Anda di halaman 1dari 25

Kha_RieZzma Epe

Minggu, 08 Januari 2012

BPH DAN TRANS URETRA RESECTION PROSTATE

BPH DAN TRANS URETRA RESECTION PROSTATE


A. PENGERTIAN
Benign Prostatic Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan
oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan
kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika.
B. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti dari terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia sampai sekarang
belum diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya Benign
Prostatic Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut. Karena etiologi yang belum jelas maka
melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya Benign Prostatic Hyperplasia antara
lain :
1. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma
dari kelenjar prostatmengalami hiperplasia.
2. Ketidak seimbangan estrogen testoteron
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan
testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia
stroma.
3. Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan penurunan
transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel.
4. Penurunan sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat.
5. Teori stem cell
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI PROSTAT


Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi / mengitari
uretra posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan
bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering
disebut sebagai otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih
sebesar buah kemiri atau jeruk nipis. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm,
dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm. Beratnya sekitar 20 gram. Prostat terdiri dari :
1. Jaringan Kelenjar 50 - 70 %
2. Jaringan Stroma (penyangga)
3. Kapsul/Musculer
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzym yang
berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi (penggumpalan) di
dalam testis yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme otot-otot di sekitar
prostat akan bekerja memeras cairan prostat keluar melalui uretra. Selsel sperma yang
dibuat di dalam testis akan ikut keluar melalui uretra.
Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 1030% dari ejakulasi. Kelainan pada prostat yang
dapat mengganggu proses reproduksi adalah keradangan (prostatitis). Kelainan yang lain
sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik jinak maupun ganas, tidak memegang
peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih berperanan pada terjadinya
gangguan aliran kencing. Kelainan yang disebut belakangan ini manifestasinya biasanya
pada lakilaki usia lanjut.
D. PATOFISIOLOGI
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia,
jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran
uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan
intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor
dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang
terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan
struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian
bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS (Basuki, 2000 : 76).

Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor
berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah.
Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan
kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah,
kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga
tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia
menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra abdominal
(mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari
kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan terjadinya
retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata.
Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa
hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir
sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena
buli-buli
tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah
ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi urine. Retensi urine
yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal.

E. TANDA DAN GEJALA


Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benign Prostatic Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan
yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra
prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai
berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan
waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam
hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

Derajat Benigna Prostat Hyperplasia Benign Prostatic Hyperplasia terbagi dalam 4


derajat sesuai dengan gangguan klinisnya;
1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 12 cm, sisa urine
kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat,
panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas
masih teraba, sisa urine 50100 cc dan beratnya + 2040 gram.
3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine
lebih 100 cc, penonjolan prostat 34 cm, dan beratnya 40 gram.
4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit keginjal
seperti gagal ginjal, hydroneprosis.
F. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Medikamentosa Pada Benigne Prostat Hyperplasia
Terapi ini diindikasikan pada Benigne Prostat Hyperplasia dengan keluhan ringan, sedang
dan berat tanpa disertai penyulit serta indikasi pembedahan, tetapi masih terdapat
kontra indikasi atau belum well motivated. Obat yang digunakan berasal dari
Fitoterapi, Golongan Supressor Androgen dan Golongan Alfa Bloker.
a. Fito Terapi
a) Hypoxis rosperi (rumput)
b) Serenoa repens (palem)
c) Curcubita pepo (waluh )
b. Pemberian obat Golongan Supressor Androgen/anti androgen :
a) Inhibitor 5 alfa reduktase
b) Anti androgen
c) Analog LHRH
c. Pemberian obat Golongan Alfa Bloker/obat penurun tekanan diuretra-prostatika :
Prazosin, Alfulosin, Doxazonsin, Terazosin
2. Pembedahan
Trans Uretral Reseksi Prostat : 90-95 %
Open Prostatectomy : 5-10 %
BPH yang besar (50-100 gram) Tidak habis direseksi dalam 1 jam. Disertai Batu Buli Buli
Besar (>2,5cm), multiple. Fasilitas TUR tak ada.
3. Indikasi Pembedahan BPH
a. Retensi urine akut
b. Retensi urine kronis
c. Residual urine lebih dari 100 ml

d. BPH dengan penyulit :

Hydroneprosis
Terbentuknya Batu Buli
Infeksi Saluran Kencing Berulang
Hematuri berat/berulang
Hernia/hemoroid
Menurunnya Kualitas Hidup
Retensio Urine
Gangguan Fungsi Ginjal
e. Terapi medikamentosa tak berhasil
f. Sindroma prostatisme yang progresif
g. Flow metri yang menunjukkan pola obstruktif
Flow. Max kurang dari 10 ml
Kurve berbentuk datar
Waktu miksi memanjang
h. Kontra Indikasi
IMA
CVA akut
Tujuan :
Mengurangi gejala yang disertai dengan obstruksi leher buli-buli
Memperbaiki kualitas hidup.
4. Prostatektomi
Ada berbagai macam prostatektomi yang dapat dilakukan yang masing masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan antara lain :
a. Prostatektomi Supra pubis.
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu
insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
Pendekatan ini dilakukan untuk kelenjar dengan berbagai ukuran dan beberapa komplikasi
dapat terjadi seperti kehilangan darah lebih banyak dibanding metode yang lain. Kerugian
lainnya adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen
mayor, seperti kontrol perdarahan lebih sulit, urin dapat bocor disekitar tuba suprapubis,

serta pemulihan lebih lama dan tidak nyaman. Keuntungan yang lain dari metode ini
adalah secara teknis sederhana, memberika area eksplorasi lebih luas, memungkinkan
eksplorasi untuk nodus limfe kankerosa, pengangkatan kelenjar pengobstruksi lebih
komplit, serta pengobatan lesi kandung kemih yang berkaitan.
b. Prostatektomi Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih
praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Keuntungan
yang lain memberikan pendekatan anatomis langsung, drainage oleh bantuan gravitasi,
efektif untuk terapi kanker radikal, hemostatik di bawah penglihatan langsung,angka
mortalitas rendah, insiden syok lebih rendah, serta ideal bagi pasien dengan prostat yang
besar, resiko bedah buruk bagi pasien sangat tua dan ringkih. Pada pasca operasi luka
bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi
inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi dari cara ini. Kerugian
lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta bidang
operatif terbatas.
c. Prostatektomi retropubik.
Adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik
dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis
dan kandung kemih tanpa tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk
kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang keluar dapat
dikontrol dengan baik dan letak bedah labih mudah untuk dilihat, infeksi dapat cepat
terjadi dalam ruang retropubis. Kelemahan lainnya adalah tidak dapat mengobati
penyakit kandung kemih yang berkaitan serta insiden hemorargi akibat pleksus venosa
prostat meningkat juga osteitis pubis. Keuntungan yang lain adalah periode pemulihan
lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih sedikit.
d. Insisi Prostat Transuretral (TUIP)
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui
uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk
mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral. Cara ini
diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil (30 gram/kurang) dan efektif dalam
mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan
mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.
e. TURP ( Trans Uretral Reseksi Prostat )
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 103-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang
disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun
spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas
minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan
terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang

mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi
digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah
dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars
prostatika (Anonim,FK UI,1995). Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga
saluran no. 24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan
darah dari kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam
bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan
jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat
berkemih dengan lancar. TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejalagejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup
sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan,
infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi
jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%).
Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan
timbul kembali 8-10 tahun kemudian.
G. Periode Pre Operatif
Mengkaji kecemasan klien, mengoreksi miskonsepsi tentang pembedahan dan memberikan
informasi yang akurat pada klien
Type pembedahan
Jenis anesthesi TUR P, general / spina anesthesi
Cateter : folly cateter, Continuous Bladder Irigation (CBI).
Persiapan orerasi lainnya yaitu :
Pemeriksaan lab. Lengkap : DL, UL, RFT, LFT, pH, Gula darah, Elektrolit
Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan Radiologi : BOF, IVP, USG, APG.
Pemeriksaan Uroflowmetri Bagi penderita yang tidak memakai kateter.
Pemasangan infus dan puasa
Pencukuran rambut pubis dan lavemen.
Pemberian Anti Biotik
Surat Persetujuan Operasi (Informed Concern).
H. Periode Intra Operatif
1. Pengelolaan Keamanan:
a. Jaminan penghitungan kasa, jarum, instrumen dan alat lain, cocok untuk pemakaian.
b. Mengatur posisi pasien
- Posisi fungsional
- Membuka daerah untuk operasi

- Mempertahankan posisi selama prosedur.


c. Memasang alat grounding
d. Menyiapkan bantuan fisik
e. Pemantauan fisiologis
a. Mengkalkulasi pengaruh terhadap pasien akibat kekurangan cairan
b. Membandingkan data normal dan abnormal dari cardiopulmonal.
c. Melaporkan perubahan-perubahan tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah dan
RR.)
f. Pemantauan psikologi sebelum induksi dan bila pasien sadar
a. Menyiapkan bantuan emosional
b. Melanjutkan observasi status emosional
c. Mengkomunikasikan status emosional pasien kepada anggota tim.
g. Manajemen Keperawatan
a. Menyelamatkan keselamatan fisik pasien.
b. Mempertahankan aseptis pada lingkungan yang terkendali
c. Mengelola dengan efektif sumber daya manusia.
2. Anggota Tim Fase intraoperatif
a. Tim bedah utama steril
a. Ahli bedah utama
b. Asisten ahli bedah
c. Perawat instrumentator.
b. Tim anestesi:
a. Ahli anestesi atau pelaksana anestesi
b. Circulating nurse
c. Lain-lain (tehnisi, ahli aptologi dll.)
c. Tugas perawat instrumentator
a. Persiapan pengadaan bahan-bahan dan alat steril yang diperlukan untuk operasi

b. Membantu ahli bedah dan asisten bedah waktu melakukan prosedur


c. Pendidikan bagi staf baru yang berkualifikasi bedah
d. Membantu jumlah kebutuhan jarum, pisau bedah, kasa atau instrumen yang diperlukan
untuk prosedur, menurut jumlah yang biasa digunakan. Untuk pelaksanaan kegiatan yang
efektif perawat instrumen harus memiliki pengetahuan tehnik aseptik yang baik,
ketrampilan tangan dan ketangkasan, stamina fisik, tahan terhadap berbagai desakan,
sangat menghayati kecermatan dan memperhitungkan prilaku yang menuntaskan asuhan
pasien yang optimal.
e. Tugas Perawat Circulating
Perawat keliling memegang peranan dalam keseluruhan pengelolaan ruang operasi,
perawat ini dipercaya untuk koordinasi semua aktivitas di dalam ruangan dan harus
mengelola asuhan keperawatan yang diperluikan pasien.
I. Periode Pemulihan Pasca Anestesi
Trauma bedah dan anestesi mengganggu semua fungsi utama sistem tubuh, tetapi
kebanyakan klien mempunyai kemampuan kompensasi untuk memulihkan homeostasis.
Namun klien tertentu berisiko lebih tinggi untuk mengalami kompensasi tak efektif
terhadap efek merugikan dari pembedahan dan anestesi pada jantung, sirkulasi,
pernafasan dan fungsi lain. Secara Umum Diagnosa Keperawatan yang muncul pada
fase/periode pemulihan pasca anrestesi adalah :
a. Resiko terhadap aspirasi yang berhubungan dengan samnolen dan peningkatan sekresi
sekunder terhadap intubasi.
b. Ansietas yang berhubungan dengan nyeri sekunder terhadap trauma pada jaringan dan
syaraf.
c. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan samnolen sekunder terhadap
anestesia
d. Resiko terhadap hipotermia yang berhubungan dengan pemaparan pada suhu ruang
operasi yang dingin.
Kriteria umum syarat pasien dipindahkan dari ruang pemulihan pasca anestesi ke unit
perawatan adalah sbb. :
a. Kemampuan memutar kepala
b. Ekstubasi dengan jalan nafas bersih.
c. Sadar, mudah terbangun.
d. Tanda-tanda vital stabil
e. Balutan kering dan utuh
f. Haluaran urine sedikitnya 30 ml/jam.
g. Drain, selang , jalur intravena paten dan berfungsi.

h. Persetujuan ahli anestesi untuk pindah ke ruangan.


J. Periode Post Operatif
Post operatif care pada dasarnya sama seperti pasien lainnya yaitu monitoring terhadap
respirasi, sirkulasi dan kesadaran pasien :
1. Airway: Bebaskan jalan nafas
Posisi kepala ekstensi
2. Breathing : Memberikan O2 sesuai dengan kebutuhan
Observasi pernafasan
3. Cirkulasi : mengukur tensi, nadi, suhu tubuh, pernafasan, kesadaran dan produksi urine
pada fase awal (6jam) paska operasi harus dimonitor setiap jam dan harus dicatat. Bila
pada fase awal stabil, monitor/interval bisa 3 jam sekali bila tensi turun, nadi meningkat
(kecil), produksi urine merah pekat harus waspada terjadinya
perdarahan segera cek Hb dan lapor dokter, tensi meningkat dan nadi menurun
(bradikardi), kadar natrium menurun, gelisah atau delir harus waspada terjadinya
syndroma TUR segera lapor dokter, bila produksi urine tidak keluar (menurun) dicari
penyebabnya apakah kateter buntu oleh bekuan darah terjadi retensi urine dalam bulibuli lapor dokter, spoling dengan PZ tetesan tergantung dari warna urine yang keluar dari
urobag. bila urine sudah jernih tetesan spoling hanya maintennens/dilepas dan bila
produksi urine masih merah spoling diteruskan sampai urine jernih, bila perlu analisa gas
darah apakah terjadi kepucatan, kebiruan. cek lab : Hb, RFT, Na/K dan kultur urine.
a. Pemberian Anti Biotika
Antibiotika profilaksis, diberikan bila hasil kultur urine sebelum operasi steril. Antibiotik
hanya diberikan 1 X pre operasi + 3 4 jam sebelum operasi.
Antibiotik terapeutik, diberikanpada pasien memakai dower kateter dari hasil kultur urine
positif. Lama pemberian + 2 minggu, mula-mula diberikan parenteral diteruskan peroral.
Setiap melepas kateter harus diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah septicemia.
b. Perawatan Kateter
Kateter uretra yang dipasang pada pasca operasi prostat yaitu folley kateter 3 lubang
(treeway catheter) ukuran 24 Fr. Ketiga lubang tersebut gunanya :
1. untuk mengisibalon, antara 30 40 ml cairan
2. untuk melakukan irigasi/spoling
3. untuk keluarnya cairan (urine dan cairan spoling).
Setelah 6 jam pertama sampai 24 jam kateter tadi biasanya ditraksi dengan
merekatkan ke salah satu paha pasien dengan tarikan berat beban antara 2 5 kg
Paha ini tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. Paling lambat pagi harinya
traksi harus dilepas dan fiksasi kateter dipindahkan ke paha bagian proximal/ke arah
inguinal agar tidak terjadi penekanan pada uretra bagian penosskrotal. Guna dari traksi
adalah untuk mencegah perdarahan dari prostat yang diambil mengalir di dalam buli-buli,

membeku dan menyumbat pada kateter. Bila terlambat melepas kateter traksi,
dikemudian hari terjadi stenosis leher buli-buli karena mengalami ischemia. Tujuan
pemberian spoling/irigasi :
1. Agar jalannya cairan dalam kateter tetap lancar.
2. Mencegah pembuntuan karena bekuan darah menyumbat kateter
3. Cairan yang digunakan spoling H2O / PZ
Kecepatan irigasi tergantung dari warna urine, bila urine merah spoling dipercepat
dan warna urine harus sering dilihat. Mobilisasi duduk dan berjalan urine tetap jernih,
maka spoling dapat dihentikan dan pipa spoling dilepas. Kateter dilepas pada hari kelima.
Setelah kateter dilepas maka harus diperhatikan miksi penderita. Bisa atau tidak, bila
bisa berapa jumlahnya harus diukur dan dicatat atau dilakukan uroflowmetri. Sebabsebab terjadinya retensio urine lagi setelah kateter dilepas :
1. Terbentuknya bekuan darah
2. Pengerokan prostat kurang bersih (pada TUR) sehingga masih terdapat obstruksi.
TUR P
Setelah TUR P klien dipasang tree way folley cateter dengan retensi balon 30 40
ml. Kateter di tarik untuk membantu hemostasis Intruksikan klien untuk tidak mencoba
mengosongkan bladder Otot bladder kontraksi nyeri spasme CBI
(Continuous Bladder Irigation) dengan normal salin mencegah obstruksi atau komplikasi
lain CBI P. Folley cateter diangkat 2 3 hari berikutnya Ketika kateter diangkat timbul
keluhan : frekuensi, dribbling, kebocoran normal Post TUR P : urine bercampur bekuan
darah, tissue debris meningkat intake cairan minimal 3000 ml/hari membantu
menurunkan disuria dan menjaga urine tetap jernih.OPEN PROSTATECTOMY Resiko post
operative bleeding pada 24 jam pertama oleh karena bladder spsme atau pergerakan
Monitor out put urine tiap 2 jam dan tanda vital tiap 4 jam Arterial bleeding urine
kemerahan (saos) + clotting Venous bleeding urine seperti anggur traction kateter
Vetropubic prostatectomy Observasi : drainage purulent, demam, nyeri meningkat deep
wound infection, pelvic abcess Suprapubic prostatectomy

Setelah TURP

27

KamisOKT 2011

POSTED BY KIOSWIKAN IN BPH


4 KOMENTAR

Tag
BPH, chalange, kadar,kalium, menit, natrium,pasca, per, setelah,tetes, TURP

Setelah operasi TURP atau pengerokan prostat dapat terjadi beberapa komplikasi. Untuk
mengamati dan jika perlu dilakukan penanganan komplikasi maka perlu perawatan khusus.
Segera setelah TURP pasien ditampatkan di ruang khusus dengan pengawasan ketat (sering
disebut RR atau ruang resusitasi).
Hal-hal yang terus dimonitor dalam ruangan ini antara lain tekanan darah, nadi, respirasi,
kesadaran, keluhan mual muntah dan gangguan pandangan.Selain itu perlu diamati
produksi kateter dan rasa nyeri di perut.
Tekanan darah diusahakan dalam kisaran normal. Tekanan darah yang terlalu tinggi (sistole
diatas 150mmHg) akan menyebabkan pembuluh darah terbuka sehingga pendarahan
setelah operasi akan berlanjut. Hal ini akan ditandai dengan kateter yang merah pekat. Jika
keadaan berlanjut akan berakhir dengan shock dan kematian. tekanan darah yang rendah
(sistole kurang dari 80mmHg) akan berakibat perfusi jaringan tidak baik.
Frekuensi nadi yang tinggi mungkin menrupakan tanda rasa nyeri yang tidak tertangani
dengan

analgetik

(analgetik

kurang

adekuat)

atau

kompensasi

akibat

volume

intravaskularyang kurang (akibat pendarahan). Untuk membedakan kedua hal tersebut


dapat dilakukan dengan bertanya kepada pasien apakah terasa nyeri, memberikan infus
400cc NaCl 0,9% (sebagai chalange test). Jika nadi turun setelah chalange test maka
peningkatan frekuensi nadi karena kekurangan volume intra vasa dan memerlukan
resusitasi. Jika tetap tinggi mungkin diperlukan peningkatan analgetik.
Suhu tubuh harus dijaga dalam keadaan hangat dengan warmer blanket ataupun selimut
tebal. Suhu ruangan yang dingin akan mengakibatkan pasien hipotermi dan sebagai respon
metabolisme akan ditingkatkan oleh tubuh.
Monitor kesadaran, mual muntah dan gangguan pandangan yang tergangu mungkin karena
ketidakseimbangan elektrolit, umumnya karena kadar natrium yang rendah. Jika volume

intravaskular yakin baik, dapat diberikan furosemide intravenous bolus. Dengan pemberian
diuretik ini diharapkan terjadi diuresis/kencing. Produksi kencing akan mengurangi volume
intravaskular, tetapi elektrolit natrium relatif tidak ikut kedalam kencing. Sehingga kadar
natrium akan naik (natrium tetap tetapi jumlah pelarut berkurang maka kadar akan naik).
Koreksi selanjutnya dilakukan setelah hasil laboratorium ada. Gangguan pandangan
umumnya bersifat sementara, meskipun demikian kondisi ini jarang terjadi.
Rasa nyeri di perut dapat bermakna adanya jendalan darah yang banyak di kandung
kencing, sumbatan kateter, berlubangnya kandung kencing akibat operasi atau analgetik
yang tidak adekuat. Jendalan darah yang banyak dapat menyebabkan nyeri jika jendalan
sangat banyak sehingga kandung kencing sangat teregang. Nyeri karena sumbatan kateter
karena cairan irigasi dari penampung tetap menetes sedangkan aliran kateter kebawah tak
lancar, sehingga kandung kencing melendung. Kita akan curiga sumbatan kateter dan
clot/jendalan darah berkumpul di kandung kencing jika kandung kencing teraba penuh
(daerah suprapubik melendung dan mengeras). Untuk kedua masalah ini dapat diselesaikan
dengan spooling dengan NaCl 0,9%. Kandung kencing berlubang dicurigai saat terasa nyeri
yang menjalar hingga ke pundak (bahu), dan saat kateter disumbat dengan irigasi tetap
dijalankan kandung kencing tidak penuh. Adekuat tidaknya analgetik dapat diketahui dari
keluhan pasien dan frekuensi nadi.
Di ruang tersebut akan dialakukan pengambilan darah. Sampel darah sekitar 3 cc akan
segera dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan kadar hemoglobin darah serta natrium
dan kalium serum. Lama pemeriksaan elektrolit tersebut sekitar 1jam 45 menit, dan untuk
hemoglobin/darah rutin selama 45 menit.
Jika secara klinis diketahui adanya penurunan kadar hemoglobin yang berat, misalnya saat
operasi terjadi pendarahan yang hebat atau saat di ruang resusitasi kateter merah pekat
terus maka dapat dilakukan transfusi dengan PRC (packed red cell).
Setelah diketahui kadar hemoglobin dan elektrolit segera lakukan koreksi jika diperlukan.
Koreksi Hemoglobin mulai dilakukan jika kadar hemoglobin dibawah 10gr%. Kadar natrium
serum dibawah 120mEq/L segera lakukan koraksi cepat dengan natrium 3%intravena, 120
hingga 130mEq/L lakukan koreksi lambat intravena dengan NaCl 0,9%. Diatas 130 mEq/L
lakukan koreksi dengan kapsul garam.

Irigasi setelah TURP menggunakan cairan NaCl 0,9% atau sterilized water for irrigation.
Kedua jenis cairan ini lazim digunakan di Indonesia.Setiap rumah sakit memiliki keputusan
tersendiri.

Kedua

jenis

cairan

ini

aman

dan

sudah

terdapt

penelitian

yang

mengungkapkannya. Di luar negri mungkin terdapat cairan lain seperti glisin, cytal ataupun
lainnya tetapi cairan tersebut tidak masuk pasaran Indonesia.
Jumlah tetesan cairan irigasi untuk hari setelah operasi biasanya guyur. Hari pertama
sekitar 60 tetes permenit. Hari kedua sekitar 40 tetes permenit. Hari ketiga intermiten.
Meskipun demikian tetesan dapat bebrbeda antar pasien disesuaikan kondisi pasien.

ASKEP SINDROME TUR


BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Pembedahan prostat transuretral (TURP) masih merupakan salah satu terapi standar dari
Hipertropi Prostat Benigna (BPH) yang menimbulkan obstruksi uretra. Operasi ini sudah
dikerjakan mulai beberapa puluh tahun yang lalu di luar negeri dan berkembang terus dengan
makin majunya peralatan yang dipakai. Terapi ini makin populer karena trauma operasi pada
TURP jauh lebih rendah dibandingkan dengan prostatektomi secara terbuka. Dalam TURP
dilakukan reseksi jaringan prostat dengan menggunakan kauter yang dilakukan secara visual.
Dalam TURP dilakukan irigasi untuk mengeluarkan sisa-sisa jaringan dan untuk menjaga
visualisasi yang bisa terhalang karena perdarahan. Karena seringnya tindakan ini dilakuan maka
komplikasi tindakan serta pencegahan komplikasi makin banyak diketahui.
Salah satu komplikasi yang penting dari TURP adalah intoksikasi air dan hiponatremi
dilusional yang disebut Sindroma TUR yang bisa berakhir dengankematian.TUR syndrom adalah
suatu komplikasi yang paling sering dan paling menakutkan dalam pembedahan urologi
endoskopik. Di tangan para ahli yang berpengalamanpun, Sindroma TUR dapat terjadi pada 2%
kasus dengan mortalitas yang masih tinggi. Sampai sekarang Sindrom TUR merupakan suatu
komplikasi yang sangat menakutkan baik untuk para urolog yang melakukan operasi maupun
para anestesiolog yang seharusnya melakukan diagnosa sindrom ini dan melakukan intervensi
untuk mencegah kematian
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana konsep teori dari sindrome TUR?
1.2.2 Bagaimana konsep Asuhan Keperawatan sindrome TUR?

1.3
1.3.1
1.3.2
1.4

Tujuan Masalah
Menjelaskan tentang konsep teori Sindrome TUR.
Menjelaskan tentang konsep Asuhan keperawatan sindrome TUR.
Manfaat
Dengan adanya penyusunan makalah ini mampu mempermudah penyusun dan pembaca guna
memahami materi tentang Asuhan Keperawatan pasien denganTUR Syndrome

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi TUR Syndrom
Sindroma TUR adalah suatu keadaan klinik yang ditandai dengan kumpulan gejala akibat
gangguan neurologik, kardiovaskuler, dan elektrolit yang disebabkan oleh diserapnya cairan
irigasi melalui vena-vena prostat atau cabangnya pada kapsul prostat yang terjadi selama operasi.
Hiponatremia, hipovolemia, dan kadang hiperamonemia mungkin terjadi (Eaton, 2003).
Reseksi transurethral dari prostat (TURP) syndrome adalah komplikasi sistemik reseksi
transurethral dari prostat atau tumor kandung kemih, disebabkan oleh penyerapan yang
berlebihan cairan irigasi elektrolit. Sindrom ini dapat berpotensi menimbulkan gangguan
neurologis, edema paru, gangguan kardiovaskular, dan kematian . Salin normal tidak dapat
digunakan sebagai solusi irigasi dengan reseksi monopolar konvensional. Solusi Glycine hampir
secara universal digunakan sebagai solusi irigasi dalam prosedur endoskopi urologi tradisional
terapi . Insiden komplikasi ini adalah antara 0,78% dan 1,4%. Dokter bedah harus diberitahu
segera, intervensi berhenti secepat mungkin dan pengobatan harus dimulai tanpa penundaan.
TUR syndrom adalah suatu komplikasi yang paling sering dan paling menakutkan dalam
pembedahan urologi endoskopik. Di tangan para ahli yang berpengalamanpun, Sindroma TUR
dapat terjadi pada 2% kasus dengan mortalitas yang masih tinggi. Sampai sekarang Sindrom
TUR merupakan suatu komplikasi yang sangat menakutkan baik untuk para urolog yang
melakukan operasi maupun para anestesiolog yang seharusnya melakukan diagnosa sindrom ini
dan melakukan intervensi untuk mencegah kematian.

2.2 Etiologi
TUR Syndrome disebabkan oleh absorbsi masif dari cairan irigasi. Absorbsi masif
tergantung oleh: Proses TURP yang lama. Absorbsi meningkat jika reseksi dilakukan lebih dari
90menit Tekanan intravaskuler meningkat karena tinggi bagian irigasi lebih dari 60 cm di atas
lokasi pembedahan. Banyak sinus prostat yang terbuka. Semakin besar prostat yang direseksi,
semakin banyak sinus prostat yang terbukaJenis cairan irigan yang digunakan.
Diperkirakan 2% dari pasien yang dilakukan TURP mengalami Sindrom TUR dari
berbagai tingkat. Suatu penelitian yang dilakukan di Filipina menunjukkan angka kekerapan
sebesar 6%. Penelitian yang lain menunjukkan frekuensi Sindoma TUR sampai 10%. Penelitian
Marrero
menunjukkan
frekuensi
Sindrom
TUR
meningkat
bila:
1. Prostat yang ukurannya lebih dari 45 gr.
2. Operasi yang berlangsung lebih dari 90 menit
3. Cairan irigasi 30 liter atau lebih
4. ketinggian cairan irigasi lebih dari 60 cm

Karena itu TURP hanya boleh dilakukan jika ahli bedah yakin bahwa operasi pasti dapat
diselesaikan tidak lebih dari 90 menit.
Sebaliknya risiko Sindrom TUR akan menurun bila:
1. Dipakai cairan irigasi yang tidak menimbulkan hemolisis (isotonik).
2. Tekanan cairan irigasi yang masuk (in flow) dijaga serendah mungkin.

1.

Faktor utama yang menyebabkan timbulnya sindroma TURP adalah circulatory overload,
keracunan air, dan hiponatremia.
Circulatory overload
Penyerapan cairan irigasi praktis terjadi pada semua operasi TURP dan hal ini terjadi
melalui jaringan vena pada prostat. Menurut penelitian, dalam 1 jam pertama dari operasi terjadi
penyerapan sekitar 1 liter cairan irigasi yang setara dengan penurunan akut kadar Na sebesar 5-8
mmol/liter. Penyerapan air di atas 1 liter menimbulkan risiko timbulnya gejala sindrom TUR.
Penyerapan air rata-rata selama TUR adalah 20 ml/menit. Dengan adanya circulatory overload,
volume darah meningkat, tekanan darah sistolik dan diastolik menurun dan dapat terjadi payah
jantung. Cairan yang diserap akan menyebabkan pengenceran kadar protein serum, menurunnya
tekanan osmotik darah. Pada saat yang sama, terjadi peningkatan volumedarah dan cairan di
dorong dari pembuluh darah ke dalam jaringan interstitial dan menyebabkan udema paru dan
cerebri. Di samping absorbsi cairan irigasi ke dalam peredaran darah sejumlah besar cairan dapat
terkumpul di jaringan interstitial periprostat dan rongga peritoneal. Setiap 100 cc cairan yang
masuk ke dalam cairan interstitial akan membawa 10-15 ml eq Na. Lamanya pembedahan
berhubungan dengan jumlah cairan yang diserap. Morbiditas dan mortalitas terbukti tinggi bila
pembedahan berlangsung lebih dari 90 menit.
Penyerapan cairan intravaskuler berhubungan dengan besarnya prostat sedang penyerapan
cairan interstitial tergantung dengan integritas kapsul prostat. Circulatory overload sering terjadi
bila prostat lebih dari 45 gram. Faktor penting yang berhubungan dengan kecepatan penyerapan
cairan adalah tekanan hidrostatik dalam jaringan prostat. Tekanan ini berhubungan dengan
tingginya tekanan cairan irigasi dan tekanan dalam kandung kencing selama pembedahan. Tinggi
dari cairan irigasi adalah 60 cm yang dapat memberikan kecepatan 300 cc cairan permenit
dengan visualisasi yang baik .
2. Keracunan air
Beberapa pasien dengan sindrom TUR menunjukkan gejala dari keracunan air karena
meningkatnya kadar air dalam otak. Penderita menjadi somnolen, inkoheren dan gelisah. Dapat
terjadi kejang-kejang dan koma, dan posisi desereberate. Dapat terjadi klonus dan refleks
babinsky yang postif. Terjadi papil udem dan midriasis. Gejala keracunan air terjadi bila kadar
Na 15-20 meq/liter di bawah kadar normal.
3. Hiponatremia
Na sangat penting untuk fungsi sel jantung dan otak. Beberapa mekanisme terjadinya
hiponatremia pada pasien TUR adalah:
a. Pengenceran Na karena penyerapan cairan irigasi yang besar.

b. Kehilangan Na dari daerah reseksi prostat ke dalam cairan irigasi.


c. Kehilangan Na ke dalam kantong-kantong cairan irigasi di daerah periprostat dan rongga
peritoneal.
Gejala hiponatremia adalah gelisah, bingung, inkoheren, koma, dan kejang-kejang. Bila
kadar Na di bawah 120 meq/liter, terjadi hipotensi dan penurunan kontraktilitas otot jantung.
BIla kadar Na di bawah 115 meq/liter, terjadi bradikardi dan kompleks QRS yang melebar,
gelombang ektopik ventrikuler dan gelombang T yang terbalik. Di bawah 100 meq/liter terjadi
kejang-kejang, koma, gagal napas, takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel, dan cardiac arrest.
4. Koagulopati
Pada Sindroma TUR dapat terjadi Disseminated Intravasculer Coagulation(DIC) yang
terjadi akibat lepasnya partikel prostat yang mengandung tromboplastin dalam jumlah besar ke
dalam peredaran darah dan menyebabkan fibrinolisis sekunder.DIC ini dapat diketahui dari
turunnya kadar trombosit dan meningkatnya Fibrin Degradation Product (FDP) serta kadar
fibrinogen yang rendah.
5. Bakteriemia dan Sepsis
Pada 30% penderita yang dilakukan TURP sudah terjadi infeksi sebelum operasi. Bila
sinus vena prostat terbuka sebelum operasi dan dilakukan irigasi dengan tekanan tinggi maka
kuman bisa masuk ke dalam peredaran darah dan terjadi bakteremia. Pada 6% pasien bakteremia
ini menyebabkan sepsis.

2.3 Patway
Prostat yang berukuran lebih 45 gr
Oprasi yang lebih 90 menit
Cairan irigasi yang ketinggianya lebih 60 cm
Abbsorbsi cairan irigasi oleh vena prostat yang berlebihan
TURP Sindrom

Circulation overload
Volume pembuluh darah meningkat
Peningkatan cairan interstisial
Paru-paru
Odema paru
Kerusakan pertukaran gas
Kelebihan volume cairan
Otak
Odema serebral
Peningkatan tekanan intrakranial
Perubahan perfusi jaringan cerebral

2.4 Manifestasi Klinis


Sindrom TUR dapat terjadi kapan pun dalam fase intra operatif dan dapat terjadi beberapa
menit setelah pembedahan berlangsung sampai beberapa jam setelah selesai pembedahan.
Penderita dengan anestesi regional menunjukkan keluhan-keluhan sebagai beriku:
Pusing
Sakit kepala
Mual
Rasa tertekan di dada dan tenggorokan
Napas pendek
Gelisah
Bingung
Nyeri perut
Tekanan sistolik dan diastolik meningkat, nadi menurun.
Nyeri kepala dan takipnea
Dapat berlanjut menjadi respiratory distress, hypoxia, pulmonary oedema, nausea,vomiting,
confusion dan coma
Tanda dan gejala dideteksi lebih dini pada pasien sadar
Pada pasien tidak sadar (dianestesi),tanda yang muncul hanya: takikardi dan hipertensi.
Bila penderita tidak segera di terapi maka penderita menjadi sianotik, hipotensif dan dapat
terjadi cardiac arrest. Beberapa pasien dapat menunjukkan gejala neurologis. Mula-mula
mengalami letargi dan kemudian tidak sadar, pupil mengalami dilatasi. Dapat terjadi kejang tonik
klonik dan dapat berakhir dengan koma. Bila pasien mengalami anestesi umum, maka diagnosa
dari sindrom TURP menjadi sulit dan sering terlambat. Salah satu tanda adalah kenaikan dan
penurunan tekanan darah yang tidak dapat diterangkan sebabnya. Perubahan ECG dapat berupa
irama nodal, perubahan segmen ST, munculnya gelombang U, dan komplek QRS yang melebar.
Hipotermi sering terjadi pada pasien yang mengalami TURP. Irigasi kandung kencing
merupakan penyebab penting kehilangannya panas tubuh dan hal ini ditambah dengan suhu
kamar operasi yang rendah. Hipotermi sering terjadi pada penderita lanjut usia karena gangguan
saraf otonomik.

2.5 Penatalaksanaan
1. Menilai Air way, Breating and circulation. Pertimbangkan pemasangan intubasi jika terjadi
odema paru, menilai arteri dan vena central dan evaluasi hemodinamic dan terapi cairan.
2. Jika dideteksi saat intra operatif terjadi syndrome TUR maka tindakan operasi harus di hentikan
3. Jika pasien gelisah atau berontak berikan benzodiazepan atau barbiturat
4. Kirim sample darah untuk mengetahui electrolit, ABG, dan kougulasi
5. Pada kasus syndrome TUR biasanya Na < 120 mEq/L
6. Jika Na < 120 mEq/L berikan terapi hipertonic salin, cairan salin 3% tidak lebih dari 100 ml/jam
diberikan kontinyu sampai sodium serum > 120 mEq/L. Sodium serum tidak akan meningkat
lebih dari 12 mEq/L dalam 24 jam.
7. Jika Na > 120 mEq/L berikan furosemid dan Cairan infus dihentikan.
8. Selanjutnya observasi perubahan sistemic dan frequensi darah yang keluar

1.
2.
3.
4.

5.

2.6 Pemeriksaan diagnostic


Urinalisa : warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah); penampilan keruh;
Ph 7 atau lebih besar (menunjukkan infeksi)
Kultur urine
: dapat menunjukkan Staphylococcus aureus, Proteus, Klebsiella,
Pseudomonas atau E. Coli
ECG : Perubahan ECG dapat berupa irama nodal, perubahan segmen ST, munculnya gelombang
U, dan komplek QRS yang melebar.
Pemeriksaan serum elektrolit: Bila kadar Na di bawah 120 meq/liter, terjadi hipotensi dan
penurunan kontraktilitas otot jantung. BIla kadar Na di bawah 115 meq/liter, terjadi bradikardi
dan kompleks QRS yang melebar, gelombang ektopik ventrikuler dan gelombang T yang
terbalik. Di bawah 100 meq/liter terjadi kejang-kejang, koma, gagal napas, takikardi ventrikel,
fibrilasi ventrikel, dan cardiac arrest.
ABG menunjukan asidosis respiratory karena gangguan pertukaran gas pada alveoly yang
disebabkan oleh alveoly terisi oleh cairan. Biasanya PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau
meningkat.
2.7 Jenis Cairan Irigasi
Untuk operasi TUR dapat dipakai beberapa macam cairan irigasi. Salin tidak dapat
dipakai karena cairan ini merupakan penghantar listrik dan akan mengganggu proses
pemotongan dan kauterisasi. Di samping itu arus listrik dapat dihantarkan ke alat resektoskop
dan dapat mengenai ahli bedah. Belakangan ini telah ditemukan mesin resektoskop yang lebih
moderen yang dapat menggunakan salin sebagai cairan irigasinya tapi alat tersebut masih sangat
mahal. Salin merupakan cairan irigasi yang ideal karena sifatnya yang isotonik sehingga tidak
mengganggu bila terserap.
Cairan lain yang dapat dipakai adalah air steril, glysin 1,2%, 1,5%, atau 2,2%. Cairan lain
yang dapat dipakai adalah sorbitol atau manitol 3%. Di negara maju air steril sudah jarang
dipakai karena jika diserap dalam jumlah besar dapat menyebabkan hiponatremia, hemolisis intra
vaskuler dan hiperkalemia. Karena itu sorbitol, manitol, atau glisin lebih banyak dipakai.
Sorbitol/manitol atau glisin dapat mencegah hemolisis intravaskuler tetapi tidak dapat mencegah
hiponatremia dilusional karena bisa terjadi penyerapan cairan dalam jumlah besar tanpa

penambahan natrium. Cairan yang banyak dipakai di luar negeri adalah glisin. Tetapi penyerapan
glisin dalam jumlah besar dapat menyebabkan beberapa akibat dan sebenarnya cairan sorbitol
dan manitol lebih baik dibandingkan dengan glisin. Tetapi harganya lebih mahal. Cairan non
ionik yang dapat dipakai adalah larutan glukose 2,5%-4%. Untuk negara yang sedang
berkembang, Collins dan kawan-kawannya menganjurkan pemakaian dektrose 5% yang lebih
ekonomik dibandingkan dengan cairan glisin dan lebih jarang menimbulkan hemolisis serta lebih
aman dibandingkan air steril. Tetapi larutan dextrose tidak disukai karena dapat menyebabkan
hipoglikemi tissue charring pada tempat reseksi dan menimbulkan rasa lengket pada sarung
tangan ahli bedah dan peralatan. Di Amerika Serikat, cairan irigasi yang paling banyak dipakai
adalah Cytal yang merupakan campuran antara sorbitol 2,7% dan manitol 0,54%.
2.8 Pencegahan Sindrome TUR
Identifikasi gejala-gejala awal sindrom TUR diperlukan untuk mencegah manifestasi
berat dan fatal pada pasien-pasien dengan pembedahan urologi endoskopik. Bila diketahui
adanya hiponatremi yang terjadi sebelum operasi terutama pada pasien-pasien yang mendapat
diuretik dan diet rendah garam harus segera dikoreksi. Karena itu pemeriksaan natrium sebelum
operasi TUR perlu dilakukan. Pemberian antibiotik profilaktik mungkin mempunyai peran
penting dalam pencegahan bakteremia dan septicemia. Untuk penderita-penderita dengan
penyakit jantung, perlu dilakukan monitoring CVP atau kateterisasi arteri pulmonalis.
Tinggi cairan irigasi yang ideal adalah 60 cm dari pasien. Lamanya operasi TURP tidak
boleh lebih dari 1 jam. Bila diperlukan waktu lebih dari 1 jam, maka TURP sebaiknya dilakukan
bertahap. Pemeriksaan natrium serum sebaiknya dilakukan tiap 30 menit dan perlu dilakukan
koreksi sesuai dengan hasil serum natrium. Perlu dilakukan pemberian furosemid profilaksis
untuk mencegah overload cairan. Bila perlu dilakukan transfusi darah, sebaiknya dilakukan
dengan PRC bukan dengan whole blood. Perlu dilakukan pencegahan hipotermi misalnya dengan
menghangatkan cairan irigasi sampai 37C.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
A. Primeri Survey
1. Air Way
Pada pasien dengan syndrome TUR pada jalan nafas biasanya tidak ada gangguan.
2. Breathing
pada pengkajian breathing pada pasien dengan syndrome TUR biasanya mengalami retraksi
otot bantu pernapasan, pernapsan pendek dan dangkal serta hipoksia.
3. Circulation

Pada pasien yang mengalami syndrome TUR akan mengalami tekanan darah meningkat,
bradikardi, sianosis, konjungtiva anemis dan aritmia jantung.
4. Disability
Beberapa pasien dengan sindrom TUR menunjukkan gejala dari keracunan air karena
meningkatnya kadar air dalam otak. Penderita menjadi somnolen, inkoheren dan gelisah. Dapat
terjadi kejang-kejang dan koma
Tindakan awal pada syndrome TURP

1. Assalamualaikum wr.wb S1 keperawatan V B


2. Yesi ainika ismaya (130011059) (130011063) (130011066) (130011075) (130011081)
(130011087) (130011092) Siti qomariyani Ramdhan prasetyo Nella Andellina Ilma
thoyyibin N.R Fitria ulfah Dwi wahyu wantoro Nama kelompok :
3. TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan
resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk
pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan
dengan arus listrik. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara
3060 gram, kemudian dilakukan reseksi. Tindakan ini menggunakan cairan pembilas/irigasi
supaya daerah yang direseksi tetap terang dan tidak tertutup darah.POST OP TURP
(Trans Uretral Resection Prostate)
4. Dapat terjadi striktur serta pedarahan lama dapat terjadi. trauma uretral. ada risiko
obstruksi. Menimbulkan rasa nyeri yang lebih sedikit. Kerugiannya: Hospitalisasi dan
periode pemulihan lebih singkat. Lama operasi singkat. Tidak menimbulkan luka atau
bekas sayatan. Keuntungan :
5. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram dan
pasien cukup sehat. Pembesaran prostat yang progresif dan tidak dapat diterapi dengan
obat. Pasien dengan gejala sumbatan yang menetap. Indikasi
6. Setelah operasi TURP atau pengerokan prostat dapat terjadi beberapa komplikasi. Untuk
mengamati dan jika perlu dilakukan penanganan komplikasi maka perlu perawatan khusus.
Segera setelah TURP pasien ditampatkan di ruang khusus dengan pengawasan ketat
(sering disebut RR atau ruang resusitasi). Hal-hal yang terus dimonitor dalam ruangan
tersebut antara lain tekanan darah, nadi, respirasi, kesadaran, keluhan mual muntah dan
gangguan pandangan.Selain itu perlu diamati Setelah dilakukan TURP, dipasang traksi
kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar
pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih. PENATALAKSANAAN :
7. Jumlah tetesan cairan irigasi setelah operasi biasanya guyur. Hari pertama sekitar 60
tetes permenit. Hari kedua sekitar 40 tetes permenit. Hari ketiga Irigasi setelah TURP
menggunakan cairan NaCl 0,9% atau sterilized water for irrigation. Kedua jenis cairan ini
lazim digunakan di Indonesia.Setiap rumah sakit memiliki keputusan tersendiri. Kedua jenis
cairan ini aman dan sudah terdapat penelitian yang mengungkapkannya. Untuk TURP
biasanya menggunakan cairan non elektrolit hipotonik sebagai cairan irigasi. Seperti air
steril, Glisin 1,5% (230mOsm/L), atau campuran sorbitol 2,7% dengan mannitol 0,54%

(230Osm/L). Cairan yang boleh juga dipakai tapi jarang digunakan adalah Sorbitol 3,3%,
Mannitol 3%, Dekstrosa 2,544% dan Urea 1%.
8. Respon syaraf simpatik Dieresis post obstruktif Perdarahan minor selama 24 jam
Inflamasi: nyeri, pelebaran pembuluh darah, pembengkakan. Respon fisiologis Kandung
kemih pasca TURP :
9. Pengkajian a. Pengumpulan data 1). Identitas klien 2). Keluhan utama Keluhan utama
yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah nyeri yang berhubungan dengan
spasme buli buli. Pada saat mengkaji keluhan utama perlu diperhatikan faktor yang
mempergawat atau meringankan nyeri ( provokative / paliative ), rasa nyeri yang dirasakan
(quality), keganasan / intensitas ( saverity ) dan waktu serangan, lama, kekerapan
(time).KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN POST OP TURP
10. Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urinari Tract
Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar urin lemah, intermitensi, terminal dribbling,
terasa ada sisa setelah selesai miksi3). Riwayat penyakit sekarang Adanya riwayat
penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit sekarang perlu
ditanyakan . Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis
dan gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya penyulit pasca bedah.
Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing dan pembedahan terdahulu.,
urgensi, frekuensi dan disuria 4). Riwayat penyakit dahulu
11. Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya serta hubungan
interaksi pasca tindakan TURP. 7). Pola pola fungsi kesehatan a). Pola persepsi dan tata
laksana hidup sehat b). Pola nutrisi dan metabolisme c). Pola eliminasi d). Pola aktivitas dan
latihan e). Pola tidur dan istirahat f). Pola kognitif perseptual g). Pola persepsi dan konsep
diri h). Pola hubungan dan peran i). Pola reproduksi seksual J) Pola penanggulangan stress
k). Pola tata nilai dan kepercayaan5). Riwayat penyakit keluarga 6). Riwayat psikososial
12. Pemeriksaan fisik a). Keadaan umum b). Sistem pernafasan c). Sistem sirkulasi d).
Sistem neurologi e). Sistem gastrointestinal f). Sistem urogenital Setelah dilakukan tindakan
TURP klien akan mengalami hematuri . Retensi dapat terjadi bila kateter tersumbat bekuan
darah. Jika terjadi retensi urin, daerah supra sinfiser akan terlihat menonjol, terasa ada
ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa ingin kencing. Residual urin dapat diperkirakan
dengan cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan selama 6 24 jam. g). Sistem
muskuloskeletal Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada
13. b). Uroflowmetri : Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan setelah
kateter Laboratorik : Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar hemoglobinnya dan
perlu diulang secara berkala bila urin tetap merah dan perlu di periksa ulang bila terjadi
penurunan tekanan darah dan peningkatan nadi. Kadar serum kreatinin juga perlu diulang
secara berkala terlebih lagi bila sebelum operasi kadar kreatininnya meningkat. Kadar
natrium serum harus segera diperiksa bila terjadi sindroma TURP. Bila terdapat tanda
septisemia harus diperiksa kultur urin dan kultur darah. Pemeriksaan penunjang
14. Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian data tersebut
dirumuskan ke dalam masalah keperawatan . Adapun masalah yang mungkin terjadi pada
pasca TURP antara lain : nyeri, retensi urin, resiko tinggi infeksi, resiko tinggi kelebihan

cairan, resiko tinggi ketidakefektifan pola napas, resiko tinggi kekurangan cairan, kurang
pengetahuan, inkontinensia dan resiko tinggi disfungsi seksualAnalisa dan sintesa data
15. Diagnosa keperawatan 1). Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli buli :
reflek spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan dari traksi. 2).
Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan 3).
Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan irigasi (TURP). 4).
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli buli.5). Resiko tinggi
terhadap ketidakefektifan pola napas yang berhubungan anastesi 6). Kurang pengetahuan
yang berhubungan dengan kurang informasi tentang rutinitas pasca operasi, gejala untuk
dilaporkan, perawatan di rumah dan intruksi evaluasi . 7). Retensi urin berhubungan dengan
obstruksi sekunder dari TURP . 8). Inkontinensia urin berhubungan dengan pengangkatan
kateter
16. Tujuan 1. Untuk mempertahankan kepatenan kateter urine. 2. Mencegah terjadinya
distensi kandung kemih karena adanya penyumbatan kateter urine, misalnya oleh darah dan
pus. 3. Untuk membersihkan kandung kemih. 4. Untuk mengobati infeksi lokal.
Pengertian : Memasukan larutan kedalam kandung kemih untuk membersihkan atau
memasukan obat atau proses pencucian kandung kemih dengan aliran cairan yang telah di
programkan oleh dokter. IRIGASI KANDUNG KEMIH POST OP TURP
17. Persiapan alat - Sarung tangan bersih. - Kateter retensi yang sudah terpasang. - Slang
dan kantong drainase (jika belum terpasang). - Klem slang drainase. - Kapas antiseptik. Wadah steril. - Larutan irigasi steril yang dihangatkan atau memiliki suhu ruangan. - Beri
label pada cairan dengan jelas menggunakan katakata irigasi kandung kemih, termasuk
informasi mengenai obat-obatan yang telah ditambahkan ke larutan irigasi yang murni. Slang infus. - Tiang infus. Persiapan perawat
18. Prosedur dan pelaksanaan 1. Jelaskan kepada klien tentang apa yang akan anda
lakukan, mengapa hal tersebut perlu dilakukan dan bagaimana klien dapat bekerja sama
dengan anda. 2. Cuci tangan dan observasi prosedur pengendalian infeksi yang sesuai. 3.
Berikan privasi klien. 4. Gunakan sarung tangan bersih. 5. Kosongkan, ukur dan catat jumlah
serta tampilan urine yang ada di dalam kantong urine. Buang urine dan sarung persiapan
lingkungan : tangan. Pengosongan kantong drainase memungkinkan pengukuran
haluaran urine yang lebih akurat setelah irigasi dilakukan atau selesai. Pengkajian karakter
urine memberikan data dasar untuk perbandingan selanjutnya. 6. Persiapan perlengkapan. Cuci tangan - Hubungkan slang infus irigasi dengan larutan irigasi dan bilas slang dengan
larutan, jaga agar ujungnya tetap steril. Membilas slang akan mengeluarkan udara sehingga
mencegah udara masuk kedalam kandung kemih. - Pasang sarung tangan bersih dan
bersihkan port irigasi dengan kapas antiseptik. - Hubungkan slang irigasi ke port cairan pada
kateter tiga cabang (kateter
19. Kaji jumlah, warna dan kejernihan drainase. Jumlah drainase harus sama dengan
jumlah cairan irigasi yang masuk ke kandung kemih ditambah dengan perkiraan haluaran
urine. Buka klem pengatur pada slang irigasi dan atur kecepatan aliran sesuai dengan
program dokter atau atur kecepatan aliran sebanyak 40-60 per menit jika kecepatan aliran
tidak ditentukan. 7. Lakukan irigasi kandung kemih. a). Untuk irigasi kontinu, buka klem

padaslang drainase urine (jika ada). Hal ini memungkinkan larutan irigasi mengalir keluar
dari kandung kemih secara kontinu.
20. Kaji jumlah, wana, dan kejernihan drainase. Jumlah drainase seharusnya sama dengan
jumlah cairan irigasi Setelah larutan dipertahankan selama waktu yang telah ditetapkan,
buka klem aliran pada slang drainase dan biarkan kandung kemih kosong. Buka klem
aliran pada slang irigasi agar sejumlah larutan yang telah diprogramkan masuk kedalam
kandung kemih. Klem slang. Apabila larutan sedang dimasukkan untuk mengirigasi
kateter, buka klem aliran pada slang drainase urine. Larutan irigasi akan mengalir melalui
selang dan port drainase urine, mengeluarkan mukosa dan bekuan darah. Apabila larutan
tetap berada dikandung kemih (irigasi atau pemasukan cairan ke kandung kemih), tutup
klem aliran ke slang drainase urine. Menutup klem aliran memungkinkan larutan tetap di
dalam kandung kemih dan bersentuhan dengan dinding kandung kemih. b). Untuk irigasi
intermitten, tentukan apakah larutan perlu tetap di kandung kemih selama waktu tertentu.
21. Hal yang perlu diperhatikan : catat setiap kandungan drainase yang tidak normal, seperti
bekuan darah, nanah atau cabikan mukosa. Dokumentasikan temuan di dalam catatan
klien dengan menggunakan format atau daftar tilik disertai dengan catatan narasi jika perlu.
Kosongkan kantong drainase dan ukur isinya. Kurangi volume drainase total dengan
cairan irigasi yang dimasukkan untuk mendapatkan volume haluaran urine. Kaji
kenyamanan klien. 8. Kaji klien dan haluaran urine.
22. Wassalam wr.wbTerima kasih

Anda mungkin juga menyukai