyamanan dalam melakukan aktivitas seksual.(Wilkinson J. M., 2016,
hal. 393)
Aktivitas kolaboratif.
1. Dukung kelanjutan konseling setelah pemulangan.
2. Konseling seksual: lakukan perujukan atau konsultasikan dengan anggota tim layanan
kesehatan lain, jika perlu rujuk pasien kepada ahli terapi sexs jika di perlukanl.(Wilkinson J.
M., 2016, hal. 393)

DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis
Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction.
PPNI. (2017). STANDAR DIAGNOSIS KEPERAWATAN INDONESIA. JAKARTA SELATAN:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.Yogyakarta:
Nuha Medika.
Wijaya, A. S. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Nuha Medika.
Wilkinson, J. M. (2016). DiagnosaKeperawatan :DIAGNOSIS NANDA-1,INTERVENSI
NIC,HASIL NOC,Ed.10. jakarta: EGC MEDUCAL PUBLISHER.

1. Nyeri Akut b.d agent injuri fisik (spasme kandung kemih ).

2. Gangguan Eliminasi urin b.d sumbatan saluran pengeluaran pada kandung kemih ( BPH ).

3. Resiko infeksi b.d sumbatan pada vesical urinaria

2.2.3 Intervensi

No Diagnosa NOC NIC

1. Nyeri b.d spasme Setelah dilakukan tindakan - MANAJEMEN NYERI :

kandung kemih keperawatan dalam 1x24 jam - kaji skala nyeri


dengan kriteria hasil : - meringankan atau mengurangi nyeri

- nyeri berkurang sampai pada tingkat kenyamaan yang

dapat diterima oleh pasien

- pemberian analgetik : mengguanakan

agens- agens farmakologis untuk

mengurangi atau menghilangkan nyeri.

2. Gangguan eliminasi - urinary elimination - urinary retention care

urin b.d proses infeksi - urinary conturance - lakukanlah penilaian kemih yang

Kriteria hasil : kandung kemih komprehensif berfokus pada inkontinesia

kosong secara punuh ( misalnya , output urin, pola berkemih ,

- tidak bada residu urine > fungsi kongnitif dan masalah kencing

100-200 cc praekisten

- intake cairan dalam rentang - membantu penggunaan obat dengan

normal sifat antikolinergik atau property alpha

- bebas dari ISK agonis

- tidak ada spasme blader - memasang refleks kandung kemih

- blance cairan seimbang dengan menerapkan dingin untuk perut ,

membelai tinggi batin atau air

- sediakan waktu yang cukup untuk

pengosongan kandung kemih ( 10 menit)

Anda mungkin juga menyukai