Anda di halaman 1dari 29

TUGAS

FARMASI FISIK

SIFAT FISIK DAN KIMIA YANG MEMPENGARUHI


PEMBERIAN OBAT EVIDENCE BASED MEDICINE
ANTIKONVULSAN

Disusun Oleh :
Kelompok VIII

Benediktus Wastu Paramabodhi 22010316140005


Monica Rizka Forma Nastiti 22010316140014
Febrina Fatima Safitry 22010316140030
Nidya Fatimah Sugiarti 22010316140035

UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI FARMASI
2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu kelainan otak kronis
dengan berbagai macam penyebab yang ditandai serangan epilepsi berulang yang disebabkan
oleh bangkitan neuron otak yang berlebihan. Gangguan ini sering dihubungkan dengan
disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penderitanya. Di
samping itu juga dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi,
stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik
(WHO, 2001). Gambaran klinisnya dapat berupa kejang, perubahan tingkah laku, perubahan
kesadaran. Kondisi ini tergantung lokasi kelainan di otak (Rahardjo, 2008). ).

Obat Anti Epilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi. Tujuan
pengobatan epilepsi dengan OAE adalah untuk menghindari terjadinya serangan epilepsi
selanjutnya dengan efek samping yang minimal (Wibowo & Gofir, 2006). Terapi pilihan lainnya
termasuk perubahan pola makan, menghindari faktor pencetus (contohnya alkohol atau kurang
tidur), penanaman saraf stimulator dan pembedahan (Gidal dkk, 2005). Pemilihan OAE pada
bukanlah tugas yang sederhana. Banyak variabel yang harus dipertimbangkan antara lain jenis
epilepsi, efikasi/efektivitas, efek samping, farmakokinetik, formulasi, latar belakang genetik,
jenis kelamin, usia, komorbiditas, status sosial ekonomi, ketersediaan dan biaya OAE (Glauser
dkk, 2006). OAE monoterapi menjadi pilihan dalam memulai pengobatan epilepsi, karena
sebagian besar pasien berhasil dikontrol dengan obat monoterapi pertama atau kedua yang
diberikan. Penggunaan monoterapi dapat mengurangi potensial interaksi obat dan efek toksik
yang merugikan (Louis dkk, 2009). Sebagian besar pasien epilepsi merespon pengobatan dengan
monoterapi, 47% pasien menjadi bebas kejang dengan percobaan OAE pertama dan 13%
mencapai bebasan kejang dengan percobaan monoterapi kedua (Kwan & Brodie, 2000).
Penggunaan politerapi baru dapat dipertimbangkan ketika pasien gagal dua atau lebih dengan
monoterapi (WHO, 2009).
1.2 Tinjauan Pustaka

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya
bangkitan yang bersifat spontan (tidak ada penyebab) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan
sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari
sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Istilah epilepsi tidak boleh
digunakan untuk bangkitan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung, dan kejang tidak
berkala misalnya kejang atau bangkitan pada hipoglikemi (Harsono, 2007a).

Epilepsi ditemukan pada semua umur dan dapat menyebabkan mortalitas, terdapat sekitar 50 juta
orang dengan epilepsi di dunia. WHO (2001) menyebutkan bahwa kejadian epilepsi di negara
maju berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per 100.000 ribu.
Diperkirakan ada 1-2 juta penderita epilepsi di Indonesia. Prevalensi epilepsi di indonesia adalah
5-10 kasus per 1.000 orang dan insidensi sebanyak 50 kasus per 100.000 orang per tahun
(Harsono, 2007a). Epilepsi dapat menyerang pada laki-laki ataupun perempuan. Secara umum
diperkirakan ada 2,4 juta kasus baru setiap tahun, dan 50% kasus terjadi pada masa kanak-kanak
atau remaja (WHO,2006). Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai
umur 50 tahun, dan setelah itu meningkat lagi (Ikawati, 2011). Kajian Pinzon (2006) terhadap
penelitian terdahulu menunjukkan insidensi epilepsi pada anak-anak adalah tinggi dan memang
merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok usia tersebut, bahkan dari tahun ke tahun
ditemukan bahwa prevalensi epilepsi pada anak-anak cenderung meningkat. Penelitian Heaney
dkk (2002) di Inggris dilakukan secara prospektif terhadap 369.283 orang, sepanjang
pengamatan dijumpai 190 kasus baru epilepsi, 65 diantaranya (34,2%) dimulai saat pada usia
<14 tahun. Hasil menyebutkan bahwa penyandang epilepsi masih sangat banyak, hal ini juga
akan menimbulkan dampak sosial masyarakat bagi penyandangnya (Heaney dkk,2002).

Dasar serangan epilepsi adalah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps.
Setiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan oleh
adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas
selektif membran neuron yaitu perbedaan konsentrasi ion-ion seperti K, Na, Ca, Cl (Shih, 2007).
Menurut Shorvon (2001) dan Deliana (2002) ditinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi
menjadi 3 golongan, yaitu :
1). Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui meliputi
50% dari penderita epilepsi anak, umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan
biasanya pada usia >3 tahun.

2). Epilepsi simptomatik disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat,
misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik,
malformasi otak kongenital, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),
kelainan neurodegeneratif dan kejang demam.

3). Epilepsi kriptogenik dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,


termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.

Beberapa penyebab secara spesifik timbulnya serangan epilepsi adalah:

1). Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum
alkohol atau mengalami cedera (trauma) atau mendapat penyinaran (radiasi).

2). Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir
ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan (forsep), atau trauma lain pada otak bayi

3). Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Kejang-kejang
dapat timbul pada saat terjadi cedera kepala, atau baru terjadi 2-3 tahun kemudian. Bila
serangan terjadi berulang pada saat yang berlainan baru dinyatakan sebagai penyandang
epilepsi.

4). Tumor otak, merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum, terutama pada anak-
anak.

5). Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.

6). Radang atau infeksi. Radang selaput otak (meningitis) atau radang otak dapat
menyebabkan epilepsi.
7). Penyakit keturunan seperti fenilketonuria. Sklerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan timbulnya kejang yang berulang.

8). Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan ambang
rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak. Kecenderungan
timbulnya epilepsi yang diturunkan biasanya terjadi pada masa anak-anak (Harsono,
2005).

Epilepsi dapat kambuh kembali dikarenakan beberapa faktor. Faktor pencetus timbulnya
serangan pada penderita epilepsi, diantaranya yaitu : gangguan emosional, stress, tidur, haid,
cahaya tertentu. Faktor yang lainnya yaitu faktor makan dan minum, suara tertentu, membaca,
drug abuse, lupa atau enggan minum obat, faktor hiperventilasi dan suhu tubuh penyandangnya
(Harsono, 2001).

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan daripada
proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran
konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion-channel opening, dan menguatnya sinkroni
neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar masuk ion-
ion menembus membran neuron (Harsono, 2007a). Serangan epilepsi akan muncul apabila
sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan
dengan cetusan potensial aksi secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini
kemudian menstimulasi neuron-neuron sekitarnya atau neuron-neuron yang terkait di dalam
proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar
neuron abnormal muncul secara bersama-sama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam
otak (Harsono, 2007a).

Terapi epilepsi tidak hanya berdasarkan atas diagnosa yang tepat, jenis serangan juga
harus ditentukan. Menurut Gidal dkk (2005) klasifikasi epilepsi berdasarkan tanda-tanda klinik
dan data EEG, dibagi menjadi:
1). Kejang umum (generalized seizure)

Jika aktivasi terjadi pada kedua hemisfere otak secara bersama-sama. Kejang
umum terbagi atas:

a). Absence (Petit mal)

Jenis yang jarang dijumpai ini umumnya hanya terjadi pada masa anak-
anak atau awal remaja. Kesadaran hilang beberapa detik, ditandai dengan
terhentinya percakapan untuk sesaat. Penderita tiba-tiba melotot atau matanya
berkedip-kedip dengan kepala terkulai.

b). Tonik-klonik (grand mal)

Merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi, biasanya didahului


oleh suatu aura. Pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, dan keluar
air liur. Bisa terjadi juga sianosis, ngompol, atau menggigit lidah. Serangan ini
terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau
tidur.

c). Mioklonik

Serangan ini biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien
mengalami sentakan yang tiba-tiba.

d). Atonik

Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien tiba-tiba kehilangan


kekuatan otot yang mengakibatkan pasien terjatuh, namun dapat segera pulih
kembali.
2). Kejang parsial

Kejang parsial merupakan perubahan klinis dan elektro-ensefalografik yang menunjukan


aktivitas sistem neuron yang berbatas di salah satu bagian otak. Kejang parsial ini terbagi
menjadi:

a). Simple partial seizure

Pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran, hanya terjadi sentakan-sentakan


pada bagian tertentu dari tubuh.

b). Complex partial seizure

Pasien mengalami penurunan kesadaran. Penderita dengan penurunan kesadaran


dapat mengalami perubahan tingkah laku.

3). Kejang tak terklasifikasikan

Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung oleh data
yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan epilepsi pada neonatus
misalnya gerakan mata ritmis, dan gerakan mengunyah serta berenang.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Terapi Anti Epilepsi

a. Prinsip Terapi Antiepilepsi

Langkah selanjutnya yang diambil setelah diagnosa epilepsi ditegakkan adalah


membuat rancangan tatalaksana farmakoterapeutik dengan mempertimbangkan setiap
konsekuensi dari masing-masing pilihan terapi (Harsono, 2007b).

Prinsip pengobatan epilepsi adalah :

1). Pengobatan dilakukan bila terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun

2). Pengobatan dimulai diberikan bila diagnosa telah ditegakkan dan setelah
penyandang dan atau keluarganya menerima penjelasan tujuan pengobatan dan
kemungkinan efek samping

3). Pemilihan jenis obat yang sesuai dengan jenis bangkitan

4). Sebaiknya pengobatan dengan monoterapi

5). Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis
efektif tercapai

6). Pada prinsipnya pengobatan dimulai dengan obat antiepilepsi lini pertama. Bila
diperlukan penggantian obat, obat pertama diturunkan bertahap dan obat kedua dinaikkan
secara bertahap

7). Bila didapatkan kegagalan monoterapi maka dipertimbangkan kombinasi OAE

8). Bila memungkinkan dilakukan pemantauan kadar obat sesuai indikasi (Kustiowati
dkk, 2003).
b. Pilihan Terapi Untuk Berbagai Tipe Bangkitan

OAE monoterapi menjadi pilihan dalam memulai pengobatan epilepsi, karena


sebagian besar pasien berhasil dikontrol dengan obat monoterapi pertama atau kedua
yang diberikan. Penggunaan monoterapi dapat mengurangi potensial interaksi obat dan
efek toksik yang merugikan (Louis dkk, 2009).

1. Carbamazepin
Oleh: Benediktus Wastu Paramabodhi

Carbamazepine adalah design turunan Iminodibenzyl sebagai 5H-dibenzo [b, f]


azepine- 5-karboksamida. Hal ini secara struktural terkait dengan antidepresan
trisiklik. Obat ini pertama kali diperkenalkan ke dalam praktek klinis di 1962,
terutama sebagai obat neuralgia trigeminal sebelum menjadi OAE utama untuk
epilepsi fokal.(ICNAPedia, 2016)

Indikasi dan Aplikasi Klinis

Karbamazepin diindikasikan untuk digunakan sebagai obat antikonvulsan. Bukti


yang mendukung khasiat carbamazepine sebagai antikonvulsan berasal dari studi
obat-dikendalikan aktif yang terdaftar pasien dengan jenis kejang berikut:

1. Kejang parsial dengan simtomatologi kompleks (psikomotor, lobus temporal).


Pasien dengan kejang ini muncul untuk menunjukkan peningkatan yang lebih besar
dibandingkan dengan jenis lain.

2. Umum tonik-klonik kejang (grand mal).

3. Pola kejang campuran yang meliputi di atas, atau lainnya kejang parsial atau
umum. Kejang tidak adanya (petit mal) tidak muncul untuk dikontrol oleh
carbamazepine.

Catatan: Karbamazepin biasanya tidak efektif dalam absensi (petit mal) dan kejang
mioklonik. Selain itu, bukti anekdotal menunjukkan bahwa kejang eksaserbasi dapat
terjadi pada pasien dengan absensi atipikal.
Dosis dan Penggunaan

Dewasa dan anak di atas 12 tahun: memulai pengobatan dengan 200 mg / hari
dalam dua dosis terbagi dan peningkatan pada interval mingguan dengan
penambahan sebesar 200 mg / hari sampai dengan total 800-1200 mg / hari. Jarang,
dosis yang lebih tinggi hingga 1800 mg / hari diperlukan.

Anak 6-12 tahun: mulai dengan 100 mg / hari dalam dua dosis terbagi dan
peningkatan pada interval mingguan dengan penambahan sebesar 100 mg / hari
sampai dengan total 600-1000 mg / hari.

Anak-anak di bawah 6 tahun: mulai dengan 10-20 mg / kg / hari dalam dua atau
tiga dosis terbagi dan peningkatan pada interval mingguan dengan penambahan
sebesar 10-20 mg / kg / hari sampai dengan dosis pemeliharaan tidak lebih dari 35
mg / kg / hari.

Ada perbedaan yang signifikan antara dosis karbamazepin diberikan sebagai


monoterapi dan yang digunakan dalam kombinasi dengan OAE lainnya. Dosis yang
lebih tinggi mungkin diperlukan dalam polytherapy dengan enzim-merangsang OAE,
yang meningkatkan metabolisme karbamazepin.

Dosis: dua atau tiga kali sehari.

Fluktuasi kadar carbamazepine dapat dikurangi dengan penggunaan sediaan lepas


lambat. Pembersihan carbamazepine pada anak-anak lebih cepat dibandingkan pada
orang dewasa dan karena itu tiga dan, kadang-kadang, empat kali dosis harian
mungkin diperlukan.

Obat terapi Monitoring: variasi dengan OAE lain bersifat substansial pada
konsentrasi plasma dan gejala keracunan karena epoksida carbamazepine dapat
terjadi tanpa peningkatan kadar carbamazepine.

Kisaran referensi: 3-12 mg / l (12-50 umol / l). Carbamazepine epoksida: sampai 9


umol / l.
Farmakokinetik

Oral bioavailabilitas: 75-85%. Hal ini dipengaruhi oleh asupan makanan.


Bioavailabilitas dapat dikurangi hingga 50% bila disimpan dalam kondisi lembab
panas. Formulasi slow release menunjukkan bioavailabilitas sekitar 15% lebih rendah
dari persiapan standar. Setelah pemberian oral, penyerapan relatif lambat dan sering
tidak menentu, mencapai konsentrasi plasma puncak dalam waktu jam 4-24; 75- 85%
dari awal carbamazepin ditelan. Penyerapan dan bioavailabilitas bervariasi antara
formulasi carbamazepine yang berbeda. Slow release formulasi menunjukkan
bioavailabilitas tentang 15% lebih rendah dari persiapan standar dan memiliki fase
penyerapan berkepanjangan. Formulasi obat dalam bentuk sirup mencapai
konsentrasi plasma maksimum lebih cepat dari tablet kunyah atau polos.

Ada variasi yang signifikan dalam konsentrasi plasma carbamazepine. Ini lebih
besar pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa, yang dapat mengakibatkan
ADR intermiten yang menuntut penyesuaian pada dosis harian.

Ikatan Protein: 66-89%.

Metabolisme: carbamazepine secara luas dimetabolisme dalam hati. Dominan


penghapusan jalur mengarah pada pembentukan carbamazepine 10,11-epoksida,
yang merupakan agen stabil dan aktif secara farmakologi dengan aktivitas anti-
epilepsi dan ADR sendiri. Epoksida carbamazepine membuat kontribusi lebih besar
untuk efek farmakologis (baik menguntungkan dan beracun) dari carbamazepine
pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa. Hal ini karena anak-anak
metabolisme karbamazepin lebih cepat daripada orang dewasa dan ini menyebabkan
konsentrasi epoksida carbamazepine mendekati orang-orang dari carbamazepine.

Carbamazepine adalah inducer enzim ampuh. Hal ini juga menyebabkan


metabolisme sendiri (autoinduction) dengan mensimulasikan aktivitas sitokrom P450
(CYP) subenzyme 3A4. Autoinduction biasanya selesai dalam 3-5 minggu. Waktu
paruh dari carbamazepine menurun jauh dari 18-55 jam untuk jam 6-18 sebagai
autoinduction berlangsung. Secara praktis, ini berarti bahwa tingkat carbamazepine
turun secara signifikan (sekitar 50%) setelah beberapa minggu pengobatan, yang
dapat mengakibatkan kejang kekambuhan dalam periode ini autoinduction.

Paruh eliminasi: 5-26 jam. Dalam pengobatan kombinasi, penghapusan paruh


carbamazepine dikurangi dengan induser enzim dan meningkat inhibitor enzim.

Dengan OAE lainnya

Metabolisme karbamazepin sangat diinduksi oleh OAE tertentu.

Enzim-inducing OAE, seperti fenobarbital, fenitoin dan primidone, menyebabkan


reduksi signifikan dalam konsentrasi plasma carbamazepine.

Valproate secara jelas meningkatkan kadar carbamazepine hingga epoksida


(kadang-kadang empat kali lipat) tanpa perubahan bersamaan konsentrasi
carbamazepine plasma.

Co-drugs dengan lamotrigin dapat menyebabkan gejala neurotoksik sakit kepala,


mual, diplopia dan ataksia, mungkin sebagai hasil dari interaksi farmakodinamik dan
tidak dengan meningkatkan epoksida carbamazepine (sebagai awalnya disarankan).
Sebaliknya, carmabazepine menurunkan kadar plasma lamotrigin.

Penggunaan seiring carbamazepine dan levetiracetam telah dilaporkan


meningkatkan toksisitas karbamazepin-diinduksi.

Dengan non-OAE

Mayor: carbamazepine meningkatkan metabolisme dan karena itu mengurangi


efektivitas berbagai obat, seperti kontrasepsi oral, teofilin, antikoagulan oral dan
beta-blocker.

Antibiotik makrolida, seperti eritromisin, menghambat metabolisme karbamazepin


dan telah dikaitkan dengan toksisitas carbamazepine. Toksisitas Karbamazepin
diamati sesaat setelah memulai terapi eritromisin, dengan cepat dibalik penarikan
dari antibiotik, tetapi bisa parah jika tidak diakui awal.
Terapi kombinasi dengan inhibitor monoamine oxidase harus dihindari, karena pinus
carbamaze memiliki kesamaan struktur dengan anti depresan trisiklik. Potensi:
cardiotoxicity aditif dengan calcium channel blockers dan beta-blocker.
2. Asam Valproat
Oleh : Monica Rizka Forma Nastiti

Prinsip pemakaian obat antiepilepsi adalah tercapainya keadaan bebas


kejang setelah pemberian obat antiepilepsi dengan dosis minimal, dengan efek
samping sangat sedikit atau bahkan tidak ada. Selain itu, pemberian obat
antiepilepsi pada anak sangat berbeda dalam farmakokinetik, dimana pada anak
memiliki perbedaan besar dalam hal absorpsi dan eliminasi obat antiepilepsi.
Dengan pemahaman yang baik mengenai efek samping masing-masing obat, dan
mempertimbangkan farmakokinetik tersebut membantu klinisi untuk memberikan
resep yang rasional.

Asam Valproat sebagai Anti Epilepsi

Asam valproat dengan struktur 2-propylpentanoic acid merupakan obat


antiepilepsi dengan spektrum luas. Asam valproat bersifat larut dalam air, dan
sangat higroskopis. Asam valproat diindikasikan pada hampir semua tipe epilepsi,
seperti absence, kejang tonik klonik, kejang mioklonik, spasme infantile, serta
kejang parsial. Pada sebuah studi didapatkan bahwa asam valproat merupakan
pilihan utama pada penderita epilepsi usia sekolah karena penggunaan asam
valproat jarang menyebabkan terjadinya gangguan fungsi kognitif. Selain itu,
kelebihan asam valproat juga memiliki potensi rendah dalam menimbulkan
eksaserbasi kejang. Kadar serum terapeutik asam valproat adalah 50 mg/L sampai
dengan 100 mg/L. Pada sebuah penelitian didapatkan bahwa pada konsentrasi
asam valproat dalam serum dibawah 50 g/mL kejang sudah terkontrol pada 60
% kasus. Beberapa efek samping yang terjadi akibat pemberian asam valproat
selalu dikaitkan dengan kadarnya dalam serum. Namun demikian, kadar serum
belum terbukti berhubungan dengan besar dosis yang diberikan.

Farmakokinetik

Sediaan dari asam valproat adalah intravena, oral yaitu tablet enteric
coated, sirup, serta supositoria. Farmakokinetik asam valproat pada anak berbeda
dengan orang dewasa, yaitu dengan bioavaibilitas lebih dari 90%, waktu untuk
mencapai level puncak adalah bervariasi, bergantung pada sediaan yaitu 0.5
sampai 1 jam untuk sirup, 0.5 sampai 2 jam untuk kapsul, 1 sampai 6 jam untuk
sediaan enteric coated, dan 3 sampai 6 jam untuk sediaan sprinkle capsule.
Volume distribusi 0.16 L per kg, dengan distribusi yang lebih luas dibandingkan
dengan obat antiepilepsi lainnya, yaitu sekitar 70% sampai dengan 93% berikatan
dengan protein serum.

Mekanisme kerja asam valproat adalah glukoronidasi, -oxidation pada


mitokondria, dan oksidasi melalui sitokrom P-450.19 Metabolit aktif dari asam
valproat yaitu 2-ene-valproic acid dan 4-ene-valproic acid menimbulkan efek
antikonvulsan. Eliminasi dari asam valproat berlangsung lebih singkat. Pada masa
bayi berlangsung antara 17 sampai dengan 40 jam, namun memasuki usia bayi
dan anak akan menurun yaitu 3 sampai 20 jam.

Farmakodinamik

Beberapa bukti menunjukan adanya kontrol yang baik terhadap kejang


dengan pemberian obat dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Namun hal tersebut
juga disertai dengan peningkatan risiko efek samping akibat penggunaan obat
dengan dosis yang lebih tinggi. Toleransi juga terjadi pada penggunaan asam
valproat melalui berbagai mekanisme. Salah satu mekanisme yang terjadi adalah
up regulation dan down regulation dari tempat ikatan reseptor, disamping itu
toleransi juga didapatkan melalui adaptasi, yaitu apabila digunakan secara kronik,
maka efek samping yang timbul pada masa awal akan menghilang.
3. Lamotrigin
Oleh : Febrina Fatima Safitry

Lamotrigin adalah 3,5-diamino-6- (2,3-dichlorophenyl) -sebagai-triazina dari


kelas Phenyltriazine. Obat ini pertama kali berlisensi untuk praktek klinis di 1991.
Lamotrigin adalah salah satu OAE baru yang cukup baik, meskipun sekarang ada
kekhawatiran untuk digunakan pada wanita dan epilepsi mioklonik.

Aplikasi Klinis

Dewasa dan remaja berusia tahun 13 ke atas: (a) Sebagai terapi tambahan atau
monoterapi kejang fokal dan kejang umum, termasuk kejang klonik tonik dan (b)
kejang terkait dengan sindrom Lennox Gastaut. Lamotrigin diberikan sebagai terapi
tambahan tetapi mungkin obat antiepilepsi awal untuk memulai dengan sindrom
Lennox Gastaut. (2) Anak-anak dan remaja berusia 2 untuk 12 tahun: (a) terapi
tambahan kejang parsial dan kejang umum, termasuk kejang klonik tonik dan kejang
berhubungan dengan sindrom Lennox Gastaut dan (b) monoterapi kejang tidak
adanya khas.

Keamanan dan efektivitas lamotrigin belum ditetapkan (1) sebagai monoterapi


awal; (2) untuk konversi ke monoterapi dari OAE selain carbamazepine, phenytoin,
fenobarbital, primidone, atau valproate; atau (3) untuk konversi stimulan untuk
monoterapi dari dua atau lebih OAE bersamaan.

Lamotrigin adalah OAE spektrum luas yang efektif untuk pengobatan semua jenis
kejang kecuali kejang mioklonik. Telah direkomendasikan untuk semua fokal atau
umum, idiopatik atau gejala sindrom epilepsi orang dewasa, anak-anak dan neonatus.
Pengecualian untuk ini adalah sindrom dengan kejang didominasi mioklonik.

Dalam monoterapi kejang fokal dan terutama GTCSs, lamotrigin memiliki khasiat
kurang dari carbamazepine tetapi ditoleransi lebih baik. Kesimpulan dari meta-
analisis ini dan laporan membandingkan lamotrigin dan carbamazepine telah
diperdebatkan.
Dalam polytherapy, lamotrigin di memiliki kemanjuran terbaik bila
dikombinasikan dengan valproate, karena interaksi farmakodinamik menguntungkan
(peningkatan keberhasilan terapi), meskipun juga dapat merugikan (peningkatan
risiko ADR dan efek teratogenik). Kombinasi ini mungkin ideal untuk epilepsi umum
yang resistan terhadap obat termasuk mereka dengan kejang mioklonik. Biasanya,
dosis kecil lamotrigin ditambahkan ke valproate dapat membuat pasien yang
sebelumnya tidak terkontrol menjadi bebas kejang.

Keuntungan utama lainnya adalah bahwa ia tidak memiliki ADRs kognitif dan
pengurangan frekuensi kejang yang signifikan dibandingkan dengan obat non-
penenang.

Dosis dan Penggunaan

Dewasa dan anak di atas 12 tahun (monoterapi): mulai dengan 25 mg sekali


sehari selama 2 minggu, diikuti oleh 50 mg sekali sehari selama 2 minggu. Setelah
itu, dosis harus ditingkatkan oleh maksimal 50-100 mg setiap 1 atau 2 minggu
sampai respon yang optimal dicapai. Dosis pemeliharaan biasa untuk mencapai
respon yang optimal adalah 100-200 mg / hari diberikan sekali sehari atau dua dosis
terbagi. Beberapa pasien telah diperlukan 500 mg / hari untuk mencapai respon yang
diinginkan.

Dewasa dan anak di atas 12 tahun (add-on terapi dengan valproate): mulai
dengan 25 mg setiap hari alternatif untuk 2 minggu, diikuti oleh 25 mg sekali sehari
selama 2 minggu. Setelah itu, dosis harus ditingkatkan oleh maksimal 25-50 mg
setiap 1 atau 2 minggu sampai respon yang optimal dicapai. Dosis pemeliharaan
biasa untuk mencapai respon yang optimal adalah 100-200 mg / hari diberikan sekali
sehari atau dua dosis terbagi.

Dewasa dan anak di atas 12 tahun (add-on terapi dengan enzim-inducing


OAE): mulai dengan 50 mg sekali sehari selama 2 minggu, diikuti oleh 100 mg / hari
diberikan dalam dua dosis terbagi untuk 2 minggu. Setelah itu, dosis harus
ditingkatkan oleh maksimal 100 mg setiap 1 atau 2 minggu sampai respon yang
optimal dicapai. Dosis pemeliharaan biasa untuk mencapai respon yang optimal
adalah 200-400 mg / hari diberikan dalam dua dosis terbagi. Beberapa pasien telah
diperlukan 700 mg / hari untuk mencapai respon yang diinginkan.

Anak-anak berusia 2-12 tahun (dengan valproate co-obat): memulai


pengobatan dengan 0.15 mg / kg diberikan sekali sehari selama 2 minggu, diikuti
oleh 0.3 mg / kg diberikan sekali sehari selama 2 minggu. Setelah itu, dosis harus
ditingkatkan oleh maksimal 0.3 mg / kg setiap 1 atau 2 minggu sampai respon yang
optimal dicapai. Dosis pemeliharaan biasa untuk mencapai respon yang optimal
adalah 1-5 mg / kg diberikan sekali sehari atau dua dosis terbagi.

Anak-anak berusia 2-12 tahun (co-obat dengan enzymeinducing OAE): mulai


dengan 0.6 mg / kg / hari diberikan dalam dua dosis terbagi untuk 2 minggu, diikuti
oleh 1.2 mg / kg / hari selama 2 minggu. Setelah itu, dosis harus ditingkatkan oleh
maksimal 1.2 mg / kg setiap 1 atau 2 minggu sampai respon yang optimal dicapai.
Dosis pemeliharaan biasa untuk mencapai respon yang optimal adalah 5-15 mg / kg /
hari dalam dua dosis terbagi.

Catatan penting

Konversi ke monoterapi dari polytherapy dengan valproate atau dengan


OAE enzim-inducing harus mengikuti pedoman yang tepat disediakan oleh produsen
lamotrigin.

Kisaran referensi:1-15 mg / l (10-60 umol / l).

Farmakokinetik

Protein mengikat:55%.

Metabolisme: lamotrigin terutama dimetabolisme di hati oleh konjugasi asam


glukuronat. UGT1A4 adalah enzim utama yang bertanggung jawab untuk N-
glucuronidation lamotrigin. Metabolit utama adalah tidak aktif 2-N-glukuronida
konjugasi. Lamotrigin adalah inducer enzim UGT lemah.

Paruh eliminasi: 29 jam, tapi ini sangat dipengaruhi oleh obat bersamaan. Berarti
waktu paruh berkurang menjadi sekitar jam 14 ketika diberikan dengan obat enzim-
inducing dan meningkat menjadi rata-rata jam sekitar 70 ketika diberikan bersama
valproate saja. Valproate adalah inhibitor poten metabolisme UGT-dependent
lamotrigin, sementara OAE enzim-inducer inducers ampuh metabolisme tergantung
UGT lamotrigin, yang merupakan alasan untuk skema yang berbeda dari dosis
lamotrigin dan titrasi bila dikombinasikan dengan OAE ini.

Selain itu, paruh lamotrigin umumnya lebih pendek pada anak-anak dibandingkan
pada orang dewasa, dengan nilai rata-rata jam sekitar 7 ketika diberikan dengan
enzymeinducing obat dan meningkatkan berarti nilai jam 45-50 ketika dikelola
dengan valproate saja.

Interaksi obat

Metabolisme lamotrigin sangat terpengaruh oleh OAE bersamaan, yang membuat


penggunaannya dalam polytherapy bermasalah:

Valproate menghambat metabolisme lamotrigin, dua kali lipat atau tiga


kali lipat paruhnya,apakah diberikan dengan atau tanpa carbamazepine, phenytoin,
fenobarbital atau primidone. Juga, valproate tampaknya mengurangi induksi
metabolisme lamotrigin terkait dengan kehamilan atau penggunaan kontrasepsi.
Induser enzim, seperti carbamazepine, phenytoin, dan fenobarbital,
mempercepat eliminasi, tetapi lamotrigin sendiri tidak berpengaruh pada proses
metabolisme hepatik

Ketika lamotrigin ditambahkan ke carbamazepine, gejala carbamazepine


neurotoksisitas (sakit kepala, diplopia, ataksia) dapat terjadi (mungkin karena
interaksi farmakodinamik daripada tingkat carbamazepine epoksida tinggi); ini
memerlukan pengurangan dosis carbamazepine ketika lamotrigin diperkenalkan.

Oxcarbazepine dan levetiracetam tidak mempengaruhi clearance lamotrigin.


4. Fenitoin
Oleh: Nidya Fatimah Sugiarti

Fenitoin (5-5-diphenylhydantoin) pertama kali disintesis tahun 1908 oleh


Heinrich Biltz ahli kimia berkebangsaan Jerman. Biltz menjual penemuannya ke Parke-
Davis, namun tidak menemukan kegunaan langsung obat tersebut. Ilmuwan lain
termasuk Houston Merritt dan Tracy Putnam di tahun 1938 menemukan kegunaan
fenitoin untuk mengendalikan serangan epilepsi grandmal dan psikomotor pada
penelitian mereka dengan manusia

Farmakokinetik

Sebagian besar obat-obatan dengan aksi pada sistem saraf pusat diberikan dengan
cara ditelan, sehingga kita harus mempertimbangkan faktor-faktor yang menentukan
absorbsi usus. Molekul-molekul kecil biasanya masuk ke dalam plasma dengan cara
difusi, sebagian besar dengan pinositosis. Absorbsi obat dan konsentrasinya dalam
darah dipengaruhi oleh makanan, obat lain yang diminum, penyakit-penyakit usus
dan umur pasien.

Obat (atau racun) di dalam darah akan sampai ke berbagai jaringan, termasuk
sistem saraf, sehingga ikatan protein dalam plasma berpengaruh penting dalam
distribusinya. Banyak obat-obatan dan toksin yang berikatan dengan albumin serum dan
protein serum lainnya, membatasi adanya bentuk ionisasi. Transformasi obat-obatan dan
toksin umumnya meliputi proses hidroksilasi, deaminasi, oksidasi dan dealkilasi, yang
meningkatkan solubilitasnya dan eliminasinya melalui ginjal. Proses katalisis paling
banyak terjadi di hepar dan menggunakan banyak enzim.

Untuk masuk ke dalam ruang ekstraseluler sistem saraf, obat atau racun harus
melewati endotel kapiler yang rapat (dikenal sebagai Blood Brain Barier) dan sawar
antara darah dan cairan serebrospinal. Pemberian dengan injeksi intratekal dapat
menghindari sawar tersebut, namun pemberian dengan intratekal menyebabkan obat-
obatan cenderung berkonsentrasi di daerah- daerah subpial dan subependimal. Proses
perpindahan dari plasma ke otak dengan cara difusi melalui kapiler atau fasilitas
transpor.

Absorbsi

Absorbsi fenitoin tergantung cara pemberiannya apakah peroral atau suntikan.


Absorbsi fenitoin di dalam lambung sangat sedikit karena fenitoin tidak larut dalam
lambung yang bersifat asam. Absorbsi fenitoin yang diberikan per oral berlangsung
lambat, dan sesekali tidak lengkap. Pemberian 10% dosis yang diberikan per oral
diekskresi bersama tinja dalam bentuk yang utuh, pada duodenum yang mempunyai PH
7-7,5 fenitoin lebih mudah larut. Absorbsi maksimal terjadi di duodenum sedangkan di
yeyunum dan ileum lebih lambat, lalu dikolon sangat sedikit, dan di rektum tidak terjadi
absorbsi. Kadar puncak pemberian peroral dicapai dalam 4-8 jam setelah pemberian, ada
yang menyebutkan 3-12 jam. Bila memerlukan pemberian dosis awal dengan bolus,
diberikan dosis 600- 800 mg, dalam dosis terbagi antara 8-12 jam, kadar efektif plasma
akan tercapai dalam waktu 24 jam. Pemberian fenitoin secara intra muskular
menyebabkan fenitoin mengendap di tempat suntikan kira-kira 5 hari, dan absorpsinya
berlangsung lambat dari pada pemberian peroral. Hal tersebut disebabkan kelarutan
dalam air sedikit sehingga terbentuk kristal fenitoin didalam otot. Fenitoin didistribusi ke
berbagai jaringan tubuh dalam kadar yang berbeda-beda, setelah suntikan intra vena,
kadar yang terdapat dalam otak, otot skelet dan jaringan lemak lebih rendah daripada
kadar yang berada di dalam hati, ginjal dan kelenjar ludah.

Distribusi dan Biotransformasi

Pengikatan fenitoin oleh protein, terutama oleh albumin plasma kira- kira 90%.
Orang sehat, termasuk wanita hamil dan wanita pemakai obat kontrasepsi oral, fraksi
bebasnya kira-kira 10%, sedangkan diketahui bahwa efek farmakologik fenitoin hanya
tergantung dari bentuk bebasnya. Pasien dengan penyakit ginjal, penyakit hati atau
penyakit hepatorenal dan pada neonatal fraksi bebasnya rata-rata di atas 15%. Pada
pasien epilepsi, fraksi bebas berkisar antara 5,8%-12,6%.
Distribusi obat ke berbagai bagian tubuh ternyata tidak sama, misalnya
konsentrasi fenitoin di otak ternyata 1-3 kali dari konsentrasi di plasma. Juga diketahui
bahwa beberapa obat yang mempunyai sifat yang sama dengan fenitoin, yaitu terikat
dengan protein plasma, apabila obat tersebut diminum bersama fenitoin maka akan
menjadi kompetisi untuk mengikat albumin, tergantung afinitas terhadap albumin mana
yang lebih kuat. Keadaan ini akan mengakibatkan peningkatan bentuk bebas dari
fenitoin, akibat ikatan dengan albumin diduduki oleh obat lain. Obat obat tersebut antara
lain : tiroksin, triidotironin, asam salisilat, fenilbutason, sulfafurazol, kumarin, dan
azetazolamide. Volume distribusi fenitoin lebih kurang 64% dari berat badan, tapi sekitar
7 (tujuh) kali lebih besar bila dihitung dengan kadar obat bebas. Waktu paruh pemberian
fenitoin peroral 18-24 jam sedangkan untuk mencapai kadar optimal (steady state)
adalah 5-10 hari.

Fenitoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga kerjanya dapat bertahan lebih
lama, tetapi mula kerja lebih lambat daripada fenobarbital. Biotransformasi terutama
berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh enzim mikrosom hati. Hasil metabolitnya
berupa parahidrobutanil yang sudah tidak mempunyai kasiat anti epilepsi.
Fenobarbital mempunyai sifat enzimatic inducer, sehingga mengakibatkan penurunan
aktivitas fenitoin, dan inilah salah satu kerugian pemberian poli terapi, demikian juga
dengan karbamazepin dan valproat, dikatakan menurunkan kadar fenitoin. 8,21

Ekskresi

Hampir sebagian besar metabolit fenitoin diekskresi bersama empedu, kemudian


mengalami reabsorbsi dan biotransformasi lanjutan dan diekskresi melalui ginjal.
Ekskresi di ginjal, metabolit utamanya mengalami sekresi oleh tubuli, sedangkan bentuk
utuhnya mengalami reabsorbsi. Metabolit akhir sifatnya larut dalam air. Eksresi melalui
feses hanya sebagian kecil saja. Eksresi lengkap dari fenitoin terjadi setelah 72-120 jam.
Farmakodinamik

Terdapat dua mekanisme antikonvulsi yang penting yaitu (1) Mencegah


timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam fokus epilepsi; (2)
Mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus
epilepsi.

Mekanisme kerja obat antiepilepsi hanya sedikit yang dimengerti secara baik.
Berbagai obat antiepilepsi diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologi otak,
terutama yang mempengaruhi sistem inhibisi yang melibatkan GABA dalam
mekanisme kerja berbagai antiepilepsi. Golongan hidantoin dikenal tiga senyawa
antikonvulsi: fenitoin (diphenilhidantoin), mefenitoin dan etotoin dengan fenitoin sebagai
prototipe. Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi, kecuali
bangkitan lena, adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada atom C5 penting untuk
efek pengendalian bangkitan tonik-klonik, sedangkan gugus alkil berkaitan dengan efek
sedasinya. Adanya gugus metil pada atom N3 akan mengubah spektrum ak- tivitas
misalnya mefenitoin, dan hasil N demetilasi oleh enzim mikrosom hati menghasilkan
metabolit yang tidak aktif.

Bangkitan tonik-klonik dan beberapa bangkitan parsial dapat pulih secara


sempurna oleh obat fenitoin, sedangkan gejala aura sensorik dan gejala prodromal
lainnya tidak dapat dihilangkan secara sempurna oleh fenitoin.

Fenitoin dimetabolisir di hepar oleh enzim mikrosomal. Karena itu biasanya


obat yang berpengaruh terhadap enzim tersebut dapat merubah kadar fenitoin dalam
plasma, baik secara kompetitif maupun yang dimetabolisir oleh enzim yang sama, atau
justru obat yang memacu enzim mikrosomal. Adanya malfungsi hepar merupakan
predisposisi untuk terjadinya interaksi obat fenitoin. Dalam kaitan dengan ini, faktor
renal justru tidak merupakan faktor penting oleh karena sebagian besar obat
dimetabolisir di hepar. Kadar fenitoin pada penderita uremia kronik menjadi lebih tinggi,
dan waktu paruhnya lebih panjang.
Cara kerja utama fenitoin pada epilepsi adalah memblokade pergerakan ion
melalui kanal natrium dengan menurunkan aliran ion Na+ yang tersisa maupun aliran ion
Na+ yang mengalir selama penyebaran potensial aksi, selain itu fenitoin memblokade
dan mencegah potensiasi pos tetanik, membatasi perkembangan aktivitas serangan yang
maksimal dan mengurangi penyebaran serangan. Fenitoin berefek sebagai stabilisasi pada
semua membran neuronal, termasuk saraf perifer dan mungkin bekerja pada
membran yang eksitabel (mudah terpacu) maupun yang tidak eksitabel.

Fenitoin juga dapat menghambat kanal kalsium (Ca+) dan menunda aktifasi
aliran ion K keluar selama potensial aksi, sehingga menyebabkan kenaikan periode
refractory dan menurunnya cetusan ulangan. 22

Interaksi Obat

Obat yang dapat menambah efek fenitoin

1. Asam salisilat : Mekanismenya sebenarnya masih belum jelas. Mungkin dapat


menaikkan kadar isoniazid yang mampu untuk merusak metabolisme fenitoin. Namun
obat ini sendiri tidak nampak terlihat dapat mengganggu metabolisme dari fenitoin.

2. Bishidroksikoumarin (BHC): Menghambat parahidroksilasi fenitoin di hepar.


Fenitoin memacu metabolisme bishidroksikoumarin karena diinduksi enzim.

3. Khloramfenikol: Menghambat metabolisme fenitoin pada enzim mikrosomal hati.

4. Khlordiazepoksid : menghambat metabolisme fenitoin.

5. Khlorpromazin : menghambat metabolisme fenitoin.

6. Diazepam : menghambat metabolisme fenitoin.

7. Disulfiram: menghambat metabolisme fenitoin di hepar.

8. Estrogen : menghambat metabolisme fenitoin.

9. Isoniazid : menghambat metabolisnie fenitoin di hepar.


10. Metilfenidat : menghambat metabolisme fenitoin.

11. Amfetamin : mengganggu absorpsi fenitoin dari gastrointestinal.

12. Fenilbutazon :menghambat metabolisme fenitoin.

13. Feniramidol : menghambat metabolisme fenitoin di hepar.

14. Prokhlorperazin : menghambat metabolisme fenitom.

15. Salisilat : Salisilat mendesak fenitoin dan ikatannya dalam protein plasma
sehingga menaikkan kadar fenitoin bebas.

16. Sulfonamid sulfafenazol : menghambat metabolisme fenitoin.

17. Sultiam : menghambat metabolisme fenitoin di hepar. Setelah sultiam diberikan


seminggu, kadar fenitoin dalam darah naik.

18. Halotan : menimbulkan hepatotoksik, dan ini akan


mengganggu metabolisme fenitoin di hepar.

Obat-obat yang dapat mengurangi efek fenitoin

1. Etilalkohol (etanol) : menginduksi enzim mikrosomal hati sehingga dapat


menyebabkan metabolisme fenitoin naik.

2. Asam folat : menaikkan metabolisme fenitoin, sehingga menurunkan kadar


fenitoin dalam serum.

3. Fenobarbital : Disini sebetulnya ada dua kemungkinan

i. Induksi enzim, sehingga metabolisme fenitoin naik.

ii. Secara kompetitif menghambat metabolisme fenitoin.

Pada dosis normal fenobarbital, terjadi induksi enzim. Sedang pada dosis besar, a
tau pada dosis normal tapi fungsi hepar jelek, kadar fenitoin dalam serum naik.
Dosis Fenitoin

Dosis terapi pemberian oral fenitoin pada orang dewasa 3-5 mg/KgBB/hari,
dengan dosis awal dewasa, 3-5 mg/kg/hari dapat diberikan dalam 2 atau 3 kali pemberian
dengan dosis terbagi, selanjutnya dosis disesuaikan perorangan maksimum 300-400 mg
perhari. Dosis pasien dewasa yang belum pernah diterapi dapat dimulai dengan dosis 100
mg, dengan pemberian 3 kali sehari, lalu dosis kemudian disesuaikan dengan kebutuhan
perorangan. Pada sebagian besar orang dewasa, dosis pemeliharaan yang
direkomandasikan 4-8 mg/kg/hari atau 3-4 kapsul sehari (300-400 mg), dan bila perlu
dapat dinaikkan menjadi 6 kapsul sehari. Dosis Alternatif bagi orang dewasa 300 mg
dapat dipertimbangkan jika pengendalian serangan telah dicapai dalam dosis terbagi
menjadi 3x100 mg kapsul sehari. Dosis letal pada dewasa diperkirakan 2-5 gram/hari,
dengan gejala awal seperti nistagmus, ataksia. Tanda lainnya adalah tremor, hiperfleksi,
letargi, gagap, mual, muntah.2,8,10 Terdapat variasi kadar plasma fenitoin pada
masing- masing individu, dimana dapat terjadi efek toksik seperti nistagmus (dengan
gerakan mata ke lateral) yang biasanya muncul pada dosis 20 g/mL, ataksia pada dosis
30 g/mL, disatria dan lethargi muncul ketika konsentrasi plasma lebih dari 40 g/mL,
tetapi setinggi konsentrasi 50 g/mL belum pernah dilaporkan terjadi toksisitas.

Dosis terapi pemberian oral fenitoin pada anak-anak 4-8mg/kgBB/hari, dengan


dosis awal dapat diberikan 5 mg/KgBB/hari, dan dosis pemeliharaan 5- 15mg/KgBB/hari
dengan frekuensi pemberian 1-2 kali/hari. Dosis letal pada anak tidak diketahui. Anak-
anak diatas usia 6 tahun dapat diberi dosis dewasa (300 mg/hari). Jika dosis harian tidak
dapat dibagi rata, dosis yang lebih besar dapat diberi sebelum efek habis. Dosis pediatrik
tersedia dalam 30 mg kapsul, 50 mg sirup dengan rasa, atau suspensi oral
mengandung 30 mg fenitoin setiap 5 mL.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Terapi antiepilepsi dengan menggunakan obat-obat antikonvulsan dilakukan dengan


mempertimbangkan setiap konsekuensi dari masing-masing pilihan terapi.
Pertimbangan yang dilakukan berdasarkan usia, jenis kelamin, jenis epilepsi, faktor
bangkitan epilepsi dan riwayat pengobatan sebelumnya.
Diutamakan penggunaan terapi tunggal (monoterapi) untuk pengobatan epilepsi, namun
bila kurang efektif, maka dapat dilaksanakan terapi kombinasi.
Terapi kombinasi dilakukan sangat hati-hati karena memilki risiko tinggi dan tingkat
interaksi antar obat yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Panayiotopoulos, CP, "Karbamazepin." ICNApedia: Anak Neurology Pengetahuan Lingkungan,

Inc. Oktober 16, 2015. Web. November 28,2016 11: 27: 10

Panayiotopoulos, CP, "Lamotrigin." ICNApedia: The Child Neurology Pengetahuan

Lingkungan, Inc. Oktober 24, 2015. Web. Desember 01,2016 06: 05: 44

Carlos, AM. 2015. Skripsi: Terapi Epilepsi Bagi Pediatrik. Yogyakarta: Universitas Gadjah

Mada.

Berliana, L. 2013. Skripsi: Efektivitas Asam Valproat dalam Terapi Kombinasi dengan Obat

Anti Epilepsi. Medan: Universitas Sumatera Utara

Antonius. 2012. Skripsi Penggunaan Fenitoin terhadap Pasien Hiperplasia Ginggiva. Semarang:

Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai