Puskesmas Suwawa sejak bulan Januari Tahun 2012. Dan Telah diresmikan (Definitif)
oleh Bapak Bupati Bone Bolango, Hamim Pou sejak tanggal 9 Januari 2012.
1. Letak
2. Luas Wilayah
Huluduotamo memiliki luas 2,8 km2 , Desa Helumo memiliki luas 1,5 km2,
Desa Ulantha memiliki luas 1,3 km2, dan Desa Bube Baru memiliki luas 18,2
km2.
40
3. Pelayanan Kesehatan Dasar
1. Program KIA/KB
3. Program Gizi
4. Program Promkes
a. Farmamin
b. Kesehatan Lansia
e. Manajemen Puskesmas.
Jumlah kunjungan tahun 2020 sebanyak 3.498 orang yang meliputi pasien
umum dan juga yang memiliki kartu jaminan kesehatan. Jumlah kunjungan
terbanyak di bulan Februari yaitu 540 pasien dan paling sedikit di bulan Juni
sebanyak 198 pasien. Penyakit terbanyak di tahun 2019 yaitu Common Cold
Pendidikan terakhir orangtua, Pekerjan orangtua, jenis kelamin anak dan usia
anak.
41
1. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Ibu
tingkat pendidikan orang tua yaitu Ibu. Pendidikan Ibu yang paling banyak
%).
42
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat Distribusi frekuensi berdasarkan
pekerjaan Ibu. Hasil yang didapatkan pekerjaan Ibu yang paling banyak
adalah Ibu rumah tangga sebanyak 48 responden (68,6 %), sedangkan yang
paling sedikit adalah Ibu yang bekerja sebagai petani dan pedagang masing
jenis kelamin anak. Hasil yang didapatkan jenis kelamin yang paling
43
Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Usia Anak di wilayah kerja
Puskesmas Ulanta
Jumlah Persentase
No Usia Anak
(n) (%)
1 1-23 bulan (Anak di bawah 2 tahun) 41 58,6
2 24-35 bulan ( Anak di bawah 3 tahun) 16 22,9
3 36-59 bulan (Anak di bawah 5 tahun) 13 18,6
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.
usia anak. Hasil yang didapatkan usia anak yang paling banyak adalah usia
dalam kategori rendah (<145 cm) sebanyak 11 responden (15,7 %). Tidak
44
Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan bahwa dari 70 responden yang
lahir dalam kategori normal (≥ 2500 gr) sebanyak 49 responden (70 %),
dan yang memiliki riwayat berat badan lahir dalam kategori rendah (<2500
45
5. Distribusi Responden Berdasarkan Stunting pada Anak
sebanyak 42 responden (60 %), dan sebagaian kecil anak stunting dalam
1. Hubungan Tiggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting pada balita (1-59
Tabel 4.10 Hubungan Tiggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting pada balita
(1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta
Stunting
Sangat Jumlah
Pendek P CI
Variabel Kategori Pendek OR
Value (95%)
N % N % N %
46
cenderung memiliki balita stunting kategori pendek sebanyak 5 responden
Tabel 4.11 Hubungan Berat Badan Lahir Anak dengan kejadian Stunting
pada balita (1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta
Stunting
Sangat Jumlah P
Variabe Pendek CI
Kategori Pendek Valu OR
l 95%
e
N % N % N %
Berat
Rendah 9 12,9 12 17,1 21 30 0,419
Badan
0,958 1,184 -
Lahir
Normal 19 27,1 30 42,9 49 70 3,343
Anak
(12,9%). Sedangkan anak dengan riwayat berat badan lahir kategori normal
47
3. Hubungan riwayat pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian Stunting
Tidak ASI
Pemberian 23 32,9 36 51,4 59 84,3
Eksklusif 0,210-
0,767
0,745
ASI
2,805
Eksklusif ASI
5 7,1 6 8,6 11 15,7
Eksklusif
responden (7,1%).
48
cenderung dimiliki balita stunting kategori pendek yaitu sebanyak 33
responden (24,3%) memiliki hasil yang sama, balita stunting kategori pendek
responden (11,4%).
4.3 Pembahasan
Sampel dalam penelitian ini adalah anak balita usia 1-59 bulan dengan Ibu sebagai
responden. Dipilihnya rentang usia tersebut karena stunting akan tampak dalam kurun
waktu yang lama dan untuk mengintervensi risiko terjadinya stunting sedini mungkin.
Hal ini juga didukung penelitian yang dilakukan oleh Haile (2016) menyatakan bahwa
kelompok balita usia 24 bulan keatas lebih berisiko menderita stunting dibandingkan
balita dengan usia dibawah satu tahun. Sedangkan anak balita usia 0-23 bulan memiliki
risiko rendah terhadap kejadian stunting. Peneliti tidak mendapatkan responden Ayah
kategori, yaitu status gizi “pendek” jika tinggi atau panjang badannya -3 SD s.d -2 SD
dan “sangat pendek” apabila tinggi atau panjang badan <-3 kali SD dan terdaftar secara
otomatis sesuai inputan data yang dilakukan oleh Puskesmas Ulantha dalam aplikasi e-
49
1. Hubungan Tinggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting pada balita (1-59 bulan)
Ibu (17,1%) dengan tinggi badan kategori rendah (<145 cm) memiliki anak stunting
kategori “sangat pendek” sebanyak 5 anak (7,1%). Hal ini menunjukkan bahwa 5 anak
stunting tersebut mengalami penurunan 3 kali standar deviasi sesuai ambang batas (Z-
skor). Saat wawancara pada 5 Ibu tersebut, sebagian besar mengatakan anggota
keluarga termasuk kakek dan nenek anak dari Ayah dan Ibu memiliki tinggi badan
pendek yang kurang dari 145 cm. Sedangkan anak dengan stunting “pendek”
sebanyak 7 anak (10%). Hal ini berarti terjadi penurunan 3 sampai dengan <-2 standar
deviasi sesuai ambang batas (Z-skor). Saat wawacara pada 7 Ibu tersebut, juga
mengatakan cenderung memiliki anggota keluarga dengan tinggi badan ≤145 cm.
Diketahui bahwa tinggi badan orangtua adalah salah satu faktor penentu pertumbuhan
fisik anak. Dari hasil penelitian oleh Nasikhah (2012) menunjukkan bahwa Ibu
dengan tinggi badan rendah merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
kejadian stunting, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Amin (2014) di
Mesir, menunjukkan bahwa anak yang lahir dari Ibu yang memiliki tinggi badan
rendah memiliki risiko lebih tinggi untuk mejadi stunting. Gen dalam kromosom yang
membawa sifat tinggi badan rendah akan memperbesar peluang anak mewarisi gen
Berbeda halnya jika Ibu dengan tinggi badan yang tinggi namun memiliki anak
yang stunting. Hasil penelitian didapatkan sebanyak 58 Ibu kategori tinggi badan
tinggi (>145 cm) lebih banyak memiliki anak stunting dengan kategori status gizi
“sangat pendek” sebanyak 23 anak (32,9 %). Hal ini menunjukkan bahwa 23 anak
stunting tersebut mengalami penurunan 3 kali standar deviasi sesuai ambang batas (Z-
50
skor). Saat wawancara 23 Ibu tersebut, sebagian besar mengatakan anggota keluarga
dari Ayah dan Ibu memiliki tinggi badan ≥145 cm dan banyak Ibu juga mengatakan
kurang mengkonsumsi “Kalk” dan vitamin A saat hamil karena terlalu banyak obat
yang harus diminum. Sedangkan terdapat anak stunting “pendek” sebanyak 35 anak
(50%). Hal ini berarti terjadi penurunan 3 sampai dengan <-2 standar deviasi sesuai
ambang batas (Z-skor). Saat wawacara pada 35 Ibu tersebut, sebagian besar
mengatakan keluarga dari Ayah dan Ibu memiliki tinggi badan ≥150 cm dan sebagian
besar Ibu kurang mengkonsumsi “Kalk” dan vitamin A. Tinggi badan adalah salah
satu bentuk dari ekspresi genetik, namun terdapat banyak faktor yang mempengaruhi
anak stunting seperti riwayat asupan gizi kehamilan Ibu, asupan makanan anak
maupun pola asuh yang diberikan kepada anak (Kusuma, 2013). Jika anak mengalami
stunting karena kurangnya asupan gizi sejak kecil, maka stunting pada keturunannya
Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 1,000 = >0,05 yang
berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara tinggi badan Ibu dengan Kejadian
Stunting kategori sangat pendek dan pendek pada balita stunting di Wilayah Kerja
Puskesmas Ulanta. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ngaisyah dan Septriana (2015) yang menunjukkan bahwa tinggi badan ibu tidak
bahwa orang tua yang pendek akibat kondisi patologis atau kekurangan zat gizi bukan
Dari hasil penelitian, pendapat para ahli dan penelitian sebelumnya, peneliti
berasumsi bahwa tinggi badan Ibu bukanlah faktor penentu yang membuat anak
memiliki tinggi badan rendah dibanding usianya (stunting), melainkan ada faktor
seperti asupan gizi Ibu saat hamil, asupan makan anak, pola asuh orangtua dan kondisi
51
patologis Ibu. Hal ini berdasarkan responden yang memiliki tinggi badan rendah dapat
melahirkan anak dengan tinggi badan normal dan sebaliknya, banyak Ibu yang
memiliki tinggi badan normal juga berisiko melahirkan anak dengan tinggi badan
2. Hubungan Berat Badan Lahir Anak dengan kejadian Stunting pada balita (1-59
Berdasarkan tabel 4.11 menunjukkan bahwa berat badan lahir rendah sebanyak
21 anak (30%) dengan kategori status gizi stunting “pendek” sebanyak 12 anak
(17,1%). Hal ini menunjukkan terjadi penurunan 3 sampai dengan <-2 standar deviasi
sesuai ambang batas (Z-skor). Saat wawancara 12 Ibu tersebut, sebagian besar
mengatakan memiliki nafsu makan kurang dan konsumsi tablet Fe yang kurang saat
kehamilan. Sedangkan anak stunting “sangat pendek” sebanyak 9 anak (12,9%). Hal
ini menunjukkan terjadi penurunan 3 kali standar deviasi sesuai ambang batas (Z-
karena lupa dan sebagian besar tidak memiliki nafsu makan yang baik saat hamil.
Anak yang terlahir dengan berat badan rendah atau BBLR menandakan bahwa janin
mengalami kekurangan gizi saat masih dalam kandungan Ibu dan jika masalah ini
tidak segera diatasi maka besar kemungkinan anak mengalami stunting (Rahayu,
Yulidasari, Putri dan Rahman. 2015). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muqni,
Hadju dan Jafar (2012), menunjukkan bahwa berat lahir anak berkaitan signifikan
badan lahir normal dengan stunting “pendek” sebanyak 30 anak (42,9%). Hal ini
menunjukkan terjadi penurunan 3 sampai dengan <-2 standar deviasi sesuai ambang
batas (Z-skor). Saat wawancara 49 Ibu tersebut, sebagian besar mengatakan memiliki
52
nafsu makan yang baik dan konsumsi tablet Fe lengkap saat kehamilan. Sedangkan
anak dengan stunting “sangat pendek” sebanyak 19 anak (27,1%). Hal ini
menunjukkan terjadi penurunan 3 kali standar deviasi sesuai ambang batas (Z-skor).
Saat wawancara 19 Ibu tersebut, sebagian mengatakan memiliki nafsu makan yang
baik dan konsumsi tablet Fe lengkap saat kehamilan. Dan sebagian lainnya
lengkap saat haiml. Hal ini berarti terdapat masalah asupan gizi yang kurang pada usia
6 bulan pertama kehidupan anak. Ketidakcukupan asupan zat gizi yang diterima anak
dengan berat badan lahir normal dapat mengakibatkan growth falthering (kegagalan
pertumbuhan). Asupan gizi yang buruk dan paparan infeksi secara bersamaan lebih
memberikan dampak gagal tumbuh yang lebih berat pada anak dengan berat badan
Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 0,958 >0,05 yang berarti
tidak ada hubungan yang signifikan antara Berat Badan Lahir Anak dengan Kejadian
Stunting kategori sangat pendek dan pendek pada balita stunting di Wilayah Kerja
Puskesmas Ulanta. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ni’mah dan Nadhiroh (2015) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara berat badan lahir dengan kejadian stunting di Wilayah Kerja
dilakukan oleh Dasantos, Dimiati dan Husnah (2020) yang menunjukkan bahwa berat
badan lahir anak tidak berhubungan dengan stunting dikarenakan pengaruh berat
badan lahir terjadi pada 6 bulan pertama kehidupan, selanjutnya menurun sampai usia
24 bulan. Dengan kata lain, jika bayi dapat mengejar pertumbuhan dalam 6 bulan
pertama kehidupan maka terdapat kemungkinan besar anak mencapai tinggi badan
53
Dari hasil penelitian diatas, menurut peneliti anak dengan berat badan lahir
normal maupun rendah, keduanya memiliki risiko mengalami stunting. Pendapat ini
sejalan dengan hasil penelitian oleh Arifin, Irdasari dan Sukandar (2012) yang
menyatakan bahwa anak dengan berat badan lahir normal maupun berat lahir rendah
yang diiringi dengan konsumsi yang tidak adekuat, pelayanan kesehatan yang tidak
optimal dan sering terjadi infeksi pada anak akan menghambat pertumbuhan dan
menghasilkan anak yang stunting. Sebaliknya jika anak dengan berat badan lahir
rendah menerima asupan gizi yang adekuat maka pertumbuhan normal dapat dikejar.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat anak ASI Eksklusif dengan
Stunting “pendek” sebanyak 6 anak (8,6%). Hal ini menunjukkan terjadi penurunan 3
sampai dengan <-2 standar deviasi sesuai ambang batas (Z-skor). Saat wawancara 6
Ibu tersebut, mengatakan telah memberikan ASI eksklusif karena ada dukungan suami
dan keluarga. Ditambah, Ibu mengatakan terjadi penambahan nafsu makan saat
menyusui. Sedangkan anak dengan stunting “sangat pendek” sebanyak 5 anak (7,1%).
Hal ini berarti terjadi penurunan 3 kali standar deviasi sesuai ambang batas (Z-skor).
Saat wawancara 5 Ibu tersebut, juga mengatakan telah memberikan ASI eksklusif
karena ada dukungan suami dan keluarga. Akan tetapi, lama waktu Ibu saat menyusui
kurang efektif. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Desy, dkk
juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi Ibu untuk memberikan ASI
Eksklusif pada anak. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
54
Astuti et al (2013) bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p=0,00) antara ASI
Hasil penelitian juga menunjukan terdapat 59 anak stunting yang tidak diberikan
ASI Eksklusif. Anak dengan stunting “pendek” sebanyak 36 anak (51,4%). Hal ini
menunjukkan terjadi penurunan 3 sampai dengan <-2 standar deviasi sesuai ambang
batas (Z-skor). Saat wawancara 36 Ibu tersebut adalah Ibu rumah tangga dan sebagian
besar mengatakan telah memberikan ASI namun sudah dibarengi dengan pemberian
susu formula karena produksi ASI yang sedikit, dukungan suami dan dukungan
keluarga yang kurang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Nurul, dkk (2018) yang menyatakan bahwa pemberian ASI oleh Ibu yang tidak
bekerja memang memiliki banyak waktu luang dan tidak terbatas, namun pada
kenyataannya Ibu yang tidak bekerja tidak dapat memberikan ASI secara eksklusif
karena berbagai sebab. Diantaranya rasa malas menyusui, kurangnya dukungan suami
dan keluarga yang membuat tidak ada motivasi Ibu untuk menyusui. Dukungan
keluarga yang dapat diberikan pada Ibu menyusui seperti membantu pekerjaan rumah,
membantu merawat bayi, dan menyediakan waktu untuk Ibu beristirahat sehingga
beban Ibu berkurang, Ibu dapat memberikan ASI Eksklusif secara maksimal dan
Hal ini berarti terjadi penurunan 3 kali standar deviasi sesuai ambang batas (Z-skor).
Saat wawancara 23 Ibu tersebut, juga mengatakan banyak yang memberikan ASI
namun sudah dibarengi dengan pemberian susu formula ditambah MP-ASI, dukungan
suami dan dukungan keluarga tidak ada. Bahkan ada 5 Ibu yang mengatakan belum
mendapat edukasi tentang pemberian ASI yang baik. Hasil penelitian ini didukung
oleh Astuti, Widiastuti, Komariyah, Fatmayanti (2020) yang menyatakan bahwa selain
55
dukungan suami dan dukungan keluarga terdapat fakor lain yang berhubungan dengan
Ibu dalam menyusui yaitu dukungan tempat pelayanan Kesehatan. Adanya peran serta
Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p=value 0,745 >0,05 yang berarti
tidak ada hubungan yang signifikan antara pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian
Stunting kategori sangat pendek dan pendek pada balita stunting di Wilayah Kerja
Puskesmas Ulanta. Hasil penelitian ini sejalan dengan Hindrawati dan Rusdiarti
Provinsi Jawa Tengah, mendapatkan dimana status pemberian ASI eksklusif bukan
merupakan faktor risiko stunting pada anak usia 1-3 tahun dan juga menjelaskan
bahwa keadaan stunting tidak hanya ditentukan oleh status pemberian ASI eksklusif.
Sebuah studi kasus yang dilakukan oleh Aryastami dkk (2017) di Bogor juga tidak
Dari hasil penelitian Black, Victora, Bhutta, Christian, de Onis dkk (2013)
menyatakan bahwa efek ASI eksklusif tidak berhubungan langsung dengan stunting.
Melainkan efek akibat tidak ASI eksklusif lebih kepada kurangnya imunitas anak yang
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Ni’mah dan Nadhiroh (2015) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan
ternyata ASI ekslusif bukan sebagai faktor resiko terjadinya stunting berdasarkan
56
sangatlah penting walau tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan kejadian
stunting. Oleh karena, jika dilihat anak dengan ASI eksklusif memiliki imunitas yang
terbentuk dengan baik, maka anak akan terhindar dari penyakit infeksi berulang dan
dapat mempertahankan atau bahkan dapat meningkatkan status gizi sesuai dengan
umurnya.
Hasil penelitian diketahui bahwa anak stunting “pendek” dengan latar belakang
pendapatan keluarga rendah (< UMP: Rp. 2.586.900) sebanyak 33 anak (47,1%). Hal
ini menunjukkan terjadi penurunan 3 sampai dengan <-2 standar deviasi sesuai
ambang batas (Z-skor). Saat wawancara pada 33 Ibu dari anak tersebut, sebagian besar
mengatakan pendapatan keluarga diperoleh dari suami dan istri dengan pendapatan
tidak >1000.000/ bulan dan masih tinggal bersama keluarga besar. Sedangkan anak
stunting “sangat pendek” dengan pendapatan rendah atau <UMP sebanyak 20 anak
(28,6%). Hal ini berarti terjadi penurunan 3 kali standar deviasi sesuai ambang batas
(Z-skor). Saat wawancara pada 20 Ibu dari anak tersebut, mengatakan pendapatan
keluarga sangat tergantung pada pendapatan suami karena istri tidak bekerja dan
masih tinggal bersama orangtua Ibu. Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh
dipengaruhi oleh pendapatan keluarga rendah memiliki risiko 7 kali lebih besar.
Penelitian oleh Fikadu, dkk (2014) juga menunjukkan selain faktor pendapatan
keluarga yang rendah, anak balita yang tinggal dengan anggota keluarga lebih dari 5
orang akan berisiko 2 kali lebih mengalami stunting dibanding dengan anak balita
57
Pendapatan keluarga yang rendah atau status ekonomi yang kurang dapat
diartikan daya beli dari keluarga juga rendah sehingga kemampuan keluarga membeli
bahan makanan yang baik dan sehat juga rendah. Kualitas dan kuantitas makanan
yang kurang menyebabkan kebutuhan zat gizi pada anak tidak terpenuhi, akibatnya
sebanyak 17 anak (24,3 %). Terdapat stunting “pendek” sebanyak 9 anak (12,9%). Hal
ini menunjukkan terjadi penurunan 3 sampai dengan <-2 standar deviasi sesuai
ambang batas (Z-skor). Saat wawancara pada 9 Ibu dari anak tersebut, mengatakan
sebanyak 40% dari penghasilan yang didapat ditujukan untuk menabung membangun
rumah karena masih tinggal bersama orangtua, 30% kebutuhan sekolah anak, 15-20%
stunting “sangat pendek” sebanyak 8 anak (11,4%). Hal ini berarti terjadi penurunan 3
kali standar deviasi sesuai ambang batas (Z-skor). Saat wawancara pada 8 Ibu dari
anak tersebut, sebagian besar juga mengatakan sekitar 50% pendapatan digunakan
untuk tabungan dan membangun rumah, 30% untuk anak sekolah dan lain-lain,
sisanya 20% untuk belanja bahan pangan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ilahi,
(2017) menyatakan bahwa semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk belanja bahan
tersebut. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Anindita (2012) yang
karena pendapatan yang tinggi belum tentu menjamin status gizi yang baik pada anak
balita, karena pendapatan keluarga belum cukup teralokasi untuk keperluan makanan.
58
tidak selalu diikuti dengan perbaikan pola konsumsi bahan pangan yang baik. Dengan
kata lain, belum tentu keluarga tersebut mencerminkan bahwa yang dimakan sudah
Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 0,329 > 0,05 yang berarti
tidak ada hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan Kejadian
Stunting kategori sangat pendek dan pendek pada balita stunting di Wilayah Kerja
Puskesmas Ulanta. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rahmawati, Hardy dan Purbasari (2020) bahwa tidak terdapat hubungan yang
Sawah Besar Kota Jakarta Pusat. Hal ini juga didukung penelitian oleh Windi dan
hubungan yang signifikan dengan balita stunting kategori sangat pendek dan pendek.
Dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada keluarga dengan pendapatan yang rendah
mampu mengolah makanan yang bergizi dengan bahan yang murah dan sederhana, hal
ini bisa mencukupi kebutuhan anak dan pertumbuhan anak juga akan menjadi baik.
pada balita di Aceh. Anak pada keluarga dengan pendapatan yang rendah cenderung
mengonsumsi makanan dalam segi kuantitas, kualitas dan variasi yang kurang. Status
ekonomi yang tinggi membuat seseorang memilih dalam membeli makanan yang
Dari data di atas peneliti berpendapat bahwa anak dengan latar belakang
pendapatan atau status ekonomi rendah, tidak selalu berhubungan dengan kejadian
stunting. Karena kejadian stunting juga terjadi dalam keluarga dengan pendapatan
tinggi. Seperti roda yang berputar antara pendapatan keluarga rendah atau tinggi
59
dengan kejadian stunting bisa saling mempengaruhi dan akan terjadi dalam waktu
yang berbeda. Jika ditinjau dari karakteristik responden yang cenderung adalah Ibu
bahwa akar masalah dari dampak pertumbuhan bayi dan berbagai masalah gizi
beberapa keterbatasan yang dialami dan dapat menjadi faktor agar dapat lebih
penenlitiannya karena penelitian ini tentu memiliki kekurangan yang perlu terus
diperbaiki untuk penelitian kedepannya. Keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain:
1. Peneliti tidak mendapatkan data responden Tinggi badan dari Ayah dikarenakan
2. Waktu penelitian yang terbatas bergantung pada jadwal posyandu yang hanya
data.
3. Variabel penelitian yang hanya difokuskan pada 4 variabel terikat dari banyaknya
60