Anda di halaman 1dari 9

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 6 No.

1 Januari 2022

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN PENGOBATAN SENDIRI PADA


PASIEN DI PUSKESMAS SUKARAMAI MEDAN

1NELLI MURLINA, 2RIJENA KARINA ABIGAEL BANGUN


1,UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
2UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1nellimurlina@gmail.com

ABSTRACT
Self-medication or self-sufficiency is the selection and use of drugs by individuals to treat a self-recognized disease or
symptom. Basic Health Research 2013 in Indonesia reported a total of 103,860 (35%) of the 294,959 households stored the
drug for self-treatment. Self-medication can be a source of medication error due to limited public knowledge. This study aims
to find out the picture of self-medication in patients at Sukaramai Medan health center. Descriptive research with a "cross-
sectional" research design. Data retrieval is done by interview technique using questionnaire instruments. Data analysis
using the SPSS (Statistical Product and Service Solutions) program. The majority of respondents' knowledge level of self-
treatment was moderate, which was 60 (61.2%) respondents. The majority of respondents' attitudes towards self-medication
were moderate, with 83 (85.6%) respondents. The majority of respondents' actions against self-treatment were moderate,
with 45 (45.9%) respondents. The majority of the respondent's knowledge level, attitude, and actions towards self-medication
were moderate.

Keywords : Self-Medication, Knowledge, Attitude, Action

PENDAHULUAN
Pengobatan sendiri (self medication), atau yang disebut juga dengan swamedikasi, didefinisikan sebagai pemilihan dan
penggunaan obat-obatan oleh individu untuk mengobati penyakit atau gejala yang dikenali sendiri (WHO, 1998).
Di banyak negara berkembang, hingga 60-80% masalah kesehatan diatasi dengan pengobatan sendiri (Awad dan Eltayeb,
2007). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 di Indonesia terdapat sejumlah 103.860 atau
35,2% dari 294.959 rumah tangga di Indonesia menyimpan obat untuk pengobatan sendiri, dengan proporsi tertinggi di
DKI Jakarta (56,4%) dan terendah di Nusa Tenggara Timur (17,2%). Di Sumatera Utara, proporsi rumah tangga yang
menyimpan obat untuk pengobatan sendiri yaitu 33,5 %. Menurut Holt dan Edwin (1986) pengobatan sendiri dalam hal ini
dibatasi hanya untuk obat-obat modern, yaitu obat bebas dan obat bebas terbatas. Keuntungan pengobatan sendiri
menggunakan obat bebas dan obat bebas terbatas antara lain: aman bila digunakan sesuai dengan aturan, efektif untuk
menghilangkan keluhan (karena 80% keluhan sakit bersifat self-limiting), efisiensi biaya, efisiensi waktu, bisa ikut berperan
dalam mengambil keputusan terapi, dan meringankan beban pemerintah dalam keterbatasan jumlah tenaga dan sarana
kesehatan di masyarakat (Kristina, Prabandari, dan Sudjaswadi, 2008). Pada pelaksanaannya, pengobatan sendiri dapat
menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan
obat dan penggunaannya (Depkes RI, 2006). Penelitian Supardi dan Notosiswoyo (2006) menunjukkan bahwa pengetahuan
masyarakat tentang pengobatan sendiri yang baik masih terbatas. Dari survei awal yang dilakukan tidak ada data pasti yang
menunjukkan data pembelian obat oleh pasien- pasien Puskesmas Sukaramai Medan sebagai upaya pengobatan sendiri di
lokasi tersebut. Dengan pertimbangan bahwa pembelian obat tanpa resep dokter banyak dilakukan oleh pasien setempat
berdasarkan pengalaman pelayanan yang penulis jalankan di puskesmas tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti
gambaran pengobatan sendiri yang dilakukan pasien di Puskesmas Sukaramai Medan.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain penelitian “cross-sectional”. Penelitian ini dilakukan di
52
JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 6 No. 1 Januari 2022

Puskesmas Sukaramai, Kota Medan. Waktu penelitian April - Mei 2019. Sampel penelitian adalah masyarakat yang
memenuhi kriteria inklusi yaitu berusia 18 tahun keatas, tercatat sebagai pasien di Puskesmas Sukaramai Medan, Pernah
melakukan pengobatan sendiri, memahami Bahasa Indonesia dan dapat berkomunikasi dengan baik. Kriteria eksklusi pada
penelitian ini yaitu tidak berada di lokasi saat pengambilan data dilakukan, tidak bersedia diwawancarai. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Pengambilan dilakukan dengan Teknik wawancara dengan
menggunakan instrument kuesioner. Analisis data menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solutions).

HASIL

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur


Umur (Tahun) Frekuensi Persentase (%)
18 – 28 11 11,2
29 – 39 23 23,5
40 – 50 27 27,6
51 – 59 20 20,4
> 59 17 17,3
Total 98 100,0

Tabel 1. dapat dilihat responden terbanyak adalah berusia antara 40 sampai 50 tahun, yaitu berjumlah 27 responden
(27,6%). Sedangkan responden yang paling sedikit adalah berusia antara 18 sampai 28 tahun, yaitu berjumlah 11
responden (11,2%).

Tabel 2. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-Laki 38 38,8
Perempuan 60 61,2
Total 98 100,0

Tabel 2. dapat dilihat responden jenis kelamin perempuan merupakan responden terbanyak yaitu berjumlah 60 responden
(61,2%). Sedangkan responden jenis kelamin laki-laki berjumlah 38 responden (38,8%).

Tabel 3. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan StatusPerkawinan


Status Frekuensi Persentase (%)
Perkawinan
Kawin 81 82,7
Tidak Kawin 17 17,3
Total 98 100,0

Tabel 3. dapat dilihat responden terbanyak adalah yang berstatus kawin, yaitu berjumlah 81 responden (82,7%). Sedangkan
responden yang berstatus tidak kawin berjumlah 17 responden (17,3%).

Tabel 4. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan PendidikanTerakhir


Pendidikan Frekuensi Persentase (%)
Terakhir
Tidak Tamat SD 5 5,1
SD 13 13,3
SMP 17 17,3
SMA/SMK 47 48,0
53
JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 6 No. 1 Januari 2022

Perguruan Tinggi 16 16,3


Total 98 100,0
Tabel 4. dapat dilihat tingkat pendidikan terakhir terbanyak adalah SMA/SMK, dengan jumlah responden sebanyak 47
responden (48,0%). Sedangkan tingkat pendidikan terakhir yang paling sedikit adalah tidak tamat SD, dengan jumlah
responden sebanyak 5 responden (5,1%).

Tabel 5. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan


Pekerjaan Frekuensi Persentase (%)
Tidak/Belum Bekerja 6 6,1
Pelajar/Mahasiswa/ 2 2,0
Mahasiswi
PNS 2 2,0
Pegawai Swasta 13 13,3
Wiraswasta 30 30,6
Ibu Rumah Tangga 40 40,8
Guru/Dosen 2 2,0
Lainnya 3 3,1
Total 98 100,0

Tabel 5. dapat dilihat responden terbanyak adalah yang bekerja sebagai ibu rumah tangga, yaitu berjumlah 40 responden
(40,8%). Jenis pekerjaan yang termasuk ke dalam kategori lainnya ini, antara lain sopir, tukang besi, dan tukang jahit.

Tabel 6. Distribusi Lokasi Pembelian Obat Responden


Lokasi Pembelian Frekuensi Persentase (%)
Obat
Apotek 52 53,1
Warung 18 18,4
Toko obat 18 18,4
Supermarket 10 10,2
Total 98 100,0

Tabel 6. dapat dilihat responden paling banyak membeli obat di apotek, yaitu sebanyak 52 responden (53,1%). Sedangkan
responden paling sedikit membeli obat di supermarket, yaitu sebanyak 10 responden (10,2%).

Tabel 7. Distribusi Sumber Informasi Obat yang Diterima Responden


Sumber Informasi Obat Frekuensi Persentase (%)
Iklan Media Cetak/Elektronik 31 31,6
Pengalaman Penggunaan Obat 42 42,9
Pribadi/Keluarga
Petugas Kesehatan 15 15,3
Rekomendasi Orang Lain 10 10,2
Total 98 100,0

Tabel 7. dapat dilihat sumber informasi obat yang diterima responden yang terbanyak adalah pengalaman penggunaan obat
pribadi/keluarga, yaitu sebanyak 42 responden (42,9%). Sedangkan jumlah responden yang paling sedikit adalah responden
yang memperoleh informasi dari rekomendasi orang lain, yaitu sebanyak 10 responden (10,2%).

54
JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 6 No. 1 Januari 2022

Tabel 8. Distribusi Keluhan Penyakit Yang Dialami Responden


Keluhan Frekuensi Persentase (%)
Gejala Flu 18 18,4
Cidera Ringan 4 4,1
Alergi 3 3,1
Nyeri 18 18,4
Demam 7 7,1

Batuk 8 8,2
Gastritis 9 9,2
DM 9 9,2
Gatal-Gatal 10 10,2
Mata Merah 3 3,1
Kolesterol 2 2,0
Diare 4 4,1
Lainnya 3 3,0
Total 98 100,0

Tabel 8. dapat dilihat keluhan penyakit terbanyak yang dialami responden adalah keluhan flu dan gejala nyeri, yaitu masing-
masing sebanyak 18 responden (18,4%). Kategori lainnya antara lain hiperurisemia, glaukoma, dan hipertensi.

Tabel 9. Distribusi Jenis Obat Berdasarkan Kelas MIMS Yang DigunakanResponden


Subkelas Obat Frekuensi Persentase (%)
Antihistamin & Antialergi 3 3,1
Obat Anti Inflamasi Non Steroid 10 10,2
(OAINS)
Obat Batuk & Pilek 20 20,4
Penicillins 5 5,1
Analgesik (Non Opiat) & Antipiretik 15 15,3
Antijamur & Antiparasit Topikal 5 5,1
Antasid, Obat Antirefluks & Antiulserasi 9 9,2
Antiseptik & Desinfektan Kulit 4 4,1
Antidiabetik 9 9,2
Elektrolit 2 2,0
Antidiare 2 2,0
Kortikosteroid Topikal 5 5,1
Dekongestan, Anestesi, Antiinflamasi 3 3,1
Mata
Obat Dislipidemia 2 2,0
Lainnya 4 4,1
Total 98 100,0

Tabel 9. dapat dilihat jenis obat yang terbanyak digunakan oleh responden adalah kelas obat batuk dan pilek, yaitu
sebanyak 20 responden (20,4%) yang menggunakan obat kelas tersebut. Subkelas obat lainnya antara lain obat
hiperurisemia dan gout, antagonis kalsium, hormon kortikosteroid, dan antiglaukoma.

55
JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 6 No. 1 Januari 2022

Tabel 10. Distribusi Golongan Obat Yang Digunakan Responden


Golongan Obat Frekuensi Persentase (%)
Obat Bebas 29 29,6
Obat Keras 31 31,6
Obat Bebas 38 38,8
Terbatas
Total 98 100,0

Tabel 10. dapat dilihat golongan obat terbanyak yang digunakan responden adalah obat bebas terbatas, yaitu sebanyak 38
responden (38,8%) yang menggunakan golongan obat tersebut.

Tabel 11. Distribusi Alasan Responden Membeli Obat Tanpa Resep Dokter
Alasan Responden Frekuensi Persentase (%)
Hemat Waktu 70 71,4
Hemat Biaya 9 9,2
Lokasi Pelayanan 14 14,3
Kesehatan Jauh
Lainnya 5 5,1
Total 98 100,0

Tabel 11. dapat dilihat alasan responden membeli obat tanpa resep dokter terbanyak adalah karena hemat waktu, yaitu
sebanyak 70 responden (71,4%). Sedangkan alasan responden yang paling sedikit dimasukkan ke dalam kategori lainnya,
yaitu dua responden mengatakan alasan beliau membeli obat tanpa resep dokter adalah karena beliau merasa penyakit
yang dideritanya adalah penyakit ringan, dan alasan seorang responden yang lain adalah untuk mengobati sementara.

Tabel 12. Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Pengobatan Sendiri


Tingkat Frekuensi Persentase (%)
Pengetahuan
Baik 7 7,1
Sedang 60 61,2
Buruk 31 31,6
Total 98 100,0

Tabel 12. dapat dilihat tingkat pengetahuan responden mayoritas adalah sedang, yaitu sebanyak 60 responden (61,2%).
Responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik adalah sebanyak 7 responden (7,1%). Sedangkan responden yang
memiliki tingkat pengetahuan buruk adalah sebanyak 31 orang (31,6%).

Tabel 13. Sikap Responden Terhadap Pengobatan Sendiri


Sikap Frekuensi Persentase (%)
Baik 8 8,2
Sedang 87 88,8
Buruk 3 3,1
Total 98 100,0

Tabel 13. dapat dilihat sikap responden mayoritas adalah sedang, yaitu sebanyak 83 responden (85,6%). Responden yang
memiliki sikap baik terhadap pengobatan sendiri adalah sebanyak 5 responden (5,2%). Sedangkan responden yang memiliki
sikap buruk adalah sebanyak 9 responden (9,3%).

56
JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 6 No. 1 Januari 2022

Tabel 14. Tindakan Responden Dalam Melakukan Pengobatan Sendiri


Tindakan Frekuensi Persentase (%)
Baik 41 41,8
Sedang 45 45,9
Buruk 12 12,2
Total 98 100,0

Tabel 14. dapat dilihat mayoritas melakukan pengobatan sendiri dengan tindakan sedang, yaitu sebanyak 45 responden
(45,9%). Responden dengan tindakan baik adalah sebanyak 41 responden (41,8%). Sedangkan responden dengan
tindakan buruk adalah sebanyak 12 responden (12,2%).

PEMBAHASAN
Mayoritas responden yang melakukan pengobatan sendiri adalah umur 40– 50 tahun, yaitu sebanyak 27 responden
(43,3%), diikuti usia 29 – 39 tahun yaitu sebanyak 23 responden (23,5%). Pada penelitian yang dilakukan Aoyama, Koyama,
dan Hibino (2012), hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok usia tidak berpengaruh terhadap bagaimana perilaku
pengobatan sendiri dan terhadap pemilihan obat-obatan untuk pengobatan sendiri. Mayoritas responden adalah
perempuan, yaitu sebanyak 60 responden (61,2%). Penelitian yang dilakukan Angeles, Medina, dan Molina (1992),
mengidentifikasi perempuan sebagai elemen fundamental dalam konsumsi obat-obatan dalam pengobatan sendiri. Sehingga
banyak penelitian yang menunjukkan responden perempuan adalah yang terbanyak yang melakukan pengobatan sendiri.
Penelitian yang dilakukan Kristina, Prabandari, dan Sudjaswadi (2008), juga memperoleh hasil bahwa responden
perempuan adalah yang terbanyak (54,0%) dibandingkan dengan responden laki-laki (46,0%), dengan alasan yang
diutarakan peneliti tersebut adalah bahwa perempuan banyak terlibat dalam pengobatan anggota keluarganya dibandingkan
dengan responden laki-laki. Mayoritas responden adalah berstatus kawin, yaitu sebanyak 81 responden (82,7%). Penelitian
yang dilakukan Afolabi (2008), juga menunjukkan bahwa responden terbanyak yang melakukan pengobatan sendiri adalah
berstatus kawin (52,2 %). Pada penelitian yang dilakukan Hassali dkk. (2010) juga menunjukkan bahwa responden
terbanyak yang melakukan pengobatan sendiri adalah berstatus kawin (57,6%). Karena mayoritas responden pada
penelitian yang telah dilakukan ini adalah perempuan, maka hal ini dapat disebabkan karena mayoritas responden
perempuan yang berstatus kawin ini lebih banyak berada di rumah untuk mengurus rumah tangga dan juga mengurus anak
di rumah, sehingga lebih memilih melakukan pengobatan sendiri dengan alasan hemat waktu, dimana data penelitian ini
juga menunjukkan bahwa mayoritas responden menyatakan alasan mereka membeli obat secara bebas adalah hemat
waktu. Mayoritas alasan responden melakukan pengobatan sendiri yang paling banyak adalah hemat waktu, yaitu sebanyak
70 responden (71,4%). Alasan lainnya yang dikatakan beberapa responden adalah alasan penyakit ringan, dan untuk
mengobati sementara. Sesuai dengan penelitian-penelitian lain juga, beberapa kentungan melakukan pengobatan sendiri
antara lain hemat waktu, yaitu mengurangi waktu yang digunakan dalam kunjungan ke dokter umum atas penyakit ringan
atau sepele, sehingga juga dapat memberikan waktu lebih banyak kepada dokter untuk kasus yang lebih penting (Webber
dan Williams, 2006). Mayoritas pekerjaan responden adalah ibu rumah tangga yaitu berjumlah 40 responden (40,8%). Hasil
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Purwanti (2011), pekerjaan responden mayoritas adalah ibu rumah tangga
(88,8%). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Kristina, Prabandari, dan Sudjaswadi (2008), peneliti mengkategorikan
pekerjaan responden menjadi bekerja dan tidak bekerja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan responden terbanyak adalah
yang bekerja (78,7%). Mayoritas responden membeli obat di apotek yaitu berjumlah 52 responden (53,1%). Ini menunjukkan
responden membeli obat secara bebas di tempat yang layak atau benar, karena adanya keberadaan seorang apoteker di
apotek yang dapat menjelaskan tentang penggunaan obat yang dibeli responden dengan benar. Keterlibatan penuh tenaga
kesehatan membantu memastikan keberhasilan self care (perawatan diri), yang dalam hal ini yaitu self medication
(pengobatan sendiri) (Webber dan Williams, 2006). Penelitian yang dilakukan Purwanti (2011), menunjukkan bahwa
responden paling banyak membeli obat di warung (57,2%), diikuti dengan apotek (24,5%). Mayoritas pendidikan terakhir
responden adalah SMA/SMK, yaitu sebanyak 47 responden (48,0%). Penelitian yang dilakukan Kristina, Prabandari, dan
Sudjaswadi (2008), tingkat Pendidikan SMA/SMK dikategorikan pada tingkat pendidikan rendah. Pada penelitian tersebut,

57
JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 6 No. 1 Januari 2022

responden terbanyak yang melakukan pengobatan sendiri adalah dengan tingkat pendidikan rendah (lulus SLTA/SLTP/SD)
(67,2%). Sedangkan yang paling sedikit melakukan pengobatan sendiri adalah tingkat pendidikan tinggi (lulus Perguruan
Tinggi) (32,8%). Tingkat pendidikan responden ini mungkin dapat berpengaruh pada sumber informasi obat responden.
Pada masyarakat dengan tingkat pendidikan yang kurang, mungkin mendapat sumber informasi dari kabar- kabar yang
banyak didengar atau dengan kata lain dari rekomendasi orang lain. Sumber informasi obat dari teman/kerabat adalah
sumber informasi obat yang tidak dapat dipercaya dan masyarakat dapat memperoleh informasi yang salah dari
sumber informasi ini (Auta, Omale, Folorunsho, David, dan Banwat, 2012). Mayoritas sumber informasi obat yang diterima
adalah iklan media cetak/elektronik, yaitu sebanyak 31 responden (31,6%). Ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Supardi, Muktiningsih, dan Handayani (1997), yang mengatakan bahwa masyarakat yang menggunakan obat bebas
mendapat informasi dari iklan televisi/radio. Iklan saja tidak bisa menyampaikan semua informasi yang pasien perlukan
untuk melakukan pengobatan sendiri dengan benar. Informasi rinci lebih relevan pada waktu membeli suatu produk, dan
kemudian ketika produk digunakan. Informasi lebih rinci ini dapat berasal dari diskusi dengan seorang tenaga kesehatan
dan khususnya dalam kasus pembelian obat tanpa resep dokter, berasal dari label produk dan leaflet (WSMI, 2008).
Mayoritas responden menggunakan obat subkelas obat batuk pilek, diikuti dengan subkelas analgesik (non opiat) dan
antipiretik. Kelas obat yang dicantumkan berdasarkan subkelas farmakologi pada indeks klasifikasi MIMS. Mayoritas
keluhan penyakit responden adalah flu dan nyeri, yaitu masing-masing sebanyak 18 responden (18,4%). Keluhan nyeri yang
dikeluhkan para responden antara lain nyeri kepala dan juga nyeri lutut dari penyakit osteoartritis yang dideritanya. Hal ini
menunjukkan bahwa perbandingan antara keluhan terbanyak dengan kelas obat terbanyak yang digunakan adalah sejalan.
Pemilihan obat yang tidak sesuai dengan keluhan seseorang bisa disebabkan karena kurangnya kesadaran masyarakat
untuk membaca indikasi yang tertera pada kemasan obat atau lemahnya regulasi yang mungkin terjadi pada apotek. Hasil
serupa dilakukan pada penelitian Hermawati (2012) yaitu responden terbanyak yang melakukan pengobatan sendiri sejalan
dengan keluhannya. Mayoritas responden menggunakan obat bebas terbatas, yaitu 38 responden (38,8%), yang diikuti
dengan jumlah responden yang menggunakan obat keras, yaitu 31 responden (31,6%). Ini menunjukkan bahwa masih
banyak responden melakukan pengobatan sendiri yang tidak sesuai dengan aturan, karena tidak tepat golongan obat.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hermawati (2012), yang menemukan penggunaan obat responden yang berasal
dari golongan obat yang tidak tepat, yaitu golongan obat keras. Pada penelitian ini juga terdapat responden yang membeli
antibiotik tanpa resep dokter, yang merupakan golongan obat keras. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat
menyebabkan resistensi antibiotik, yang merupakan masalah utama di seluruh dunia terutama di negara- negara
berkembang (Auta, Omale, Folorunsho, David, dan Banwat, 2012). Mayoritas responden memiliki pengetahuan sedang,
yaitu sebanyak 60 responden (61,2%). Dan masih banyak juga responden yang memiliki pengetahuan yang buruk, yaitu
sebanyak 31 responden (31,6%). Ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Supardi dan Notosiswoyo (2006), yang
menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang pengobatan sendiri yang baik masih terbatas. Jawaban responden
pada kuesioner pengetahuan, yang menanyakan apakah parasetamol sebagai obat demam tanpa resep dokter boleh
diminum hingga lebih dari 2 hari, menunjukkan bahwa sebagian besar responden menjawab ya (42,9%). Ini menunjukkan
bahwa sebagian besar responden tidak mengetahui bahwa parasetamol tidak boleh diminum lebih dari 2 hari apabila dibeli
tanpa resep dokter (Depkes RI, 2006). Hal ini dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada masyarakat yang tidak
mengetahui hal ini. Selain itu, hasil kuesioner menunjukkan mayoritas responden (41,8%) mengetahui bahwa indikasi yang
ada di kemasan obat berisi keterangan tentang penyakit yang dapat diobati obat tersebut. Namun tidak sedikit juga tidak
mengetahui apakah itu indikasi, yaitu 36 responden (36,7%) menjawab tidak, dan 21 responden (21,4%) menjawab tidak
tahu. Tanpa membaca indikasi yang terteradi obat akan membahayakan pasien dalam melakukan pengobatan sendiri.
Mayoritas responden mengenai sikap terhadap pengobatan sendiri adalah sedang, yaitu sebanyak 87 responden (88,8%).
Dari hasil keusioner menunjukkan mayoritas responden setuju pengobatan sendiri lebih menguntungkan masyrakat.
Kenyataannya, pengobatan sendiri tidak selalu menguntungkan masyarakat. Ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Supardi dan Notosiswoyo (2005), yang mengatakan bahwa adapun kekurangan pengobatan sendiri adalah obat dapat
membahayakan kesehatan apabila tidak digunakan sesuai dengan aturan. Terdapat 2 responden (2,0%) yang sangat
setuju pada pernyataan bahwa pengobatan sendiri lebih murah, dan yang setuju sebanyak 25 responden (25,5%).
Kenyataannya, tidak selamanya pengobatan sendiri itu lebih murah. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan
Supardi dan Notosiswoyo (2006), yang mengatakan bahwa pengobatan sendiri yang tidak sesuai aturan selain dapat
membahayakan kesehatan, juga pemborosan waktu dan biaya karena harus melanjutkan upaya pencarian pengobatan.
Mayoritas responden sangat setuju (15,3%) dan setuju (51,0%) terhadap pernyataan bahwa penggunaan obat pada
pengobatan sendiri yang tidak sesuai dengan aturan dapat membahayakan kesehatan. Ini menunjukkan bahwa sebagian
58
JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 6 No. 1 Januari 2022

besar responden bersikap baik terhadap hal tersebut. Tetapi kenyataannya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih
ada responden melakukan pengobatan sendiri dengan tindakan tidak benar yang tidak sesuai dengan sikap mereka
terhadap hal ini. Beberapa dari responden saat wawancara dilakukan menyatakan tidak mematuhi aturan pakai, tidak
membaca aturan pakai obat, tidak mengikuti dosis yang tertera pada kemasan obat, tidak membaca sama sekali dosis yang
tertera pada kemasan obat. Tindakan ini sangat membahayakan responden yang melakukan pengobatan sendiri. Sikap dan
tindakan responden terhadap hal ini tidak sejalan. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan suatu
kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung. Tetapi hal itu juga belum
menjamin terjadinya perilaku terbuka atau tindakan nyata seseorang atau masyarakat, sehingga diperlukan faktor penguat
untuk menjaminnya, antara lain tokoh masyarakat, peraturan, undang-undang, surat-surat keputusan dari para pejabat
pemerintahan pusat atau daerah (Lawrence Green, 1980, dalam Notoatmodjo, 2010). Mayoritas tindakan responden pada
penelitian ini adalah sedang, yaitu sebanyak 45 responden (45,9%). Ini sejalan dengan mayoritas tingkat pengetahuan
responden, yang mayoritas tingkat pendidikan adalah sedang. Diikuti dengan tindakan baik, yaitu sebanyak 41 responden
(41,8%). Ini berarti bahwa tindakan responden sebenarnya cukup baik walaupun tingkat pengetahuan mereka sebenarnya
masih terbatas. Ini bisa terjadi karena masyarakat yang menjadi responden ini melakukan pengobatan sendiri sesuai
dengan pengalamannya selama ini, dan dari pengalaman keluarganya, yang mungkin tingkat pengetahuan keluarganya
terhadap pengobatan sendiri adalah tinggi. Namun, dari hasil yang didapatkan, ada beberapa responden yang tindakannya
buruk (12,2%). Dari wawancara yang dilakukan, sejumlah responden tidak membaca etiket obat yang tertera. Hal ini dapat
menimbulkan efek pengobatan sendiri yang tidak sesuai aturan dan dapat membahayakan responden tersebut.

KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan responden terhadap
pengobatan sendiri adalah sedang.

Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam pelaksanaan penelitian
terkhusus staf unit pelaksana teknis Puskesmas Sukaramai, Kota Medan.

DAFTAR PUSTAKA

Afolabi, A. O., 2008. Factors Influencing The Pattern of Self-Medication in An Adult Nigerian Population. Annals of African
Medicine, 17(3), pp.120-127.
Angeles, C. P., Medina, F. ML., Molina, R. JF., 1992. Self medication in urban population of Cuernavaca, Morelos. Salud
Publica Mex, 34(5), pp. 54-61.
Aoyama, I., Koyama, S., Hibino, H., 2012. Self-medication behaviors among Japanese consumers: sex, age, and SES
differences and caregivers' attitudestoward their children's health management. Asia Pac Fam Med, 11(1), p.7.
Auta, A., Omale, S., Folorunsho, T. J., David, S., & Banwat, S. B., 2012.
Medicine Vendors: Self-medication Practices and Medicine Knowledge. NAm J Med Sci, 4(1), pp. 24-28.
Awad, A. & Eltayeb, I., 2007. Self-medication practices with antibiotics and antimalarials among Sudanese undergraduate
university students. Ann Pharmacother.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pp.1, 3-13.
Hassali, M. A., Shafie, A. A., Al-Qazaz, H., Tambyappa, J., Palaian, S., Hariraj, V., 2011. Self-medication practices among
adult population attending community pharmacies in Malaysia: an exploratory study. Int J Clin Pharm,33, pp.794-799.
Hermawati, D., 2012. Pengaruh Edukasi Terhadap Tingkat Pengetahuan dan Rasionalitas Penggunaan Obat Swamedikasi
Pengunjung di Dua ApotekKecamatan Cimanggis, Depok.
Kristina, S., Prabandari, Y. & Sudjaswadi, R., 2008. Perilaku pengobatan sendiri yang rasional pada masyarakat Kecamatan
Depok dan Cangkringan Kabupaten Sleman. Majalah Farmasi Indonesia, 19(1), pp.32-40.
Notoatmodjo, S., 2010. Promosi Kesehatan Teori & Aplikasi. Jakarta: RinekaCipta, pp.25-28, 43-44, 46-55.
Purwanti, S., 2011. Gambaran Perilaku Pengobatan Sendiri Pada Masyarakat di RW 04 Kelurahan Dago Kecamatan
Coblong Kota Bandung.

59
JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 6 No. 1 Januari 2022

Supardi, S. & Notosiswoyo, M., 2005. Pengobatan Sendiri Sakit Kepala, Demam, Batuk dan Pilek pada Masyarakat di Desa
Ciwalen, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.Majalah Ilmu Kefarmasian, II(03), pp.134 - 144.
Webber, D. E. & Williams, J. R., 2006. A Discussion Paper on the Future of Self Care and its Implications for Physicians.
World Medical Journal, 52(3), pp.66-72.
World Health Organization, 1998. The Role of the Pharmacist in Self-Care andSelf-Medication. p.3.
World Self-Medication Industry, 2008. Advertising of nonprescription medicinesto the public. p.6.

60

Anda mungkin juga menyukai