Pada rumah sakit Soedono terdapat tiga ruang yang telah dijadikan
tempat penelitian dalam penelitian ini yaitu antara lain :
1. Wijaya Kusuma C
Ruang wijaya kusuma C merupkan ruang perawatan kelas III non
infeksius yang diperuntukan untuk pasien laki-laki dan perempuan.
Ruangan wijaya kusuma C ini merupakan ruangan kasus penyakit
biasa, terdiri dari 36 tempat tidur dan terdapat 1 ruang khusus di
didalamnya yang diperuntukan untuk penyakit diabetes mellitus yang
terdapat 4 tempat tidur.
53
2. Wijaya Kusuma D
Ruang wijaya kusuma D merupakan ruang perawatan kelas II dan III
non infeksius. Ruangan ini diperuntukan untuk pasien laki-laki dan
perempuan. Didalam ruang wijaya kusuma D terdapat 3 ruangan
perawatan khusus penyakit bedah, yaitu bedah orthopedi, bedah
syaraf, bedah umum, bedah urologi dan pasien lainnya. Selain itu juga
terdapat 1 ruangan untuk penyakit tetanus dengan 4 tempat tidur. Di
dalam ruang wijaya kusuma D juga terdapat 1 ruang khusus penyakit
combustion atau luka bakar yang terdiri dari 2 tempat tidur.
3. Wijaya Kusuma E
Ruang Wijaya Kusuma E adalah ruang berada di Gedung Lantai 5.
Ruang wijaya kusuma E merupakan ruang perawatan kelas I dan kelas
II non infeksiuns. Yang diperuntukan untuk pasien laki-laki dan
perempuan. Di dalam wijaya kusuma E terdapat ruang perawatan
kelas I yang terdiri dari 12 tempat tidur dan kelas II yang terdiri dari 8
tempat tidur. Selain itu di ruang wijaya kusuma E juga terdapat 3
ruangan khusus dengan 3 tempat tidur untuk pasien kemoterapi.
54
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Ruang Kerja di Ruang Rawat Inap Wijaya Kusuma
RSUD dr. Soedono Madiun
55
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin di Ruang Rawat Inap Wijaya Kusuma
RSUD dr. Soedono Madiun
56
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia
di Ruang Rawat Inap Wijaya Kusuma RSUD dr.
Soedono Madiun
57
Tabel 5.7 Indikator kuisioner Beban Kerja Mental Perawat di
Ruang Rawat Inap Wijaya Kusuma RSUD dr.
Soedono Madiun
No Indikator WK C WK D WK E Total
1 Mental F 9 7 2 18
Demand x skor 346 347 315
2 Phycal F 0 3 0 3
Demand x skor 0 320 0
3 Temporal F 1 0 1 2
Demand x skor 300 0 320
4 Own F 2 2 2 6
performance x skor 300 375 325
5 Effort F 1 1 1 3
x skor 270 240 320
6 Frustration F 2 2 8 12
x skor 360 360
Total 44
Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2022
58
Berdasarkan tabel 5.8 diatas dapat diketahui bahwa
sebagian besar responden memiliki tingkat stress kerja agak
tinggi yaitu sejumlah 26 responden prosentase sebanyak 59,1 %.
Dari kriteria diatas berikut perolehan skor terbanyak setiap
indikator :
Tabel 5.9 Indikator kuisioner Stres Kerja Perawat di Ruang
Rawat Inap Wijaya Kusuma RSUD dr. Soedono
Madiun
No Indikator WK C WK D WK E Total
1 Beban kerja F 9 7 8 24
mental x skor 3 (at) 3 (at) 3 (at)
2 Psikologis F 2 3 3 8
prawat x skor 2 (sdg) 2 (sdg) 2 (sdg)
3 Gejala (sakit) F 4 5 3 12
fisik perawat x skor 2 (sdg) 2 (sdg) 2(sdg)
Total 44
Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2022
59
3. Hubungan Beban Kerja Mental dengan Stres Kerja
Perawat Rawat Inap di Ruang Wijaya Kusuma RSUD dr.
Soedono Madiun
Tabel 5.10 Hubungan Beban Kerja Mental dengan Stres Kerja Perawat Rawat
Inap di Ruang Wijaya Kusuma RSUD dr. Soedono Madiun
1 Redah 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0.00%
P Value 0.000
Korelasi koef. 0,459
60
terdapat Hubungan Beban Kerja Mental dengan Stres Kerja
Perawat Rawat Inap di Ruang Wijaya Kusuma RSUD dr.
Soedono Madiun. Selain itu penelitian ini memiliki nilai korelasi
koefisien atau nilai r sebesar 0,459 dimana nilai ini dapat
diartikan kedua variable memiliki hubungan kuat.
5.3 Pembahasan
5.3.1Beban Kerja Mental Perawat di Ruang Wijaya Kusuma RSUD
dr. Soedono Madiun
Dari penelitian yang telah dilakukan mengenai beban kerja
mental perawat dengan instrumen kuisioner NASA-TLX yang telah
diisi 44 responden diperoleh hasil 20 perawat memiliki beban kerja
mental tinggi dengan prosentase 45,5% yang mana dari hal tersbut
dapat kita ketahui bahwa sebagian besar mengalami beban kerja
tinggi.
Dalam penelitian ini yang menjadi penilaian atau indikator
tingkat beban kerja mental yaitu antara lain aspek kebutuhan mental,
kebutuhan fisik, kebutuhan waktu, nilai performa, tingkat usaha dan
tingkat frustasi. Keenam aspek tersebut tertuang dalam kuisioner
NASA-TLX. Pada kuisioner NASA-TLX sendiri dalam
pengukurannya terdapat dua tahap yaitu tahap peratingan nilai setiap
aspek dan tahap pembobotan dimana responden harus memilih salah
satu yang lebih dominan.
Dari enam aspek atau indikator beban kerja mental diatas
dapat diketahui bahwa ruang WK C terdapat 9 perawat yang memilih
indikator mental demand sebagai indikator paling memepengaruhi
stress kerja dengan rata-rata skor perolehan sebesar 346. Selanjutnya
pada ruang WK D terdapat 7 orang yang mengisi kuisioner beban
kerja nilai dari indikator kebutuhan mental tertinggi. Sedangkan
indikator yang paling jarang dipilih adalah kebutuah waktu (temporal
demand) yaitu hanya sebanyak 2 orang yang memiliki skor TD tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan kuisioner
NASA-TLX responden mayoritas memilih beban kerja mental yang
61
menjadi penghambat jalannya pekerjaan paling dominan. Kegiatan-
kegiatan yang masuk dalam ketegori beban kerja mental adalah
berpikir, memutuskan, menghitung, mengingat, melihat dan mencari.
Selain itu tingkat kesulitan pekerjaan juga merupakan salah satu
yang mempengaruhhi beban kerja mental. Selain itu sesuai dengan
penelitian terdahulu yang telah dilakukan tingginya beban kerja
mental perawat dikarenakan tingkat kejenuhan perawat dalam
menangani kasus rumit ataupun karena faktor pekerjaaan yang sama
terus diulangi dimana hal ini berkaitan dangan masa kerja perawat.
Beban kerja khususnya beban kerja mental yang tinggi sangat
berpengaruh terhadap produktivitas pekerjaan yang dilakukan oleh
perawat. Menurut Umansky Dan Rantanen (2016) bahwa salah satu
faktor beban kerja mental adalah perbandingan jumlah perawat
dengan pasien yang dirawat. Sesuai penelitian yang telah dilakukan di
ruang wijaya kusuma bahwa 1 perawat akan bertanggung jawab atas
10 pasien. Sesuai dengan data kunjungan rumah sakit khusus bagian
wijaya kusuma salah satunya adalah wijaya kusuma C perbandingan
jumlah perawat dan pasien adalah 1 : 9 dimana terdapat 155 pasien
(dalam satu bulan saja) dengan jumlah perawat 17. Berati satu perawat
bertanggung jawab atas 8 - 9 pasien. Hal tersebut memasuki batas
maksimum penanggungjawaban perawat atas pasien. Selain itu hal
yang mungkin terjadi yang menyebabkan beban kerja mental tinggi
adalah tuntutan pekerjaan yang mengharuskan perawat berfikir,
memutuskan, menghitung, mengingat, melihat dan mencari. Selain itu
kesulitan penanganan dan lamanya penanganan setiap pasien serta
terjadinya stress kerja perawat. Beban kerja mental sendiri dapat
diartikan dengan usaha yang dilakukan oleh pikiran dalam
menjalankan suatu tugas yang memerlukan input-input secara kognitif
termasuk konsentrasi, ingatan, pengambilan keputusan, ataupun
perhatian. (Denrey, 2019)
Hasil Crosstabulation Beban kerja Mental Perawat dengan
Ruang kerja menunjukan ruang wijaya kusuma C memiliki jumlah
62
perawat yang banyak dengan beban kerja mental tertinggi daripada
ruangan lainnya. Dari 15 perawat terdapat 10 perawat (22,7%)
dengan beban kerja mental yang tinggi.
Hasil Crosstabulation Beban Kerja mental Perawat dengan
Usia menunjukan bahwa dominasi usia di ruang Wijaya Kusuma
berkisar 46 - 55 tahun dengan prosentase 43,5%. Usia tersebut masih
dalam rentang usia produktif dikarenakan pada usia 46 – 55 tahun
masih dianggap usia yang dapat menghasilkan barang maupun jasa
dengan maksimal. Sesuai dengan badan pusat statistic bahwa usia
akhir produktif kerja adalah usia 64 tahun. Roestaman, dkk (2003)
menyatakan bahwa usia pekerja mempengaruhi pekerjaannya,
pekerja yang berusia lanjut atau tidak produktif akan mengalami
penurunan kemampuan dalam melakukan pekerjaannya hal tersebut
dikarenakan penurunan fungsi organ.
Hasil Crosstabulation Beban Kerja Mental Perawat dengan
Jenis Kelamin menunjukan bahwa perawat dengan beban kerja
mental lebih banyak perempuan dengan jumlah 34 (77,3%)
dibandingkan laki- laki, begitupula beban kerja mental perawat
perempuan lebih banyak, hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nike Rika (2012) bahwa perawat perempuan
kebanyakan mendominasi rumah sakit padahal beban kerja yang
dilaksanakan seharusnya adalah pada laki-laki. Hal ini terjadi karena
ketertarikan perempuan sendiri dalam dunia keperawatan dan
pandangan masyarakat bahwa perawat adalah perempuan dimana
perempuan dinilai lebih memiliki kesabaran dan ketelitian dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan. (Rika, 2012)
Hasil Crosstabulation Beban Kerja Mental Perawat dengan
Pendidikan menunjukan hasil bahwa pendidikan ahli madya
keperawatan yang paling mendominasi yaitu sebesar 75,0% (33
Perawat) dan beban kerja tinggi juga terdapat pada perawat dengan
berpendidikan diploma. Hal ini sesuai dengan Achmad (2008) bahwa
terdapat korelasi antara tingkat pendidikan dengan kinerja perawat.
63
Pendidikan berfungsi bukan hanya sebatas memberikan pengetahuan
namun juga memberikan pengalaman dan pembelajaran dalam
memanfaatkan sarana sekitar demi kelangsungan pekerjaan
Hasil Crosstabulation Beban Kerja Mental Perawat dengan
masa kerja menunjukan bahwa masa kerja yang mendominasi adalah
masa kerja diatas 10 tahun (>10) yaitu sejumlah 27 perawat (61,4%).
Pada masa kerja tersebut terdapat terdapat 12 perawat atau sebesar
26,4% yang memiliki beban kerja mental tinggi. Sesuai dengan
Ratanto (2013) bahwa masa kerja produktif adalah pada kisaran <6
tahun yang merupakan faktor internal kinerja yang baik didalam
keperawatan sehingga masa kerja yang lebih panjang akan
menyebabkan penurunan tingkat produktivitas kinerja perawat atau
salah satunya adalah menyebabkan kejenuhan atas tugas pokok yang
harus dilaksanakan.
Menurut Asumsi Peneliti, Tingginya beban kerja mental
perawat rawat inap dikarenakan berbagai aspek, sesuai penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya terkait 6 aspek indicator beban
kerja mental, banyak perawat yang membutuhkan kebutuhan mental
lebih banyak dibandingan dengan kebutuhan fisik dan waktu. Dalam
kuisioner peratingan beban kerja mental, aspek kebutuhan mental
(Mental Demend) banyak perawat yang memilih score berkisar 70
hingga 90 yang artinya perawat merasa pekerjaannya membutuhkan
kebutuhan mental yang tinggi.
5.3.2 Stres Kerja Perawat Inap di Ruang Wijaya Kusuma RSUD dr.
Soedono Madiun
Hasil penelitian yang telah dilakukan sesuai dengan tabel 5.7
dapat diketahui bahwa terdapat stres kerja perawat yang agak tinggi
sebesar 59,1% atau sejumlah 26 perawat.
Penelitian stress kerja ini dilakukan dengan mengguanakan
kuisioner yang pointnya mengadopsi dari kuisioner stress kerja milik
dyah pitaloka tahun 2010. Dari penelitian yang telah dilakukan
menggunakan kuisioner tersebuut yang diisi oleh 44 responden
64
diperoleh hasil bahwa terdapat stress kerja perawat agak tinggi
dengan prosentase 59,1%.
Dalam penelitian ini terdapat 30 pertanyaan yang menjadi
penilaian dari tingkat stress kerja perawat yaitu antara lain perasaan
gelisah, jantung berdebar, perasaan kurang waktu dalam
penyelesaian tugas, keadaan emosional dari diri sendiri terhadap
orang lain, perasaan jenuh dari pekerjaan yang terus di ulang dan
perasaan emosional lain yang terkait pekerjaan sebagai perawat.
Berdasarkan point-ponit pertanyaan tersebut dominasi perawat
sering merasa gelisah atau jantung berdebar saat menangani pasien
yang parah selain itu perasaan sering kali bersalah apabila pasien
yang ditangani tidak dapat dirawat dengan baik. Sesuai wawancara
sekilas yang dilakukan selain aspek diatas banyak perawat yang
mengalami stress kerja dikarenakan kejenuhan bekerja karena masa
kerja yang > 10 tahun. Selain aspek diatas perawat menyebutkan
terkadang merasa punggung berat, nyeri sendiri usai bekerja
dikarenakan pasien yang banyak.
Sesuai penelitian yang sudah dilaksanakan dapat ketahui
bahwa pada ruang WK C terdapat 9 perawat yang memilih indikator
beban kerja mental sebagai indikator paling memepengaruhi, dengan
rata-rata skor perolehan sebesar 2 yang dapat di intrepretasikan
tingkat sedang. Selanjutnya pada ruang WK D terdapat 7 orang dan
di WK E terdapat 4.
Hasil Crosstabulation Stres Kerja Perawat dengan Ruang
kerja menunjukan ruang wijaya kusuma C memiliki jumlah perawat
yang banyak dengan stress kerja tertinggi daripada ruangan lainnya.
Dari 15 perawat terdapat 11 perawat (25,5%) dengan stress kerja
yang agak tinggi.
Hasil Crosstabulation Stres Kerja Perawat dengan Usia
menunjukan bahwa dominasi usia di ruang Wijaya Kusuma berkisar
46 - 55 tahun dengan jumlah 19 peraawat (43,5%). Usia tersebut
masih dalam rentang usia produktif dikarenakan pada usia 46 – 55
65
tahun masih dianggap usia yang dapat menghasilkan barang maupun
jasa dengan maksimal. Sesuai dengan badan pusat statistic bahwa
usia akhir produktif kerja adalah usia 64 tahun. Roestaman, dkk
(2003) menyatakan bahwa usia pekerja mempengaruhi pekerjaannya,
pekerja yang berusia lanjut atau tidak produktif akan mengalami
penurunan kemampuan dalam melakukan pekerjaannya hal tersebut
dikarenakan penurunan fungsi organ. Selain itu usia yang sudah
diatas 64 tahun akan cenderung memiliki stress kerja yang tinggi
karena hakikatnya fungsional otak pada usia tersebut sudah
menurun.
Hasil Crosstabulation Stres Kerja Perawat dengan Jenis
Kelamin menunjukan bahwa perawat dengan Stres kerja lebih
banyak perempuan dengan jumlah 34 (77,3%) dibandingkan laki-
laki. hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nike
(2012) bahwa perawat yang mendominasi dirumah sakit lebih
banyak berjenis kelamin perempuan, padahal sesuai fungsinya
kapasitas otak perempuan lebih cepat mengalami stress kerja.
Hasil Crosstabulation Stres Kerja Perawat dengan
Pendidikan menunjukan hasil bahwa pendidikan ahli madya
keperawatan yang paling mendominasi yaitu sebesar 75,0% (33
Perawat) dan stress kerja perawat yang tingi juga terdapat pada
perawat dengan berpendidikan diploma yaitu sejumlah 20 perawat
(45,5%). Hal ini sesuai dengan Achmad (2008) bahwa terdapat
hubungan antara tingkat pendidikan dengan kinerja perawat.
Pendidikan berfungsi bukan hanya sebatas memberikan pengetahuan
namun juga memberikan pengalaman dan pembelajaran dalam
memanfaatkan sarana sekitar demi kelangsungan pekerjaan
Hasil Crosstabulation Stres Kerja Perawat dengan masa kerja
menunjukan bahwa masa kerja yang mendominasi adalah masa kerja
diatas 10 tahun (>10) yaitu sejumlah 27 perawat (61,4%). Pada masa
kerja tersebut terdapat terdapat 13 perawat atau sebesar 32,4% yang
memiliki stress kerja agak tinggi. Sesuai dengan Ratanto (2013)
66
bahwa masa kerja produktif adalah pada kisaran <6 tahun. Usia masa
kerja yang >6 tahun sebenarnya berpotensi mengalami penurunan
tingkat produktivitas kinerja perawat atau salah satunya adalah
menyebabkan kejenuhan atas tugas pokok yang harus dilaksanakan
yang dapat mengakibatkan stres kerja perawat.
Menurut penelitian yang telah dilakukan peneliti kepada 44
perawat di Ruang Wijaya Kusuma terdapat 59,1% perawat memiliki
stress kerja agak tinggi. Selanjutnya 34,1% atau sejumlah 15 perawat
memiliki stress kerja sedang dan 2 perawat mengalami stress kerja
rendah lalu sisanya memiliki stress kerja tinggi. Stress kerja yang
dialami perawat sesuai dengan pengukuran mengguanakan kuisioner
dyah pitaloka tahun 2010 menyebutkan bahawa faktor stress kerja
yang paling dominan adalah perasaan emosional saat menghadapi
pasien yang parah. Perasaan emosional itu muncul ditandai dengan
perasaan jantung berdebar, gelisah dan takut apabila dalam
penanganan pasien mengalami kegagalan.
Hafizurrahman (2011) menyebutkan terdapat 6 point khusus
pemicu terjadinya stress kerja antara lain yaitu faktor kebutuuhan
pemenuhan tugas, faktor interpersonal individu, faktor ekonomi dan
finansial individu, faktor perkembangan karir dan faktor organisasi
yang kurang memadahai. Stres kerja sendiri dapat diartikan sebagai
suatu kondisi dari hasil penghayatan subyektif individu yang dapat
berupa interaksi antara individu dan lingkungan kerja yang dapat
mengancam dan memberi tekanan secara psikologis, fisiologis dan
sikap individu (Wijono, 2010)
Menurut Asumsi Peneliti, Tingginya stress kerja perawat
rawat inap dikarenakan berbagai aspek, kembali lagi sesuai
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menggunakan kuisioner
maupun mendengarkan keluhan perawat secara langsung perawat
mengalami stress kerja dengan berbagai gejala antara lain perasaan
gelisah yang muncul saat menangani pasien yang parah, sering kali
67
perawat merasa pusing karena tuntutan waktu dalam pengerjaan
tugas, perasaan letih dan kaku otot saat selesai bekerja.
5.3.3Hubungan Beban Kerja Mental dengan Stres Kerja Perawat
Rawat Inap di Ruang Wijaya Kusuma RSUD dr. Soedono
Madiun
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan perawat
dengan beban kerja mental tinggi mayoritas mengalami stress kerja
agak tinggi dengan jumlah perawat sebanyak 16 perawat.
Selanjutanya perawat dengan beban kerja mental sedang juga
mengalami stress kerja sedang sejumlah 7 perawat. Selanjutnya
perawat yang mengalami beban kerja mental dan stress kerja rendah
dalam penelitian ini adalah 0 perawat. Namun terdapat 2 perawat
yang memiliki beban kerja mental agak tinggi dan stress kerja
rendah. Hal ini terjadi karena psikologis perawat yang terjaga
dimana ketika perawat mengalami beban kerja mental namun tidak
menimbulkan stress kerja, hal ini dapat terjadi karena proses maping
stress yang baik pada perawat.
Berdasarkan uji statistic somer’s D , Hasil uji statistiknya
menunjukan bahwa nilai approximate significance atau p value
adalah 0,000 yang lebih kecil daripada nilai α yaitu ≤ 0,05 ( 0,000 <
0,05 ) berati H0 ditolak atau terdapat Hubungan Beban Kerja Mental
dengan Stres Kerja Perawat Rawat Inap di Ruang Wijaya Kusuma
RSUD dr. Soedono Madiun. Hal ini sama halnya dengan penelitian
yang dilakukan oleh Dikky fahamsyah tahun 2017 dengan judul
“Analisis Hubungan Beban Kerja Mental dengan stress kerja” yang
mengatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara beban
kerja mental dengan stress kerja.
Menurut Rantanen E (2016) faktor yang mempengaruhi
beban kerja perawat salah satunya beban kerja mental adalah jumlah
pasien yang ditangani satu perawat, aktivitas yang dilakukan, dan
waktu yang digunakan perawat dalam melaksanakan tugas. Dalam
perhitungannya sendiri parameter beban kerja mental terdapat 6
68
indikator penilaian yang salah satunya paling dominan dalam
penelitian ini adalah faktor kebutuhan mental dan tingkat usaha.
Dampak dari beban kerja mental ini sangat banyak antara lain sesuai
yang disebutakan oleh prihatini (2007) menyebutkan dampak beban
kerja mental bisa saja muncul dalam 3 gejala yaitu gejala fisik yang
ditandai dengan rasa letih dan lesu, gejala mental yang di tandai
dengan perasaan gelisah dan khawatir serta gejala social atau
perilaku yang terjadi saat hubungan intrapersonal berlangsung.
Menurut Asumsi Peneliti beban kerja mental berpengaruh
terhadap stress kerja begitu juga stress kerja yang timbul dapat
membebani pikiran yang dapat dikatakan sebagai beban kerja
mental. Dalam penelitian ini keduanya sangat berpengaruh dimana
dapat dilihat pada hasil uji statistic dimana keeratan keduanya
bernilai 0,459 dimana nilai tersebut termasuk dalam koefisien
korelasi kuat.
Berdasarkan hasil penelitian pengurangan terjadinya beban
kerja mental dan stress kerja adalah dengan dilaksanakannya
pelatihan Stress Management yang dapat dilakukan dengan
mengadakan inhouse training berupa dukungan mental untuk pera
perawat. Dilaksakannya pelatihan ini dapat dilaksanakan rutin agar
terdapat evaluasi dan pemantauan pengendalian mental perawat.
Selain itu, pemanfaatan waktu istirahat bagi perawat dapat dilakukan
guna meminimalisir terjadinya stres kerja dan terjaganya mutu
pelayanan kesehatan dengan baik.
69
70