Anda di halaman 1dari 31

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengetahuan

2.1.1. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan

pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca

indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour). Berdasarkan pengalaman dan

penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng

daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sebelum orang

mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) didalam diri seseorang terjadi proses

yang berurutan yakni :

1. Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut

3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya.

4. Trial, sikap dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai

dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus


8

5. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus (Notoatmodjo,

2012).

2.1.2. Tingkatan Pengetahuan

Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6

tingkatan yaitu :

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali

(recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah di terima. Oleh sebab itu, “tahu”ini adalah merupakan

tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang

tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan,

mendefinisikan,menyatakan dan sebagainya.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasi materi tersebut secara

benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan sebagainya terhadap

objek yang telah dipelajari, misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan

yang bergizi.
9

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang riil. Aplikasi ini dapat diartikan

aplikasi seperti penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan

sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan

rumus statistik dalam penghitungan-penghitungan hasil penelitian, dapat

menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle)

didalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek

kedalam komponen-komponen tetapi masih didalam suatu struktur organisasi

tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat

dilihat dari penggunaan kata-kata kerja, dapat menggambarkan, membedakan,

memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.

5. Sintesis (syntesis)

Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam satu bentuk yang baru. Dengan kata lain,

sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun suatu formulasi baru dari

formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan,

dapat meringkas, dapat menyesuaikan dan sebagainya.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukn justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan


10

suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang

telah ada. Pengukuran pengetahauan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek

penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau

kita ukur dapat dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan diatas

(Notoatmodjo, 2012).

2.1.3. Sumber Pengetahuan

Pengetahuan seseorang diperoleh dari pengalaman dari berbagai sumber,

misalnya media massa, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan,

media poster, kerabat dekat dan sebagainya. Pengetahuan sangat berhubungan

dengan pendidikan, sedangkan pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar

manusia yang sangat dibutuhkan untuk mengembangkan diri. Semakin tinggi

pendidikan, semakin mudah menerima serta mengembangkan pengetahuan dan

tekhnologi (Notoatmodjo, 2012).

2.1.4. Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan cara wawancara atau

lewat angket yang menanyakan tentang suatu materi yang ingin diukur dari

subyek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2012). Pengukuran dapat di

kategorikan menjadi 3 yaitu (Arikunto, 2013):

1. Pengetahuan baik : >75 %

2. Pengetahuan cukup : 60 – 75%

3. Pengetahuan kurang : <60 %.


11

2.2. Sikap

2.2.1. Pengertian Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang terhadap suatu stimulus

atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya ditafsirkan

terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukan

konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan

sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.

Sikap merupakan kecenderungan seseorang untuk menginterpretasikan

sesuatu dan bertindak atas dasar hasil interpretasi yang diciptakannya. Sikap

seseorang terhadap sesuatu dibentuk oleh pengetahuan kebudayaan, antara lain

berupa nilai-nilai yang diyakini dan norma-norma yang dianut. Menurut

Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial yang menyatakan bahwa sikap itu

merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan

pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,

akan tetapi merupakan “pre-disposisi” tindakan atau perilaku. Sikap itu masih

merupakan reaksi tertutup, dan bukan merupakan reaksi terbuka dari tingkah laku

yang terbuka. Lebih lanjut dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi

terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek

(Notoatmodjo, 2012)
12

2.2.2. Ciri-Ciri Sikap

Ciri-ciri sikap dibagi menjadi 5 bagian, yaitu :

1. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari

sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya,

sifat ini membedakanya dengan sifat-sifat biogenetis seperti lapar, haus,

kebutuhan akan istirahat.

2. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan karena itu

pula sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan

dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.

3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu

terhadap suatu objek. Dengan kata lain, sikap itu terbentuk, dipelajari atau

berubah senantiasa berkenaan dengan suatu objek tertentu yang

dirumuskan dengan jelas.

4. Sikap mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan sikap ini yang

membedakan sikap dari kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-

pengetahuan yang dimiliki orang

5. Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif.Dalam sikap

positif, kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi,

mengharapkan obyek tertentu. Sedangkan dalam sikap negatif terdapat

kecenderungan untuk menjahui, menghindari, membenci, tidak menyukai

obyek tertentu (Notoatmodjo, 2012)


13

2.2.3. Tingkatan Sikap

Menurut Notoatmodjo (2012) bahwa tingkatan sikap yaitu :

1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat

dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah

tentang gizi.

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan

tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu

usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan,

terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang

menerima ide tersebut.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya: seorang ibu

mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya, dan sebagainya) untuk

pergi menimbangkan anaknya ke posyandu, atau mendiskuksikan tentang

gizi suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif

terhadap gizi anak.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya, seorang ibu
14

mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapat tantangan dari mertua atau

orang tuanya sendiri.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.

Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden

terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-

pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo,

2012).

2.2.4. Faktor-Faktor Mempengaruhi Sikap

Menurut Azwar (2013) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi

sikap adalah:

1. Pengalaman pribadi

Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan

mempengaruhi penghayatan terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan

menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap, untuk dapat mempunyai

pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis.

2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Orang lain disekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial

yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting,

akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu.

3. Pengaruh kebudayaan

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar

terhadap pembentukan sikap kita. Tanpa kita sadari, kebudayaan telah

menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah.


15

4. Media massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi,

radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh besar dalam

pembentukan opini dan kepercayaan orang. Pesan-pesan sugestif yang

dibawa informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar efektif

dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tetentu.

5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai

pengaruh dalam permbentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan

dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu, pemahaman akan

baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak

boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta

ajaran-ajarannya.

6. Pengaruh faktor emosional

Tidak semua bentuk sikap yang ditentukan oleh situasi lingkungan dan

pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk sikap

merupakan pernyataan yang disadari oleh emosi yang berfungsi sebagai

semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme

pertahanan ego.

2.2.5. Pengukuran Sikap Model Likert

Dalam skala Likert, item ada yang bersifat favorable (baik/positif/tidak

mendukung) terhadap masalah yang diteliti, sebaliknya ada pula yang bersifat

unfavorable (tidak baik/negatif) terhadap masalah yang diteliti. Jumlah item yang
16

positif maupun yang negatif sebaiknya harus seimbang atau sama. Beberapa

bentuk jawaban pertanyaan atau pernyataan yang masuk dalam kategori skala

likert adalah sebagai berikut :

Alternatif penilaian terhadap item yang positif terhadap masalah penelitian

1. Sangat setuju : 4

2. Setuju : 3

3. Tidak setuju : 2

4. Sangat tidak setuju : 1

Alternatif penilaian terhadap item yang negatif terhadap masalah peneliti :

1. Sangat setuju : 1

2. Setuju : 2

3. Tidak setuju : 3

4. Sangat tidak setuju : 4

Corak khas dari skala Likert ialah bahwa makin tinggi skor yang diperoleh

oleh seseorang, merupakan indikasi bahwa orang tersebut sikapnya makin positif

terhadap objek sikap demikian sebaliknya. Sikap terdiri dari :

1. Sikap Positif, kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi,

menghadapkan objek tertentu.

2. Sikap Negatif, terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari,

membenci, tidak menyukai objek tertentu (Hidayat, 2012).


17

2.3. Pasca Operasi Appendectomy

2.3.1. Anatomi dan Histologi Apendiks

Apendiks merupakan suatu evaginasi dari sekum yang ditandai dengan

sebuah lumen kecil, sempit, dan tidak teratur. Struktur tersebut disebabkan oleh

folikel limfoid yang banyak pada apendiks (Junqueira, 2014).

Apendiks memiliki panjang sekitar 3-15 cm dan diameter 0,5-1 cm. Pada

bagian proksimal, lumen apendiks sempit dan melebar di bagian distal. Pada bayi,

apendiks berbentuk kerucut, di mana bagian pangkal melebar dan semakin

menyempit ke arah ujung. Hal ini merupakan salah satu faktor insidensi

apendisitis yang rendah pada umur tersebut. Sekitar 65% apendiks terletak di

intraperitoneal. Kedudukan ini menyebabkan apendiks dapat bergerak sesuai

dengan panjang mesoapendiks yang menggantungnya. Apendiks juga dapat

terletak di retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens,

atau di tepi lateral kolon asendens. Letak apendiks dapat menentukan manifestasi

klinis apendisitis. Appendiks tampak pertama kali saat minggu ke-8

perkembangan embriologi yaitu bagian ujung protuberans sekum. Pada saat

antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi

apendiks, kemudian berpindah dari medial menuju katup ileosekal

Apendiks memiliki 4 lapisan yaitu, mukosa, submukosa, muskularis

eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler), dan serosa. Apendiks dapat tidak

terlihat karena membran Jackson yang (lapisan peritoneum) menyebar dari bagian

lateral abdomen ke ileum terminal, menutup sekum dan apendiks. Lapisan

mukosa terdiri dari satu lapis epitel bertingkat dan crypta lieberkuhn. Dinding
18

dalam (inner circular layer) berhubungan dengan sekum dan dinding luar (outer

longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia coli pada pertemuan

sekum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari

apendiks. diantara mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Lapisan

submukosa terdiri dari jaringan ikat longgar dan jaringan elastik yang membentuk

jaringan saraf, pembuluh darah dan limfe

Persarafan parasimpatis apendiks berasal dari cabang n. vagus yang

mengikuti a. mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan

simpatis berasal dari n. torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis

bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a. apendikularis

yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena

trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene (Perry & Potter,

2012)

2.3.2. Fisiologi Apendiks

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks

tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang

dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di

sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat

efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan

apendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe

disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan

diseluruh tubuh (Perry & Potter, 2012)


19

Jaringan limfoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu

setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa

dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah umur 60 tahun, tidak ada

jaringan limfoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks

komplit. Immunoglobulin sekretorius dihasilkan sebagai bagian dari jaringan

limfoid yang berhubungan dengan usus untuk melindungi lingkungan anterior.

Apendiks bermanfaat tetapi tidak diperlukan (Schwartz, 2013).

2.3.3. Etiologi Apendisitis

Ligasi (obstruksi) apendiks menyebabkan peningkatan mencolok tekanan

intralumen, yang dengan cepat melebihi tekanan darah sistolik. Pada awalnya

kongesti darah vena menjelek menjadi trombosis, nekrosis dan perforata. Secara

klinis, obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Obstruksi ini

disebabkan oleh pengerasan bahan tinja (fekolit). Fekalit merupakan penyebab

tersering dari obstruksi apendiks. Bahan yang mengeras ini bisa mengapur,

terlihat dalam foto rontgen sebagai apendikolit (15-20%). Obstruksi akibat dari

edema mukosa dapat disertai dengan infeksi virus atau bakteri (Yersinia,

Salmonella, Shigella) sistemik. Mukus yang tidak normal terkesan sebagai

penyebab meningkatnya insidens apendisitis pada anak dengan kistik fibrosis.

Tumor karsinoid, benda asing, dan ascaris jarang menjadi penyebab apendisitis

(Hartman, 2015).

Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi

mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi

menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh


20

konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan

intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan

meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan

mempermudah terjadinya apendisits akut (Perry & Potter, 2012)

2.3.4. Patofisiologi

Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh

hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur pada fibrosis akibat

peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Mansjoer, 2015).

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian

proksimal. Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks

yang distensi secara terus menerus karena multiplikasi cepat dari bakteri.

Obstruksi iga menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung. semakin

lama, mukus tersebut semakin banyak. Namun, elastisitas dinding apendiks

terbatas sehingga meningkatkan tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendiks

normal hanya sekitar 0,1 ml (Schwartz, 2013).

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami

hipoksia, hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa, dan invasi bakteri. Infeksi

memperberat pembengkakan apendiks (edema). Trombosis pada pembuluh darah

intramural (dinding apendiks) menyebabkan iskemik. Pada saat ini, terjadi

apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus

terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut menyebabkan

obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.

Peradangan yang meluas dan mengenai peritoneum setempat menimbulkan nyeri


21

didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila

kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti

dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding

yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforata (Mansjoer., 2015).

2.3.5. Manifestasi Klinis

Pada permulaan timbulnya penyakit, belum ada keluhan abdomen yang

menetap. Keluhan apendisitis akut biasanya bermula dari nyeri di daerah

umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam,

nyeri beralih ke kuadran kanan, menetap, dan diperberat saat berjalan atau batuk.

Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, demam yang tidak terlalu tinggi,

konstipasi, kadang-kadang diare, mual dan muntah. Namun dalam beberapa jam

nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif (Mansjoer, 2015).

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh

radang mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun

tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umumnya nafsu makan menurun.

Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Di

sini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan

somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi

sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap

berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforata. Bila terdapat

perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau

batuk
22

Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya

terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak

ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri

timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari

dorsal. Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat

menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga

peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan

berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi

peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya (Pieter, 2014).

2.3.6. Diagnosis

Menurut Kartono (2013), massa apendiks dengan proses radang aktif

ditandai dengan:

1. Keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi;

2. Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas

terdapat tanda-tanda peritonitis;

3. Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat

pergeseran ke kiri.

2.3.7. Penatalaksanaan

Menurut Mansjoer (2015), penatalaksanaan apendisitis terdiri dari:

1. Sebelum operasi

a. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi

b. Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin

c. Rehidrasi
23

d. Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara

intravena

e. Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti mengigil, largaktil

untuk membuka pembuluh-pembuluh darah perifer diberikan setelah

rehidrasi tercapai

f. Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi

2. Operasi

a. Apendiktomi

b. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforata bebas, maka

abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika

c. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin mengecil,

atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa

hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6

minggu sampai 3 bulan

3. Pasca Operasi

a. Observasi Tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di

dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernafasan.

b. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan

lambung dapat dicegah

c. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler

d. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selam

pasien dipuasakan
24

e. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforata, puasa

dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.

f. Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30

ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya

diberikan makanan lunak

g. Satu hari pascar operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat

tidur selama 2x30 menit

h. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar

i. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang

Apendiktomi harus dilakukan dalam beberapa jam setelah diagnosis

ditegakkan (Pieter, 2014).

2.4. Mobilisasi Dini

2.4.1. Pengertian Mobilisasi Dini

Mobilisasi merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan

oleh individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang berupa pergerakan

sendi, sikap, gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas (Perry & Potter,

2012)

Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk berjalan bangkit berdiri

dan kembali ke tempat tidur, kursi, kloset duduk, dan sebagianya disamping

kemampuan mengerakkan ekstermitas atas. (Hincliff, 2012)

Mobilisasi merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan

oleh individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang berupa pergerakan

sendi, sikap, gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas. Mobilisasi


25

adalah kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur

dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan

kesehatannya.

Mobilisasi dini juga digunakan untuk menunjukkan pertahanan tubuh,

melakukan aktivitas sehari-hari dan berpartisipasi dalam aktivitas. Banyak fungsi

tubuh yang bergantung pada mobilisasi. Oleh karena itu, sistem muskuloskeletal

tubuh dan sistem syaraf harus berada dalam kondisi baik. Pasien dianjurkan untuk

segera melakukan mobilisasi dini setelah 24-48 jam pertama pasca bedah.

Pergerakan pasca pembedahan akan mempercepat pencapaian level kondisi

seperti pra pembedahan. Perawat mempunyai peran sebagai edukator dan

motivator sehingga pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea mampu melakukan

mobilisasi dini secara mandiri. Perawat hendaknya mampu berespon terhadap

kebutuhan pasien dengan melakukan tindakan keperawatan : promotif, preventif,

kuratif dan rehabilitatif. Dalam hal ini, perawat harus mampu mengkaji secara

teliti tingkat kebutuhan pasien akan mobilisasi, membuat perencanaan tindakan

keperawatan mobilisasi dini sehingga didapatkan pelayanan kesehatan yang

berkualitas dan komprehensif (Perry & Potter, 2012)

2.4.2. Jenis Mobilisasi

1. Mobilisasi penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak

secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan

menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf

motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh

seseorang.
26

2. Mobilitas sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak

dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena

dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya.

Mobilitas sebagian dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

a. Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk

bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat

disebabkan oleh trauma reversible pada sistem musculoskeletal,

contohnya: dislokasi sendi dan tulang.

b. Mobilitas sebagian permanen, merupakan kemampuan individu untuk

bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan

oleh rusaknya sistem saraf reversibel, contohnya terjadinya hemiplegia

karena stroke, paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomyelitis

karena terganggunya sistem syaraf motorik dan sensorik (Alimul, 2014)

2.4.3. Rentang Gerak Dalam Mobilisasi

Menurut Carpenito (2013), tahap-tahap dalam mobilisasi dini terdapat tiga

rentang gerak yaitu :

1. Rentang gerak pasif berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan

persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif, misalnya

perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien

2. Rentang gerak aktif merupakan hal ini untuk melatih kelenturan dan

kekuatan otot serta sendi dengan menggunakan otot-ototnya secara aktif

misalnya, berbaring pasien menggerakkan kakinya.


27

3. Rentang gerak fungsional berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi

dengan melakukan aktivitas yang diperlukan.

Pelaksanaan mobilisasi dini terdiri dari tahap-tahap sebagai berikut tidur

terlentang dulu selama 8 jam, kemudian boleh miring-miring, duduk, berdiri dan

bejalan-jalan. Sebelum melakukan mobilisasi terlebih dahulu melakukan nafas

dalam dan latihan kaki sederhana. Tahapan mobilisasi dapat membantu tubuh

melakukan adaptasi dengan baik sehingga tidak menimbulkan keluhan lain yang

tidak di harapkan.Gerakan mobilisasi ini diawali dengan gerakan ringan seperti :

a. Miring ke kiri-kanan yaitu memiringkan badan kekiri dan kekanan

merupakan mobilisasi paling ringan dan yang paling baik dilakukan

pertama kali. Disamping dapat mempercepat proses penyembuhan,

gerakan ini juga mempercepat proses kembalinya fungsi usus dan kandung

kemih secara normal.

b. Menggerakkan kaki yaitu setelah mengembalikan badan ke kanan dan ke

kiri, mulai gerakan kedua belah kaki. Mitos yang menyatakan bahwa hal

ini tidak boleh dilakukan karena dapat menyebabkan timbulnya varices

adalah salah total. Justru bila kaki tidak digerakkan dan terlalu lama diatas

tempat tidur dapat menyebabkan terjadinya pembekuan pembuluh darah

batik yang dapat menyebabkan varices ataupun infeksi.

c. Duduk yaitu setelah merasa lebih ringan cobalah untuk duduk di tempat

tidur. Bila merasa tidak nyaman jangan dipaksakan lakukan perlahan-lahan

sampai terasa nyaman.


28

d. Berdiri atau turun dari tempat tidur yaitu jika duduk tidak menyebabkan

rasa pusing, teruskanlah dengan mencoba turun dari tempat tidur dan

berdiri. Bila tersa sakit atau ada keluhan, sebaiknya hentikan dulu dan

dicoba lagi setelah kondisi terasa lebih nyaman.

e. Ke kamar mandi yaitu hal ini harus dicoba setelah memastikan bahwa

keadaan ibu benar-benar baik dan tidak ada keluhan.

2.4.4. Tahap-Tahap Mobilisasi Dini pada Pasien Paska Operasi

Untuk mencegah komplikasi pada pasien paska operasi, pasien harus

melakukan mobilisasi dini sesuai dengan tahapannya. Semakin cepat bergerak itu

semakin baik, namun ambulasi harus tetap dilakukan secara hati-hati. Untuk

meyakinkan pasien aman atau selamat selama latihan melangkah maka respon

kardiovaskular harus dikaji, karena latihan seperti berpindah atau turun naik

tangga adalah sebagian dari proses rehabilitasi dan membutuhkan pengkajian

hemodinamik. Hal ini harus diperhatikan, bahwa kondisi medis harus selalu stabil

karena latihan tidak bisa dilakukan pada kondisi kronis seperti Cronic Obstructive

Pulmonary Disease (COPD) dan Coronary Arteri Disease (CAD).

Tujuan tahapan ambulasi ini adalah untuk mencapai fungsi yang

independen pada ambulasi merupakan usaha aktif yang dilakukan oleh pasien.

Menurut Mansjoer (2015) tahap-tahap mobilisasi dini pasien paska operasi

meliputi:

1. Pada saat awal (6 sampai 8 jam setelah operasi), pergerakan fisik bisa

dilakukan di atas tempat tidur dengan menggerakkan tangan dan kaki yang
29

bisa ditekuk dan diluruskan, mengkontraksikan otot-otot termasuk juga

menggerakkan badan lainnya, miring ke kiri atau ke kanan.

2. Pada 12 sampai 24 jam berikutnya atau bahkan lebih awal lagi badan

sudah bisa diposisikan duduk, baik bersandar maupun tidak dan fase

selanjutnya duduk di atas tempat tidur dengan kaki yang dijatuhkan atau

ditempatkan di lantai sambil digerak-gerakkan.

3. Pada hari kedua paska operasi, rata-rata untuk pasien yang dirawat di

kamar atau bangsal tidak ada hambatan fisik untuk berjalan, semestinya

memang sudah bisa berdiri dan berjalan di sekitar kamar atau keluar

kamar, misalnya ke toilet atau kamar mandi sendiri. Pasien harus

diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa segera mungkin, hal ini perlu

dilakukan sedini mungkin pada pasien paska operasi untuk

mengembalikan fungsi pasien kembali normal.

2.4.5. Latihan Mobilisasi Dini

Menurut Kozier (2012) bahwa latihan mobilisasi dini mencakup latihan

isotonik, latihan isometrik, dan latihan ambulasi. Latihan isotonik meliputi

pergerakan yang dapat meningkatkan kontraksi otot pasien. Kontraksi otot

dikategorikan berdasarkan tujuan fungsional, yaitu bergerak, menahan atau

menstabilkan bagian-bagian tubuh. Pada tekanan konsentrik, meningkatnya

kontraksi otot menyebabkan tulang memendek, sehingga terjadi gerakan;

misalnya saat pasien menggunakan otot trapezium atas untuk bangun dari tempat

tidur. Tekanan esentrik membantu mengontrol kecepatan dan arah gerakan. Pada

contoh : otot trapezium atas, pasien duduk di tempat tidur dengan lambat.
30

Penurunan ini, dikontrol saat otot antagonis memanjang. Reaksi otot konsentrik

dan esentrik sangat penting untuk pergerakan aktif sehingga latihan ini disebut

latihan isotonik atau dinamik

Latihan isotonik yang harus dilakukan adalah pasien berada dalam posisi

terlentang, pasien mengencangkan otot-otot abdomen, pasien menekuk dan

mengontraksikan otot-otot paha dengan mengangkat satu lutut dengan perlahan ke

arah dada, pasien mengulangi sekurang-kurangnya lima kali untuk setiap tungkai

sesuai kemampuan pasien . Latihan isometrik mencakup : Abdominal setting yaitu

pasien meletakkan satu tangan pada abdomen ketika pasien menegangkan otot

abdomen, otot-otot abdomen akan berkontraksi dan ditahan selama 10 detik, lalu

dilepaskan; Quadriseps setting: pasien mengontraksikan otot-otot panjang pada

paha, selama 10 detik ditahan dan dilepaskan; Gluteal setting: pasien

mengontraksikan otot-otot bokong bersama-sama, selama 10 detik ditahan dan

dilepaskan. Pasien mengulangi latihan ini 5-10 kali sesuai kemampuan. Latihan

ambulasi dini terdiri dari: pasien merubah posisi miring kanan dan miring kiri

(Perry & Potter, 2012)

Demonstrasi latihan operasi appendectomy yaitu: pernafasan diafragma,

spirometri insentif, batuk terkontrol berpindah, dan olahraga kaki. (Perry & Potter,

2012). Tabel berikut menguraikan langkah-langkah latihan yang membantu

mobilisasi dini pasien pasca operasi appendectomy


31

Tabel 2.1. Latihan Pasca Operasi

No Langkah Rasional
1 Kaji resiko komplikasi pernafasan Selama anestesi umum, paru-paru
klien pascaoperasi. Tinjau riwayat belum sepenuhnya mengembang
medis untuk mengidentifikasi selama operasi dan refleks batuk
kondisi paru kronis (misalnya: tertekan sehingga mengumpulkan
emfisema, asma), setiap kondisi lendir di bagian dalam saluran udara.
yang mempengaruhi gerakan Setelah operasi, klien mungkin telah
dinding dada, riwayat merokok, mengurangi volume paru-paru dan
dan kurangnya Hb membutuhkan upaya yang lebih
besar untuk batuk dan bernafas
dalam; ekspansi paru-paru yang tidak
memadai dapat menyebabkan
atelektasis dan pneumonia. Kondisi
paru-paru kronis sebelumnya
meningkatkan resiko klien untuk
mengembangkan kompilasi
pernafasan. Merokok merusak silia
yang bertugas membersihkan saluran
pernafasan dan meningkatkan sekresi
lendir. Berkurangnya kadar
hemoglobin menyebabkan oksigen
tidak memadai.
2 Kaji kemampuan untuk batuk dan Mengungkapkan potensi maksimum
bernafas dalam dengan menyuruh ekspansi dada dan kemampuan untuk
klien mengambil nafas dalam, batuk; digunakan sebagai dasar
amati pergerakan, bahu dan untuk melakukan mobilisasi setelah
dinding dada. Ukur ekskursi dada operasi.
selama nafas dalam. Minta klien
untuk batuk setelah mengambil
nafas dalam
3 Kaji resiko pembentukan trombus Statis vena, hiperkoagulabilitas dan
pascaoperasi (misalnya: klien trauma vena memunculkan
lansia, mereka yang memiliki pembentukan trombus secara
kanker yang aktif dan klien yang simultan. Setelah anastesi umum,
imobilisasi). Perhatikan untuk sirkulasi melambat dan ketika tingkat
kelembutan daerah sepanjang aliran darah melambat, ada
distribusi sistem vena, bengkak kecenderungan pembentukan
betis/paha, pitting edema di kaki gumpalan. Immobilisasi
simptomatik, dan vena superfisial mengakibatkan penurunan kontraksi
kolateral otot di bawah kaki, yang
menyebabkan statis vena.
4 Kaji kemampuan klien untuk Menentukan adanya keterbatasan
bergerak secara mandiri ketika di pergerakan
tempat tidur
32

5 Jelaskan latihan pascaoperasi Informasi memungkinkan klien


kepada klien termasuk pentingnya utnuk memahami pentingnya latihan
pemulihan dan manfaat fisiologis dan dapat memotivasi melakukan
mobilisasi
6 Demonstrasikan latihan
a. Pernafasan diafragma
1) Bantu klien berada dalam posisi 1) Posisi tegak memungkinkan
duduk yang nyaman di sisi ekskursi diafragmatik
tempat tidur
2) Berdiri atau duduk berhadapan 2) Biarkan klien mengamati latihan
dengan klien pernafasan
3) Klien menempatkan telapak 3) Posisi tangan memungkinkan klien
tangan bersilangan satu sama merasa gerakan dada dan perut
lain, ke bawah dan di sepanjang ketika diafragma turun dan paru-
batas bawah tulang rusuk paru berkembang
anterior. Klien meletakkan
ujung jari ketiga dengan lembut
4) Klien mengambil nafas lambat 4) Mengambil nafas lambat dan
dan nafas dalam, menghirup dalam, mencegah klien terengah-
melalui hidung dan klien engah atau hiperventilasi.
mendorong perut melawan Menghirup melalui hidung dapat
tangan menghangatkan, melembabkan dan
menyaring udara.
5) Klien terus bernafas lambat dan 5) Memungkinkan untuk
panjang saat hitungan ketiga, mengeluarkan semua udara secara
klien membuang nafas perlahan bertahap
melalui mulut seperti mulut
seakan meniup sebuah lilin
(bibir kerucut)
6) Klien mengulangi latihan 6) Pengulangan latihan memperkuat
pernafasan tiga sampai lima kali proses belajar
7) Klien mengambil 10 kali nafas 7) Nafas dalam secara teratur
lambat setiap jam mencegah komplikasi pasca
operasi seperti atelektasis dan
pneumonia
33

b. Spirometer Insentif (SI)


1) Klien mengambil posisi semi 1) Meningkatkan ekspansi paru
fowler optimal selama latihan pernafasan
2) Klien menghirup perlahan dan 2) Menjaga inspirasi secara maksimal
mempertahankan aliran konstan dan mengurangi resiko keruntuhan
melalui unit, berusaha untuk progresif dari alveoli seseorang.
mencapai inspirasi maksimal, Nafas lambat mencegah atau
klien menahan nafas terus mengurangi nyeri akibat perubahan
selama 3-5 detik, lalu tekanan mendadak dalam dada.
membuang nafas
perlahan.Jumlahnya tidak
melebihi 10-12 kali persesi.
3) Klien bernafas secara normal 3) Mencegah hiperventilasi dan
untuk periode singkat diantara kelelahan
10 nafas pada SI
4) Klien mengulangi latihan 4) Memastikan penggunaan
sampai tujuan tercapai spirometer dengan benar
5) Klien mengakhiri dengan dua 5) Batuk akan membantu
batuk setelah akhir nafas 10 SI. memobilisasi sekresi paru
c. Batuk terkontrol
1) Klien mengambil posisi semi 1) Posisi memfasilitasi ekskursi
fowler diafragma dan meningkatkan
ekspansi dada.
2) Klien mengambil nafas lambat 2) Nafas dalam mengembangkan
dan dalam,menghirup melalui paru-paru sepenuhnya sehingga
hidung dan membuang melalui udara bergerak ke belakang lendir
mulut. Jumlahnya 2x berturut- dan memfasilitasi efek batuk
turut.
3) Selama latihan pernafasan, klien 3) Latihan pernafasan dalam dan
menekan lembut daerah insisi batuk dapat menyebabkan stress
untuk membelat atau tambahan pada garis jahitan dan
mendukungnya dengan meyebabkan ketidaknyamanan.
menggunakan bantal. Belat insisi dengan tangan
memberikan dukungan kuat dan
mengurangi tarikan insisional
4) Klien menarik nafas dalam tiga 4) Posisi di mulai pada sisi tempat
kali dan menahan nafas saat tidur sehingga berbalik ke sisi lain
hitungan ke tiga. Kemudian tidak akan menyebabkan klien
membatukkan secara penuh meluncur arah tepi tempat tidur
selama dua atau tiga kali
berturut-turut
34

d. Berpindah
1) Klien mengambil posisi 1) Mendukung dan meminimalkan
telentang dan pindah ke sisi tarikan garis jahitan selama
tempat tidur. Klien bergerak berpindah.
menekuk lutut dan menekan
tumit melawan kasur untuk
mengangkat dan memindahkan
pantat. Pembatas di kedua ssi
tempat tidur harus dalam
keadaan berdiri.
2) Klien menempatkan tangan 2) Kaki lurus menstabilkan posisi
kanan di atas daerah insisi untuk klien. Kaki kiri tertekuk mengubah
membelatnya. titik berat untuk memudahkan
3) Klien untuk menjaga kaki kanan berpindah.
tetap lurus dan tekuk lutut kiri
ke atas 3) Menarik ke sisi tempat tidur
4) Klien memegang sisi kanan mengurangi usaha yang diperlukan
pegangan tempat tidur dengan untuk berpindah.
tangan kiri, tarik ke kanan, dan 4) Mengurangi resiko komplikasi
klien berguling ke sisi kanan. vaskular
5) Klien berpindah setiap 2 jam 5) Memberikan posisi normal anatomi
ekstremitas bawah
e. Latihan kaki
1) Klien terlentang ditempat tidur. 1) Latihan kaki mempertahankan
Klien menunjukkan latihan kaki mobilitas sendi dan
dengan melakukan latihan mempromosikan vena kembali
rentang gerak pasif untuk mencegah trombus.
2) Klien memutar tiap mata kaki 2) Meregangkan dan
dengan lingkaran penuh. Klien mengontraksikan otot
mengulangi sebanyak 5 kali gastrocnemius
3) Klien melakukan dorsofleksi
dan fleksiplantar pada kedua 3) Kontraksi otot kaki bagian atas,
kaki. Klien mengulangi mempertahankan mobilitas lutut
sebanyak 5 kali dan meningkatkan aliran vena
4) Klien melakukan latihan balik/venous return
kuadrisep dengan 4) Mempromosikan kontraksi dan
mengencangkan paha dan relaksasi otot quadriceps
membawa lutut ke arah kasur,
kemudian relaksasi. Klien
mengulangi sebanyak 5 kali
5) Klien secara bergantian
mengangkat masing-masing
kaki lurus ke atas dari
permukaan tempat tidur, kaki
tetap lurus dan kemudian klien
membengkokkan kaki pada
35

pinggul dan lutut. Klien


mengulangi sebanyak 5 kali
Sumber : Perry & Potter (2010)

2.4.6. Gangguan Mobilisasi Pasien di Tempat Tidur

Gangguan mobilisasi pasien di tempat tidur adalah pembatasan

kemampuan gerak pasien dari satu posisi di tempat tidur ke posisi yang lain.

Gangguan kemampuan gerak meliputi kemampuan untuk bergerak dari terlentang

menjadi lama duduk, kemampuan bergerak dari terlentang menjadi rawan atau

rentan terhadap terlentang bergerak dari terlentang menjadi duduk atau duduk

untuk terlentang (Wilkinson, 2014)

Menurut Judith M. Wilkinson (2014) berdasarkan NIC (Nursing

Interventions Classification) and NOC (Nursing Outcomes Classification),

perencanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan mobilisasi adalah

memberikan rasa nyaman dan mencegah terjadinya komplikasi yang bisa

menyebabkan pasien tidak dapat bergerak dari tempat tidur, memfasilitasi pasien

untuk mampu bergerak dalam melakukan aktivitas sehari-hari sehingga mencegah

terjadinya kelelahan dan cedera muskuloskletal; melatih kekuatan otot dan

menganjurkan pasien latihan therapy serta mampu melakukan perawatan diri

secara mandiri. Perawat hendaknya mampu menilai kemampuan pasien untuk

melakukan mobilisasi secara mandiri, menilai tingkat penurunan kesadaran

pasien, menilai kekuatan otot dan kemampuan rentang gerak (ROM), menilai

kebutuhan pasien akan peralatan medis, menginstruksikan pasien untuk

melakukan latihan gerakan aktif dan pasif ROM untuk meningkatkan kekuatan

otot.
36

Kriteria dalam mengevaluasi asuhan keperawatan pasien dengan gangguan

mobilisasi adalah melakukan mobilisasi di tempat tidur dengan pembuktian

bahwa: pasien mampu mengubah posisi secara mandiri, mampu melakukan Range

of Motion dengan benar dan dapat mengubah posisi sendiri di tempat tidur

bergerak secara aktif, tingkat mobilisasi yang dilakukan memuaskan, kontraksi

otot serta status neurologis berfungsi dengan baik (Wilkinson, 2014).

2.4.7. Tingkat Mobilisasi

Tingkat Mobilisasi dini dikategorikan menjadi 5 tingkatan yaitu:

1. Tingkat 4 : mampu melakukan mobilisasi secara mandiri

2. Tingkat 3 : memerlukan bantuan alat

3. Tingkat 2 : memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain

4. Tingkat 1 : memerlukan bantuan dan pengawasan dari orang lain disertai

dengan bantuan alat.

5. Tingkat 0 : tidak dapat melakukan mobilisasi dini secara aktif (Wilkinson,

2014)

2.4.8. Kontraindikasi Mobilisasi

Kontraindikasi mobilisasi adalah janin mati, syok, anemia berat, kelainan

kongenital berat, infeksi piogenik pada dinding abdomen, kifosis, lordosis,

skoliosis, infark miokard akut, disritmia jantung, atau syok sepsis (Wilkinson,

2005

2.5. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-

konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan.
37

Variabel adalah suatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki

oleh satuan penelitian tentang konsep penelitian. Variabel ini menjadi 2 yaitu

variabel independen dan variabel dependen (Notoatmodjo, 2010). Dari hasil

tinjauan teoritis dan tinjauan kepustakaan maka disimpulkan kerangka konsep

adalah hubungan pengetahuan dengan sikap pasien pasca operasi appendectomy

tentang mobilisasi dini di RS Sultan Abdul Aziz Syah Peureulak Kabupaten Aceh

Timur Tahun 2018 sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan Pasca Operasi


Appendectomy
1. Baik
2. Cukup
3. Kurang Mobilisasi Dini
1. Melakukan
Sikap Pasien Pasca Operasi 2. Tidak melakukan
Appendectomy
1. Positif
2. Negatif

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

2.6. Hipotesis Penelitian

Ha : Ada hubungan pengetahuan dengan sikap pasien pasca operasi

appendectomy tentang mobilisasi dini di RS Sultan Abdul Aziz Syah

Peureulak Kabupaten Aceh Timur Tahun 2018

Anda mungkin juga menyukai