Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

Epilepsi

Disusun oleh :

Pembimbing :

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
I.1 Latar Belakang 3
I.2 Manfaat 5
I.3 Tujuan 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Definisi 6
2.2 Klasifikasi 6
2.3 Epidemiologi 7
2.4 Etiologi 7
2.5 Patofisiologi 10
2.6 Faktor Resiko 12
2.7 Diagnosis 17
2.8 Tata Laksana 27
2.9 Komplikasi
2.10 Prognosis
BAB III KESIMPULAN 45
DAFTAR PUSTAKA 47

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Epilepsi merupakan masalah neurologis yang heterogen pada anak. Kelainan
neurologis ini mempengaruhi aspek fisik, psikologis, ekonomi dan sosial dan juga
bagi orang yang merawat mereka. Di Amerika Serikat sekitar 25,000 dan 40,000 anak
akan mendapatkan kejang non-febris pertama setiap tahunnya. Di negara berkembang
sendiri sekitar 75-80% kasus baru epilepsi ditemukan. Kejang pada anak memiliki
keberagaman, dipengaruhi oleh usia, karakteristik kejang, yang berhubungan dengan
komorbiditas, tatalaksana dan prognosis. Diperlukan pengertian yang komprehensif
mengenai epilepsi dikarenakan kompleksitas dari penyakit ini serta perlunya evaluasi
secara berkala dan pencegahan dengan meminimalisir gangguan neurologis sejak
dini.1

2
Kejang epileptik dan sindrom epilepsi masing-masing memiliki sistem
klasifikasi tersendiri. Kriteria diagnostik yang tepat diperlukan untuk membedakan
berbagai macam bentuk bangkitan kejang dan sindrom epilepsi karena hal tersebut
sangat penting dalam membuat keputusan klinis yang berdampak terhadap tata
laksana selanjutnya. Selain itu, kriteria diagnostik yang seragam akan memudahkan
komunikasi dengan klinikus, peneliti, maupun pasien. Kriteria diagnostik yang dibuat
harus jelas, obyektif, dan spesifik sehingga dapat membedakan suatu diagnosis
tertentu dengan lainnya.2
Commision on Classification and Terminology of the International League
Against Epilepsy (ILAE) pertama kali mempublikasikan mengenai kejang pada tahun
1960 yang kemudian disempurnakan pada tahun 1981. ILAE kemudian membuat
publikasi berupa International Classification of Epileptic Seizures (ICES) dan
Classification of Epilepsies and Epileptic Syndromes pada tahun 1985 yang
kemudian direvisi pada tahun 1989. Publikasi tahun 1981 dan revisi tahun 1989 inilah
yang sampai saat ini paling banyak digunakan di seluruh dunia meskipun sudah
beberapa kali diusulkan untuk direvisi. Secara prinsip, pembagian klasifikasi maupun
terminologi deskriptif yang digunakan berdasarkan lokasi aktivitas bangkitan kejang
dan semiologi yang terlihat secara klinis.2

I.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah:
a. Tujuan Umum: Mengetahui dan memahami mengenai epilepsi
b. Tujuan Khusus: Menjelaskan definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi, faktor
risiko, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, serta prognosis epilepsi

I.3. Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan juga
wawasan kepada mahasiswa/mahasiswi yang sedang menjalani stase ilmu kedokteran

3
anak mengenai epilepsi dan penatalaksanaannya serta pendekatannya dalam Ilmu
Kedokteran Anak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Kejang epileptik adalah kejadian klinis yang ditandai aktivitas sinkronisasi
sekumpulan neuron otak yang abnormal, berlebihan, dan bersifat transien. Aktivitas
berlebihan tersebut menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu atau beberapa
fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif (motorik, sensorik, psikis),
negatif (hilangnya kesadaran, tonus otot, kemampuan bicara), atau gabungan
keduanya. Kejang pertama kali tanpa demam dan tanpa provokasi (first unprovoked
seizure) adalah satu atau lebih kejang tanpa demam maupun gangguan metabolik akut
yang terjadi dalam 24 jam disertai pulihnya kesadaran di antara kejang. Epilepsi

4
didefinisikan sebagai serangan kejang paroksismal berulang tanpa provokasi dengan
interval lebih dari 24 jam tanpa penyebab yang jelas.2

II.2. Klasifikasi
Pada tahun 1981, ILAE membagi kejang menjadi kejang umum dan kejang
fokal (parsial) berdasarkan tipe bangkitan (yang diobservasi secara klinis maupun
hasil pemeriksaan elektrofisiologi), yaitu apakah aktivitas kejang dimulai dari satu
bagian otak, melibatkan banyak area, atau melibatkan kedua hemisfer otak. ILAE
membagi kejang menjadi kejang umum dan kejang parsial dengan definisi sebagai
berikut:3
● Kejang umum: gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan
keterlibatan kedua hemisfer.
● Kejang parsial (fokal): gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG
menunjukkan aktivasi pada neuron terbatas pada satu hemisfer saja.

Tabel 1.1. Klasifikasi epilepsi berdasarkan tipe bangkitan (ILAE 1981)

5
Selain itu ILAE (1989) juga membagi epilepsi berdasarkan etiologi. Menurut
etiologi epilepsi dapat dibagi menjadi:3
● Epilepsi atau sindrom epilepsi idiopatik yaitu epilepsi tanpa adanya kelainan
struktur otak dan tidak ditemukan defisit neurologi. Faktor genetik diduga
berperan pada tipe ini dan biasanya khas mengenai usia tertentu.
● Epilepsi atau sindrom epilepsi simtomatik yaitu epilepsi yang disebabkan satu
atau lebih kelainan anatomi dan ditemukan defisit neurologi.
● Epilepsi atau sindrom epilepsi kriptogenik yaitu epilepsi atau sindrom epilepsi
yang diasumsikan simtomatik tetapi etiologi masih belum diketahui. Dengan
kemajuan ilmu pengetahuan (pemeriksaan pencitraan, genetik, metabolik)
klasifikasi kriptogenik banyak yang dapat digolongkan sebagai epilepsi
simtomatik.

6
Tabel 1.2 Klasifikasi epilepsi berdasarkan etiologi (ILAE 1989)

7
Dari klasifikasi 1989 terdapat klasifikasi baru yaitu suatu sindrom epilepsi.
Sindrom epilepsi adalah suatu entitas klinis yang ditandai dengan sekumpulan
gambaran elektro klinis khas dan manifestasi yang khas pula. Tidak semua jenis
epilepsi termasuk kedalam suatu sindrom. Klasifikasi ILAE 2010 menerangkan
sindrom epilepsi adalah suatu entitas yang memiliki karakteristik elektro klinis khas,
meliputi; usia saat awitan gambaran EEG, tipe kejang, perkembangan
neurodevelopmental, pola penurunan, respons terhadap terapi, dan prognosis.

II.3. Epidemiologi
Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi
yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan kelompok
umur populasi. Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi
dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-
50% terjadi pada anak-anak. Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering
juga disertai gangguan neurologi seperti retardasi mental, palsi serebral, dan
sebagainya yang disebabkan kelainan pada susunan saraf pusat. Di samping itu,
dikenal pula beberapa sindrom epilepsi pada anak antara lain Sindrom Ohtahara,
spasme infantil (Sindrom West), Sindrom Lenox-Gestaut, benign rolandic
epilepsy,dan juvenile myoclonic epilepsy.4
Menurut WHO kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering
terjadi pada anak, di mana ditemukan 4 – 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu
kali kejang pada 16 tahun pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa
150.000 anak mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang
berkembang menjadi penderita epilepsi. Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat
beragam, di antaranya adalah infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit
degeneratif, dan penyakit metabolik. Meskipun terdapat bermacam-macam faktor
resiko tetapi sekitar 60 % kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti.
Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak laki – laki
lebih tinggi daripada anak perempuan.5

8
II.4. Etiologi

Etiologi epilepsi umumnya tidak diketahui. Klasifikasi berdasarkan ILAE


2010, mengganti terminologi dari idiopatik, simtomatis, atau kriptogenik, menjadi
genetik, struktural/metabolik, dan tidak diketahui. Genetic epilepsy syndrome adalah
epilepsi yang diketahui/diduga disebabkan oleh kelainan genetik dengan kejang
sebagai manifestasi utama. Structural/metabolic syndrome adalah adanya kelainan
struktural/metabolik yang menyebabkan seseorang berisiko mengalami epilepsi,
contohnya; epilepsi setelah sebelumnya mengalami stroke, trauma, infeksi SSP, atau
adanya kelainan genetik seperti tuberosklerosis dengan kelainan struktur otak (tuber).
Epilepsi digolongkan sebagai “unknown cause” bila penyebabnya belum diketahui.6

Kelainan genetik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain:6


1. Kelainan kromosom: sindrom fragile X, sindrom Rett.
2. Trisomi parsial 13q22-qter berhubungan dengan epilepsi umum awitan lambat dan
leukoensefalopati.

Kelainan struktural/metabolik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain7


1. Kelainan neurokutan: tuberosklerosis, neurofibromatosis, hipomelanosis Ito,
sindrom Sturge-Weber.
2. Palsi serebral (PS); epilepsi didapatkan pada 50% PS spastik kuadriplegia atau
hemiplegia dan 26% PS spastik diplegia atau diskinetik.
3. Sklerosis hipokampus, gliosis, dan hilangnya neuron sehingga mengubah
rangkaian sirkuit menjadi epileptogenesis, termasuk mesial temporal sclerosis
4. Malformasi serebral atau kortikal (didapatkan pada 40% epilepsi intraktabel),
hemimegalensefali, focal cortical dysplasia (FCD), heterotopia nodular
periventrikular, agiria, pakigiria, skizensefali, polimikrogiria.
5. Tumor otak dan lesi lain; astrositoma, gangliositoma, ganglioglioma, angioma

9
kavernosum.
6. Trauma kepala.
7. Infeksi; ensefalitis herpes simpleks, meningitis bakterial, malaria serebral,
sistiserkosis.
8. Kelainan metabolik bawaan

II.5. Patofisiologi
Pada tingkat selular, dua ciri khasi aktivitas epileptiform adalah
hipereksitabilitas dan hipersinkronitas neural. Hipereksitabilitas merujuk pada
peningkatan respon neuron terhadap stimulasi, sehingga sel mencetuskan beberapa
potesial aksi langsung. Hipersinkron yaitu peningkatan cetusan neuron pada sebagian
kecil atau besar regio di korteks.9

Walaupun terdapat perbedaan pada mekanisme yang mendasari kejang fokal


dan umum, secara sederhana bangkitan kejang terjadi karena adanya gangguan
keseimbangan antara inhibisi dan eksitasi pada satu regio atau menyebar diseluruh
otak. Ketidakseimbangan ini karena kombinasi peningkatan eksitasi dan penurunan
inhibisi.10,12

Tabel 2.1 Contoh proses patofisiologis pada epilepsi8

10
II.6. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya epilepsi pada anak terjadi saat prenatal, natal dan
postnatal sebagai berikut :
Tabel 2.2 Etiologi epilepsi pada anak

1. Prenatal

a) Umur ibu saat hamil terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua (>35 tahun)

b) Kehamilan dengan eklampsi dan hipertensi

c) Kehamilan primipara atau multipara

d) pemakaian bahan toksik

2. Natal

a) Asfiksia

b) Bayi dengan berat badan lahir rendah (<2500 gram)

c) Kelahiran prematur dan postmatur

11
d) Partus lama

e) Persalinan dengan alat

3. Postnatal

a) Kejang demam

b) Trauma kepala

c) Infeksi SSP

d) Gangguan metabolik

II.7. Diagnosis
Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan apabila terdapat dua atau lebih episode
kejang tanpa provokasi dengan interval 24 jam atau lebih atau apabila terdapat
manifestasi khas suatu sindrom epilepsi. Kejang tanpa provokasi adalah kejang yang
tidak dicetuskan oleh demam, gangguan elektrolit atau metabolik akut, trauma, atau
kelainan intrakranial akut lainnya.13

A. DIAGNOSIS KEJANG EPILEPTIK


Diagnosis epilepsi merupakan diagnosis klinis yang terutama ditegakkan atas
dasar anamnesis dan pemeriksaan fisis-neurologis. Penegakkan diagnosis epilepsi
dimulai dengan penentuan secara klinis apakah kejang merupakan kejang epileptik,

12
berdasar atas deskripsi serangan atau pengamatan kejang secara langsung serta gejala
dan temuan lain pada anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis dapat didapatkan
dari pasien, orang lain yang menyaksikan atau mengetahui riwayat serangan, serta
bilamana memungkinkan, dari saksi mata yang melihat serangan. Dalam menentukan
serangan merupakan suatu kejang epileptik, diagnosis banding yang lain perlu
disingkirkan. Diagnosis kejang epileptik atas dasar temuan klinis (anamnesis dan
pemeriksaan fisis, dengan baku emas pemantauan jangka panjang) memiliki
sensitivitas 97,7% dan spesifisitas 100%.14
Diagnosis banding epilepsi adalah kejang non-epileptik dan serangan
paroksismal bukan kejang. Yang termasuk kejang non-epileptik adalah kejang
demam, kejang refleks, kejang anoksik, kejang akibat withdrawal alkohol, kejang
yang dicetuskan obat obatan atau bahan kimiawi lainnya, kejang pasca trauma, dan
kejang akibat kelainan metabolik atau elektrolit akut. Dalam menentukan suatu
serangan merupakan kejang epileptik, perlu disingkirkan pelbagai serangan
paroksismal non-epileptik. Pembedaan kejang epileptik, kejang non-epileptik, dan
serangan paroksismal bukan kejang dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
serta pemeriksaan penunjang sesuai indikasi yang ditemukan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) dengan rekaman video
pada saat terjadi serangan terkadang dapat membantu menentukan apakah serangan
merupakan kejang epileptik, namun pemeriksaan EEG dan rekaman video secara
terpisah tidak dapat menentukan atau menyingkirkan kejang epileptik dan bukan
merupakan pemeriksaan baku emas.15

Tabel 3.1 Serangan paroksismal non-epileptik pada anak

13
B. PENENTUAN TIPE KEJANG
Setelah dipastikan serangan merupakan kejang epileptik, langkah selanjutnya
adalah penentuan tipe kejang, apakah kejang bersifat umum atau fokal (menjadi
umum atau tidak), serta bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik, absans,
mioklonik, atonik, spasme infantil, sensorik/autonom, dan lain-lain). Tipe kejang
ditentukan melalui anamnesis atau mengamati langsung serangan bilamana
memungkinkan, dan dapat ditunjang dengan pemeriksaan EEG. Tipe kejang tertentu
dapat diprovokasi dengan cukup aman di poliklinik, misalnya absans dengan
provokasi hiperventilasi.15

14
C. DIAGNOSIS SINDROM EPILEPSI
Setelah diagnosis epilepsi ditegakkan dan tipe kejang diketahui, perlu
ditentukan apakah epilepsi pada pasien termasuk dalam sindrom klinis tertentu.
Sindrom epilepsi dapat berhubungan dengan etiologi epilepsi.17

15
Tabel 3.2 Sindrom epilepsi yang sering dijumpai17

16
17
18
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG DALAM DIAGNOSIS EPILEPSI
1. Elektroensefalografi
Walaupun EEG secara rutin dilakukan pada kejang tanpa provokasi pertama
dan pada (dugaan) epilepsi, pemeriksaan ini bukanlah baku emas untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Kelainan pada EEG dapat ditemukan pada 2-4% anak yang tidak
pernah kejang; sebaliknya, EEG interiktal pertama dapat normal pada 55% anak
dengan kejang pertama tanpa provokasi. Gambaran EEG saja tanpa memandang
informasi klinis tidak dapat menyingkirkan maupun menegakkan diagnosis epilepsi.
Pada EEG diperhatikan frekuensi dan amplitudo gelombang irama dasar, ada
tidaknya asimetri, serta ada tidaknya aktivitas epileptiform yang dapat berupa
gelombang paku, gelombang tajam, paku-ombak, tajam-ombak, paku multipel, burst-
suppression, dan hipsaritmia. Diperhatikan juga lokalisasi aktivitas abnormal, bila
ada. Peran EEG pada epilepsi adalah sebagai berikut);18
a. membantu menentukan tipe kejang
b. menunjukkan lokalisasi fokus kejang bila ada
c. membantu menentukan sindrom epilepsi
d. pemantauan keberhasilan terapi
e. membantu menentukan apakah terapi obat antiepilepsi dapat dihentikan.
Secara tersendiri, sensitivitas EEG untuk mendiagnosis epilepsi hanya 25-
56%, sedangkan spesifisitasnya 78-98%. Jika digunakan bersama dengan temuan
klinis pada anamnesis dan pemeriksaan neurologis, maka sensitivitasnya menjadi
98,3% (IK95% 96,3 sampai 99,2) dan spesifisitasnya 86% (IK95% 78,8 sampai
91,2). Beberapa hal yang dapat meningkatkan nilai diagnostik EEG adalah sebagai
berikut:18
a. pengulangan EEG
b. melakukan EEG pada saat tidur (sensitivitas 81%), terutama apabila
dilakukan pengulangan siklus bangun-tidur (sensitivitas 92%)
c. deprivasi tidur parsial meningkatkan angka deteksi aktivitas epileptiform
pada EEG sebesar 10%

19
d. hiperventilasi, terutama pada epilepsi absans
e. stimulasi fotik.

2. Pencitraan
Peran pencitraan adalah untuk mendeteksi adanya lesi otak yang mungkin
menjadi faktor penyebab epilepsi atau kelainan neurodevelopmental yang menyertai.
Pencitraan dilakukan untuk menentukan etiologi, memperkirakan prognosis, dan
merencanakan tata laksana klinis yang sesuai. Magnetic resonance imaging (MRI)
merupakan pencitraan pilihan untuk mendeteksi kelainan yang mendasari epilepsi.
Indikasi MRI pada anak dengan epilepsi adalah sebagai berikut:20
a. Epilepsi fokal berdasarkan gambaran klinis atau EEG
b. Pemeriksaan neurologis yang abnormal, misalnya adanya defisit neurologis
fokal, stigmata kelainan neurokutan, tanda malformasi otak, keterlambatan
perkembangan yang bermakna, atau kemunduran perkembangan
c. Anak berusia kurang dari 2 tahun
d. Anak dengan gejala khas sindrom epilepsi simtomatik, misalnya spasme
infantil atau sindrom Lennox-Gastaut.
e. Epilepsi intraktabel
f. Status epileptikus
Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan untuk mencari etiologi epilepsi,
menentukan prognosis dan tata laksana adalah pemeriksaan sitogenetik, metabolik
dan analisis kromosom.

20
II.8. Tata Laksana
1. Edukasi untuk Anak, Orang Tua dan Keluarga
Keluarga yang memiliki anak dengan epilepsi berhak mendapatkan informasi
yang jelas dan akurat tentang kondisi anak, jenis epilepsi, rencana terapi, efek
samping dan interaksi OAE, aktivitas yang diperbolehkan serta pengaruh epilepsi
dalam kehidupan sehari-hari. Jika pasien atau keluarga belum mendapatkan informasi
yang jelas tentang epilepsi selama kunjungan dokter, maka harus diberikan informasi
tertulis, nomor telepon yang dapat dihubungi jika ada hal-hal emergensi atau jika ada
pertanyaan.
Informasi untuk keluarga harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan, sosial-
ekonomi dan budaya. Informasi lebih banyak ditujukan kepada orangtua
dibandingkan secara langsung kepada anak karena tingkat pemahaman pada anak
belum memadai. Anak yang sudah besar dapat diajak bicara dan diterangkan tentang
kondisinya. Orangtua dan pasien harus diberikan kesempatan untuk bertanya dan
berdiskusi tentang penyakitnya
Daftar tilik informasi sebaiknya dipergunakan untuk membantu tenaga
kesehatan memberikan informasi yang akurat kepada anak, orangtua dan keluarga
(good practice points).17

21
22
2. Pencetus Kejang
Beberapa faktor pencetus kejang telah diketahui dan perlu dihindari. Faktor-
faktor tersebut antara lain:21
a. Deprivasi tidur (tidur larut malam atau pola tidur tidak normal)
b. Demam
c. Konsumsi alkohol
d. Video game (pada jenis epilepsi fotosensitif)
e. Pencetus spesifik pada reflex epilepsy.

Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :

a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)

Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak


yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan
mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan
berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan
diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila
berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah
selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali
pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan
untuk dibawa ke rumah sakit.21

b. Pengobatan epilepsi

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi


terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung
mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang
terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan
mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya

23
terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin.
Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila
serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien
tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu 22

1) Terapi medikamentosa18

Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang
baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di
Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam
valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah
serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi,
penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping
yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai
dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang.

Epilepsi yang resistan terhadap obat dikaitkan dengan meningkatnya tingkat


kecacatan, morbiditas dan mortalitas. Jika terjadi kegagalan terapi menggunakan dua
AED, kelayakan operasi epilepsi harus dipertimbangkan. Untuk pasien yang tidak
melakukan operasi, AED alternatif dapat dicoba. Namun, banyak AED generasi
kedua memiliki dampak minimal pada keseluruhan hasil klinis, dengan kejang yang
tidak terkontrol masih ditemukan pada sekitar sepertiga pasien.

Faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat anti-epilepsi (AED) :

a) Faktor yang terkait dengan individu

· Usia

· Seks

· Etnis

24
· Genetik

· Gaya hidup

· Status sosial ekonomi (misalnya, keterbatasan keuangan)

b) Faktor terkait penyakit Epilepsi (yaitu, tipe kejang, epilepsi sindrom dll)

· Etiologi

· Komorbiditas

· Sejarah keluarga

· Riwayat medikasi masa lalu

c) Faktor terkait obat

· Ko-medikasi

· Efek samping obat sebelumnya

Pada anak dengan epilepsi onset baru, terutama yang dengan epilepsi idiopatik yang
umum dapat terbebas dari kejang dengan obat anti epilepsi yang tepat. Sekitar 20%
pada anak-anak dengan epilepsi akan mengalami kejang karena sindrom fokal
idiopatik sebelum terjadi epilepsi spontan yang mengalami remisi. Beberapa obat
epilepsi pada anak termasuk :19

1. Generasi pertama

- Carbamazepin (CBZ)

- Clonazepam (CZP)

- Ethosuximide (ETS)

25
- Phenobarbital (PB)

- phenytoin (PHT)

- sulthiame (STM)

- valproic acid (VPA)

2. Generasi kedua

- felbamate (FBM)

- gabapentin (GPT)

- lamotrigine (LTG)

- levetiracetam (LEV)

- oxcarbazepine (OXC)

- pregabalin (PGB)

- tiagabine (TGB)

- topiramate (TPM)

- vigabatrin (GVG)

- zonisamide (ZNS)

3. Generasi ketiga

- eslicarbazepine acetate (ESL)

- lacosamide (LCS)

26
- perampanel (PER)

- retigabine (RTG)

- rufinamide (RUF)

- stiripentol (STP)

Efek samping yang dilaporkan pada obat Anti epilepsi tertera pada gambar dibawah
ini :

Gambar 5. Efek samping pada Obat Anti Epilepsi

27
2) Terapi Pembedahan

Operasi epilepsi yang melibatkan reseksi atau, lebih jarang, pemutusan atau
jaringan epilepsi, merupakan terapi efektif untuk pasien tertentu dengan resistan
terhadap obat epilepsy. Kelayakan untuk operasi ditentukan berdasarkan investigasi,
termasuk pemantauan video-EEG, MRI struktural, fluorodeoxyglucose positron
emission tomography, emisi foton tunggal ictal dan interiktal computed tomography,
MRI fumgsional, dan pengujian neuropsikologis. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
menggambarkan "zona epileptogenik" (yaitu,jumlah minimum korteks yang jika
direseksi, terputus atau rusak akan menyebabkan bebas kejang ) dan mendefinisikan
morbiditas risiko pasca-operasi.20

Beberapa pasien juga memerlukan intrakranial EEG, baik sebagai


elektrokortikografi intra-operatif atau rekaman operasi ekstra, untuk meningkatkan
lokalisasi zona epileptogenik. Probabilitas kebebasan kejang setelah operasi
tergantung pada banyak faktor, termasuk jenis epilepsi, hasil penyelidikan pra-bedah,
etiologi yang mendasari, sejauh mana reseksi, dan durasi follow up. Wiebe et all.
mengacak 80 pasien dengan epilepsi lobus temporal resistan terhadap tatalaksana
dengan reseksi lobus temporal anterior atau terapi AED lanjutan. Pada satu tahun
pertama , 23/40 pasien yang menjalani operasi (58%) bebas dari serangan seizure
dibandingkan hanya 3/40 pasien yang dirawat secara medis (8%) (P <0,001).

Pada Kelompok bedah dilaporkan memiliki kualitas hidup lebih baik secara
subjektif dibandingkan dengan kelompok medis. Pada tahun 2003, American
Academy of Neurology merekomendasikan bahwa pasien dengan kegagalan
penghentian kejang fokal dengan AED lini pertama harus dipertimbangkan untuk di
rujuk ke pusat operasi epilepsi.

Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang


menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan.

28
Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan.
Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :

a) Lobektomi temporal

b) Eksisi korteks ekstratemporal

c) Hemisferektomi

d) Callostomi

3) Terapi nutrisi18,21

Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang
kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi
toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak
penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat
kejang masih belum diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil dan menetap
dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada
anak prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang
tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan
yang diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap
kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan
sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan
kombinasi diet dan obat antiepilepsi.21

Diet ketogenik adalah konsumsi lemak tinggi, protein yang cukup, diet rendah
karbohidrat yang merupakan terapi lini pertama terapi untuk defisiensi glukosa tipe 1
sindrom dan defisiensi kompleks dehidrogenase piruvat, dan terbukti efektif
pengobatan untuk epilepsi anak resisten obat. Dalam uji coba secara acak, 28/73 anak
ditugaskan untuk diet (38%) memiliki > 50% pengurangan kejang pada 3 bulan

29
follow-up dibandingkan 4/72 kontrol (6%) (P <0,0001) . Lima anak dalam kelompok
diet (7%) memiliki > 90% pengurangan kejang dibandingkan dengan tidak ada
kontrol (P =0,06).

II.9 Komplikasi
Bila serangan epilepsy sering terjadi dan berlangsung lama, maka akan terjadi
kerusakan pada organ otak, dimana tingkat kerusakan biasanya bersifat irreversible
dan jika sering terjadi dengan jangka waktuyang lama sering sekali membuat pasien
menjadi cacat.17

II.10 Prognosis

Pada kasus epilepsi, prognosis penyakit sangat tergantung terhadap intesitas


terjadinya serangan dimana intesitas serangan ini dapat dikuranggi dengan cara
menghindari faKtor pencetus ataupun pengendalian aktifitas sehari – hari.
Penanganan pada kasus epilepsi saat serangan merupakan faKtor penting penentuan
prognosis.

Kekambuhan setelah bangkitan pertama terjadi kurang dari setengah pada


anak atau dewasa muda dengan EEG normal, neuroimaging normal, dan tidak ada
riwayat penyebab epilepsi simptomatis.

Bangkitan yang pertama kali timbul pada usia tua lebih mudah diobati
dibandingkan pada kelompok usia yang lebih muda, dengan persentase kejadian
bebas kejang 60%-70% dengan monoterapi. Kejang yang tidak ditangani juga dapat
menimbulkan bahaya seperti jatuh, fraktur, cedera kepala, sudden death, dan status
epileptikus.7

30
BAB III
KESIMPULAN
Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap anak di
seluruh dunia. Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka
epilepsi lebih tinggi di negara berkembang.
Klasifikasi epilepsi sendiri terbagi oleh International League Againts Epilepsy
berdasarkan onset kejang hingga kejang fokal. Kejang fokal dapat dibedakan menjadi
kejang sadar fokal (sebelumnya kejang parsial sederhana) atau kejang dengan
gangguan kesadaran (sebelumnya kejang parsial kompleks), tergantung pada apakah
kesadaran hilang pada setiap kejang.
Kejang pada anak akibat epilepsi memiliki keberagaman, dipengaruhi oleh
usia, karakteristik kejang, yang berhubungan dengan komorbiditas, tatalaksana dan
prognosis. Diperlukan pengertian yang komprehensif mengenai epilepsi dikarenakan
kompleksitas dari penyakit ini serta perlunya evaluasi secara berkala dan pencegahan
dengan meminimalisir gangguan neurologis sejak dini. Bila serangan epilepsi tidak
ditangani dengan baik dan berlangsung lama dapat mengakibatkan kerusakan pada
sistem otak dan syaraf anak tersebut hingga dapat mengakibatkan kematian.Pada
kasus epilepsi, prognosis penyakit sangat tergantung terhadap intesitas tejadinya
serangan dimana intesitas serangan ini dapat dikuranggi dengan cara menghindari
faktor pencetus ataupun pengendalian aktifitas sehari – hari.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Saad K. Childhood Epilepsy: An Update on Diagnosis and Management. Am


J Neurosci. 2015;36–51.

2. World Health Organization. Epilepsy : Historical Overview. 2000. [cited 2013


November 4]. Available form : URL http://www.who.int/infis/en/fact168.html

3. Megiddo I, Colson A, Chisholm D, Dua T, Nandi A, Laxminarayan R. Health


and economic benefits of public financing of epilepsy treatment in India: An agent-
based simulation model. Epilepsia [Internet]. 2016 Mar [cited 2018 Nov
5];57(3):464–74. Available from: http://doi.wiley.com/10.1111/epi.13294

4. Suwarba IGNM. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak. sari
Pediatr. 2011;13(2).

5. World Health Organization. Epilepsy : Historical Overview. 2000. [cited 2013


November 4]. Available form : URL http://www.who.int/infis/en/fact168.html

6. Shorvon SD (Simon D. Handbook of epilepsy treatment : forms, causes, and


therapy in children and adults. Blackwell Pub; 2005. 304 p.

7. Suwarba IGNM. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak. sari
Pediatr. 2011;13(2).

8. Rudolph;A.M. Gangguan Kejang pada Bayi dan Anak. In: Rudolph pediatric.
ECG; 2007. p. 2134–40.

9. Jimmy;passat. Epidemiologi Epilepsi. Sofyan;Ismael, editor. Jakarta: Badan


Penerbit IDAI; 1999. 190-197 p.

10. Hall JE (John E. Guyton and Hall textbook of medical physiology. 1145 p.

32
11. Fisher RS, Boas W van E, Blume W, Elger C, Genton P, Lee P, et al.
Epileptic Seizures and Epilepsy: Definitions Proposed by the International League
Against Epilepsy (ILAE) and the International Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia
[Internet]. 2005 Apr [cited 2018 Nov 5];46(4):470–2. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15816939

12. Fisher RS, Cross JH, D’Souza C, French JA, Haut SR, Higurashi N, et al.
Instruction manual for the ILAE 2017 operational classification of seizure types.
Epilepsia [Internet]. 2017 Apr 1 [cited 2018 Nov 6];58(4):531–42. Available from:
http://doi.wiley.com/10.1111/epi.13671

13. Ahmed SN, Spencer SS. An approach to the evaluation of a patient for
seizures and epilepsy. WMJ [Internet]. 2004 [cited 2018 Nov 6];103(1):49–55.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15101468

14. Oguni H. Diagnosis and Treatment of Epilepsy. Epilepsia [Internet]. 2004


Dec [cited 2018 Nov 6];45(s8):13–6. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15610188

15. Harsono. Epilepsi. In: Buku Ajar Neurologi Klinis [Internet]. Yogjakarta:
Badan Penerbit dan Publikasi Universitas Gadjah Mada; 2004 [cited 2018 Nov 6].
Available from: http://ugmpress.ugm.ac.id/id/product/kedokteran-umum/buku-ajar-
neurologi-klinis

16. Kuzniecky RI. Neuroimaging of epilepsy: Therapeutic implications. NeuroRX


[Internet]. 2005 Apr [cited 2018 Nov 6];2(2):384–93. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15897958

17. Sareharto TP BT. Penatalaksanaan Kejang. In: Putranti A, editor. Buku Ajar
llmu Kesehatan Anak Semarang: Semarang: Balai Penerbit UNDIP; 2011. p. 138–9.

33
18. Perucca P, Scheffer IE, Kiley M. The management of epilepsy in children and
adults. 2018 [cited 2018 Nov 6]; Available from:
https://www.mja.com.au/system/files/issues/208_05/10.5694mja17.00951.pdf

19. Rosati A, De Masi S, Guerrini R. Antiepileptic Drug Treatment in Children


with Epilepsy. CNS Drugs [Internet]. 2015 [cited 2018 Nov 6];29. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4636994/pdf/40263_2015_Article_2
81.pdf

20. Ryvlin P, Cross JH, Rheims S. Epilepsy surgery in children and adults. Lancet
Neurol [Internet]. 2014 Nov [cited 2018 Nov 6];13(11):1114–26. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25316018

21. Cai Q-Y, Zhou Z-J, Luo R, Gan J, Li S-P, Mu D-Z, et al. Safety and
tolerability of the ketogenic diet used for the treatment of refractory childhood
epilepsy: a systematic review of published prospective studies. World J Pediatr
[Internet]. 2017 Dec 12 [cited 2018 Nov 6];13(6):528–36. Available from:
http://link.springer.com/10.1007/s12519-017-0053-2

22. McCormack M, Alfirevic A, Bourgeois S, Farrell JJ, Kasperavičiūtė D,


Carrington M, et al. HLA-A*3101 and Carbamazepine-Induced Hypersensitivity
Reactions in Europeans. N Engl J Med [Internet]. 2011 Mar 24 [cited 2018 Nov
6];364(12):1134–43. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21428769

34
35

Anda mungkin juga menyukai