Anda di halaman 1dari 18

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian

Puskesmas Pekauman Banjarmasin adalah salah satu pusat kesehatan

masyarakat di kotamadya Banjarmasin. Puskesmas Pekauman didirikan pada

tahun 1974 dengan luas tanah 2,4 Ha yang berlokasi di Jalan K.S. Tubun No.1

Kelurahan Pekauman Kecamatan Banjarmasin Selatan.

Luas wilayah kerja Puskesmas Pekauman sekitar 10,65 km2, dibatasi oleh :

a. Sebelah Utara : Kecamatan Banjarmasin Barat

b. Sebelah Selatan : Kabupaten Banjar

c. Sebelah Timur : Kelurahan Kelayan Dalam

d. Sebelah Barat : Kabupaten Barito Kuala

Kondisi geografis wilayah kerja Puskesmas Pekauman yang terletak pada

ketinggian 0,16 m di bawah permukaan laut, berada di daerah berpaya-paya serta

relatif datar yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Iklim yang berpengaruh

terhadap Puskesmas Pekauman adalah iklim tropis.

Jarak terjauh dari Puskesmas Pekauman adalah 7 Km. Wilayah kerja dapat

dijangkau dengan menggunakan kendaraan roda 2 atau roda 4, disamping itu

terdapat wilayah yang hanya dapat dijangkau dengan kelotok yaitu wilayah

kelurahan Mantuil dan Basirih Selatan terutama di Puskesmas Pembantu Kuin

44
45

Kecil, Pos Kesehatan Desa Handil Bamban dan Pos Kesehatan Desa Tanjung

Pandan. Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pekauman sebanyak 54.324

jiwa.

Sarana transportasi yang dimiliki puskesmas pekauman satu buah mobil

pusling, satu buah sepeda motor Yamaha Force One, Yamaha Vega R, Kawasaki

Kaze dan satu buah sepeda motor Honda astrea 800 dan Sarana telekomunikasi

satu buah pesawat telepon.

Bangunan gedung puskesmas pekauman terdiri dari : Ruang Kepala

Puskesmas, Ruang Bp. Umum, Ruang Bp. Gigi, Ruang Loket, Ruang Apotek,

Ruang KIA/KB, Ruang Tindakan, Ruang Laboratorium, Ruang Tata Usaha,

Ruang MTBS Anak, Ruang Gizi, Ruang PKPR, Ruang Kesling dan TB Paru,

Ruang IMS, Aula/Rapat, Ruang Gudang Obat, Mushalla,Gudang, WC Karyawan,

WC Pasien.
46

Tabel 4.4 Sumber Daya Tenaga Kerja di Puskesmas Pekauman

Jenis Ketenagaan Jumlah


Plt. Pimpinan Puskesmas 1 orang
Dokter Umum 4 orang
Dokter Gigi 1 orang
Apoteker 1 orang
Perawat 9 orang
Perawat Gigi 3 orang
Bidan 14 orang
Pekarya Kesehatan 4 orang
Asisten Apoteker 2 orang
Analis Laboratorium 3 orang
Sanitasi 2 orang
Nutrisionis 5 orang
Fisioterapi 1 orang
Verifikator Keuangan 1 orang
Refraksionis Optisien 1 orang
Tenaga Honorer 1 orang
Jumlah 53 orang

B. Deskripsi Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah penderita TB Paru di Wilayah Kerja

Puskesmas Pekauman Banjarmasin sebanyak 37 orang, yang dipilih sesuai dengan

kriteria inklusi dan ekskusi yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk lebih

jelasnya, gambaran umum dan karakteristik responden dapat dilihat pada tabel

sebagai berikut :
47

Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Usia Pada Penderita TB Paru


di Wilayah Kerja Puskesmas Pekauman Banjarmasin tahun 2012.

Umur : F %
< 20 2 5,4
21 – 30 2 5,4
31 – 40 8 21,6
41 – 50 9 24,3
51- 60 10 27,0
>60 6 16,2
Jumlah 37 100

Usia responden bervariasi antara < 20 tahun sampai dengan lebih dari 60 tahun.

Pada tabel 4.5 dapat dilihat bahwa responden yang berusia lebih dari 40 tahun

paling banyak dengan jumlah prosentase 67,56 % .Usia tersebut adalah usia yang

tidak produktif dimana kemampuan seseorang dalam bekerja sudah mengalami

kemunduran dalam melakukan sesuatu atau beraktivitas, dibandingkan dengan

usia yang masih produktif dimana kemampuan seseorang dalam bekerja masih

tinggi dalam melakukan aktivitas. Selain itu pula ketika seseorang sudah mulai

tidak bisa bekerja dan menghasikan sesuatu, maka sangat memberikan pengaruh

yang besar dalam kemampuan menerima pengetahuan baru (Perry & Potter. 1993

cit Andreas 2010).

Menurut Dee (1996), tahap masa usia 40 sampai lebih dari 65 tahun adalah

masa usia menginjak dewasa tua atau bisa dikatakan usia pertengahan (Widuri,

2010). Hal ini sesuai dengan konsep teori penuaan bahwa seseorang yang telah

memasuki usia lanjut akan terjadi penurunan sistem imun tubuh sehingga pada
48

usia lanjut akan rentan mengalami berbagai masalah kesehatan ( Nugroho, 2008 ).

Sedangkan menurut (UU Kesehatan No. 23 tahun 1992, pasal 19 ayat 1) manusia

yang akan menginjak lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya mengalami

perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial. Perubahan ini akan memberikan

pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatannya (Fatimah, 2010).

Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan jenis kelamin Pada Penderita


TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Pekauman Banjarmasin
tahun 2012.

Jenis kelamin : F %
Laki-Laki 23 62,2
Perempuan 14 37,8
Jumlah 37 100

Berdasarkan dari tabel 4. 6 Dapat dilihat bahwa jenis kelamin responden yang

terbanyak adalah laki-laki sebanyak 23 responden ( 8,1% ), dan perempuannya

sebanyak 14 responden (91,9 %).

Hiswani (2004), menyatakan bahwa penyakit tuberkulosis paru cenderung lebih

tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan pada perempuan. Sedangkan

menurut menurut WHO, ditemukan laki-laki lebih dari 1 juta kasus baru menderita

tuberculosis, dan pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena

merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem

pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab

tuberculosis paru.
49

Dari teori diatas dapat dapat disimpulkan bahwa responden laki-laki sangat

perlu memiliki peran yang baik dalam upaya pencegahan tuberkulosis paru karena

pada laki-laki sangat beresiko terkena penyakit tubekulosis paru dibandingkan

dengan perempuan ( Anggraeni, 2011).

Tabel 4.7 Distribusi Responden BerdasarkanTingkat Pendidikan Pada


Penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Pekauman
Banjarmasin tahun 2012.

Pendidikan : F %
Tidak sekolah 6 16,2
Lulus SD 20 54,1
Lulus SMP 6 16,2
Lulus SMA 4 10,8
Sarjana 1 2,7
Jumlah 37 100

Berdasarkan dari tabel 4.7 tersebut didapatkan data bahwa dari seluruh

responden sebagian besar tingkat pendidikannya adalah lulusan SD yaitu sebanyak

20 responden (54,1%).

Hal ini menunjukan bahwa hampir dari setengah penderita TB Paru hanya

menamatkan tingkat pendidikan sekolah dasar saja, hal ini sangat mempengaruhi

pengetahuan termasuk juga perilaku kesehatan seseorang. Seseorang yang

berpendidikan sekolah dasar sulit untuk menerima informasi-informasi kesehatan

yang diberikan bahwa pentingnya berperilaku hidup sehat. Hal ini sesuai dengan
50

teori dari Notoatmodjo (2003) pendidikan dapat mempengaruhi seseorang

termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup sehat.

Nursalam,( 2003) mengatakan bahwa pada umumnya makin tinggi pendidikan

seseorang maka makin mudah seseorang untuk menerima informasi. Sehingga bila

pendidikan dasar saja maka akan sulit menerima informasi terutama masalah

perilaku kesehatan.

Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Pada Penderita TB


Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Pekauman Banjarmasin tahun
2012

Pekerjaan : F %
Swasta 24 64,9
IRT 12 32,4
PNS 1 2,7
TANI 0 0
Jumlah 37 100

Berdasarkan dari tabel 4.8 tersebut dapat dilihat bahwa sebanyak 24 responden

(64,9%) pekerjaan sebagai swasta, dan ada 12 responden (32,4%) sebagai ibu

rumah tangga, 1 responden (2,7%) sebagai PNS.

Menurut Hipni Nur (2006), seseorang yang bekerja merupakan banyak

pengalaman dalam menyelesaikan masalah yang secara tidak langsung dapat

meningkatkan keterampilan dan menggunakan koping yang lebih konstuktif,

sedangkan menurut Anggraeni (2011), mengatakan bahwa penyakit TB Paru


51

banyak ditemukan di kalangan swasta yang pendapatannya rendah, karena

penyakit TB Paru ini menyerang sebagian besar kelompok ekonomi yang rendah.

Tabel 4. 9 Distribusi Responden Berdasarkan Status Ekonomi pada


penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Pekauman
Banjarmasin tahun 2012.

Satus Ekonomi : F %
< 1.585.000 28 75.7
1.585.000-3.175.000 6 16.2
> 3.175.000 3 8.1
Jumlah 37 100

Berdasarkan tabel 4.9 tersebut dilihat bahwa sebanyak 28 responden ( 75,7 % )

yang status ekonominya rendah. Menurut data dari Statistik, mengatakan status

ekonomi rendah dikatakan < 1.585.000. Teori juga mengatakan penyakit TBC

paru menjadi masalah sosial karena sebagian besar penderitanya adalah kelompok

ekonomi lemah, dan tingkat pendidikan rendah (Laban, 2008).

Menurut Fahrudda (2001), secara ekonomi penyebab utama berkembangnya

kuman-kuman tuberkulosis di Indonesia disebabkan karena masih rendanhya

pendapatan perkapita, kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi serta hal-hal lain yang

menyangkut buruknya lingkungan seperti keadaan perumahan yang kurang sesuai

dengan kaidah kesehatan, keadaan sanitasi yang masih kurang sempurna.


52

C. Hasil Penelitian

1. Identifikasi Persepsi pada penderita TB Paru

Hasil penelitian mengenai persepsi pada penderita TB Paru di Wilayah Kerja

Puskesmas Pekauman Banjarmasin yang dilaksanakan pada 37 responden

dijelaskan pada tabel sebagai berikut :

Tabel 4.10 Distribusi penilaian Persepsi pada penderita TB Paru di Wilayah


Kerja Puskesmas Pekauman Banjarmasin tahun 2012.

Persepsi : F %
Sangat baik 11 29,7
Baik 24 64,9
Cukup 2 5,4
Kurang 0 0
Sangat kurang 0 0
Jumlah 37 100

Berdasarkan tabel 4.10 dapat dilihat bahwa sebagian besar persepsi pada

penderita TB Paru di Wilayah kerja Puskesmas Pekauman Banjarmasin ternyata

sebagian besar termasuk dalam kategori baik yaitu sebanyak 24 responden

(64,9%). Hasil ini secara umum menunjukkan bahwa persepsi penderita TB Paru

baik. Persepsi yang baik ini didukung oleh kegiatan yang sebelumnya pernah

diikuti oleh penderita TB Paru di Wilayah kerja Puskesmas Pekauman

Banjarmasin yaitu tentang pendidikan kesehatan pada penderita Tb Paru, yang

dilakukan oleh petugas kesehatan setempat. Pengetahuan pada penderita Tb paru

yang baik tentang TB Paru sangat mempengaruhi persepsi mereka.


53

Menurut Notoatmodjo (2010), bahwa pembentukan persepsi dalam

individu di pengaruhi oleh pengalaman proses belajar terhadap suatu

informasi, wawasan berpikir dan pengetahuan terhadap suatu obyek atau

lingkungan. Namun, permasalahannya tidak habis sampai disisni karena

masih ada beberapa penderita TB Paru yang memiliki persepsi tidak baik

terhadap TB Paru walaupun penderita tersebut pernah mengikuti

pendidikan kesehatan yang dilaksanakan sebelumnya.

Menurut Sarwono (2010), secara umum faktor-faktor yang

mempengaruhi persepsi seseorang yaitu : Konstansi, artinya adanya

kecendrungan seseorang untuk selalu melihat objek atau kejadian secara

konstan sekalipun sebenarnya itu bervariasi dalam bentuk ukuran, warna,

dan kecemerlangan, minat, artinya semakin tinggi minat seseorang

terhadap sesuatu objek atau peristiwa, maka semakin tinggi juga minatnya

dalam memersepsikan objek atau peristiwa,kepentingan, artinya semakin

dirasakan penting terhadap suatu objek atau peristiwa tersebut bagi diri

seseorang, maka semakin peka dia terhadap objek-objek persepsinya,

kebiasaan, artinya objek atau peristiwa semakin sering dirasakan

seseorang, maka semakin terbiasa dirinya di dalam membentuk persepsi.


54

2. Identifikasi perilaku kesehatan pada penderita TB Paru

Hasil penelitian mengenai perilaku kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas

Pekauman Banjarmasin yang dilaksanakan pada 37 responden ditunjukan pada

tabel sebagai berikut :

Tabel 4.11 Distribusi Penilaian perilaku kesehatan pada penderita TB paru di


Wilayah Kerja Puskesmas Pekauman Banjarmasin tahun 2012.

Perilaku kesehatan : f %
Baik 3 8,1
Tidak baik 34 91,9
Jumlah 37 100

Berdasarkan tabel 4.11 Dapat dilihat bahwa sebagian besar perilaku

kesehatannya tidak baik . Hasil observasi yang dilakukan peneliti untuk

mengetahui perilaku kesehatan pada penderita TB Paru menunjukan bahwa

sebagian besar responden masih perilaku kesehatan dengan kategori tidak baik

yaitu sebanyak 34 responden (91,9%), meskipun penderita TB paru pernah

mengikuti pendidikan kesehatan sebelumnya. Seseorang yang berpendidikan

sekolah dasar sulit untuk menerima informasi-informasi kesehatan yang diberikan

bahwa pentingnya berperilaku hidup sehat. Hal ini sesuai dengan teori dari

Notoatmodjo (2003) pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga

perilaku seseorang akan pola hidup sehat.

Menurut Notoatmodjo (2010), perilaku manusia adalah semua kegiatan atau

aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat
55

diamati oleh pihak luar. Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan

ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari

orang atau masyarakat yang bersangkutan.

Perilaku sehat adalah pengetahuan, sikap dan tindakan untuk memelihara dan

mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit, serta

berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat (Ekasari. 2007). Hal ini

mungkin disebabkan perilaku yang tidak baik karena kurangnya kesadaran,

kamauan dan kemampuan dari masyarakat saat menerima pembelajaran dan

kemudian mempraktikannya.

3. Identifikasi Hubungan Persepsi dengan Perilaku Kesehatan

Untuk menganalisa hubungan antara persepsi dengan perilaku kesehatan

dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Spearman Rank untuk menghitung

atau mengukur besarnya korelasi dan menerangkan keeratan hubungan antara dua

variabel tersebut. Untuk korelasi Spearman Rank sumber data untuk kedua

variabel yang akan dikonversikan dapat berasal dari sumber data yang tidak sama,

jenis data yang dikorelasikan adalah data ordinal atau berjenjang (rangking), serta

data tidak harus membentuk distribusi normal (Sugiyono, 2008).


56

Tabel 4.12 Tabulasi silang antara Persepsi dengan Perilaku Kesehatan


Pada Penderita TB Paru di Wilayah kerja Puskesmas
Pekauman Banjarmasin 2012.

Perilaku Kesehatan

Persepsi Baik Tidak Baik Jumlah

N % N % N %

Sangat 2 5,4% 9 24,3% 11 29,7%


baik
Baik 1 2,7% 23 62,2% 24 64,9%

Cukup 0 0% 2 5,4% 2 5,4%

Kurang 0 0% 0 0% 0 0%
baik
Sangat 0 0% 0 0% 0 0%
kurang
Jumlah 3 8,1% 34 91,9% 37 100%

Korelasi Spearman Rank = 0,18193


t hitung = 1,094579
t tabel = 2,030

Berdasarkan dari hasil analisis Spearman- Rank Correlation yang dilakukan

untuk mencari hubungan antara persepsi dengan perilaku kesehatan dengan level

significancy 0,05 dan confidence interval 95%, diperoleh hasil r hitung sebesar

0,18193. Untuk mengetahui harga t signifikan atau tidak, maka hasil t hitung

dibandingkan dengan harga t tabel, untuk taraf kesalahan tertentu dengan dk = n-2,

karena disini uji dua pihak dengan kesalahan 5% dengan dk = 35 diperoleh harga t

tabel = 2,030. Untuk nilai t hitung diperoleh hasil sebesar 1,094579. Karena harga
57

t hitung lebih kecil dibandingkan dengan t tabel (1,094579 < 2,030), maka Ho

diterima dan Ha ditolak, atau tidak terdapat hubungan antara persepsi dengan

perilaku kesehatan.

Berdasarkan dari tabel persepsi pada penderita TB Paru di Wilayah kerja

Puskesmas Pekauman Banjarmasin ternyata sebagian besar termasuk dalam

kategori baik yaitu sebanyak 24 responden (64,9%), namun berdasarkan dari tabel

perilaku kesehatannya yang didapat adalah tidak baik . Hasil observasi yang

dilakukan peneliti untuk mengetahui perilaku kesehatan pada penderita TB Paru

menunjukan bahwa sebagian besar responden masih perilaku kesehatan dengan

kategori tidak baik yaitu sebanyak 34 responden (91,9%).

Dari hasil penelitian ini didapat sebagian besar persepsi penderita TB paru di

Wilayah kerja Puskesmas Pekauaman dikategorikan baik, namun perilaku

kesehatannya sebagian besar tidak baik. Persepsi yang baik ini didukung oleh

beberapa faktor antara lain pendidikan, menurut Notoadmodjo (2005) menyatakan

bahwa dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk

mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa, semakin

banyak informasi yang diterima semakin banyak pula pengetahuan didapat tentang

kesehatan.

Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian, dimana didapat pencapaian

sebagian besar responden berpendidikan SD. Hal ini berarti tidak mutlak pada

tingkat pendidikan rendah pun mampu mencapai persepsi yang baik. Hal ini
58

kemungkinan terjadi karena didukung oleh kegiatan yang sebelumnya pernah

diikuti oleh penderita TB Paru di Wilayah kerja Puskesmas Pekauman

Banjarmasin yaitu tentang pendidikan kesehatan pada penderita TB Paru, sering

memeriksakan kesehatan ke puskesmas sehingga lebih banyak informasi yang di

terima dari petugas kesehatan setempat. Pengetahuan pada penderita TB paru yang

baik tentang TB Paru sangat mempengaruhi persepsi mereka.

Menurut Notoatmodjo (2010), bahwa pembentukan persepsi dalam individu di

pengaruhi oleh pengalaman proses belajar terhadap suatu informasi, wawasan

berpikir dan pengetahuan terhadap suatu obyek atau lingkungan. Namun,

permasalahannya tidak habis sampai disini karena masih ada beberapa penderita

TB Paru yang memiliki persepsi tidak baik terhadap TB Paru walaupun penderita

tersebut pernah mengikuti pendidikan kesehatan yang dilaksanakan sebelumnya.

Pada hasil penelitian ini sebagian besar responden berperilaku kesehatanya

dalam kategori tidak baik. Perilaku kesehatan yang tidak baik ini pun

kemungkinan di pengaruhi oleh status ekonomi dari responden. Dimana banyak

masih sebagian responden berpenghasilan rendah sebanyak 28 responden (75,7

%). Ini menyebabkan pendapatan yang dhasilkan pun kurang mampu dalam

memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Menurut Fahrudda (2001), secara ekonomi penyebab utama berkembangnya

kuman-kuman tuberkulosis di Indonesia disebabkan karena masih rendahnya

pendapatan, dengan rendahnya pendapatan ini penderita TB paru pun sulit untuk
59

pemenuhan gizi dan nutrisi serta hal-hal lain yang menyangkut buruknya

lingkungan seperti keadaan perumahan yang kurang sesuai dengan kaidah

kesehatan, keadaan sanitasi yang masih kurang sempurma, kurangnya pengetahuan

masyarakat akan praktek hidup sehat, dan juga kepadatan penghuni rumah yang

terlalu sempit.

Berdasarkan dari hasil observasi yang saya dapat pada saat penelitian di

wilayah puskesmas pekauman adalah mereka masih kurang tau tentang

berperilaku hidup sehat contohnya mereka pada saat batuk berdahak tidak dibuang

pada tempatnya, alat-alat tempat makan penderita TB Paru tidak tersendiri dan

tidak mempunyai tempat meludah sendiri, karena cara penularan Penyakit TB Paru

ini ditularkan melalui udara seperti halnya menurut Widoyono (2008) menyatakan,

tuberkulosis ditularkan melalui udara saat seseorang batuk atau percikan ludah

yang mengandung bakteri sehingga terhirup oleh orang lain pada saat bernapas,

bila penderita batuk, bersin, atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain,

basil bakteri tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang sehat.
60

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa :

1. Persepsi penderita TB paru di Wilayah kerja Puskesmas Pekauman Banjarmasin

sebagian besar pada kategori persepsi yang baik.

2. Perilaku kesehatan penderita TB paru di Wilayah kerja Puskesmas Pekauman

Banjarmasin sebagian besar pada kategori tidak baik.

3. Tidak terdapat hubungan antara persepsi dengan perilaku kesehatan.

B. SARAN

1. Bagi Masyarakat

Masyarakat sangat diharapkan selalu mengikuti pendidikan kesehatan yang

diberikan oleh petugas kesehatan, terutama tentang perilaku kesehatan, karena

dengan berperilaku sehat yang baik maka hidup sehat akan mudah dicapai

sehingga tidak berisiko terkena penyakit, dan masyarakat lebih aktif dalam

perilaku kesehatan contohnya gotong royong memebersihkan lingkungan 1x dalam

seminggu.
61

2. Bagi Puskesmas

Dalam menghadapi masyarakat perawat perlu memperhatikan dalam

memberikan layanan kesehatan terutama dalam pemberian pendidikan kesehatan,

agar masyarakat benar-benar mengerti dengan apa yang telah disampaikan kepada

mereka sehingga mereka dapat menerapkannya dengan baik. Diharapkan lebih

berperan serta dalam pemenuhan kesehatan, misalnya menyediakan liflet tentang

kebersihan lingkungan.

3. Bagi peneliti Lain

Perlu dilakukan penelitian untuk mencari tahu penyebab atau faktor-faktor yang

memepengaruhi perilaku kesehatan di masyarakat, Hubungan persepsi masyarakat

dengan minat hidup sehat.

Anda mungkin juga menyukai