Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN EPILEPSI

DISUSUN OLEH KELOMPOK III:


1. MARIA IRENE NGONGO (2016610050)
2. MARIA DOMITILA ROSTI (2016610048)
3. MARIA ERLINCE GAINA (2016610049)
4. MARIA NANARIAIN (2016610052)
5. MARIA KONDO (2016610051)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI

MALANG

2018
NAMA : MARIA ERLINCE GAINA NAMA : MARIA NANARIAIN

NIM : 2016610049 NIM : 2016610052

BAGIAN : DEFENISI,ETIOLOGI BAGIAN : PATOFISIOLOGI,


KLASIFIKASI

ASUHAN KEPERAWATAN
EPILEPSI

NAMA : MARIA KONDO

NIM : 2016610051

BAGIAN : MANIFESTASI KLINIS,


PEMERIKSAAN
PENUNJANG,

NAMA : MARIA DOMITILA ROSTI NAMA : MARIA IRENE NGONGO

NIM : 2016610048 NIM : 2016610050

BAGIAN : KOMPLIKASI, DIAGNOSA BAGIAN : INTERVENSI,


IMPLEMENTASI
BAB I

I.       PENDAHULUAN
Epilepsi atau penyakit ayan dikenal sebagai satu penyakit tertua di dunia (2000 tahun
SM). Penyakit ini cukup sering dijumpai dan bersifat menahun. Penderita akan menderita
selama bertahun-tahun. Sekitar 0,5 – 1 % dari penduduk adalah penderita epilepsy
(Lumbantobing, 1998).
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti serangan. Dahulu
masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan dipercaya juga bahwa
epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar belakang munculnya mitos dan rasa
takut terhadap epilepsi berasal hal tersebut. Mitos tersebut mempengaruhi sikap masyarakat
dan menyulitkan upaya penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan normal.Penyakit
tersebut sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi. Orang pertama yang
berhasil mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi
merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak adalah Hipokrates. Epilepsi
merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia.

II. Defenisi

Epilepsi adalah golongan penyakit saraf yang gejala-gejalanya timbul mendadak


dalam serangan-serangan berulang, pada sebagian besar disertai penurunan kesadaran, dan
dapat disertai atau tidak disertai kejang (Markam, Soemarmo, 2011).

Epilepsy adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak sehat sebagai suatu
ekserbasi dalam kondisi sakit kronis sebagai akibat oleh disfungsi otak sesaat
dimanifestasikan sebagai fenomena motoric, sensorik, otonomik, atau psikis yang abnormal.
Epilepsy merupakan akibat dari gangguan otak kronis dengan serangan kejang spontan yang
berulang (Satyanegara, 2010) dalam Nurarif & Kusuma, 2016, hal.193).

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya
serangan yang bersifat spontan dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi
fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas yang berasal dari sekelompok besar sel-sel
otak, bersifat sinkron dan berirama (Sukarmin, Sujono Riyadi, 2009).

Epilepsi adalah sekelopok sindrom yang ditandai dengan gangguan otak sementara
yang bersifat paroksimal yang dimanifestasikan beruba gangguan atau penurunan kesadaran
yang episodik, fenomena motorik yang abnormal, gangguan psikis, sensorik, dan sistem
otonom : gejala-gejalanya disebabkan oleh aktivitas listrik otak(Fransisca B. Batticaca,
2012).

Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi,


dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron
otak secara berlebihan dan paroksimal. Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu
kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu
bagian dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran
parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan
biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk
dalam epilepsi umum.

Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yang harus ada, tetapi
tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi. Seorang anak terdiagnosa menderita
epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab kejang lain yang bisa dihilangkan atau
disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi, adanya pendesakan otak oleh tumor, adanya
pendesakan otak oleh desakan tulang cranium akibat trauma, adanya inflamasi atau infeksi di
dalam otak, atau adanya kelainan biokimia atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan
tersebut tidak ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan timbulnya epilepsi di
kemudian hari

III. Etiologi

Berbagai kelainan fisiologi, biokimiawi, dan anatomis merupakan dampak dari penyakit yang
diderita anak. Kelainan dan penyakit yang dapat membangkitkan kejang antara lain :
1. Trauma lahir
Trauma lahir terutama yang mengalami bagian kepala janin dapat berakibat
peningkatan stressor secaa fisik terhadap neuron otak. Kelainan pada neuron ini dapat
berakibat lepasnya muatan listrik pada neuron yang berlebihan dan tidak terkontrol
dengan baik
2. Trauma kapitis
Trauma kapitis akan menjadikan sejumlah kerusakan pada neurn otak sehingga dapat
meningkatkan proses eksitasi yang berlebihan dari pada proses inhibisi di otak.
3. Inflamasi pada otak
Inflamasi karena bakteri maupun virus dapat mengakibatkan gangguan fungsi neuron
akibat toksi yang dikeluarkan oleh mikroorganisme, kasus peradangan yang sering
menyebabkan serangan epilepsi adalah maningitis dan encopalitis.
4. Keganasan otak
Keganasan dalam otak akan meningkatkan proses desak ruang pada otak meningkat
sehingga mengganggu fungsi sejumlah besar neuron otak.
5. Perdarahan otak
Perdarahan akan meningkatkan tekanan intrakranial dalam menurunkan perfusi
jaringan otak yang dapat mengganggu proses ekstasi neuron otak.
6. Hipoksia otak
Hipoksia ini dapat terjadi akibat gangguan pembuluh darah otak atau menurunkan
komposisi darah dan oksigen karea anemia berat misalnya. Penurunan oksigen dapat
memicu serangan karena mengganggu kerja neuron.
7. Stroke
Stroke baik hemoragik maupun non haemoragik akan mengakibatkan gangguan pada
sirkulasi otak sehingga dapat memicu gangguan otak.
8. Gangguan elektrolit
Terutama adalah natrium dan kalium karena fungsi utama kedua elektrolit tersebut
untuk berlangsungnya proses eksitasi neuron dengan baik.
9. Demam
Demam akan peningkatan metabolik dan meningkatkan ekstasi persarafan melalui
mekanisme percepatan diffusi osmosis ion natrium di dalam sel neuron.
10. Keracunan
11. Idiopatik
Penyebab idiopatik (tidak diketahui secara pasti) biasanya penderita tidak mengalami
kelainan neurologis dan ditemukan pada keluarga yang mempunyai riwayat epilepsi.
12. Herediter
Walaupun sebagai besar kasus epilepsi tidak diwariskan akan tetapi sejumlah bakat
gangguan koordinasi neuron otak yang merupakan faktor pencetus terjadinya
serangan epilepsi dapat diwariskan dari orangtua kepada anaknya. (Sukarmin, Sujono
Riyadi, 2009). Penyebab pasti dari epilepsy masih belum diketahui (idiopatik) dan
masih menjadi banyak spekulasi. Predisposisi yang mungkin menyebabkan epilepsy
meliputi :
1) Pascatrauma kelahiran
2) Riwayat bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsan yang digunakan
sepanjang kehamilan
3) Asfiksia neonatorum
4) Riwayat ibu-ibu yang mempunyai risiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan
latar belakang sukar melahirkan, penggunaan obat-obatan, diabetes, atau
hipertensi)
5) Pascacedera kepala
6) Adanya riwayat penyakit infeksi pada masa kanak-kanak (campak, penyakit
gondongan (mumps), epilepsy bakteri).
7) Adanya riwayat keracunan (karbon monoksida dan menunjukkan keracunan)
8) Riwayat gangguan sirkulasi serebral
9) Riwayat demam tinggi
10) Riwayat gangguan metabolism dan nutrisi/gizi
11) Riwayat intoksikasi obat-obatan atau alkohol
12) Riwayat adanya tumor otak, abses, dan kelainan bentuk bawaan
13) Riwayat keturunan epilepsy (Arif Muttaqin, 2011)

Kejang fokal Kejang umum

a. Trauma kepala a. Penyakit metabolik


b. Stroke b. Reaksi obat
c. Infeksi c. Idiopatik d. Faktor genetik
d. Malformasi vaskuler d. Kejang fotosensitif
e. Tumor (Neoplasma)
f. Displasia g. Mesial Temporal
Sclerosis
IV. PATOFISIOLOGIS

Bangkitan epilepsy berasal dari sekelompok sel neuron yang abnormal diotak yang
melepas muatan secara berlebihan dan hipersinkron. Sekelompok sel ini yang disebut focus
epileptik. Lepas muatan ini kemudian menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan
melibatkan daerah disekitarnya. Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak
lebih dominan daripada proses inhibisi (hambatan). Seperti kita ketahui bersama bahwa
aktifitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraselluler dan di dalam
intraselluler dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menerobos membran neuron. Pada
kejadian epilepsi ion-ion tersebut tidak terkoordinasi dengan baik sehingga dapat timbul
loncatan muatan. Akibat loncatan neuron yang tidak terkoordinasi dengan baik sekelompok
neuron akan mengalami abnormal depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan
cetusan potensial aksi secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik yang abnormal ini
kemudian mengajak neuron-neuron sekitarnya sehingga menimbulkan serangkaina gerakan
yang melibatkan otot dan menimbulkan kejang. Spasme pada otot terjadi pada hampir semua
bagian termasuk otot mulut sehingga penderita mengalami ancaman perlukaan pada lidah.
Kelalaian sebagian besar dari neuron otak yang diakibatkan gangguan listrik juga
mengakibatkan penurunan kesadaran secara tiba-tiba sehingga berisiko cidera karena
benturan benda sekitar atau terkena benda yang bahaya seperti api, listrik atau benda lain
(Sukarmin, 2009).

Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan
lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau
dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron neuron akan bereaksi secara
abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah glutamat,
yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter dan GABA (Gamma Amino Butyric
Acid), yang bersifat sebagai brain’s inhibitory neurotransmitter (Cotman, 1995).

Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil
kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin
(5-HT), dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsi belum jelas dan
masih perlu penelitian lebih lanjut (Cotman, 1995).

Kejang adalah manifestasi paroksismal dari sifat listrik di bagian korteks otak. Kejang
terjadi saat adanya ketidakseimbangan antara kekuatan eksikatori/ pemicuan dan inhibisi/
penghambatan dalam jaringan neuron kortikal (Ikawati, 2011). Menurut Cotman (1995),
ketidakseimbangan antara eksikatori dan inhibitori tersebut terjadi secara tiba-tiba pada
keadaan berikut ini:

1. Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal


sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi
GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung
konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA
ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik.
2. Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan
impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tetapi
sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh
meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan
peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.
Tumor, infeksi, neoplasma, indopatik, faktor genetik

Kerusakan sel glia serabut saraf

Mekanisme intriaksi membran terganggu

Depolaferasi berulang neuron

Ambang kejang meningkat

Pelepasan aliran listrik abnormal disebagian Pelepasan aliran listrik abnormal dikedua
herisfer cerebri hermisfer cerebri

Serangan epilepsi fokal Serangan epilepsi umum

Kejang spontan umum otot


Kejang spontan fokal otot

Kejang lama dan berulang

EPILEPSI

Resiko pasca kejang Hiposkia dan iskemia, hemisfer cerebri

Fase akut lesi otak (paralesia flaksid)


Respon fisik Respon psikologis
1 Kenfulsi dan sulit 1 ketakutan Parahivis kronik dan progresif
bangun 2 respon penolakan
2 keluhan sakit 3 nafsu makan menurun Inplak inhibisi dari formasi retikularis
kepala dan sakit otot 4 depresi berkurang
5 Menarik diri

MK:resiko cederah Hiperaktif serabut fusiform dinamik otot


Mk: ansietas
MK: Resiko ketidak efektifan perfusi
jaringan otak
V. Klasifikasi
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk kejang epilepsi

Klasifikasi Kejang Epilepsi

No Klasifikasi kejang epilepsi

1 Kejang parsial Kejang parsial a. Kejang parsial sederhana dengan


sederhan gejala motorik
b. Kejang parsial sederhana dengan
gejala somatosensorik atau sensorik
khusus
c. Kejang parsial sederhana dengan
gejala psikis
Kejang parsial a. Kejang parsial kompleks dengan
kompleks onset parsial sederhana diikuti
gangguan kesadaran
b. Kejang parsial kompleks dengan
gangguan kesadaran saat onset
Kejang parsial a. Kejang parsial sederhana menjadi
yang menjadi kejang umum
kejang b. Kejang parsial kompleks menjadi
generalisata kejang umum Kejang parsial
sekunder sederhana menjadi kejang parsial
kompleks dan kemudian menjadi
kejang umum
2 Kejang umum a. Kejang absans
b. Absans atipikal
c. Kejang mioklonik
d. Kejang klonik
e. Kejang tonik-klonik
f. Kejang atonik

Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1989 untuk sindroma epilepsi

Klasifikasi Sindroma Epilepsi

No Klasifikasi sindroma epilepsi

1 Berkaitan a. Epilepsi anak benigna dengan


dengan letak gelombang paku di sentrotemporal
fokus indopatik (Rolandik benigna)
b. Epilepsi anak dengan paroksimal
oksipital
Simtomatik a. Lobus temporalis
b. Lobus frontalis
c. Lobus parietalis
d. Lobus oksipitalis
e. Kronik progresif parsialis kontinu
2 Epilepsi umum Kriptogenik a. Kejang neonates familial benigna
b. Kejang neonates benigna
Idiopatik c. Epilepsi mioklonik benigna pada
bayi
d. Epilepsi absans pada anak
(pyknolepsy)
e. Epilepsi absans pada remaja
f. Epilepsi mioklonik pada remaja
g. Epilepsi dengan serangan tonik-
klonik saat terjaga
Kriptogenik atau a. Sindroma West (spasme bayi)
simtomatik b. Sindroma Lennox-Gastaut
c. Epilepsi dengan kejang mioklonik-
astatik
d. Epilepsi dengan mioklonik absans

Simtomatik a. Etiologi non spesifik


i. Ensefalopati mioklonik
neonatal
ii. Epilepsi ensefalopati pada
bayi Gejala epilepsi umum
lain yang tidak dapat
didefinisikan
b. Sindrom spesifik
i. Malformasi serebral
ii. Gangguan metabolisme
3 Epilepsi dan Serangan fokal a. Kejang neonatal
sindrom yang dan umum Tanpa b. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
tidak dapat gambaran tegas c. Epilepsi dengan gelombang paku
ditentukan fokal fokal atau umum kontinu selama gelombang rendah
atau tidur (Sindroma Taissinare)
generalisata d. Sindroma Landau-Kleffner
4 Sindrom khusu a. Kejang
demam
b. Status
epileptikus
c. Kejang
berkaitan
dengan
gejala
metabolik
atau toksik
akut
VI. Manifestasi Klinis
1. Gejala kejang yang spesifik akan tergantung pada macam kejangnya. Jenis kejang
dapatbervariasi antara pasien, namun cenderung serupa
2. Kejang kompleks parsial dapat termasuk gambaran somatosensory atau
motorfokal
3. Kejang kompleks parsial dikaitkan dengan perubahan kesadaran
4. Ketiadaan kejang dapat tampak relative ringan, dengan periode perubahan
kesadaran hanya sangat singkat (detik)
5. Kejang tonik klonik umum merupakan episode konvulsif utama dan selalu
dikaitkan dengan kehilangan kesadaran (Yuliana, 2009) dalam Nurarif & Kusuma,
2016).

VII. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium,
natrium, bilirubin, dan ureum dalam darah. Keadaan seperti: Hiponatremia ,
hipoglikemia, hipomagnesia, uremia, dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan
timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose,
kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan test fungsi hepar mungkin
dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna.
2. Elektro ensefalografi (EEG)
Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik di otak melalui
elektroda yang ditempatkan dikulit kepala. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada
penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity.
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal ditentukan atas dasar adanya :
a. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
b. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
c. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal.
3. Rekaman video EEG
Pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh
karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-
menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan
gambaran serangan kejang epilepsi.
4. Pemeriksaan Radiologis
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) kepala merupakan Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging
yang bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural di otak dan
melengkapi data EEG. CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra
indikasi, namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur
pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik
dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis
hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi
refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri.
5. Pemeriksaan neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan
akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan
apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan
bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi.
VIII. Komplikasi Penyakit
1. Kerusakan otak akibat hypoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang
2. Dapat timbul depresidan keadaan cemas
3. Komplikasi kematian sering berkaitan dengan kecelakaan saat kejang. Beberapa
penderita SLG mengenakan helm protektif dengan pelindung pada bagian wajah
untuk memaksimalkan proteksi terhadap kepala depan, hidung dan gigi.

IX. Diangnosa
1. Resiko cedera
2. Resiko ketidak efektifan perfusi jaringan otak
3. Ansietas
X. Intervensi
1. Resiko cedera
Noc: kontrol resiko
190203 memonitor faktor resiko individu
190217 monitor perubahan status kesehatan
190214 menggunakan sistem dukungan personal untuk mengurangi
resiko
Nic: manajemen lingkungan: keselamatan
- Identifikasi hal-hal yang membahayakan dilingkungan( misalnya
[bahan]fisik, biologi, dan kimiawi)
- Monitor lingkungan terhadap terjadinya perubahan status keselamatan
- Kolaborasi dengan lembaga lain untuk meningkatkan keselamatan
lingkungan

2. Resiko ketidak efektifan perfusi jaringan otak


Noc: status neurologi

09091 kesadaran

090917 tekanan darah

090918 tekanan nadi

Nic: monitor neurologi

- Monitor tingkat kesadaran


- Monitor TTV: suhu, tekanan darah, denyut nadi dan respirasi
- Catat keluhan sakit
3. Ansietas
Noc: tingkat kecemasan
121101 tidak dapat beristirahat
121109 tidak bisa mengambil keputusan
121115 serangan panik

Nic: pengukuran kecemasan


- Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
- Dorong keluarga untuk mendampingi klien dengan cara yang tepat
- Berikan objek yang menunjukan perasaan aman
XI. Implementasi
1. Resiko cedera
- Mengovservasi keluhan yang dirasakan
- Meminta anggota keluarga memindahkan barng-barang disekitar pasien
- Pasang penghalang tempat tidur
- Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama
pasien kejang.
- Kolaborasi dengan dokter untuk pemberianobat anti konvulsan.

2. Resiko ketidak efektifan perfusi jaringan otak


- Mengosevasi tingkat kesadaran pasien
- Melakukan TTV
- Mengoservasi keluhan klien

3. Ansietas
- Anjurkan pasien untuk beristirahat
- Membantu klien dalam mengambil keputusan
- Mengoservasi serangan panik

DAFTAR PUSTAKA
Harsono, Kustiowati E. 2003. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Kelompok Studi Epilepsi
PERDOSSI

Ropper AH, Brown Rh. Epilepsy and Other Seizure Disorders.In: Adam „s and Victor
Principle of Neurology. 4th ed. New York: McGraw-Hill;1989.

Glauser AT, Morita DA. Infantil spasm (West Syndrome). Available from :
www.emedicine.com . 2006.

Glauser TA. Lennox-Gastaut Syndrome. Available at www.emedicine.com

Hart YM, sander JW. 2008. Epilepsy : Questions and Answers. Merit Publishing
International. USA; 29-30

Chapman K, Rho JM. 2007. Pediatric Epilepsy Case Studies : From Infancy and Childhood
Through Adolescence. CRC Press. Londen-Newyork ; 109,191

French JA, Delanty N. 2009. Therapeutic Strategies in Epilepsy. Clinical Publishing.


Oxford ; 71-74 8

Nasution N. dan Ambarwati R.F, 2015. Asuhan Keperawatn Bayi dan Balita. Yogyakarta :
Cakralawa ilmu Kusuma H. dan NurarifH, 2016. Asuhan Keperawatan Praktis. Nanda
Nic.Noc Sujono Riyadi dan Sukarmin, Ed.1. Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009

Anda mungkin juga menyukai