energi protein dan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada
pada siswa-siswi kelas IV, V dan VI yang berumur diantara 7-12 tahun yang
kebiasaan konsumsi energi protein dan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan
menggunakan formulir food frequency question (FFQ) dan formulir food recall
Dalam bab ini akan diuraikan gambaran umum tentang Sekolah Dasar
dantenaga kependidikan terdiri dari kepala sekolah, 9 orang pendidik dan 3 orang
tenaga kependidikan.
45
46
ruangan perpustakaan, ruang UKS. Ruang kantor terdiri dari ruang kepala
sekolah, ruang kantor guru, ruang TU. Ruang penunjang terdiri dari gudang,
kamar mandi guru, kamar mandi siswa.Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota
Gorontalo juga didukung dengan fasilitas lain seperti lapangan upacara dan
lapangan bulu tangkis. Proses belajar mengajar dilakukan setiap hari Senin sampai
hari Jum’at mulai pukul pukul 07.30 WITA sampai dengan pukul 14.30 WITA.
makanan-makanan ringan (snack) serta minuman yang terdiri dari minuman gelas
yang mempunyai rasa dan warna beragam.Di sekitar sekolah terdapat pedagang
pedagang yang menjual makanan seperti somay, tahu krispi, sosis, serta pedagang
Karakteristik adalah ciri secara alamiah yang melekat pada diri seseorang.
Adapun beberapa karakter responden yang akan diuraikan dalam penelitian ini
Berdasarkan uraian di atas diketahui data jenis kelamin yang dilahirkan oleh
Tabel 4.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis kelamin Anak di Sekolah Dasar
Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo
Frekuensi
No Jenis Kelamin
n %
1 Laki-Laki 35 54.69
2 Perempuan 29 45.31
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018
47
Berdasarkan data pada tabel 4.1 di atas dapat dijelaskan bahwa anak yang
dominan.
Umur adalah waktu atau bertambahnya hari sejak lahir sampai akhir hidup.
Tabel 4.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Kelompok Umur Anak di Sekolah Dasar
Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo
Frekuensi
No Umur
n %
1 7-8 Tahun 1 1.56
2 9-10 Tahun 33 51.56
3 11-12 Tahun 30 46.88
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018
Berdasarkan data pada tabel 4.2 di atas diketahui bahwa anak yang menjadi
responden sebagian besar berumur antara 9-10 tahun yang berjumlah 33 orang
(51,56%), sedangkan paling sedikit pada umur 7-8 tahun berjumlah 1 orang
berdasarkan Pekerjaan responden beserta uji univariat ini disajikan dalam tabel
4.3berikut ini.
48
Tabel 4.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Kelas Anak di Sekolah Dasar Negeri
(SDN) 24 Kota Gorontalo
Frekuensi
No Kelas
n %
1 Kelas IV 17 26.56
2 Kelas V 23 35.94
3 Kelas VI 24 37.50
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018
Berdasarkan data pada tabel 4.3 di atas diketahui bahwa sebagian besar anak
sedangkan yang paling kecil frekuensinya yakni kelas IV yakni sebanyak 17 orang
( 26,56%).
tentang variabel yang diteliti yaitu variabel kebiasaan konsumsi energi protein,
tingkat sosial ekonomi keluarga dan variabel kejadian stunting pada anak.
Tabel 4.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Kejadian Stunting pada Anak di Sekolah
Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo
Frekuensi
No Kejadian Stunting
n %
1 Stunting 27 42.19
2 Normal 37 57.81
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018
Berdasarkan data pada tabel 4.4 di atas dijelaskan bahwa responden yang
42,19% sementara anak yang kategori normal sebanyak 37 orang atau sebesar
Berdasarkan data pada tabel 4.5 di atas dijelaskan bahwa kejadian stunting
paling banyak pada responden laki-laki sebanyak 15 orang (55,5%), dan untuk
17 orang (45,9%).
Berdasarkan data pada tabel 4.6 di atas dijelaskan bahwa kejadian stunting
paling banyak pada kelompok umur 9-10 tahun sebanyak 18 orang (66,6%), 11-
12 tahun sebanyak 8 orang (28,6%) dan 1 orang (3,7%) pada kelompok umur 7-8
tahun. Sedangkan pada kategori normal paling banyak pada kategori 11-12 tahun
sebanyak 22 orang (59,5%) dan pada kelompok umur 9-10 tahun sebanyak 15
orang (40,5%).
50
Berdasarkan data pada tabel 4.7 di atas dijelaskan bahwa kejadian stunting
kebiasaan yang tinggi sebanyak 37 orang atau sebesar 57,81% sementara anak
yang memiliki kebiasaan sedang sebanyak 27 orang atau sebesar 42,19% dari
kebiasaan konsumsi protein yang tinggi sebanyak 38 orang atau sebesar 59,3%
sementara anak yang memiliki kebiasaan konsumsi protein yang sedang sebanyak
jumlah konsumsi energi yang baik sebanyak 40 orang atau sebesar 62,50%
sementara anak yang memiliki jumlah konsumsi energi yang kurang sebanyak 24
jumlah konsumsi protein yang baik sebanyak 39 orang atau sebesar 60,94%
sementara anak yang memiliki jumlah konsumsi protein yang kurang sebanyak 25
Berdasarkan tabel 4.12 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki ibu
yang memiliki ibu berpendidikan rendah sebanyak 17 orang atau sebesar 26,56%
Smirnov.Hal tersebut karena jumlah sampel lebih dari 50 sampel atau sampel
dalam jumlah besar.Jika nilai signifikansi Kolmogorov Smirnov lebih besar dari
nilai alpha (0,05), maka data mengikuti distribusi normal. Pengujian normalitas
1. Penentuan Hipotesis
Tingkat kepercayaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar
Dengan uji Kolmogorov Smirnov, apabila nilai signifikansi dari pengujian lebih
dari nilai alpha 0,05, maka model regresi tersebut memenuhi asumsi
normalitas.
5. Kesimpulan
sebagai berikut:
signifikansi tersebut lebih kecil dari 0,05 sehingga Ho ditolak, dengan demikian
data dalam penelitian ini tidak memenuhi uji normalitas (data tidak berdistribusi
normal). Karena data tidak normal maka pengujian pengaruh dapat dilakukan
konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar
Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo. Dalam penelitian ini analisis bivariat dilakukan
dengan teknik analisis Chi-Square yang diawali dengan mengetahui data tabulasi
silang (Cross section) antara variabel kebiasaan konsumsi energi protein dengan
Berdasarkan tabel 4.15 di atas maka dapat dijabarkan hasil dari hubungan
variabel kebiasaan konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anak di
variabel Kebiasaan konsumsi energi sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih
lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha1
variabel Kebiasaan konsumsi protein sebesar 0,000. Nilai signifikan ini masih
lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha2
Kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.
Coefficient) sebesar 0,696 yang berarti bahwa sebesar 69,6% hubungan Kebiasaan
Berdasarkan tabel 4.16 di atas maka dapat dijabarkan hasil dari hubungan
variabel kebiasaan konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anakdi
variabel Jumlah konsumsi energi sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih lebih
kecil dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha3
95% terdapat hubungan yang signifikan Jumlah konsumsi energi dengan Kejadian
stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo. Kemudian
dapat pula dilihat bahwa nilai koefisien korelasi (Contingency Coefficient) sebesar
Kota Gorontalo
variabel Jumlah konsumsi protein sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih lebih
kecil dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha4
Kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.
Coefficient) sebesar 0,684 yang berarti bahwa sebesar 68,4% hubungan Jumlah
58
sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar
dengan teknik analisis Chi-Square yang diawali dengan mengetahui data tabulasi
silang (Cross section) antara variabel tingkat sosial ekonomi keluarga dengan
kejadian stunting pada anak. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.17 berikut ini:
Tabel 4.17 Tabulasi Silang Hubungan Variabel Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga
Dengan Kejadian Stunting Pada Anak
Tingkat Sosial Ekonomi Kategori p- Coeeficient
Total
Keluarga Stunting Normal Value Contigency
Tinggi 11 36 47
Pendidikan Ibu 0,000 0,534
Rendah 16 1 17
Pendapatan Tinggi 6 37 43
0,000 0,633
Keluarga Rendah 21 0 21
Sumber: Data Primer 2018
Berdasarkan tabel 4.17 di atas maka dapat dijabarkan hasil dari hubungan
variabel Tingkat sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada anak
variabel Pendidikan ibu sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil
dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha5 diterima.
terdapat hubungan yang signifikan Pendidikan ibu dengan Kejadian stunting pada
59
anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo. Kemudian dapat pula
variabel Pendapatan keluarga sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil
dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha6 diterima.
pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo. Kemudian dapat
pula dilihat bahwa nilai koefisien korelasi (Contingency Coefficient) sebesar 0,633
Kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.
4.2 Pembahasan
energi seperti jagung, singkong dan kentang, sedangkan makanan yang sering di
konsumsi yakni nasi, mie, roti dan biskuit. Pada kebiasaan konsumsi energi tinggi
60
para siswa jarang mengonsumsi makanan sumber protein yang tinggi, kebanyakan
hanya mengonsumsi ikan, tahu, dan tempe, karena bahan makanan ini yang paling
protein tinggi terdapat 38 (59,38%) siswa, selain sering mengonsumsi ikan, tahu
dan tempe para siswa ini juga mengonsumsi kacang hijau, daging, telur dan udang
Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah
maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang (Almatsier,
2009).
dikarenakan frekuensi makan para siswa hanya 2x dalam sehari sehingga jumlah
energi yang masuk kedalam tubuh tidak mencukupi<2000 kkal. Pada kecukupan
asupan energi dengan status gizi, hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan
bahwa faktor utama yang memengaruhi status gizi adalah konsumsi makanan.
oleh kurangnya asupan protein kedalam tubuh <60 gr, karena para siswa ini
frekuensi makan dalam sehari hanya sebanyak 2x. Sedangkan jumlah siswa yang
Kebutuhan protein anak usia 6-15 tahun mengalami kenaikan. Pada periode
usia ini protein banyak digunakan untuk pertumbuhan sel baru, pemeliharaan
jaringan dan pengganti sel yang rusak termasuk sel otak, tulanng, otot, kemudian
pembentukan komponen tubuh yang penting seperti enzim, hormon, sel darah
1. Pendidikan ibu
pengasuhan yang berkaitan erat dengan pendidikan ibu adalah praktek pemilihan
2. Pendapatan keluarga
Selain itu, pendapatan keluarga juga menentukan jenis pangan yang dibeli.
makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuh. Tingkat
pendapatan juga ikut menentukan jenis pangan yang akan dibeli (Adriani dan
Wirjatmadi, 2014).
konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anakdari hasil penelitian
yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa kebiasaan konsumsi energi pada
keturunan.
makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan
atau tahun. Kebiasaan konsumsi ini meliputi jenis dan frekuensi konsumsi energi
oleh anak yang diperoleh dengan menggunakan formulir food frequency. Sebagian
besar jenis makanan dari sumber energi yang dikonsumsi anak di Sekolah Dasar
Negeri 24 Kota Gorontalo adalah nasi dengan frekuensi 1-3x/hari. Hal ini dapat
diketahui karena pada setiap kali mengonsumsi makanan utama responden selalu
menyediakan nasi sebagai makanan pokok (sumber energi). Anak usia sekolah
memperhatikan zat gizi apa yang terdapat dalam makanan tersebut. Mereka yang
Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05)atau
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Pratiwi (2018) yang menunjukkan
(OR=3,109), yang berarti anak yang mengalami stunting berasal dari anak
konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anak. Adapun jumlah anak
Kebiasaan konsumsi ini meliputi jenis dan frekuensi konsumsi protein oleh
besar jenis makanan dari sumber protein yang dikonsumsi anak Sekolah Dasar
Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo adalah ikan. tahu, tempe dan telur dengan
frekuensi 1-3x sehari. Hal ini dapat diketahui karena responden cenderung
menyukai makanan yang praktis, cepat, dan orang tua juga mudah untuk
mengolahnya. Biasanya tahu, tempe, dan telur diolah/disajikan hanya dengan cara
digoreng. Untuk jenis makanan lain yang dikonsumsi oleh anak adalah udang,
daging ayam, kacang hijau dengan frekuensi 1-2x/bulan, selanjutnya ada beberapa
anak yang jarang/tidak pernah mengonsumsi kacang hijau dan udang, hal ini
dikarenakan jenis pangan memang tidak disukai responden dan sebagian orang tua
mereka cenderung monoton dalam menyediakan makanan anak mereka. Selain itu
65
beberapa anak juga tidak menyukainya. Sedangkan daging sapi, responden hanya
mengonsumsi jika ada acara-acara besar seperti hajatan atau pesta dan hari-hari
Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05)atau
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Pratiwi (2018) yang menunjukkan
stunting(OR=3,148), yang berarti anak yang mengalami stunting berasal dari anak
daripada anak dengan jumlah asupan protein yang cukup (Bender, 2002) dan pada
keadaan yang lebih buruk kekurangan protein dalam jangka waktu yang lama
kebiasaan konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anak kejadian
siswa normal. Pada siswa stunting dan kategori kecukupan energi baik sebanyak 3
menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi anak stunting dalam sehari masih
kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang telah dianjurkan. Hal ini dapat
disebabkan oleh makanan yang dikonsumsi sehari-hari oleh anak stunting baik
dirumah maupun di sekolah, seperti jajanan yang ada di sekolah yang belum bisa
mencukupi kebutuhan energi yang dibutuhkan dalam sehari. Kebiasaan anak yang
jarang sarapan pagi, jumlah asupan makanan pokok yang kurang dan frekuensi
makan makanan pokok yang dikonsumsi hanya 4-5x/minggu bahkan ada yang
belum tercukupi.
Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05) atau
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muchlis,
hubungan antara asupan energi dengan status gizi menurut indikator TB/U dengan
(p=0,027). Hal ini berarti bahwa balita dengan asupan energi yang baik yaitu
≥77% dari kebutuhan memiliki peluang lebih besar berstatus gizi normal (TB/U).
Pada penelitian Mardewi (2014) disimpulkan bahwa asupan energi (kalori) yang
rendah juga merupakan faktor risiko perawakan pendek pada anak dengan nilai
p=0,006.
67
kebiasaan konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anak kejadian
dengan siswa normal. Pada siswa stuntingdan kategori kecukupan protein baik
Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05) atau
antara asupan protein dengan indeks z-score TB/U dengan nilai p=0,042. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Vaozia (2016) menunjukkan bahwa asupan protein
merupakan faktor risiko kejadian stuntingpada anak usia 1-3 tahun. Anak dengan
asupan protein yang kurang memiliki risiko 1,71 kali untuk menjadi stunting.
Hasil uji statistik chi square pada penelitian Chastity (2017) juga menunjukkan
hubungan yang positif antara asupan protein dengan kejadian stunting pada
remaja dengan nilai p=0,001 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna
pada anak
kecenderungan kejadian stunting pada anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota
Gorontalo lebih besar proporsinya pada tingkat pendidikan ibu rendah, dari 17
orang ibu berpendidikan rendah sebanyak 16 orang adalah ibu dari siswa stunting
Dapat dilihat juga berdasarkan tabel 4.17 tabulasi silang hubungan variabel
tingkat sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting, pada anak stunting
ditemukan 11 orang ibu dalam kategori pendidikan tinggi, dari hasil penelitian
diketahui bahwa anak dengan stunting tersebut juga termasuk kedalam keluarga
dengan pendapatan rendah hal ini menyebabkan sulit mendapatkan pangan baik
secara kualitas maupun kuantitas sehingga asupan energi protein yang masuk ke
Sedangkan pada anak dengan status gizi normal menurut TB/U di temukan 1 anak
dengan tingkat pendidikan ibu rendah yaitu SMP, namun ayah dari anak tersebut
pangan keluarga.
signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05) atau terdapat
69
stunting. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Windi (2018) yang
menyatakan bahwa tingkat pengetahuan ibu tentang gizi memiliki hubungan yang
giziyang rendah memiliki risiko stunting 3,8 kali lebih besar dibandingkan ibu
dengan anak normal. Dapat dilihat juga berdasarkan tabel 4.17 pada tingkat
signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05) atau terdapat
70
kualitas dan kuantitas yang lebih baik, sebaliknya jika pendapatan menurun akan
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Raden (2013) yang menunjukkan