Anda di halaman 1dari 150

HUBUNGAN KEBIASAAN KONSUMSI ENERGI PROTEIN DAN

TINGKAT SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN


KEJADIAN STUNTING PADA ANAK
SEKOLAH DASAR NEGERI 24
KOTA GORONTALO

SKRIPSI

OLEH
RIZNAN DATU
811 414 033

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2018

i
ii
HUBUNGAN KEBIASAAN KONSUMSI ENERGI PROTEIN DAN
TINGKAT SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN
KEJADIAN STUNTING PADA ANAK
SEKOLAH DASAR NEGERI 24
KOTA GORONTALO

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam mengikuti


Ujian Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH
RIZNAN DATU
NIM. 811 414 023

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2018

iii
HALAMAN PERNYATAAN

iv
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

v
LEMBAR PENGESAHAN

vi
ABSTRAK

Riznan Datu, 811414033, 2018. Hubungan Kebiasaan Konsumsi Energi


Protein dan Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting
pada Anak Sekolah Dasar Negeri 24 Kota Gorontalo. Skripsi Jurusan
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas
Negeri Gorontalo. Pembimbing I Dr. Sunarto Kadir, Drs., M.Kes dan
Pembimbing II Dr. Sylva Flora Ninta Tarigan, S.H, M.Kes.
Hasil Riskesdas prevalensi stunting nasional tahun 2013 sebesar 37,2%.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo kejadian stunting di Kota
Gorontalo pada tahun 2013 sebesar 10,2%. Data dari Dinas Kesehatan Kota
Gorontalo tahun 2017 prevalensi kejadian stunting di Kota Gorontalo sebesar
18,7%, dapat dilihat dari data kejadian stunting tahun 2013 sampai 2017
prevalensi kejadian stunting meningkat sebesar 8,5%. Rumusan masalah apakah
ada hubungan kebiasaan konsumsi energi protein dan tingkat sosial ekonomi
keluarga dengan kejadian stunting. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan
kebiasaan konsumsi energi protein dan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan
kejadian stunting.
Jenis penelitian bersifat kuantitatif dengan desain cross sectional. Jumlah
sampel 64 siswa. Pengumpulan data menggunakan kuisioner, food frequency
question dan food recall 24 jam. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober
2018 di SDN 24 Kota Gorontalo. Analisis hubungan antara variabel independen
dan variabel dependen menggunakan uji Chi-Square.
Hasil penelitian hubungan kebiasaan konsumsi energi protein dengan
kejadian stunting dibuktikan dengan uji statistik berdasarkan kebiasaan konsumsi
energi (p=0,000), kebiasaan konsumsi protein (p=0,000), kecukupan energi
(p=0,000), kecukupan protein (p= 0,000). Hubungan tingkat sosial ekonomi
keluarga dengan kejadian stunting dibuktikan dengan uji statistik pendidikan ibu
(p=0,000) dan pendapatan keluarga (p=0,000), hasil ini menunjukan ada
hubungan kebiasaan konsumsi protein dan tingkat sosial ekonomi keluarga
dengan stunting dimana nilai p-Vaiue < α (0,05).
Diharapkan pihak sekolah dan orang tua lebih memperhatikan makanan
yang dikonsumsi anak, baik di sekolah maupun di rumah, agar mengurangi
kejadian stuting pada anak.

Kata Kunci : Energi, Protein, Sosial, Ekonomi, Stunting

vii
viii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO
“Bermimpilah seakan kau akan hidup selamanya.
Hiduplah seakan kau akan mati hari ini”
(James Dean)

“...hari takkan indah tanpa mentari dan rembulan, begitu juga hidup takkan indah
tanpa tujuan, harapan serta tantangan. Meski terasa berat, namun manisnya hidup
justru akan terasa, apabila semuanya terlalui dengan baik, meski harus
memerlukan pengorbanan.
Hari kemarin tiada lain adalah kenangan hari ini, dan hari depan merupakan
impian masa kini, biarkanlah masa kini selalu memeluk masa lampau dengan
kenangan dan merangkul masa depan dengan kerinduan...”

Aku datang, aku bimbingan, aku ujian, aku revisi, dan aku
menang.
-Alhamdulillah-

PERSEMBAHAN
Setulus hatimu Ibu, searif arahanmu Bapak. Doamu kalian hadirkan keridhoan untukku, petuahmu
tuntunkan jalanku, pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu, dan
sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah. Kini diriku telah selesai dalam studi
sarjana, dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhoan-Mu ya Allah, kupersembahkan karya tulis
ini untuk yang termulia, Bapak Baharudin Datu dan Ibu Salma Thaib Apona. Mungkin tak dapat selalu
terucap, namun hati ini selalu bicara, sungguh ku sayang kalian.
Yang terkasih Kakak ku Rizman Datu dan adik ku Rendrawansyah R Datu, teman, sahabat dan semua
yang tak bisa ku sebut satu per satu, yang pernah ada atau pun hanya singgah dalam hidup ku, yang pasti
kalian bermakna dalam hidupku.

ALMAMATERKU TERCINTA
TEMPAT AKU MENIMBAH ILMU

ix
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERISTAS NEGERI GORONTALO

KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi ALLAH SWT karena atas rahmat, taufik dan hidayah-
NYA, sehingga penulis dapat menyelesaiakan penyusunan skripsi ini dengan
judul “Hubungan Kebiasaan Konsumsi Energi Protein Dan Tingkat Sosial
Ekonomi Keluarga Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Sekolah Dasar
Negeri 24 Kota Gorontalo”. Shalawat beserta salam selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, hingga kepada
umatnya, hingga akhir zaman ini yang masih seiman dan se akidah dengan ajaran
Rasulullah SAW.
Penulisan Skripsi ini di ajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana pada Jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri
Gorontalo.
Penulis menyadari, bahwa pembuatan skripsi ini tidak dapat berhasil dengan
baik tanpa adanya bantuan, dukungan, bimbingan serta doa dari pihak lain. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Sunarto Kadir, Drs., M.Kes, M.Kes Selaku
Pembimbing I dan Ibu Dr. Sylva Flora Ninta Taringan, S.H, M.Kes selaku
pembimbing II yang telah menyediakan banyak waktu, tenaga, dan pikiran untuk
membimbing, mengarahkan, memberi masukan dan motivasi dalam penyusunan
penelitian ini. Selain itu ucapan terima kasih juga penulis samapaikan kepada :
1. Prof Dr. H. Syamsu Qamar Badu, M.Pd selaku Rektor Universitas Negeri
Gorontalo.
2. Prof. Dr. Ir. Mahludin Baruadi, Ms., Supardi Nani, S.E, M.Si, Dr. Fence M.
Wantu, SH, MH dan Prof. Dr. Hasanuddin Fatsah, M.Hum, selaku wakil
Rektor I,II,III,IV Universitas Negeri Gorontalo.
3. Dr. Lintje Boekoesoe, M.Kes selaku Dekan Fakultas Olahraga dan
Kesehatan,

x
4. Risna Podungge, S.Pd, M.Pd, dr. Zuhriana, K. Yusuf, M.Kes dan Ruslan,
S.Pd, M.Pd, selaku Wakil Dekan I,II, dan III Fakultas Olahraga dan
Kesehatan.
5. Dr. Sunarto Kadir, Drs. M.Kes selaku Ketua Jurusan Kesehatan Masyarakat
Fakultas Olahraga dan Kesehatan Universitas Negeri Gorontalo
6. Dr. Sylva Flora Ninta Taringan, M.Kes selaku Sekretaris Jurusan Kesehatan
Masyarakat.
7. Dr. Laksmyn Kadir, S.Pd, M.Kes sebagai Pembimbing Akademik yang telah
membantu membimbing, memberi masukan serta motivasi selama masa
perkuliahan.
8. Dr. Herlina Juuf, Dra, M.Kes sebagai Penguji I yang telah mengarahkan
penyusunan penelitian ini.
9. Ekawaty Prasetya, S.Si, M.Kes sebagai Penguji II yang telah mengarahkan
penyusunan penelitian ini.
10. Seluruh Dosen di lingkungan Fakultas Olahraga dan Kesehatan Universitas
Negeri Gorontalo, khususnya Bapak dan Ibu Dosen serta Staf Jurusan
Kesehatan Masyarakat Fakultas Olahraga dan Kesehatan Universitas Negeri
Gorontalo yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa kuliah.
11. Kepala Dinas Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik (KesbangPol) Kota
Gorontalo, dan Kepala Dinas Kesehatan Kota Gorontalo yang turut membantu
pada penelitian ini.
12. Kepala Sekolah SD Negeri 24 Kota Gorontalo beserta staf dewan guru yang
turut membatu pada penelitian ini.
13. Seluruh Guru SDN 25 Dungingi, SMP N 6 Kota Gorontalo dan SMA N 2
Kota Gorontalo yang selalu sabar membimbing semasa sekolah dan
memberikan ilmu yang bermanfaat.
14. Teristimewa kepada kedua orang tua tercinta, Ibu Salma Thaib Apona dan
Bapak Baharudin Datu yang selalu mencurahkan cinta, kasih sayang dan
kesabarannya dalam merawat, mendidik serta yang tiada henti medoakan
penulis dengan tulus dan ikhlas.

xi
15. Terima kasih untuk kakak Rizman Datu dan adik Rendrawansyah R. Datu
yang selalu menghibur, memberikan dorongan, bantuan dan motivasi.
16. Terima kasih seluruh keluarga besar yang selalu memberikan semangat,
nasihat serta materil, dan senantiasa selalu mendoakan yang terbaik.
17. Terima kasih kepada sahabat-sahabat terbaik semasa kuliah, kepada Apriyanto
Amuda, Reynaldi Aditya Ibrahim, Abd. Rizal Nayiu, Christian Julius Ottay,
Agus Pomalingo, Indra Saputra Kude, Reinaldi Julfirman Saleh, Danang
Krido Laksono, Yahya U. Tooli, Alfian Taliki, Rahmad Irmawan, Debby
Derista Yusuf, Yulan Daud, Fitriyanti Katili, Gladys Monika Hanafi, Wik Sri
Rahayu Rauf, Fira Amirah M. Ointu, Nurinda Nuwa, Regitta Chynthia Hala,
Tuti Amanah Dundo, Cinly Novita H. Mokodongan, Nuzlia Wahyuni
Djangko, Anggita A.P. Rauf, Chyntia Paris, yang selalu hadir membantu dan
memberikan semangat dan dukungan yang tak henti-henti.
18. Terima kasih untuk teman-teman Angkatan 2014 Jurusan Kesehatan
Masyarakat teristimewa Teman-teman kelas A (KeA14), yang selalu dengan
ikhlas membantu demi meraih gelar S.KM, terima kasih atas segala doa,
dukungan dan kerja sama dari kalian semua selama empat setengah tahun,
banyak pelajaran yang di dapatkan, suka duka, dan banyak mengukir cerita-
cerita indah bersama.
19. Terima kasih kepada adik-adik dan kakak-kakak senior jurusan Kesehatan
Masyarakat karena telah memeberikan pengalaman-pengalaman yang tak
terlupakan serta masukan dan dukungan yang sangat berharga.
20. Terima kasih kepada Ayahanda Desa Tutulo, karang taruna dan rema muda
Desa Tutulo dan teman-teman Staf KKS DESTANA Desa Tutulo serta
seluruh masyarakat Desa Tutulo Kecamatan Botumoito, terima kasih buat
kalian semua, yang telah mengukir cerita indah.
21. Terima kasih kepada teman-teman/sahabat-sahabat Blok D Area yang sedari
kecil hingga saat ini terus bersama dalam suka maupun duka. Terus semangat
untuk berkarya.
22. Terima kasih kepada pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, telah membantu serta memberi dukungan dan mendokan penulis.

xii
Gorontalo, 12 Desember 2018
Penulis
Riznan Datu

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL................................................................................... i
LOGO.............................................................................................................. ii
HALAMAN JUDUL....................................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN........................................................................ iv
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................... v
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ vi
ABSTRAK....................................................................................................... vii
ABSTRACT..................................................................................................... viii
MOTO DAN PERSEMBAHAN.................................................................... ix
KATA PENGANTAR.................................................................................... x
DAFTAR ISI................................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL........................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xvii
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH..................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar belakang........................................................................................... 1
1.2 Identifikasi masalah................................................................................... 6
1.3 Rumusan masalah...................................................................................... 7
1.4 Tujuan penelitian....................................................................................... 7
1.4.1 Tujuan Umum.................................................................................. 8
1.4.2 Tujuan Khusus................................................................................. 8
1.5 Manfaat penelitian..................................................................................... 8
1.5.1 Manfaat teoritis................................................................................ 8
1.5.2 Manfaat praktis................................................................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 10
2.1 Stunting....................................................................................................... 10
2.1.1 Definisi............................................................................................. 10
2.1.2 Indikator Stunting............................................................................. 11
2.1.3 Penyebab Stunting............................................................................ 13
2.2 Anak Usia Sekolah..................................................................................... 17
2.2.1 Definisi............................................................................................. 17
2.2.2 Tahap-Tahap Tumbuh Kembang..................................................... 18
2.2.3 Status Gizi Anak Usia Sekolah........................................................ 20
2.2.4 Angka Kecukupan Gizi pada Anak Usia Sekolah............................ 21
2.3 Pola Konsumsi Makan Anak Sekolah........................................................ 24
2.3.1 Kebiasaan Makan Anak................................................................... 24
2.3.2 Kebutuhan Energi............................................................................. 25
2.3.3 Kebutuhan Protein............................................................................ 28

xiii
2.4 Status Sosial Ekonomi................................................................................ 30
2.4.1 Pendidikan Ibu................................................................................. 31
2.4.2 Pendapatan Keluarga........................................................................ 32
2.5 Kerangka Berfikir....................................................................................... 34
2.5.1 Kerangka Teori................................................................................. 34
2.5.2 Kerangka Konsep............................................................................. 34
2.5.3 Hipotesis Penelitian.......................................................................... 35
BAB III METODE PENELITIAN................................................................ 36
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................................... 36
3.1.1 Lokasi Penelitian.............................................................................. 36
3.1.2 Waktu Penelitian.............................................................................. 36
3.2 Desain Penelitian........................................................................................ 36
3.3 Variabel Penelitian...................................................................................... 37
3.3.1 Variabel Bebas................................................................................. 37
3.3.2 Variabel Terikat............................................................................... 37
3.4 Populasi Dan Sampel.................................................................................. 37
3.4.1 Populasi............................................................................................ 37
3.4.2 Sampel.............................................................................................. 37
3.5 Teknik Pengumpulan Data......................................................................... 39
3.5.1 Data Primer...................................................................................... 39
3.5.2 Data Sekunder.................................................................................. 39
3.6 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif................................................. 39
3.6.1 Stunting............................................................................................ 39
3.6.2 Konsumsi Energi Protein................................................................. 40
3.6.3 Sosial Ekonomi................................................................................ 42
3.7 Pengolahan dan Analisis Data.................................................................... 43
3.7.1 Teknik Pengolahan Data.................................................................. 43
3.7.2 Teknik Analisis Data........................................................................ 43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.............................. 45
4.1 Hasil Penelitian........................................................................................... 45
4.1.1 Gambaran Umum Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota
Gorontalo.......................................................................................... 45
4.1.2 Karakteristik Responden.................................................................. 46
4.1.3 Analisis Data Univariat.................................................................... 48
4.1.4 Normalitas Data............................................................................... 53
4.1.5 Analisis Data Bivariat...................................................................... 55
4.1.6 Pembahasan...................................................................................... 59
BAB V PENUTUP.......................................................................................... 71
5.1 Simpulan..................................................................................................... 71
5.2 Saran........................................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 73
LAMPIRAN

xiv
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman


Tabel 2.1 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks TB/U
Standart Baku Antropometeri WHO-NCHS.................................... 12
Tabel 2.2 Kebutuhan Zat Gizi menurut Angka Kecukupan Gizi
(AKG) 2013..................................................................................... 23
Tabel 2.3 Nilai Energi dalam Bahan Makanan (kkal/100gram)...................... 26
Tabel 2.4 Angka Kecukupan Energi pada Anak Usia 7-9 dan 10-12 Tahun... 27
Tabel 2.5 Nilai Protein dalam Bahan Makanan............................................... 29
Tabel 2.6 Angka Kecukupan Protein pada Anak Usia 6-7 dan 10-12 Tahun. . 30
Tabel 4.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis kelamin Anak
di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo........................ 46
Tabel 4.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Kelompok Umur Anak
di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo........................ 47
Tabel 4.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Kelas Anak
di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo........................ 48
Tabel 4.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Kejadian stunting pada anak
di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo........................ 48
Tabel 4.5 Distribusi Kejadian Stunting Berdasarkan Jenis Kelamin
Pada Anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo...... 49
Tabel 4.6 Distribusi Kejadian Stunting Berdasarkan Umur
Pada Anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo...... 49
Tabel 4.7 Distribusi Kejadian Stunting Berdasarkan Kelas
Pada Anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo...... 50
Tabel 4.8 Distribusi Sampel Berdasarkan Kebiasaan Konsumsi Energi......... 50
Tabel 4.9 Distribusi Sampel Berdasarkan Kebiasaan Konsumsi Protein........ 51
Tabel 4.10 Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi............ 51
Tabel 4.11 Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Kecukupan Protein........... 52
Tabel 4.12 Distribusi Sampel Berdasarkan Pendidikan Ibu............................... 52
Tabel 4.13 Distribusi Sampel Berdasarkan Pendapatan Keluarga..................... 53
Tabel 4.14 Pengujian Normalitas Data Variabel Penelitian............................... 54
Tabel 4.15 Tabulasi Silang Hubungan Variabel Kebiasaan Konsumsi
Energi Protein dengan Kejadian Stunting........................................ 55
Tabel 4.16 Tabulasi Silang Hubungan Variabel Kebiasaan Konsumsi
Energi Protein dengan Kejadian Stunting........................................ 56
Tabel 4.17 Tabulasi Silang Hubungan Variabel Tingkat Sosial Ekonomi
Energi Protein dengan Kejadian Stunting........................................ 58

xv
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


Gambar 2.1 Bagan Kerangka Teori................................................................... 34
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Konsep................................................................ 34
Gambar 3.1 Bagan Rancangan Cross Sectional................................................. 36

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman


Lampiran 1 Instrumen Penelitian...................................................................... 76
Lampiran 2 Height-for-age BOYS 5 to 19 Years (z-scores).............................. 78
Lampiran 3 Height-for-age GIRLS 5 to 19 Years (z-scores)............................ 82
Lampiran 4 Surat Penelitian dari Fakultas........................................................ 86
Lampiran 5 Surat Penelitian dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik............ 87
Lampiran 6 Surat Penelitian dari Peijinan........................................................ 88
Lampiran 7 Mater Tabel.................................................................................... 89
Lampiran 8 Dokumentasi Penelitian................................................................. 93
Lampiran 9 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian............................. 95
Lampiran 10 Pengujian Univariate..................................................................... 96
Lampiran 11 Normalitas Data............................................................................. 104
Lampiran 12 Pengujian Bivariate........................................................................ 107
Lampiran 13 Artikel............................................................................................ 112
Lampiran 14 Curiculum Vitae............................................................................ 128

xvii
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

Daftar Singkatan
ASI : Air Susu Ibu
FFQ : Food Frequency Question
RDA : Recommended Dietary Allowance
SD : Standar Deviasi
SDN : Sekolah Dasar Negeri
TB/U : Tinggi Badan per Umur
UNICEF : United Nations Children Fund
WHO : Word Health Organitation
LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
AKG : Angka Kecukupan Gizi

Daftar Istilah
Familial Short Stature : Perawakan pendek
Catch-up growth Arah garis pertumubuhan melebihi arah
garis baku.
Food Frequency : Metode frekuensi makanan yang
merupakan salah satu metode dietary
assessment dalam konteks individu yang
mencatat frekuensi individu terhadap
beberapa jenis makanan (<100) dalam
kurun waktu tertentu
Food recall : Metode penilaian diet terorganisir yang
digunakan untuk menentukan semua
makanan dan minuman yang di konsumsi
dalam periode 24 jam
Growth Faltering : Arah garis pertumbuhan kurang dari arah
garis baku atau pertumbuhan kurang dari
yang diharapan
Malnutrisi : Kurang gizi
Recommended Dietary Allowance: : Angka Kecukupan Gizi
Stunting : Tubuh yang pendek
Tryptophan : Salah satudari 20 asam amino penyusun
protein yang bersifat esensial bagi
manusia (C11H12N2O2)

xviii
xix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada masa anak-anak memerlukan zat gizi yang relatif lebih besar

dibandingkan usia dewasa karena masih tergolong usia pertumbuhan. Anak usia

sekolah dalam hal pemenuhan kebutuhan gizi tidak berbeda dengan anak balita

akan tetapi anak usia sekolah dasar sudah bisa memilih makanan yang disenangi

dan sudah mulai menyukai makanan diluar rumah. Maka, peran orangtua sangat

penting dalam pemenuhan gizi anak. Pengetahuan gizi yang baik dari orangtua

diperlukan untuk dapat menyediakan menu makanan yang seimbang. Berbagai

penelitian mengungkapkan bahwa kekurangan gizi, terutama pada usia anak-anak

akan berdampak pada tumbuh kembang anak.

Anak usia sekolah adalah investasi bangsa, karena mereka adalah generasi

penerus bangsa. Kualitas bangsa di masa depan ditentukan oleh kualitas anak-

anak saat ini. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan

sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Tumbuh kembang anak usia sekolah

yang optimal tergantung pada pemberian gizi dengan kualitas dan kuantitas yang

baik serta benar. Dalam masa tumbuh kembang tersebut pemberian asupan

makanan pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna

(Judarwanto, 2008).

Anak usia sekolah dasar adalah anak berusia 6-12 tahun. Pada usia ini masih

terjadi pertumbuhan (Sulistyoningsih, 2011). Namun stunting menjadi salah satu

permasalahan dalam proses pertumbuhan karena berhubungan dengan

1
2

meningkatnya risiko terjadinya kesakitan, kematian, dan perkembangan otak yang

suboptimal.

Kebutuhan gizi anak sekolah dipengaruhi oleh kebiasaan makan. Kebiasaan

makan yang baik akan dapat memenuhi asupan gizi seimbang bagi anak,

sebaliknya kebiasaan makan yang buruk akan dapat menghambat terpenuhinya

kecukupan gizi. Bila asupan makanan yang dikonsumsi anak memiliki kandungan

gizi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan tubuh anak, maka proses

pertumbuhan anak akan berlangsung secara optimal. Makanan yang dibutuhkan

anak usia sekolah hendaknya memiliki sumber energi yang berasal dari

karbohidrat, protein, dan lemak. Selain itu zat gizi mikro seperti mineral dan

vitamin juga diperlukan tubuh. Pola makan yang baik diharapkan dapat

menyumbangkan kecukupan energi, protein, dan mineral seperti kalsium.

Kebiasaan makan yang salah akan berdampak pada masalah yang sering terjadi

pada anak usia sekolah yaitu stunting.

Stunting merupakan salah satu bentuk kelainan gizi dari segi ukuran tubuh

yang ditandai dengan keadaan tubuh yang pendek hingga melampaui defisit -2SD

di bawah standar WHO (WHO, 2010). Stunting merupakan kegagalan dalam

mencapai pertumbuhan yang optimal disebabkan oleh keadaan gizi kurang yang

berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Status stunting dapat dihitung dengan

menggunakan antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-19 tahun yaitu dengan

menghitung nilai Z-score TB/U masing-masing anak

Stunting pada anak sekolah dapat diketahui dari indikator tinggi badan

menurut umur (TB/U). Timbulnya kondisi seperti ini erat kaitannya dengan
3

kegagalan pertambahan tinggi badan yang tidak mencapai batas angka

pertumbuhan tinggi badan sesuai umur. Anak usia sekolah tergolong kelompok

rentan gizi karena membutuhkan zat gizi dalam jumlah besar untuk menyokong

pertumbuhan mereka. Pertumbuhan ini juga akan dipengaruhi oleh asupan zat gizi

yang dikonsumsi dalam bentuk makanan. Kekurangan atau kelebihan zat gizi akan

dimanifestasikan dalam bentuk pertumbuhan yang menyimpang dari pola standar

(Khomsan, 2003).

Kejadian stunting secara langsung juga dipengaruhi oleh pola makan atau

kebiasaan makan anak yang kurang mengandung zat gizi yang cukup. Sejumlah

penelitian telah menunjukkan pentingnya peran zat gizi tidak saja pada

pertumbuhan fisik tubuh tetapi juga dalam pertumbuhan otak, perkembangan

perilaku, motorik, dan kecerdasan. Selain itu, seorang anak yang sehat dan normal

akan tumbuh sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Penelitian di

Ethiopia pada anak usia 5-11 bulan menunjukkan bahwa kejadian stunting

disebabkan oleh rendahnya asupan energi. Ketidak cukupan tersebut dikarenakan

rendahnya densitas makanan dan kandungan energi dalam makanan tambahan

anak (Umeta dkk., 2002). Protein dibutuhkan untuk membangun, menjaga dan

memperbaiki jaringan tubuh. Protein juga memiliki peranan penting dalam

pertumbuhan. Anak-anak yang memiliki risiko tinggi terhadap stunting mungkin

memiliki keterbatasan asam amino esensial (seperti tryptophan dan lysine) dalam

asupan makanan mereka (Semba dkk., 2010).

Kejadian stunting secara tidak langsung dipengaruhi oleh faktor sosial

ekonomi, seperti tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, dan ketersediaan


4

pangan. Ketersediaan pangan merupakan kemampuan keluarga untuk memenuhi

kebutuhan pangan yang cukup baik segi kuantitas dan kualitas dan keamanannya.

Kurang tersedianya pangan dalam suatu keluarga secara terus-menerus akan

menyebabkan terjadinya penyakit akibat kurang gizi pada keluarga. Status

ekonomi keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pekerjaan orang

tua, tingkat pendidikan orang tua dan jumlah anggota keluarga. Status ekonomi

keluarga akan mempengaruhi kemampuan pemenuhan gizi keluarga maupun

kemampuan mendapatkan layanan kesehatan. Anak pada keluarga dengan tingkat

ekonomi rendah lebih berisiko mengalami stunting karena kemampuan

pemenuhan gizi yang rendah, meningkatkan risiko terjadinya malnutrisi (Fernald

dan Neufeld, 2007).

Menurut Nototmodjo (2003), stunting tidak hanya disebabkan oleh satu

faktor saja, tetapi disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor-faktor tersebut

saling berhubungan satu dengan yang lainnya, seperti ekonomi, sosial-budaya,

pendidikan, dan sebagainya. Sosial ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor

yang menentukan jumlah makanan yang tersedia dalam keluarga sehingga turut

menentukkan status gizi keluarga tersebut, termasuk ikut mempengaruhi

pertumbuhan anak (Yusrizal, 2008).

Data dunia menunjukkan 90% anak yang mengalami stunting atau pendek

berada di Asia dan Afrika, hal ini masih merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang belum terselesaikan (Wardlaw dkk., 2012). Di Indonesia,

diperkirakan 7,8 juta anak mengalami stunting, data ini berdasarkan laporan yang
5

dikeluarkan oleh UNICEF dan memposisikan Indonesia masuk ke dalam 5 besar

negara dengan jumlah yang mengalami stunting tinggi (UNICEF, 2007).

Prevalensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37,2%, yang berarti

terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%).

Prevalensi pendek sebesar 37,2% terdiri dari 18,0% sangat pendek dan 19,2%

pendek. Pada tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari

18,8% tahun 2007 dan 18,5% tahun 2010. Prevalensi pendek meningkat dari

18,0% pada tahun 2007 menjadi 19,2% pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013).

Data kejadian stunting di Provinsi Gorontalo pada tahun 2013 mencapai

21,01%. Angka ini cukup baik, dibanding pada tahun 2012 yang sebesar 26,08%

dan pada tahun 2010 (38,01%). Prevalensi stunting di Kabupaten Gorontalo

27,5%, Boalemo 29,2%, Pohuwato 23,5%, Bone Bolango 14,27%, Gorontalo

Utara 21,3% dan terendah di Kota Gorontalo yaitu 10,2% (Dinkes Provinsi

Gorontalo, 2013).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Gorontalo, bahwa prevalensi

kejadian stunting pada tahun 2017 di Kota Gorontalo sebesar 18,7%. Masalah

kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30-39% dan

serius bila prevalensi pendek ≥40% (WHO 2010). Dapat dilihat dari data kejadian

stunting tahun 2013 sampai dengan 2017 prevalensi kejadian stunting meningkat

sebesar 8,5%.

Masalah perbaikan gizi memang berhubungan dengan banyak hal, salah

satunya adalah persoalan pola makan yang baik. Masalah gizi kurang terutama

stunting sangat erat hubungannya dengan kuantitas dan kualitas makanan yang
6

dikonsumsi, di mana faktor yang menentukan kualitas makan adalah tingkat

pendapatan. Namun demikian, peningkatan pendapatan tidak selalu membawa

perbaikan pada konsumsi pangan, karena meningkatnya pengeluaran pangan atau

pendapatan belum tentu diikuti dengan peningkatan kualitas makanan. Hal ini

karena peningkatan pengeluaran belum tentu digunakan untuk pangan. Selain

tingkat pendapatan, faktor sosial budaya termasuk kebiasaan makan yang buruk

yang secara tidak langsung dapat menyebabkan timbulnya masalah gizi kurang.

Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan, dari 25 anak sekolah di

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo sebanyak 10 anak mengalami

stunting. Dari hasil pengumpulan data di kelurahan Tomulabutao Selatan tempat

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo berada mengenai sosial ekonomi,

yaitu sebanyak 35% warga tidak mempunyai pekerjaan, sehingga berpengaruh

terhadap kondisi ekonomi keluarga. Dan dari hasil wawancara kebiasaan makan

pada anak sekolah di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo, dari 25

anak sebanyak 19 anak dengan kebiasaan konsumsi energi sedang dan 15 anak

dengan konsumsi protein sedang.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melihat “Hubungan

Kebiasaan Konsumsi Energi Protein dan Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga

dengan Kejadian Stunting pada Anak Sekolah Dasar Negeri 24 Kota Gorontalo”

1.2 Idetifikasi Masalah

1. Prevalensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37,2%, yang berarti

terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%).

Data kejadian stunting di Provinsi Gorontalo pada tahun 2013 mencapai


7

21,01%. Angka ini cukup baik, dibanding pada tahun 2012 yang sebesar

26,08% dan pada tahun 2010 (38,01%).

2. Terjadi peningkatan prevalensi kejadian stunting di Kota Gorontalo dari tahun

2013 (10,2%) sampai dengan 2017 (18,7%) adalah sebesar 8,5%.

3. Hasil observasi awal yang dilakukan, dari 25 anak sekolah di Sekolah Dasar

Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo sebanyak 10 anak mengalami stunting.

4. Dari hasil pengumpulan data di kelurahan Tomulabutao Selatan tempat

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo berada mengenai sosial

ekonomi, yaitu sebanyak 35% warga tidak mempunyai pekerjaan, sehingga

berpengaruh terhadap kondisi ekonomi keluarga. Dan dari hasil wawancara

kebiasaan makan pada anak sekolah di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota

Gorontalo, dari 25 anak sebanyak 19 anak dengan kebiasaan konsumsi energi

sedang dan 15 anak dengan konsumsi protein sedang.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah:

1. Apakah ada hubungan kebiasaan konsumsi energi protein dengan stunting

pada anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

2. Apakah ada hubungan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan stunting pada

anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.


8

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan

Kebiasaan Konsumsi Energi Protein dan Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga

dengan Kejadian Stunting pada Anak Sekolah Dasar Negeri 24 Kota Gorontalo

1.4.2 Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi konsumsi energi protein pada anak usia sekolah di Sekolah

Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

2. Mengidentifikasi tingkat sosial ekonomi keluarga pada anak usia sekolah di

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

3. Menganalisis hubungan kebiasaan konsumsi energi protein dengan kejadian

stunting pada anak usia sekolah di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota

Gorontalo.

4. Menganalisis hubungan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan kejadian

stunting pada anak usia sekolah di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota

Gorontalo.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat teoritis

Dengan adanya penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan

dalam ilmu kesehatan masyarakat khususnya mengenai hubungan kebiasaan

konsumsi energi protein dan tingkat sosial ekonomi dengan stunting.


9

1.5.2 Manfaat praktis

1. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan bagi pihak sekolah untuk memberi masukan kepada orang tua

siswa tentang pentingnya memperhatikan konsumsi makanan anak sesuai dengan

tingkat kecukupan yang dianjurkan dalam rangka pencapaian status gizi yang

baik.

2. Bagi Orang Tua

Sebagai bahan referensi dalam memperhatikan konsumsi makanan anak

sesuai dengan tingkat kecukupan yang dianjurkan dalam rangka pencapaian status

gizi yang baik.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai informasi dan pengetahuan bagi penelitian lebih lanjut untuk

melihat faktor di luar faktor yang diteliti yang dapat mempengaruhi kejadian

stunting
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting

2.1.1 Definisi

Stunting merupakan salah satu bentuk kelainan gizi dari segi ukuran tubuh

yang ditandai dengan keadaan tubuh yang pendek hingga melampaui defisit -2SD

di bawah standar WHO (WHO, 2010). Stunting merupakan kegagalan dalam

mencapai pertumbuhan yang optimal disebabkan oleh keadaan gizi kurang yang

berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Status stunting dapat dihitung dengan

menggunakan antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-19 tahun yaitu dengan

menghitung nilai Z-score TB/U masing-masing anak.. Stunting merupakan

gambaran keadaan masa lalu, karena hambatan atau gangguan pertumbuhan tinggi

badan atau pertumbuhan linier yang memerlukan waktu lama, dalam hitungan

bulan atau bahkan tahun (Sudirman, 2008).

Stunting dapat memberikan dampak bagi kelangsungan hidup anak. WHO

(2013) membagi dampak yang diakibatkan oleh stunting menjadi dua yang terdiri

dari jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek dari stunting

adalah di bidang kesehatan yang dapat menyebabkan peningkatan mortalitas dan

morbiditas di bidang perkembangan berupa penurunan perkembangan kognitif,

motorik, bahasa, dan bidang ekonomi berupa peningkatan pengeluaran biaya

kesehatan. Stunting juga data menyebabkan dampak jangka panjang di bidang

kesehatan berupa perawakan yang pendek, peningkatan risiko untuk obesitas dan

kormobidnya, dan penurunan kesehatan reproduksi, di bidang perkembangan

10
11

berupa penurunan prestasi dan kapasitas belajar, dan di bidang ekonomi berupa

penurunan kemampuan dan kapasitas kerja.

Stunting (Tubuh yang pendek) menggambarkan keadaan gizi kurang yang

sudah berjalan lama dan memerlukan waktu bagi anak untuk berkembang serta

pulih kembali. Anak-anak yang bertubuh pendek (stunted) pada usia kanak-kanak

dini terus menunjukan kemampuan yang lebih buruk dalam fungsi kognitif yang

beragam dan prestasi sekolah yang lebih buruk dibandingkan anak-anak yang

bertubuh normal hingga usia 12 tahun (Gibney, 2009).

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan

keadaanpertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring

dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan,

relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang

pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam

waktu yang relatif lama (Supariasa, 2002).

2.1.2 Indikator Stunting

Tinggi badan menurut umur (TB/U) adalah indikator untuk mengetahui

seseorang anak stunting atau normal. Tinggi badan merupakan ukuran

antropometri yang menggambarkan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan

normal, tinggi badan tumbuh seiring pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi

badan relatif kurang sensitifterhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang

pendek. Indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lampau serta erat

kaitannya dengan sosial ekonomi. Menurut Kemenkes (2010), stunting


12

dikategorikan sebagai berikut: sangat pendek (z-score <-3 SD), pendek (-3 SD s/d

<- 2 SD), normal (z-score -2 SD s/d 2 SD) dan tinggi (z-score >2SD).

Tabel 2.1 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks TB/U Standart Baku
Antropometeri WHO-NCHS
Ambang batas
Indeks Kategori Status Gizi
(Z-Score)
< -3 SD Sangat Pendek
- 3 s/d <-2 SD Pendek
TB/U
- 2 s/d 2 SD Normal
> 2 SD Tinggi
Sumber : Depkes RI, 2010.

Menurut Supariasa (2002), penilaian status gizi dapat dilakukan dengan dua

metode, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung

adalah metode yang cara kerjanya berhubungan atau kontak langsung dengan

masing-masing responden. Enumerator harus langsung bertemu dengan responden

yang ingin diketahui status gizinya. Metode ini terbagi atas empat cara penilaian

status gizi, yaitu secara klinis, biokimia, biofisik, dan antropometri.

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan

mengukur beberapa parameter, sedangkan parameter adalah ukuran tunggal dari

ukuran tubuh manusia. Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi

keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang. Pengukurang tinggi badan atau

panjang badan pada anak dapat dilakukan dengan alat pengukur tinggi/panjang

badan dengan presisi 0.1 cm (Supariasa dkk., 2002).

Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronik

sebagai akibat dari keadaan berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku

hidup sehat dan pola asuh/pemberian makanan yang kurang baik dari sejak anak

dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek.


13

2.1.3 Penyebab stunting

Terdapat beberapa penyebab perawakan pendek diantaranya dapat berupa

varian yang diturunkan (familial), penyakit endokrin, kromosomal, penyakit

kronis, malnutrisi, riwayat pemberian ASI sebelumnya, dan status sosial ekonomi

keluarga.

1. Stunting familial

Perawakan pendek dapat disebabkan karena faktor genetik dari orang tua

dan keluarga. Perawakan pendek yang disebabkan karena genetik dikenal sebagai

familial short stature (perawakan pendek familial). Tinggi badan orang tua

maupun pola pertumbuhan orang tua merupakan kunci untuk mengetahui pola

pertumbuhan anak. Faktor genetik tidak tampak saat lahir namun akan

bermanifestasi setelah usia 2-3 tahun. Korelasi antara tinggi anak dan midparental

high (MPH) 0,5 saat usia 2 tahun dan menjadi 0,7 saat usia remaja. Perawakan

pendek familial ditandai oleh pertumbuhan yang selalu berada di bawah persentil

3, kecepatan pertumbuhan normal, usia tulang normal, tinggi badan orang tua atau

salah satu orang tua pendek dan tinggi di bawah persentil 3.

2. Kelainan patologis

Perawakan pendek patologis dibedakan menjadi proporsional dan tidak

proporsional. Perawakan pendek proporsional meliputi malnutrisi, penyakit

infeksi/kronik dan kelainan endokrin seperti defisiensi hormon pertumbuhan,

hipotiroid, sindrom cushing, resistensi hormon pertumbuhan dan defisiensi IGF-1.

Perawakan pendek tidak proporsional disebabkan oleh kelainan tulang seperti


14

kondrodistrofi, displasia tulang, Turner, sindrom Prader-Willi, sindrom Down,

sindrom Kallman, sindrom Marfan dan sindrom Klinefelter.

3. Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi akut akibat infeksi sistemik seperti penumonia, diare

persisten, disentri dan penyakit kronis seperti kecacingan mempengaruhi

pertumbuhan linear. Infeksi akan menyebabkan asupan makanan menurun,

gangguan absorpsi nutrien, kehilangan mikronutrien secara langsung,

metabolisme meningkat, kehilangan nutrien akibat katabolisme yang meningkat,

gangguan transportasi nutrien ke jaringan. Pada kondisi akut, produksi

proinflamatori seperti cytokin berdampak langsung pada remodeling tulang yang

akan menghambat pertumbuhan tulang.

4. Kelainan kromosom

Penyakit genetik dan sindrom merupakan etiologi yang belum jelas

diketahui penyebabnya berhubungan dengan perawakan pendek.

Beberapagangguan kromosom, displasia tulang dan suatu sindrom tertentu

ditandai dengan perawakan pendek.

5. Malnutrisi

Penyebab perawakan pendek yang paling umum di seluruh dunia adalah

malnutrisi. Protein sangat essensial dalam pertumbuhan dan tidak adanya salah

satu asam amino menyebabkan retardasi pertumbuhan, kematangan skeletal dan

menghambat pubertas.

Klasifikasi malnutrisi berdasarkan respon jaringan atau terhambatnya

pertumbuhan dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe 1 yang terdiri dari salah satu
15

defisiensi zat besi, yodium, selenium, tembaga, kalsium, mangan, tiamin,

riboplavin, piridoksin, niasin, asam askorbat, retinol, tokoferol, kalsiterol, asam

folat, kobalamin dan vitamin K. Tipe 2 diakibatkan oleh kekurangan nitrogen,

sulfur, asam amino esensiil, potasium, sodium, magnesium, seng, phospor, klorin

dan air.

Malnutrisi tipe 1 dikenal dengan functional nutrisi sedangkan tipe 2,

membentuk jaringan dan energi untuk menjalankan fungsi tubuh. Malnutrisi tipe 1

disebabkan asupan yang kurang sehingga konsentrasi di jaringan berkurang,

menimbulkan gejala dan tanda klinis yang khas, konsentrasi dalam jaringan

bervariasi, mekanisme metabolik yang spesifik sehingga mudah dilakukan

pemeriksaan laboratorium, tidak menyebabkan kehilangan berat badan atau gagal

tumbuh, disimpan di dalam tubuh, menunjukkan efek sebagai pengganti nutrisi in

vitro maupun in vivo dan konsentrasi bervariasi pada air susu ibu (ASI).

Malnutrisi tipe 2 sulit untuk didiagnosis karena tanda dan gejala tidak khas

seperti tipe 1. Nutrisi tipe 2 berfungsi membangun jaringan sehingga jaringan

tidak akan terbentuk bila terjadi defisiensi nutrisi tersebut bahkan akan terjadi

katabolisme jaringan dan seluruh komponen jaringan akan diekskresikan. Apabila

jaringan akan dibangun kembali maka seluruh komponen harus diberikan dengan

seimbang dan saling ketergantungan. Tidak disimpan di dalam tubuh sehingga

tergantung dari asupan setiap hari. Beberapa nutrisi seperti phospor, seng dan

magnesium sangat kecil jumlahnya di dalam makanan sehingga konsentrasi yang

tinggi diperlukan dengan cara fortifikasi pada beberapa makanan untuk proses

penyembuhan.
16

6. Riwayat pemberian ASI

Pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi memerlukan masukan zat-

zat gizi yang seimbang dan relatif besar. Namun, kemampuan bayi untuk makan

dibatasi oleh keadaan saluran pencernaannya yang masih dalam tahap

pendewasaan. Satu-satunya makanan yang sesuai dengan keadaan saluran

pencernaaan bayi dan memenuhi kebutuhan selama berbulan-bulan pertama

adalah ASI.

Pemberian ASI yang kurang sesuai dapat menyebabkan bayi menderita gizi

kurang dan gizi buruk. Padahal kekurangan gizi pada bayi akan berdampak pada

gangguan psikomotor, kognitif dan sosial serta secara klinis terjadi gangguan

pertumbuhan. Dampak lainnya adalah derajat kesehatan dan gizi anak Indonesia

masih memprihatinkan.

Anak yang tidak mendapatkan ASI berisiko lebih tinggi untuk kekurangan

zat gizi yang diperlukan untuk proses pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan

selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya stunting pada anak

7. Status sosial ekonomi keluarga

Faktor sosial ekonomi yaitu meliputi data sosial yaitu, keadaan penduduk,

keadaan keluarga, pendidikan, perumahan, dapur penyimpanan makanan, sumber

air, kakus. Sementara data ekonomi meliputi pekerjaan, pendapatan keluarga,

kekayaan, pengeluaran dan harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi

musim.

Rawan pangan dan gizi masih menjadi salah satu masalah besar bangsa ini.

Masalah gizi berawal dari ketidakmampuan rumah tangga mengakses pangan,


17

baik karena masalah ketersediaan di tingkat lokal, kemiskinan, pendidikan dan

pengetahuan akan pangan dan gizi, serta perilaku masyarakat. Kekurangan gizi

mikro seperti vitamin A, zat besi dan yodium menambah besar permasalahan gizi

di Indonesia. Dengan demikian masalah pangan dan gizi merupakan permasalahan

berbagai sektor dan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat.

Salah satu akibat kemiskinan adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk

memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik. Hal ini

berakibat pada kekurangan gizi, baik zat gizi makro maupun mikro, yang dapat

diindikasikan dari status gizi anak balita salah satunya adalah stunting.

2.2 Anak Usia Sekolah

2.2.1 Definisi

Menurut Buku Data Penduduk yang diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan

Indonesia (2011), anak usia sekolah adalah anak-anak yang berusia 7-12 tahun.

Berdasarkan teori tahap perkembangan Ericson, anak sekolah ialah anak yang

berada pada tahap usia 6-12 tahun (Thalib, 2010). Usia antara 6-12 tahun adalah

usia anak duduk di sekolah dasar. Pada permulaan usia 6 tahun anak mulai masuk

sekolah, sehingga anak-anak mulai masuk kedalam dunia baru, dimana mulai

banyak berhubungan dengan orang-orang diluar keluarganya dan berkenalan

dengan suasana dan lingkungan baru dalam hidupnya (Moehji, 2003).

Laju pertumbuhan fisik anak memang tidak secepat pada masa bayi. Pada

masa ini, sudah memungkinkan bagi anak untuk mulai maan sendiri secara bebas

dan mulai mengembangkan kesukaannya secara subjektif terhadap makanan.

Pemilihan makan dimasa ini akan membentuk pola makan anak tersebut pada
18

masa yang akan datang berdampak pada asupan gizi anak tersebut. Usia anak

sekolah merupakan usia pertumbuhan yang lambat namun konsisten. Pada usia

ini, mereka secara signifikan menunjukkan peningkatan yang berarti dalam

motorik, kognitif, sosial, dan emosional. Pemilihan makanan yang terbentuk pada

usia ini, merupakan dasar pembentukan pola makan pada usia selanjutnya

(Almatsier dkk., 2011).

Menurut Andriani dan Wirjatmadi (2012), sampai pada usia tiga tahun

pertumbuhan anak berlangsung sangat cepat, dan berangsur‐angsur menurun

sampai pada periode prasekolah dan masa sekolah. Pada usia sekolah kurva

percepatan pertumbuhan akan membentuk kurva yang hampir datar. Selanjutnya

pada masa remaja akan terjadi percepatan pertumbuhan kedua hingga akhirnya

berhenti sama sekali. Pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan segala

perubahan yang terjadi baik secara fisik, kognitif, emosi, dan psikososial.

2.2.2 Tahap-tahap tumbuh kembang

Tahapan tumbuh kembang anak secara garis besar dibagi menjadi tiga,

yaitu:

1. Tahap tumbuh kembang usia 0-6 tahun, terdiri atas masa pranatal mulai

embrio (mulai konsepsi -8 minggu) dan masa fetus (9 minggu sampai lahir),

serta masa pascanatal mulai dari masa neonatus (0-28 hari), masa bayi (29

hari-1 tahun), masa anak (1-2 tahun), dan masa prasekolah (3-6 tahun).

2. Tahap tumbuh kembang usia 6 tahun ke atas, terdiri atas masa sekolah (6-12

tahun) dan masa remaja (12-18 tahun).


19

3. Tahapan tumbuh kembang anak usia sekolah

Tahapan ini dimulai sejak anak berusia 6 tahun sampai organ-organ

seksualnya masak. Kematangan seksual ini sangat bervariasi baik antar jenis

kelamin maupun antar budaya berbeda. Berdasarkan pembagian tahapan

perkembangan anak, ada dua masa perkembangan pada anak usia sekolah, 19

yaitu pada usia 6-9 tahun atau masa kanak-kanak tengah dan pada usia 10-12

tahun atau masa kanak-kanak akhir. Setelah menjalani masa kanak-kanak akhir,

anak akan memasuki masa remaja. Pada usia sekolah, anak memiliki karakteristik

yang berbeda dengan anak-anak yang usianya lebih muda. Perbedaan ini terlihat

dari aspek fisik, mental-intelektual, dan sosial-emosial anak. Pertumbuhan fisik

pada anak usia sekolah tidak secepat pada masamasa sebelumnya. Anak akan

tumbuh antara 5-6 cm setiap tahunnya. Pada masa ini, terdapat perbedaan antara

anak perempuan dan anak laki-laki. Namun, pada usia 10 tahun ke atas

pertumbuhan anak laki-laki akan menyusul ketertinggalan mereka. Perbedaan lain

yang akan terlihat pada aspek fisik antara anak laki-laki dan perempuan adalah

pada bentuk otot yang dimiliki. Anak laki-laki lebih berotot dibandingkan anak

perempuan yang memiliki otot lentur (Gunarsa, 2006).

Pada masa pertengahan dan akhir anak-anak merupakan periode

pertumbuhan fisik yang lambat dan relatif seragam sampai mulai terjadi

perubahan-perubahan pubertas, kira-kira dua tahun menjelang anak menjadi

matang secara seksual, pada masa ini pertumbuhan berkembang pesat. Oleh

karena itu, masa ini sering disebut juga sebagai “periode tenang” sebelum

pertumbuhan yang cepat menjelang masa remaja, meskipun merupakan masa


20

tenang, tetapi hal ini tidak berarti bahwa pada masa ini tidak terjadi proses

pertumbuhan fisik yang berarti.

2.2.3 Status gizi anak usia sekolah

Pertumbuhan cepat terjadi pada waktu bayi diikuti penurunan laju

pertumbuhan pada anak pra sekolah dan anak usia sekolah. Ratarata kenaikan

berat badan di usia ini sekitar 1,8‐ 2,7 kg setahun, sedangkan tinggi badan kurang

lebih 7,6 cm setahun pada anak antara satu tahun sampai tujuh tahun, kemudian

meningkat sebanyak 5,1 cm setahun hingga awal pertumbuhan cepat pada usia

remaja. Anak usia sekolah mempunyai laju pertumbuhan fisik yang lambat tetapi

konsisten, terus menerus memperoleh pendewasaan dalam keterampilan motorik

serta menunjukkan peningkatan yang berarti dalam keterampilan kognitif, sosial

dan emosional. Kebiasaan makan yang terbentuk pada usia ini, serta jenis

makanan yang disukai dan tidak disukai, merupakan dasar bagi pola konsumsi

makanan dan asupan gizi anak pada usia selanjutnya. Anak usia sekolah

mempunyai banyak akses terhadap uang, warung, penjaja makanan di lingkungan

sekolah, toko swalayan, yang menyebabkan terbukanya pula akses terhadap

makanan yang kurang terjamin nilai gizinya.

Status Gizi anak didasarkan pada Indikator BB/U. Status gizi anak

berdasarkan indikator TB/U menggambarkan status gizi yang bersifat kronis,

merupakan akibat keadaan kurang gizi dalam waktu yang panjang. Indikator

TB/U dinyatakan dalam tinggi badan normal, pendek dan sangat pendek. Anak

yang termasuk katagori sangat pendek (stunting) pada tahun 2010 sebanyak
21

18,5% dan yang pendek 17,1%, bila keduanya digabungkan dan menjadi angka

35,6%, merupakan masalah nasional yang serius.

2.2.4 Angka kecukupan gizi pada anak usia sekolah

Badan Pangan dan Gizi Dewan Riset Nasional Amerika Serikat sejak tahun

1941 telah menyusun Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (Recommended

Dietary Allowance/RDA). Angka kecukupan gizi yang dianjurkan ini merupakan

standar untuk mencapai gizi baik bagi penduduk (National Research Council,

1989 dalam Almatsier, dkk 2011). Tiap Negara pada umumnya mempunyai AKG

yang sesuai dengan keadaan penduduknya. AKG di Indonesia pertama kali

ditetapkan pada tahun 1968 melalui Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi yang

diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). AKG ini

kemudian ditinjau kembali pada tahun 1978 dan sejak itu secara berkala setiap

lima tahun , terakhir tahun 2004 (Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII,

2004).

Angka Kecukupan Gizi (AKG) berbeda dengan angka kebutuhan gizi

(dietary requirement). Angka kebutuhan gizi menggambarkan banyak zat gizi

minimal yang dibutuhkan seseorang untuk mempertahankan status gizi baik.

Berbagai faktor yang mempengaruhi angka kebutuhan gizi, seperti genetik,

aktivitas, berat badan. Sedangkan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG)

atau Recommended Dietary Allowances (RDA) adalah banyaknya masing-masing

zat gizi esensial yang harus dipenuhi dari makanan mencakup hampir semua

orang sehat untuk mencegah defisiensi zat gizi. AKG sendiri dipengaruhi oleh

umur, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, tinggi badan, genetika, dan keadaan
22

fisiologis, seperti hamil atau menyusui (Sudiarti, T.dan Utari, D.M, 2009). Untuk

mengh itung AKG dari kebutuhan gizi yang diperlukan khususnya energi dan

protein adalah sebagai berikut :

Rumus Perhitungan AKG Energi menurut Supariasa,dkk (2012) :

Berat Responden
AKG Energi Individu= × AKG Standart
Berat St andart

Asupan Energi
% AKG Energi= ×100 %
AKG Energi Individu

Rumus Perhitungan AKG Protein menurut Supariasa,dkk (2012) :

Berat Responden
AKG Protein Individu= × AKG Standart
Berat Standar t

Asupan Protein
% AKG Protein= × 100 %
AKG Protein Individu

Berdasarkan Buku Pedoman Petugas Gizi Puskesmas Depkes RI (1990)

dalam Supariasa,dkk(2012) maka tingkat konsumsi dibagi menjadi empat kategori

dengan masing-masing cut off points sebagai berikut :

a) Baik : ≥ 100% AKG

b) Sedang : 80-99% AKG

c) Kurang : 70-80%

d) Defisit : < 70%

Awal usia 6 tahun anak mulai masuk sekolah, dengan demikian anak-anak

mulai masuk ke dalam dunia baru, dimana dia mulai banyak berhubungan dengan

orang-orang di luar keluarganya, dan dia berkenalan dengan suasana dan

lingkungan baru dalam kehidupannya. Hal ini tentu saja banyak mempengaruhi

kebiasaan makan mereka. Pengalaman-pengalaman baru, kegembiraan di sekolah,


23

rasa takut terlambat tiba di sekolah, menyebabkan anak-anak ini sering

menyimpang dari kebiasaan waktu makan yang sudah diberikan kepada mereka.

Tabel 2.2 Kebutuhan Zat Gizi menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2014
Kelompok umur
4-6 tahun 10-12 tahun
Zat Gizi Makro 7-9 tahun
BB = 19 kg Laki-Laki Perempuan
dan Mikro BB= 27 kg
TB =112 BB= 34 kg BB = 36 kg
TB= 130 cm
cm TB= 142 cm TB = 145 cm
Energi (Kkal) 1.600 1.850 2.100 2.000
Protein (gr) 35 49 56 60
Lemak (gr) 62 72 70 67
Karbohidrat (gr) 220 254 289 275
Vitamin A (mcg) 450 500 600
Vitamin C (mg) 45 45 50
Yodium (mcg) 120 120 120
Zink/seng (mg) 5 11 14 13
Kalsium (mg) 1.000 1.000 1.200 1.200
Zat besi (mg) 9 10 13 20
Folat (mcg) 200 300 400
Sumber: Pedoman Gizi Seimbang Kementrian Kesehatan RI 2014

Adanya aktivitas yang tinggi mulai dari sekolah, kursus, mengerjakan

pekerjaan rumah (PR) dan mempersiapkan pekerjaan untuk esok harinya,

membuat stamina anak cepat menurun kalau tidak ditunjang dengan aspuan

pangan dan gizi yang cukup dan berkualitas. Agar stamina anak usia sekolah

tetap fit selama mengikuti kegiatan di sekolah maupun kegiatan ekstra kurikuler,

maka saran utama dari segi gizi adalah jangan meninggalkan sarapan pagi. Ada

berbagai alasan yang seringkali menyebabkan anak-anak tidak sarapan pagi. Ada

yang merasa waktu sangat terbatas karena jarak sekolah cukup jauh, terlambat

bangun pagi, atau tidak ada selera untuk sarapan pagi.

Pentingnya mengkonsumsi makanan selingan selama di sekolah adalah agar

kadar gula tetap terkontrol baik, sehingga konsentrasi terhadap pelajaran dan

aktivitas lainnya dapat tetap dilaksanakan. Kandungan zat gizi makanan selingan
24

ditinjau dari besarnya kandungan energi dan protein sebesar 300 kkal dan 5 gram

protein. Kebutuhan energi golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar daripada

golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan relatif cepat, terutama

penambahan tinggi badan. Mulai umur 10-12 tahun, Kebutuhan gizi anak laki-laki

berbeda dengan anak perempuan.

2.3 Pola Konsumsi Makan Anak Sekolah

2.3.1 Kebiasaan makan anak

Pada permulaan masuk sekolah anak mulai masuk kedalam dunia baru,

dimana dia mulai banyak berhubungan dengan orang-orang diluar keluarganya

dan berkenalan dengan suasana dan lingkungan baru dalam hidupnya. Hal ini

dapat memengaruhi kebiasaan makan mereka (Moehji, 1977).

Untuk melihat makanan yang benar pada anak usia sekolah harus dilihat

dari banyak aspek, seperti ekonomi, sosial, budaya, agama, disamping aspek

medik dari anak itu sendiri. Makanan pada anak usia sekolah harus serasi, selaras,

dan seimbang. Serasi artinya sesuai dengan tingkat tumbuh kembang anak, selaras

adalah sesuai dengan kondisi ekonomi, sosial budaya, serta agama dari keluarga.

Sedangkan seimbang artinya nilai gizinya harus sesuai dengan kebutuhan

berdasarkan usia dan jenis bahan makanan seperti karbohidrat, protein, dan lemak

(Judarwanto, 2009)

Kejadian stunting pada umumnya disebabkan oleh banyak faktor yang

saling berhubungan. Konsumsi zat gizi seperti energi, protein dan seng serta

riwayat penyakit infeksi merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap

proses pertumbuhan anak. Kurangnya asupan nutrisi untuk anak akan


25

menyebabkan bertambahnya jumlah anak dengan growth faltering (gangguan

pertumbuhan) (Kusharisupeni, 2011).

Menurut Suhardjo (2009), bahwa kebiasaan makan mempelajari cara yang

berhubungan dengan konsumsi pangan dan menerima atau menolak bentuk atau

jenis pangan tertentu dimulai dari permulaan hidup dan menjadi bagian perilaku

yang berakar di antara kelompok penduduk. Kebiasaan makan yang terbentuk

selama masa kanak - kanak akan bertahan sampai dewasa. Anak-anak lebih

memilih makanan yang sebelumnya mereka telah kenal.

Kebiasaan makan dan sosial ekonomi keluarga berperan penting dalam

pertumbuhan tinggi badan anak. Status ekonomi keluarga akan mempengaruhi

pemenuhan gizi keluarga. Anak pada keluarga dengan tingkat ekonomi rendah

lebih berisiko mengalami stunting karena kemampuan pemenuhan gizi yang

rendah, meningkatkan risiko terjadinya malnutrisi (Fernald dan Neufeld, 2007).

Menurut Oktari (2015), rata – rata konsumsi energi anak stunting dalam

sehari masih kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang telah dianjurkan.

Hal ini dapat terjadi karena makanan yang dikonsumsi sehari –hari anak stunting

belum bisa mencukupi kebutuhan energi yang dibutuhkan dalam sehari.

Kebiasaan makan anak, jumlah asupan yang kurang, dan frekuensi makan

makanan pokok yang dikonsumsi hanya dua kali juga mengakibatkan kebutuhan

energi anak belum tercukupi.

2.3.2 Kebutuhan Energi

Menurut Ramli, et al. (2009), Gizi yang cukup diperlukan untuk menjamin

pertumbuhan optimal dan perkembangan bayi dan anak. Kebutuhan gizi sehari-
26

hari digunakan untuk menjalankan dan menjaga fungsi normal tubuh dapat

dilakukan dengan memilih dan mengasup makanan yang baik (kualitas dan

kuantitasnya) (Almatsier, 2005). Makanan merupakan sumber energi untuk

menunjang semua kegiatan atau aktifitas manusia. Energi dalam tubuh manusia

dapat timbul dikarenakan adanya pembakaran karbohidrat, protein dan lemak.

Dengan demikian agar manusia selalu tercukupi energinya diperlukan pemasukan

zat-zat makanan yang cukup pula kedalam tubuhnya. Manusia yang kurang

makanan akan lemah baik daya kegiatan, pekerjaan fisik atau daya pemikirannya

karena kurangnya zat-zat makanan yang diterima tubuhnya yang dapat

menghasilkan energy (Suhardjo, 2003).

Sumber energi berkonsentrasi tinggi adalah bahan makanan sumber lemak,

seperti lemak dan minyak, kacang-kacangan dan biji-bijian. Setelah itu makanan

sumber karbohidrat, seperti padi-padian, umbi-umbian, dan gula murni. Semua

makanan yang dibuat dari dan dengan bahan makanan tersebut merupakan sumber

energi (Almatsier, 2009).

Tabel 2.3 Nilai Energi dalam Bahan Makanan (kkal/100gram)


Bahan Makanan Gram
Biskuit 458
Bihun 348
Nasi 180
Singkong 154
Jagung 147
Ubi jalar kuning 119
Mie 88
Kentang 62
Sumber: Mahmud et al, 2009

Terhambatnya pertumbuhan pada bayi dan anak-anak, tercermin dalam

tinggi badan yang tidak sesuai dengan usia, merupakan contoh adaptasi pada
27

asupan energi rendah dalam waktu yang lama. Jika kekurangan energi tidak

terlalu lama, anak akan menunjukkan catch-up growth. Stunting mencerminkan

kekurangan gizi kronis dan terdeteksi sebagai gangguan pertumbuhan linier.

Anak merupakan kelompok dinamis mulai masa neonatal sampai dewasa.

Setiap kelompok mempunyai perbedaan dalam hal kenaikan berat badan,

kecepatan pertumbuhan, lingkungan hormonal, aktivitas dan faktor lain yang

berpengaruh terhadap status nutrisi dan metabolik. Kebutuhan energi pada anak

sekolah berhubungan dengan laju pertumbuhan.Kebutuhan individual anak

tergantung pada aktivitas anak dan kebutuhan zat gizi.

Berdasarkan Kemenkes RI Angka Kecukupan Gizi (2014), angka

kecukupan energi yang dianjurkan (per orang dalam sehari) pada anak usia 7 – 9

tahun dan 10 – 12 tahun dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.4 Angka Kecukupan Energi pada Anak Usia 7-9 dan 10 – 12 Tahun
Berat Badan Tinggi Badan Energi
Usia Jenis kelamin
(kg) (cm) (kkal)
Laki-laki dan
7–9 27 130 1850
Perempuan
10 – 12 Laki-Laki 34 142 2100
10 – 12 Perempuan 36 145 2000
Sumber: Pedoman Gizi Seimbang Kementrian Kesehatan RI, 2014

Dalam usaha menciptakan manusia yang sehat pertumbuhannya, penuh

semangat dan penuh kegairahan dalam kerja, serta tinggi daya cipta dan

kreatifitasnya, maka sejak anak-anak harus dipersiapkan. Untuk itu energi harus

benar-benar diperhatikan, tetap selalu berada dalam kondisi cukup (Kartasapoetra

& Narsetyo, 2001).


28

2.3.3 Kebutuhan Protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh,

karena di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi

sebagai zat pembangun dan pengatur. Sebagai zat pembangun, protein merupakan

bahan pembentuk jaringan-jaringan baru yang selalu terjadi di dalam tubuh. Pada

masa pertumbuhan proses pembentukan jaringan terjadi secara besar-besaran,

pada masa kehamilan proteinlah yang membentuk jaringan janin dan pertumbuhan

embrio. Protein juga mengganti jaringan tubuh yang rusak dan yang perlu

dirombak. Fungsi utama protein bagi tubuh ialah untuk membentuk jaringan baru

dan mempertahankah jaringan yang telah ada.

Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah

maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang. Sumber

protein nabati adalah kacang kedelai dan hasilnya, seperti tempe dan tahu, serta

kacang-kacangan lain. Bahan makanan hewani kaya dalam protein bermutu tinggi,

tetapi hanya merupakan 18,4% konsumsi protein rata-rata penduduk Indonesia.

Bahan makanan nabati yang kaya dalam protein adalah kacangkacangan.

Kontribusinya rata-rata terhadap konsumsi protein hanya 9,9%. Sayur dan buah-

buahan rendah dalam protein, kontribusinya rata-rata terhadap konsumsi protein

adalah 5,3%. Gula, sirop, lemak, dan minyak murni tidak mengandung protein

(Almatsier, 2009).
29

Tabel 2.5 Nilai Protein dalam Bahan Makanan (g/100gram)


Bahan makanan Gram
Kacang hijau 22,9
Udang 21,0
Tempe 20,8
Bandeng 20,0
Daging sapi 18,8
Daging ayam 18,2
Daging kambing 16,6
Daging bebek 16,0
Ikan mas 16,0
Belut 14,6
Kerang 14,4
Tongkol 13,7
Telur bebek asin 13,6
Tahu 10,9
Telur ayam 10,8
susu sapi 3,20
Sumber: Mahmud et al, 2009

Perkiraan kebutuhan protein dalam pertumbuhan berkisar dari 1 sampai 4

g/kg pertambahan jaringan. evaluasi asupan protein anak harus berdasarkan: (1)

tingkat pertumbuhan, (2), kualitas protein dari makanan yang diasup, (3)

kombinasi makanan yang menyediakan asam amino komplementer ketika

dikonsumsi bersamaan, (4) asupan vitamin, mineral, dan energi yang adekuat.

Semua komponen tersebut penting dalam sintesis protein (Trahms & Pipes, 2000).

Kebutuhan protein anak usia 6-15 tahun mengalami kenaikan. Pada periode

usia ini protein banyak digunakan untuk pertumbuhan sel baru, pemeliharaan

jaringan dan pengganti sel yang rusak termasuk sel otak, tulanng, otot, kemudian

pembentukan komponen tubuh yang penting seperti enzim, hormon, sel darah

merah (Devi, 2012).

Seseorang yang konsumsi proteinnya baik maka proses pertumbuhan akan

berjalan lancar dan sistem kekebalan tubuh tidak akan terganggu dengan demikian
30

tinggi badan akan terjaga dan tubuh tidak mudah terkena infeksi sehingga

berpengaruh positif terhadap tinggi badan seseorang terutama pada anak.

Berdasarkan Kemenkes RI Angka Kecukupan Gizi (2014), angka

kecukupan protein yang dianjurkan (per orang dalam sehari) pada anak usia 7 – 9

tahun dan 10 – 12 tahun dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.6 Angka Kecukupan Protein pada Anak Usia 7-9 dan 10 – 12 Tahun
Berat Badan Tinggi Badan Protein
Usia Jenis kelamin
(kg) (cm) (g)
Laki-laki dan
7–9 27 130 49
Perempuan
10 – 12 Laki-Laki 34 142 56
10 – 12 Perempuan 36 145 60
Sumber: Pedoman Gizi Seimbang Kementrian Kesehatan RI, 2014

2.4 Status Sosial Ekonomi

Stunting merupakan kegagalan untuk mencapai potensi pertumbuhan linear

sebagai hasil dari kesehatan atau kondisi gizi. Pada dasarnya, tingkat stunting

yang tinggi berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah dan

peningkatan risiko bertambah dengan adanya penyakit atau praktik pemberian

makanan yang tidak tepat. Prevalensi stunting mulai naik pada usia sekitar 3

bulan, proses dan terhambatnya pertumbuhan sekitar usia 3 tahun (Semba dan

Bloem, 2001).

Kekurangan gizi sering kali bagian dari lingkaran yang meliputi pola

makan, kemiskinan dan penyakit. Ketiga faktor ini saling terkait sehingga masing-

masing memberikan kontribusi terhadap yang lain. Perubahan sosial-ekonomi dan

politik yang meningkatkan kesehatan dan gizi dapat mematahkan siklus, karena

dapat gizi tertentu dan intervensi kesehatan. Kekurangan gizi mengacu pada

sejumlah penyakit, masing-masing berhubungan dengan satu atau lebih zat gizi,
31

misalnya protein, yodium, vitamin A atau zat besi. Ketidakseimbangan ini

meliputi asupan yang tidak memadai dan berlebihan asupan energi, yang pertama

menuju kekurangan berat badan, stunting dan kurus, dan yang terakhir

mengakibat kelebihan berat badan dan obesitas (WHO, 2007).

Berdasarkan penelitian Nurmiati dalam Oktari (2015), yang melakukan

penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan anak balita yang mengalami

stunting menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kelompok anak

normal lebih baik daripada kelompok anak stunting. Pada kondisi stunting, tinggi

anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang stunting

berkaitan dengan keadaan yang terjadi dalam waktu yang lama seperti

kemiskinan, perilaku hidup sehat dan bersih yang kurang, kebiasaan makan, dan

rendahnya pendidikan. Oleh karena itu, masalah stunting merupakan cerminan

dari keadaan sosial ekonomi. Masalah gizi stunting diakibatkan oleh keadaan yang

berlangsung lama maka masalah gizi anak yang mengalami kejadian stunting

adalah masalah gizi yang sifatnya kronis.

2.4.1 Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan sangat berpegaruh terhadap perubahan sikap dan prilaku

hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi memudahkan seseorang atau

masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikan dalam prilaku dan

kehidupan sehari-hari. Tingkat pendidikan, khususnya pendidikan ibu mempengaruhi

derajat kesehatan. Pendidikan ibu berhubungan dengan tingkat pengasuhan yang

diberikan kepada anak. Praktek pengasuhan yang berkaitan erat dengan pendidikan

ibu adalah praktek pemilihan makanan keluarga terutama pada anak. Di samping itu,

pendidikan berpengaruh pula pada faktor sosial ekonomi lainnya seperti pendapatan,
32

pekerjaan kebiasaan makan, dan tempat tinggal. Tingkat pendidikan turut pula

menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi

yang mereka peroleh. Hal ini bisa dijadikan landasan untuk membedakan metode

penyuluhan yang tepat dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan di perlukan agar

seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa

mengambil tindakan secepatnya (Suhardjo, 2009).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widianti tahun 2016 pada anak usia 5-19

tahun ditemukan beberapa hal yang menjadi faktor risiko terjadinya stunting, salah

satunya yaitu, pendidikan orang tua yang rendah dan kelas sosial yang rendah.

Pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor risiko terjadinya stunting yang paling

tinggi dibanding dengan faktor risiko lainnya. Menurutnya hal tersebut bisa

disebabkan karena ibu dengan pendidikan yang tinggi cenderung memiliki finansial

yang lebih baik dan dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Hal tersebut membuat

keluarga di kelas sosial yang lebih tinggi dan memiliki status gizi keluarga yang lebih

baik.

Pendidikan anak merpakan tanggung jawab orang tua, masyarakat, dan

pemerintah. Semakin tinggi pendidikan wanita atau ibu akan semakin tinggi pula

kemampuannya untuk berbagi otoritas dalam keluarga juga dalam mengasuh anak

(Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).

2.4.2 Pendapatan Keluarga

Tingginya prevalensi stunting umumnya berhubungan dengan rendahnya

kondisi sosial ekonomi secara keseluruhan. Eratnya hubungan antara kemiskinan

dan gizi kurang mengakibatkan banyak orang sering mengartikan bahwa

penanggulangan masalah gizi kurang baru dapat dilaksnakan bila keadaan


33

ekonomi sudah membaik. Tingkat pendapatan tertentu memang diperlukan untuk

memenuhi gizi seimbang (Sudirman, 2008).

Ketersediaan kebutuhan rumah tangga tergantung dari pendapatan keluarga.

Selain itu, pendapatan keluarga juga menentukan jenis pangan yang dibeli.

Keluarga dengan pendapatan terbatas akan kurang memenuhi kebutuhan

makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuh. Tingkat

pendapatan juga ikut menentukan jenis pangan yang akan dibeli (Adriani dan

Wirjatmadi, 2014).

Standart hidup yang layak dihitung dari pendapatan per kapita (tingkat

ekonomi). Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan

kualitas dan kuantitas makanan. Tingkat pendapatan akan menunjukkan jenis

pangan yang akan dibeli. Status sosial ekonomi dipengaruhi oleh tingkat

pendidikan karena orang dengan pendidikan tinggi semakin besar peluangnya

untuk mendapatkan penghasilan yang cukup supaya bisa berkesempatan untuk

hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat,sedangkan pekerjaan yang lebih baik

orang tua selalu sibuk bekerja sehingga tidak tertarik untuk memperhatikan

masalah yang dihadapi anak-anaknya, padahal sebenarnya anak-anak tersebut

benar-benar membutuhkan kasih sayang orang tua (Adriani, 2012)


34

2.5 Kerangka Berfikir

2.5.1 Kerangka teori

v
Stunting Gen

Konsumsi zat gzi Status kesehatan buruk

Pola asuh

Kualitas dan Pendapatan Perawatan Air Bersih


kuantitas keluarga kesehatan dan sanitasi
Pendidikan
makanan tidak Rendah buruk buruk
mencukupi

Sosial Ekonomi Kesehatan Lingkungan

Sumber : UNICEF 1998, the state of the World Children 1998, dalam WNPG,
2004
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Teori

2.5.2 Kerangka konsep

Konsumsi Energi Protein


- Kebiasaan konsumsi energi rotein
- Tingkat kecukupan energi protein

Kejadian Stunting
Sosial Ekonomi Keluarga
- Pendidikan Ibu
- Pendapatan Keluarga

Keterangan :

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

Gambar 2.2 Bagan Kerangka Konsep


35

2.6 Hipotesis Penelitian

1. Ada Ada hubungan kebiasaan konsumsi energi dengan kejadian stunting pada

anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo (Ha1).

2. Ada hubungan kebiasaan konsumsi protein dengan kejadian stunting pada

anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo (Ha2).

3. Ada hubungan tingkat kecukupan energi dengan kejadian stunting pada anak

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo (Ha3).

4. Ada hubungan tingkat kecukupan protein dengan kejadian stunting pada anak

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo (Ha4).

5. Ada hubungan pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada anak Sekolah

Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo (Ha5).

6. Ada hubungan pendapatan keluarga dengan kejadian stunting pada anak

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo (Ha6).


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1 Lokasi penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 24 Kota Gorontalo.

3.1.2 Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2018.

3.2 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Penelitian ini bertujuan

mengetahui hubungan kebiasaan konsumsi energi protein dan tingkat sosial

ekonomi keluarga dengan stunting pada anak sekolah dasar negeri 24 Kota

Gorontalo. Adapun rancangan pada penelitian ini adalah menggunakan rancangan

cross sectional yaitu untuk mencari hubungan antara variabel independen (faktor

resiko) dengan variabel dependen (efek).

Faktor Resiko

Tingkat Sosial Ekonomi Konsumsi Energi Protein

Pendidikan Pendapatan Efek Frekuensi Kecukupan Efek


(+) (+) N (+) (+) N
(+) (-) N/S (+) (-) N/S
(-) (+) N/S (-) (+)
(-) (-) N/S
S
Gambar 3.1 Bagan rancangan cross sectional

Keterangan :

(+) = Tinggi, (-) = Rendah, (N) = Normal, (S) = Stunting

36
37

3.3 Variabel Penelitian

3.3.1 Variabel bebas

Variabel bebas (independent variabel) yaitu variabel yang mempengaruhi.

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsumsi energi protein dan tingkat

sosial ekonomi.

3.3.2 Variabel terikat

Variabel terikat (dependent variabel) adalah variabel yang dipengaruhi

karena adanya variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah

stunting.

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi merupakan keseluruhan subyek yang memenuhi karakteristik

tertentu kemudian diteliti. Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas IV, V

dan VI di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo yang berjumlah 75

siswa, dengan alasan karena siswa tersebut sudah mulai bisa untuk diwawancarai

(Lubis, 2017).

3.4.2 Sampel

Sampel merupakan sebagian dari seluruh siswa yang menjadi obyek. Jumlah

sampel dapat diperoleh dengan menggunakan rumus Slovin.

N
n=
1+ Ne2

Keterangan

n = Ukuran sampel
38

N = Ukuran populasi

e = Nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (persen kelonggaran

ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel populasi)

75
n= 2
=63,15=64
1+75( 0,05)

Dari hasil perhitungan jumlah sampel minimal tersebut, peneliti

memutuskan untuk mengambil sebanyak 64 sampel.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah

proportionate stratified random sampling yaitu pengambilan sampel dari anggota

populasi secara acak dan berstrata secara proporsional, dilakukan sampling ini

apabila anggota populasinya heterogen (tidak sejenis). Proportionate stratified

random sampling ini dilakukan dengan cara membuat lapisan-lapisan (strata),

kemudian dari setiap lapisan diambil sejumlah subjek secara acak. Jumlah subjek

dari setiap lapisan (strata) adalah sampel penelitian. Rumus pengambilan

sampelnya adalah:

n i= ¿ x n
N

Keterangan

ni = Jumlah anggota sampel per kelas

N = Jumlah anggota sampel seluruhnya

Ni = Jumlah anggota populasi per kelas

n = Jumlah angota populasi seluruhnya

Maka jumlah anggota sampel berdasarkan kelas adalah:

20
Kelas IV = x 64=17 responden
75
39

27
Kelas V = x 64=23 responden
75

28
Kelas VI = x 64=24 responden
75

3.5 Teknik Pengumpulan Data

3.5.1 Data primer

Pengumpulan data primer yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :

1. Pengukuran tinggi badan menggunakan microtoise yang dilakukan peneliti

sendiri.

2. Pengukuran status sosial ekonomi keluarga dengan menggunakan kuisioner yang

telah dibuat oleh peneliti. Pengukuran ini dilakukan oleh peneliti sendiri.

3. Pengukuran kebiasaan makan diperoleh melalui wawancara menggunakan

foodrecall 24 jam dan formulir food frequency.

3.5.2 Data sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah data siswa yaitu jumlah seluruh

siswa dan jumlah siswa per kelas yang diperoleh dari catatan dari pihak sekolah

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

3.6 Devinisi Operasional dan Kriteria Objektif

3.6.1 Stunting

Definisi Operasional :

Kejadian Stunting adalah suatu keadaan anak sekolah yang pendek yang

dihitung berdasarkan indeks antropometri tinggi badan menurut umur (TB/U)

dimana nilai Z-score <-2 SD (standart deviasi).

Penelitian ini menggunakan:

Alat ukur : Microtoise dan tabel Height-for-age 5 to 19 years


40

Skala : Ordinal.

Kriteria Objektif : a. Stunting : <-2 SD s/d -3 SD

b. Normal : ≥-2 SD s/d 3 SD

3.6.2 Konsumsi energi protein

1. Kebiasaan konsumsi energi protein

Kebiasaan konsumsi energi protein adalah jenis dan frekuensi konsumsi

energi, protein dari makanan sehari-hari. Jenis dan frekuensi konsumsi energi,

protein diperoleh dengan cara melakukan wawancara dengan menggunakan

formulir food frequency diukur dengan cara menjumlahkan skor yang ada di

formulir frekuensi konsumsi energi, protein.

Pemberian skor:

a. Bila sumber energi protein dikonsumsi 1-3 kali sehari (diberi skor 3)

b. Bila sumber energi protein dikonsumsi 4-5 kali seminggu (diberi skor 2)

c. Bila sumber energi protein dikonsumsi 1-2 kali sebulan (diberi skor 1)

d. Bila sumber energi protein jarang/tidak pernah dikonsumsi (diberi skor 0)

Berdasarkan jumlah nilai skor dikelompokkan menurut kelas interval dalam

3 kategori, tinggi, sedang dan rendah (Suhardjo, 1989 dalam Barus, 2009).

Kebiasaan konsumsi energi :

Skor tertinggi = 7 x 3 = 21, Skor terendah = 7 x 0 = 0

Range (R) = skor tertinggi – skor terendah

= 21 – 0 = 21

Kategori (K) = 3 (Tinggi, Sedang dan Rendah)

R
Maka interval (I) dapat di hitung dengan rumus I =
K
41

21
I= =¿ 7
3

Kriteria Objektif : Kebiasaan konsumsi energi

a. Tinggi : skor >14

b. Sedang : skor 7-14

c. Rendah : skor < 7

Kebiasaan konsumsi protein :

Skor tertinggi = 8 x 3 = 24, Skor terendah = 7 x 0 = 0

Range (R) = skor tertinggi – skor terendah

= 24 – 0 = 24

Kategori (K) = 3 (Tinggi, Sedang dan Rendah)

R
Maka interval (I) dapat di hitung dengan rumus I =
K

24
I= =¿ 8
3

Kriteria Objektif : Kebiasaan konsumsi protein

a. Tinggi : skor >16

b. Sedang : skor 8-16

c. Rendah : skor < 8

2. Tingkat kecukupan energi protein

Tingkat kecukupan energi protein, adalah rata-rata jumlah energi protein

yang dikonsumsi dari makanan selama 24 jam. Hasil pengukuran tersebut

dihitung dengan menggunakan rumus:

K
TK = x 100 %
KC
42

Keterangan:

TK = Tingkat kecukupan

K = Konsumsi

KC = Konsumsi yang dianjurkan

Penelitian ini menggunakan:

Alat ukur : Food recall 24 jam dan aplikasi Nutrisurvei

Skala : Ordinal.

Kriteria Objektif : a. Baik : 80-100% AKG

b. Kurang : <80% AKG

3.6.3 Sosial ekonomi

1. Pendidikan ibu

Pendidikan ibu adalah tingkat/jenjang pendidikan terakhir yang pernah

diikuti oleh ibu dari anak SD negeri 24 Kota Gorontalo dan memperoleh ijazah

yang sah.

Penelitian ini menggunakan:

Alat ukur : Kuisioner karakteristik sosial ekonomi keluarga.

Skala : Ordinal.

Kriteria Objektif : a. Tinggi : Jika ibu lulus SMA/D-3/S1

b. Rendah : Jika ibu hanya lulus SD/SMP

2. Pendapatan keluarga

Pendapatan keluarga adalah total penghasilan per bulan dalam nilai rupiah

yang diperoleh keluarga dari anak SD negeri 24 Kota Gorontalo berdasarkan

akumulasi pendapatan ayah dan ibu.


43

Penelitian ini menggunakan:

Alat ukur : Kuisioner karakteristik sosial ekonomi keluarga.

Skala : Ordinal.

Kriteria Objektif : a. Tinggi : ≥ Rp. 2,206,813

b. Rendah : < Rp. 2,206,813

(Kemenaker, 2018)

3.7 Pengolahan dan Analisis Data

3.7.1 Teknik pengolahan data

Data tinggi badan menurut umur diukur mengunakan tabel Height-for-age 5

to 19 years (z-scores) (WHO, 2007) untuk menentukan anak stunting atau normal.

Sedangkan untuk kebiasaan konsumsi energi, protein diperoleh dari hasil food

frequency. Untuk data tingkat kecukupan energi, protein diperoleh dari hasil food

recall 24 jam lalu dikonversikan ke jumlah energi, protein yang terkandung dalam

setiap bahan makanan dengan menggunakan aplikasi Nutrisurvey 2007.

Data yang telah diubah menjadi bentuk kode angka atau bilangan

dimasukkan ke dalam program komputer. Peneliti menggunakan program SPSS

untuk mengolah data penelitian ini.

3.7.2 Teknik analisis data

1. Analisis univariat

Analisis univariat, yaitu analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel

penelitian. Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan variabel penelitian dan

disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dari tiap variabel. variabel yang

akan diteliti.
44

2. Analisis bivariat

Analisa bivariat merupakan analisa yang digunakan untuk melihat

hubungan dua variabel bebas dan satu variabel terikat yang berkorelasi

(Notoatmodjo, 2010). Uji yang di gunakan dalam penelitian ini adalah uji Chi-

square.
2
2 ( fo−fe )
x =∑
fe

Keterangan :
2
x = Nilai Chi- square

fo = Frekuensi observasi

fe = Frekuensi yang diperoleh berdasarkan data


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kebiasaan konsumsi

energi protein dan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada

anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.Penelitian dilaksanakan

pada siswa-siswi kelas IV, V dan VI yang berumur diantara 7-12 tahun yang

berjumlah 64 orang.Penelitian ini berlangsung selama 10 hari terhitung dari

tanggal 22 - 31 Oktober 2018.

Peneliti mewawancarai responden menggunakan kuesioner hubungan

kebiasaan konsumsi energi protein dan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan

kejadian stunting, dimana kebiasaan konsumsi energi protein diukur

menggunakan formulir food frequency question (FFQ) dan formulir food recall

untuk mengukur tingkat kecukupan energi protein, sedangkan tingkat sosial

ekonomi keluarga dilihat dari pendidikan ibu dan pendapatan keluarga.

Dalam bab ini akan diuraikan gambaran umum tentang Sekolah Dasar

Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo, kualitas instrumen (validitas dan reliabilitas)

karakteristik responden serta analisis data univariat dan analisis bivariat.

4.1.1 Gambaran umum Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo terletak jalan Beringin,

Kecamatan Dungingi, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Memiliki luas

bangunan sebesar 427 m2 dan mulai beroperasi sejak tahun 1994.Pendidik

dantenaga kependidikan terdiri dari kepala sekolah, 9 orang pendidik dan 3 orang

tenaga kependidikan.

45
46

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo memiliki 6 ruang kelas,

ruangan perpustakaan, ruang UKS. Ruang kantor terdiri dari ruang kepala

sekolah, ruang kantor guru, ruang TU. Ruang penunjang terdiri dari gudang,

kamar mandi guru, kamar mandi siswa.Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota

Gorontalo juga didukung dengan fasilitas lain seperti lapangan upacara dan

lapangan bulu tangkis. Proses belajar mengajar dilakukan setiap hari Senin sampai

hari Jum’at mulai pukul pukul 07.30 WITA sampai dengan pukul 14.30 WITA.

SD Negeri 24 Kota Gorontalo memiliki satu kantin yang menyediakan

makanan-makanan ringan (snack) serta minuman yang terdiri dari minuman gelas

yang mempunyai rasa dan warna beragam.Di sekitar sekolah terdapat pedagang

pedagang yang menjual makanan seperti somay, tahu krispi, sosis, serta pedagang

yang menjual minuman seperti es jeruk dan es cendol.

4.1.2 Karakteristik responden

Karakteristik adalah ciri secara alamiah yang melekat pada diri seseorang.

Adapun beberapa karakter responden yang akan diuraikan dalam penelitian ini

meliputi umur, jenis kelamin dan kelas.

1. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan uraian di atas diketahui data jenis kelamin yang dilahirkan oleh

ibu yang dapat dilihat pada tabel 4.1bberikut ini:

Tabel 4.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis kelamin Anak di Sekolah Dasar
Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo
Frekuensi
No Jenis Kelamin
n %
1 Laki-Laki 35 54.69
2 Perempuan 29 45.31
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018
47

Berdasarkan data pada tabel 4.1 di atas dapat dijelaskan bahwa anak yang

berjenis kelami laki-laki sebanyak 35 orang (54,69%) sedangkan yang perempuan

sebanyak 29 orang(45,31%). Sehingga laki-laki menjadi responden yang paling

dominan.

2. Karakteristik responden berdasarkan umur

Umur adalah waktu atau bertambahnya hari sejak lahir sampai akhir hidup.

Umur dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang, semakin bertambah usia maka

akan semakin banyak pengetahuan yang didapat. Distribusi responden menurut

usia ditampilkan pada tabel 4.2 berikut ini:

Tabel 4.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Kelompok Umur Anak di Sekolah Dasar
Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo
Frekuensi
No Umur
n %
1 7-8 Tahun 1 1.56
2 9-10 Tahun 33 51.56
3 11-12 Tahun 30 46.88
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan data pada tabel 4.2 di atas diketahui bahwa anak yang menjadi

responden sebagian besar berumur antara 9-10 tahun yang berjumlah 33 orang

(51,56%), sedangkan paling sedikit pada umur 7-8 tahun berjumlah 1 orang

(1,56%). Sehingga dengan demikian responden dalam penelitian ini didominasi

oleh anak yang berumur 8 tahun ke atas.

3. Karakteristik responden berdasarkan kelas

Adapun gambaran umum responden yang menjadi responden penelitian

berdasarkan Pekerjaan responden beserta uji univariat ini disajikan dalam tabel

4.3berikut ini.
48

Tabel 4.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Kelas Anak di Sekolah Dasar Negeri
(SDN) 24 Kota Gorontalo
Frekuensi
No Kelas
n %
1 Kelas IV 17 26.56
2 Kelas V 23 35.94
3 Kelas VI 24 37.50
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan data pada tabel 4.3 di atas diketahui bahwa sebagian besar anak

yang menjadi responden berada pada kelas VI yakni sebanyak 24 (37,50%)

sedangkan yang paling kecil frekuensinya yakni kelas IV yakni sebanyak 17 orang

( 26,56%).

4.1.3 Analisis Data Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh informasi secara umum

tentang variabel yang diteliti yaitu variabel kebiasaan konsumsi energi protein,

tingkat sosial ekonomi keluarga dan variabel kejadian stunting pada anak.

1. Variabel kejadian stunting pada anak

Data kejadian stunting pada anak berdasarkan hasil jawaban responden

disajikan pada tabel 4.4 berikut ini:

Tabel 4.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Kejadian Stunting pada Anak di Sekolah
Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo
Frekuensi
No Kejadian Stunting
n %
1 Stunting 27 42.19
2 Normal 37 57.81
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan data pada tabel 4.4 di atas dijelaskan bahwa responden yang

dalam kategori mengalami kejadianstunting sebanyak 27 orang atau sebesar


49

42,19% sementara anak yang kategori normal sebanyak 37 orang atau sebesar

57,81% dari keseluruhan sampel penelitian.

Tabel 4.5 Distribusi Kejadian Stunting Berdasarkan Jenis KelaminPada Anak di


Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo
Kejadian Stunting
Karakteristik Stunting Normal
n % n %
Laki-laki 15 55,5 20 54,1
Jenis kelamin
Perempuan 12 45,5 17 45,9
Total 27 100 37 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan data pada tabel 4.5 di atas dijelaskan bahwa kejadian stunting

paling banyak pada responden laki-laki sebanyak 15 orang (55,5%), dan untuk

responden perempuan sebanyak 12 orang (45,5%). Sedangkan untuk kategori

normal responden laki-laki sebanyak 20 orang (54,1%) dan perempuan sebanyak

17 orang (45,9%).

Tabel 4.6 Distribusi Kejadian Stunting Berdasarkan UmurPada Anak di Sekolah


Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo
Kejadian Stunting
Karakteristik Stunting Normal
n % n %
7-8 tahun 1 3,7 0 0
Umur 9-10 tahun 18 66,6 15 40,5
11-12 tahun 8 29,6 22 59,5
Total 27 100 37 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan data pada tabel 4.6 di atas dijelaskan bahwa kejadian stunting

paling banyak pada kelompok umur 9-10 tahun sebanyak 18 orang (66,6%), 11-

12 tahun sebanyak 8 orang (28,6%) dan 1 orang (3,7%) pada kelompok umur 7-8

tahun. Sedangkan pada kategori normal paling banyak pada kategori 11-12 tahun

sebanyak 22 orang (59,5%) dan pada kelompok umur 9-10 tahun sebanyak 15

orang (40,5%).
50

Tabel 4.7 Distribusi Kejadian Stunting BerdasarkanKelas Pada Anak di Sekolah


Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo
Kejadian Stunting
Karakteristik Stunting Normal
n % n %
Kelas IV 9 33,3 8 21,6
Kelas Kelas V 15 55,5 8 21,6
Kelas VI 3 11,1 21 56,7
Total 27 100 37 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan data pada tabel 4.7 di atas dijelaskan bahwa kejadian stunting

paling banyak pada kelas V sebanyak 15 orang (55,5%),pada kelas IV sebanyak 9

orang (33,3%) dan kelas VI sebanyak 3 orang(11,1%).

2. Variabel kebiasaan konsumsi energi

Data kebiasaan konsumsi energi berdasarkan hasil jawaban responden

disajikan pada tabel berikut ini:

Tabel 4.8 Distribusi Sampel Berdasarkan Kebiasaan Konsumsi Energi


Frekuensi
No Kebiasaan Konsumsi Energi
n %
1 Tinggi 37 57.81
2 Sedang 27 42.19
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.8 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki

kebiasaan yang tinggi sebanyak 37 orang atau sebesar 57,81% sementara anak

yang memiliki kebiasaan sedang sebanyak 27 orang atau sebesar 42,19% dari

keseluruhan sampel penelitian.

3. Variabel kebiasaan konsumsi protein

Data kebiasaan konsumsi protein berdasarkan hasil jawaban responden

disajikan pada tabel berikut ini:


51

Tabel 4.9 Distribusi Sampel Berdasarkan Kebiasaan Konsumsi Protein


Frekuensi
No Kebiasaan Konsumsi Protein
n %
1 Tinggi 38 59.38
2 Sedang 26 40.63
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.9 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki

kebiasaan konsumsi protein yang tinggi sebanyak 38 orang atau sebesar 59,3%

sementara anak yang memiliki kebiasaan konsumsi protein yang sedang sebanyak

26 orang atau sebesar 40,63% dari keseluruhan sampel penelitian.

4. Variabel tingkat kecukupan energi

Data tingkat kecukupan energi berdasarkan hasil jawaban responden

disajikan pada tabel berikut ini:

Tabel 4.10 Distribusi Sampel BerdasarkanTingkat Kecukupan Energi


Frekuensi
No Tingkat Kecukupan Energi
n %
1 Baik 40 62.50
2 Kurang 24 37.50
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.10 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki

jumlah konsumsi energi yang baik sebanyak 40 orang atau sebesar 62,50%

sementara anak yang memiliki jumlah konsumsi energi yang kurang sebanyak 24

orang atau sebesar 37,50% dari keseluruhan sampel penelitian.

5. Variabel tingkat kecukupan protein

Data tingkat kecukupan protein berdasarkan hasil jawaban responden

disajikan pada tabel berikut ini:


52

Tabel 4.11 Distribusi Sampel BerdasarkanTingkat Kecukupan Protein


Frekuensi
No Tingkat Kecukupan Protein
n %
1 Baik 39 60.94
2 Kurang 25 39.06
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.11 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki

jumlah konsumsi protein yang baik sebanyak 39 orang atau sebesar 60,94%

sementara anak yang memiliki jumlah konsumsi protein yang kurang sebanyak 25

orang atau sebesar 39,06% dari keseluruhan sampel penelitian.

6. Variabel pendidikan ibu

Data pendidikan ibu berdasarkan hasil jawaban responden disajikan pada

tabel berikut ini:

Tabel 4.12 Distribusi Sampel Berdasarkan Pendidikan Ibu


Frekuensi
No Pendidikan Ibu
n %
1 Tinggi 47 73.44
2 Rendah 17 26.56
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.12 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki ibu

berpendidikan tinggi sebanyak 47 orang atau sebesar 73,44% sementara anak

yang memiliki ibu berpendidikan rendah sebanyak 17 orang atau sebesar 26,56%

dari keseluruhan sampel penelitian.

7. Variabel pendapatan keluarga

Data pendapatan keluarga berdasarkan hasil jawaban responden disajikan

pada tabel berikut ini:


53

Tabel 4.13 Distribusi Sampel Berdasarkan Pendapatan keluarga


Frekuensi
No Pendapatan Keluarga
n %
1 Tinggi 43 67.19
2 Rendah 21 32.81
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.13 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki

keluarga berpendapatan tinggi sebanyak 43 orang atau sebesar 67,19% sementara

anak yang memiliki keluarga berpendapatan rendah sebanyak 21 orang atau

sebesar 32,81% dari keseluruhan sampel penelitian.

4.1.4 Normalitas Data

Dalam rangka mengetahui normal tidaknya distribusi variabel dalam

penelitian ini dilakukan dengan uji statistik non-parametrik Kolmogorov

Smirnov.Hal tersebut karena jumlah sampel lebih dari 50 sampel atau sampel

dalam jumlah besar.Jika nilai signifikansi Kolmogorov Smirnov lebih besar dari

nilai alpha (0,05), maka data mengikuti distribusi normal. Pengujian normalitas

dilakukan dengan tahapan berikut:

1. Penentuan Hipotesis

Ho : data variabel dependen berdisribusi normal

H1 : data variabel dependen tidak berdistribusi normal

2. Penentuan tingkat signifikansi

Tingkat kepercayaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar

95% atau tingkat signfikansinya (alpha) sebesar 5%.

3. Penentuan Statistik Uji

Dalam penelitian ini menggunakan metode Kolmogorov Smirnov.


54

4. Penentuan Kriteria uji

Dengan uji Kolmogorov Smirnov, apabila nilai signifikansi dari pengujian lebih

dari nilai alpha 0,05, maka model regresi tersebut memenuhi asumsi

normalitas.

5. Kesimpulan

Hasil pengujian normalitas dengan menggunakan bantuan SPSS adalah

sebagai berikut:

Tabel 4.14 Pengujian Normalitas Data Variabel Penelitian


Nilai p-Value
No Variabel Kriteria Rekomendasi
KS KS
Tidak Berdistribusi
1 Kejadian Stunting 3.038 0.000
Normal
Kebiasaan Konsumsi Tidak Berdistribusi
2 3.385 0.000
Energi Normal
Kebiasaan Konsumsi Tidak Berdistribusi
3 3.875 0.000 Analisis
Protein Normal
Bivariate
Tingkat Kecukupan Tidak Berdistribusi
4 3.625 0.000 Menggunakan
Energi Normal
"Non
Tingkat Kecukupan Tidak Berdistribusi
5 3.750 0.000 Parametrik"
Protein Normal
Tidak Berdistribusi
6 Pendidikan Ibu 2.450 0.000
Normal
Tidak Berdistribusi
7 Pendapatan Keluarga 3.250 0.000
Normal
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan table 4.14 dapat dilihat bahwa pengujian normalitas data

(Kolmogorov Smirnov) ditemukan bahwa probabilitas pengujain dari kebiasaan

konsumsi energi protein, tingkat sosial ekonomi keluarga dan kejadian

stuntingpada anak seluruhnya yakni sebesar 0,000. Nilai probabilitas atau

signifikansi tersebut lebih kecil dari 0,05 sehingga Ho ditolak, dengan demikian

data dalam penelitian ini tidak memenuhi uji normalitas (data tidak berdistribusi

normal). Karena data tidak normal maka pengujian pengaruh dapat dilakukan

dengan uji Chi Square, Exact Fisher atau Rank Spearman.


55

4.1.5 Analisis Data Bivariat


4.1.5.1 Kejadian stunting berdasarkan kebiasaan konsumsi energi protein
Analisis data bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan kebiasaan

konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar

Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo. Dalam penelitian ini analisis bivariat dilakukan

dengan teknik analisis Chi-Square yang diawali dengan mengetahui data tabulasi

silang (Cross section) antara variabel kebiasaan konsumsi energi protein dengan

kejadian stunting pada anak.

1. Variabel Kebiasaan Konsumsi Energi Protein Dengan Kejadian Stunting Pada


Anak
Tabel 4.15 Tabulasi Silang Hubungan Variabel Kebiasaan Konsumsi Energi
Protein Dengan Kejadian Stunting Pada Anak
Kategori p- Coeeficient
Konsumsi Enegri Protein Total
Stunting Normal Value Contigency
Kebiasaan Tinggi 1 36 37
0,000 0,683
Konsumsi Energi Sedang 26 1 27
Kebiasaan Tinggi 1 37 38
Konsumsi 0,000 0,696
Sedang 26 0 26
Protein
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.15 di atas maka dapat dijabarkan hasil dari hubungan

variabel kebiasaan konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anak di

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo sebagai berikut ini:

1) Kebiasaan Konsumsi Energi Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Probability Value (P-Value)

variabel Kebiasaan konsumsi energi sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih

lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha1

diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan

95% terdapat hubungan yang signifikan Kebiasaan konsumsi energi


56

denganKejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota

Gorontalo. Kemudian dapat pula dilihat bahwa nilai koefisien korelasi

(Contingency Coefficient) sebesar 0,683 yang berarti bahwa sebesar 68,3%

hubungan Kebiasaan konsumsi energidengan Kejadian stunting pada anak di

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

2) Kebiasaan Konsumsi Protein Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Probability Value (P-Value)

variabel Kebiasaan konsumsi protein sebesar 0,000. Nilai signifikan ini masih

lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha2

diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan

95% terdapat hubungan yang signifikan Kebiasaan konsumsi protein dengan

Kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

Kemudian dapat pula dilihat bahwa nilai koefisien korelasi (Contingency

Coefficient) sebesar 0,696 yang berarti bahwa sebesar 69,6% hubungan Kebiasaan

konsumsi proteindengan Kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri

(SDN) 24 Kota Gorontalo.

2. Variabel Tingkat Kecukupan Energi Protein Dengan Kejadian Stunting Pada


Anak
Tabel 4.16 Tabulasi Silang Hubungan Variabel Kecukupan Energi Protein
Dengan Kejadian Stunting Pada Anak
Kategori p- Coeeficient
Konsumsi Enegri Protein Total
Stunting Normal Value Contigency
Tingkat Baik 3 37 40
0,000 0,672
Kecukupan Energi Kurang 24 0 24
Tingkat Baik 2 37 39
0,000 0,684
Kecukupan Protein Kurang 25 0 25
Sumber: Data Primer, 2018
57

Berdasarkan tabel 4.16 di atas maka dapat dijabarkan hasil dari hubungan

variabel kebiasaan konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anakdi

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalosebagai berikut ini:

1) Variabel TingkatKecukupan Energi Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Probability Value (P-Value)

variabel Jumlah konsumsi energi sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih lebih

kecil dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha3

diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan

95% terdapat hubungan yang signifikan Jumlah konsumsi energi dengan Kejadian

stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo. Kemudian

dapat pula dilihat bahwa nilai koefisien korelasi (Contingency Coefficient) sebesar

0,672 yang berarti bahwa sebesar 67,2% hubungan Jumlah konsumsi

energidengan Kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24

Kota Gorontalo

2) Variabel Tingkat Kecukupan Protein Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Probability Value (P-Value)

variabel Jumlah konsumsi protein sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih lebih

kecil dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha4

diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan

95% terdapat hubungan yang signifikan Jumlah konsumsi protein dengan

Kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

Kemudian dapat pula dilihat bahwa nilai koefisien korelasi (Contingency

Coefficient) sebesar 0,684 yang berarti bahwa sebesar 68,4% hubungan Jumlah
58

konsumsi proteindengan Kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri

(SDN) 24 Kota Gorontalo

4.1.5.2 Kejadian stunting berdasarkan tingkat sosial ekonomi

Analisis data bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan tingkat

sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar

Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.Dalam penelitian ini analisis bivariat dilakukan

dengan teknik analisis Chi-Square yang diawali dengan mengetahui data tabulasi

silang (Cross section) antara variabel tingkat sosial ekonomi keluarga dengan

kejadian stunting pada anak. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.17 berikut ini:

Tabel 4.17 Tabulasi Silang Hubungan Variabel Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga
Dengan Kejadian Stunting Pada Anak
Tingkat Sosial Ekonomi Kategori p- Coeeficient
Total
Keluarga Stunting Normal Value Contigency
Tinggi 11 36 47
Pendidikan Ibu 0,000 0,534
Rendah 16 1 17
Pendapatan Tinggi 6 37 43
0,000 0,633
Keluarga Rendah 21 0 21
Sumber: Data Primer 2018

Berdasarkan tabel 4.17 di atas maka dapat dijabarkan hasil dari hubungan

variabel Tingkat sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada anak

sebagai berikut ini:

1) Variabel Pendidikan Ibu Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Probability Value (P-Value)

variabel Pendidikan ibu sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil

dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha5 diterima.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95%

terdapat hubungan yang signifikan Pendidikan ibu dengan Kejadian stunting pada
59

anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo. Kemudian dapat pula

dilihat bahwa nilai koefisien korelasi (Contingency Coefficient) sebesar 0,534

yang berarti bahwa sebesar 53,4% hubungan Pendidikan ibudengan Kejadian

stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

2) Variabel Pendapatan Keluarga Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Probability Value (P-Value)

variabel Pendapatan keluarga sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil

dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha6 diterima.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95%

terdapat hubungan yang signifikan Pendapatan keluarga dengan Kejadian stunting

pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo. Kemudian dapat

pula dilihat bahwa nilai koefisien korelasi (Contingency Coefficient) sebesar 0,633

yang berarti bahwa sebesar 63,3% hubungan Pendapatan keluargadengan

Kejadian stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Konsumsi energi protein pada anak di Sekolah Dasar.

1. Kebiasaan konsumsi energi protein

Pada tabel 4.8 distribusi sampel berdasarkan kebiasaan konsumsi energi

diketahui terdapat 27 (42,19%) siswa dengan kebiasaan konsumsi energi sedang,

karena siswa di SDN 24 Kota Gorontalo jarang mengonsumsi makanan sumber

energi seperti jagung, singkong dan kentang, sedangkan makanan yang sering di

konsumsi yakni nasi, mie, roti dan biskuit. Pada kebiasaan konsumsi energi tinggi
60

terdapat 37 (57,81%) siswa yang sering mengonsumsi sumber energi yang

beragam seperti nasi, jagung, kentang, mie, biskuit dan roti.

Sunita (2009) mengemukakan bahwa fungsi utama karbohidrat adalah

menyediakan energi tubuh. Karbohidrat merupakan sumber utama energi

bagipenduduk di seluruh dunia, sumber karbohidrat adalah padi-padian, atau

sereal, umbi-umbian, kacang-kacang kering, dan gula.

Pada tabel 4.9 distribusi sampel berdasarkan kebiasaan konsumsi protein

terdapat 26 (40,63%) siswa dengan kebiasaan konsumsi protein sedang, karena

para siswa jarang mengonsumsi makanan sumber protein yang tinggi, kebanyakan

hanya mengonsumsi ikan, tahu, dan tempe, karena bahan makanan ini yang paling

mudah didapatkan. Sedangkan jumlah siswa yang memilikikebiasaan konsumsi

protein tinggi terdapat 38 (59,38%) siswa, selain sering mengonsumsi ikan, tahu

dan tempe para siswa ini juga mengonsumsi kacang hijau, daging, telur dan udang

yang merupakan bahan makanan dengan sumber protein tinggi.

Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah

maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang (Almatsier,

2009).

2. Tingkat kecukupan energi protein

Berdasarkan tabel 4.10 distribusi sampel berdasarkan tingkat

kecukupanenergi, terdapat 24 (37,50%) siswa dengan kecukupan energi kurang,

dikarenakan frekuensi makan para siswa hanya 2x dalam sehari sehingga jumlah

energi yang masuk kedalam tubuh tidak mencukupi<2000 kkal. Pada kecukupan

energi baik terdapat 40 (62,50%) siswa dengan kecukupan energi ≥2000.


61

Hasil penelitian Yulni (2013), terdapat hubungan yang signifikan antara

asupan energi dengan status gizi, hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan

bahwa faktor utama yang memengaruhi status gizi adalah konsumsi makanan.

Pada tabel 4.11 distribusi sampel berdasarkan tingkat kecukupan protein

terdapat 25 (40,63%) siswa dengan kecukupan protein kurang yang disebabkan

oleh kurangnya asupan protein kedalam tubuh <60 gr, karena para siswa ini

frekuensi makan dalam sehari hanya sebanyak 2x. Sedangkan jumlah siswa yang

memiliki kecukupan protein baik terdapat 39 (60,94%) siswa dengan asupan

protein ≥60 gr per hari dan frekuensi makan siswa 3x sehari.

Kebutuhan protein anak usia 6-15 tahun mengalami kenaikan. Pada periode

usia ini protein banyak digunakan untuk pertumbuhan sel baru, pemeliharaan

jaringan dan pengganti sel yang rusak termasuk sel otak, tulanng, otot, kemudian

pembentukan komponen tubuh yang penting seperti enzim, hormon, sel darah

merah (Devi, 2012).

4.2.2 Tingkat sosial ekonomi keluarga pada anak

1. Pendidikan ibu

Berdasarkan tabel tabel 4.12 distribusi sampel berdasarkan pendidikan ibu

menunjukkan bahwa termasuk kategori rendah yaitu sebanyak 17 (26,56%) ibu

yakni hanya lulusan SD atau SMP, sedangkan pada kategori pendidikan

tinggiterdapat 39 (60,94%) ibu yakni memuliki tingkat pendidikkan

SMA/sederajat atau perguruan tinggi.

Tingkat pendidikan sangat berpegaruh terhadap perubahan sikap dan prilaku

hidup sehat, karena memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan


62

mengimplementasikan dalam prilaku dan kehidupan sehari-hari. Tingkat

pendidikan, khususnya pendidikan ibu mempengaruhi derajat kesehatan dan

berhubungan dengan tingkat pengasuhan yang diberikan kepada anak.Praktek

pengasuhan yang berkaitan erat dengan pendidikan ibu adalah praktek pemilihan

makanan keluarga terutama pada anak (Suhardjo, 2009).

2. Pendapatan keluarga

Berdasarkan tabel tabel 4.13 distribusi sampel berdasarkan pendapatan

keluarga menunjukkan bahwa sebanyak 21 (32,81%) termasuk dalam kategori

rendah atau pendapatan <Rp.2.206,831 dan sebesar 43(67,19%) termasuk dalam

kategori tinggi atau pendapatan ≥Rp.2.206,831

Ketersediaan kebutuhan rumah tangga tergantung dari pendapatan keluarga.

Selain itu, pendapatan keluarga juga menentukan jenis pangan yang dibeli.

Keluarga dengan pendapatan terbatas akan kurang memenuhi kebutuhan

makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuh. Tingkat

pendapatan juga ikut menentukan jenis pangan yang akan dibeli (Adriani dan

Wirjatmadi, 2014).

4.2.3 Hubungan kebiasaan konsumsi energi protein dengan kejadian stunting

pada anakusia sekolah

1. Kebiasaan konsumsi energi dengan Stunting

Berdasarkan tabel 4.15 tabulasi silang hubungan variabel kebiasaan

konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anakdari hasil penelitian

yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa kebiasaan konsumsi energi pada

anak stuntingberada dalam kategori sedang sebanyak 26 anak. Adapun anak


63

stuntingyang memiliki kebiasaan konsumsi energi tinggi sebanyak 1 anak,

dikarenakan berdasarkan hasil wawancara dengan ibunya faktor mendasar adalah

keturunan.

Kebiasaan konsumsi energi dilihat dari gambaran pola konsumsi bahan

makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan

atau tahun. Kebiasaan konsumsi ini meliputi jenis dan frekuensi konsumsi energi

oleh anak yang diperoleh dengan menggunakan formulir food frequency. Sebagian

besar jenis makanan dari sumber energi yang dikonsumsi anak di Sekolah Dasar

Negeri 24 Kota Gorontalo adalah nasi dengan frekuensi 1-3x/hari. Hal ini dapat

diketahui karena pada setiap kali mengonsumsi makanan utama responden selalu

menyediakan nasi sebagai makanan pokok (sumber energi). Anak usia sekolah

umumnya mengonsumsi makanan menurut kesukaan mereka tanpa

memperhatikan zat gizi apa yang terdapat dalam makanan tersebut. Mereka yang

lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah, cenderung lebih sering

mengonsumsi makanan yang ada di sekolah dibandingkan dengan di rumah.

Berdasarkan hasiluji statistik menggunakan Chi-Square diperoleh nilai

Probability Value (p-Value) variabel kebiasaan konsumsi energi sebesar 0,000.

Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05)atau

terdapat hubungan yang signifikan kebiasaan konsumsi energi dengan kejadian

stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Pratiwi (2018) yang menunjukkan

ada hubungan antara kebiasaan konsumsi energi dengan kejadian stunting


64

(OR=3,109), yang berarti anak yang mengalami stunting berasal dari anak

yangmemiliki kebiasaan konsumsi energi sedang dengan risiko 3 kali lebihtinggi.

2. Kebiasaan konsumsi protein dengan stunting

Berdasarkan tabel 4.15 tabulasi silang hubungan variabel kebiasaan

konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anak. Adapun jumlah anak

stunting yang memiliki kebiasaan konsumsi proteinsedang sebanyak 26 anak

dibandingkan dengan yang normal, tetapi terdapat 1 anak stunting dengan

kebiasaan konsumsi protein tinggi, berdasarkan wawancara diketahui penyebab

anak stunting adalah faktor keturunan. Sedangkan sebanyak 37 anak kategori

normal yang memiliki kebiasaan konsumsi protein tinggi.

Kebiasaan konsumsi ini meliputi jenis dan frekuensi konsumsi protein oleh

anak yang diperoleh dengan menggunakan formulir food frequency. Sebagian

besar jenis makanan dari sumber protein yang dikonsumsi anak Sekolah Dasar

Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo adalah ikan. tahu, tempe dan telur dengan

frekuensi 1-3x sehari. Hal ini dapat diketahui karena responden cenderung

menyukai makanan yang praktis, cepat, dan orang tua juga mudah untuk

mengolahnya. Biasanya tahu, tempe, dan telur diolah/disajikan hanya dengan cara

digoreng. Untuk jenis makanan lain yang dikonsumsi oleh anak adalah udang,

daging ayam, kacang hijau dengan frekuensi 1-2x/bulan, selanjutnya ada beberapa

anak yang jarang/tidak pernah mengonsumsi kacang hijau dan udang, hal ini

dikarenakan jenis pangan memang tidak disukai responden dan sebagian orang tua

responden kurang bervariasi dalam menyediakan makanan untuk anak-anaknya,

mereka cenderung monoton dalam menyediakan makanan anak mereka. Selain itu
65

beberapa anak juga tidak menyukainya. Sedangkan daging sapi, responden hanya

mengonsumsi jika ada acara-acara besar seperti hajatan atau pesta dan hari-hari

besar seperti Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Berdasarkan hasiluji statistik menggunakan Chi-Square diperoleh nilai

Probability Value (p-Value) variabel kebiasaan konsumsi protein sebesar 0,000.

Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05)atau

terdapat hubungan yang signifikan kebiasaan konsumsi energi dengan kejadian

stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Pratiwi (2018) yang menunjukkan

ada hubungan antara kebiasaan konsumsi protein dengan kejadian

stunting(OR=3,148), yang berarti anak yang mengalami stunting berasal dari anak

yangmemiliki kebiasaan konsumsi energi sedang dengan risiko 3 kali lebihtinggi.

Eratnya hubungan protein dengan pertumbuhan menyebabkan seorang anak yang

kurang asupan proteinnya akan mengalami pertumbuhan yang lebih lambat

daripada anak dengan jumlah asupan protein yang cukup (Bender, 2002) dan pada

keadaan yang lebih buruk kekurangan protein dalam jangka waktu yang lama

dapat mengakibatkan berhentinya proses pertumbuhan (Andarini, dkk 2013).

3. Tingkat kecukupan energi dengan stunting

Berdasarkan hasil penelitian table 4.16 tabulasi silang hubungan variabel

kebiasaan konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anak kejadian

stuntingdengan kecukupan energi kurang sebesar 24 orang dibandingkan dengan

siswa normal. Pada siswa stunting dan kategori kecukupan energi baik sebanyak 3

orang dibandingkan dengan siswa normal sebanyak 37 orang. Hal ini


66

menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi anak stunting dalam sehari masih

kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang telah dianjurkan. Hal ini dapat

disebabkan oleh makanan yang dikonsumsi sehari-hari oleh anak stunting baik

dirumah maupun di sekolah, seperti jajanan yang ada di sekolah yang belum bisa

mencukupi kebutuhan energi yang dibutuhkan dalam sehari. Kebiasaan anak yang

jarang sarapan pagi, jumlah asupan makanan pokok yang kurang dan frekuensi

makan makanan pokok yang dikonsumsi hanya 4-5x/minggu bahkan ada yang

jarang/tidak pernah dikonsumsi yang mengakibatkan kebutuhan energi anak

belum tercukupi.

Berdasarkan hasiluji statistik menggunakan Chi-Square diperoleh nilai

Probability Value (p-Value) variabel tingkat kecukupan energi sebesar 0,000.

Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05) atau

terdapat hubungan yang signifikan kebiasaan konsumsi energi dengan kejadian

stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muchlis,

dkk (2011) dengan menggunakan chi-square menunjukkan hasil bahwa terdapat

hubungan antara asupan energi dengan status gizi menurut indikator TB/U dengan

(p=0,027). Hal ini berarti bahwa balita dengan asupan energi yang baik yaitu

≥77% dari kebutuhan memiliki peluang lebih besar berstatus gizi normal (TB/U).

Pada penelitian Mardewi (2014) disimpulkan bahwa asupan energi (kalori) yang

rendah juga merupakan faktor risiko perawakan pendek pada anak dengan nilai

p=0,006.
67

4. Tingkat kecukupan protein dengan stunting

Berdasarkan hasil penelitian table 4.16 tabulasi silang hubungan variabel

kebiasaan konsumsi energi protein dengan kejadian stunting pada anak kejadian

stunting dengan kecukupan protein kurang sebanyak 25 orang dibandingkan

dengan siswa normal. Pada siswa stuntingdan kategori kecukupan protein baik

sebanyak 2 orang dibandingkan dengan siswa normal sebanyak 37 orang.

Berdasarkan hasiluji statistik menggunakan Chi-Square diperoleh nilai

Probability Value (p-Value) variabel tingkat kecukupan energi sebesar 0,000.

Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05) atau

terdapat hubungan yang signifikan kebiasaan konsumsi energi dengan kejadian

stunting pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

Hasil penelitian Sundari (2016) didapatkan bahwa ada hubungan positif

antara asupan protein dengan indeks z-score TB/U dengan nilai p=0,042. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Vaozia (2016) menunjukkan bahwa asupan protein

merupakan faktor risiko kejadian stuntingpada anak usia 1-3 tahun. Anak dengan

asupan protein yang kurang memiliki risiko 1,71 kali untuk menjadi stunting.

Hasil uji statistik chi square pada penelitian Chastity (2017) juga menunjukkan

hubungan yang positif antara asupan protein dengan kejadian stunting pada

remaja dengan nilai p=0,001 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna

antara asupan protein dengan kejadian stunting.


68

4.2.4 Hubungan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting

pada anak

1. Pendidikan ibu dengan stunting

Berdasarkan tabel 4.17 tabulasi silang hubungan variabel tingkat sosial

ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada anak memperlihatkan ada

kecenderungan kejadian stunting pada anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota

Gorontalo lebih besar proporsinya pada tingkat pendidikan ibu rendah, dari 17

orang ibu berpendidikan rendah sebanyak 16 orang adalah ibu dari siswa stunting

dibandingkan dengan normal sebanyak 1 orang ibu.

Dapat dilihat juga berdasarkan tabel 4.17 tabulasi silang hubungan variabel

tingkat sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting, pada anak stunting

ditemukan 11 orang ibu dalam kategori pendidikan tinggi, dari hasil penelitian

diketahui bahwa anak dengan stunting tersebut juga termasuk kedalam keluarga

dengan pendapatan rendah hal ini menyebabkan sulit mendapatkan pangan baik

secara kualitas maupun kuantitas sehingga asupan energi protein yang masuk ke

tubuh anak kurang dan dapat mempengaruhi proses pertumbuhan anak.

Sedangkan pada anak dengan status gizi normal menurut TB/U di temukan 1 anak

dengan tingkat pendidikan ibu rendah yaitu SMP, namun ayah dari anak tersebut

memiliki usaha di bidang konvensional sehingga mampu mencukupi kebutuhan

pangan keluarga.

Berdasarkan hasiluji statistik menggunakan Chi-Square diperoleh nilai

Probability Value (p-Value) variabel pendidikan ibu sebesar 0,000. Nilai

signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05) atau terdapat
69

hubungan yang signifikan kebiasaan konsumsi energi dengan kejadian stunting

pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ngaisah (2015) yang

menunjukkan hubungan signifikan antara pendidikan ibu dengan kejadian

stunting. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Windi (2018) yang

menyatakan bahwa tingkat pengetahuan ibu tentang gizi memiliki hubungan yang

siqnifikan dengan status gizi ditunjukan dengan tingkat pengetahuan ibutentang

giziyang rendah memiliki risiko stunting 3,8 kali lebih besar dibandingkan ibu

yang mempunyai tingkat pengetahuan tentang gizi yang tinggi

2. Pendapatan keluarga dengan stunting

Berdasarkan tabel 4.17 tabulasi silang hubungan variabel tingkat sosial

ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada anak memperlihatkan ada

kecenderungan kejadian stunting anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota

Gorontalo pada tingkat pendapatan keluarga sebanyak 21 orang dibandingkan

dengan anak normal. Dapat dilihat juga berdasarkan tabel 4.17 pada tingkat

pendapatan keluarga terdapat 6orang anak dengan stunting, berdasarkan hasil

penelitian diketahui bahwa anak dengan kejadian stunting tersebut frekuensi

makannya hanya 2x dalam sehari yang menyebabkan berkurangnya asupan energi

protein yang dibutuhkan tubuh untuk proses pertubuhan.

Berdasarkan hasiluji statistik menggunakan Chi-Square diperoleh nilai

Probability Value (p-Value) variabel pendapatan keluarga sebesar 0,000. Nilai

signifiknsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05) atau terdapat
70

hubungan yang signifikan kebiasaan konsumsi energi dengan kejadian stunting

pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapatan Sulistyoningsih (2011)

bahwa meningkatnya pendapatan akan mudah mendapatkan pangan dengan

kualitas dan kuantitas yang lebih baik, sebaliknya jika pendapatan menurun akan

menyebabkan sulit mendapatkan pangan baik secara kualitas maupun kuantitas.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Raden (2013) yang menunjukkan

hubungan signifikan antara pendapatan keluarga dengan kejadian stunting.


BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Terdapat anak dengan kebiasaan konsumsi energi sedang sebesar 42,19% dan

kebiasaan konsumsi protein sedang sebesar 40,63%, dan untuk kecukupan

energi protein juga masih terdapat siswa yang tingkat kecukupan energi

kurang sebesar 37,50% dan tingkat kecukupan protein kurang sebesar

39,06%pada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.

2. Status social ekonomi keluarga anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota

Gorontaloberdasarkanpendidikanibumasih terdapat 26,56% ibu tergolong pada

kategori rendah. Dan pendapatan keluarga terdapat 32,81% keluarga tergorong

kategori berpendapatan rendah.

3. Ada hubungan kebiasaan konsumsi energi protein pada anak dengan kejadian

stunting dibuktikan dengan uji statistik berdasarkan kebiasaan konsumsi

energi p-Value=0,000, kebiasaan konsumsi protein p-Value=0,000, tingkat

kecukupan energi p-Value=0,000, tingkat kecukupan protein p-Value=0,000,

nilai signifikan ini masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05).

4. Ada hubungan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting

dibuktikan dengan uji statistik tingkat pendidikan ibup-Value=0,000 dan

pendapatan keluarga p-Value=0,000,nilai signifikan ini masih lebih kecil

dibandingkan dengan nilai α (0,05).

71
72

5.2 Saran

1. Sebagai orang tua terutama ibu yang mengelola makanan anak diharapkan

agar lebih memperhatikan keanekaragaman makananan dan meningkatkan

asupan zat gizi energy protein dan zat gizi lainnya pada anak agar mengurangi

risiko terjadinya stunting pada anak.

2. Pihak sekolah sebaiknya lebih memperhatikan kualitas makanan jajanan, baik

jajanan kantin maupun jajanan yang diluar kantin, yang akan dikonsumsi anak

di sekolah dan untuk bekerjasama dengan petugas puskesmas agar

memberikan penyuluhan terkait konsumsi makanan yang bergizi seimbang

terutama yang berperan dalam pertumbuhan anak.

3. Bagi peneliti selanjutnya, terdapat banyak faktor lain yang mempengaruhi

kejadian stunting pada anak, baik secara langsung maupun secara tidak

langsung, diharapkan dapat dilakukan penelitian dengan memasukkan

berbagai variabel yang tidak terdapat dalam penelitian ini.


DAFTAR PUSTAKA

Adriani, M, dkk. 2012. Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group

Almatsier, S, dkk. 2011. Gizi seimbang dalam daur kehidupan. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

Andarini, S, dkk. 2013. Hubungan Asupan Zat Gizi (Energi, Protein dan Zink)
dengan Stunting pada Anak Umur 2-5 Tahun di Desa Tanjung Kamal
Wilayah Kerja Puskesmas Mangaran Kabupaten Situbondo. Skripsi. UIN
Jakarta.

Barus, D. 2009. Hubungan Kebiasaan Makan Dan Pemeliharaan Kesehatan Gigi


Dengan Karies Gigi Pada Anak Sd 060935 Di Jalan Pintu Air II Simpang
Gudang Kota Medan Tahun 200 (Skripsi). Medan: FKM Universitas
Sumatera Utara.

Bender, D,A. 2002. Introduction to Nutrition Metabolism 3rd ed. London: Taylor
and Francis Press.

Chastity, C.N. 2017. Hubungan Asupan Protein dengan Kejadian Stunting Pasa


Remaja di Sukoharjo Jawa Tengah. Skripsi penelitian: Fakultas Kedokteran,
Jurusan Kedokteran Umum, Universitas Muhamadiyah Surakarta

Departemen Kesehatan RI. 2010. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

Fernald, L. C. & Neufeld L. M. 2007. Overweight With Concurrent Stunting In


Very Young Children From Rural Mexico: Prevalence And Associated
Factors. European Journal of Clinical Nutrition 2007; 61: 623–632.

Gibney, M,J., et al. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.

Gunarsa, S,D. 2006. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia.

Judarwanto, W. 2008. Perilaku makan anak sekolah. Direktorat Bina Gizi


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (online) diakses
http://gizi.depkes.go.id/makalah/download/perilaku%20maan%20anak
%20sekolah.pdf [5 September 2018].

Kemenkes. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:


1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status
Gizi Anak. Direktorat Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta

Khomsan, A. 2003. Pangan Dan Gizi Untuk Kesehatan. Jakarta: PT.


Rajagrafindo. Persada.

73
74

Mardewi, K,W. 2014. Kadar Seng Serum Rendah Sebagai Faktor Risiko
Perawakan Pendek Pada Anak. (Tesis). Denpasar: Program Studi Ilmu
Biomedik Universitas Udayana.

Moehji, S. 2003. Ilmu Gizi 2. Jakara: Papas Sinar Sinanti.

Muchlis, dkk. 2011. Hubungan Asupan Energy dan Protein dengan Status Gizi
Balita di Kelurahan Tamamaung. Program Studi Ilmu Gizi Fkm Universitas
Hasanuddin Makassar.

Ngaisah, D. 2015. Hubungan Sosisal Ekonomi dengan Kejadian Stunting pada


Balita di Desa Kanigoro, Saptosari, Gunung. Jurnal : Medika Respati
Kidul, Vol X No 4.

Notoatmodjo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar.


Jakarta: Rineka Cipta.

_____________. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta.


Jakarta.

_____________. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.

Pratiwi, O. 2018. Pengaruh Kebiasaan Konsumsi Energi, Protein, dan Seng


Terhadap Kejadian Stunting pada Anak Usia Sekolah di SD Negeri 010150
Kecamatan Talawi Kabupaten Batu Bara Tahun 2017. FKM – Univ.
Sumatera Utara

Raden. 2013 . Hubungan Antara Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga dengan


Kejadian Stunting pada Anak Balita Umur 25-59 Bulan FKM- Univ.
Jember

Riskesdas. 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI


tahun 2013. (online) Diakses:
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf [5 september 2018]

Semba, R.D, dkk. 2010. Low intake of vitamin A-rich foods among children, aged
12-35 months, in India: Association with malnutrition, anemia, and missed
child survival interventions. Nutrition. 26 (10), 958 962. doi:10.1016/j.
nut.2009.08.010.

Sudiarti, T, dkk. 2009. Kecukupan Gizi dan Zat Gizi. Jakarta: Departemen Gizi
dan Kesehatan Masyarakat FKM UI

Sudirman H. 2008. Stunting atau Pendek: Awal Perubahan Patologis atau


Adaptasi Karena Perubahan Sosial Ekonomi yang Berkepanjangan. Media
Litbang Kesehatan. Jakarta.
75

Sulistyoningsih. 2011. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak Yogyakarta: Graha
Ilmu

Sundari, E. 2016. Hubungan Asupan Protein, Seng, Zat Besi, dan Riwayat
Penyakit Infeksi dengan Z-Score TB/U Pada Balita. (Artikel Penelitian).
Semarang: Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.

Supariasa, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC.

Thalib, S.B. 2010. Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif.


Jakarta: Kencana Media Group.

Umeta, dkk. 2002. Factors associated with stunting in infants aged 5–11 months
in the Dodota-Sire District, Rural Ethiopia. J. Nutr. 133: 1064–1069.

UNICEF. 2007. Progress for Children : Stunting,Wasting, and Overweight.


(online) diakses: http://www.unicef.org/progressforchildren/2007n6/index
41505.htm. [5 september 2018]

Vaozia, S. 2016. Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 1-3 Tahun
Studi Di Desa Menduran Kecamatan Brati Kabupaten Grobogan. (Artikel
Penelitian). Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Wardlaw, G.M., dan Jeffrey, S.H. 2007. Perspective in Nutrition Seventh Edition.
McGraw Hill Higher Education. Americas, New York: 565-583.

Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi, di
Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI

Windi. 2018. Hubungan Pendapatan Keluarga, Pengetahuan Ibu Tentang Gizi,


Tinggi Badan Orang Tua, dan Tingkat Pendidikan Ayah dengan Kejadian
Stunting pada Anak Umur 12-59 Bulan. (online). Diakses:
http://eprints.ums.ac.id/58665/1/NASKAH%20PUBLIKASI
%20WINDI.pdf [5 November 2018]

Yulni. 2013. Hubungan Asupan Zat Gizi Makro dengan Status Gizi pada Anak
Sekolah Dasar di Wilayah Pesisir Kota Makassar. (online). Diakses:
https://media.neliti.com/media/publications/212994-hubungan-asupan-zat-
gizi-makro-dengan-st.pdf [8 November 2018]

Yusrizal. 2008. Pengaruh Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Terhadap


Status Gizi Anak Balita di Wilayah Pesisir Kabupaten Binuren. Medan:
Unversitas Sumatra Utara. Tesis.
Lampiran 1
INSTRUMEN PENELITIAN

HUBUNGAN KEBIASAAN KONSUMSI ENERGI PROTEIN DAN


TINGKAT SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN
KEJADIAN STUNTING PADA ANAK
SEKOLAH DASAR NEGERI 24
KOTA GORONTALO

1. Karakteristik Responden
Nama Siswa :
Jenis Kelamin : a. Laki-Laki b. Perempuan
Tempat Tanggal Lahir :
Tinggi Badan : cm
Kelas` : a. IV b. V c. IV
2. Sosial Ekonomi Keluarga
Pendidikan Ibu : a. SD b. SMP c. SMA d.D3/S1
Penghasilan Keluarga /bulan : a. ≥ Rp. 2.206.000 b. ≤ Rp. 2.206.000

3. Kebiasaan Konsumsi Energi Protein


Food Frequency Question
Frekuensi Makan
N
Jenis makanan 1-3x 4-5x 1-2x Tidak
o
sehari seminggu sebulan pernah
1 Sumber Energi
a. Nasi
b. Jagung
c. Singkong
d. Kentang
e. Mie
f. Biskuit
g. Roti
2. Sumber Protein
a. Kacang Hijau
b. Ikan
c. Tempe
d. Tahu
e. Daging Ayam
f. Daging Sapi
g. Telur

76
Frekuensi Makan
N
Jenis makanan 1-3x 4-5x 1-2x Tidak
o
sehari seminggu sebulan pernah
h. Udang

4. Kecukupan Energi Protein


Food Recall 24 Jam
Waktu Nama Bahan Banyaknya
Makan Makanan Makanan URT Gram

Pagi

Siang

77
Malam

78
Lampiran 2

78
79
80
81
Lampiran 3

82
83
84
85
Lampiran 4

86
Lampiran 5

87
Lampiran 6

88
Lampiran 7
MASTER TABEL
Tingkat Sosial
Kebiasaan Konsumsi Energi Protein
No Nama JK U KS K Ekonomi
KKE Kat KKP Kat JKE KcE TKE JKP KcP TKP PI PK
1.    PST 2 1 1 1 14 2 13 2 695 37.5 2 20.3 41.4 2 2 2
2.     F 1 2 1 1 10 2 13 2 1104 59.8 2 38.6 78.7 2 1 2
3.     RDR 1 2 2 1 15 1 18 1 1560.3 84.3 1 43.3 88.3 1 1 1
4.     NRA 2 2 2 1 15 1 17 1 1485 80.2 1 39.6 80.8 1 1 1
5.   FY 1 2 1 1 12 2 14 2 1220 65.9 2 42.9 87.5 1 2 2
6.    IGH 1 2 1 1 14 2 12 2 1017.7 55 2 32.4 66.1 2 2 2
7.    MNS 2 2 2 1 17 1 19 1 1488.8 80.4 1 41.3 84.2 1 1 1
8.    FDAA 2 2 1 1 11 2 14 2 1349 72.9 2 37 75.5 2 1 2
9.    RDPYL 2 2 1 1 9 2 12 2 1453 78.5 2 35 71.4 2 1 1
10. NKMH 2 2 2 1 `14 2 17 1 1588 85.8 1 41.9 85.5 1 1 1
11.  PFD 2 2 2 1 15 1 16 1 1552.2 83.9 1 42.5 86.7 1 1 1
12.  AH 1 2 1 1 11 2 13 2 1373 74.2 2 30.1 61.4 2 2 2
13.  SISI 2 2 1 1 12 2 15 2 1046.4 56.5 2 32 65.3 2 1 2
14.  MDAF 1 2 2 1 16 1 17 1 1687.1 91.1 1 44.6 91 1 1 1
15.  SD 1 2 2 1 18 1 18 1 1493.8 80.7 1 40.9 83.4 1 1 1
16.  RH 1 2 1 1 11 2 11 2 1559.4 84.2 1 33.3 67.9 2 2 2
17.  MAJK 1 2 2 1 15 1 17 1 1505.4 81.3 1 43.4 88.5 1 1 1
18.  MAIA 1 2 2 2 15 1 17 1 1709 81.3 1 46 82.1 1 1 1
19.  RNLI 2 2 2 2 16 1 18 1 1623.5 81.1 1 49.7 82.8 1 1 1
20.  MAD 1 2 1 2 13 2 14 2 1299 61.8 2 28.4 50.7 2 1 2
21.  MFZ 1 2 1 2 11 2 11 2 1728 82.2 1 42.3 75.5 2 1 1
22.  FA 2 2 2 2 16 1 17 1 1639.6 81.9 1 50.1 89.4 1 1 1
23. SRPA 1 2 1 2 13 2 16 2 1347 64.1 2 33.6 60 2 2 2
24.  RRT 1 2 1 2 10 2 10 2 1185.5 56.4 2 27.9 49.8 2 1 2

89
Tingkat Sosial
Kebiasaan Konsumsi Energi Protein
No Nama JK U KS K Ekonomi
KKE Kat KKP Kat JKE KcE TKE JKP KcP TKP PI PK
25.  MRPB 1 2 2 2 17 1 19 1 1821.2 86.7 1 49.4 88.2 1 1 1
26.  ATI 1 2 1 2 9 2 8 2 1222.3 58.2 2 28.8 51.4 2 2 2
27.  FNSFJ 2 2 1 2 11 2 10 2 1124 56.2 2 29.7 49.5 2 1 1
28.  MML 1 2 1 2 13 2 17 1 1213.2 57.7 2 42.1 75.1 2 2 2
29.  RSA 1 2 1 2 11 2 9 2 1585.2 75.4 2 45.9 81.9 1 2 2
30.  NII 1 2 2 2 16 1 17 1 1698.6 80.8 1 45.3 80.8 1 1 1
31.  DI 1 3 1 2 13 2 14 2 809.3 38.5 2 23.3 41.6 2 2 2
32. PDPA 2 3 1 2 12 2 13 2 1002.7 50.1 2 37.4 62.3 2 1 1
33. WK 1 3 2 2 15 1 18 1 1777 84.6 1 46.8 56 1 1 1
34.  IFSS 2 2 1 2 9 2 15 2 972.5 48.6 2 29.3 48.8 2 1 1
35.  IZA 2 2 1 2 13 2 14 2 1887.5 94.3 1 33.4 55.6 2 2 2
36.  KS 2 3 1 2 10 2 15 2 856.2 42.8 2 24.2 40.3 2 2 2
37.  CS 2 3 1 2 10 2 15 2 632.2 31.6 2 16.5 27.5 2 2 2
38.  ZPNA 2 2 2 2 15 1 17 1 1654 82.7 1 51.1 85.1 1 1 1
39.  WA 2 3 1 2 8 2 10 2 885 44.2 2 26.7 44.5 2 2 2
40.  ANG 2 3 2 2 17 1 17 1 1640.1 82 1 49 81.6 1 1 1
41.  SAT 2 3 1 3 13 2 11 2 1278.2 63.8 2 34.4 57.3 2 2 2
42.  MND 1 3 2 3 15 1 17 1 1741.7 94.1 1 50.3 89.8 1 1 1
43.  SKN 1 2 2 3 16 1 17 1 1700.6 80.9 1 44.9 80.1 1 1 1
44.  BRA 1 3 2 3 15 1 17 1 1714 81.6 1 45 80.3 1 1 1
45. MFPS 1 3 2 3 18 1 18 1 1895.2 90.2 1 45.6 91.4 1 1 1
46.  ANNM 2 3 2 3 17 1 17 1 1869.7 93.5 1 51 85 1 1 1
47. CGD 2 3 2 3 19 1 17 1 1773.2 88.6 1 48.8 81.3 1 1 1
48.  MHT 2 3 2 3 18 1 18 1 1786.2 89.3 1 49 81.6 1 1 1
49.  RW 1 3 2 3 17 1 19 1 1882.9 89.6 1 48.3 86.2 1 1 1
50.  MRH 1 3 2 3 16 1 17 1 1776.6 84.6 1 47.2 84.2 1 1 1

90
Tingkat Sosial
Kebiasaan Konsumsi Energi Protein
No Nama JK U KS K Ekonomi
KKE Kat KKP Kat JKE KcE TKE JKP KcP TKP PI PK
51.  AYP 1 3 1 3 17 1 13 2 1178 56 2 38.4 68.5 2 1 1
52.  ILT 1 3 2 3 16 1 18 1 1873.2 89.2 1 47.1 84.1 1 1 1
53.  RH 2 3 2 3 15 1 18 1 1657.5 82.8 1 49.2 82 1 1 1
54.  AL 2 3 2 3 17 1 17 1 1699.1 84.9 1 48.1 80.1 1 1 1
55.  AA 1 3 2 3 17 1 17 1 1765.2 84 1 46.8 83.5 1 1 1
56.  RH 1 3 2 3 16 1 18 1 1699 80.9 1 47 83.9 1 1 1
57.  MPHY 2 3 2 3 16 1 17 1 1651.2 82.5 1 48.7 81.1 1 1 1
58.  MI 2 3 2 3 18 1 19 1 1898.9 94.9 1 51.5 85.8 1 1 1
59.  UA 1 3 2 3 16 1 17 1 1757 83.6 1 47 83.9 1 1 1
60.  JH 2 3 2 3 15 1 16 1 1689.9 84.4 1 48 80 1 1 1
61.  DB 1 3 1 3 15 2 15 2 1583.6 75.4 2 42.5 75.8 2 2 2
62.  RP 1 3 2 3 16 1 17 1 1781.2 84.8 1 47.5 84.8 1 2 1
63.  WAP 1 3 2 3 15 1 18 1 1685.7 80.2 1 48 85.7 1 1 1
64.  AB 2 3 2 3 17 1 18 1 1748.9 87.4 1 48.6 81 1 1 1

Keterangan:
N = Nama
JK = Jenis Kelamin : 1. Laki-laki
2. Perempuan
U = Umur : 1. 7-8 tahun
2. 9-10 tahun
3. 11-12 tahun
KS = Kejadian Stunting : 1. Stunting

91
2. Normal
K = Kelas : 1. IV
2. V
3. VI
PI = Pendidikan Ibu : 1. Tinggi : Jika ibu lulus SMA/D-3/S1
2. Rendah : Jika ibu hanya lulus SD/SMP
PK = Pendapatan Keluarga : 1. Tinggi : ≥ Rp. 2.206.000
2. Rendah : < Rp. 2.206.000
JKE = Jumlah Konsumsi Energi
KcE = Kecukupan Energi (%)
TKE = Tingkat Kecukupan Energi : 1. Baik : 80-100% AKG
2. Kurang : <80% AKG
JKP = Jumlah Konsumsi Protein
KcP = Kecukupan Protein (%)
TKP = Tingkat Kecukupan Protein : 1. Baik : 80-100% AKG
2. Kurang : <80% AKG
KKE = Kebiasaan Konsumsi Energi
Kat = Kategori : 1. Tinggi
2. Sedang
3. Rendah
KKP = Kebiasaan Konsumsi Protein
Kat = Kategori : 1. Tinggi
2. Sedang
3. Rendah

92
Lampiran 8
DOKUMENTASI PENELITIAN

Gambar 1 Pengukuran tinggi badan Gambar 2 Pengukuran tinggi badan

Gambar 3 Wawancara pengisian formulir FFQ dan Food Recall

Gambar 4 Wawancara pengisian formulir FFQ dan Food Recall

93
Gambar 4 Wawancara dengan Ibu Siswa Gambar 5 Wawancara dengan Ibu Siswa

Gambar 6 Wawancara dengan Ibu Siswa

94
Lampiran 9

95
Lampiran 10
PENGUJIAN UNIVARIATE
1. Kejadian Stunting
Kejadian Stunting

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Stunting 27 42.2 42.2 42.2

Normal 37 57.8 57.8 100.0

Total 64 100.0 100.0

2. Kebiasaan konsumsi energi

Kebiasaan konsumsi energy


Cumulative
Frequency Percent Valid percent percent
Valid Tinggi 37 57.8 57.8 57.8
Sedang 27 42.2 42.2 100.0
Total 64 100.0 100.0

3. Kebiasaan konsumsi protein


Kebiasaan konsumsi protein
Cumulative
Frequency Percent Valid percent percent
Valid Tinggi 38 59.4 59.4 59.4
Sedang 26 40.6 40.6 100.0
Total 64 100.0 100.0

4. Tingkat kecukupan energi


Tingkat kecukupan energy
Cumulative
Frequency Percent Valid percent percent
Valid Baik 40 62.5 62.5 62.5
Kurang 24 37.5 37.5 100.0
Total 64 100.0 100.0

96
5. Tingkat kecukupan protein
Tingkat kecukupan protein
Cumulative
Frequency Percent Valid percent percent
Valid Baik 39 60.9 60.9 60.9
Kurang 25 39.1 39.1 100.0
Total 64 100.0 100.0

6. Pendidikan ibu

7. Pendapatan keluarga

8. Jenis kelamin

97
98
9. Umur

99
100
10. Kelas

101
102
103
Lampiran 11
NORMALITAS DATA
1. Kejadian stunting

2. Kebiasaan konsumsi energi

3. Kebiasaan konsumsi protein

104
4. Tingkat kecukupan energi

5. Tingkat kecukupan protein

6. Pendidikan ibu

105
7. Pendapatan keluarga

106
Lampiran 12
PENGUJIAN BIVARIATE
1. Kebiasaan konsumsi energi

2. Kebiasaan konsumsi protein

107
3. Tingkat kecukupan energi

108
4. Tingkat kecukupan protein

109
5. Pendidikan ibu

6. Pendapatan keluarga

110
111
Lampiran 13
Summary

HUBUNGAN KEBIASAAN KONSUMSI ENERGI PROTEIN DAN


TINGKAT SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN
KEJADIAN STUNTING PADA ANAK
SEKOLAH DASAR NEGERI 24
KOTA GORONTALO

Riznan Datu1), Sunarto Kadir2), Sylva Flora Ninta Tarigan3)


1
Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo
email: riznandatu01@gmail.com
2
Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo
email: sunarto.kadir@yahoo.co.id
3
Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo
email: floraninta@gmail.com

Abstrak

Hasil Riskesdas prevalensi stunting nasional tahun 2013 sebesar 37,2%.


Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo kejadian stunting di Kota
Gorontalo pada tahun 2013 sebesar 10,2%. Data dari Dinas Kesehatan Kota Gorontalo
tahun 2017 prevalensi kejadian stunting di Kota Gorontalo sebesar 18,7%, dapat dilihat
dari data kejadian stunting tahun 2013 sampai 2017 prevalensi kejadian stunting
meningkat sebesar 8,5%. Rumusan masalah apakah ada hubungan kebiasaan konsumsi
energi protein dan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting. Tujuan
penelitian untuk mengetahui hubungan kebiasaan konsumsi energi protein dan tingkat
sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting.
Jenis penelitian bersifat kuantitatif dengan desain cross sectional. Jumlah sampel
64 siswa. Pengumpulan data menggunakan kuisioner, food frequency question dan food
recall 24 jam. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2018 di SDN 24 Kota
Gorontalo. Analisa hubungan antara variable independen dan variable dependen
menggunakan uji Chi-Square.
Hasil penelitian hubungan kebiasaan konsumsi energi protein dengan kejadian
stunting dibuktikan dengan uji statistik berdasarkan kebiasaan konsumsi energi
(p=0,000), kebiasaan konsumsi protein (p=0,000), kecukupan energi (p=0,000),
kecukupan protein (p= 0,000). Hubungan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan
kejadian stunting dibuktikan dengan uji statistik pendidikan ibu (p=0,000) dan
pendapatan keluarga (p=0,000), hasil ini menunjukan ada hubungan kebiasaan konsumsi
protein dan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan stunting dimana nilai p-Vaiue < α
(0,05).
Diharapkan pihak sekolah dan orang tua lebih memperhatikan makanan yang
dikonsumsi anak, baik di sekolah maupun di rumah, agar mengurangi kejadian stuting
pada anak.

Kata Kunci : Energi, Protein, Sosial, Ekonomi, Stunting.

112
113
1. PENDAHULUAN pangan, karena meningkatnya
Pada masa anak-anak pengeluaran pangan atau pendapatan
memerlukan zat gizi yang relatif lebih belum tentu diikuti dengan peningkatan
besar dibandingkan usia dewasa karena kualitas makanan. Hal ini karena
masih tergolong usia pertumbuhan. peningkatan pengeluaran belum tentu
Kebutuhan gizi anak sekolah digunakan untuk pangan. Selain tingkat
dipengaruhi oleh kebiasaan makan. pendapatan, faktor sosial budaya
Kebiasaan makan yang baik akan dapat termasuk kebiasaan makan yang buruk
memenuhi asupan gizi seimbang bagi yang secara tidak langsung dapat
anak, sebaliknya kebiasaan makan yang menyebabkan timbulnya masalah gizi
buruk akan dapat menghambat kurang.
terpenuhinya kecukupan gizi. Bila Data dunia menunjukkan 90%
asupan makanan yang dikonsumsi anak anak yang mengalami stunting atau
memiliki kandungan gizi yang cukup pendek berada di Asia dan Afrika, hal
dan sesuai dengan kebutuhan tubuh ini masih merupakan masalah kesehatan
anak, maka proses pertumbuhan anak masyarakat yang belum terselesaikan
akan berlangsung secara optimal. Pola (Wardlaw dkk., 2012). Di Indonesia,
makan yang baik diharapkan dapat diperkirakan 7,8 juta anak mengalami
menyumbangkan kecukupan energi, stunting, data ini berdasarkan laporan
protein, dan mineral seperti kalsium. yang dikeluarkan oleh UNICEF dan
Kebiasaan makan yang salah akan memposisikan Indonesia masuk ke
berdampak pada masalah yang sering dalam 5 besar negara dengan jumlah
terjadi pada anak usia sekolah yaitu yang mengalami stunting tinggi
stunting. (UNICEF, 2007).
Stunting merupakan salah satu Prevalensi pendek secara nasional
bentuk kelainan gizi dari segi ukuran tahun 2013 adalah 37,2%, yang berarti
tubuh yang ditandai dengan keadaan terjadi peningkatan dibandingkan tahun
tubuh yang pendek hingga melampaui 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%).
defisit -2SD di bawah standar WHO Prevalensi pendek sebesar 37,2% terdiri
(WHO, 2010). Stunting merupakan dari 18,0% sangat pendek dan 19,2%
kegagalan dalam mencapai pertumbuhan pendek. Pada tahun 2013 prevalensi
yang optimal disebabkan oleh keadaan sangat pendek menunjukkan penurunan,
gizi kurang yang berlangsung dalam dari 18,8% tahun 2007 dan 18,5% tahun
waktu yang cukup lama. Status stunting 2010. Prevalensi pendek meningkat dari
dapat dihitung dengan menggunakan 18,0% pada tahun 2007 menjadi 19,2%
antropometri WHO 2007 untuk anak pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013).
umur 5-19 tahun yaitu dengan Data kejadian stunting di Provinsi
menghitung nilai Z-score TB/U masing- Gorontalo pada tahun 2013 mencapai
masing anak 21,01%. Angka ini cukup baik,
Masalah perbaikan gizi memang dibanding pada tahun 2012 yang sebesar
berhubungan dengan banyak hal, salah 26,08% dan pada tahun 2010 (38,01%).
satunya adalah persoalan pola makan Prevalensi stunting di Kabupaten
yang baik. Masalah gizi kurang terutama Gorontalo 27,5%, Boalemo 29,2%,
stunting sangat erat hubungannya Pohuwato 23,5%, Bone Bolango
dengan kuantitas dan kualitas makanan 14,27%, Gorontalo Utara 21,3% dan
yang dikonsumsi, di mana faktor yang terendah di Kota Gorontalo yaitu 10,2%
menentukan kualitas makan adalah (Dinkes Provinsi Gorontalo, 2013).
tingkat pendapatan. Namun demikian, Berdasarkan data Dinas
peningkatan pendapatan tidak selalu Kesehatan Kota Gorontalo, bahwa
membawa perbaikan pada konsumsi prevalensi kejadian stunting pada tahun

114
2017 di Kota Gorontalo sebesar 18,7%. variabel independen (faktor resiko)
Masalah kesehatan masyarakat dianggap dengan variabel dependen (efek).
berat bila prevalensi pendek sebesar 30-
39% dan serius bila prevalensi pendek 2.3 Populasi dan Sampel
≥40% (WHO 2010). Dapat dilihat dari Populasi merupakan keseluruhan
data kejadian stunting tahun 2013 subyek yang memenuhi karakteristik
sampai dengan 2017 prevalensi kejadian tertentu kemudian diteliti. Populasi pada
stunting meningkat sebesar 8,5%. penelitian ini adalah siswa kelas IV, V
Berdasarkan hasil observasi awal dan VI di Sekolah Dasar Negeri (SDN)
yang dilakukan, dari 25 anak sekolah di 24 Kota Gorontalo yang berjumlah 75
Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota siswa, dengan alasan karena siswa
Gorontalo sebanyak 10 anak mengalami tersebut sudah mulai bisa untuk
stunting. Dari hasil pengumpulan data di diwawancarai (Lubis, 2017).
kelurahan Tomulabutao Selatan tempat Sampel merupakan sebagian dari
Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota seluruh siswa yang menjadi obyek.
Gorontalo berada mengenai sosial Jumlah sampel dapat diperoleh dengan
ekonomi, yaitu sebanyak 35% warga menggunakan rumus Slovin.
tidak mempunyai pekerjaan, sehingga
berpengaruh terhadap kondisi ekonomi N
n=
keluarga. Dan dari hasil wawancara 1+ Ne2
kebiasaan makan pada anak sekolah di
Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Keterangan
Gorontalo, dari 25 anak sebanyak 19 n = Ukuran sampel
anak dengan kebiasaan konsumsi energi N = Ukuran populasi
sedang dan 15 anak dengan konsumsi e = Nilai kritis (batas ketelitian)
protein sedang. Berdasarkan uraian di yang diinginkan (persen
atas maka penulis tertarik untuk melihat kelonggaran ketidaktelitian
“Hubungan Kebiasaan Konsumsi Energi karena kesalahan
Protein dan Tingkat Sosial Ekonomi pengambilan sampel
Keluarga dengan Kejadian Stunting pada populasi)
Anak Sekolah Dasar Negeri 24 Kota 75
Gorontalo” n= 2
=63,15=64
1+75(0,05)
2. METODE PENELITIAN Dari hasil perhitungan jumlah
2.1 Lokasi dan waktu penelitian sampel minimal tersebut, peneliti
Lokasi penelitian ini dilakukan di memutuskan untuk mengambil sebanyak
Sekolah Dasar Negeri 24 Kota 64 sampel.
Gorontalo selama bulan Oktober 2018. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah
2.2 Desain Penelitian proportionate stratified random
Jenis penelitian ini adalah sampling yaitu pengambilan sampel dari
penelitian kuantitatif. Penelitian ini anggota populasi secara acak dan
bertujuan mengetahui hubungan berstrata secara proporsional, dilakukan
kebiasaan konsumsi energi protein dan sampling ini apabila anggota
tingkat sosial ekonomi keluarga dengan populasinya heterogen (tidak sejenis).
stunting pada anak sekolah dasar negeri Proportionate stratified random
24 Kota Gorontalo. Adapun rancangan sampling ini dilakukan dengan cara
pada penelitian ini adalah menggunakan membuat lapisan-lapisan (strata),
rancangan cross sectional yaitu untuk kemudian dari setiap lapisan diambil
mencari hubungan antara sejumlah subjek secara acak. Jumlah

115
subjek dari setiap lapisan (strata) adalah 3 11-12 Tahun 30 46.88
sampel penelitian. Rumus pengambilan Total 64 100
sampelnya adalah: Sumber: Data Primer, 2018
¿= ¿ x n Berdasarkan data pada tabel 2
N diketahui bahwa anak yang menjadi
Keterangan responden sebagian besar berumur
Ni = Jumlah anggota sampel per antara 9-10 tahun yang berjumlah 33
kelas orang (51,56%), sedangkan paling
N = Jumlah anggota sampel sedikit pada umur 7-8 tahun berjumlah 1
seluruhnya orang (1,56%). Sehingga dengan
Ni = Jumlah anggota populasi per demikian responden dalam penelitian ini
kelas didominasi oleh anak yang berumur 8
N = Jumlah angota populasi tahun ke atas.
seluruhnya Tabel 3 Distribusi Sampel Berdasarkan
Maka jumlah anggota sampel Kelas Anak di Sekolah Dasar
berdasarkan kelas adalah: Negeri (SDN) 24 Kota
20 Gorontalo
Kelas IV = x 64=17 responden N Frekuensi
75 Kelas
27 o n %
Kelas V = x 64=23 responden 1 Kelas IV 17 26.56
75 2 Kelas V 23 35.94
28 3 Kelas VI 24 37.50
Kelas VI = x 64=24 responden
75 Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2018
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data pada tabel 3
3.1 Karakteristik Responden diketahui bahwa sebagian besar anak
Tabel 1 Distribusi Sampel Berdasarkan yang menjadi responden berada pada
Jenis kelamin Anak di Sekolah kelas VI yakni sebanyak 24 (37,50%)
Dasar Negeri (SDN) 24 Kota sedangkan yang paling kecil
Gorontalo frekuensinya yakni kelas IV yakni
N Frekuensi sebanyak 17 orang ( 26,56%).
Jenis Kelamin
o n %
54.6 3.2 Analisis Data Univariate
1 Laki-Laki 35
9 8. Variabel kejadian stunting pada
45.3 anak
2 Perempuan 29
1 Tabel 4 Distribusi Sampel Berdasarkan
Total 64 100
Kejadian Stunting pada Anak
Sumber: Data Primer, 2018 di Sekolah Dasar Negeri
Berdasarkan data pada table 1 (SDN) 24 Kota Gorontalo
dapat dijelaskan bahwa anak yang N Kejadian Frekuensi
berjenis kelami laki-laki sebanyak 35 o Stunting n %
orang (54,69%) sedangkan yang 1 Stunting 27 42.19
perempuan sebanyak 29 orang(45,31%). 2 Normal 37 57.81
Tabel 2 Distribusi Sampel Berdasarkan Total 64 100
Kelompok Umur Anak di Sumber: Data Primer, 2018
Sekolah Dasar Negeri (SDN) Berdasarkan data pada tabel 4
24 Kota Gorontalo dijelaskan bahwa responden yang dalam
N Frekuensi kategori mengalami kejadianstunting
Umur
o n % sebanyak 27 orang atau sebesar 42,19%
1 7-8 Tahun 1 1.56 sementara anak yang kategori normal
2 9-10 Tahun 33 51.56

116
sebanyak 37 orang atau sebesar 57,81%
dari keseluruhan sampel penelitian.
Tabel 7 Distribusi Kejadian Stunting
Tabel 5 Distribusi Kejadian Stunting Berdasarkan Kelas Pada
Berdasarkan Jenis Kelamin Anak di Sekolah Dasar
Pada Anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota
Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo
Gorontalo Kejadian Stunting
Kejadian Stunting Karakteristik Stunting Normal
Karakteristik Stunting Normal n % n %
n % n % Kelas IV 9 33,3 8 21,6
Jenis Laki-laki 15 55,5 20 54,1 Kelas Kelas V 15 55,5 8 21,6
kelam Perempu Kelas VI 3 11,1 21 56,7
12 45,5 17 45,9
in an Total 27 100 37 100
Total 27 100 37 100 Sumber: Data Primer, 2018
Sumber: Data Primer, 2018 Berdasarkan data pada tabel 7
Berdasarkan data pada tabel 5 dijelaskan bahwa kejadian stunting
dijelaskan bahwa kejadian stunting paling banyak pada kelas V sebanyak 15
paling banyak pada responden laki-laki orang (55,5%),pada kelas IV sebanyak 9
sebanyak 15 orang (55,5%), dan untuk orang (33,3%) dan kelas VI sebanyak 3
responden perempuan sebanyak 12 orang(11,1%).
orang (45,5%). Sedangkan untuk 9. Variabel kebiasaan konsumsi energi
kategori normal responden laki-laki Tabel 8 Distribusi Sampel Berdasarkan
sebanyak 20 orang (54,1%) dan Kebiasaan Konsumsi Energi
perempuan sebanyak 17 orang (45,9%). Kebiasaan Frekuensi
N
Tabel 6 Distribusi Kejadian Stunting Konsumsi
o n %
Berdasarkan Umur Pada Energi
Anak di Sekolah Dasar 1 Tinggi 37 57.81
Negeri (SDN) 24 Kota 2 Sedang 27 42.19
Gorontalo Total 64 100
Kejadian Stunting Sumber: Data Primer, 2018
Karakteristik Stunting Normal Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat
n % n % bahwa responden yang memiliki
7-8 tahun 1 3,7 0 0 kebiasaan yang tinggi sebanyak 37
9-10 orang atau sebesar 57,81% sementara
18 66,6 15 40,5
Umur tahun anak yang memiliki kebiasaan sedang
11-12
8 29,6 22 59,5 sebanyak 27 orang atau sebesar 42,19%
tahun dari keseluruhan sampel penelitian.
Total 27 100 37 100 10. Variabel kebiasaan konsumsi
Sumber: Data Primer, 2018 protein
Berdasarkan data pada tabel 6 Tabel 9 Distribusi Sampel Berdasarkan
dijelaskan bahwa kejadian stunting Kebiasaan Konsumsi Protein
paling banyak pada kelompok umur 9- Kebiasaan Frekuensi
N
10 tahun sebanyak 18 orang (66,6%), Konsumsi
o n %
11- 12 tahun sebanyak 8 orang (28,6%) Protein
dan 1 orang (3,7%) pada kelompok 1 Tinggi 38 59.38
umur 7-8 tahun. Sedangkan pada 2 Sedang 26 40.63
kategori normal paling banyak pada Total 64 100
kategori 11-12 tahun sebanyak 22 orang Sumber: Data Primer, 2018
(59,5%) dan pada kelompok umur 9-10 Berdasarkan tabel 9 dapat dilihat
tahun sebanyak 15 orang (40,5%). bahwa responden yang memiliki

117
kebiasaan konsumsi protein yang tinggi Berdasarkan tabel 12 dapat dilihat
sebanyak 38 orang atau sebesar 59,3% bahwa responden yang memiliki ibu
sementara anak yang memiliki berpendidikan tinggi sebanyak 47 orang
kebiasaan konsumsi protein yang sedang atau sebesar 73,44% sementara anak
sebanyak 26 orang atau sebesar 40,63% yang memiliki ibu berpendidikan rendah
dari keseluruhan sampel penelitian. sebanyak 17 orang atau sebesar 26,56%
11. Variabel tingkat kecukupan energi dari keseluruhan sampel penelitian.
Tabel 10 Distribusi Sampel Berdasarkan 14. Variabel pendapatan keluarga
Tingkat Kecukupan Energi Tabel 13 Distribusi Sampel Berdasarkan
Tingkat Frekuensi Pendapatan keluarga
No
Kecukupan Energi n % N Pendapatan Frekuensi
1 Baik 40 62.50 o Keluarga n %
2 Kurang 24 37.50 1 Tinggi 43 67.19
Total 64 100 2 Rendah 21 32.81
Sumber: Data Primer, 2018 Total 64 100
Berdasarkan tabel 10 dapat dilihat Sumber: Data Primer, 2018
bahwa responden yang memiliki jumlah Berdasarkan tabel 13 dapat dilihat
konsumsi energi yang baik sebanyak 40 bahwa responden yang memiliki
orang atau sebesar 62,50% sementara keluarga berpendapatan tinggi sebanyak
anak yang memiliki jumlah konsumsi 43 orang atau sebesar 67,19% sementara
energi yang kurang sebanyak 24 orang anak yang memiliki keluarga
atau sebesar 37,50% dari keseluruhan berpendapatan rendah sebanyak 21
sampel penelitian. orang atau sebesar 32,81% dari
12. Variabel tingkat kecukupan protein keseluruhan sampel penelitian.
Tabel 11 Distribusi Sampel Berdasarkan
Tingkat Kecukupan Protein 3.3 Analisis Data Bivariate
N
Tingkat Frekuensi 3.1.1 Kejadian stunting berdasarkan
Kecukupan kebiasaan konsumsi energi
o n %
Protein protein
1 Baik 39 60.94 3. Variabel Kebiasaan Konsumsi Energi
2 Kurang 25 39.06 Protein Dengan Kejadian Stunting
Total 64 100 Pada Anak
Sumber: Data Primer, 2018 Tabel 14 Tabulasi Silang Hubungan
Berdasarkan tabel 11 dapat dilihat Variabel Kebiasaan
bahwa responden yang memiliki jumlah Konsumsi Energi Protein
konsumsi protein yang baik sebanyak 39 Dengan Kejadian Stunting
orang atau sebesar 60,94% sementara Pada Anak
anak yang memiliki jumlah konsumsi Kategor
Coe
protein yang kurang sebanyak 25 orang i
T efici
atau sebesar 39,06% dari keseluruhan Konsumsi St N
ot
p-
ent
sampel penelitian. Enegri un or Val
al Con
Protein ti m ue
13. Variabel pendidikan ibu ng al
n tige
Tabel 12 Distribusi Sampel Berdasarkan ncy
n n
Pendidikan Ibu Kebia Tin 3
1 36
N Frekuensi saan ggi 7
Pendidikan Ibu Kons 0,00 0,6
o n %
umsi Sed 2 0 83
1 Tinggi 47 73.44 26 1
Energ ang 7
2 Rendah 17 26.56 i
Total 64 100 Kebia Tin 3 0,00 0,6
1 37
Sumber: Data Primer, 2018 saan ggi 8 0 96
Kons Sed 26 0 2

118
bahwa sebesar 69,6% hubungan
ang 6 Kebiasaan konsumsi proteindengan
umsi
Protei Kejadian stunting pada anak di Sekolah
Sumber: Data Primer, 2018
Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.
Berdasarkan tabel 14 maka dapat
4. Variabel Tingkat Kecukupan Energi
dijabarkan hasil dari hubungan variabel
Protein Dengan Kejadian Stunting
kebiasaan konsumsi energi protein
Pada Anak
dengan kejadian stunting pada anak di
Tabel 15 Tabulasi Silang Hubungan
Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota
Variabel Kecukupan Energi
Gorontalo sebagai berikut ini:
Protein Dengan Kejadian
3) Kebiasaan Konsumsi Energi Dengan
Stunting Pada Anak
Kejadian Stunting Pada Anak Kategori Coe
Berdasarkan hasil analisis p-
T efici
St V
diperoleh nilai Probability Value (P- Konsumsi
un
No ot
al
ent
Value) variabel Kebiasaan konsumsi Enegri Protein rm al Con
tin u
al tige
energi sebesar 0,000. Nilai signifiknsi g e
ncy
ini masih lebih kecil dibandingkan Tingkat Bai 4 0,
dengan nilai alpha yang digunakan 3 37
Kecuku k 0 0 0,67
(0,05) sehingga Ha1 diterima. Dengan pan Kur
24 0
2 0 2
demikian dapat disimpulkan bahwa pada Energi ang 4 0
tingkat kepercayaan 95% terdapat Tingkat Bai 3 0,
2 37
Kecuku k 9 0 0,68
hubungan yang signifikan Kebiasaan pan Kur 2 0 4
konsumsi energi denganKejadian 25 0
Protein ang 5 0
stunting pada anak di Sekolah Dasar Sumber: Data Primer, 2018
Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo. Berdasarkan tabel 15 maka dapat
Kemudian dapat pula dilihat bahwa nilai dijabarkan hasil dari hubungan variabel
koefisien korelasi (Contingency kebiasaan konsumsi energi protein
Coefficient) sebesar 0,683 yang berarti dengan kejadian stunting pada anakdi
bahwa sebesar 68,3% hubungan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota
Kebiasaan konsumsi energidengan Gorontalosebagai berikut ini:
Kejadian stunting pada anak di Sekolah 3) Variabel TingkatKecukupan Energi
Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo. Dengan Kejadian Stunting Pada
4) Kebiasaan Konsumsi Protein Anak
Dengan Kejadian Stunting Pada Berdasarkan hasil analisis
Anak diperoleh nilai Probability Value (P-
Berdasarkan hasil analisis Value) variabel Jumlah konsumsi energi
diperoleh nilai Probability Value (P- sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih
Value) variabel Kebiasaan konsumsi lebih kecil dibandingkan dengan nilai
protein sebesar 0,000. Nilai signifiknsi alpha yang digunakan (0,05) sehingga
ini masih lebih kecil dibandingkan Ha3 diterima. Dengan demikian dapat
dengan nilai alpha yang digunakan disimpulkan bahwa pada tingkat
(0,05) sehingga Ha2 diterima. Dengan kepercayaan 95% terdapat hubungan
demikian dapat disimpulkan bahwa pada yang signifikan Jumlah konsumsi energi
tingkat kepercayaan 95% terdapat dengan Kejadian stunting pada anak di
hubungan yang signifikan Kebiasaan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota
konsumsi protein dengan Kejadian Gorontalo. Kemudian dapat pula dilihat
stunting pada anak di Sekolah Dasar bahwa nilai koefisien korelasi
Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo. (Contingency Coefficient) sebesar 0,672
Kemudian dapat pula dilihat bahwa nilai yang berarti bahwa sebesar 67,2%
koefisien korelasi (Contingency hubungan Jumlah konsumsi
Coefficient) sebesar 0,696 yang berarti energidengan Kejadian stunting pada

119
anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24
Kota Gorontalo
4) Variabel Tingkat Kecukupan Protein 3) Variabel Pendidikan Ibu Dengan
Dengan Kejadian Stunting Pada Kejadian Stunting Pada Anak
Anak Berdasarkan hasil analisis
Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Probability Value (P-
diperoleh nilai Probability Value (P- Value) variabel Pendidikan ibu sebesar
Value) variabel Jumlah konsumsi 0,000. Nilai signifiknsi ini masih lebih
protein sebesar 0,000. Nilai signifiknsi kecil dibandingkan dengan nilai alpha
ini masih lebih kecil dibandingkan yang digunakan (0,05) sehingga Ha5
dengan nilai alpha yang digunakan diterima. Dengan demikian dapat
(0,05) sehingga Ha4 diterima. Dengan disimpulkan bahwa pada tingkat
demikian dapat disimpulkan bahwa pada kepercayaan 95% terdapat hubungan
tingkat kepercayaan 95% terdapat yang signifikan Pendidikan ibu dengan
hubungan yang signifikan Jumlah Kejadian stunting pada anak di Sekolah
konsumsi protein dengan Kejadian Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.
stunting pada anak di Sekolah Dasar Kemudian dapat pula dilihat bahwa nilai
Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo. koefisien korelasi (Contingency
Kemudian dapat pula dilihat bahwa nilai Coefficient) sebesar 0,534 yang berarti
koefisien korelasi (Contingency bahwa sebesar 53,4% hubungan
Coefficient) sebesar 0,684 yang berarti Pendidikan ibudengan Kejadian stunting
bahwa sebesar 68,4% hubungan Jumlah pada anak di Sekolah Dasar Negeri
konsumsi proteindengan Kejadian (SDN) 24 Kota Gorontalo.
stunting pada anak di Sekolah Dasar 4) Variabel Pendapatan Keluarga
Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo Dengan Kejadian Stunting Pada
3.3.2 Kejadian stunting berdasarkan Anak
tingkat sosial ekonomi Berdasarkan hasil analisis diperoleh
Tabel 16 Tabulasi Silang Hubungan nilai Probability Value (P-Value)
Variabel Tingkat Sosial variabel Pendapatan keluarga sebesar
Ekonomi Keluarga Dengan 0,000. Nilai signifiknsi ini masih lebih
Kejadian Stunting Pada kecil dibandingkan dengan nilai alpha
Anak yang digunakan (0,05) sehingga Ha6
Kategor
Coee diterima. Dengan demikian dapat
i disimpulkan bahwa pada tingkat
Tingkat T ficien
p-
Sosial St N ot
Val
t kepercayaan 95% terdapat hubungan
Ekonomi un or al Conti yang signifikan Pendapatan keluarga
ue
Keluarga ti m n genc
ng al y
dengan Kejadian stunting pada anak di
Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota
Tin Gorontalo. Kemudian dapat pula dilihat
Pendi 11 36 47
ggi 0,00
dikan
Ren 0
0,534 bahwa nilai koefisien korelasi
Ibu 16 1 17 (Contingency Coefficient) sebesar 0,633
dah
Penda Tin
6 37 43
yang berarti bahwa sebesar 63,3%
patan ggi 0,00 hubungan Pendapatan keluargadengan
0,633
Kelua Ren 0 Kejadian stunting pada anak di Sekolah
21 0 21
rga dah
Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.
Sumber: Data Primer 2018
Berdasarkan tabel 16 di atas maka
3.4 Pembahasan
dapat dijabarkan hasil dari hubungan
3.4.1 Konsumsi energi protein pada
variabel Tingkat sosial ekonomi
anak di Sekolah Dasar.
keluarga dengan kejadian stunting pada
1. Kebiasaan konsumsi energi protein
anak sebagai berikut ini:

120
Pada tabel 8 distribusi sampel dikarenakan frekuensi makan para siswa
berdasarkan kebiasaan konsumsi energi hanya 2x dalam sehari sehingga jumlah
diketahui terdapat 27 (42,19%) siswa energi yang masuk kedalam tubuh tidak
dengan kebiasaan konsumsi energi mencukupi<2000 kkal. Pada kecukupan
sedang, karena siswa di SDN 24 Kota energi baik terdapat 40 (62,50%) siswa
Gorontalo jarang mengonsumsi dengan kecukupan energi ≥2000.
makanan sumber energi seperti jagung, Hasil penelitian Yulni (2013),
singkong dan kentang, sedangkan terdapat hubungan yang signifikan
makanan yang sering di konsumsi yakni antara asupan energi dengan status gizi,
nasi, mie, roti dan biskuit. Pada hal ini sesuai dengan teori yang
kebiasaan konsumsi energi tinggi mengatakan bahwa faktor utama yang
terdapat 37 (57,81%) siswa yang sering memengaruhi status gizi adalah
mengonsumsi sumber energi yang konsumsi makanan.
beragam seperti nasi, jagung, kentang, Pada tabel 11 distribusi sampel
mie, biskuit dan roti. berdasarkan tingkat kecukupan protein
Sunita (2009) mengemukakan terdapat 25 (40,63%) siswa dengan
bahwa fungsi utama karbohidrat adalah kecukupan protein kurang yang
menyediakan energi tubuh. Karbohidrat disebabkan oleh kurangnya asupan
merupakan sumber utama energi protein kedalam tubuh <60 gr, karena
bagipenduduk di seluruh dunia, sumber para siswa ini frekuensi makan dalam
karbohidrat adalah padi-padian, atau sehari hanya sebanyak 2x. Sedangkan
sereal, umbi-umbian, kacang-kacang jumlah siswa yang memiliki kecukupan
kering, dan gula. protein baik terdapat 39 (60,94%) siswa
Pada tabel 9 distribusi sampel dengan asupan protein ≥60 gr per hari
berdasarkan kebiasaan konsumsi protein dan frekuensi makan siswa 3x sehari.
terdapat 26 (40,63%) siswa dengan Kebutuhan protein anak usia 6-15
kebiasaan konsumsi protein sedang, tahun mengalami kenaikan. Pada
karena para siswa jarang mengonsumsi periode usia ini protein banyak
makanan sumber protein yang tinggi, digunakan untuk pertumbuhan sel baru,
kebanyakan hanya mengonsumsi ikan, pemeliharaan jaringan dan pengganti sel
tahu, dan tempe, karena bahan makanan yang rusak termasuk sel otak, tulanng,
ini yang paling mudah didapatkan. otot, kemudian pembentukan komponen
Sedangkan jumlah siswa yang tubuh yang penting seperti enzim,
memilikikebiasaan konsumsi protein hormon, sel darah merah (Devi, 2012).
tinggi terdapat 38 (59,38%) siswa, selain 3.4.2 Tingkat sosial ekonomi keluarga
sering mengonsumsi ikan, tahu dan pada anak
tempe para siswa ini juga mengonsumsi 3. Pendidikan ibu
kacang hijau, daging, telur dan udang Berdasarkan tabel table 12
yang merupakan bahan makanan dengan distribusi sampel berdasarkan
sumber protein tinggi. pendidikan ibu menunjukkan bahwa
Bahan makanan hewani termasuk kategori rendah yaitu sebanyak
merupakan sumber protein yang baik, 17 (26,56%) ibu yakni hanya lulusan SD
dalam jumlah maupun mutu, seperti atau SMP, sedangkan pada kategori
telur, susu, daging, unggas, ikan, dan pendidikan tinggiterdapat 39 (60,94%)
kerang (Almatsier, 2009). ibu yakni memuliki tingkat pendidikkan
2. Tingkat kecukupan energi protein SMA/sederajat atau perguruan tinggi.
Berdasarkan tabel 10 distribusi Tingkat pendidikan sangat
sampel berdasarkan tingkat kecukupan berpegaruh terhadap perubahan sikap
energi, terdapat 24 (37,50%) siswa dan prilaku hidup sehat, karena
dengan kecukupan energi kurang, memudahkan seseorang untuk menyerap

121
informasi dan mengimplementasikan ibunya faktor mendasar adalah
dalam prilaku dan kehidupan sehari- keturunan.
hari. Tingkat pendidikan, khususnya Kebiasaan konsumsi energi dilihat
pendidikan ibu mempengaruhi derajat dari gambaran pola konsumsi bahan
kesehatan dan berhubungan dengan makanan atau makanan jadi selama
tingkat pengasuhan yang diberikan periode tertentu seperti hari, minggu,
kepada anak.Praktek pengasuhan yang bulan atau tahun. Kebiasaan konsumsi
berkaitan erat dengan pendidikan ibu ini meliputi jenis dan frekuensi
adalah praktek pemilihan makanan konsumsi energi oleh anak yang
keluarga terutama pada anak (Suhardjo, diperoleh dengan menggunakan formulir
2009). food frequency. Sebagian besar jenis
4. Pendapatan keluarga makanan dari sumber energi yang
Berdasarkan tabel tabel 13 dikonsumsi anak di Sekolah Dasar
distribusi sampel berdasarkan Negeri 24 Kota Gorontalo adalah nasi
pendapatan keluarga menunjukkan dengan frekuensi 1-3x/hari. Hal ini
bahwa sebanyak 21 (32,81%) termasuk dapat diketahui karena pada setiap kali
dalam kategori rendah atau pendapatan mengonsumsi makanan utama
<Rp.2.206,831 dan sebesar 43(67,19%) responden selalu menyediakan nasi
termasuk dalam kategori tinggi atau sebagai makanan pokok (sumber
pendapatan ≥Rp.2.206,831. energi). Anak usia sekolah umumnya
Ketersediaan kebutuhan rumah mengonsumsi makanan menurut
tangga tergantung dari pendapatan kesukaan mereka tanpa memperhatikan
keluarga. Selain itu, pendapatan zat gizi apa yang terdapat dalam
keluarga juga menentukan jenis pangan makanan tersebut. Mereka yang lebih
yang dibeli. Keluarga dengan banyak menghabiskan waktu di sekolah,
pendapatan terbatas akan kurang cenderung lebih sering mengonsumsi
memenuhi kebutuhan makanannya makanan yang ada di sekolah
terutama untuk memenuhi kebutuhan zat dibandingkan dengan di rumah.
gizi dalam tubuh. Tingkat pendapatan
juga ikut menentukan jenis pangan yang Berdasarkan hasil uji statistik
akan dibeli (Adriani dan Wirjatmadi, menggunakan Chi-Square diperoleh
2014). nilai Probability Value (p-Value)
3.4.3 Hubungan kebiasaan konsumsi variabel kebiasaan konsumsi energi
energi protein dengan kejadian sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih
stunting pada anakusia sekolah lebih kecil dibandingkan dengan nilai α
1. Kebiasaan konsumsi energi dengan (0,05)atau terdapat hubungan yang
Stunting signifikan kebiasaan konsumsi energi
Berdasarkan table 14 tabulasi dengan kejadian stunting pada anak di
silang hubungan variabel kebiasaan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota
konsumsi energi protein dengan Gorontalo.
kejadian stunting pada anak dari hasil Hasil penelitian ini juga sesuai
penelitian yang telah dilakukan, dapat dengan Pratiwi (2018) yang
diketahui bahwa kebiasaan konsumsi menunjukkan ada hubungan antara
energi pada anak stunting berada dalam kebiasaan konsumsi energi dengan
kategori sedang sebanyak 26 anak. kejadian stunting (OR=3,109), yang
Adapun anak stunting yang memiliki berarti anak yang mengalami stunting
kebiasaan konsumsi energi tinggi berasal dari anak yangmemiliki
sebanyak 1 anak, dikarenakan kebiasaan konsumsi energi sedang
berdasarkan hasil wawancara dengan dengan risiko 3 kali lebih tinggi.
2. Kebiasaan konsumsi protein dengan
stunting

122
Berdasarkan tabel 14 tabulasi nilai Probability Value (p-Value)
silang hubungan variabel kebiasaan variabel kebiasaan konsumsi protein
konsumsi energi protein dengan sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih
kejadian stunting pada anak. Adapun lebih kecil dibandingkan dengan nilai α
jumlah anak stunting yang memiliki (0,05)atau terdapat hubungan yang
kebiasaan konsumsi protein sedang signifikan kebiasaan konsumsi energi
sebanyak 26 anak dibandingkan dengan dengan kejadian stunting pada anak di
yang normal, tetapi terdapat 1 anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota
stunting dengan kebiasaan konsumsi Gorontalo
protein tinggi, berdasarkan wawancara Hasil penelitian ini juga sesuai
diketahui penyebab anak stunting adalah dengan Pratiwi (2018) yang
faktor keturunan. Sedangkan sebanyak menunjukkan ada hubungan antara
37 anak kategori normal yang memiliki kebiasaan konsumsi protein dengan
kebiasaan konsumsi protein tinggi. kejadian stunting (OR=3,148), yang
Kebiasaan konsumsi ini meliputi berarti anak yang mengalami stunting
jenis dan frekuensi konsumsi protein berasal dari anak yang memiliki
oleh anak yang diperoleh dengan kebiasaan konsumsi energi sedang
menggunakan formulir food frequency. dengan risiko 3 kali lebih tinggi. Eratnya
Sebagian besar jenis makanan dari hubungan protein dengan pertumbuhan
sumber protein yang dikonsumsi anak menyebabkan seorang anak yang kurang
Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota asupan proteinnya akan mengalami
Gorontalo adalah ikan. tahu, tempe dan pertumbuhan yang lebih lambat dari
telur dengan frekuensi 1-3x sehari. Hal pada anak dengan jumlah asupan
ini dapat diketahui karena responden protein yang cukup (Bender, 2002) dan
cenderung menyukai makanan yang pada keadaan yang lebih buruk
praktis, cepat, dan orang tua juga mudah kekurangan protein dalam jangka waktu
untuk mengolahnya. Biasanya tahu, yang lama dapat mengakibatkan
tempe, dan telur diolah/disajikan hanya berhentinya proses pertumbuhan
dengan cara digoreng. Untuk jenis (Andarini, dkk 2013).
makanan lain yang dikonsumsi oleh 3. Tingkat kecukupan energi dengan
anak adalah udang, daging ayam, stunting
kacang hijau dengan frekuensi Berdasarkan hasil penelitian table
1-2x/bulan, selanjutnya ada beberapa 15 tabulasi silang hubungan variabel
anak yang jarang/tidak pernah kebiasaan konsumsi energi protein
mengonsumsi kacang hijau dan udang, dengan kejadian stunting pada anak
hal ini dikarenakan jenis pangan kejadian stunting dengan kecukupan
memang tidak disukai responden dan energi kurang sebesar 24 orang
sebagian orang tua responden kurang dibandingkan dengan siswa normal.
bervariasi dalam menyediakan makanan Pada siswa stunting dan kategori
untuk anak-anaknya, mereka cenderung kecukupan energi baik sebanyak 3 orang
monoton dalam menyediakan makanan dibandingkan dengan siswa normal
anak mereka. Selain itu beberapa anak sebanyak 37 orang. Hal ini
juga tidak menyukainya. Sedangkan menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi
daging sapi, responden hanya energi anak stunting dalam sehari masih
mengonsumsi jika ada acara-acara besar kurang dari Angka Kecukupan Gizi
seperti hajatan atau pesta dan hari-hari (AKG) yang telah dianjurkan. Hal ini
besar seperti Hari Raya Idul Fitri dan dapat disebabkan oleh makanan yang
Idul Adha. dikonsumsi sehari-hari oleh anak
Berdasarkan hasiluji statistik stunting baik dirumah maupun di
menggunakan Chi-Square diperoleh sekolah, seperti jajanan yang ada di

123
sekolah yang belum bisa mencukupi Berdasarkan hasil uji statistik
kebutuhan energi yang dibutuhkan menggunakan Chi-Square diperoleh
dalam sehari. Kebiasaan anak yang nilai Probability Value (p-Value)
jarang sarapan pagi, jumlah asupan variabel tingkat kecukupan energi
makanan pokok yang kurang dan sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih
frekuensi makan makanan pokok yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai α
dikonsumsi hanya 4-5x/minggu bahkan (0,05) atau terdapat hubungan yang
ada yang jarang/tidak pernah signifikan kebiasaan konsumsi energi
dikonsumsi yang mengakibatkan dengan kejadian stunting pada anak di
kebutuhan energi anak belum tercukupi. Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota
Berdasarkan hasiluji statistik Gorontalo.
menggunakan Chi-Square diperoleh Hasil penelitian Sundari (2016)
nilai Probability Value (p-Value) didapatkan bahwa ada hubungan positif
variabel tingkat kecukupan energi antara asupan protein dengan indeks z-
sebesar 0,000. Nilai signifiknsi ini masih score TB/U dengan nilai p=0,042. Hasil
lebih kecil dibandingkan dengan nilai α penelitian yang dilakukan oleh Vaozia
(0,05) atau terdapat hubungan yang (2016) menunjukkan bahwa asupan
signifikan kebiasaan konsumsi energi protein merupakan faktor risiko kejadian
dengan kejadian stunting pada anak di stuntingpada anak usia 1-3 tahun. Anak
Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota dengan asupan protein yang kurang
Gorontalo. memiliki risiko 1,71 kali untuk menjadi
Hasil penelitian ini sejalan dengan stunting. Hasil uji statistik chi square
penelitian yang dilakukan oleh Muchlis, pada penelitian Chastity (2017) juga
dkk (2011) dengan menggunakan chi- menunjukkan hubungan yang positif
square menunjukkan hasil bahwa antara asupan protein dengan kejadian
terdapat hubungan antara asupan energi stunting pada remaja dengan nilai
dengan status gizi menurut indikator p=0,001 yang berarti terdapat hubungan
TB/U dengan (p=0,027). Hal ini berarti yang bermakna antara asupan protein
bahwa balita dengan asupan energi yang dengan kejadian stunting.
baik yaitu ≥77% dari kebutuhan 3.4.4 Hubungan tingkat sosial ekonomi
memiliki peluang lebih besar berstatus keluarga dengan kejadian stunting
gizi normal (TB/U). Pada penelitian pada anak
Mardewi (2014) disimpulkan bahwa 1. Pendidikan ibu dengan stunting
asupan energi (kalori) yang rendah juga Berdasarkan table 16 tabulasi
merupakan faktor risiko perawakan silang hubungan variabel tingkat sosial
pendek pada anak dengan nilai p=0,006. ekonomi keluarga dengan kejadian
4. Tingkat kecukupan protein dengan stunting pada anak memperlihatkan ada
stunting kecenderungan kejadian stunting pada
Berdasarkan hasil penelitian table anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24
15 tabulasi silang hubungan variabel Kota Gorontalo lebih besar proporsinya
kebiasaan konsumsi energi protein pada tingkat pendidikan ibu rendah, dari
dengan kejadian stunting pada anak 17 orang ibu berpendidikan rendah
kejadian stunting dengan kecukupan sebanyak 16 orang adalah ibu dari siswa
protein kurang sebanyak 25 orang stunting dibandingkan dengan normal
dibandingkan dengan siswa normal. sebanyak 1 orang ibu.
Pada siswa stunting dan kategori Dapat dilihat juga berdasarkan
kecukupan protein baik sebanyak 2 table 16 tabulasi silang hubungan
orang dibandingkan dengan siswa variabel tingkat sosial ekonomi keluarga
normal sebanyak 37 orang. dengan kejadian stunting, pada anak
stunting ditemukan 11 orang ibu dalam

124
kategori pendidikan tinggi, dari hasil Gorontalo pada tingkat pendapatan
penelitian diketahui bahwa anak dengan keluarga sebanyak 21 orang
stunting tersebut juga termasuk kedalam dibandingkan dengan anak normal.
keluarga dengan pendapatan rendah hal Dapat dilihat juga berdasarkan tabel 16
ini menyebabkan sulit mendapatkan pada tingkat pendapatan keluarga
pangan baik secara kualitas maupun terdapat 6orang anak dengan stunting,
kuantitas sehingga asupan energi protein berdasarkan hasil penelitian diketahui
yang masuk ke tubuh anak kurang dan bahwa anak dengan kejadian stunting
dapat mempengaruhi proses tersebut frekuensi makannya hanya 2x
pertumbuhan anak. Sedangkan pada dalam sehari yang menyebabkan
anak dengan status gizi normal menurut berkurangnya asupan energi protein
TB/U di temukan 1 anak dengan tingkat yang dibutuhkan tubuh untuk proses
pendidikan ibu rendah yaitu SMP, pertubuhan.
namun ayah dari anak tersebut memiliki Berdasarkan hasiluji statistik
usaha di bidang konvensional sehingga menggunakan Chi-Square diperoleh
mampu mencukupi kebutuhan pangan nilai Probability Value (p-Value)
keluarga. variabel pendapatan keluarga sebesar
Berdasarkan hasiluji statistik 0,000. Nilai signifiknsi ini masih lebih
menggunakan Chi-Square diperoleh kecil dibandingkan dengan nilai α (0,05)
nilai Probability Value (p-Value) atau terdapat hubungan yang signifikan
variabel pendidikan ibu sebesar 0,000. kebiasaan konsumsi energi dengan
Nilai signifiknsi ini masih lebih kecil kejadian stunting pada anak di Sekolah
dibandingkan dengan nilai α (0,05) atau Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo.
terdapat hubungan yang signifikan Hasil penelitian ini sejalan
kebiasaan konsumsi energi dengan dengan pendapatan Sulistyoningsih
kejadian stunting pada anak di Sekolah (2011) bahwa meningkatnya pendapatan
Dasar Negeri (SDN) 24 Kota Gorontalo. akan mudah mendapatkan pangan
dengan kualitas dan kuantitas yang lebih
Hasil penelitian ini sesuai dengan baik, sebaliknya jika pendapatan
penelitian Ngaisah (2015) yang menurun akan menyebabkan sulit
menunjukkan hubungan signifikan mendapatkan pangan baik secara
antara pendidikan ibu dengan kejadian kualitas maupun kuantitas. Hasil
stunting. Hasil penelitian ini juga sejalan penelitian ini juga sesuai dengan Raden
dengan penelitian Windi (2018) yang (2013) yang menunjukkan hubungan
menyatakan bahwa tingkat pengetahuan signifikan antara pendapatan keluarga
ibu tentang gizi memiliki hubungan dengan kejadian stunting.
yang siqnifikan dengan status gizi
ditunjukan dengan tingkat pengetahuan 4. PENUTUP
ibutentang giziyang rendah memiliki 4.1 Simpulan
risiko stunting 3,8 kali lebih besar 1. Terdapat anak dengan kebiasaan
dibandingkan ibu yang mempunyai konsumsi energi sedang sebesar
tingkat pengetahuan tentang gizi yang 42,19% dan kebiasaan konsumsi
tinggi protein sedang sebesar 40,63%, dan
2. Pendapatan keluarga dengan untuk kecukupan energi protein juga
stunting masih terdapat siswa yang tingkat
Berdasarkan table 16 tabulasi kecukupan energi kurang sebesar
silang hubungan variabel tingkat sosial 37,50% dan tingkat kecukupan
ekonomi keluarga dengan kejadian protein kurang sebesar 39,06% pada
stunting pada anak memperlihatkan ada anak di Sekolah Dasar Negeri (SDN)
kecenderungan kejadian stunting anak 24 Kota Gorontalo.
Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 Kota

125
2. Status sosial ekonomi keluarga anak mempengaruhi kejadian stunting
Sekolah Dasar Negeri (SDN) 24 pada anak, baik secara langsung
Kota Gorontalo berdasarkan maupun secara tidak langsung,
pendidikan ibu masih terdapat diharapkan dapat dilakukan
26,56% ibu tergolong pada kategori penelitian dengan memasukkan
rendah. Dan pendapatan keluarga berbagai variabel yang tidak terdapat
terdapat 32,81% keluarga tergorong dalam penelitian ini.
kategori berpendapatan rendah.
3. Ada hubungan kebiasaan konsumsi 3. REFERENSI
energi protein pada anak dengan Adriani, M, dkk. 2012. Peranan Gizi
kejadian stunting dibuktikan dengan dalam Siklus Kehidupan.
uji statistik berdasarkan kebiasaan Jakarta : Kencana Prenada
konsumsi energi p-Value=0,000, Media Group
kebiasaan konsumsi protein p-
Value=0,000, tingkat kecukupan Almatsier, S, dkk. 2011. Gizi seimbang
energi p-Value=0,000, tingkat dalam daur kehidupan.
kecukupan protein p-Value=0,000, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
nilai signifikan ini masih lebih kecil Utama.
dibandingkan dengan nilai α (0,05).
4. Ada hubungan tingkat sosial Andarini, S, dkk. 2013. Hubungan
ekonomi keluarga dengan kejadian Asupan Zat Gizi (Energi,
stunting dibuktikan dengan uji Protein dan Zink) dengan
statistik tingkat pendidikan ibu p- Stunting pada Anak Umur 2-5
Value=0,000 dan pendapatan Tahun di Desa Tanjung Kamal
keluarga p-Value=0,000, nilai Wilayah Kerja Puskesmas
signifikan ini masih lebih kecil Mangaran Kabupaten
dibandingkan dengan nilai α (0,05). Situbondo. Skripsi. UIN
Jakarta.
a. Saran
1. Sebagai orangtua terutama ibu yang Bender, D,A. 2002. Introduction to
mengelola makanan anak diharapkan Nutrition Metabolism 3rd ed.
agar lebih memperhatikan London: Taylor and Francis
keanekaragaman makanan anak dan Press.
meningkatkan asupan zat gizi energy
protein dan zat gizi lainnya pada Chastity, C.N. 2017. Hubungan Asupan
anak agar mengurangi risiko Protein dengan Kejadian
terjadinya stunting pada anak. Stunting Pasa Remaja di
2. Pihak sekolah sebaiknya lebih Sukoharjo Jawa Tengah.
memperhatikan kualitas makanan Skripsi penelitian: Fakultas
jajanan, baik jajanan kantin maupun Kedokteran, Jurusan
jajanan yang diluar kantin, yang akan Kedokteran Umum,
dikonsumsi anak di sekolah dan Universitas Muhamadiyah
untuk bekerjasama dengan petugas Surakarta
puskesmas agar memberikan
penyuluhan terkait konsumsi Mardewi, K,W. 2014. Kadar Seng
makanan yang bergizi seimbang Serum Rendah Sebagai Faktor
terutama yang berperan dalam Risiko Perawakan Pendek
pertumbuhan anak. Pada Anak. (Tesis). Denpasar:
3. Bagi peneliti selanjutnya, terdapat Program Studi Ilmu Biomedik
banyak faktor lain yang Universitas Udayana.

126
Muchlis, dkk. 2011. Hubungan Asupan Gizi Fakultas Kedokteran
Energy dan Protein dengan Universitas Diponegoro.
Status Gizi Balita di
Kelurahan Tamamaung. UNICEF. 2007. Progress for Children :
Program Studi Ilmu Gizi Fkm Stunting,Wasting, and
Universitas Hasanuddin Overweight. (online) diakses:
Makassar. http://www.unicef.org/progres
sforchildren/2007n6/index
Ngaisah, D. 2015. Hubungan Sosisal 41505.htm. [5 september
Ekonomi dengan Kejadian 2018]
Stunting pada Balita di Desa
Kanigoro, Saptosari, Gunung. Vaozia, S. 2016. Faktor Risiko Kejadian
Jurnal : Medika Respati Kidul, Stunting pada Anak Usia 1-3
Vol X No 4. Tahun Studi Di Desa
Menduran Kecamatan Brati
Pratiwi, O. 2018. Pengaruh Kebiasaan Kabupaten Grobogan.
Konsumsi Energi, Protein, dan (Artikel Penelitian). Semarang:
Seng Terhadap Kejadian Fakultas Kedokteran
Stunting pada Anak Usia Universitas Diponegoro
Sekolah di SD Negeri 010150
Kecamatan Talawi Kabupaten Wardlaw, G.M., dan Jeffrey, S.H. 2007.
Batu Bara Tahun 2017. FKM Perspective in Nutrition
– Univ. Sumatera Utara Seventh Edition. McGraw Hill
Higher Education. Americas,
Raden. 2013 . Hubungan Antara New York: 565-583.
Karakteristik Sosial Ekonomi
Keluarga dengan Kejadian Windi. 2018. Hubungan Pendapatan
Stunting pada Anak Balita Keluarga, Pengetahuan Ibu
Umur 25-59 Bulan FKM- Tentang Gizi, Tinggi Badan
Univ. Jember Orang Tua, dan Tingkat
Pendidikan Ayah dengan
Riskesdas. 2013. Badan Penelitian dan Kejadian Stunting pada Anak
Pengembangan Kesehatan Umur 12-59 Bulan. (online).
Kementerian RI tahun 2013. Diakses:
(online) Diakses: http://eprints.ums.ac.id/58665/
http://www.depkes.go.id/resou 1/NASKAH%20PUBLIKASI
rces/download/general/Hasil %20WINDI.pdf [5 November
%20Riskesdas%202013.pdf [5 2018]
september 2018]
Yulni. 2013. Hubungan Asupan Zat Gizi
Sulistyoningsih. 2011. Gizi Untuk Makro dengan Status Gizi
Kesehatan Ibu dan Anak pada Anak Sekolah Dasar di
Yogyakarta: Graha Ilmu Wilayah Pesisir Kota
Makassar. (online). Diakses:
Sundari, E. 2016. Hubungan Asupan https://media.neliti.com/media/
Protein, Seng, Zat Besi, dan publications/212994-
Riwayat Penyakit Infeksi hubungan-asupan-zat-gizi-
dengan Z-Score TB/U Pada makro-dengan-st.pdf [8
Balita. (Artikel Penelitian). November 2018]
Semarang: Program Studi Ilmu

127
Lampiran 14
CURICULUM VITAE

Penulis bernama Riznan Datu. Lahir pada tanggal 22 Oktober

1996 di Gorontalo, berjenis kelamin laki-laki anak kedua dari

tiga bersaudara dari pasangan Baharudin Datu dan Salma

Thaib Apona. Beragama Islam.

Penulis menyelesaikan pendidikan formal yang dimuali dari

tingkat sekolah dasar yaitu di SDN No. 25 Dungingi Kota Gorontalo selesai pada

tahun 2008, selanjutnya, melanjutkan sekolah di tingkat pertama yaitu di SMP

Negeri 6 Kota Gorontalo dan lulus pada tahun 2011, penulis melanjutkan

kesekolah menengah atas yaitu di SMA Negeri 2 Kota Gorontalo lulus pada tahun

2014. Pada tahun 2014 penulis melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Negeri

yaitu di Universitas Negeri Gorontalo, Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas

Olahraga dan Kesehatan dengan NIM 811414033. Selama menjadi mahasiswa,

penulis aktif di kegiatan formal dan non-formal yaitu :

1. Masa Orientasi Mahasiswa Baru (MOMB) di Universitas Negeri Gorontalo

pada tahun 2014.

2. Peserta Masa Orientasi Mahasiswa Baru di tingkat Jurasan Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo

tahun 2014.

3. Peserta pelatihan komputer dan internet oleh Pusat Teknologi Informasi dan

Komunikasi Universitas Negeri Gorontalo pada tahun 2014.

4. Peserta dalam Kegiatan Basic Training Of Public Health (BTOPH) “Bakti

mahasiswa kepada masyarakat, solusi meningkatkan derajat kesehatan

128
masyarakat” oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Mahasiswa Kesehatan

Masyarakat pada tahun 2014.

5. Peserta dalam Pelatiahan Kader Mahasiswa Peduli AIDS dan Narkoba

Tingkat Provinsi Gorontalo pada tahun 2015.

6. Peserta Seminar Motivasi Nasional “Magnet Impian” oleh Himpunan

Mahasiswa Jurusan Kesehatan Masyarakat pada tahun 2016.

7. Peserta Seminar NasionalKewirausahaan&PemudaMandiri 2016 dengantema

“Mencetak Pengusaha Muda Mandiri Dalam Persaian Asean” pada tahun

2016.

8. Peserta dalam kegiatan Bedah Buku: Epidemiologi Penyakit pada tahun 2017.

9. Peserta seminar motivasi nasional kewirausahaan dan Pemuda Dalam

Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2017 dengan tema “Karena

Muda Harus Beda dan Kaya” pada tahun 2017.

10. Peserta pada Pelatihan Teknik Penulisan Karya Ilmiah oleh Ikatan Alumni

Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) pada tahun 2017.

11. Panitia Masa Orientasi Mahasiswa Baru di tingkat Jurasan Kesehatan

Masyarakat Fakultas Olahraga dan Kesehatan Universitas Negeri Gorontalo

tahun 2017.

12. Panitia dalam Kegiatan Basic Training Of Public Health (BTOPH) pada tahun

2017.

13. Peserta Praktikum Kesehatan Masyarakat Dasar di Laboratorium Kesehatan

Masyarakat pada tahun 2017.

129
14. Peserta dalam pelaksanaan PKL dan Study Tour Mahasiswa Jurusan

Kesehatan Masyarakat dengan judul “Study Excursion Batam-Singapore-

Thailand-Kuala Lumpur” pada tahun 2017.

15. Peserta dalam kegiatan3rd International Seminar “Educational Challenges and

Strategies Of Higher Education in Health Achievment of SDGS 2030” pada

tahun 2017.

16. Panitia dalam kegiatan3rd International Seminar “Educational Challenges and

Strategies Of Higher Education in Health Achievment of SDGS 2030”

padatahun 2017.

17. Peserta Kuliah Kerja Sibermas (KKS) Desa Tanggu Bencana (DESTANA) di

Desa Tutulo Kecamatan Botumoito Kabupaten Boalemo pada tahun 2018.

130

Anda mungkin juga menyukai