BAB IV
HASIL PENELITIAN
50
51
B. Karakteristik Responden
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Ruang rawat
inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen, maka dapat digambarkan
karakteristik responden sebagai berikut :
1. Karakteristik responden berdasarkan umur
Tabel 4.1
Data distribusi frekuensi karakteristik responden
berdasarkan umur
Umur
Jumlah (f) Persentase (%)
20-35 tahun 13 28,9
> 35 tahun 32 71,1
Jumlah 45 100,0
C. Analisa Univariat
1. Self care perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
Sragen
Tabel 4.5 self care di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
Sragen.
Self care
(f) (%)
Cukup 17 37,8
Baik 28 62,2
Jumlah 45 100
Sumber : data primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa self care perawat di
ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen sebagian besar
kategori baik ada 28 responden (62,2%).
2. Self eficacy perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
Sragen.
Tabel 4.6 Self eficacy perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen.
Self eficacy
(f) (%)
Cukup 15 33,3
Baik 30 66,7
Jumlah 45 100
Sumber : data primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan bahwa self eficacy perawat di
ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen sebagian besar
kategori baik ada 30 responden (66,7%).
53
D. Analisa Bivariat
1. Analisis hubungan self care dengan perilaku burnout perawat di ruang
rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen dapat dilihat hasil uji
Spearman (Rho) pada tabel 4.8 dan hasil Spearman (Rho) dapat dilihat
pada tabel 4.7 sebagai berikut :
Tabel 4.8
Hubungan self care dengan perilaku burnout perawat di ruang rawat inap
RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
Self care Perilaku burnout Coifience p value
Contingency
Rendah Sedang Total
Cukup 5 12 17 0,524 0,000
Baik 25 3 28
Jumlah 30 15 45
Sumber : data primer, 2021
Berdasarkan Tabel 4.8 dapat dilihat hasil uji statistik dengan
menggunakan Spearman (Rho) diperoleh nilai p value < 0,05 sehingga
H0 ditolak artinya ada hubungan self care dengan perilaku burnout
perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Nilai
koefisien kontingensi = 0,524 menunjukan bahwa hubungan self care
dengan perilaku burnout perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen memiliki korelasi sedang.
2. Analisis hubungan self eficacy dengan perilaku burnout perawat di ruang
rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen dapat dilihat hasil uji
Spearman (Rho) pada tabel 4.9 dan hasil Spearman (Rho) dapat dilihat
pada tabel 4.8 sebagai berikut :
54
Tabel 4.9
Hubungan self care dengan perilaku burnout perawat di ruang rawat inap
RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
Self eficacy Perilaku burnout Coifience p value
Contingency
Rendah Sedang Total
Cukup 4 11 15 0,514 0,000
Baik 26 4 30
Jumlah 30 15 45
Sumber : data primer, 2021
Berdasarkan Tabel 4.9 dapat dilihat hasil uji statistik dengan
menggunakan Spearman (Rho) diperoleh nilai p value < 0,05 sehingga
H0 ditolak artinya ada hubungan self eficacy dengan perilaku burnout
perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Nilai
koefisien kontingensi = 0,514 menunjukan bahwa hubungan self eficacy
dengan perilaku burnout perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen memiliki korelasi sedang.
55
BAB V
PEMBAHASAN
A. Analisa Univariat
1. Self care perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
Sragen.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan self care perawat di ruang
rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen sebagian besar kategori
baik sebanyak 28 responden (62,2%) dan kategori cukup sebanyak 17
responden (37,8%).
Individu yang memiliki otonomi yang rendah ditandai dengan
kemungkinan individu mudah terpengaruh oleh tekanan sosial,
ketergantungan terhadap orang lain, dan selalu membutuhkan evaluasi dan
pendapat orang lain. Sebaliknya, individu yang memiliki otonomi yang
tinggi ditandai dengan individu yang bebas, mampu menentukkan nasib
sendiri dan mengatur diri sendiri, mandiri, tahan terhadap tekanan sosial,
dan mampu mengambil keputusan tanpa ada campur tangan orang lain
(Friedman, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan umur yang paling banyak umur > 35
tahun ada 32 responden (71,1%) dan umur 20-35 tahun ada 13 responden
(28,9%). Pada umur umur > 35 tahun yang memiliki self care cukup ada 7
responden dan baik ada 25 responden. Sedangkan umur 20-35 tahun yang
memiliki self care cukup ada 10 responden dan baik ada 3 responden.
Faktor-faktor yang mempengaruhi self care antara lain usia. Usia
merupakan salah satu faktor penting pada self care. Bertambahnya usia
sering dikaitkan dengan kerusakan fungsi sensoris maupun berbagai
keterbatasan. Pemenuhan kebutuhan self care akan bertambah efektif
seiring dengan bertambahnya usia dan kemampuan (Orem dalam Astuti,
2019).
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa seiring dengan
bertambahnya usia maka pemenuhan kebutuhan self care akan bertambah
efektif seiring dengan bertambahnya usia dan kemampuan. Sebagian
besar responden memiliki self care yang baik berarti responden mampu
untuk memenuhi kebutuhan self care yaitu perawatan diri pada dirinya
55
56
sendiri, namun demikian pada usia muda ternyata mereka sudah memiliki
pemahaman yang cukup memadai tentang perilaku self care dan
manfaatnya sehingga mereka tetap melakukan perilaku self care dalam
kehidupan sehari-hari. Sedangkan mereka yang berusia tua juga memiliki
banyak pengalaman dan sudah merasakan manfaat perilaku self care.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa berusia muda maupun tua mereka
sama-sama melakukan perilaku self care dengan tujuan mencapai
perawatan diri yang optimal.
Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Kurniawati (2011)
dengan hasil penelitian menyatakan bahwa pada usia muda maupun yang
usia lebih tua menunjukkan aktifitas self care yang sama. Hasil penelitian
tidak sesuai dengan hasil penelitian Shigaki et al (2010) dengan hasil
penelitian menyatakan bahwa umur sangat berpengaruh terhadap perilaku
self care, dimana pada usia lebih tua memiliki perilaku self care yang lebih
baik daripada yang berusia muda.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak
berjenis kelamin perempuan ada 35 responden (77,8%) dan laki-laki ada
10 responden (22,2%). Pada laki-laki yang memiliki self care cukup ada 5
responden dan baik ada 5 responden. Sedangkan pada perempuan yang
memiliki self care cukup ada 12 responden dan baik ada 23 responden.
Faktor-faktor yang mempengaruhi self care antara lain jenis kelamin.
Jenis kelamin mempunyai kontribusi dalam kemampuan perawatan diri.
Pada laki-laki lebih banyak melakukan penyimpangan kesehatan seperti
kurangnya manajemen berat badan dan kebiasaan merokok dibandingkan
pada perempuan (Orem dalam Astuti, 2019).
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa pada jenis kelamin laki-
laki cenderung kurang memperhatikan perawatan dirinya, kurang dalam
manajemen kesehatan dirinya dibanding dengan jenis kelamin perempuan,
namun demikian tidak semua laki-laki kurang memperhatikan perawatan
dirinya, dan kurang dalam manajemen kesehatan dirinya ada pula laki0laki
yang sangat memperhatikan perawatan dirinya atau meiliki self care yang
baik.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Gaol (2019) sebagian besar
responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 23 orang (53,5%)
57
dan sisanya berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 20 orang (46,5% dan
didapatkan bahwa frekuensi laki laki dan perempuan yang mempunyai self
care tinggi adalah sama yaitu 20 orang (46,5) dan didapatkan juga self care
yang rendah terdapat pada perempuan sebanyak 3 orang (7,0) dan laki laki
yang self care nya rendah tidak ada (0%) jadi dapat disimpulkan bahwa laki
laki lebih tinggi self care nya dibandingkan perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan pendidikan yang paling banyak
berpendidikan D III ada 35 responden (44,4%) dan Ners ada 10 responden
(44,4%). Pada pendidikan D-3 Keperawatan yang memiliki self care cukup
ada 13 responden dan baik ada 12 responden. Sedangkan pada
pendidikan Ners yang memiliki self care cukup ada 4 responden dan baik
ada 16 responden. Perilaku self care yang terdapat pada seseorang dapat
dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya. Seseorang yang memiliki
pengetahuan akan pentingnya perilaku self care akan menerapkan perilaku
self care dalam kehidupannya sehari-hari (Young, 2010).
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa seseorang dengan
pendidikan tinggi akan mempunyai pengetahuan self care yang baik
sehingga akan memiliki perilaku self care yang baik pula, namun demikian
pengetahuan tidak hanya berasal dari bangku sekolah saja, dapat juga
berasal dari berbagai informasi baik dari media cetak maupun dari teman
kerja, sedangkan perilaku juga tidak hanya dihasilkan dari pendidikan saja
dapat juga berasal dari lingkungan sekitar.
Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Gaol (2019) dapat
diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan
yang tinggi, dimana sebanyak 22 orang (51,2%) menempuh pendidikan
terakhir SMA/sederajat, diikuti dengan akademi/PT sebanyak 14 orang
(32,6%), dan responden dengan pendidikan terkhir SD sebanyak 1 orang
(2,3%) dan pendidikan terakhir SMP sebanyak 6 orang (14,0%) dan
mayoritas yang self care nya tinggi terdapat pada pendidikan SMA yaitu
sebanyak 21 orang (48,8) sedangkan Akademi/ Perguruan tinggi hanya 14
orang ( 32,6 %).
Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Husein et al (2010)
yang menyatakan bahwa pasien dengan pendidikan tinggi akan memiliki
sikap positif dan terbuka dalam menerima informasi sehingga akan lebih
58
aktif dalam melakukan perawatan diri seperti aktivitas self care dan tidak
hanya membutuhkan pendidkan saja tetapi motivasi dan dukungan dari
keluarga dan lingkungan agar dapat meningkatkan tingkat self care yang
tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan lama kerja yang paling banyak lama
bekerja > 15 tahun ada 19 responden (42,2%), 1-5 tahun ada 10
responden (22,2%), 6-10 tahun ada 8 responden (17,8%) dan 11-15 tahun
ada 8 responden (17,8%). Pada lama kerja 1-5 tahun yang memiliki self
care cukup ada 8 responden dan baik ada 2 responden, lama kerja 6-10
tahun yang memiliki self care cukup ada 6 responden dan baik ada 2
responden, lama kerja 11-15 tahun yang memiliki self care cukup ada 2
responden dan baik ada 6 responden, lama kerja > 15 tahun yang memiliki
self care cukup ada 1 responden dan baik ada 18 responden.
Pengalaman berpengaruh terhadap efikasi diri seseorang. Ketika
pengalaman yang dialami oleh individu tersebut baik sehingga dari
pengalaman tersebut dapat meningkatkan motivasi untuk melakukan
perawatan diri dengan baik, namun apabila pengalaman sebelumnya tidak
baik maka dari pengalaman tersebut akan menurunkan motivasinya dalam
menjalankan perawatan diri sehingga dapat menyebabkan penurunan
kesehatannya (Bandura dalam Okatiranti, 2017).
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa pengalaman kerja yang
dialami oleh individu sebelumnya baik makan akan dapat meningkatkan
motivasi untuk melakukan perawatan diri dengan baik, namun apabila
pengalaman sebelumnya tidak baik maka dari pengalaman tersebut akan
menurunkan motivasinya dalam menjalankan perawatan diri.
Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Hidayah (2020) yang
menyatakan hubungan yang positif dengan orang lain menandakan bahwa
karyawan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik. Karyawan dapat
terikat dengan pekerjaannya karena salah satu faktor yang mempengaruhi
yaitu memiliki hubungan positif dengan rekan kerja, atasan bahkan
pelanggan yang ada di dalamnya. Hubungan yang terjalin antar karyawan
dapat membuat suasana bekerja lebih hidup dan harmonis. Dilihat dari
lamanya masa kerja karyawan RS Premier Surabaya ini tampak bahwa
59
yang memiliki self eficacy cukup ada 10 responden dan baik ada 3
responden.
Salah satu faktor yang mempengaruhi efikasi diri adalah usia
(Ismatika, 2017). Karakteristik responden berdasarkan umur berada pada
rentang usia dewasa awal (26-35 tahun). Usia 26-35 tahun merupakan
masa dewasa awal tahap penentu bagi seseorang untuk memilih bidang
pekerjaan yang sesuai dengan karir. Makin tua umur seseorang maka
proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur
tertentu, bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat
seperti ketika berumur belasan tahun. Selain itu, daya ingat seseorang
dipengaruhi oleh umur.
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa umur pada rentang
usia 26-35 tahun merupakan masa dewasa awal tahap penentu bagi
seseorang untuk memilih bidang pekerjaan yang sesuai dengan karir.
Umur 26-35 tahun merupakan usia produktif dalam melakukan pekerjaan.
Makin tua umur seseorang maka proses perkembangan mentalnya
bertambah baik, akan tetapi pada umur tertentu akan mengalami
penurunan.
Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Syeba (2019) dengan
hasil penelitian terdapat korelasi positif yang signifikan antara usia dengan
parenting self-efficacy, r = 0,586 dan p= 0,00 (p < 0,05). Semakin
meningkat usia ibu maka semakin tinggi pula parenting self-efficacy yang
dimiliki dan sebaliknya semakin muda usia ibu semakin rendah parenting
self-efficacy yang dimiliki. Besar sumbangan efektif dari usia ibu terhadap
parenting self-efficacy adalah 34,33%, sedangkan 65,67% merupakan
sumbangan dari faktor lain yang mempengaruhi parenting self-efficacy
(selain usia).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak
berjenis kelamin perempuan ada 35 responden (77,8%) dan laki-laki ada
10 responden (22,2%). Pada laki-laki yang memiliki self eficacy cukup ada
5 responden dan baik ada 5 responden. Sedangkan pada perempuan yang
memiliki self eficacy cukup ada 10 responden dan baik ada 25 responden.
Perbedaan gender juga berpengaruh terhadap efikasi diri, hal ini
dapat dilihat dari penelitian bandura yang menyatakan bahwa wanita
61
tidak maksimal. Hal ini membuat pekerja menjaga jarak, tidak mau terlibat
dengan lingkungannya (Dyanda, 2019).
Burnout yang terjadi karena stres kerja yang berkepanjangan
merupakan suatu keadaan yang tidak dapat dihindari oleh perawat dalam
menjalankan tugasnya. Leither and Maslach (2001) dalam Pamungkas
(2018) menjelaskan bahwa Individu dikatakan memiliki burnout jika orang
tersebut mengalami kelelahan emosional (emotional exhaustion) yaitu
ketika individu merasa terkuras secara emosional disebabkan oleh
banyaknya pekerjaaan yang ditanggung, perawat mulai merasa terbebani
oleh tugas-tugas pekerjaannya sehingga individu kurang mampu
memberikan pelayanan kepada orang lain, depersonalisasi yaitu proses
individu dalam mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan pekerjaan
dengan kemampuan individu itu sendiri ia akan bersikap negatif, dan mulai
menjaga jarak dengan pasien dan lingkungan tempat ia bekerja dan
penurunan prestasi diri perawat akan merasa kurang puas terhadap diri
sendiri, pekerjaan dan kehidupannya, individu mulia merasa bahwa ia tidak
dapat memberikan hal yang bermanfaat bagi orang lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Wirati, dkk (2020) tentang
“Hubungan burnout dengan motivasi kerja perawat pelaksana”
menunjukkan bahwa sebagian besar burnout perawat pelaksana
dikategorikan sedang. Hal ini terjadi akibat kelelahan emosional,
depersonalisasi, dan kurangnya penghargaan diri, karena semakin
meningkatnya tingkat burnout yang dialami oleh individu akan
mempengaruhi pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien
(Prestianan, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan umur yang paling banyak umur > 35
tahun ada 32 responden (71,1%) dan umur 20-35 tahun ada 13 responden
(28,9%). Pada pendidikan umur 20-35 tahun yang mengalami burnout
sedang ada 10 responden dan rendah ada 3 responden. Sedangkan pada
umur > 35 tahun yang mengalami burnout sedang ada 5 responden dan
rendah ada 27 responden.
Umur berpengaruh dalam kemampuan mengatasi masalah yang
berpengaruh terhadap burnout. Orang yang berusia muda memiliki
kemungkinan mengalami burnout lebih besar daripada orang yang berusia
65
lebih tua. Para pekerja pelayanan publik bekerja dengan harapan yang
tidak realistis jika dibanding dengan pekerja yang lebih tua. Seiring dengan
pertambahan usia pada umumnya individu menjadi lebih stabil, lebih
matang dan lebih teguh sehingga memiliki pandangan yang lebih realistis
(Maslach, C., & Leiter, M. P, 2016).
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa orang yang berusia
muda memiliki kemungkinan mengalami burnout lebih besar daripada
orang yang berusia lebih tua. Para pekerja pelayanan publik bekerja
dengan harapan yang tidak realistis jika dibanding dengan pekerja yang
lebih tua.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ramdan dan fadly (2016)
dengan hasil penelitian bahwa umur perawat sebagian besar berada pada
kisaran 20–30 tahun yaitu sebanyak 62 orang (49,6%), 31-40 tahun
sebanyak 29 responden (23,2%) dan > 40 tahun sebanyak 34 responden
(27,2%). Bahwa variabel umur tidak berhubungan dengan kejadian burnout
(p-value 0.0426).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak
berjenis kelamin perempuan ada 35 responden (77,8%) dan laki-laki ada
10 responden (22,2%). Pada laki-laki yang mengalami burnout sedang ada
6 responden dan rendah ada 4 responden. Sedangkan pada perempuan
yang mengalami burnout sedang ada 9 responden dan rendah ada 26
responden.
Pria cenderung mengalami depersonalisasi sedangkan wanita
cenderung mengalami kelelahan emosional. Perbedaan jenis kelamin
dapat mempengaruhi cara seseorang dalam menyikapi masalah di
lingkungan. Hal ini terjadi karena pria dan wanita tumbuh dan dibesarkan
dengan cara berbeda. Pria lebih cenderung bertindak tegas, tegar dan
tanpa emosional, sedangkan wanita lebih pada perilaku kasih sayang dan
lembut. Artinya, laki-laki cenderung menjaga jarak dengan penerima
pasien, cenderung tidak peduli terhadap lingkungan serta orang-orang di
sekitarnya dan mengurangi kontak dengan pasien (Maslach, C., & Leiter,
M. P, 2016).
Terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi burnout yaitu faktor
internal dan faktor eksternal, dalam faktor internal meliputi jenis kelamin
66
B. Analisa Bivariat
1. Hubungan self care dengan perilaku burnout perawat di ruang rawat
inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan pada bulan April-
Mei 2021 di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
didapatkan hasil bahwa self care cukup dengan perilaku burnout rendah
69
ada 5 responden, self care cukup dengan perilaku burnout sedang ada 12
responden, self care baik dengan perilaku burnout rendah ada 25
responden dan self care baik dengan perilaku burnout sedang ada 3
responden.
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Spearman Rho diperoleh
nilai sig sebesar 0,008 dan nilai koefisien korelasi 0,524**. Nilai sig 0,000
maka nilai sig < 0,05, dengan demikian pvalue < 0,05 maka Ho ditolak, Ha
diterima berarti ada hubungan self care dengan perilaku burnout perawat di
ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
Nilai koefisien korelasi 0,524** dan bersifat positif maka tingkat
kekuatan korelasi antara hubungan hubungan self care dengan perilaku
burnout perawat mempunyai tingkat korelasi hubungan yang sedang dan
bersifat tidak searah.
Self care merupakan kemampuan individu untuk melakukan
perawatan diri. Apabila seseorang jatuh pada kondisi sakit, kondisi yang
melelahkan (stres fisik dan psikologik) dapat mengalami gangguan atau
hambatan. Defisit perawatan diri terjadi bila agen keperawatan atau orang
yang memberikan perawatan diri baik pada diri sendiri atau orang lain tidak
dapat memenuhi kebutuhan perawatan dirinya. Perawatan diri adalah
tindakan yang diprakarsai oleh individu dan diselenggarakan berdasarkan
adanya kepentingan untuk mempertahankan hidup, fungsi tubuh yang
sehat, perkembangan dan kesejahteraan (Orem dalam Ariani, 2016).
Dimensi dari self care antara lain : (1) physical wellbeing melibatkan
pola makan sehat, cukup tidur, aktivitas fisik cukup secara teratur,
mencegah dan mengelola penyakit dan kondisi kesehatan. (2) mental/
emotional/ spiritual wellbeing melibatkan kemampuan untuk mengatasi
kesulitan hidup secara efektif, sadar secara emosional, dan memiliki
hubungan yang sehat dengan diri sendiri dan orang lain. (3) professional
life/work/ career melibatkan pekerjaan yang memenuhi dan memperkaya,
baik itu pekerjaan profesional atau pekerjaan akademis. (4) social
life/family/relationships melibatkan memiliki jaringan dukungan yang kuat,
merasa terhubung dengan orang lain, dan memiliki rasa memiliki (J.
Flowers Health Institute, 2020).
Hasil penelitian sesuai dengan penelitian Arizal (2018) berjudul
hubungan antara psychological well-being dan iklim organisasi dengan
70
burnout pada perawat rsud X Kabupaten Pati dilakukan pada 100 orang
perawat di RSUD X menjelaskan masing-masing dimensi variabel
psychological well-being hanya 3 (tiga) dimensi yang memiliki pengaruh
tehadap burnout yaitu dimensi penerimaan diri yang berhubungan dengan
burnout (nilai rx1.1y = -0,403) dengan koofisien korelasi sebesar (0,000).
Disusul dengan dimensi hubungan positif dengan orang lain dengan nilai
rx1.2y = -0,205, engan koofisien korelasi sebesar (0,002) dan terakhir
dimensi tujuan hidup rx1.6y = -0,305 dengan koofisien korelasi sebesar
(0,001). Ketiga dimensi psychological well-being masing-masing memiliki
hubungan yang sangat signifikan. Dimensi hubungan positif dengan orang
lain memiliki pengaruh hubungan yang paling kuat atau tinggi, dan dimensi
penerimaan diri memiliki pengaruh hubungan yang paling lemah atau
rendah.
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa seorang perawat yang
sedang bekerja pada masa pandemi Covid-19 saat ini, apabila seorang
perawat memiliki self care terdiri dari dimensi physical wellbeing, mental/
emotional/ spiritual wellbeing, professional life/work/ career dan social
life/family/relationships yang tinggi atau mampu melakukan perawatan diri
yang baik maka perawat tersebut akan terhindar dari kondisi yang
melelahkan atau terjadi burnout.
2. Hubungan self eficacy dengan perilaku burnout perawat di ruang
rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan pada bulan April-
Mei 2021 di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
didapatkan hasil bahwa self eficacy cukup dengan perilaku burnout rendah
ada 4 responden, self eficacy cukup dengan perilaku burnout sedang ada
11 responden, self eficacy baik dengan perilaku burnout rendah ada
26responden dan self eficacy baik dengan perilaku burnout sedang ada 4
responden.
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Spearman Rho diperoleh
nilai sig sebesar 0,008 dan nilai koefisien korelasi 0,514**. Nilai sig 0,000
maka nilai sig < 0,05, dengan demikian pvalue < 0,05 maka Ho ditolak, Ha
diterima berarti ada hubungan self eficacy dengan perilaku burnout perawat
di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
71
sulit sebagai tantangan yang harus dikuasai bukan sebagai ancaman yang
dihindari akan memiliki self efficacy yang tinggi percaya bahwa mereka
mampu melakukan sesuatu untuk mengubah kejadian-kejadian
disekitarnya maka perawat tersebut akan terhindar dari kondisi yang
melelahkan atau terjadi burnout.
C. Keterbatasan Penelitian
Berdasarkan pada pengalaman langsung peneliti dalam proses
penelitian ini, ada beberapa keterbatasan yang dialami dan dapat menjadi
beberapa faktor yang agar dapat untuk lebih diperhatikan bagi peneliti-peneliti
yang akan datang dalam lebih menyempurnakan penelitiannya karena
penelitian ini sendiri tentu memiliki kekurangan yang perlu terus diperbaiki
dalam penelitian-penelitian kedepannya. Beberapa keterbatasan dalam
penelitian tersebut, antara lain :
1. Tempat Penelitian
Tempat penelitian ini hanya mengambil tempat di ruang rawat inap RSUD
dr. Soehadi Prijonegoro Sragen sehingga generalisanya sangat terbatas.
Penelitian selanjutnya dapat menambah jumlah tempat penelitian dengan
melibatkan beberapa tempat rumah sakit.
2. Instrument
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini disusun oleh penulis
berdasarkan sumber dari beberapa literature yang diketahui oleh penulis
dengan bimbingan dari pembimbing skripsi yang terlebih dahulu telah
dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas, namun demikian keterbatasan
pengetahuan dari penulis maka perlu dilakukan perbaikan instrument untuk
penelitian yang akan datang dengan mengikuti perkembagan ilmu dan
pengetahuan.
3. Data Penelitian
Dalam penelitian ini data yang dihasilkan hanya dari instrumen kuesioner
yang didasarkan pada persepsi jawaban responden, sehingga kesimpulan
yang diambil hanya berdasarkan data yang dikumpulkan melalui
penggunaan instrumen kuesioner secara tertulis tanpa dilengkapi dengan
wawancara dan interview.
73
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan judul
“Hubungan self care dan self eficacy dengan perilaku burnout perawat di
ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen” maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Self care perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
Sragen sebagian besar kategori baik ada 28 responden (62,2%).
2. Self eficacy perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
Sragen sebagian besar kategori baik ada 30 responden (66,7%).
3. Perilaku burnout perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen sebagian besar kategori rendah ada 30 responden
(66,7%).
4. Hasil uji statistik dengan menggunakan Spearman (Rho) diperoleh nilai p
value < 0,05 sehingga H0 ditolak artinya ada hubungan self care dengan
perilaku burnout perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen. Nilai koefisien korelasi 0,524** dan bersifat positif
maka tingkat kekuatan hubungan yang sedang dan bersifat tidak searah.
5. Hasil uji statistik dengan menggunakan Spearman (Rho) diperoleh nilai p
value < 0,05 sehingga H0 ditolak artinya ada hubungan self eficacy
dengan perilaku burnout perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen. Nilai koefisien korelasi 0,514** dan bersifat positif
maka tingkat kekuatan hubungan yang sedang dan bersifat tidak searah.
B. Saran
1. Bagi Universitas Muhammadiyah Kudus
Bagi Universitas Muhammadiyah Kudus disarankan dapat menjadikan
hasil penelitian ini digunakan sebagai sumber literatur, rujukan atau
bahan pembelajaran dan referensi bagi yang akan melakukan penelitian
lebih lanjut tentang tentang hubungan self care dan self eficacy dengan
perilaku burnout.
73
74