Anda di halaman 1dari 3

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi merupakan gangguan kondisi medis kronis berupa kejang
berulang tidak dapat diprediksi, dan memengaruhi berbagai fungsi mental
serta fisik. Ini ialah salah satu penyakit neurologi yang umum, menyerang
lebih sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. (Johnson, 2019).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan rata-rata “8,2
orang dengan gangguan kejang aktif per 1.000 penduduk, dengan kejadian
50 per 100.000 penduduk, atau sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. Di
Indonesia, belum ada studi epidemiologi yang mengenai hal tersebut
secara pasti tetapi prevalensi epilepsi diperkirakan 0,5 hingga 1,2% atau
sekitar 1,1 hingga 1,3 juta penderita epilepsi (Depkes, 2009).
Kejang merupakan akibat dari aktivitas saraf yang tidak normal,
persisten, dan berlebihan di otak, Kerusakan jaringan ini meningkatkan
masalah neurologis termasuk epilepsi, menyebabkan kejang dan risiko
cedera. Kondisi ini merupakan kelainan neurologis kronis umum yang
ditandai dengan kejang berulang yang tidak diketahui penyebabnya,
kejang sementara, atau gejala aktivitas saraf yang tidak normal,
berlebihan, atau sinkron di otak (Wulan Maryanti, 2016).
Terapi utama epilepsi dengan obat anti epilepsi (OAE). Pemberian
obat anti epilepsi bertujuan untuk mengontrol bangkitan epilepsi.
Pemilihan OAE ( Obat Anti Epilepsi ) memiliki standar tertentu menurut
WHO ( World Health Organization ) sebagai pedoman umum untuk
diterapkan ke klinik, puskesmas dan rumah sakit. Namun, dalam praktek
tidak jarang dijumpai adanya penyimpangan dari standar tadi. Hal ini
dikarenakan pemilihan OAE juga harus mempertimbangkan aspek
farmakologi obat, usia penderita, harga obat, dan cara minum obat.
(Lukas dkk, 2016).
Di Indonesia sendiri telah beredar berbagai jenis OAE baik yang
generik maupun paten yang bersifat first line (pilihan pertama) maupun
second line (pilihan kedua), OAE lini pertama adalah carabamazepin,
asam valproate, fenobarbital, dan fenitoin. OAE lini kedua adalah
lamotigrine, levatiracetam, klobazam, dan topiramat (lukas dkk, 2016)
Dari hal ini lah yang menjadikan penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “ Bagaimana Gambaran Pengobatan pada Pasien
Epilepsi di Rumah Sakit Umum Daerah Jombang tahun 2023 ? “
Sejauh ini belum di temukan penelitian di tahun dan bulan yang
sama tentang gambaran pengobatan pasien epilepsi.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana Gambaran Pengobatan pada Pasien Epilepsi di Rumah
Sakit Umum Daerah Jombang Tahun 2023 ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana Gambaran
Pengobatan Epilepsi di Rumah sakit Umum Daerah Jombang Tahun 2023.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Dapat menambah informasi dan wawasan mengenai apa itu
penyakit epilepsi dan gambaran pengobatanya.
1.4.2 Bagi Tenaga Kefarmasian
Dapat memberikan informasi terkait Gambaran Pengobatan
Epilepsi menurut pedoman yang sudah ada.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epilepsi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu kondisi yang ditandai dengan kejang
berulang akibat disfungsi otak intermiten, yang disebabkan oleh pelepasan
abnormal berlebihan pada neuron paroksismal. Kejang terjadi karena
berbagai alasan. Sebagian besar kasus disebut sebagai epilepsi idiopatik yang
tidak diketahui asalnya (depkes, 2009).
Epilepsi dapat disertai kejang atau tanpa kejang.sindrom epilepsi adalah
sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi secara bersama –
sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, jenis bangkitan, factor
pencetus dan kronisitas (depkes, 2009).
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinik dari bangkitan serupa,
berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan
kesasaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak,
bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (depkes, 2009).
2.2 Etiologi
2.3 Patofisiologi
2.4 Farmakoterapi
2.5

Anda mungkin juga menyukai