Anda di halaman 1dari 17

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSJD dr.Arif Zainudin Surakarta.

RSJD dr.Arif Zainudin Surakarta ini bertempat di Jl. Ki Hajar Dewantoro

No.80 Jebres Surakarta. Sebelum di integrasikan kedalam binaan

Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah seperti saat ini, letak semula

Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta berada di jantung kota Solo yang

beralamat (lokasi lama) di Jl. Bhayangkara No.50 Surakarta. Rumah Sakit

ini didirikan pada tahun 1918 dan diresmikan terpakai tanggal 17 juli 1919

dengan nama “Doorganghuisvoor Krankzinnigen” dan dikenal pula

dengan nama Rumah Sakit Jiwa MANGUNJAYAN yang menempati area

seluas +0,69 ha dengan kapasitas tampung sebanyak 216 tempat tidur (TT).

Pada tanggal 3 Pebruari 1986 Rumah Sakit Jiwa Surakarta

menempati lokasi yang baru di tepian sungai Bengawan Solo, tepatnya

dijalan Ki Hajar Dewantoro No.80 Surakarta dengan luas area 10 ha lebih

dengan luas bangunan 10.067 m2. Pada saat ini pemanfaatan lahan mencapai

45% dan daya tampung yang tersedia sebanyak 340 Tempat Tidur (TT)

dengan wilayah kerja mencakup Eks Karisidenan Surakarta. Wilayah lain

di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur bagian barat dan sebagian wilayah

DIY.

Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, maka

Rumah Sakit Jiwa Pusat Surakarta berubah menjadi Rumah Sakit Jiwa

62
63

Daerah Surakarta dibawah Pemda Provinsi Jawa Tengah. Rumah Sakit Jiwa

Pusat Surakarta diserahkan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

Daerah pada tahun 2001 berdasarkan SK Menteri Kesehatan No.

1079/Menkes/SK/X/2001 tanggal 16 oktober 2001. Adapun penetapan RS

Jiwa Pusat Surakarta berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah No.

440/09/2002 pada bulan februari 2002. Kemudian sejak tahun 2009 RS Jiwa

Daerah Surakarta telah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)

Provinsi Jawa Tengah. RSJD Surakarta merupakan Rumah Sakit khusus

kelas A. Saat ini terdapat beberapa instalasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Surakarta antara lain: Instalasi Rawat Jalan, Instalasi Gawat Darurat,

Instalasi Rawat Inap, Instalasi Gangguan Mental Organic (GMO) dan

Napza, Instalasi Psikogeriatri, Instalasi Kesehatan Anak dan Remaja,

Instalasi Elektromedik, Instalasi Psikologi, Instalasi Rehabilitasi, Instalasi

Fisioterapi, Instalasi Gigi dan Mulut, Instalasi Laboratorium, Instalasi

Radiologi, Instalasi Farmasi, Instalasi Gizi, Instalasi Kesehatan Jiwa

Masyarakat, Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit, Instalasi Pemeliharaan

Sarana Rumah Sakit, Instalasi Pengelolaan Arsip & Perpustakaan Rumah

Sakit, Instalasi Humas dan Pemasaran Rumah Sakit, Instalasi Sistem

Informasi Manajemen (SIM) Rumah Sakit, Instalasi Sanitasi dan Instalasi

Laundry.

Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta berkapasitas 340 tempat tidur

dan terbagi dalam 15 ruang perawatan. Ruang perawatan meliputi ruang

VIP, ruang kelas I, kelas II, dan ruang kelas III. Pasien yang memerlukan
64

perawatan khusus seperti pasien lansia dirawat di ruang Dewi Kunti,

penderita adiksi dan Napza serta pasien psikiatri yang disertai penyakit fisik

dirawat di ruang Wisanggeni. Pasien laki-laki dan perempuan dirawat dalam

ruangan terpisah. Pelayanan di Instalasi Rawat Jalan dilaksanakan setiap

hari kerja (senin s/d sabtu) dengan ketentuan jam sebagai berikut: hari senin

s/d Jumat jam 08:00 s/d 16:00 WIB, hari sabtu dan minggu tutup. (RSJD

Surakarta)

Pada tahun 2018 berdasarkan data rekan medik dari RSJD dr. Arif

Zainudin Surakarta, tercatat jumlah pasien skizofrenia mencapai 42.183

orang dan pasien yang mengalami gangguan persepsi sensori halusinasi

sebanyak 5.511 orang.

Pada tahun 2018 di RSJD dr.Arif Zainudin Surakarta nilai BOR

(Bed Occupancy Ratio) atau presentase pemakaian tempat tidur sebesar

63,98%, ALOS (Average Length of Stay) atau rata-rata lamanya pasien

dirawat adalah 27 hari, BTO (Bed Turn Over) atau frekuensi pemakaian

tempat tidur pada satu periode adalah 8 kali, TOI (Turn Over Internal) atau

rata-rata hari dimana tempat tidur tidak ditempati dari setelah diisi ke saat

terisi berikutnya sebanyak 15 hari, GDR (Gross Death Rate) atau angka

kematian umum untuk setiap 1000 penderita keluar adalah 0,3%, NDR (Net

Death Rate) atau angka kematian 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap

1000 penderita keluar adalah 0,3%.


65

B. Hasil Analisis

1. Karakteristik responden

Dalam penelitian ini responden berjumlah 30 orang, karakteristik

responden terdiri dari jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, status

perkawinan.

a. Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin

Tabel 4.1
Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin.
No Jenis Kelamin Jumlah Presentase (%)
1 Laki-Laki 17 56.7
2 Perempuan 13 43.3

Total 30 100.0
Sumber : Data primer (Diolah menggunakan SPSS for windows 20)

Tabel 4.1 menunjukkan jumlah responden yang paling banyak adalah

dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 17 responden (56.7%).

b. Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia.

Tabel 4.2
Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia.
No Usia Jumlah Presentase (%)
1. 12 – 16 1 3.3
2. 17 – 25 5 16.7
3. 26 - 35 11 36.7
4. 36 – 45 7 23.3
5. 46 – 55 5 16.7
6. 56 – 65 1 3.3
Total 30 100.0
Sumber : data primer (Diolah menggunakan SPSS for windows 20)

Tabel 4.2 menunjukkan jumlah responden yang paling banyak adalah

yang berusia dengan rentang 26 - 35 tahun sebanyak 11 responden

(36.7%).
66

c. Distribusi responden berdasarkan pendidikan.

Tabel 4.3
Distribusi responden berdasarkan pendidikan
No PENDIDIKAN JUMLAH Presentase (%)
1 Tidak Sekolah 10 33.3
2 SD 2 6.7
3 SMP 3 10.0
4 SMA 13 43.3
5 PT 2 6.7
Total 30 100.0
Sumber : Data primer (Diolah menggunakan SPSS for windows 20)

Tabel 4.3 menunjukkan responden yang paling banyak adalah yang

mempunyai tingkat pendidikan SMA yaitu sebanyak 13 responden

(43.3 %).

d. Distribusi responden berdasarkan pekerjaan.

Tabel 4.4
Distribusi responden berdasarkan pekerjaan
PEKERJAAN JUMLAH %
Tidak Bekerja 16 53.3
Ibu Rumah Tangga 4 13.3
Wiraswasta 8 26.7
Mahasiswa 1 3.3
PNS 1 3.3
Total 30 100.0
Sumber : Data primer (Diolah menggunakan SPSS for windows 20)

Tabel 4.4 menunjukkan responden yang paling banyak adalah yang

tidak bekerja yaitu sebanyak 16 responden (53.3 %).

e. Distribusi responden berdasarkan status pernikahan.

Tabel 4.5
Distribusi responden berdasarkan status perkawinan.
STATUS JUMLAH %
Menikah 12 40.0
Belum Menikah 18 60.0
Total 30 100.0
Sumber : Data primer (Diolah menggunakan SPSS for windows 20)
67

Tabel 4.5 menunjukkan responden yang paling banyak adalah yang

berstatus belum menikah yaitu sebanyak 18 responden (60.0 %).

2. Skor halusinasi pendengaran sebelum (Pre) diberikan Thought Stopping.

Tabel 4.6
Analisis sentral tendensi skor halusinasi sebelum (pre) diberikan Thought
Stopping
Variabel Valid Mean Median Min Max Std.
(N) Deviation
Skor 30 34.6000 34.5000 31.00 38.00 2.07780
Halusinasi
Pendengaran
Pre
Sumber : Data primer (Diolah menggunakan SPSS for windows 20)

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa dari 30

responden, sebelum dilakukan Thought Stopping rata-rata skor

halusinasi sebesar 34.6000 dengan nilai minimal skor 31.00 dan nilai

maksimal skor 38.00 dengan standar deviasi 2.07780.

3. Skor halusinasi pendengaran setelah (Post) diberikan Thought Stopping.

Tabel 4.7
Analisis sentral tendensi skor halusinasi sesudah (post) diberikan Thought
Stopping

Variabel Valid Mean Median Min Max Std.


(N) Deviation
Skor 30 24.9000 25.0000 20.00 39.00 2.39756
Halusinasi
Pendengaran
Post
Sumber : Data primer (Diolah menggunakan SPSS for windows 20)

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa dari 30

responden, setelah dilakukan Thought Stopping rata-rata skor halusinasi

sebesar 24.9000 dengan nilai minimal skor 20.00 dan nilai maksimal skor

39.00 dengan standar deviasi 2.39756.


68

4. Pengaruh thought stopping terhadap penurunan skor halusinasi


pendengaran sebelum dan sesudah diberikan thought stopping.

Pengaruh thought stopping terhadap penurunan skor halusinasi

pendengaran dapat diketahui dengan melakukan uji paired sample t test.

Syarat uji paired sample t test yaitu data harus berdistribusi normal melalui

uji normalitas data. Uji normalitas data adalah uji yang dilakukan sebelum

uji hipotesa untuk menentukan apakah data berdistribusi normal atau tidak.

Penelitian ini menggunakan uji Shapiro-Wilk karena responden berjumlah

30 orang. Berikut tabel 4.8 yang berisi hasil uji normalitas data skor

halusinasi sebelum dan sesudah diberikan Thought Stopping.

Tabel 4.8
Uji Normalitas Shapiro-Wilk
Shapiro - Wilk
Statistic df Sig.
PreTest .951 30 .183
PostTest .959 30 .293
Sumber : Data primer (Diolah menggunakan SPSS for windows 20)

Berdasarkan tabel 4.8 skor halusinasi sebelum diberi Thought

Stopping memiliki nilai signifikansi 0.183 yang menunjukkan p value > 0.05

yang menunjukkan data berdistribusi normal, skor halusinasi setelah

diberikan Thoght Stopping memiliki nilai signifikansi 0,293 yang

menunjukkan p value > 0.05 yang menunjukkan data juga berdistribusi

normal.

Berdasarkan uji normalitas data yang diolah didapatkan hasil data

pre test dan post test berdistribusi normal, maka untuk uji hipotesis

menggunakan Paired T-Test sehingga didapatkan hasil analisa data

mengenai skor halusinasi pendengaran sebelum dan sesudah diberikan


69

Thought Stopping, dapat disimpulkan bahwa Thought Stopping berpengaruh

terhadap skor halusinasi pendengaran pada pasien Skizofrenia di RSJD

dr.Arif Zainudin Surakarta. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.6 dibawah ini.

Tabel 4.9
Analisis pengaruh Paired Sample T Test

Variabel Valid (N) Mean Std. Std.Error P


Deviation Mean value
Sebelum 30 34.6000 2.07780 0.37935
Sesudah 30 24.9000 2.39756 0.43773 0.000
Selisih - 9.70000 2.47957 0.45271
Sumber : Data primer (Diolah menggunakan SPSS for windows 20)

Dari tabel diatas diperoleh nilai mean skor halusinasi pendengaran pre

diberikan Thought Stopping sebesar 34.6000, mean post diberikan Thought

Stopping sebesar 24.9000. Terlihat penurunan nilai mean antara pre dan post

diberikan Thought Stopping sebesar 9.70000 dengan standar deviasi

2.47957. Dari tabel 4.9 didapatkan nilai p value 0.000 < 0.05, maka Ha

diterima, yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan antara skor skor

halusinasi sebelum dan sesudah diberikan Thought Stopping.

C. Pembahasan

1. Karakteristik responden

a. Jenis kelamin

Hasil penelitian menunjukkan responden laki-laki lebih banyak

yaitu 17 responden dibandingkan responden perempuan yaitu 13

responden. Hasil penelitian ini didukung oleh Saputra, Saswati,

dan Sutinah (2018) bahwa mayoritas pasien halusinasi yang


70

dirawat di ruang rawat inap adalah laki-laki dengan jumlah

sebanyak 26 orang (59.1%). Hasil penelitian ini juga didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Sri Mardiati, Veny Elita, dan

Febriana Sabrian (2017) bahwa mayoritas pasien halusinasi dengan

skizofrenia adalah jenis kelamin laki-laki 25 responden (73.5%).

Prevalensi skizofrenia pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan

setara, namun perbedaan terletak pada mulai terjadinya penyakit

dan perjalanan penyakitnya. Lebih dari separuh pasien skizofrenia

yang dirawat adalah jenis kelamin laki-laki namun hanya sepertiga

pasien skizofrenia perempuan yang dirawat di rumah sakit

psikiatri. Sejumlah studi mengindikasikan bahwa laki-laki lebih

cenderung mengalami kembalinya gejala skizofrenia akibat gejala

negatif daripada perempuan. Perempuan cenderung memiliki

kemampuan fungsi sosial yang baik daripada laki-laki sebelum

awitan penyakit (Sadock & Sadock, 2010). Hal ini bisa terjadi

karena pasien yang berjenis kelamin perempuan lebih patuh minum

obat daripada laki-laki (Novitayani, 2016).

b. Usia

Hasil penelitian menunjukkan responden yang paling banyak

adalah yang berusia dengan rentang 26 - 35 tahun (36.7%). Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian (Wahyuni.dkk.2010)

dengan judul lama hari rawat dengan kemampuan pasien dalam

mengontrol halusinasi adalah usia 25-45 tahun. Usia tersebut


71

dalam kategori dewasa muda, pada masa tersebut individu

mempunyai tugas dan tahap perkembangan terhadap stressor

dalam membedakan antara rangsangan yang timbul dari sumber

internal (pikiran dan perasaan) (Yosep,2011). Hal ini diperkuat

dengan pendapat Pieter (2017) yang menjelaskan bahwa pada masa

dewasa akhir akan muncul perubahan psikologis berupa depresi

menstrual, timbulnya perilaku yang aneh, dan sering terjadi

instabilitas emosi akibatnya pada masa ini akan terjadi perilaku

menarik diri, menurunnya kemampuan belajar (daya ingat) hingga

muncul ilusi dan halusinasi yang jika tidak segera dilakukan

intervensi maka di khawatirkan akan berlanjut hingga lansia dan

akan membentik dimensia.

c. Pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan sebagian besar

responden berasal dari pendidikan SMA yaitu sebanyak 13

responden (43.3% ) dan pendidikan responden paling sedikit

adalah Perguruan Tinggi sebanyak 2 reponden (6.7%) dan Sekolah

Dasar yaitu 2 responden (6.7%). Hasil penelitian tersebut sama

dengan penelitian yang dilakukan oleh Engkeng dan Maslina

(2013) jumlah responden terbanyak yang berlatar pendidikan SMA

sebanyak 54 responden (33.3%). Berdasarkan teori Kusumawati

dan Hartono (2010) semakin tinggi pendidikan akan semakin

komplek sudut pandang dalam menyikapi suatu masalah. Islami,


72

Fkhriadi, dan Khairiyati (2018) menyatakan bahwa pendidikan

merupakan faktor pemberat terjadinya skizofrenia. Hal ini

dikarenakan pengetahuan merupakan faktor penting yang

menunjang kemampuan seseorang karena semakin cukupnya

tingkat pengetahuan dan kekuatan seseorang maka ia akan lebih

matang dalam berfikir dan menerima informasi.

d. Pekerjaan

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden adalah

tidak bekerja yaitu sebanyak 16 responden (53.3 %). Hal ini

didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Nisa (2014) bahwa

mayoritas pasien dengan skizofrenia adalah tidak bekerja sebanyak

76.51%. Berdasarkan penelitian Fresa (2015) menyatakan bahwa

mayoritas pasien halusinasi adalah tidak bekerja sebanyak 25

responden (46.3%). Menurut Yosep (2007) yaitu seseorang akan

mengalami gangguan jiwa atau penyimpangan perilaku apabila

banyak faktor sosial di lingkungan yang memicu munculnya stress

pada seseorang. Penyebab stressor di lingkungan meliputi saingan

pekerjaan dan penghasilan kurang dari kebutuhan.

e. Status pernikahan

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden adalah

adalah yang berstatus belum menikah yaitu sebanyak 18 responden

(60.0 %). Penelitian ini didukung oleh Prastyo (2016) bahwa

mayoritas pasien Skizofrenia berstatus belum menikah dengan


73

presentase 58,42% dan menyatakan bahwa status pernikahan

memiliki hubungan yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien

skizofrenia. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Sri Mardiati, Veny Elita, dan Febriana Sabrian

(2017) bahwa mayoritas status pernikahan responden adalah belum

menikah sebanyak 24 orang (70.6%). Stigma negatif yang dialami

oleh penderita skizofrenia mempersulit penderita skizofrenia untuk

memperoleh pasangan hidup (Loganathan & Murthy, 2008). Hal

ini dikarenakan orang dengan skizofrenia yang telah menikah atau

yang telah hidup bersama memiliki usia yang lebih lambat dari

episode psikotik pertama, memiliki dukungan tambahan, dan

memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi daripada mereka yang

masih lajang (Nyer,et al, 2010).

2. Halusinasi pendengaran sebelum dilakukan intervensi.

Berdasarkan analisis dalam penelitian ini diketahui bahwa nilai

rata-rata sebelum intervensi 34.60, sedangkan nilai median sebelum

intervensi 34.50, dengan nilai maksimal 38.00 dan minimal 31.00, nilai

standar deviasinya 2.07780. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Twistiandayani dan Widati (2013) diketahui kemampuan

mengontrol halusinasi sebelum diberikan thought stopping dengan

kategori baik 3 orang (10%), kategori cukup 12 orang (40%) dan

kategori kurang 15 orang (50%).


74

Tingginya halusinasi pendengaran bisa disebabkan karena

beberapa faktor, menurut Hidayati, dkk (2014) pasien yang mengalami

halusinasi disebabkan karena ketidakmampuan pasien dalam

menghadapi stressor dan kurangnya kemampuan dalam mengontrol

halusinasi. Oleh karena itu perlunya dilakukan penanganan baik secara

farmakologis maupun non farmakologis. Salah satu intervensi yang

dapat dilakukan adalah thought stopping. Thought stopping merupakan

salah satu contoh dari teknik psikoterapi kognitif behaviour yang dapat

digunakan untuk membantu klien mengubah proses berfikir (Tang &

DeRubies, 1999 dalam Hidayati & Riwayati, 2015).

3. Halusinasi pendengaran sesudah dilakukan intervensi.

Berdasarkan analisis dalam penelitian ini diketahui bahwa nilai

rata-rata setelah intervensi 24.90, sedangkan nilai median sebelum

intervensi 25.00, dengan nilai maksimal 39.00 dan minimal 20.00, nilai

standar deviasinya 2.39756. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Twistiandayani dan Widati (2013) diketahui kemampuan

mengontrol halusinasi sesudah diberikan thought stopping dengan

kategori baik 8 orang (26.7%), kategori cukup 22 orang (73.3%).

Penanganan pasien halusinasi bertujuan agar pasien dapat

mengendalikan dan mengontrol halusinasinya dan pasien dapat

berhubungan dengan orang lain dan lingkungan sehingga halusinasi

dapat dicegah (Abdul, 2015). Hal ini sesuai dengan yang disampaikan
75

oleh Lelono (2011) bahwa salah satu tindakan keperawatan yang dapat

dilakukan yaitu dengan tindakan non farmakologis. Salah satu terapi

non farmakologis yang direkomendasikan dalam mengatasi halusinasi

adalah Cognitive Behaviour Therapy (CBT). Salah satu contoh dari

CBT adalah thought stopping yang dapat digunakan untuk membantu

pasien dalam mengubah proses berfikir (Tang & DeRubies, 1999 dalam

Hidayati & Riwayati, 2015).

4. Pengaruh thought stopping terhadap penurunan skor halusinasi

pendengaran pada pasien skizofrenia.

Berdasarkan hasil uji Paired T Test. Terdapat penurunan nilai

mean sebelum intervensi dan setelah intervensi. Nilai mean sebelum

intervensi adalah 34.6000 dan setelah intervensi adalah 24.9000

terdapat selisih mean 9.7000. Pengaruh Thought Stopping terhadap

penurunan skor halusinasi pendengaran didapatkan nilai p = 0.000<

0.05 maka dapat disimpulkan ada pengaruh thought stopping terhadap

penurun skor halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia di RSJD

dr.Arif Zainudin Surakarta.

Hal ini menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian yang

dilakukan oleh Twistiandayani dan Widati (2013) dengan judul

Pengaruh terapi thought stopping terhadap kemampuan mengontrol

halusinasi pada pasien skizofrenia. Hasil penelitian menunjukkan nilai

p value adalah 0.000 yang berarti bahwa ada pengaruh terapi thought
76

stopping terhadap kemampuan mengontrol halusinasi pada pasien

skizofrenia. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa setelah dilakukan

terapi, pasien skizofrenia mengalami peningkatan kemampuan dalam

mengontrol halusinasinya, hampir seluruh responden bisa mengontrol

halusinasi dengan cara menghardik halusinasi, mengatakan stop dan

mengusir halusinasi tersebut. Dasar dari teknik thought stopping ini

adalah secara sadar memerintah diri sendiri mengatakan “stop!”, saat

mengalami pemikiran negatif berulang, tidak penting, dan distorted.

Kemudian mengganti pikiran negatif tersebut dengan pikiran lain yang

lebih positif dan realistis.

Hasil penelitian ini juga sama dengan penelitian yang dilakukan

oleh Yani (2017) dengan judul pengaruh thought stopping terhadap

tingkat kecemasan remaja yang mengalami bullying di pesantren. Hasil

penelitian ini menunjukkan nilai p value adalah 0.008 artinya ada

pengaruh terapi thought stopping terhadap tingkat kecemasan remaja

yang mengalami perilaku bullying di pesantren. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa thought stopping efektif untuk mengurangi

kecemasan berbicara di depan umum. Analisis data menunjukkan

perubahan yang signifikan subyek penelitian. Thought stopping efektif

untuk mengontrol pikiran negatif dan menghentikan pikiran negatif

menjadi pikiran yang positif. Tujuan dari penggunaan teknik

penghentian pikiran negatif ini adalah melemahkan perilaku yang tidak

dikehendaki oleh konseli dan menghentikan pikiran-pikiran negatif


77

akibat pengalaman masa lalu. Dasar dari teknik thought stopping adalah

secara sadar memerintah diri sendiri dengan berkata “stop!”, saat

mengalami pemikiran negatif yang berulang, tidak penting, merusak

dan mengalahkan diri. Kemudian mengganti pikiran negatif tersebut

dengan pikiran lain yang lebih positif dan realistis.

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh

Beda (2018) dengan judul pengaruh cognitive thought stopping therapy

terhadap tingkat depresi dan kemampuan mengontrol pikiran negatif

pada klien pascastroke di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa intervensi thought

stopping mempunyai pengaruh terhadap tingkat depresi klien pasca

stroke. Dimana ada perubahan yang signifikan antara sebelum dan

sesudah diberikan intervensi thought stopping sejalan dengan O’Neill

dan Whittal (2002) membuktikan bahwa terapi penghentian pikiran

juga efektif pada klien psikosis, depresi, panik, agoraphobia,

generalized anxiety disorder, body dysmorphic disorder,

ketergantungan zat dan alkohol,program stop merokok, serta halusinasi

pendengaran dan penglihatan. Pada penelitian ini menggambarkan

bahwa bagaimana cara menghentikan pikiran yang dapat

mempengaruhi tingkat depresi. Klien dibantu untuk mengenal dan

menghentikan pikiran negatif yang ada dalam pikiran ini. Dalam

kondisi yang sakit klien sering memikirkan hal-hal yang negatif

sehingga membuat klien depresi.


78

D. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pengaruh

Thought Stopping terhadap penurunan skor halusinasi pendengaran pada

pasien dengan skizofrenia adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini belum dapat mengontrol terapi lain yang diberikan kepada

responden yang memungkinkan dapat mempengaruhi hasil penelitian.

2. Dalam penelitian ini peneliti memberikan perlakuan kepada responden

dan dilakukan pretest posttest secara mandiri, alangkah lebih baik

penilaian dilakukan oleh orang lain dan bantuan orang lain agar lebih

efektif, efisien dan lebih etis.

Anda mungkin juga menyukai