FARMASI FISIK
Disusun Oleh :
Kelompok VIII
UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI FARMASI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu kelainan otak kronis
dengan berbagai macam penyebab yang ditandai serangan epilepsi berulang yang disebabkan
oleh bangkitan neuron otak yang berlebihan. Gangguan ini sering dihubungkan dengan
disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penderitanya. Di
samping itu juga dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi,
stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik
(WHO, 2001). Gambaran klinisnya dapat berupa kejang, perubahan tingkah laku, perubahan
kesadaran. Kondisi ini tergantung lokasi kelainan di otak (Rahardjo, 2008). ).
Obat Anti Epilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi. Tujuan
pengobatan epilepsi dengan OAE adalah untuk menghindari terjadinya serangan epilepsi
selanjutnya dengan efek samping yang minimal (Wibowo & Gofir, 2006). Terapi pilihan lainnya
termasuk perubahan pola makan, menghindari faktor pencetus (contohnya alkohol atau kurang
tidur), penanaman saraf stimulator dan pembedahan (Gidal dkk, 2005). Pemilihan OAE pada
bukanlah tugas yang sederhana. Banyak variabel yang harus dipertimbangkan antara lain jenis
epilepsi, efikasi/efektivitas, efek samping, farmakokinetik, formulasi, latar belakang genetik,
jenis kelamin, usia, komorbiditas, status sosial ekonomi, ketersediaan dan biaya OAE (Glauser
dkk, 2006). OAE monoterapi menjadi pilihan dalam memulai pengobatan epilepsi, karena
sebagian besar pasien berhasil dikontrol dengan obat monoterapi pertama atau kedua yang
diberikan. Penggunaan monoterapi dapat mengurangi potensial interaksi obat dan efek toksik
yang merugikan (Louis dkk, 2009). Sebagian besar pasien epilepsi merespon pengobatan dengan
monoterapi, 47% pasien menjadi bebas kejang dengan percobaan OAE pertama dan 13%
mencapai bebasan kejang dengan percobaan monoterapi kedua (Kwan & Brodie, 2000).
Penggunaan politerapi baru dapat dipertimbangkan ketika pasien gagal dua atau lebih dengan
monoterapi (WHO, 2009).
1.2 Tinjauan Pustaka
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya
bangkitan yang bersifat spontan (tidak ada penyebab) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan
sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari
sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Istilah epilepsi tidak boleh
digunakan untuk bangkitan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung, dan kejang tidak
berkala misalnya kejang atau bangkitan pada hipoglikemi (Harsono, 2007a).
Epilepsi ditemukan pada semua umur dan dapat menyebabkan mortalitas, terdapat sekitar 50 juta
orang dengan epilepsi di dunia. WHO (2001) menyebutkan bahwa kejadian epilepsi di negara
maju berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per 100.000 ribu.
Diperkirakan ada 1-2 juta penderita epilepsi di Indonesia. Prevalensi epilepsi di indonesia adalah
5-10 kasus per 1.000 orang dan insidensi sebanyak 50 kasus per 100.000 orang per tahun
(Harsono, 2007a). Epilepsi dapat menyerang pada laki-laki ataupun perempuan. Secara umum
diperkirakan ada 2,4 juta kasus baru setiap tahun, dan 50% kasus terjadi pada masa kanak-kanak
atau remaja (WHO,2006). Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai
umur 50 tahun, dan setelah itu meningkat lagi (Ikawati, 2011). Kajian Pinzon (2006) terhadap
penelitian terdahulu menunjukkan insidensi epilepsi pada anak-anak adalah tinggi dan memang
merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok usia tersebut, bahkan dari tahun ke tahun
ditemukan bahwa prevalensi epilepsi pada anak-anak cenderung meningkat. Penelitian Heaney
dkk (2002) di Inggris dilakukan secara prospektif terhadap 369.283 orang, sepanjang
pengamatan dijumpai 190 kasus baru epilepsi, 65 diantaranya (34,2%) dimulai saat pada usia
<14 tahun. Hasil menyebutkan bahwa penyandang epilepsi masih sangat banyak, hal ini juga
akan menimbulkan dampak sosial masyarakat bagi penyandangnya (Heaney dkk,2002).
Dasar serangan epilepsi adalah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps.
Setiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan oleh
adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas
selektif membran neuron yaitu perbedaan konsentrasi ion-ion seperti K, Na, Ca, Cl (Shih, 2007).
Menurut Shorvon (2001) dan Deliana (2002) ditinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi
menjadi 3 golongan, yaitu :
1). Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui meliputi
50% dari penderita epilepsi anak, umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan
biasanya pada usia >3 tahun.
2). Epilepsi simptomatik disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat,
misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik,
malformasi otak kongenital, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),
kelainan neurodegeneratif dan kejang demam.
1). Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum
alkohol atau mengalami cedera (trauma) atau mendapat penyinaran (radiasi).
2). Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir
ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan (forsep), atau trauma lain pada otak bayi
3). Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Kejang-kejang
dapat timbul pada saat terjadi cedera kepala, atau baru terjadi 2-3 tahun kemudian. Bila
serangan terjadi berulang pada saat yang berlainan baru dinyatakan sebagai penyandang
epilepsi.
4). Tumor otak, merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum, terutama pada anak-
anak.
5). Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
6). Radang atau infeksi. Radang selaput otak (meningitis) atau radang otak dapat
menyebabkan epilepsi.
7). Penyakit keturunan seperti fenilketonuria. Sklerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan timbulnya kejang yang berulang.
8). Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan ambang
rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak. Kecenderungan
timbulnya epilepsi yang diturunkan biasanya terjadi pada masa anak-anak (Harsono,
2005).
Epilepsi dapat kambuh kembali dikarenakan beberapa faktor. Faktor pencetus timbulnya
serangan pada penderita epilepsi, diantaranya yaitu : gangguan emosional, stress, tidur, haid,
cahaya tertentu. Faktor yang lainnya yaitu faktor makan dan minum, suara tertentu, membaca,
drug abuse, lupa atau enggan minum obat, faktor hiperventilasi dan suhu tubuh penyandangnya
(Harsono, 2001).
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan daripada
proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran
konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion-channel opening, dan menguatnya sinkroni
neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar masuk ion-
ion menembus membran neuron (Harsono, 2007a). Serangan epilepsi akan muncul apabila
sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan
dengan cetusan potensial aksi secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini
kemudian menstimulasi neuron-neuron sekitarnya atau neuron-neuron yang terkait di dalam
proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar
neuron abnormal muncul secara bersama-sama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam
otak (Harsono, 2007a).
Terapi epilepsi tidak hanya berdasarkan atas diagnosa yang tepat, jenis serangan juga
harus ditentukan. Menurut Gidal dkk (2005) klasifikasi epilepsi berdasarkan tanda-tanda klinik
dan data EEG, dibagi menjadi:
1). Kejang umum (generalized seizure)
Jika aktivasi terjadi pada kedua hemisfere otak secara bersama-sama. Kejang
umum terbagi atas:
Jenis yang jarang dijumpai ini umumnya hanya terjadi pada masa anak-
anak atau awal remaja. Kesadaran hilang beberapa detik, ditandai dengan
terhentinya percakapan untuk sesaat. Penderita tiba-tiba melotot atau matanya
berkedip-kedip dengan kepala terkulai.
c). Mioklonik
Serangan ini biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien
mengalami sentakan yang tiba-tiba.
d). Atonik
Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung oleh data
yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan epilepsi pada neonatus
misalnya gerakan mata ritmis, dan gerakan mengunyah serta berenang.
BAB II
PEMBAHASAN
1). Pengobatan dilakukan bila terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun
2). Pengobatan dimulai diberikan bila diagnosa telah ditegakkan dan setelah
penyandang dan atau keluarganya menerima penjelasan tujuan pengobatan dan
kemungkinan efek samping
5). Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis
efektif tercapai
6). Pada prinsipnya pengobatan dimulai dengan obat antiepilepsi lini pertama. Bila
diperlukan penggantian obat, obat pertama diturunkan bertahap dan obat kedua dinaikkan
secara bertahap
8). Bila memungkinkan dilakukan pemantauan kadar obat sesuai indikasi (Kustiowati
dkk, 2003).
b. Pilihan Terapi Untuk Berbagai Tipe Bangkitan
1. Carbamazepin
Oleh: Benediktus Wastu Paramabodhi
3. Pola kejang campuran yang meliputi di atas, atau lainnya kejang parsial atau
umum. Kejang tidak adanya (petit mal) tidak muncul untuk dikontrol oleh
carbamazepine.
Catatan: Karbamazepin biasanya tidak efektif dalam absensi (petit mal) dan kejang
mioklonik. Selain itu, bukti anekdotal menunjukkan bahwa kejang eksaserbasi dapat
terjadi pada pasien dengan absensi atipikal.
Dosis dan Penggunaan
Dewasa dan anak di atas 12 tahun: memulai pengobatan dengan 200 mg / hari
dalam dua dosis terbagi dan peningkatan pada interval mingguan dengan
penambahan sebesar 200 mg / hari sampai dengan total 800-1200 mg / hari. Jarang,
dosis yang lebih tinggi hingga 1800 mg / hari diperlukan.
Anak 6-12 tahun: mulai dengan 100 mg / hari dalam dua dosis terbagi dan
peningkatan pada interval mingguan dengan penambahan sebesar 100 mg / hari
sampai dengan total 600-1000 mg / hari.
Anak-anak di bawah 6 tahun: mulai dengan 10-20 mg / kg / hari dalam dua atau
tiga dosis terbagi dan peningkatan pada interval mingguan dengan penambahan
sebesar 10-20 mg / kg / hari sampai dengan dosis pemeliharaan tidak lebih dari 35
mg / kg / hari.
Obat terapi Monitoring: variasi dengan OAE lain bersifat substansial pada
konsentrasi plasma dan gejala keracunan karena epoksida carbamazepine dapat
terjadi tanpa peningkatan kadar carbamazepine.
Ada variasi yang signifikan dalam konsentrasi plasma carbamazepine. Ini lebih
besar pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa, yang dapat mengakibatkan
ADR intermiten yang menuntut penyesuaian pada dosis harian.
Dengan non-OAE
Farmakokinetik
Sediaan dari asam valproat adalah intravena, oral yaitu tablet enteric
coated, sirup, serta supositoria. Farmakokinetik asam valproat pada anak berbeda
dengan orang dewasa, yaitu dengan bioavaibilitas lebih dari 90%, waktu untuk
mencapai level puncak adalah bervariasi, bergantung pada sediaan yaitu 0.5
sampai 1 jam untuk sirup, 0.5 sampai 2 jam untuk kapsul, 1 sampai 6 jam untuk
sediaan enteric coated, dan 3 sampai 6 jam untuk sediaan sprinkle capsule.
Volume distribusi 0.16 L per kg, dengan distribusi yang lebih luas dibandingkan
dengan obat antiepilepsi lainnya, yaitu sekitar 70% sampai dengan 93% berikatan
dengan protein serum.
Farmakodinamik
Aplikasi Klinis
Dewasa dan remaja berusia tahun 13 ke atas: (a) Sebagai terapi tambahan atau
monoterapi kejang fokal dan kejang umum, termasuk kejang klonik tonik dan (b)
kejang terkait dengan sindrom Lennox Gastaut. Lamotrigin diberikan sebagai terapi
tambahan tetapi mungkin obat antiepilepsi awal untuk memulai dengan sindrom
Lennox Gastaut. (2) Anak-anak dan remaja berusia 2 untuk 12 tahun: (a) terapi
tambahan kejang parsial dan kejang umum, termasuk kejang klonik tonik dan kejang
berhubungan dengan sindrom Lennox Gastaut dan (b) monoterapi kejang tidak
adanya khas.
Lamotrigin adalah OAE spektrum luas yang efektif untuk pengobatan semua jenis
kejang kecuali kejang mioklonik. Telah direkomendasikan untuk semua fokal atau
umum, idiopatik atau gejala sindrom epilepsi orang dewasa, anak-anak dan neonatus.
Pengecualian untuk ini adalah sindrom dengan kejang didominasi mioklonik.
Dalam monoterapi kejang fokal dan terutama GTCSs, lamotrigin memiliki khasiat
kurang dari carbamazepine tetapi ditoleransi lebih baik. Kesimpulan dari meta-
analisis ini dan laporan membandingkan lamotrigin dan carbamazepine telah
diperdebatkan.
Dalam polytherapy, lamotrigin di memiliki kemanjuran terbaik bila
dikombinasikan dengan valproate, karena interaksi farmakodinamik menguntungkan
(peningkatan keberhasilan terapi), meskipun juga dapat merugikan (peningkatan
risiko ADR dan efek teratogenik). Kombinasi ini mungkin ideal untuk epilepsi umum
yang resistan terhadap obat termasuk mereka dengan kejang mioklonik. Biasanya,
dosis kecil lamotrigin ditambahkan ke valproate dapat membuat pasien yang
sebelumnya tidak terkontrol menjadi bebas kejang.
Keuntungan utama lainnya adalah bahwa ia tidak memiliki ADRs kognitif dan
pengurangan frekuensi kejang yang signifikan dibandingkan dengan obat non-
penenang.
Dewasa dan anak di atas 12 tahun (add-on terapi dengan valproate): mulai
dengan 25 mg setiap hari alternatif untuk 2 minggu, diikuti oleh 25 mg sekali sehari
selama 2 minggu. Setelah itu, dosis harus ditingkatkan oleh maksimal 25-50 mg
setiap 1 atau 2 minggu sampai respon yang optimal dicapai. Dosis pemeliharaan
biasa untuk mencapai respon yang optimal adalah 100-200 mg / hari diberikan sekali
sehari atau dua dosis terbagi.
Catatan penting
Farmakokinetik
Protein mengikat:55%.
Paruh eliminasi: 29 jam, tapi ini sangat dipengaruhi oleh obat bersamaan. Berarti
waktu paruh berkurang menjadi sekitar jam 14 ketika diberikan dengan obat enzim-
inducing dan meningkat menjadi rata-rata jam sekitar 70 ketika diberikan bersama
valproate saja. Valproate adalah inhibitor poten metabolisme UGT-dependent
lamotrigin, sementara OAE enzim-inducer inducers ampuh metabolisme tergantung
UGT lamotrigin, yang merupakan alasan untuk skema yang berbeda dari dosis
lamotrigin dan titrasi bila dikombinasikan dengan OAE ini.
Selain itu, paruh lamotrigin umumnya lebih pendek pada anak-anak dibandingkan
pada orang dewasa, dengan nilai rata-rata jam sekitar 7 ketika diberikan dengan
enzymeinducing obat dan meningkatkan berarti nilai jam 45-50 ketika dikelola
dengan valproate saja.
Interaksi obat
Farmakokinetik
Sebagian besar obat-obatan dengan aksi pada sistem saraf pusat diberikan dengan
cara ditelan, sehingga kita harus mempertimbangkan faktor-faktor yang menentukan
absorbsi usus. Molekul-molekul kecil biasanya masuk ke dalam plasma dengan cara
difusi, sebagian besar dengan pinositosis. Absorbsi obat dan konsentrasinya dalam
darah dipengaruhi oleh makanan, obat lain yang diminum, penyakit-penyakit usus
dan umur pasien.
Obat (atau racun) di dalam darah akan sampai ke berbagai jaringan, termasuk
sistem saraf, sehingga ikatan protein dalam plasma berpengaruh penting dalam
distribusinya. Banyak obat-obatan dan toksin yang berikatan dengan albumin serum dan
protein serum lainnya, membatasi adanya bentuk ionisasi. Transformasi obat-obatan dan
toksin umumnya meliputi proses hidroksilasi, deaminasi, oksidasi dan dealkilasi, yang
meningkatkan solubilitasnya dan eliminasinya melalui ginjal. Proses katalisis paling
banyak terjadi di hepar dan menggunakan banyak enzim.
Untuk masuk ke dalam ruang ekstraseluler sistem saraf, obat atau racun harus
melewati endotel kapiler yang rapat (dikenal sebagai Blood Brain Barier) dan sawar
antara darah dan cairan serebrospinal. Pemberian dengan injeksi intratekal dapat
menghindari sawar tersebut, namun pemberian dengan intratekal menyebabkan obat-
obatan cenderung berkonsentrasi di daerah- daerah subpial dan subependimal. Proses
perpindahan dari plasma ke otak dengan cara difusi melalui kapiler atau fasilitas
transpor.
Absorbsi
Pengikatan fenitoin oleh protein, terutama oleh albumin plasma kira- kira 90%.
Orang sehat, termasuk wanita hamil dan wanita pemakai obat kontrasepsi oral, fraksi
bebasnya kira-kira 10%, sedangkan diketahui bahwa efek farmakologik fenitoin hanya
tergantung dari bentuk bebasnya. Pasien dengan penyakit ginjal, penyakit hati atau
penyakit hepatorenal dan pada neonatal fraksi bebasnya rata-rata di atas 15%. Pada
pasien epilepsi, fraksi bebas berkisar antara 5,8%-12,6%.
Distribusi obat ke berbagai bagian tubuh ternyata tidak sama, misalnya
konsentrasi fenitoin di otak ternyata 1-3 kali dari konsentrasi di plasma. Juga diketahui
bahwa beberapa obat yang mempunyai sifat yang sama dengan fenitoin, yaitu terikat
dengan protein plasma, apabila obat tersebut diminum bersama fenitoin maka akan
menjadi kompetisi untuk mengikat albumin, tergantung afinitas terhadap albumin mana
yang lebih kuat. Keadaan ini akan mengakibatkan peningkatan bentuk bebas dari
fenitoin, akibat ikatan dengan albumin diduduki oleh obat lain. Obat obat tersebut antara
lain : tiroksin, triidotironin, asam salisilat, fenilbutason, sulfafurazol, kumarin, dan
azetazolamide. Volume distribusi fenitoin lebih kurang 64% dari berat badan, tapi sekitar
7 (tujuh) kali lebih besar bila dihitung dengan kadar obat bebas. Waktu paruh pemberian
fenitoin peroral 18-24 jam sedangkan untuk mencapai kadar optimal (steady state)
adalah 5-10 hari.
Fenitoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga kerjanya dapat bertahan lebih
lama, tetapi mula kerja lebih lambat daripada fenobarbital. Biotransformasi terutama
berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh enzim mikrosom hati. Hasil metabolitnya
berupa parahidrobutanil yang sudah tidak mempunyai kasiat anti epilepsi.
Fenobarbital mempunyai sifat enzimatic inducer, sehingga mengakibatkan penurunan
aktivitas fenitoin, dan inilah salah satu kerugian pemberian poli terapi, demikian juga
dengan karbamazepin dan valproat, dikatakan menurunkan kadar fenitoin. 8,21
Ekskresi
Mekanisme kerja obat antiepilepsi hanya sedikit yang dimengerti secara baik.
Berbagai obat antiepilepsi diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologi otak,
terutama yang mempengaruhi sistem inhibisi yang melibatkan GABA dalam
mekanisme kerja berbagai antiepilepsi. Golongan hidantoin dikenal tiga senyawa
antikonvulsi: fenitoin (diphenilhidantoin), mefenitoin dan etotoin dengan fenitoin sebagai
prototipe. Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi, kecuali
bangkitan lena, adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada atom C5 penting untuk
efek pengendalian bangkitan tonik-klonik, sedangkan gugus alkil berkaitan dengan efek
sedasinya. Adanya gugus metil pada atom N3 akan mengubah spektrum ak- tivitas
misalnya mefenitoin, dan hasil N demetilasi oleh enzim mikrosom hati menghasilkan
metabolit yang tidak aktif.
Fenitoin juga dapat menghambat kanal kalsium (Ca+) dan menunda aktifasi
aliran ion K keluar selama potensial aksi, sehingga menyebabkan kenaikan periode
refractory dan menurunnya cetusan ulangan. 22
Interaksi Obat
15. Salisilat : Salisilat mendesak fenitoin dan ikatannya dalam protein plasma
sehingga menaikkan kadar fenitoin bebas.
Pada dosis normal fenobarbital, terjadi induksi enzim. Sedang pada dosis besar, a
tau pada dosis normal tapi fungsi hepar jelek, kadar fenitoin dalam serum naik.
Dosis Fenitoin
Dosis terapi pemberian oral fenitoin pada orang dewasa 3-5 mg/KgBB/hari,
dengan dosis awal dewasa, 3-5 mg/kg/hari dapat diberikan dalam 2 atau 3 kali pemberian
dengan dosis terbagi, selanjutnya dosis disesuaikan perorangan maksimum 300-400 mg
perhari. Dosis pasien dewasa yang belum pernah diterapi dapat dimulai dengan dosis 100
mg, dengan pemberian 3 kali sehari, lalu dosis kemudian disesuaikan dengan kebutuhan
perorangan. Pada sebagian besar orang dewasa, dosis pemeliharaan yang
direkomandasikan 4-8 mg/kg/hari atau 3-4 kapsul sehari (300-400 mg), dan bila perlu
dapat dinaikkan menjadi 6 kapsul sehari. Dosis Alternatif bagi orang dewasa 300 mg
dapat dipertimbangkan jika pengendalian serangan telah dicapai dalam dosis terbagi
menjadi 3x100 mg kapsul sehari. Dosis letal pada dewasa diperkirakan 2-5 gram/hari,
dengan gejala awal seperti nistagmus, ataksia. Tanda lainnya adalah tremor, hiperfleksi,
letargi, gagap, mual, muntah.2,8,10 Terdapat variasi kadar plasma fenitoin pada
masing- masing individu, dimana dapat terjadi efek toksik seperti nistagmus (dengan
gerakan mata ke lateral) yang biasanya muncul pada dosis 20 g/mL, ataksia pada dosis
30 g/mL, disatria dan lethargi muncul ketika konsentrasi plasma lebih dari 40 g/mL,
tetapi setinggi konsentrasi 50 g/mL belum pernah dilaporkan terjadi toksisitas.
PENUTUP
Kesimpulan
Lingkungan, Inc. Oktober 24, 2015. Web. Desember 01,2016 06: 05: 44
Carlos, AM. 2015. Skripsi: Terapi Epilepsi Bagi Pediatrik. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
Berliana, L. 2013. Skripsi: Efektivitas Asam Valproat dalam Terapi Kombinasi dengan Obat
Antonius. 2012. Skripsi Penggunaan Fenitoin terhadap Pasien Hiperplasia Ginggiva. Semarang:
Universitas Diponegoro.