Anda di halaman 1dari 21

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Lokasi Penelitian

Puskesmas Ulantha adalah puskesmas pemekaran dari Puskesmas induk

Puskesmas Suwawa sejak bulan Januari Tahun 2012. Dan Telah diresmikan (Definitif)

oleh Bapak Bupati Bone Bolango, Hamim Pou sejak tanggal 9 Januari 2012.

Gambar 4.1 Peta Kecamatan Suwawa

1. Letak

Bagian utara berbatasan dengan Kabbupaten Bolaang Mongondow Utara,

bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan Suwawa Selatan, bagian timur

berbatasan dengan Kecamatan Suwawa Tengah dan bagian barat berbatasan

dengan Kecamatan Tilongkabila.

2. Luas Wilayah

Wilayah kerja Puskesmas Ulantha adalah sebesar 23,8 km2. Desa

Huluduotamo memiliki luas 2,8 km2 , Desa Helumo memiliki luas 1,5 km2,

Desa Ulantha memiliki luas 1,3 km2, dan Desa Bube Baru memiliki luas 18,2

km2.

40
3. Pelayanan Kesehatan Dasar

Berbagai pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan di Puskesmas

Ulantha adalah sebagai berikut:

1. Program KIA/KB

2. Program Kesehatan Lingkungan

3. Program Gizi

4. Program Promkes

5. Program Pengendalian Penyakit

6. Program Kesehatan Lainnya

a. Farmamin

b. Kesehatan Lansia

c. PTM (Penyakit Tidak Menular)

d. Upaya Kesehatan Sekolah (UKS)

e. Manajemen Puskesmas.

Jumlah kunjungan tahun 2020 sebanyak 3.498 orang yang meliputi pasien

umum dan juga yang memiliki kartu jaminan kesehatan. Jumlah kunjungan

terbanyak di bulan Februari yaitu 540 pasien dan paling sedikit di bulan Juni

sebanyak 198 pasien. Penyakit terbanyak di tahun 2019 yaitu Common Cold

(Selesma) sebanyak 662 penderita dan diare sebanyak 132 kasus.

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Karakteristik Responden

Adapun beberapa karakteristik responden yaitu Distribusi berdasarkan

Pendidikan terakhir orangtua, Pekerjan orangtua, jenis kelamin anak dan usia

anak.

41
1. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Ibu

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap orang tua balita

di wilayah kerjaPuskesmas Ulantha diperoleh Distribusi frekuensi

responden berdasarkan klasifikasi jenjang pendidikan terakhir orang tua

balita yaitu Ibu menurut Undang – Undang nomor 20 (2003).

Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Ibu di


wilayah kerja Puskesmas Ulanta
No Pendidikan Terakhir Jumlah (n) Persentase (%)
1 S1 5 7,1
2 SMA 30 42,9
3 SMP 15 21,4
4 SD 20 28,6
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat Distribusi frekuensi berdasarkan

tingkat pendidikan orang tua yaitu Ibu. Pendidikan Ibu yang paling banyak

adalah tamat SMA sebanyak 30 responden (42,9 %) , sedangkan yang

paling sedikit adalah Ibu yang berpendidikan S1 sebanyak 5 responden (7,1

%).

2. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap orang tua balita

di wilayah kerja Puskesmas Ulantha diperoleh distribusi frekuensi

responden berdasarkan pekerjaan Ibu menurut Sunyoto (2013).

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu di wilayah


Kerja Puskesmas Ulanta
No Pekerjaan Jumlah (n) Persentase (%)
1 Ibu Rumah Tangga (IRT) 48 68,6
2 Honorer 8 11,4
3 Buruh 5 7,1
4 Karyawan 5 7,1
5 Pedagang 2 2,9
6 Petani 2 2,9
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.

42
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat Distribusi frekuensi berdasarkan

pekerjaan Ibu. Hasil yang didapatkan pekerjaan Ibu yang paling banyak

adalah Ibu rumah tangga sebanyak 48 responden (68,6 %), sedangkan yang

paling sedikit adalah Ibu yang bekerja sebagai petani dan pedagang masing

– masing sebanyak 2 responden (2,9 %).

3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap balita di

wilayah kerjaPuskesmas Ulanta diperoleh Distribusi frekuensi responden

berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak di


wilayah kerja Puskesmas Ulanta
No Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)
1 Laki-laki 36 51,4
2 Perempuan 34 48,6
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat Distribusi frekuensi berdasarkan

jenis kelamin anak. Hasil yang didapatkan jenis kelamin yang paling

banyak adalah laki - laki sebanyak 36 responden (51,4 %) , sedangkan

perempuan sebanyak 34 responden (48,6 %).

4. Distribusi Responden Berdasarkan Usia Anak

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap balita di

wilayah kerjaPuskesmas Ulanta diperoleh Distribusi frekuensi responden

berdasarkan usia anak menurut Kemenkes (2019).

43
Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Usia Anak di wilayah kerja
Puskesmas Ulanta
Jumlah Persentase
No Usia Anak
(n) (%)
1 1-23 bulan (Anak di bawah 2 tahun) 41 58,6
2 24-35 bulan ( Anak di bawah 3 tahun) 16 22,9
3 36-59 bulan (Anak di bawah 5 tahun) 13 18,6
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat Distribusi frekuensi berdasarkan

usia anak. Hasil yang didapatkan usia anak yang paling banyak adalah usia

1-23 bulan sebanyak 41 responden (58,6%) , sedangkan yang paling sedikit

adalah usia 36-59 bulan sebanyak 13 responden (18,6 %).

4.2.2 Analisis Univariat

1. Distribusi Responden Berdasarkan Tinggi Badan Ayah atau Ibu

Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Tinggi Badan Ibu di wilayah


kerja Puskesmas Ulanta
No Kategori Jumlah (n) Persentase (%)
1 Tinggi (≥145 cm) 59 84,3
2 Rendah (<145 cm) 11 15,7
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa dari 70 responden Ibu

yang diteliti, didapatkan sebagian besar responden memiliki Tinggi badan

dalam kategori tinggi (≥ 145 cm) sebanyak 59 responden (84,3%), dan

dalam kategori rendah (<145 cm) sebanyak 11 responden (15,7 %). Tidak

didapatkan tinggi badan dari Responden Ayah.

2. Distribusi Responden Berdasarkan Berat Badan Lahir Anak

Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Berat Badan Lahir Anak di


wilayah kerja Puskesmas Ulanta
No Kategori Jumlah (n) Persentase (%)
1 Berat Badan Lahir Normal 49 70
2 Berat Badan Lahir Rendah 21 30
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.

44
Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan bahwa dari 70 responden yang

diteliti, didapatkan sebagian besar responden memiliki riwayat berat badan

lahir dalam kategori normal (≥ 2500 gr) sebanyak 49 responden (70 %),

dan yang memiliki riwayat berat badan lahir dalam kategori rendah (<2500

gr) sebanyak 21 responden (30 %) .

3. Distribusi Responden Berdasarkan ASI Eksklusif

Tabel 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Pemberian ASI


Eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Ulanta
No Kategori Jumlah (n) Persentase (%)
1 Tidak ASI Eksklusif 59 84,3
2 ASI Eksklusif 11 30
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 70 responden yang

diteliti, didapatkan sebagian besar responden dalam kategori tidak ASI

Ekslusif sebanyak 49 responden (70 %), dan yang dalam kategori

mendapatkan ASI Ekslusif hanya sebanyak 21 responden (30 %) .

4. Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Keluarga

Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Keluarga di


wilayah kerja Puskesmas Ulanta
No Kategori Jumlah (n) Persentase (%)
1 Rendah (< UMP Rp.2.586.900 ) 46 65,7
2 Tinggi (≥ UMP Rp. 2.586.900) 24 34,3
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan tabel 4.8 menunjukkan bahwa dari 70 responden yang

diteliti, didapatkan sebagian besar pendepatan keluarga dalam kategori

rendah sebanyak 46 responden (65,7 %), dan pendapatan keluarga dalam

kategori tinggi sebanyak 24 responden (34,3 %) .

45
5. Distribusi Responden Berdasarkan Stunting pada Anak

Tabel 4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Stunting Pada Anak di wilayah


kerja Puskesmas Ulanta
No Kategori Jumlah (n) Persentase (%)
1 Sangat Pendek 28 40
2 Pendek 42 60
Jumlah 70 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan tabel 4.9 menunjukkan bahwa dari 70 responden yang

diteliti, didapatkan sebagian besar anak stunting dalam kategori pendek

sebanyak 42 responden (60 %), dan sebagaian kecil anak stunting dalam

kategori sangat pendek sebanyak 28 responden (40 %) .

4.2.3 Analisis Bivariat

1. Hubungan Tiggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting pada balita (1-59

bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta

Tabel 4.10 Hubungan Tiggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting pada balita
(1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta
Stunting
Sangat Jumlah
Pendek P CI
Variabel Kategori Pendek OR
Value (95%)
N % N % N %

Tinggi Tinggi 23 32,9 35 50 58 82,9


0,308-
Badan 1,000 1,087
3,841
Ibu Rendah 5 7,1 7 10 12 17,1

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa Ibu dengan tinggi

badan kategori tinggi sebanyak 58 responden (82,9%) cenderung memiliki

balita stunting kategori pendek yaitu sebanyak 35 responden (50%) dan

berkategori sangat pendek sebanyak 23 responden (32,9%). Sedangkan Ibu

dengan tinggi badan kategori rendah sebanyak 12 responden (17,1%) yang

46
cenderung memiliki balita stunting kategori pendek sebanyak 5 responden

(7,1%) dan kategori sangat pendek sebanyak 7 responden (10 %).

2. Hubungan Berat Badan Lahir Anak dengan kejadian Stunting pada

balita (1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta

Tabel 4.11 Hubungan Berat Badan Lahir Anak dengan kejadian Stunting
pada balita (1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta
Stunting
Sangat Jumlah P
Variabe Pendek CI
Kategori Pendek Valu OR
l 95%
e
N % N % N %

Berat
Rendah 9 12,9 12 17,1 21 30 0,419
Badan
0,958 1,184 -
Lahir
Normal 19 27,1 30 42,9 49 70 3,343
Anak

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa anak dengan

riwayat berat badan lahir kategori rendah sebanyak 30 responden (30%)

cenderung dimiliki balita stunting kategori pendek yaitu sebanyak 12

responden (17,1%) dan kategori sangat pendek sebanyak 9 responden

(12,9%). Sedangkan anak dengan riwayat berat badan lahir kategori normal

sebanyak 49 responden (70%) cenderung dimiliki balita stunting kategori

pendek yaitu sebanyak 30 responden (42,9%) dan kategori sangat pendek

sebanyak 19 responden (27,1%).

47
3. Hubungan riwayat pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian Stunting

pada balita (1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta

Tabel 4.12 Hubungan riwayat pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian


Stunting pada balita (1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas
Ulanta
Stunting
Sangat Jumlah
Pendek P
Pendek
Variabel Kategori Val OR CI 95%
ue
N % N % N %

Tidak ASI
Pemberian 23 32,9 36 51,4 59 84,3
Eksklusif 0,210-

0,767
0,745
ASI
2,805
Eksklusif ASI
5 7,1 6 8,6 11 15,7
Eksklusif

Berdasarkan tabel hasil penelitian 4.12 didapatkan data bahwa anak

dengan pemberian ASI kategori tidak eksklusif sebanyak 59 responden

(84,3%) cenderung dimiliki balita stunting kategori pendek yaitu sebanyak 36

responden (51,4%) dan kategori sangat pendek sebanyak 23 responden

(32,9%). Dan anak dengan pemberian ASI kategori Eksklusif sebanyak 11

responden (15,7%) cenderung dimiliki balita stunting kategori pendek yaitu

sebanyak 6 responden (8,6%) dan kategori sangat pendek sebanyak 5

responden (7,1%).

4. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan kejadian Stunting pada balita

(1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta

Tabel 4.13 Hubungan Pendapatan Keluarga dengan kejadian Stunting pada


balita (1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta
Stunting
Sangat Jumlah P
Variabel Kategori Pendek OR CI 95%
Pendek Value
N % N % N %
Pendapat Rendah 20 28,6 33 47,1 53 75,7 0,226-
an 0,690 0,682
Tinggi 8 11,4 9 12,9 17 24,3 2,053
Keluarga

Berdasarkan hasil tabel penelitian 4.13 didapatkan data bahwa anak

dengan pendapatan keluarga kategori rendah sebanyak 53 responden (75,7%

48
cenderung dimiliki balita stunting kategori pendek yaitu sebanyak 33

responden (47,1%) dan kategori sangat pendek sebanyak 20 responden

(28,6%). Pada anak dengan pendapatan keluarga kategori tinggi sebanyak 17

responden (24,3%) memiliki hasil yang sama, balita stunting kategori pendek

yaitu sebanyak 9 responden (12,9%) dan kategori sangat pendek sebanyak 8

responden (11,4%).

4.3 Pembahasan

Sampel dalam penelitian ini adalah anak balita usia 1-59 bulan dengan Ibu sebagai

responden. Dipilihnya rentang usia tersebut karena stunting akan tampak dalam kurun

waktu yang lama dan untuk mengintervensi risiko terjadinya stunting sedini mungkin.

Hal ini juga didukung penelitian yang dilakukan oleh Haile (2016) menyatakan bahwa

kelompok balita usia 24 bulan keatas lebih berisiko menderita stunting dibandingkan

balita dengan usia dibawah satu tahun. Sedangkan anak balita usia 0-23 bulan memiliki

risiko rendah terhadap kejadian stunting. Peneliti tidak mendapatkan responden Ayah

saat berkunjung ke Posyandu maupun kunjungan dari rumah ke rumah dikarenakan

keterbatasan waktu penelitian yang dilakukan saat jam kerja.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, Stunting dibedakan menjadi dua

kategori, yaitu status gizi “pendek” jika tinggi atau panjang badannya -3 SD s.d -2 SD

dan “sangat pendek” apabila tinggi atau panjang badan <-3 kali SD dan terdaftar secara

otomatis sesuai inputan data yang dilakukan oleh Puskesmas Ulantha dalam aplikasi e-

PPGBM (pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat).

49
1. Hubungan Tinggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting pada balita (1-59 bulan)

di wilayah kerja Puskesmas Ulanta

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.10 menunjukkan bahwa sebanyak 12

Ibu (17,1%) dengan tinggi badan kategori rendah (<145 cm) memiliki anak stunting

kategori “sangat pendek” sebanyak 5 anak (7,1%). Hal ini menunjukkan bahwa 5 anak

stunting tersebut mengalami penurunan 3 kali standar deviasi sesuai ambang batas (Z-

skor). Saat wawancara pada 5 Ibu tersebut, sebagian besar mengatakan anggota

keluarga termasuk kakek dan nenek anak dari Ayah dan Ibu memiliki tinggi badan

pendek yang kurang dari 145 cm. Sedangkan anak dengan stunting “pendek”

sebanyak 7 anak (10%). Hal ini berarti terjadi penurunan 3 sampai dengan <-2 standar

deviasi sesuai ambang batas (Z-skor). Saat wawacara pada 7 Ibu tersebut, juga

mengatakan cenderung memiliki anggota keluarga dengan tinggi badan ≤145 cm.

Diketahui bahwa tinggi badan orangtua adalah salah satu faktor penentu pertumbuhan

fisik anak. Dari hasil penelitian oleh Nasikhah (2012) menunjukkan bahwa Ibu

dengan tinggi badan rendah merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan

kejadian stunting, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Amin (2014) di

Mesir, menunjukkan bahwa anak yang lahir dari Ibu yang memiliki tinggi badan

rendah memiliki risiko lebih tinggi untuk mejadi stunting. Gen dalam kromosom yang

membawa sifat tinggi badan rendah akan memperbesar peluang anak mewarisi gen

tinggi badan rendah dan tumbuh menjadi stunting.

Berbeda halnya jika Ibu dengan tinggi badan yang tinggi namun memiliki anak

yang stunting. Hasil penelitian didapatkan sebanyak 58 Ibu kategori tinggi badan

tinggi (>145 cm) lebih banyak memiliki anak stunting dengan kategori status gizi

“sangat pendek” sebanyak 23 anak (32,9 %). Hal ini menunjukkan bahwa 23 anak

stunting tersebut mengalami penurunan 3 kali standar deviasi sesuai ambang batas (Z-

50
skor). Saat wawancara 23 Ibu tersebut, sebagian besar mengatakan anggota keluarga

dari Ayah dan Ibu memiliki tinggi badan ≥145 cm dan banyak Ibu juga mengatakan

kurang mengkonsumsi “Kalk” dan vitamin A saat hamil karena terlalu banyak obat

yang harus diminum. Sedangkan terdapat anak stunting “pendek” sebanyak 35 anak

(50%). Hal ini berarti terjadi penurunan 3 sampai dengan <-2 standar deviasi sesuai

ambang batas (Z-skor). Saat wawacara pada 35 Ibu tersebut, sebagian besar

mengatakan keluarga dari Ayah dan Ibu memiliki tinggi badan ≥150 cm dan sebagian

besar Ibu kurang mengkonsumsi “Kalk” dan vitamin A. Tinggi badan adalah salah

satu bentuk dari ekspresi genetik, namun terdapat banyak faktor yang mempengaruhi

anak stunting seperti riwayat asupan gizi kehamilan Ibu, asupan makanan anak

maupun pola asuh yang diberikan kepada anak (Kusuma, 2013). Jika anak mengalami

stunting karena kurangnya asupan gizi sejak kecil, maka stunting pada keturunannya

masih dapat ditanggulangi (Yustiana, 2015)

Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 1,000 = >0,05 yang

berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara tinggi badan Ibu dengan Kejadian

Stunting kategori sangat pendek dan pendek pada balita stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Ulanta. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Ngaisyah dan Septriana (2015) yang menunjukkan bahwa tinggi badan ibu tidak

berhubungan signifikan dengan kejadian stunting pada balita. Keduanya menjelaskan

bahwa orang tua yang pendek akibat kondisi patologis atau kekurangan zat gizi bukan

karena kelainan gen dalam kromosom.

Dari hasil penelitian, pendapat para ahli dan penelitian sebelumnya, peneliti

berasumsi bahwa tinggi badan Ibu bukanlah faktor penentu yang membuat anak

memiliki tinggi badan rendah dibanding usianya (stunting), melainkan ada faktor

seperti asupan gizi Ibu saat hamil, asupan makan anak, pola asuh orangtua dan kondisi

51
patologis Ibu. Hal ini berdasarkan responden yang memiliki tinggi badan rendah dapat

melahirkan anak dengan tinggi badan normal dan sebaliknya, banyak Ibu yang

memiliki tinggi badan normal juga berisiko melahirkan anak dengan tinggi badan

rendah yang bukan berarti stunting.

2. Hubungan Berat Badan Lahir Anak dengan kejadian Stunting pada balita (1-59

bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta

Berdasarkan tabel 4.11 menunjukkan bahwa berat badan lahir rendah sebanyak

21 anak (30%) dengan kategori status gizi stunting “pendek” sebanyak 12 anak

(17,1%). Hal ini menunjukkan terjadi penurunan 3 sampai dengan <-2 standar deviasi

sesuai ambang batas (Z-skor). Saat wawancara 12 Ibu tersebut, sebagian besar

mengatakan memiliki nafsu makan kurang dan konsumsi tablet Fe yang kurang saat

kehamilan. Sedangkan anak stunting “sangat pendek” sebanyak 9 anak (12,9%). Hal

ini menunjukkan terjadi penurunan 3 kali standar deviasi sesuai ambang batas (Z-

skor). Saat wawancara 9 Ibu tersebut, mengatakan tidak mengkonsumsi tablet Fe

karena lupa dan sebagian besar tidak memiliki nafsu makan yang baik saat hamil.

Anak yang terlahir dengan berat badan rendah atau BBLR menandakan bahwa janin

mengalami kekurangan gizi saat masih dalam kandungan Ibu dan jika masalah ini

tidak segera diatasi maka besar kemungkinan anak mengalami stunting (Rahayu,

Yulidasari, Putri dan Rahman. 2015). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muqni,

Hadju dan Jafar (2012), menunjukkan bahwa berat lahir anak berkaitan signifikan

dalam menentukan status pendek pada usia 12-60 bulan di Makassar.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat sebanyak 49 anak (70%) kategori berat

badan lahir normal dengan stunting “pendek” sebanyak 30 anak (42,9%). Hal ini

menunjukkan terjadi penurunan 3 sampai dengan <-2 standar deviasi sesuai ambang

batas (Z-skor). Saat wawancara 49 Ibu tersebut, sebagian besar mengatakan memiliki

52
nafsu makan yang baik dan konsumsi tablet Fe lengkap saat kehamilan. Sedangkan

anak dengan stunting “sangat pendek” sebanyak 19 anak (27,1%). Hal ini

menunjukkan terjadi penurunan 3 kali standar deviasi sesuai ambang batas (Z-skor).

Saat wawancara 19 Ibu tersebut, sebagian mengatakan memiliki nafsu makan yang

baik dan konsumsi tablet Fe lengkap saat kehamilan. Dan sebagian lainnya

mengatakan memiliki nafsu makan yang kurang namun mengkonsumsi tablet Fe

lengkap saat haiml. Hal ini berarti terdapat masalah asupan gizi yang kurang pada usia

6 bulan pertama kehidupan anak. Ketidakcukupan asupan zat gizi yang diterima anak

dengan berat badan lahir normal dapat mengakibatkan growth falthering (kegagalan

pertumbuhan). Asupan gizi yang buruk dan paparan infeksi secara bersamaan lebih

memberikan dampak gagal tumbuh yang lebih berat pada anak dengan berat badan

lahir normal (Rahayu, dkk. 2015)

Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 0,958 >0,05 yang berarti

tidak ada hubungan yang signifikan antara Berat Badan Lahir Anak dengan Kejadian

Stunting kategori sangat pendek dan pendek pada balita stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Ulanta. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Ni’mah dan Nadhiroh (2015) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna antara berat badan lahir dengan kejadian stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Tanah Kali Kedinding, Surabaya. Senada dengan penelitian yang

dilakukan oleh Dasantos, Dimiati dan Husnah (2020) yang menunjukkan bahwa berat

badan lahir anak tidak berhubungan dengan stunting dikarenakan pengaruh berat

badan lahir terjadi pada 6 bulan pertama kehidupan, selanjutnya menurun sampai usia

24 bulan. Dengan kata lain, jika bayi dapat mengejar pertumbuhan dalam 6 bulan

pertama kehidupan maka terdapat kemungkinan besar anak mencapai tinggi badan

yang normal sesuai usia (Supariasa, Bakri dan Fajar. 2012)

53
Dari hasil penelitian diatas, menurut peneliti anak dengan berat badan lahir

normal maupun rendah, keduanya memiliki risiko mengalami stunting. Pendapat ini

sejalan dengan hasil penelitian oleh Arifin, Irdasari dan Sukandar (2012) yang

menyatakan bahwa anak dengan berat badan lahir normal maupun berat lahir rendah

yang diiringi dengan konsumsi yang tidak adekuat, pelayanan kesehatan yang tidak

optimal dan sering terjadi infeksi pada anak akan menghambat pertumbuhan dan

menghasilkan anak yang stunting. Sebaliknya jika anak dengan berat badan lahir

rendah menerima asupan gizi yang adekuat maka pertumbuhan normal dapat dikejar.

3. Hubungan riwayat pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian Stunting pada

balita (1-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta

Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat anak ASI Eksklusif dengan

Stunting “pendek” sebanyak 6 anak (8,6%). Hal ini menunjukkan terjadi penurunan 3

sampai dengan <-2 standar deviasi sesuai ambang batas (Z-skor). Saat wawancara 6

Ibu tersebut, mengatakan telah memberikan ASI eksklusif karena ada dukungan suami

dan keluarga. Ditambah, Ibu mengatakan terjadi penambahan nafsu makan saat

menyusui. Sedangkan anak dengan stunting “sangat pendek” sebanyak 5 anak (7,1%).

Hal ini berarti terjadi penurunan 3 kali standar deviasi sesuai ambang batas (Z-skor).

Saat wawancara 5 Ibu tersebut, juga mengatakan telah memberikan ASI eksklusif

karena ada dukungan suami dan keluarga. Akan tetapi, lama waktu Ibu saat menyusui

kurang efektif. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Desy, dkk

(2015) di wilayah kerja Puskesmas Pakualam, Yogyakarta yang menyatakan bahwa

dukungan suami sangat mendukung keberhasilan ASI eksklusif. Dukungan keluarga

juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi Ibu untuk memberikan ASI

Eksklusif pada anak. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

54
Astuti et al (2013) bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p=0,00) antara ASI

Eksklusif dengan kejadian stunting.

Hasil penelitian juga menunjukan terdapat 59 anak stunting yang tidak diberikan

ASI Eksklusif. Anak dengan stunting “pendek” sebanyak 36 anak (51,4%). Hal ini

menunjukkan terjadi penurunan 3 sampai dengan <-2 standar deviasi sesuai ambang

batas (Z-skor). Saat wawancara 36 Ibu tersebut adalah Ibu rumah tangga dan sebagian

besar mengatakan telah memberikan ASI namun sudah dibarengi dengan pemberian

susu formula karena produksi ASI yang sedikit, dukungan suami dan dukungan

keluarga yang kurang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Nurul, dkk (2018) yang menyatakan bahwa pemberian ASI oleh Ibu yang tidak

bekerja memang memiliki banyak waktu luang dan tidak terbatas, namun pada

kenyataannya Ibu yang tidak bekerja tidak dapat memberikan ASI secara eksklusif

karena berbagai sebab. Diantaranya rasa malas menyusui, kurangnya dukungan suami

dan keluarga yang membuat tidak ada motivasi Ibu untuk menyusui. Dukungan

keluarga yang dapat diberikan pada Ibu menyusui seperti membantu pekerjaan rumah,

membantu merawat bayi, dan menyediakan waktu untuk Ibu beristirahat sehingga

beban Ibu berkurang, Ibu dapat memberikan ASI Eksklusif secara maksimal dan

asupan gizi anak terpenuhi.

Sedangkan anak dengan stunting “sangat pendek” sebanyak 23 anak (32,9%).

Hal ini berarti terjadi penurunan 3 kali standar deviasi sesuai ambang batas (Z-skor).

Saat wawancara 23 Ibu tersebut, juga mengatakan banyak yang memberikan ASI

namun sudah dibarengi dengan pemberian susu formula ditambah MP-ASI, dukungan

suami dan dukungan keluarga tidak ada. Bahkan ada 5 Ibu yang mengatakan belum

mendapat edukasi tentang pemberian ASI yang baik. Hasil penelitian ini didukung

oleh Astuti, Widiastuti, Komariyah, Fatmayanti (2020) yang menyatakan bahwa selain

55
dukungan suami dan dukungan keluarga terdapat fakor lain yang berhubungan dengan

Ibu dalam menyusui yaitu dukungan tempat pelayanan Kesehatan. Adanya peran serta

dari petugas kesehatan di tempat pelayanan kesehatan akan berpengaruh terhadap

respon dan motivasi Ibu untuk memberikan ASI kepada anaknya.

Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p=value 0,745 >0,05 yang berarti

tidak ada hubungan yang signifikan antara pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian

Stunting kategori sangat pendek dan pendek pada balita stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Ulanta. Hasil penelitian ini sejalan dengan Hindrawati dan Rusdiarti

(2018) yang dilakukan di Desa Menduran, Kecamatan Brati, Kabupaten Grobogan,

Provinsi Jawa Tengah, mendapatkan dimana status pemberian ASI eksklusif bukan

merupakan faktor risiko stunting pada anak usia 1-3 tahun dan juga menjelaskan

bahwa keadaan stunting tidak hanya ditentukan oleh status pemberian ASI eksklusif.

Sebuah studi kasus yang dilakukan oleh Aryastami dkk (2017) di Bogor juga tidak

menunjukkan hubungan ASI eksklusif dengan kejadian stunting.

Dari hasil penelitian Black, Victora, Bhutta, Christian, de Onis dkk (2013)

menyatakan bahwa efek ASI eksklusif tidak berhubungan langsung dengan stunting.

Melainkan efek akibat tidak ASI eksklusif lebih kepada kurangnya imunitas anak yang

menyebabkan anak mengidap penyakit infeksi berulang.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Ni’mah dan Nadhiroh (2015) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan

antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting. Meskipun demikian

ternyata ASI ekslusif bukan sebagai faktor resiko terjadinya stunting berdasarkan

analisis data multivariat.

Dari hasil penelitian di atas dan banyaknya penelitian yang dilakukan

sebelumnya, peneliti berpendapat bahwa, pemberian ASI eksklusif pada anak

56
sangatlah penting walau tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan kejadian

stunting. Oleh karena, jika dilihat anak dengan ASI eksklusif memiliki imunitas yang

terbentuk dengan baik, maka anak akan terhindar dari penyakit infeksi berulang dan

dapat mempertahankan atau bahkan dapat meningkatkan status gizi sesuai dengan

umurnya.

4. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan kejadian Stunting pada balita (1-59

bulan) di wilayah kerja Puskesmas Ulanta

Hasil penelitian diketahui bahwa anak stunting “pendek” dengan latar belakang

pendapatan keluarga rendah (< UMP: Rp. 2.586.900) sebanyak 33 anak (47,1%). Hal

ini menunjukkan terjadi penurunan 3 sampai dengan <-2 standar deviasi sesuai

ambang batas (Z-skor). Saat wawancara pada 33 Ibu dari anak tersebut, sebagian besar

mengatakan pendapatan keluarga diperoleh dari suami dan istri dengan pendapatan

tidak >1000.000/ bulan dan masih tinggal bersama keluarga besar. Sedangkan anak

stunting “sangat pendek” dengan pendapatan rendah atau <UMP sebanyak 20 anak

(28,6%). Hal ini berarti terjadi penurunan 3 kali standar deviasi sesuai ambang batas

(Z-skor). Saat wawancara pada 20 Ibu dari anak tersebut, mengatakan pendapatan

keluarga sangat tergantung pada pendapatan suami karena istri tidak bekerja dan

masih tinggal bersama orangtua Ibu. Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh

Nasikhah dan Megawati (2012) menunjukkan bahwa kejadian stunting yang

dipengaruhi oleh pendapatan keluarga rendah memiliki risiko 7 kali lebih besar.

Penelitian oleh Fikadu, dkk (2014) juga menunjukkan selain faktor pendapatan

keluarga yang rendah, anak balita yang tinggal dengan anggota keluarga lebih dari 5

orang akan berisiko 2 kali lebih mengalami stunting dibanding dengan anak balita

yang tinggal dengan 2-4 anggota keluarga.

57
Pendapatan keluarga yang rendah atau status ekonomi yang kurang dapat

diartikan daya beli dari keluarga juga rendah sehingga kemampuan keluarga membeli

bahan makanan yang baik dan sehat juga rendah. Kualitas dan kuantitas makanan

yang kurang menyebabkan kebutuhan zat gizi pada anak tidak terpenuhi, akibatnya

pertumbuhan dan perkembangan anak terganggu (Candra, 2020)

Hasil penelitian pada pendapatan keluarga tinggi (≥UMP: Rp. 2.586.900)

sebanyak 17 anak (24,3 %). Terdapat stunting “pendek” sebanyak 9 anak (12,9%). Hal

ini menunjukkan terjadi penurunan 3 sampai dengan <-2 standar deviasi sesuai

ambang batas (Z-skor). Saat wawancara pada 9 Ibu dari anak tersebut, mengatakan

sebanyak 40% dari penghasilan yang didapat ditujukan untuk menabung membangun

rumah karena masih tinggal bersama orangtua, 30% kebutuhan sekolah anak, 15-20%

(Rp.388.000-Rp.517.000) untuk membeli bahan makanan/ bulan dan sisanya 10%

untuk keperluan transportasi. Sedangkan pendapatan keluarga tinggi dengan anak

stunting “sangat pendek” sebanyak 8 anak (11,4%). Hal ini berarti terjadi penurunan 3

kali standar deviasi sesuai ambang batas (Z-skor). Saat wawancara pada 8 Ibu dari

anak tersebut, sebagian besar juga mengatakan sekitar 50% pendapatan digunakan

untuk tabungan dan membangun rumah, 30% untuk anak sekolah dan lain-lain,

sisanya 20% untuk belanja bahan pangan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ilahi,

(2017) menyatakan bahwa semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk belanja bahan

pangan dalam keluarga menunjukkan semakin rendah ketahanan pangan keluarga

tersebut. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Anindita (2012) yang

menyatakan bahwa balita stunting dengan pendapatan keluarga tinggi disebabkan

karena pendapatan yang tinggi belum tentu menjamin status gizi yang baik pada anak

balita, karena pendapatan keluarga belum cukup teralokasi untuk keperluan makanan.

Menurut Berg (2010), dengan bertambahnya pengeluaran keluarga untuk konsumsi

58
tidak selalu diikuti dengan perbaikan pola konsumsi bahan pangan yang baik. Dengan

kata lain, belum tentu keluarga tersebut mencerminkan bahwa yang dimakan sudah

baik mencukupi gizi anggota keluarga.

Dari hasil analisis uji statistik diperoleh hasil p-value 0,329 > 0,05 yang berarti

tidak ada hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan Kejadian

Stunting kategori sangat pendek dan pendek pada balita stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Ulanta. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Rahmawati, Hardy dan Purbasari (2020) bahwa tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara pendapatan keluarga dengan stunting pada balita di Kecamatan

Sawah Besar Kota Jakarta Pusat. Hal ini juga didukung penelitian oleh Windi dan

Larasati (2018) yang menyatakan bahwa pendapatan keluarga tidak memiliki

hubungan yang signifikan dengan balita stunting kategori sangat pendek dan pendek.

Dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada keluarga dengan pendapatan yang rendah

mampu mengolah makanan yang bergizi dengan bahan yang murah dan sederhana, hal

ini bisa mencukupi kebutuhan anak dan pertumbuhan anak juga akan menjadi baik.

Berbeda halnya dengan penelitian Rahmad dan Miko, (2016) yang

menyimpulkan bahwa pendapatan keluarga yang rendah berhubungan dengan stunting

pada balita di Aceh. Anak pada keluarga dengan pendapatan yang rendah cenderung

mengonsumsi makanan dalam segi kuantitas, kualitas dan variasi yang kurang. Status

ekonomi yang tinggi membuat seseorang memilih dalam membeli makanan yang

bergizi dan bervariasi (Setiawan, Machmud dan Masrul, 2018).

Dari data di atas peneliti berpendapat bahwa anak dengan latar belakang

pendapatan atau status ekonomi rendah, tidak selalu berhubungan dengan kejadian

stunting. Karena kejadian stunting juga terjadi dalam keluarga dengan pendapatan

tinggi. Seperti roda yang berputar antara pendapatan keluarga rendah atau tinggi

59
dengan kejadian stunting bisa saling mempengaruhi dan akan terjadi dalam waktu

yang berbeda. Jika ditinjau dari karakteristik responden yang cenderung adalah Ibu

Rumah Tangga sebanyak 48 responden (68,6 %) hingga pendapatan keluarga,

bahwa akar masalah dari dampak pertumbuhan bayi dan berbagai masalah gizi

lainnya salah satunya disebabkan dan berasal dari krisis ekonomi.

4.4 Keterbatasan Penelitian

Berdasarkan pengalaman langsung peneliti dalam proses penelitian ini, ada

beberapa keterbatasan yang dialami dan dapat menjadi faktor agar dapat lebih

diperhatikan bagi peneliti-peneliti selanjutnya dalam lebih menyempurnakan

penenlitiannya karena penelitian ini tentu memiliki kekurangan yang perlu terus

diperbaiki untuk penelitian kedepannya. Keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Peneliti tidak mendapatkan data responden Tinggi badan dari Ayah dikarenakan

waktu pengumpulan data sama dengan waktu kerja Ayah.

2. Waktu penelitian yang terbatas bergantung pada jadwal posyandu yang hanya

dilakukan 1 kali dalam 1 bulan, membuat terlambatnya peneliti dalam menganalisis

data.

3. Variabel penelitian yang hanya difokuskan pada 4 variabel terikat dari banyaknya

faktor utama yang menyebabkan Stunting.

60

Anda mungkin juga menyukai