Anda di halaman 1dari 3

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Balita (bawah lima tahun) adalah salah satu periode usia manusia yang
rentan dengan masalah gizi. Hal ini dikarenakan pada periode balita memerlukan
asupan zat gizi dalam jumlah besar yang seimbang untuk proses pertumbuhan dan
perkembangannya. Kesalahan dalam pemenuhan zat gizi balita akan membawa
dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan saat anak beranjak dewasa.
(Ni'mah & Muniroh, 2015). Kondisi kesehatan termasuk status gizi pada Balita,
perlu diperhatikan. (Zogara & Pantaleon, 2020).
Stunting (tubuh pendek) pada balita merupakan manifestasi dari
kekurangan zat gizi kronis, baik saat pre- maupun post-natal. Stunting merupakan
hambatan pertumbuhan yang diakibatkan oleh, selain kekurangan asupan zat gizi,
juga adanya masalah kesehatan. Keadaan stunting dipresentasikan dengan nilai z-
score panjang badan atau tinggi badan menurut umur <2 SD. (Rosmalina,
Luciasari, Aditianti, & Ernawati, 2018) “ ... Stunting pada anak-anak merupakan
salah satu masalah yang cukup serius, karena dikaitkan dengan risiko angka
kesakitan dan kematian yang lebih besar, obesitas, dan penyakit tidak menular di
masa depan, orang dewasa yang pendek, buruknya perkembangan kognitif, dan
rendahnya produktivitas serta pendapatan. Setiap tahun sekitar 10,5 juta kematian
anak yang terkait dengan masalah kekurangan gizi. Dimana 98% dari kematian ini
dilaporkan terjadi di negara-negara berkembang (UNICEF 2007 dalam skripsi
Larasati, 2017)
Tubuh pendek atau stunting pada masa balita disebabkan oleh kurangnya
gizi kronis atau gizi kurang yang mengakibatkan kegagalan pertumbuhan
(Kementerian Kesehatan RI, 2016). Anak mengalami stunting diakibatkan oleh
lima hal utama yaitu faktor gizi yang buruk pada balita ataupun ibu hamil, tingkat
pengetahuan ibu yang kurang terkait kesehatan dan gizi saat sebelum hamil, masa
kehamilan, serta setelah melahirkan, terkendalanya pelayanan kesehatan terutama
ante natal care, post natal care, dan pembelajaran dini yang berkualitas,
ketersediaan makanan bergizi, keterjangkauan akses air bersih dan sanitasi yang
masih tergolong buruk (KDPDTT, 2017). Secara tidak langsung selain tenaga
kesehatan keluarga juga berpengaruh pada status gizi balita, terutama peran ibu
sejak masa sebelum kehamilan hingga setelah melahirkan. Bedasarkan penelitian
Carr dan Spinger pengaruh yang paling kuat pada kesehatan yaitu keluarga,
karena keluarga berperan sebagai penyedia sumber daya ekonomi, sosial dan
psikologis, ketegangan yang dapat menjadi pelindung ataupun ancaman dari
kesehatan anggota keluarga (Carr & Springer, (2010) dalam skripsi Rahmawati,
2019).

Angka kejadian stunting dengan keadaan tubuh sangat pendek (63.3%)


dibandingkan dengan balita yang mempunyai keadaan tubuh pendek(36.7%),
berdasarkan penjelasan di dapatkan orang tua menganggap stunting merupakan
hal yang biasa dan menganggap kondisi anak yang pendek disebabkan oleh faktor
genetik dari kedua orang tua, dari pemahaman tersebut membuat orang tua
memaklumi keadaan anaknya yang stunting, sedangkan genetika merupakan
faktor determinan kesehatan yang paling kecil pengaruhnya jika dibandingkan
dengan faktor sanitasi lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan dengan kata
lain stunting merupakan masalah yang sebenarnya bisa dicegah oleh orang tua.
Hal ini adalah salah satu masalah yang besar yang dapat mengancam sumber daya
manusia karena tinggi badan adalah parameter yang penting untuk mengukur
tumbuh kembang terutama balita (Siyoto, 2014 dalam Asikin, Ismail, & Utiya,
2019).

Pada tahun 2017, menurut World Health Organization (WHO), setidaknya


150,8 juta (22,2%) anak-anak di bawah usia lima tahun terhambat
pertumbuhannya. “... Selain itu, sekitar 6 juta anak dilaporkan terjadi
pengerdilan ...” (Wiliyanarti, Israfil, & Ruliati, 2020). Malnutrisi terjadi di negara-
negara berkembang, khususnya di Afrika dan Asia Selatan. Di Asia Selatan, tiga
negara wilayah, India, Pakistan dan Bangladesh, memiliki prevalensi tinggi.
Angka kejadian stunting di Indonesia mencapai 37,2% pada tahun 2013 dan pada
tahun 2018 yaitu angka balita stunting berada pada 33,7%. Walaupun angka
kejadian menurun namun angka stunting tersebut masih dalam kategori tinggi.
Sedangkan berdasarkan RPJMN diharapkan pada tahun 2019 angka stunting
menurun, setidaknya menjadi 28%. (Kemenkes, 2018).

Hasil data pemantauan status gizi (PSG) Dinas Kesehatan Provinsi


Gorontalo pada tahun 2015 terdapat sebanyak 41% balita stunting, sebanyak
37,6% pada tahun 2016 dan pada tahun 2017 sebanyak 32,4% balita yang
mengalami stunting. Hasil pemantauan tersebut, terlihat bahwa dari data PSG
tahun 2015 sampai dengan 2017 terjadi penurunan jumlah balita stunting. “ ... Di
Kabupaten Bone Bolango pada tahun 2018, ditemukan sebanyak 761 kasus
stunting atau sebesar 5% dari jumlah balita yang ada di Indonesia yaitu sebanyak
14.995 jiwa. (Ahaya & Kadir, 2018).

Dari hasil wawancara singkat dengan kader Gizi PKM Ulantha dalam
rentang bulan Januari hingga bulan April, terdapat sebanyak 56 balita yang
megalami stunting dalam kategori “pendek” dan “sangat pendek”. Desa Ulantha
menempati urutan pertama dengan kasus stunting sebanyak 31 balita. Dari
banyaknya faktor yang mempengaruhi kejadian stunting di seluruh dunia, terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi balita di Desa Ulantha. Faktor tersebut
diantaranya Pola asuh yang kurang efektif, status gizi yang kurang, sanitasi
lingkungan yang kurang sehat, riwayat ASI eksklusif yang masih rendah, dan
riwayat kesehatan remaja yang kurang baik. Banyaknya pendatang dan perantau
di Desa Ulantha, membuat faktor-faktor tersebut masih sulit dicegah. Oleh karena
itu, faktor-faktor tersebut perlu dilakukan peninjauan kembali.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan


penelitian tentang faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian stunting di desa
Ulantha.

Anda mungkin juga menyukai