Anda di halaman 1dari 20

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Hasil penelitian

Pada bab ini peneliti menyajikan tentang hasil penelitian, dan pembahasan

meliputi gambaran umum tempat penelitian,.

1. Gambaran umum dan lokasi penelitian

Penelitian dilakukan di RSUD Soemodiarjo Purwodadi pada bulan Juli-

Agustus 2022. Adapun alamat dari RSUD Soedjati Soiemodiharjo berada

di Jl. D. I. Panjaitan No.36, Ngabean, Purwodadi, Kec. Purwodadi,

Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah 58111. Penelitian dilakukan diruang

Rosela yang merupakan ruang khusus pasien dengan gangguan jiwa. Yang

di ikuti oleh 18 responden.

2. Karakteristik responden

Adapun hasil penelitian tersebut dapat di gambarkan dalam bentuk

tabel distribusi frekuensi sebagai berikut.

a. Distribusi frekuensi umur responden

Table 4.1
Distribusi frekuensi umur responden
Umur responden Frekuensi %
≤ 29 tahun 4 22,2%
30-39 tahun 6 33,3%
40-49 tahun 7 38,9%
≥ 50 tahun 1 5,6 %
Total 18 100.0%
Sumber : Olahan Data Penelitian (2022)
Table 4.1 menunjukan bahwa umur responden dengan frekuensi terbesar

adalah rentang umur 30-39 tahun dengan frekuensi 6 responden dan

presentase 33,3%.

b. Distribusi frekuensi jenis kelamin responden

Table 4.2
Distribusi frekuensi jenis kelamin responden
Jenis kelamin responden Frekuensi %
Laki-laki 10 55,6 %
Perempuan 8 44,4 %
Total 18 100.0%
Sumber : Olahan Data Penelitian (2022)

Table 4.2 menunjukan bahwa mayoritas responden berjenis kelamin laki-

laki dengan frekuensi 10 responden dan prosentase 55,6%.

c. Distribusi frekuensi riwayat pendidikan responden

Table 4.3
Distribusi frekuensi riwayat pendidikan responden
Riwayat pendidikan Frekuensi %
SD 1 5,6
SMP 7 38,9
SMA 9 50,0
DIPLOMA 1 5,6
Total 18 100.0
Table 4.3 merupakan table yang menunjukan riwayat pendidikan

responden sebelum sakit. Dari hasil penelitian diketahui mayoritas


responden memiliki riwayat pendidikan SMA dengan frekuensi 9 dan

prosentase 50%.

d. Distribusi frekuensi riwayat pekerjaan responden

Table 4.4
Distribusi frekuensi riwayat pekerjaan responden
Pekerjaan responden Frekuensi %
Ibu Rumah Tanga 5 27,8
Wiraswasta 5 27,8
PNS 1 5,6
Karyawan 7 38,9
Total 18 100
Table 4.4 merupakan tabel distribusi frekuensi riwayat pekerjaan

responden sebelum sakit. Dari hasil tersebut diketahui mayoritas

responden sebelumnya bekerja sebagai karyawan dengan frekuensi 7

responden dan prosentase 38,9%.

2. Analisa univariat

a. Distribusi frekuensi kemampuan interaksi pre

Table 4.5
Distribusi frekuensi kemampuan interaksi pre
Kemampuan interaksi Frekuensi %
Sangat tidak mampu 4 22,2
Tidak mampu 9 50,0
Mampu 5 27,8
Total 18 100.0
Table 4.5 merupakan tabel hasil penelitian variabel kemampuan interaksi

pre (sebelum intervensi). Dari tabel tersebut diketahui mayoritas


responden tidak mampu melakukan interaksi sosial dengan frekuensi 9

responden dan prosentase 50%.

b. Distribusi frekuensi kemampuan interaksi post

Table 4.6
Distribusi frekuensi kemampuan interaksi post
Kemampuan interaksi
post Frekuensi %
Sangat tidak mampu 0 0
Tidak mampu 1 5,6
Mampu 17 94,4
Total 18 100.0
Table 4.6 menunjukan bahwa setelah diberikan intervensi terapi aktivitas
kelompok sosialisasi (TAKS) mayoritas responden mampu melakukan
interaksi sosial dengan frekuensi 17 responden dan prosentase 94,4%.

3. Analisa bivariat
Tabel 4.7
Hasil uji wilcaxon
Z P value

Kemampuan interaksi pre- 3,176 0,001

kemampuan interaksi post

Tabel 4.6 merupakan tabel hasil uji wilcaxon. Dari tabel tersebut diketahui

nilai p value 0,001 yang artinya nilai p value dibawah nilai derajat alpha 0,05

sehingga dapat disimpulkan terdapat pengaruh terapi aktivitas kelompok

sosialisasi terhadap kemampuan interaksi sosial.


B. Pembahasan

1. Karakteristik responden

Hasil penelitian menunjukan bahwa umur responden dengan frekuensi


terbesar adalah rentang umur 30-39 tahun dengan frekuensi 6 responden dan
presentase 33,3%. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian dari Saswati dan
Sutinah (2017) yang dalam penelitiannya menunjukan bahwa karakteristik
responden terdiri dari 12 responden dengan variasi umur yang dibagi
menjadi tiga kelompok sebagian besar umur 25-40 tahun yaitu sebanyak 9
responden (75%). Menurut asumsi peneliti Hal ini disebabkan gangguan
jiwa cenderung diderita kelompok usia produktif karena pada usia tersebebut
lebih banyak merasakan stres dan depresi. Menurut Wakhid, Hamid,dan
Helena (2013), masa dewasa merupakan masa kematangan dari aspek
kognitif, emosi dan perilaku. Kegagalan yang dialami seseorang untuk
mencapai tingkat kematangan tersebut akan sulit memenuhi tuntutan
perkembangan pada usia tersebut dapat berdampak terjadinya gangguan
jiwa. Usia dewasa merupakan
aspek sosial budaya dengan frekuensi tertinggi mengalami gangguan jiwa.
Tekanan jiwa yang terlalu berat bisa mengganggu kesehatan.
Hasil penelitian berikutnya mayoritas responden berjenis kelamin laki-
laki dengan frekuensi 10 responden dan prosentase 55,6%. Menurut peneliti
hal ini disebabkan karena laki-laki sangat rentan terkena gangguan jiwa
salah satu penyebabnya adalah tingginya tingkat emosional. Bahkan untuk
gangguan ringan, laki-laki dua kali lebih berisiko dibanding perempuan.
Penelitian Naafi (2016) menunjukan responden yang mengalami skizofrenia
lebih tinggi adalah laki-laki (60%) dan perempuan (40%). Sedangkan Sari
dan maryatun (2021) berpendapat bahwa derajat keparahan gangguan
kejiwaan berat itu lebih besar pada laki-lakisehingga penderita laki-laki lebih
banyak yang harus dirawat di rumah sakit jiwa.
Karakteristik responden berdasarkan riwayat pendidikan diketahui
mayoritas responden memiliki riwayat pendidikan SMA dengan frekuensi 9
dan prosentase 50%. Hal ini sesuai Yanuar (2011) pada skizofrenia sebagian
besar adalah berpendidikan rendah 73%. Sejalan dengan penelitian irdani
(2019) di Rumah Sakit Jiwa Mahoni Medan, bahwa proporsi penderita
skizofrenia tertinggi pada tingkat pendidikan SMA yaitu 57,8%. Peneliti
berasumsi bahwa pendidikan sangat berpengaruh dalam seseorang berpikir
untuk memecahkan suatu maslah dalam kehidupan. Ketidakmampuan
seseorang dalam mengatasi masalah tersebut dapat menimbulkan suatu
depresi dan stres yang berlebih.
2. Analisa univariat

a. Kemampuan pre
Hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas responden tidak
mampu melakukan interaksi sosial dengan frekuensi 9 responden dan
prosentase 50%. Dari hasil tersebut menunjukan bahwa responden yang
dirawat di RSUD Soemodiharjo Purwodadi tidak mampu melakukan
interaksi social. Adapun gambaran kondisi tingkat kemampuan interaksi
social
yaitu memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan saat berhubungan
dengan orang lain, karena ada penolakan, merasa bodoh, lebih banyak
diam, dan malas melakukan interaksi dengan orang lain. Selain itu klien
cenderung tidak percaya dan merasa tidak ada manfaatnya jika
berhubungan dengan orang lain karena merasa takut untuk mendapatkan
penolakan untuk berhubungan dengan orang lain sehingga responden
merasa tidak nyaman yang mengakibatkan responden suka menyendiri.
Soekanto (2012) menjelaskan bahwa Interaksi sosial merupakan
suatu fondasi dari hubungan yang berupa tindakan yang berdasarkan
norma dan nilai sosial yang berlaku dan diterapkan di dalam masyarakat.
Masyarakat tidak dapat hidup bersama tanpa interaksi, tidak hanya di
dunia nyata, kehidupan bersama juga terjadi di dunia maya, dimana
banyak orang secara bersama- sama berkumpul pada suatu wadah di
dalam jaringan internet dan secara bersama-sama melakukan interaksi di
dalamnya..
Sejalan dengan teori Keliat (2010) yang menjelaskan bahwa klien
yang mengalami isolasi sosial akan cenderung muncul perilaku
menghindar saat berinteraksi dengan orang lain dan lebih suka
menyendiri terhadap lingkungan agar pengalaman yang tidak
menyenangkan dalam berhubungan dengan orang lain tidak terulang
kembali.
b. Kemampuan post

Hasil penelitiam menunjukan bahwa setelah diberikan intervensi


terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) mayoritas responden
mampu melakukan interaksi sosial dengan frekuensi 17 responden dan
prosentase 94,4%.
Peneliti berasumsi bahwa hal ini dapat juga dikarenakan proses
pemberian TAKS menunjukkan adanya dukungan yang diberikan oleh
tenaga kesehatan membuat pasien lebih memahami pentingnya
melakukan interaksi sosial. Cigarini et al. (2018) didapatkan data terdapat
pengaruh ekosistem kesehatan mental terhadap interaksi social
menjelaskan bahwa masyarakat dan tenaga kesehatan yang mendukung
kesembuhan pasien gangguan jiwa, memiliki layanan perawatan yang
berorientasi pada interaksi sosial.
Menurut Keliat & Akemat (2005), terapi Aktivitas
Kelompok adalah metode pengobatan ketika klien dalam rancangan
waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan. Fokus Terapi
Aktivitas
Kelompok adalah membuat sadar diri (self-awerness), peningkatan
hubungan interpersonal, membuat perubahan atau ketiganya. Klien isolasi
sosial yang belum melakukan TAKS terlihat kurang mampu melakukan
hubungan sosialisasi dengan baik di karenakan klien isolasi sosial yang
belum mendapatkan terapi dengan lengkap yaitu salah satunya terapi
aktivitas kelompok sosialisasi yang belum diberikan karena seperti yang
diketahui bahwa klien isolasi sosial suka menarik diri dan sulit untuk
melakukan komunikasi, jika kondisi seperti ini dibiarkan maka klien
isolasi sosial semakin tidak mampu untuk bersosialisasi dengan baik dan
klien merasabahwa dengan menyendiri dapat menyelesaikan masalahnya.
Dengan adanya suatu program terapi terutama terapi aktivitas kelompok
sosialisasi di harapkan dapat menyelesaikan masalah klien dan dapat
meningkatkan kemampuan sosialisasi oleh karena itu sebaiknya klien
isolasi sosial harus mendapatkan terapi yang sesuai dan lengkap termasuk
terapi aktivitas kelompok sosialisasi dimana TAKS adalah salah satu
intervensi keperawatan yang efektif untuk meningkatan kemampuan klien
bersosialisasi
Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) merupakan suatu
rangkaian kegiatan untuk membantu dan memfasilitasi pasien untuk
mampu bersosialisasi secara bertahap melalui tujuh sesi seperti
kemampuan memperkenalkan diri, kemampuan berkenalan, kemampuan
bercakap-cakap, kemampuan menyampaikan dan membicarakan topik
tertentu, kemampuan menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi,
kemampuan bekerja sama, kemampuan menyampaikan pendapat tentang
manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan (Rahayuningsih &
Muharyari, 2016).
Menurut Yosep (2011), latihan dalam kelompok yang
saling terbuka dan saling memberi dan menerima dukungan, akan
mendapatkan efek positif senang. Maka pada saat yang sama, hormon
estrogen dan progesterone dalam tubuh terpicu untuk menjaga kebugaran
emosi dan mempertahankan suasana hati. Sehingga dengan latihan
interaksi yang baik dalam Terapi Aktivitas Kelompok yang efektif dan
kondusif akan meningkatkan hubungan interpersonal. Berdasarkan hasil
penelitian Saswati & Sutinah (2018) menunjukkan jika pemberian TAKS
meningkatkan kemampuan interaksi sosial pasien skizofrenia yang
meliputi kemampuan memperkenalkan diri, berkenalan, bercakap-cakap
baik secara verbal maupun non verbal. Penelitian Sari (2019)
menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan interaksi sosial pada
pasien skizofrenia di Palembang setelah diberikan TAKS dengan nilai p
value sebesar 0,013.
Hal ini sejalan dengan pendapat Frisch dan Frisch (2016) bahwa
tindakan keperawatan pada klien isolasi sosial bertujuan untuk melatih
klien menjalin hubungan sehingga merasa nyaman dalam situasi sosial
dan melakukan interaksi sosial. Penerapan ini sejalan dengan penelitian
Saswati & Sutinah (2018) tentang pengaruh terapi aktivitas kelompok
sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi Pasien isolasi sosial terdapat
pengaruh terhadap kemampuan sosialisasi. Adapun penelitian yang lain
menyebutkan bahwa pemberian terapi aktivitas kelompok sosialisasi
terdapat pengaruh terhadap perubahan perilaku Pasien isolasi social
(Surya, 2017).

3. Analisa bivariat

Berdasarkan uji statistic menggunakan uji wilcaxon di dapatkan nilai p


value 0.001 yang artinya terdapat penaguh Terapi Aktivitas Kelompok
terhadap kemampuan interasi pasien. Peneliti berasumsi bahwa dari tujuan
terapeutik, terapi aktifitas kelompok sosialisasi mempunyai tujuan untuk
memfasilitasi proses interaksi, meningkatkan sosialisasi, menin gkatkan
kemampuan klien memberi respon terhadap realita, mengenali cara baru
dalam mengatasi masalah, meningkatkan identitas diri, menyalurkan emosi
secara konstruktif dan meningkatkan kemampuan ekspresi diri. Sedangkan
dilihat dari tujuan rehabilitasi, Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) sosialisasi
bertujuan untuk meningkatkan keterampilan ekspresi diri, meningkatkan
kemampuan berempati, meningkatkan kemampuan berhubungan sosial,
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan meningkatkan
kepercayaan dirI.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Saswati
& Sutinah (2018) yang menunjukkan bahwa terapi aktivitas kelompok
sosialisasi pada pasien sangat berpengaruh dalam masalah isolasi sosial.
Menurut Wahyu, Baihaqi, dan Damaianti (2021), isolasi sosial dipengaruhi
oleh beberapa factor yaitu faktor perkembangan, faktor biologi, dan faktor
sosial budaya. Selain itu, isolasi sosial juga dipengaruhi oleh faktor
presipitasi berupa faktor eksternal, seperti stressor sosial budaya dan stressor
biokimia (Nancye dan Maulidah, 2017).

Pada dasarnya, terjadinya gangguan jiwa pada seseorang terlihat


apabila apa yang dilakukan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah normalitas
kondisi lingkungan. Dalam arti, bahwa apa yang dilakukan merupakan
bentuk ditorsi atau penyimpangan yang patogis. Kondisi ini tidak disadari
oleh klien dengan gangguan jiwa. Perilaku yang abnormal tersebut sebagai
reaksi dari penyimpangan dari proses transduksi impuls atau
neurotransmitter yang diperankan oleh neurotransmitter yang diperankan
oleh reseptor atau free nervie ending di celah sinap. Penelitian lainnya oleh
Prasetiyo (2021) menyatakan Terdapat pengaruh terapi aktivitas kelompok
sosialisasi terhadap kemampuan interaksi sosial pasien skizofrenia di Ruang
Jiwa RSI Banjarnegara dengan nilai p value 0,0001.
Statistics

Umur Jenis Kelamin Riwayat kemampuan


Responden Responden Pendidikan interaksi post
sebelum sakit

Valid 18 18 18 18
N
Missing 0 0 0 0

Statistics
Umur Responden

Valid 18
N
Missing 0
Mean 36,89
Median 37,50
Mode 40a
Std. Deviation 8,338
Minimum 20
Maximum 51
25 30,50

Percentiles 50 37,50

75 42,50

a. Multiple modes exist. The smallest


value is shown

Umur Responden

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Valid 20 1 5,6 5,6 5,6

25 1 5,6 5,6 11,1

28 1 5,6 5,6 16,7

29 1 5,6 5,6 22,2

31 1 5,6 5,6 27,8


33 1 5,6 5,6 33,3

34 1 5,6 5,6 38,9

35 1 5,6 5,6 44,4

37 1 5,6 5,6 50,0

38 1 5,6 5,6 55,6

40 2 11,1 11,1 66,7

42 2 11,1 11,1 77,8

44 1 5,6 5,6 83,3

46 1 5,6 5,6 88,9

49 1 5,6 5,6 94,4

51 1 5,6 5,6 100,0

Total 18 100,0 100,0

kategori umur responden

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

<29 tahun 4 22,2 22,2 22,2

30-39 tahun 6 33,3 33,3 55,6

Valid 40-49 tahun 7 38,9 38,9 94,4

> 50 tahun 1 5,6 5,6 100,0

Total 18 100,0 100,0

Jenis Kelamin Responden

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Laki-laki 10 55,6 55,6 55,6

Valid Perempuan 8 44,4 44,4 100,0

Total 18 100,0 100,0


Riwayat Pendidikan sebelum sakit

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

SD 1 5,6 5,6 5,6

SMP 7 38,9 38,9 44,4

Valid SMA 9 50,0 50,0 94,4

Diploma/Sarjana 1 5,6 5,6 100,0

Total 18 100,0 100,0

Riwayat Pekerjaan sebelum sakit

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Ibu rumah tanga 5 27,8 27,8 27,8

wiraswasta 5 27,8 27,8 55,6

Valid PNS 1 5,6 5,6 61,1

Karyawan 7 38,9 38,9 100,0

Total 18 100,0 100,0


Statistics

kemampuan kemampuan
interaksi pre interaksi post

Valid 18 18
N
Missing 0 0

kemampuan interaksi pre

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Valid sangat tidak mampu 4 22,2 22,2 22,2

Tidak mampu 9 50,0 50,0 72,2


Mampu 5 27,8 27,8 100,0

Total 18 100,0 100,0

kemampuan interaksi post

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Tidak mampu 1 5,6 5,6 5,6

Valid Mampu 17 94,4 94,4 100,0

Total 18 100,0 100,0


NPar Tests

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

kemampuan interaksi post - Negative Ranks 0


a
,00 ,00
Positive Ranks 12b 6,50 78,00

kemampuan interaksi pre Ties 6c

Total 18

a. kemampuan interaksi post < kemampuan interaksi pre


b. kemampuan interaksi post > kemampuan interaksi pre
c. kemampuan interaksi post = kemampuan interaksi pre

Test Statisticsa

kemampuan
interaksi post -
kemampuan
interaksi pre

Z -3,176b
Asymp. Sig. (2-tailed) ,001

a. Wilcoxon Signed Ranks Test


b. Based on negative ranks.

Anda mungkin juga menyukai