Anda di halaman 1dari 26

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kebiasaan konsumsi

energi protein dan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada

anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.Penelitian dilaksanakan

pada siswa-siswi kelas IV, V dan VI yang berumur diantara 7-12 tahun yang

berjumlah 64 orang.Penelitian ini berlangsung selama 10 hari terhitung dari

tanggal 22 - 31 Oktober 2018.

Peneliti mewawancarai responden menggunakan kuesioner hubungan

kebiasaan konsumsi energi protein dan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan

kejadian stunting, dimana kebiasaan konsumsi energi protein diukur

menggunakan formulir food frequency question (FFQ) dan formulir food recall

untuk mengukur tingkat kecukupan energi protein, sedangkan tingkat sosial

ekonomi keluarga dilihat dari pendidikan ibu dan pendapatan keluarga.

Dalam bab ini akan diuraikan gambaran umum tentang Sekolah Dasar

Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo, kualitas instrumen (validitas dan reliabilitas)

karakteristik responden serta analisis data univariat dan analisis bivariat.

4.1.1 Gambaran umum Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo terletak jalan Beringin,

Kecamatan Dungingi, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Memiliki luas

bangunan sebesar 427 m2 dan mulai beroperasi sejak tahun 1994.Pendidik

dantenaga kependidikan terdiri dari kepala sekolah, 9 orang pendidik dan 3 orang

tenaga kependidikan.

45
46

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo memiliki 6 ruang kelas,

ruangan perpustakaan, ruang UKS. Ruang kantor terdiri dari ruang kepala

sekolah, ruang kantor guru, ruang TU. Ruang penunjang terdiri dari gudang,

kamar mandi guru, kamar mandi siswa.Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota

Gorontalo juga didukung dengan fasilitas lain seperti lapangan upacara dan

lapangan bulu tangkis. Proses belajar mengajar dilakukan setiap hari Senin sampai

hari Jum’at mulai pukul pukul 07.30 WITA sampai dengan pukul 14.30 WITA.

SD Negeri 24 Kota Gorontalo memiliki satu kantin yang menyediakan

makanan-makanan ringan (snack) serta minuman yang terdiri dari minuman gelas

yang mempunyai rasa dan warna beragam.Di sekitar sekolah terdapat pedagang

pedagang yang menjual makanan seperti somay, tahu krispi, sosis, serta pedagang

yang menjual minuman seperti es jeruk dan es cendol.

4.1.2 Karakteristik responden

Karakteristik adalah ciri secara alamiah yang melekat pada diri seseorang.

Adapun beberapa karakter responden yang akan diuraikan dalam penelitian ini

meliputi umur, jenis kelamin dan kelas.

1. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan uraian di atas diketahui data jenis kelamin yang dilahirkan oleh

ibu yang dapat dilihat pada tabel 4.1bberikut ini:

Tabel 4.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis kelamin Anak di Sekolah Dasar
Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo
Frekuensi
No Jenis Kelamin
n %
1 Laki-Laki 35 54.69
2 Perempuan 29 45.31
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018
47

Berdasarkan data pada tabel 4.1 di atas dapat dijelaskan bahwa anak yang

berjenis kelami laki-laki sebanyak 35 orang (54,69%) sedangkan yang perempuan

sebanyak 29 orang(45,31%). Sehingga laki-laki menjadi responden yang paling

dominan.

2. Karakteristik responden berdasarkan umur

Umur adalah waktu atau bertambahnya hari sejak lahir sampai akhir hidup.

Umur dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang, semakin bertambah usia maka

akan semakin banyak pengetahuan yang didapat. Distribusi responden menurut

usia ditampilkan pada tabel 4.2 berikut ini:

Tabel 4.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Kelompok Umur Anak di Sekolah Dasar
Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo
Frekuensi
No Umur
n %
1 7-8 Tahun 1 1.56
2 9-10 Tahun 33 51.56
3 11-12 Tahun 30 46.88
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan data pada tabel 4.2 di atas diketahui bahwa anak yang menjadi

responden sebagian besar berumur antara 9-10 tahun yang berjumlah 33 orang

(51,56%), sedangkan paling sedikit pada umur 7-8 tahun berjumlah 1 orang

(1,56%). Sehingga dengan demikian responden dalam penelitian ini didominasi

oleh anak yang berumur 8 tahun ke atas.

3. Karakteristik responden berdasarkan kelas

Adapun gambaran umum responden yang menjadi responden penelitian

berdasarkan Pekerjaan responden beserta uji univariat ini disajikan dalam tabel

4.3berikut ini.
48

Tabel 4.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Kelas Anak di Sekolah Dasar Negeri
(SDN) 24 Kota Gorontalo
Frekuensi
No Kelas
n %
1 Kelas IV 17 26.56
2 Kelas V 23 35.94
3 Kelas VI 24 37.50
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan data pada tabel 4.3 di atas diketahui bahwa sebagian besar anak

yang menjadi responden berada pada kelas VI yakni sebanyak 24 (37,50%)

sedangkan yang paling kecil frekuensinya yakni kelas IV yakni sebanyak 17 orang

( 26,56%).

4.1.3 Analisis Data Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh informasi secara umum

tentang variabel yang diteliti yaitu variabel kebiasaan konsumsi energi protein,

tingkat sosial ekonomi keluarga dan variabel kejadian stunting pada anak.

1. Variabel kejadian stunting pada anak

Data kejadian stunting pada anak berdasarkan hasil jawaban responden

disajikan pada tabel 4.4 berikut ini:

Tabel 4.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Kejadian Stunting pada Anak di Sekolah
Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo
Frekuensi
No Kejadian Stunting
n %
1 Stunting 27 42.19
2 Normal 37 57.81
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan data pada tabel 4.4 di atas dijelaskan bahwa responden yang

dalam kategori mengalami kejadianstunting sebanyak 27 orang atau sebesar


49

42,19% sementara anak yang kategori normal sebanyak 37 orang atau sebesar

57,81% dari keseluruhan sampel penelitian.

Tabel 4.5 Distribusi Kejadian Stunting Berdasarkan Jenis KelaminPada Anak di


Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo
Kejadian Stunting
Karakteristik Stunting Normal
n % n %
Laki-laki 15 55,5 20 54,1
Jenis kelamin
Perempuan 12 45,5 17 45,9
Total 27 100 37 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan data pada tabel 4.5 di atas dijelaskan bahwa kejadian stunting

paling banyak pada responden laki-laki sebanyak 15 orang (55,5%), dan untuk

responden perempuan sebanyak 12 orang (45,5%). Sedangkan untuk kategori

normal responden laki-laki sebanyak 20 orang (54,1%) dan perempuan sebanyak

17 orang (45,9%).

Tabel 4.6 Distribusi Kejadian Stunting Berdasarkan UmurPada Anak di Sekolah


Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo
Kejadian Stunting
Karakteristik Stunting Normal
n % n %
7-8 tahun 1 3,7 0 0
Umur 9-10 tahun 18 66,6 15 40,5
11-12 tahun 8 29,6 22 59,5
Total 27 100 37 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan data pada tabel 4.6 di atas dijelaskan bahwa kejadian stunting

paling banyak pada kelompok umur 9-10 tahun sebanyak 18 orang (66,6%), 11-

12 tahun sebanyak 8 orang (28,6%) dan 1 orang (3,7%) pada kelompok umur 7-8

tahun. Sedangkan pada kategori normal paling banyak pada kategori 11-12 tahun

sebanyak 22 orang (59,5%) dan pada kelompok umur 9-10 tahun sebanyak 15

orang (40,5%).
50

Tabel 4.7 Distribusi Kejadian Stunting BerdasarkanKelas Pada Anak di Sekolah


Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo
Kejadian Stunting
Karakteristik Stunting Normal
n % n %
Kelas IV 9 33,3 8 21,6
Kelas Kelas V 15 55,5 8 21,6
Kelas VI 3 11,1 21 56,7
Total 27 100 37 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan data pada tabel 4.7 di atas dijelaskan bahwa kejadian stunting

paling banyak pada kelas V sebanyak 15 orang (55,5%),pada kelas IV sebanyak 9

orang (33,3%) dan kelas VI sebanyak 3 orang(11,1%).

2. Variabel kebiasaan konsumsi energi

Data kebiasaan konsumsi energi berdasarkan hasil jawaban responden

disajikan pada tabel berikut ini:

Tabel 4.8 Distribusi Sampel Berdasarkan Kebiasaan Konsumsi Energi


Frekuensi
No Kebiasaan Konsumsi Energi
n %
1 Tinggi 37 57.81
2 Sedang 27 42.19
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.8 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki

kebiasaan yang tinggi sebanyak 37 orang atau sebesar 57,81% sementara anak

yang memiliki kebiasaan sedang sebanyak 27 orang atau sebesar 42,19% dari

keseluruhan sampel penelitian.

3. Variabel kebiasaan konsumsi protein

Data kebiasaan konsumsi protein berdasarkan hasil jawaban responden

disajikan pada tabel berikut ini:


51

Tabel 4.9 Distribusi Sampel Berdasarkan Kebiasaan Konsumsi Protein


Frekuensi
No Kebiasaan Konsumsi Protein
n %
1 Tinggi 38 59.38
2 Sedang 26 40.63
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.9 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki

kebiasaan konsumsi protein yang tinggi sebanyak 38 orang atau sebesar 59,3%

sementara anak yang memiliki kebiasaan konsumsi protein yang sedang sebanyak

26 orang atau sebesar 40,63% dari keseluruhan sampel penelitian.

4. Variabel tingkat kecukupan energi

Data tingkat kecukupan energi berdasarkan hasil jawaban responden

disajikan pada tabel berikut ini:

Tabel 4.10 Distribusi Sampel BerdasarkanTingkat Kecukupan Energi


Frekuensi
No Tingkat Kecukupan Energi
n %
1 Baik 40 62.50
2 Kurang 24 37.50
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.10 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki

jumlah konsumsi energi yang baik sebanyak 40 orang atau sebesar 62,50%

sementara anak yang memiliki jumlah konsumsi energi yang kurang sebanyak 24

orang atau sebesar 37,50% dari keseluruhan sampel penelitian.

5. Variabel tingkat kecukupan protein

Data tingkat kecukupan protein berdasarkan hasil jawaban responden

disajikan pada tabel berikut ini:


52

Tabel 4.11 Distribusi Sampel BerdasarkanTingkat Kecukupan Protein


Frekuensi
No Tingkat Kecukupan Protein
n %
1 Baik 39 60.94
2 Kurang 25 39.06
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.11 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki

jumlah konsumsi protein yang baik sebanyak 39 orang atau sebesar 60,94%

sementara anak yang memiliki jumlah konsumsi protein yang kurang sebanyak 25

orang atau sebesar 39,06% dari keseluruhan sampel penelitian.

6. Variabel pendidikan ibu

Data pendidikan ibu berdasarkan hasil jawaban responden disajikan pada

tabel berikut ini:

Tabel 4.12 Distribusi Sampel Berdasarkan Pendidikan Ibu


Frekuensi
No Pendidikan Ibu
n %
1 Tinggi 47 73.44
2 Rendah 17 26.56
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.12 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki ibu

berpendidikan tinggi sebanyak 47 orang atau sebesar 73,44% sementara anak

yang memiliki ibu berpendidikan rendah sebanyak 17 orang atau sebesar 26,56%

dari keseluruhan sampel penelitian.

7. Variabel pendapatan keluarga

Data pendapatan keluarga berdasarkan hasil jawaban responden disajikan

pada tabel berikut ini:


53

Tabel 4.13 Distribusi Sampel Berdasarkan Pendapatan keluarga


Frekuensi
No Pendapatan Keluarga
n %
1 Tinggi 43 67.19
2 Rendah 21 32.81
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.13 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki

keluarga berpendapatan tinggi sebanyak 43 orang atau sebesar 67,19% sementara

anak yang memiliki keluarga berpendapatan rendah sebanyak 21 orang atau

sebesar 32,81% dari keseluruhan sampel penelitian.

4.1.4 Normalitas Data

Dalam rangka mengetahui normal tidaknya distribusi variabel dalam

penelitian ini dilakukan dengan uji statistik non-parametrik Kolmogorov

Smirnov.Hal tersebut karena jumlah sampel lebih dari 50 sampel atau sampel

dalam jumlah besar.Jika nilai signifikansi Kolmogorov Smirnov lebih besar dari

nilai alpha (0,05), maka data mengikuti distribusi normal. Pengujian normalitas

dilakukan dengan tahapan berikut:

1. Penentuan Hipotesis

Ho : data variabel dependen berdisribusi normal

H1 : data variabel dependen tidak berdistribusi normal

2. Penentuan tingkat signifikansi

Tingkat kepercayaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar

95% atau tingkat signfikansinya (alpha) sebesar 5%.

3. Penentuan Statistik Uji

Dalam penelitian ini menggunakan metode Kolmogorov Smirnov.


54

4. Penentuan Kriteria uji

Dengan uji Kolmogorov Smirnov, apabila nilai signifikansi dari pengujian lebih

dari nilai alpha 0,05, maka model regresi tersebut memenuhi asumsi

normalitas.

5. Kesimpulan

Hasil pengujian normalitas dengan menggunakan bantuan SPSS adalah

sebagai berikut:

Tabel 4.14 Pengujian Normalitas Data Variabel Penelitian


Nilai p-Value
No Variabel Kriteria Rekomendasi
KS KS
Tidak Berdistribusi
1 Kejadian Stunting 3.038 0.000
Normal
Kebiasaan Konsumsi Tidak Berdistribusi
2 3.385 0.000
Energi Normal
Kebiasaan Konsumsi Tidak Berdistribusi
3 3.875 0.000 Analisis
Protein Normal
Bivariate
Tingkat Kecukupan Tidak Berdistribusi
4 3.625 0.000 Menggunakan
Energi Normal
"Non
Tingkat Kecukupan Tidak Berdistribusi
5 3.750 0.000 Parametrik"
Protein Normal
Tidak Berdistribusi
6 Pendidikan Ibu 2.450 0.000
Normal
Tidak Berdistribusi
7 Pendapatan Keluarga 3.250 0.000
Normal
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan table 4.14 dapat dilihat bahwa pengujian normalitas data

(Kolmogorov Smirnov) ditemukan bahwa probabilitas pengujain dari kebiasaan

konsumsi energi protein, tingkat sosial ekonomi keluarga dan kejadian

stuntingpada anak seluruhnya yakni sebesar 0,000. Nilai probabilitas atau

signifikansi tersebut lebih kecil dari 0,05 sehingga Ho ditolak, dengan demikian

data dalam penelitian ini tidak memenuhi uji normalitas (data tidak berdistribusi

normal). Karena data tidak normal maka pengujian pengaruh dapat dilakukan

dengan uji Chi Square, Exact Fisher atau Rank Spearman.


55

4.1.5 Analisis Data Bivariat


4.1.5.1 Kejadian stunting berdasarkan kebiasaan konsumsi energi protein
Analisis data bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan kebiasaan

konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar

Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo. Dalam penelitian ini analisis bivariat dilakukan

dengan teknik analisis Chi-Square yang diawali dengan mengetahui data tabulasi

silang (Cross section) antara variabel kebiasaan konsumsi energi protein dengan

kejadian stunting pada anak.

1. Variabel Kebiasaan Konsumsi Energi Protein Dengan Kejadian Stunting Pada


Anak
Tabel 4.15 Tabulasi Silang Hubungan Variabel Kebiasaan Konsumsi Energi
Protein Dengan Kejadian Stunting Pada Anak
Kategori p- Coeeficient
Konsumsi Enegri Protein Total
Stunting Normal Value Contigency
Kebiasaan Tinggi 1 36 37
0,000 0,683
Konsumsi Energi Sedang 26 1 27
Kebiasaan Tinggi 1 37 38
Konsumsi 0,000 0,696
Sedang 26 0 26
Protein
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.15 di atas maka dapat dijabarkan hasil dari hubungan

variabel kebiasaan konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anak di

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo sebagai berikut ini:

1) Kebiasaan Konsumsi Energi Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Probability Value (P-Value)

variabel Kebiasaan konsumsi energi sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih

lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha1

diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan

95% terdapat hubungan yang signifikan Kebiasaan konsumsi energi


56

denganKejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota

Gorontalo. Kemudian dapat pula dilihat bahwa nilai koefisien korelasi

(Contingency Coefficient) sebesar 0,683 yang berarti bahwa sebesar 68,3%

hubungan Kebiasaan konsumsi energidengan Kejadian stunting pada anak di

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

2) Kebiasaan Konsumsi Protein Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Probability Value (P-Value)

variabel Kebiasaan konsumsi protein sebesar 0,000. Nilai signifikan ini masih

lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha2

diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan

95% terdapat hubungan yang signifikan Kebiasaan konsumsi protein dengan

Kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

Kemudian dapat pula dilihat bahwa nilai koefisien korelasi (Contingency

Coefficient) sebesar 0,696 yang berarti bahwa sebesar 69,6% hubungan Kebiasaan

konsumsi proteindengan Kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri

(SDN) 24 Kota Gorontalo.

2. Variabel Tingkat Kecukupan Energi Protein Dengan Kejadian Stunting Pada


Anak
Tabel 4.16 Tabulasi Silang Hubungan Variabel Kecukupan Energi Protein
Dengan Kejadian Stunting Pada Anak
Kategori p- Coeeficient
Konsumsi Enegri Protein Total
Stunting Normal Value Contigency
Tingkat Baik 3 37 40
0,000 0,672
Kecukupan Energi Kurang 24 0 24
Tingkat Baik 2 37 39
0,000 0,684
Kecukupan Protein Kurang 25 0 25
Sumber: Data Primer, 2018
57

Berdasarkan tabel 4.16 di atas maka dapat dijabarkan hasil dari hubungan

variabel kebiasaan konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anakdi

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalosebagai berikut ini:

1) Variabel TingkatKecukupan Energi Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Probability Value (P-Value)

variabel Jumlah konsumsi energi sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih lebih

kecil dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha3

diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan

95% terdapat hubungan yang signifikan Jumlah konsumsi energi dengan Kejadian

stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo. Kemudian

dapat pula dilihat bahwa nilai koefisien korelasi (Contingency Coefficient) sebesar

0,672 yang berarti bahwa sebesar 67,2% hubungan Jumlah konsumsi

energidengan Kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24

Kota Gorontalo

2) Variabel Tingkat Kecukupan Protein Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Probability Value (P-Value)

variabel Jumlah konsumsi protein sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih lebih

kecil dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha4

diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan

95% terdapat hubungan yang signifikan Jumlah konsumsi protein dengan

Kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

Kemudian dapat pula dilihat bahwa nilai koefisien korelasi (Contingency

Coefficient) sebesar 0,684 yang berarti bahwa sebesar 68,4% hubungan Jumlah
58

konsumsi proteindengan Kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri

(SDN) 24 Kota Gorontalo

4.1.5.2 Kejadian stunting berdasarkan tingkat sosial ekonomi

Analisis data bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan tingkat

sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar

Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.Dalam penelitian ini analisis bivariat dilakukan

dengan teknik analisis Chi-Square yang diawali dengan mengetahui data tabulasi

silang (Cross section) antara variabel tingkat sosial ekonomi keluarga dengan

kejadian stunting pada anak. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.17 berikut ini:

Tabel 4.17 Tabulasi Silang Hubungan Variabel Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga
Dengan Kejadian Stunting Pada Anak
Tingkat Sosial Ekonomi Kategori p- Coeeficient
Total
Keluarga Stunting Normal Value Contigency
Tinggi 11 36 47
Pendidikan Ibu 0,000 0,534
Rendah 16 1 17
Pendapatan Tinggi 6 37 43
0,000 0,633
Keluarga Rendah 21 0 21
Sumber: Data Primer 2018

Berdasarkan tabel 4.17 di atas maka dapat dijabarkan hasil dari hubungan

variabel Tingkat sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada anak

sebagai berikut ini:

1) Variabel Pendidikan Ibu Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Probability Value (P-Value)

variabel Pendidikan ibu sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil

dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha5 diterima.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95%

terdapat hubungan yang signifikan Pendidikan ibu dengan Kejadian stunting pada
59

anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo. Kemudian dapat pula

dilihat bahwa nilai koefisien korelasi (Contingency Coefficient) sebesar 0,534

yang berarti bahwa sebesar 53,4% hubungan Pendidikan ibudengan Kejadian

stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

2) Variabel Pendapatan Keluarga Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Probability Value (P-Value)

variabel Pendapatan keluarga sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil

dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha6 diterima.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95%

terdapat hubungan yang signifikan Pendapatan keluarga dengan Kejadian stunting

pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo. Kemudian dapat

pula dilihat bahwa nilai koefisien korelasi (Contingency Coefficient) sebesar 0,633

yang berarti bahwa sebesar 63,3% hubungan Pendapatan keluargadengan

Kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Konsumsi energi protein pada anak di Sekolah Dasar.

1. Kebiasaan konsumsi energi protein

Pada tabel 4.8 distribusi sampel berdasarkan kebiasaan konsumsi energi

diketahui terdapat 27 (42,19%) siswa dengan kebiasaan konsumsi energi sedang,

karena siswa di SDN 24 Kota Gorontalo jarang mengonsumsi makanan sumber

energi seperti jagung, singkong dan kentang, sedangkan makanan yang sering di

konsumsi yakni nasi, mie, roti dan biskuit. Pada kebiasaan konsumsi energi tinggi
60

terdapat 37 (57,81%) siswa yang sering mengonsumsi sumber energi yang

beragam seperti nasi, jagung, kentang, mie, biskuit dan roti.

Sunita (2009) mengemukakan bahwa fungsi utama karbohidrat adalah

menyediakan energi tubuh. Karbohidrat merupakan sumber utama energi

bagipenduduk di seluruh dunia, sumber karbohidrat adalah padi-padian, atau

sereal, umbi-umbian, kacang-kacang kering, dan gula.

Pada tabel 4.9 distribusi sampel berdasarkan kebiasaan konsumsi protein

terdapat 26 (40,63%) siswa dengan kebiasaan konsumsi protein sedang, karena

para siswa jarang mengonsumsi makanan sumber protein yang tinggi, kebanyakan

hanya mengonsumsi ikan, tahu, dan tempe, karena bahan makanan ini yang paling

mudah didapatkan. Sedangkan jumlah siswa yang memilikikebiasaan konsumsi

protein tinggi terdapat 38 (59,38%) siswa, selain sering mengonsumsi ikan, tahu

dan tempe para siswa ini juga mengonsumsi kacang hijau, daging, telur dan udang

yang merupakan bahan makanan dengan sumber protein tinggi.

Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah

maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang (Almatsier,

2009).

2. Tingkat kecukupan energi protein

Berdasarkan tabel 4.10 distribusi sampel berdasarkan tingkat

kecukupanenergi, terdapat 24 (37,50%) siswa dengan kecukupan energi kurang,

dikarenakan frekuensi makan para siswa hanya 2x dalam sehari sehingga jumlah

energi yang masuk kedalam tubuh tidak mencukupi<2000 kkal. Pada kecukupan

energi baik terdapat 40 (62,50%) siswa dengan kecukupan energi ≥2000.


61

Hasil penelitian Yulni (2013), terdapat hubungan yang signifikan antara

asupan energi dengan status gizi, hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan

bahwa faktor utama yang memengaruhi status gizi adalah konsumsi makanan.

Pada tabel 4.11 distribusi sampel berdasarkan tingkat kecukupan protein

terdapat 25 (40,63%) siswa dengan kecukupan protein kurang yang disebabkan

oleh kurangnya asupan protein kedalam tubuh <60 gr, karena para siswa ini

frekuensi makan dalam sehari hanya sebanyak 2x. Sedangkan jumlah siswa yang

memiliki kecukupan protein baik terdapat 39 (60,94%) siswa dengan asupan

protein ≥60 gr per hari dan frekuensi makan siswa 3x sehari.

Kebutuhan protein anak usia 6-15 tahun mengalami kenaikan. Pada periode

usia ini protein banyak digunakan untuk pertumbuhan sel baru, pemeliharaan

jaringan dan pengganti sel yang rusak termasuk sel otak, tulanng, otot, kemudian

pembentukan komponen tubuh yang penting seperti enzim, hormon, sel darah

merah (Devi, 2012).

4.2.2 Tingkat sosial ekonomi keluarga pada anak

1. Pendidikan ibu

Berdasarkan tabel tabel 4.12 distribusi sampel berdasarkan pendidikan ibu

menunjukkan bahwa termasuk kategori rendah yaitu sebanyak 17 (26,56%) ibu

yakni hanya lulusan SD atau SMP, sedangkan pada kategori pendidikan

tinggiterdapat 39 (60,94%) ibu yakni memuliki tingkat pendidikkan

SMA/sederajat atau perguruan tinggi.

Tingkat pendidikan sangat berpegaruh terhadap perubahan sikap dan prilaku

hidup sehat, karena memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan


62

mengimplementasikan dalam prilaku dan kehidupan sehari-hari. Tingkat

pendidikan, khususnya pendidikan ibu mempengaruhi derajat kesehatan dan

berhubungan dengan tingkat pengasuhan yang diberikan kepada anak.Praktek

pengasuhan yang berkaitan erat dengan pendidikan ibu adalah praktek pemilihan

makanan keluarga terutama pada anak (Suhardjo, 2009).

2. Pendapatan keluarga

Berdasarkan tabel tabel 4.13 distribusi sampel berdasarkan pendapatan

keluarga menunjukkan bahwa sebanyak 21 (32,81%) termasuk dalam kategori

rendah atau pendapatan <Rp.2.206,831 dan sebesar 43(67,19%) termasuk dalam

kategori tinggi atau pendapatan ≥Rp.2.206,831

Ketersediaan kebutuhan rumah tangga tergantung dari pendapatan keluarga.

Selain itu, pendapatan keluarga juga menentukan jenis pangan yang dibeli.

Keluarga dengan pendapatan terbatas akan kurang memenuhi kebutuhan

makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuh. Tingkat

pendapatan juga ikut menentukan jenis pangan yang akan dibeli (Adriani dan

Wirjatmadi, 2014).

4.2.3 Hubungan kebiasaan konsumsi energi protein dengan kejadian stunting

pada anakusia sekolah

1. Kebiasaan konsumsi energi dengan Stunting

Berdasarkan tabel 4.15 tabulasi silang hubungan variabel kebiasaan

konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anakdari hasil penelitian

yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa kebiasaan konsumsi energi pada

anak stuntingberada dalam kategori sedang sebanyak 26 anak. Adapun anak


63

stuntingyang memiliki kebiasaan konsumsi energi tinggi sebanyak 1 anak,

dikarenakan berdasarkan hasil wawancara dengan ibunya faktor mendasar adalah

keturunan.

Kebiasaan konsumsi energi dilihat dari gambaran pola konsumsi bahan

makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan

atau tahun. Kebiasaan konsumsi ini meliputi jenis dan frekuensi konsumsi energi

oleh anak yang diperoleh dengan menggunakan formulir food frequency. Sebagian

besar jenis makanan dari sumber energi yang dikonsumsi anak di Sekolah Dasar

Negeri 24 Kota Gorontalo adalah nasi dengan frekuensi 1-3x/hari. Hal ini dapat

diketahui karena pada setiap kali mengonsumsi makanan utama responden selalu

menyediakan nasi sebagai makanan pokok (sumber energi). Anak usia sekolah

umumnya mengonsumsi makanan menurut kesukaan mereka tanpa

memperhatikan zat gizi apa yang terdapat dalam makanan tersebut. Mereka yang

lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah, cenderung lebih sering

mengonsumsi makanan yang ada di sekolah dibandingkan dengan di rumah.

Berdasarkan hasiluji statistik menggunakan Chi-Square diperoleh nilai

Probability Value (p-Value) variabel kebiasaan konsumsi energi sebesar 0,000.

Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05)atau

terdapat hubungan yang signifikan kebiasaan konsumsi energi dengan kejadian

stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Pratiwi (2018) yang menunjukkan

ada hubungan antara kebiasaan konsumsi energi dengan kejadian stunting


64

(OR=3,109), yang berarti anak yang mengalami stunting berasal dari anak

yangmemiliki kebiasaan konsumsi energi sedang dengan risiko 3 kali lebihtinggi.

2. Kebiasaan konsumsi protein dengan stunting

Berdasarkan tabel 4.15 tabulasi silang hubungan variabel kebiasaan

konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anak. Adapun jumlah anak

stunting yang memiliki kebiasaan konsumsi proteinsedang sebanyak 26 anak

dibandingkan dengan yang normal, tetapi terdapat 1 anak stunting dengan

kebiasaan konsumsi protein tinggi, berdasarkan wawancara diketahui penyebab

anak stunting adalah faktor keturunan. Sedangkan sebanyak 37 anak kategori

normal yang memiliki kebiasaan konsumsi protein tinggi.

Kebiasaan konsumsi ini meliputi jenis dan frekuensi konsumsi protein oleh

anak yang diperoleh dengan menggunakan formulir food frequency. Sebagian

besar jenis makanan dari sumber protein yang dikonsumsi anak Sekolah Dasar

Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo adalah ikan. tahu, tempe dan telur dengan

frekuensi 1-3x sehari. Hal ini dapat diketahui karena responden cenderung

menyukai makanan yang praktis, cepat, dan orang tua juga mudah untuk

mengolahnya. Biasanya tahu, tempe, dan telur diolah/disajikan hanya dengan cara

digoreng. Untuk jenis makanan lain yang dikonsumsi oleh anak adalah udang,

daging ayam, kacang hijau dengan frekuensi 1-2x/bulan, selanjutnya ada beberapa

anak yang jarang/tidak pernah mengonsumsi kacang hijau dan udang, hal ini

dikarenakan jenis pangan memang tidak disukai responden dan sebagian orang tua

responden kurang bervariasi dalam menyediakan makanan untuk anak-anaknya,

mereka cenderung monoton dalam menyediakan makanan anak mereka. Selain itu
65

beberapa anak juga tidak menyukainya. Sedangkan daging sapi, responden hanya

mengonsumsi jika ada acara-acara besar seperti hajatan atau pesta dan hari-hari

besar seperti Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Berdasarkan hasiluji statistik menggunakan Chi-Square diperoleh nilai

Probability Value (p-Value) variabel kebiasaan konsumsi protein sebesar 0,000.

Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05)atau

terdapat hubungan yang signifikan kebiasaan konsumsi energi dengan kejadian

stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Pratiwi (2018) yang menunjukkan

ada hubungan antara kebiasaan konsumsi protein dengan kejadian

stunting(OR=3,148), yang berarti anak yang mengalami stunting berasal dari anak

yangmemiliki kebiasaan konsumsi energi sedang dengan risiko 3 kali lebihtinggi.

Eratnya hubungan protein dengan pertumbuhan menyebabkan seorang anak yang

kurang asupan proteinnya akan mengalami pertumbuhan yang lebih lambat

daripada anak dengan jumlah asupan protein yang cukup (Bender, 2002) dan pada

keadaan yang lebih buruk kekurangan protein dalam jangka waktu yang lama

dapat mengakibatkan berhentinya proses pertumbuhan (Andarini, dkk 2013).

3. Tingkat kecukupan energi dengan stunting

Berdasarkan hasil penelitian table 4.16 tabulasi silang hubungan variabel

kebiasaan konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anak kejadian

stuntingdengan kecukupan energi kurang sebesar 24 orang dibandingkan dengan

siswa normal. Pada siswa stunting dan kategori kecukupan energi baik sebanyak 3

orang dibandingkan dengan siswa normal sebanyak 37 orang. Hal ini


66

menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi anak stunting dalam sehari masih

kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang telah dianjurkan. Hal ini dapat

disebabkan oleh makanan yang dikonsumsi sehari-hari oleh anak stunting baik

dirumah maupun di sekolah, seperti jajanan yang ada di sekolah yang belum bisa

mencukupi kebutuhan energi yang dibutuhkan dalam sehari. Kebiasaan anak yang

jarang sarapan pagi, jumlah asupan makanan pokok yang kurang dan frekuensi

makan makanan pokok yang dikonsumsi hanya 4-5x/minggu bahkan ada yang

jarang/tidak pernah dikonsumsi yang mengakibatkan kebutuhan energi anak

belum tercukupi.

Berdasarkan hasiluji statistik menggunakan Chi-Square diperoleh nilai

Probability Value (p-Value) variabel tingkat kecukupan energi sebesar 0,000.

Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05) atau

terdapat hubungan yang signifikan kebiasaan konsumsi energi dengan kejadian

stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muchlis,

dkk (2011) dengan menggunakan chi-square menunjukkan hasil bahwa terdapat

hubungan antara asupan energi dengan status gizi menurut indikator TB/U dengan

(p=0,027). Hal ini berarti bahwa balita dengan asupan energi yang baik yaitu

≥77% dari kebutuhan memiliki peluang lebih besar berstatus gizi normal (TB/U).

Pada penelitian Mardewi (2014) disimpulkan bahwa asupan energi (kalori) yang

rendah juga merupakan faktor risiko perawakan pendek pada anak dengan nilai

p=0,006.
67

4. Tingkat kecukupan protein dengan stunting

Berdasarkan hasil penelitian table 4.16 tabulasi silang hubungan variabel

kebiasaan konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anak kejadian

stunting dengan kecukupan protein kurang sebanyak 25 orang dibandingkan

dengan siswa normal. Pada siswa stuntingdan kategori kecukupan protein baik

sebanyak 2 orang dibandingkan dengan siswa normal sebanyak 37 orang.

Berdasarkan hasiluji statistik menggunakan Chi-Square diperoleh nilai

Probability Value (p-Value) variabel tingkat kecukupan energi sebesar 0,000.

Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05) atau

terdapat hubungan yang signifikan kebiasaan konsumsi energi dengan kejadian

stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

Hasil penelitian Sundari (2016) didapatkan bahwa ada hubungan positif

antara asupan protein dengan indeks z-score TB/U dengan nilai p=0,042. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Vaozia (2016) menunjukkan bahwa asupan protein

merupakan faktor risiko kejadian stuntingpada anak usia 1-3 tahun. Anak dengan

asupan protein yang kurang memiliki risiko 1,71 kali untuk menjadi stunting.

Hasil uji statistik chi square pada penelitian Chastity (2017) juga menunjukkan

hubungan yang positif antara asupan protein dengan kejadian stunting pada

remaja dengan nilai p=0,001 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna

antara asupan protein dengan kejadian stunting.


68

4.2.4 Hubungan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting

pada anak

1. Pendidikan ibu dengan stunting

Berdasarkan tabel 4.17 tabulasi silang hubungan variabel tingkat sosial

ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada anak memperlihatkan ada

kecenderungan kejadian stunting pada anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota

Gorontalo lebih besar proporsinya pada tingkat pendidikan ibu rendah, dari 17

orang ibu berpendidikan rendah sebanyak 16 orang adalah ibu dari siswa stunting

dibandingkan dengan normal sebanyak 1 orang ibu.

Dapat dilihat juga berdasarkan tabel 4.17 tabulasi silang hubungan variabel

tingkat sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting, pada anak stunting

ditemukan 11 orang ibu dalam kategori pendidikan tinggi, dari hasil penelitian

diketahui bahwa anak dengan stunting tersebut juga termasuk kedalam keluarga

dengan pendapatan rendah hal ini menyebabkan sulit mendapatkan pangan baik

secara kualitas maupun kuantitas sehingga asupan energi protein yang masuk ke

tubuh anak kurang dan dapat mempengaruhi proses pertumbuhan anak.

Sedangkan pada anak dengan status gizi normal menurut TB/U di temukan 1 anak

dengan tingkat pendidikan ibu rendah yaitu SMP, namun ayah dari anak tersebut

memiliki usaha di bidang konvensional sehingga mampu mencukupi kebutuhan

pangan keluarga.

Berdasarkan hasiluji statistik menggunakan Chi-Square diperoleh nilai

Probability Value (p-Value) variabel pendidikan ibu sebesar 0,000. Nilai

signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05) atau terdapat
69

hubungan yang signifikan kebiasaan konsumsi energi dengan kejadian stunting

pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ngaisah (2015) yang

menunjukkan hubungan signifikan antara pendidikan ibu dengan kejadian

stunting. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Windi (2018) yang

menyatakan bahwa tingkat pengetahuan ibu tentang gizi memiliki hubungan yang

siqnifikan dengan status gizi ditunjukan dengan tingkat pengetahuan ibutentang

giziyang rendah memiliki risiko stunting 3,8 kali lebih besar dibandingkan ibu

yang mempunyai tingkat pengetahuan tentang gizi yang tinggi

2. Pendapatan keluarga dengan stunting

Berdasarkan tabel 4.17 tabulasi silang hubungan variabel tingkat sosial

ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada anak memperlihatkan ada

kecenderungan kejadian stunting anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota

Gorontalo pada tingkat pendapatan keluarga sebanyak 21 orang dibandingkan

dengan anak normal. Dapat dilihat juga berdasarkan tabel 4.17 pada tingkat

pendapatan keluarga terdapat 6orang anak dengan stunting, berdasarkan hasil

penelitian diketahui bahwa anak dengan kejadian stunting tersebut frekuensi

makannya hanya 2x dalam sehari yang menyebabkan berkurangnya asupan energi

protein yang dibutuhkan tubuh untuk proses pertubuhan.

Berdasarkan hasiluji statistik menggunakan Chi-Square diperoleh nilai

Probability Value (p-Value) variabel pendapatan keluarga sebesar 0,000. Nilai

signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05) atau terdapat
70

hubungan yang signifikan kebiasaan konsumsi energi dengan kejadian stunting

pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapatan Sulistyoningsih (2011)

bahwa meningkatnya pendapatan akan mudah mendapatkan pangan dengan

kualitas dan kuantitas yang lebih baik, sebaliknya jika pendapatan menurun akan

menyebabkan sulit mendapatkan pangan baik secara kualitas maupun kuantitas.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Raden (2013) yang menunjukkan

hubungan signifikan antara pendapatan keluarga dengan kejadian stunting.

Anda mungkin juga menyukai