Anda di halaman 1dari 25

50

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
yang merupakan satu-satunya Rumah Sakit Tipe B milik pemerintah
Kabupaten Sragen, beralamat di Jln. Raya Sukowati No. 534 Sragen. Pada
penelitian ini penulis melakukan penelitian di ruang rawat inap meliputi :
ruang teratai, ruang melati dan ruang rosela.
Ruang teratai pada saat penelitian digunakan sebagai bangsal isolasi
Covid-19 dengan jumlah perawat sebanyak 17 orang, berpendidikan Ners 5
orang dan D lll keperawatan 12 orang, adapun status kepegawaian PNS 10
orang dan BLUD 7 orang. Ruang melati pada saat penelitian digunakan
sebagai bangsal perawatan penyakit dalam dengan jumlah perawat
sebanyak 18 orang, berpendidikan ners 5 orang dan Dlll keperawatan 13
orang, adapun status kepegawaian PNS 12 orang dan BLUD 6 orang.
Sedangkan ruang Rosela pada saat penelitian digunakan sebagai bangsal
perawatan penyakit dalam dengan jumlah perawat sebanyak 15 orang,
berpendidikan ners 6 orang dan Dlll keperawatan 9 orang, adapun status
kepegawaian PNS 10 orang dan BLUD 5 orang.
Jumlah populasi perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen pada bulan April-Mei 2021 sebanyak 50 orang. Metode
sampling dalam penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sampling,
yaitu teknik menetapkan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria
tertentu yang harus dipenuhi oleh sampel yang digunakan dalam penelitian
ini berjumlah 45 orang perawat.
Pada penelitian ini penulis terlebih dahulu menjelaskan maksud,
tujuan dan prosedur penelitian, membagikan informed concent persetujuan
untuk dilakukan penelitian bahwa identitas dan hasil penelitian dijaga
kerahasiaannya hanya digunakan untuk penelitian saja, kemudian
membagikan kuesioner self care, kuesioner self efficacy dan kuesioner
perilaku burnout pada perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen meliputi ruang teratai, ruang melati dan ruang rosella.
Hasil tabulasi kuesioner self care, kuesioner self efficacy dan kuesioner
perilaku burnout kemudian dilakukan analisis.

50
51

B. Karakteristik Responden
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Ruang rawat
inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen, maka dapat digambarkan
karakteristik responden sebagai berikut :
1. Karakteristik responden berdasarkan umur
Tabel 4.1
Data distribusi frekuensi karakteristik responden
berdasarkan umur
Umur
Jumlah (f) Persentase (%)
20-35 tahun 13 28,9
> 35 tahun 32 71,1
Jumlah 45 100,0

Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa frekuensi karakteristik


responden berdasarkan umur yang paling banyak umur > 35 tahun ada
32 responden (71,1%).
2. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.2
Data distribusi frekuensi karakteristik responden
berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin
Jumlah (f) Persentase (%)
Laki-laki 10 22,2
Perempuan 35 77,8
Jumlah 45 100,0
Sumber : data primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa frekuensi karakteristik
responden berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak berjenis
kelamin perempuan ada 35 responden (77,8%).
3. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan
Tabel 4.3
Data distribusi frekuensi karakteristik responden
berdasarkan pendidikan
Pendidikan
Jumlah (f) Persentase (%)
D III 25 55,6
Ners 10 44,4
Jumlah 45 100,0
Sumber : data primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa frekuensi karakteristik
responden berdasarkan pendidikan yang paling banyak berpendidikan D
III ada 35 responden (44,4%).
52

4. Karakteristik responden berdasarkan lama bekerja


Tabel 4.4
Data distribusi frekuensi karakteristik responden
berdasarkan lama bekerja
Lama bekerja
Jumlah (f) Persentase (%)
1-5 tahun 10 22,2
6-10 tahun 8 17,8
11-15 Tahun 8 17,8
> 15 tahun 19 42,2
Jumlah 45 100.0
Sumber : data primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan bahwa frekuensi karakteristik
responden berdasarkan lama bekerja yang paling banyak lama bekerja >
15 tahun ada 19 responden (42,2%).

C. Analisa Univariat
1. Self care perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
Sragen
Tabel 4.5 self care di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
Sragen.
Self care
(f) (%)
Cukup 17 37,8
Baik 28 62,2
Jumlah 45 100
Sumber : data primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa self care perawat di
ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen sebagian besar
kategori baik ada 28 responden (62,2%).
2. Self eficacy perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
Sragen.
Tabel 4.6 Self eficacy perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen.
Self eficacy
(f) (%)
Cukup 15 33,3
Baik 30 66,7
Jumlah 45 100
Sumber : data primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan bahwa self eficacy perawat di
ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen sebagian besar
kategori baik ada 30 responden (66,7%).
53

3. Perilaku burnout perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi


Prijonegoro Sragen.
Tabel 4.7 Perilaku burnout perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen.
Perilaku burnout
(f) (%)
Rendah 30 66,7
Sedang 15 33,3
Jumlah 45 100
Sumber : data primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa perilaku burnout
perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
sebagian besar kategori rendah ada 30 responden (66,7%).

D. Analisa Bivariat
1. Analisis hubungan self care dengan perilaku burnout perawat di ruang
rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen dapat dilihat hasil uji
Spearman (Rho) pada tabel 4.8 dan hasil Spearman (Rho) dapat dilihat
pada tabel 4.7 sebagai berikut :
Tabel 4.8
Hubungan self care dengan perilaku burnout perawat di ruang rawat inap
RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
Self care Perilaku burnout Coifience p value
Contingency
Rendah Sedang Total
Cukup 5 12 17 0,524 0,000
Baik 25 3 28
Jumlah 30 15 45
Sumber : data primer, 2021
Berdasarkan Tabel 4.8 dapat dilihat hasil uji statistik dengan
menggunakan Spearman (Rho) diperoleh nilai p value < 0,05 sehingga
H0 ditolak artinya ada hubungan self care dengan perilaku burnout
perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Nilai
koefisien kontingensi = 0,524 menunjukan bahwa hubungan self care
dengan perilaku burnout perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen memiliki korelasi sedang.
2. Analisis hubungan self eficacy dengan perilaku burnout perawat di ruang
rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen dapat dilihat hasil uji
Spearman (Rho) pada tabel 4.9 dan hasil Spearman (Rho) dapat dilihat
pada tabel 4.8 sebagai berikut :
54

Tabel 4.9
Hubungan self care dengan perilaku burnout perawat di ruang rawat inap
RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
Self eficacy Perilaku burnout Coifience p value
Contingency
Rendah Sedang Total
Cukup 4 11 15 0,514 0,000
Baik 26 4 30
Jumlah 30 15 45
Sumber : data primer, 2021
Berdasarkan Tabel 4.9 dapat dilihat hasil uji statistik dengan
menggunakan Spearman (Rho) diperoleh nilai p value < 0,05 sehingga
H0 ditolak artinya ada hubungan self eficacy dengan perilaku burnout
perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Nilai
koefisien kontingensi = 0,514 menunjukan bahwa hubungan self eficacy
dengan perilaku burnout perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen memiliki korelasi sedang.
55

BAB V
PEMBAHASAN

A. Analisa Univariat
1. Self care perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
Sragen.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan self care perawat di ruang
rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen sebagian besar kategori
baik sebanyak 28 responden (62,2%) dan kategori cukup sebanyak 17
responden (37,8%).
Individu yang memiliki otonomi yang rendah ditandai dengan
kemungkinan individu mudah terpengaruh oleh tekanan sosial,
ketergantungan terhadap orang lain, dan selalu membutuhkan evaluasi dan
pendapat orang lain. Sebaliknya, individu yang memiliki otonomi yang
tinggi ditandai dengan individu yang bebas, mampu menentukkan nasib
sendiri dan mengatur diri sendiri, mandiri, tahan terhadap tekanan sosial,
dan mampu mengambil keputusan tanpa ada campur tangan orang lain
(Friedman, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan umur yang paling banyak umur > 35
tahun ada 32 responden (71,1%) dan umur 20-35 tahun ada 13 responden
(28,9%). Pada umur umur > 35 tahun yang memiliki self care cukup ada 7
responden dan baik ada 25 responden. Sedangkan umur 20-35 tahun yang
memiliki self care cukup ada 10 responden dan baik ada 3 responden.
Faktor-faktor yang mempengaruhi self care antara lain usia. Usia
merupakan salah satu faktor penting pada self care. Bertambahnya usia
sering dikaitkan dengan kerusakan fungsi sensoris maupun berbagai
keterbatasan. Pemenuhan kebutuhan self care akan bertambah efektif
seiring dengan bertambahnya usia dan kemampuan (Orem dalam Astuti,
2019).
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa seiring dengan
bertambahnya usia maka pemenuhan kebutuhan self care akan bertambah
efektif seiring dengan bertambahnya usia dan kemampuan. Sebagian
besar responden memiliki self care yang baik berarti responden mampu
untuk memenuhi kebutuhan self care yaitu perawatan diri pada dirinya

55
56

sendiri, namun demikian pada usia muda ternyata mereka sudah memiliki
pemahaman yang cukup memadai tentang perilaku self care dan
manfaatnya sehingga mereka tetap melakukan perilaku self care dalam
kehidupan sehari-hari. Sedangkan mereka yang berusia tua juga memiliki
banyak pengalaman dan sudah merasakan manfaat perilaku self care.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa berusia muda maupun tua mereka
sama-sama melakukan perilaku self care dengan tujuan mencapai
perawatan diri yang optimal.
Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Kurniawati (2011)
dengan hasil penelitian menyatakan bahwa pada usia muda maupun yang
usia lebih tua menunjukkan aktifitas self care yang sama. Hasil penelitian
tidak sesuai dengan hasil penelitian Shigaki et al (2010) dengan hasil
penelitian menyatakan bahwa umur sangat berpengaruh terhadap perilaku
self care, dimana pada usia lebih tua memiliki perilaku self care yang lebih
baik daripada yang berusia muda.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak
berjenis kelamin perempuan ada 35 responden (77,8%) dan laki-laki ada
10 responden (22,2%). Pada laki-laki yang memiliki self care cukup ada 5
responden dan baik ada 5 responden. Sedangkan pada perempuan yang
memiliki self care cukup ada 12 responden dan baik ada 23 responden.
Faktor-faktor yang mempengaruhi self care antara lain jenis kelamin.
Jenis kelamin mempunyai kontribusi dalam kemampuan perawatan diri.
Pada laki-laki lebih banyak melakukan penyimpangan kesehatan seperti
kurangnya manajemen berat badan dan kebiasaan merokok dibandingkan
pada perempuan (Orem dalam Astuti, 2019).
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa pada jenis kelamin laki-
laki cenderung kurang memperhatikan perawatan dirinya, kurang dalam
manajemen kesehatan dirinya dibanding dengan jenis kelamin perempuan,
namun demikian tidak semua laki-laki kurang memperhatikan perawatan
dirinya, dan kurang dalam manajemen kesehatan dirinya ada pula laki0laki
yang sangat memperhatikan perawatan dirinya atau meiliki self care yang
baik.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Gaol (2019) sebagian besar
responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 23 orang (53,5%)
57

dan sisanya berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 20 orang (46,5% dan
didapatkan bahwa frekuensi laki laki dan perempuan yang mempunyai self
care tinggi adalah sama yaitu 20 orang (46,5) dan didapatkan juga self care
yang rendah terdapat pada perempuan sebanyak 3 orang (7,0) dan laki laki
yang self care nya rendah tidak ada (0%) jadi dapat disimpulkan bahwa laki
laki lebih tinggi self care nya dibandingkan perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan pendidikan yang paling banyak
berpendidikan D III ada 35 responden (44,4%) dan Ners ada 10 responden
(44,4%). Pada pendidikan D-3 Keperawatan yang memiliki self care cukup
ada 13 responden dan baik ada 12 responden. Sedangkan pada
pendidikan Ners yang memiliki self care cukup ada 4 responden dan baik
ada 16 responden. Perilaku self care yang terdapat pada seseorang dapat
dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya. Seseorang yang memiliki
pengetahuan akan pentingnya perilaku self care akan menerapkan perilaku
self care dalam kehidupannya sehari-hari (Young, 2010).
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa seseorang dengan
pendidikan tinggi akan mempunyai pengetahuan self care yang baik
sehingga akan memiliki perilaku self care yang baik pula, namun demikian
pengetahuan tidak hanya berasal dari bangku sekolah saja, dapat juga
berasal dari berbagai informasi baik dari media cetak maupun dari teman
kerja, sedangkan perilaku juga tidak hanya dihasilkan dari pendidikan saja
dapat juga berasal dari lingkungan sekitar.
Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Gaol (2019) dapat
diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan
yang tinggi, dimana sebanyak 22 orang (51,2%) menempuh pendidikan
terakhir SMA/sederajat, diikuti dengan akademi/PT sebanyak 14 orang
(32,6%), dan responden dengan pendidikan terkhir SD sebanyak 1 orang
(2,3%) dan pendidikan terakhir SMP sebanyak 6 orang (14,0%) dan
mayoritas yang self care nya tinggi terdapat pada pendidikan SMA yaitu
sebanyak 21 orang (48,8) sedangkan Akademi/ Perguruan tinggi hanya 14
orang ( 32,6 %).
Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Husein et al (2010)
yang menyatakan bahwa pasien dengan pendidikan tinggi akan memiliki
sikap positif dan terbuka dalam menerima informasi sehingga akan lebih
58

aktif dalam melakukan perawatan diri seperti aktivitas self care dan tidak
hanya membutuhkan pendidkan saja tetapi motivasi dan dukungan dari
keluarga dan lingkungan agar dapat meningkatkan tingkat self care yang
tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan lama kerja yang paling banyak lama
bekerja > 15 tahun ada 19 responden (42,2%), 1-5 tahun ada 10
responden (22,2%), 6-10 tahun ada 8 responden (17,8%) dan 11-15 tahun
ada 8 responden (17,8%). Pada lama kerja 1-5 tahun yang memiliki self
care cukup ada 8 responden dan baik ada 2 responden, lama kerja 6-10
tahun yang memiliki self care cukup ada 6 responden dan baik ada 2
responden, lama kerja 11-15 tahun yang memiliki self care cukup ada 2
responden dan baik ada 6 responden, lama kerja > 15 tahun yang memiliki
self care cukup ada 1 responden dan baik ada 18 responden.
Pengalaman berpengaruh terhadap efikasi diri seseorang. Ketika
pengalaman yang dialami oleh individu tersebut baik sehingga dari
pengalaman tersebut dapat meningkatkan motivasi untuk melakukan
perawatan diri dengan baik, namun apabila pengalaman sebelumnya tidak
baik maka dari pengalaman tersebut akan menurunkan motivasinya dalam
menjalankan perawatan diri sehingga dapat menyebabkan penurunan
kesehatannya (Bandura dalam Okatiranti, 2017).
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa pengalaman kerja yang
dialami oleh individu sebelumnya baik makan akan dapat meningkatkan
motivasi untuk melakukan perawatan diri dengan baik, namun apabila
pengalaman sebelumnya tidak baik maka dari pengalaman tersebut akan
menurunkan motivasinya dalam menjalankan perawatan diri.
Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Hidayah (2020) yang
menyatakan hubungan yang positif dengan orang lain menandakan bahwa
karyawan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik. Karyawan dapat
terikat dengan pekerjaannya karena salah satu faktor yang mempengaruhi
yaitu memiliki hubungan positif dengan rekan kerja, atasan bahkan
pelanggan yang ada di dalamnya. Hubungan yang terjalin antar karyawan
dapat membuat suasana bekerja lebih hidup dan harmonis. Dilihat dari
lamanya masa kerja karyawan RS Premier Surabaya ini tampak bahwa
59

hubungan antar karyawan terjalin dengan baik sehingga para karyawan


dapat bertahan dalam waktu yang cukup lama.
2. Self eficacy perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa self eficacy
perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
sebagian besar kategori baik sebanyak 30 responden (66,7%) dan kategori
cukup sebanyak 15 responden (33,3%).
Bagun (2018) menyatakan efikasi diri ialah persepsi seseorang atau
individu dalam meyakini dan menilai sejauh mana dirinya mampu
mengatasi berbagai persoalan dengan kondisi tertentu dalam hidupnya.
Efikasi diri juga dapat diartikan sebagai keyakinan yang dimiliki individu
atas kemampuan yang ia miliki untuk menyusun serta menjalankan setiap
kegiatan yang dibutuhkan guna menghasilkan sesuatu yang diinginkan.
Tinggi rendahnya efikasi diri seseorang akan menentukan kemampuan
seseorang untuk merasakan sesuatu, berpikir, bermotivasi dan berperilaku
sesuai (Paun, 2016).
Bandura dalam Fattah (2017) menyatakan bahwa perawat dikatakan
memiliki efikasi diri ketika ia memiliki magnitude yang berkaitan dengan
tingkat kesulitan tugas menekankan bahwa individu cenderung memilih
tugas berdasarkan tingkat kesulitannya, kekuatan (strenght) yang
menekankan pada sejauh mana keyakinan individu dalam melaksanakan
tugas dengan sebaik mungkin, generalisasi (generality) yang berkaitan
dengan keyakinan individu dalam menyelesaikan tugas-tugas, sementara
masih ada tugas lain yang perlu diselesaikan. Ketika perawat di masa
pandemic Covid-19 saat ini memiliki magnitude, strenght dan generality
dalam memberikan pelayanan kepada pasien dengan berbagai kondisi
maka seberat apapun pekerjaan yang mereka hadapi, mereka akan
mampu mengerjakan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai seorang
perawat.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan umur yang paling banyak umur > 35
tahun ada 32 responden (71,1%) dan umur 20-35 tahun ada 13 responden
(28,9%). Pada umur > 35 tahun yang memiliki self eficacy cukup ada 5
responden dan baik ada 27 responden. Sedangkan pada umur 20-35 tahun
60

yang memiliki self eficacy cukup ada 10 responden dan baik ada 3
responden.
Salah satu faktor yang mempengaruhi efikasi diri adalah usia
(Ismatika, 2017). Karakteristik responden berdasarkan umur berada pada
rentang usia dewasa awal (26-35 tahun). Usia 26-35 tahun merupakan
masa dewasa awal tahap penentu bagi seseorang untuk memilih bidang
pekerjaan yang sesuai dengan karir. Makin tua umur seseorang maka
proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur
tertentu, bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat
seperti ketika berumur belasan tahun. Selain itu, daya ingat seseorang
dipengaruhi oleh umur.
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa umur pada rentang
usia 26-35 tahun merupakan masa dewasa awal tahap penentu bagi
seseorang untuk memilih bidang pekerjaan yang sesuai dengan karir.
Umur 26-35 tahun merupakan usia produktif dalam melakukan pekerjaan.
Makin tua umur seseorang maka proses perkembangan mentalnya
bertambah baik, akan tetapi pada umur tertentu akan mengalami
penurunan.
Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Syeba (2019) dengan
hasil penelitian terdapat korelasi positif yang signifikan antara usia dengan
parenting self-efficacy, r = 0,586 dan p= 0,00 (p < 0,05). Semakin
meningkat usia ibu maka semakin tinggi pula parenting self-efficacy yang
dimiliki dan sebaliknya semakin muda usia ibu semakin rendah parenting
self-efficacy yang dimiliki. Besar sumbangan efektif dari usia ibu terhadap
parenting self-efficacy adalah 34,33%, sedangkan 65,67% merupakan
sumbangan dari faktor lain yang mempengaruhi parenting self-efficacy
(selain usia).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak
berjenis kelamin perempuan ada 35 responden (77,8%) dan laki-laki ada
10 responden (22,2%). Pada laki-laki yang memiliki self eficacy cukup ada
5 responden dan baik ada 5 responden. Sedangkan pada perempuan yang
memiliki self eficacy cukup ada 10 responden dan baik ada 25 responden.
Perbedaan gender juga berpengaruh terhadap efikasi diri, hal ini
dapat dilihat dari penelitian bandura yang menyatakan bahwa wanita
61

efikasinya lebih tinggi dalam mengelola perannya. Wanita yang memiliki


peran selain sebagai ibu rumah tangga juga sebagai wanita karir akan
memiliki efikasi diri yang tinggi dibandingkan dengan pria yang bekerja
(Manutung, 2018).
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa wanita efikasinya lebih
tinggi dalam mengelola perannya. Wanita yang memiliki peran selain
sebagai ibu rumah tangga juga sebagai wanita karir akan memiliki efikasi
diri yang tinggi dibandingkan dengan pria yang bekerja.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Safitri, Yolida dan Surbakti
(2019 dengan hasil penelitian self efficacy siswa laki-laki dan siswa
perempuan kelas VII SMP seKecamatan Kedaton tahun ajaran 2017/2018
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan secara signifikan. Siswa
laki-laki memperoleh skor self efficacy yang lebih tinggi dibandingkan siswa
perem-puan. Hasil uji Uji Independent Sample t- test p = 0,167.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan pendidikan yang paling banyak
berpendidikan D III ada 35 responden (44,4%) dan Ners ada 10 responden
(44,4%). Pada pendidikan D-3 Keperawatan yang memiliki self eficacy
cukup ada 11 responden dan baik ada 14 responden. Sedangkan pada
pendidikan Ners yang memiliki self eficacy cukup ada 4 responden (52,9%)
dan baik ada 16 responden.
Lestari (2014) menjelaskan bahwa pendidikan keperawatan
profesional minimal harus melalui dua tahapan, yaitu: tahap pendidikan
akademik pendidikan profesi kedua tahapan tersebut wajib diikuti, karena
merupakan tahap pendidikan yang terintegrasi, sehingga tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan lainnya. Tingkat pendidikan dapat
mempengaruhi efikasi diri berhubungan dengan kemampuan seseorang
menilai atau melakukan evaluasi terhadap tindakan yang dilakukan.
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa tingkat pendidikan
dapat mempengaruhi efikasi diri berhubungan dengan kemampuan
seseorang menilai atau melakukan evaluasi terhadap tindakan yang
dilakukan. Namun demikian efikasi diri seseorang tidak hanya ditentukan
oleh tingkat pendidikan saja, efikasi bisa didapatkan dari pengalaman atau
pengetahuan seseorang.
62

Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Larengkeng (2019)


dengan hasil penelitian yang dilakukan pada responden 61 orang,
mayoritas responden dengan pendidikan D3 yaitu sebanyak 50 orang
(82,0%) dan dan S1 Ners sebanyak 11 orang (18,0%). Hasil penelitian
juga sesuai dengan hasil penelitian Srihandayani (2016) perawat dengan
tingkat pendidikan lebih tinggi, mempunyai pertimbangan yang lebih
matang di karenakan wawasan yang lebih luas. Perawat dengan
pendidikan D3 Keperawatan dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi
mempunya efisiensi kerja dan penampilan kerja yang lebih baik. Hasil
penelitian menunjukan bahwa dari 61 Perawat mayoritas sebanyak 53
orang (86,9%) yang memiliki tingkat self efficacy yang tinggi dan 8 orang
(13,1%) memiliki tingkat self efficacy yang rendah.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan lama kerja yang paling banyak lama
bekerja > 15 tahun ada 19 responden (42,2%), 1-5 tahun ada 10
responden (22,2%), 6-10 tahun ada 8 responden (17,8%) dan 11-15 tahun
ada 8 responden (17,8%). Pada lama kerja 1-5 tahun yang memiliki self
eficacy cukup ada 8 responden dan baik ada 2 responden, lama kerja 6-10
tahun yang memiliki self eficacy cukup ada 6 responden dan baik ada 2
responden, lama kerja 11-15 tahun yang memiliki self eficacy cukup ada 0
responden dan baik ada 8 responden, lama kerja > 15 tahun yang memiliki
self eficacy cukup ada 1 responden dan baik ada 18 responden.
Pengalaman menguasai sesuatu yaitu performa masa lalu secara
umum performa yang berhasil akan menaikan efikasi diri individu,
sedangkan pengalaman pada kegagalan akan menurunkan, setelah efikasi
diri kuat dan berkembang melalui serangkaian keberhasilan, dampak
negatif dari kegagalankegagalan yang umumnya akan terkurangi secara
sendirinya. Bahkan kegagalan tersebut dapat diatasi dengan memperkuat
motivasi diri apabila seseorang menemukan hambatan yang tersulit melalui
usaha yang terus-menerus. Pengalaman merupakan salah satu cara
kepemilikan pengetahuan yang di alami seseorang dalam kurun waktu
yang tidak di tentukan. Perawat yang memiliki masa kerja lebih lama
tentunya mempunyai pengalaman yang lebih banyak. Pengalaman ini
dapat berguna ketika perawat menghadapi masalah terkait dengan pasien
atau masalah internal dalam dunia keperawatan (Susanti, 2013).
63

Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa pengalaman


merupakan salah satu cara kepemilikan pengetahuan yang di alami
seseorang dalam kurun waktu yang tidak di tentukan. Perawat yang
memiliki masa kerja lebih lama tentunya mempunyai pengalaman yang
lebih banyak. Pengalaman ini dapat berguna ketika perawat menghadapi
masalah terkait dengan pasien atau masalah internal dalam dunia
keperawatan.
Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Manutung (2018) yang
menyatakan tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efikasi diri
diantaranya yaitu faktor pengalaman menguasai sesuatu. Pengalaman
merupakan salah satu cara kepemilikan pengetahuan yang di alami
seseorang dalam kurun waktu yang tidak di tentukan. Perawat yang
memiliki masa kerja lebih lama tentunya mempunyai pengalaman yang
lebih banyak. Pengalaman ini dapat berguna ketika perawat menghadapi
masalah terkait dengan pasien atau masalah internal dalam dunia
keperawatan (Susanti, 2013).
Hasil penelitian tidak sesuai dengan penelitian Ester dan Warda
(2020) tentang “Efikasi diri perawat dalam pemenuhan kebutuhan spiritual
pasien” didapatkan dari 27 responden yang memiliki efikasi diri rendah
sebanyak 17 responden memiliki masa kerja >3 tahun, faktor lama kerja
mempengaruhi rendahnya efikasi diri seseorang, hal ini berbanding lurus
dengan bertambahnya usia, seseorang yang bekerja dalam kategori lama
akan menyebabkan produktivitas menurun sehingga memiliki keyakinan diri
yang rendah.
3. Perilaku burnout perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku burnout
perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
sebagian besar kategori rendah sebanyak 30 responden (66,7%) dan
kategori sedang sebanyak 15 responden (33,3%).
Harninda (2015) mengatakan bahwa burnout merupakan kondisi
kelelahan kerja yang dialami oleh perawat, yang disebabkan oleh faktor
personal, keluarga, dan lingkungan kerja. Keadaan ini akan membuat
suasana di dalam pekerjaan menjadi dingin, tidak menyenangkan, dedikasi
dan komitmen menjadi berkurang, performan dan prestasi pekerja menjadi
64

tidak maksimal. Hal ini membuat pekerja menjaga jarak, tidak mau terlibat
dengan lingkungannya (Dyanda, 2019).
Burnout yang terjadi karena stres kerja yang berkepanjangan
merupakan suatu keadaan yang tidak dapat dihindari oleh perawat dalam
menjalankan tugasnya. Leither and Maslach (2001) dalam Pamungkas
(2018) menjelaskan bahwa Individu dikatakan memiliki burnout jika orang
tersebut mengalami kelelahan emosional (emotional exhaustion) yaitu
ketika individu merasa terkuras secara emosional disebabkan oleh
banyaknya pekerjaaan yang ditanggung, perawat mulai merasa terbebani
oleh tugas-tugas pekerjaannya sehingga individu kurang mampu
memberikan pelayanan kepada orang lain, depersonalisasi yaitu proses
individu dalam mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan pekerjaan
dengan kemampuan individu itu sendiri ia akan bersikap negatif, dan mulai
menjaga jarak dengan pasien dan lingkungan tempat ia bekerja dan
penurunan prestasi diri perawat akan merasa kurang puas terhadap diri
sendiri, pekerjaan dan kehidupannya, individu mulia merasa bahwa ia tidak
dapat memberikan hal yang bermanfaat bagi orang lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Wirati, dkk (2020) tentang
“Hubungan burnout dengan motivasi kerja perawat pelaksana”
menunjukkan bahwa sebagian besar burnout perawat pelaksana
dikategorikan sedang. Hal ini terjadi akibat kelelahan emosional,
depersonalisasi, dan kurangnya penghargaan diri, karena semakin
meningkatnya tingkat burnout yang dialami oleh individu akan
mempengaruhi pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien
(Prestianan, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan umur yang paling banyak umur > 35
tahun ada 32 responden (71,1%) dan umur 20-35 tahun ada 13 responden
(28,9%). Pada pendidikan umur 20-35 tahun yang mengalami burnout
sedang ada 10 responden dan rendah ada 3 responden. Sedangkan pada
umur > 35 tahun yang mengalami burnout sedang ada 5 responden dan
rendah ada 27 responden.
Umur berpengaruh dalam kemampuan mengatasi masalah yang
berpengaruh terhadap burnout. Orang yang berusia muda memiliki
kemungkinan mengalami burnout lebih besar daripada orang yang berusia
65

lebih tua. Para pekerja pelayanan publik bekerja dengan harapan yang
tidak realistis jika dibanding dengan pekerja yang lebih tua. Seiring dengan
pertambahan usia pada umumnya individu menjadi lebih stabil, lebih
matang dan lebih teguh sehingga memiliki pandangan yang lebih realistis
(Maslach, C., & Leiter, M. P, 2016).
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa orang yang berusia
muda memiliki kemungkinan mengalami burnout lebih besar daripada
orang yang berusia lebih tua. Para pekerja pelayanan publik bekerja
dengan harapan yang tidak realistis jika dibanding dengan pekerja yang
lebih tua.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ramdan dan fadly (2016)
dengan hasil penelitian bahwa umur perawat sebagian besar berada pada
kisaran 20–30 tahun yaitu sebanyak 62 orang (49,6%), 31-40 tahun
sebanyak 29 responden (23,2%) dan > 40 tahun sebanyak 34 responden
(27,2%). Bahwa variabel umur tidak berhubungan dengan kejadian burnout
(p-value 0.0426).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak
berjenis kelamin perempuan ada 35 responden (77,8%) dan laki-laki ada
10 responden (22,2%). Pada laki-laki yang mengalami burnout sedang ada
6 responden dan rendah ada 4 responden. Sedangkan pada perempuan
yang mengalami burnout sedang ada 9 responden dan rendah ada 26
responden.
Pria cenderung mengalami depersonalisasi sedangkan wanita
cenderung mengalami kelelahan emosional. Perbedaan jenis kelamin
dapat mempengaruhi cara seseorang dalam menyikapi masalah di
lingkungan. Hal ini terjadi karena pria dan wanita tumbuh dan dibesarkan
dengan cara berbeda. Pria lebih cenderung bertindak tegas, tegar dan
tanpa emosional, sedangkan wanita lebih pada perilaku kasih sayang dan
lembut. Artinya, laki-laki cenderung menjaga jarak dengan penerima
pasien, cenderung tidak peduli terhadap lingkungan serta orang-orang di
sekitarnya dan mengurangi kontak dengan pasien (Maslach, C., & Leiter,
M. P, 2016).
Terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi burnout yaitu faktor
internal dan faktor eksternal, dalam faktor internal meliputi jenis kelamin
66

(Maharani, 2012). Wanita memperlihatkan frekuensi lebih besar untuk


mengalami burnout dari pada pria, disebabkan karena seringnya wanita
mengalami kelelahan emosional. Di samping itu juga wanita lebih
menunjukkan tingkat burnout yang tinggi secara signifikan dengan
memperhatikan konflik antara karir dan keluarga dibandingkan dengan pria
(Sari, 2015).
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa Wanita memperlihatkan
frekuensi lebih besar untuk mengalami burnout dari pada pria, disebabkan
karena seringnya wanita mengalami kelelahan emosional. Di samping itu
juga wanita lebih menunjukkan tingkat burnout yang tinggi secara signifikan
dengan memperhatikan konflik antara karir dan keluarga dibandingkan
dengan pria .
Hasil sesuai dengan hasil penelitian Topan (2018) tentang burnout
di RSUD Wangaya menunjukkan perawat yang mengalami burnout pada
tingkat sedang sebanyak 75 orang (56,8%) dari 132 responden. Dari hasil
penelitian yang dilakukan di ruang IGD dan ICU RSUD S. K. Lerik Kupang
diperoleh hasil dari 34 responden didapatkan 13 responden memiliki efikasi
diri sedang, sebanyak 10 responden (83%) memiliki jenis kelamin
perempuan dan 2 responden (17%) memiliki jenis kelamin perempuan.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2015)
tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan burnout perawat di RSUD
Haji Makassar didapatkan responden yang mengalami burnout sedang dan
berjenis kelamin perempuan (36%) lebih tinggi daripada responden yang
mengalami burnout sedang dan berjenis kelamin laki-laki (9%).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mawarti dan Yusnilawati
(2018) dengan hasil penelitian burnout banyak dialami oleh perawat yang
berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan uji analisis Chi-Square dengan
tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) diperoleh p-value (0,825) > α (0,05),
maka H0 diterima yaitu tidak ada hubungan jenis kelamin dengan tingkat
burnout pada perawat di ruang instalasi rawat inap RSUD Raden Mattaher
rumah sakit abdul manap Jambi tahun 2017.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan pendidikan yang paling banyak
berpendidikan D III ada 35 responden (44,4%) dan Ners ada 10 responden
(44,4%). Pada pendidikan D-3 Keperawatan yang mengalami burnout
67

sedang ada 11 responden dan rendah ada 14 responden. Sedangkan pada


pendidikan Ners yang mengalami burnout sedang ada 4 responden dan
rendah ada 16 responden.
Burnout berhubungan dengan tingginya tingkat pendidikan. Perawat
yang memiliki pendidikan tinggi cenderung rentan terhadap burnout, karena
memiliki harapan atau aspirasi yang ideal sehingga ketika dihadapkan
pada realitas bahwa terdapat kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan,
maka muncullah kegelisahan dan kekecewaan yang dapat menimbulkan
burnout. Teori dari Siagian mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka semakin besar keinginan untuk memanfaatkan
pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya serta semakin besar pula
tuntutan pekerjaan sehingga berpengaruh terhadap perilaku kerjanya
(Maslach, C., & Leiter, M. P, 2016).
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka semakin besar keinginan untuk memanfaatkan
pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya serta semakin besar pula
tuntutan pekerjaan sehingga berpengaruh terhadap perilaku kerjanya.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mawarti dan Yusnilawati (2018)
dengan hasil penelitian burnout banyak dialami perawat dengan tingkat
pendidikan vokasional. Berdasarkan uji analisis chi square dengan tingkat
kepercayaan 95% (α = 0,05), maka diperoleh p-value (0,074) > α (0,05),
maka maka H0 diterima yaitu tidak ada hubungan tingkat pendidikan
dengan tingkat burnout pada perawat di ruang Instalasi Rawat Inap RSUD
Raden Mattaher dan Rumah sakit Abdul Manaf Jambi tahun 2017.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
karakteristik responden berdasarkan lama kerja yang paling banyak lama
bekerja > 15 tahun ada 19 responden (42,2%), 1-5 tahun ada 10
responden (22,2%), 6-10 tahun ada 8 responden (17,8%) dan 11-15 tahun
ada 8 responden (17,8%). Pada lama kerja 1-5 tahun yang memiliki
burnout sedang ada 8 responden dan rendah ada 2 responden, lama kerja
6-10 tahun yang memiliki burnout sedang ada 4 responden dan rendah ada
4 responden, lama kerja 11-15 tahun yang memiliki burnout sedang ada 3
responden dan rendah ada 5 responden, lama kerja > 15 tahun yang
memiliki burnout sedang ada 0 responden dan rendah ada 19 responden.
68

Pekerja pelayanan publik seperti perawat sering mengalami


depersonalisasi sehingga menjauhkan diri dari pekerjaan yang menguras
emosi. Pekerja dengan lama kerja yang dini cenderung lebih jenuh, karena
baru memulai adaptasi dan menguasai pekerjaannya dan mulai belajar
menguasai pekerjaan, oleh sebab itu semakin lama karyawan bekerja
maka akan semakin terbiasa dengan pekerjaannya. Kejenuhan sering
terjadi pada karyawan dengan masa kerja yang sedikit, karena semakin
lama karyawan bekerja ia akan semakin terbiasa dengan pekerjaannya,
sedangkan untuk karyawan yang baru memulai menguasai pekerjaannya
dan mulai belajar menguasai pekerjaan secara tidak langsung dapat
menjadi beban dan stress pada pegawai baru yang pada akhirnya dapat
menyebabkan kejenuhan dalam bekerja (Maslach, C., & Leiter, M. P,
2016).
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa kejenuhan sering
terjadi pada karyawan dengan masa kerja yang sedikit, karena semakin
lama karyawan bekerja ia akan semakin terbiasa dengan pekerjaannya,
sedangkan untuk karyawan yang baru memulai menguasai pekerjaannya
dan mulai belajar menguasai pekerjaan secara tidak langsung dapat
menjadi beban dan stress pada pegawai baru yang pada akhirnya dapat
menyebabkan kejenuhan dalam bekerja.
Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Mawarti dan
Yusnilawati (2018) dengan hasil penelitian burnout banyak dialami perawat
dengan masa kerja 1-5 tahun dengan 48,1% untuk burnout ringan dan
40,7% untuk burnout sedang. Berdasarkan uji analisis fisher dengan tingkat
kepercayaan 95% (α = 0,05), maka diperoleh pvalue (0,098) > α (0,05),
maka H0 diterima yaitu tidak ada hubungan masa kerja dengan tingkat
burnout pada perawat di ruang instalasi rawat inap RSUD Raden Mattaher
dan Rumah Sakit Abdul Manap Jambi tahun 2017.

B. Analisa Bivariat
1. Hubungan self care dengan perilaku burnout perawat di ruang rawat
inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan pada bulan April-
Mei 2021 di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
didapatkan hasil bahwa self care cukup dengan perilaku burnout rendah
69

ada 5 responden, self care cukup dengan perilaku burnout sedang ada 12
responden, self care baik dengan perilaku burnout rendah ada 25
responden dan self care baik dengan perilaku burnout sedang ada 3
responden.
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Spearman Rho diperoleh
nilai sig sebesar 0,008 dan nilai koefisien korelasi 0,524**. Nilai sig 0,000
maka nilai sig < 0,05, dengan demikian pvalue < 0,05 maka Ho ditolak, Ha
diterima berarti ada hubungan self care dengan perilaku burnout perawat di
ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
Nilai koefisien korelasi 0,524** dan bersifat positif maka tingkat
kekuatan korelasi antara hubungan hubungan self care dengan perilaku
burnout perawat mempunyai tingkat korelasi hubungan yang sedang dan
bersifat tidak searah.
Self care merupakan kemampuan individu untuk melakukan
perawatan diri. Apabila seseorang jatuh pada kondisi sakit, kondisi yang
melelahkan (stres fisik dan psikologik) dapat mengalami gangguan atau
hambatan. Defisit perawatan diri terjadi bila agen keperawatan atau orang
yang memberikan perawatan diri baik pada diri sendiri atau orang lain tidak
dapat memenuhi kebutuhan perawatan dirinya. Perawatan diri adalah
tindakan yang diprakarsai oleh individu dan diselenggarakan berdasarkan
adanya kepentingan untuk mempertahankan hidup, fungsi tubuh yang
sehat, perkembangan dan kesejahteraan (Orem dalam Ariani, 2016).
Dimensi dari self care antara lain : (1) physical wellbeing melibatkan
pola makan sehat, cukup tidur, aktivitas fisik cukup secara teratur,
mencegah dan mengelola penyakit dan kondisi kesehatan. (2) mental/
emotional/ spiritual wellbeing melibatkan kemampuan untuk mengatasi
kesulitan hidup secara efektif, sadar secara emosional, dan memiliki
hubungan yang sehat dengan diri sendiri dan orang lain. (3) professional
life/work/ career melibatkan pekerjaan yang memenuhi dan memperkaya,
baik itu pekerjaan profesional atau pekerjaan akademis. (4) social
life/family/relationships melibatkan memiliki jaringan dukungan yang kuat,
merasa terhubung dengan orang lain, dan memiliki rasa memiliki (J.
Flowers Health Institute, 2020).
Hasil penelitian sesuai dengan penelitian Arizal (2018) berjudul
hubungan antara psychological well-being dan iklim organisasi dengan
70

burnout pada perawat rsud X Kabupaten Pati dilakukan pada 100 orang
perawat di RSUD X menjelaskan masing-masing dimensi variabel
psychological well-being hanya 3 (tiga) dimensi yang memiliki pengaruh
tehadap burnout yaitu dimensi penerimaan diri yang berhubungan dengan
burnout (nilai rx1.1y = -0,403) dengan koofisien korelasi sebesar (0,000).
Disusul dengan dimensi hubungan positif dengan orang lain dengan nilai
rx1.2y = -0,205, engan koofisien korelasi sebesar (0,002) dan terakhir
dimensi tujuan hidup rx1.6y = -0,305 dengan koofisien korelasi sebesar
(0,001). Ketiga dimensi psychological well-being masing-masing memiliki
hubungan yang sangat signifikan. Dimensi hubungan positif dengan orang
lain memiliki pengaruh hubungan yang paling kuat atau tinggi, dan dimensi
penerimaan diri memiliki pengaruh hubungan yang paling lemah atau
rendah.
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa seorang perawat yang
sedang bekerja pada masa pandemi Covid-19 saat ini, apabila seorang
perawat memiliki self care terdiri dari dimensi physical wellbeing, mental/
emotional/ spiritual wellbeing, professional life/work/ career dan social
life/family/relationships yang tinggi atau mampu melakukan perawatan diri
yang baik maka perawat tersebut akan terhindar dari kondisi yang
melelahkan atau terjadi burnout.
2. Hubungan self eficacy dengan perilaku burnout perawat di ruang
rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan pada bulan April-
Mei 2021 di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
didapatkan hasil bahwa self eficacy cukup dengan perilaku burnout rendah
ada 4 responden, self eficacy cukup dengan perilaku burnout sedang ada
11 responden, self eficacy baik dengan perilaku burnout rendah ada
26responden dan self eficacy baik dengan perilaku burnout sedang ada 4
responden.
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Spearman Rho diperoleh
nilai sig sebesar 0,008 dan nilai koefisien korelasi 0,514**. Nilai sig 0,000
maka nilai sig < 0,05, dengan demikian pvalue < 0,05 maka Ho ditolak, Ha
diterima berarti ada hubungan self eficacy dengan perilaku burnout perawat
di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
71

Nilai koefisien korelasi 0,514** dan bersifat positif maka tingkat


kekuatan korelasi antara hubungan self eficacy dengan perilaku burnout
perawat mempunyai tingkat korelasi hubungan yang sedang dan bersifat
tidak searah.
Efikasi diri merupakan keyakinan individu terhadap kemampuan yang
dimiliki oleh untuk dapat mengontrol dirinya sehingga ia mampu mengatasi
berbagai kegiatan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya guna
mencapai tujuan tertentu (Suseno, 2012). Seseorang memiliki efikasi diri
baik jika ia mampu mengatasi tingkat kesulitan tugas, memiliki kekuatan
dalam menjalankan tugasnya dengan tingkat keluasan bidang tugasnya
tersebut. Jika individu memiliki efikasi diri yang rendah maka dia akan
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya dengan baik,
sehingga individu tersebut cenderung mengalami kelelahan baik secara
fisik maupun emosional yang mengarah kepada kejenuhan kerja atau yang
disebut dengan burnout (Fismasari, 2013). Beberapa indikator ketika
seseorang dikatakan mengalami burnout yaitu: kelelahan emosional,
depersonalisasi, penurunan prestasi pribadi (Pamungkas, 2018).
Hal isi sesuai dengan hasil penelitian Kapu (2020) berjudul “Hubungan
Efikasi Diri Dengan Burnout Pada Perawat Di Ruang Instalasi Gawat
Darurat (Igd) Dan Intensive Care Unit (ICU) RSUD S. K. Lerik Kota
Kupang” menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara efikasi diri
dengan burnout pada perawat di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan
Intensive Care Unit (ICU) RSUD S. K. Lerik Kupang, uji statistic (Chi
Square) diperoleh ρ value = 0,025 ≤ 0,05.
Hal ini jugas sesuai dengan hasil penelitian Prestiana (2012) berjudul
“Hubungan antara Efikasi Diri (Self Efficacy) dan Stres Kerja dengan
Kejenuhan Kerja Burnout) pada perawat IGD dan ICU RSUD Kota Bekasi “
didapatkan hasil semakin tinggi tingkat self efficacy perawat maka semakin
rendah burnout. Hal ini sesuai dengan karakteristik subyek yang mayoritas
memiliki tingkat self efficacy yang tergolong sedang yaitu sebesar 49% (18
orang) dan tingkat burnout yang tergolong rendah yaitu sebesar 38% (14
orang).
Menurut analisis peneliti lebih lanjut, bahwa seorang perawat yang
sedang bekerja pada masa pandemi Covid-19 saat ini, apabila seorang
perawat memiliki self efficacy tinggi mereka mampu melaksanakan tugas
72

sulit sebagai tantangan yang harus dikuasai bukan sebagai ancaman yang
dihindari akan memiliki self efficacy yang tinggi percaya bahwa mereka
mampu melakukan sesuatu untuk mengubah kejadian-kejadian
disekitarnya maka perawat tersebut akan terhindar dari kondisi yang
melelahkan atau terjadi burnout.
C. Keterbatasan Penelitian
Berdasarkan pada pengalaman langsung peneliti dalam proses
penelitian ini, ada beberapa keterbatasan yang dialami dan dapat menjadi
beberapa faktor yang agar dapat untuk lebih diperhatikan bagi peneliti-peneliti
yang akan datang dalam lebih menyempurnakan penelitiannya karena
penelitian ini sendiri tentu memiliki kekurangan yang perlu terus diperbaiki
dalam penelitian-penelitian kedepannya. Beberapa keterbatasan dalam
penelitian tersebut, antara lain :
1. Tempat Penelitian
Tempat penelitian ini hanya mengambil tempat di ruang rawat inap RSUD
dr. Soehadi Prijonegoro Sragen sehingga generalisanya sangat terbatas.
Penelitian selanjutnya dapat menambah jumlah tempat penelitian dengan
melibatkan beberapa tempat rumah sakit.
2. Instrument
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini disusun oleh penulis
berdasarkan sumber dari beberapa literature yang diketahui oleh penulis
dengan bimbingan dari pembimbing skripsi yang terlebih dahulu telah
dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas, namun demikian keterbatasan
pengetahuan dari penulis maka perlu dilakukan perbaikan instrument untuk
penelitian yang akan datang dengan mengikuti perkembagan ilmu dan
pengetahuan.
3. Data Penelitian
Dalam penelitian ini data yang dihasilkan hanya dari instrumen kuesioner
yang didasarkan pada persepsi jawaban responden, sehingga kesimpulan
yang diambil hanya berdasarkan data yang dikumpulkan melalui
penggunaan instrumen kuesioner secara tertulis tanpa dilengkapi dengan
wawancara dan interview.
73

BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan judul
“Hubungan self care dan self eficacy dengan perilaku burnout perawat di
ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen” maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Self care perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
Sragen sebagian besar kategori baik ada 28 responden (62,2%).
2. Self eficacy perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
Sragen sebagian besar kategori baik ada 30 responden (66,7%).
3. Perilaku burnout perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen sebagian besar kategori rendah ada 30 responden
(66,7%).
4. Hasil uji statistik dengan menggunakan Spearman (Rho) diperoleh nilai p
value < 0,05 sehingga H0 ditolak artinya ada hubungan self care dengan
perilaku burnout perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen. Nilai koefisien korelasi 0,524** dan bersifat positif
maka tingkat kekuatan hubungan yang sedang dan bersifat tidak searah.
5. Hasil uji statistik dengan menggunakan Spearman (Rho) diperoleh nilai p
value < 0,05 sehingga H0 ditolak artinya ada hubungan self eficacy
dengan perilaku burnout perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen. Nilai koefisien korelasi 0,514** dan bersifat positif
maka tingkat kekuatan hubungan yang sedang dan bersifat tidak searah.

B. Saran
1. Bagi Universitas Muhammadiyah Kudus
Bagi Universitas Muhammadiyah Kudus disarankan dapat menjadikan
hasil penelitian ini digunakan sebagai sumber literatur, rujukan atau
bahan pembelajaran dan referensi bagi yang akan melakukan penelitian
lebih lanjut tentang tentang hubungan self care dan self eficacy dengan
perilaku burnout.

73
74

2. Bagi Rumah Sakit


Bagi Ruang rawat inap RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen disarankan
agar memperhatikan self care dan self efficacy perawat dengan
melakukan pelatihan, seminar, work shorp secara berkala untuk
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman perawat sehingga tidak
terjadi burnout pada perawat.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini baru mengetahui hubungan self care dan self eficacy
dengan perilaku burnout, sehingga untuk peneliti selanjutnya disarankan
dapat mengembangkan penelitian lanjutan dengan meneliti faktor-faktor
yang berkaitan dengan perilaku burnout.

Anda mungkin juga menyukai