Anda di halaman 1dari 48

Subdural Hematoma

Textbook Reading
Pembimbing: dr. Steven Tandean, Sp.BS
ANATOMI KEPALA

• SCALP
• Skin  kulit yang berisi banyak kelenjar sebasea dan folikel rambut
• Connective Tissue  Jaringan ikat, jaringan lemak dan fibrosa
• Aponeurosis  Jaringan fibrosa yang padat
• Loose Connective Tissue  Memisahkan SCA dengan Pericranium
• Pericranium  Periosteum tengkorak
Tengkorak

• Kalvarium : Frontal, oksipital, dan dua Parietal


• Basiis Cranii : Frontal, sphenoid, ethmoid, oksipital, parietal, dan
temporal
Vaskularisasi Kulit Kepala
• Arteri carotid eksternal yakni arteri temporal superfisial yang
memperdarahi sebagian besar kulit kepala, arteri oksipital yang
memperdarahi posterior kulit kepala dan arteri auricular posterior yang
memperdarahi kulit kepala atas dan dibelakang aurikula.

• Arteri carotid internal yakni arteri spratrochlear yang memperdarahi dahi


tengah dan artei supraorbital yang memperdarahi dahi sisi lateral dan kulit
kepala sejauh vertex.
Innervasi Kulit Kepala
Intrakranial
Meningens
• Duramater
• Arakhnoid
• Piamater
• Duramater

- Selaput otak terluar yang terdiri dari dua lapisan, yaitu lamina eksterna dan lamina interna.

- Pada cranium, durameter melekat kuat pada linea mediana, diatas sinus sagitalis superior, sutura, dan
pada beberapa percabangan arteri meningea media.

- Pada basis kranii, durameter melekat erat pada krista Gali, lamina kribosa, foramen optikum, fisura
orbitalis superior, foramen rotundum, foramen ovale, foramen jugulare, dan meatus akustikus internus.

- Persarafan duramater ini terutama berasal dari cabang n.trigeminus, tiga saraf servikalis bagian atas,
bagian servikal trunkus simpatikus dan n.vagus.
- Arteri yang mensuplai duramater, yaitu: arteri karotis interna, arteri maxilaris, arteri paringeal
asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis.

- Vena-vena meningea terletak dalam lapisan endosteal duramater. Vena meningea media
mengikuti cabang-cabang arteri meningea media dan mengalir kedalam pleksus venosus
pterygoideus atau sinus sphenoparietalis.

- Sinus-sinus venosus dalam rongg kranialis terletak diantara lapisan-lapisan duramater. Fungsi
utamanya adalah menerima darah dari otak melalui vena-vena serebralis dan cairan
serebrospinal dari ruang-ruang subarachnoidea melalui villi arachnoidalis. Darah dalam sinus-
sinus duramater akhirnya mengalir kedalam vena-vena jugularis interna.
• Arakhnoid

Lapisan avaskular yang berada dibawah lapisan duramater. Dibawah lapisan arakhnoid terdapat
rongga subarakhnoid yang mengandung trabekula, pembuluh darah, nervus kranialis, dan dialiri
oleh cairan serebrospinal

• Piamater

Lapisan ini berada di bawah arachnoid dan dihubungkan dengan jaringan ikat tipis. Lapisan ini
terdiri dari lapisan tipis sel-sel mesoderm yang mirip endothelium. Perlekatan piameter dengan
korteks otak melalui astrosit marginal yang membuatnya menempel mengikuti lekukan korteka
dalam sulkus.
- Arteri dura yang terbesar adalah arteri meningea media yang cabangnya terdistribusi sepanjang
lekukan lateral tengkorak.
- Arteri meningea anterior relatif kecil dan menyuplai bagian media duramater frontal dan bagian
anterior falks serebri.
- Arteri meningea posterior masuk ke tengkorak melalui foramen jugular untuk menyuplai duramater
pada fossa cranial posterior.
- Darah vena dari parenkim otak akan melewati ruang subarachnoid dan subdural melalui vena-vena
superfisial dan profunda otak menuju sinus sagitalis superior, yang berada pada garis tengah
perlekatan falx serebri. Pada bagian belakang kepala, dimana falx serebri bergabung dengan
tentorium, sinus sagitalis superior akan bergabung dengan sinus rektus. Darah vena dari kedua sinus
ini akan berjalan menuju sinus transversus, dan selanjutnya ke sinus sigmoideus. Setelah itu, darah
akan mengalir ke vena jugularis interna, keluar melalui otak pada foramen jugularis.
Subdural Hematoma
 Subdural hematoma adalah akumulasi arah yang terjadi antara bagian dalam duramater dengan
arakhnoid.

 Perdarahan ini sering terjadi akibat robekan pembuluh darah atau vena-vena kecil di permukaan
korteks serebri.

 Subdural hematoma lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita yaitu 3:1

 Insiden subdural hematoma kronis meningkat tinggi pada dekade kelima hingga ketujuh
kehidupan.

 Subdural hematoma akut telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan cedera kepala
berat.

 Tingkat mortalitas SDH akut berkisar 45-63%


Klasifikasi

SDH Akut SDH Subakut SDH kronis

• 48 – 72 • 3 – 20 hari • 3 minggu –
jam setelah beberapa
setelah cedera bulan
cedera setelah
cedera
Mekanisme Cedera

• Trauma kapitis

• Trauma di tempat lain yang mengakibatkan geseran atau putaran otak


terhadap duramater

• Trauma pada leher karena guncangan pada badan

• Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di ruang


subdural
• Gangguan pembekuan darah

• Pasca operasi

• Pada orangtua, alkoholik, dan gangguan hati


Pemeriksaan Umum
1. Anamnesis
• Riwayat trauma ada atau tidak
• Riwayat penurunan kesadaran
• Riwayat sadar di antara dua fase tidak sadar
• Apakah ada muntah
• Apakah ada kejang
• Apakah ada kelemahan anggota gerak
• Penyakit penyerta lain, obat-obatan, riwayat alkohol
2. Pemeriksaan Fisik
• Primary survey : A B C D E
• Pemeriksaan neurologik : GCS, pupil, tanda-tanda defisit
neurologis fokal
3. Pemeriksaan penunjang
• Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, profil hemostasis
• Foto tengkorak schedel
• CT scan
• MRI
Subdural Hematoma Akut
Hematoma Subdural
• Perdarahan terjadi di antara duramater-
arakhnoid akibat robeknya “bridging vein”
• Jenis :
• Akut : 48-72 jam setelah cidera
• Subakut : 3-20 hari setelah cidera
• Kronik : 3 mingg-beberapa bulan
Patofisiologi
 SDH akut disebabkan robekan kapiler cortical akibat akselerasi otak dalam
kranium disebabkan benturan.

 Sumber perdarahan lain subdural hematom adalah laserasi atau ruptur


arteri dan vena kecil di korteks yang berkaitan dengan kontusio.

 Maixner: 2/3 kasus SDH akut disebabkan oleh kontusio dan 1/3 disebabkan
oleh ruptur bridging vein.

 SDH akut juga dapat disebabkan oleh aneurisma, tumor, dan arteriovenous
malformation.

 Mayoritas penyebab SDH adalah ruptur bridging vein.


Gejala Klinis
 Gambaran klinis tergantung letak lokasi dan luasnya perdarahan
 Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik 24 sampai 48 jam
setelah cedera
 Gangguan neurologik progresif akibat penekanan pada jaringan otak dan herniasi
batang otak
 Apabila tekanan batang otak telah terjadi, terjadi henti napas, hilangnya kontrol
denyut nadi dan tekanan darah
 Gejala klinis pasien dengan SDH akut supratentorial, yaitu pupil abnormal,
hemiparese, kejang, afasia, deserebrasi dan lateralisasi
 Kernohan’s notch: hemiparese ipsilateral, dan dilatasi pupil kontralateral.
Subdural Hematoma

• Diagnostik : CT Scan otak ditemukan


gambaran hiperdens diantara
duramater dan araknoid, umumnya
karena robekan dari bridging vein dan
tampak seperti bulan sabit (crescent
shape).
A B

• A= Subdural Hematoma
• B=Parafalcine Subdural
Hematoma
• C=Gambaran SDH akut
C dengan herniasi
subfalcine dan herniasi
uncal
Tatalaksana
 Dalam menentukan terapi, harus memperhatikan kondisi klinis
dengan gambaran radiologisnya

 Dalam masa persiapan tindakan operasi, digunakan medikamentosa


untuk menurunkan TIK, seperti: manitol 0,25 g/kgBB atau furosemid
10 mg intravena dan hiperventilasi

 Kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc atau kurang), edema otak


minimal,midline shift <5 mm dilakukan tindakan konservatif
Indikasi pembedahan
• Suatu subdural hematoma akut dengan ketebalan > 10 mm atau dengan pergeseran garis tengah otak > 5
mm pada CT Scan, harus dilakukan tindakan operasi, tanpa melihat derajat kesadaran pasien (GCS).
• Semua pasien dengan SDH akut dalam keadaan koma (GCS<9) harus menjalani pemantauan TIK
• Pasien koma (GCS <9) dengan ketebalan SDH < 10 mm dan pergeseran garis tengah otak < 5 mm, harus
menjalani tindakan operasi untuk evakuasi hematoma, bilamana nilai GCS menurun 2 angka atau lebih
pada waktu antara masa trauma dan ketika masuk RS. Demikian pula bila pada pasien ditemukan pupil
yang asimetris atau dilatasi dan atau TIK > 20 mmHg

Waktu pelaksanaan
• Pasien dengan SDH akut yang terindikasi untuk operasi, harus menjalani tindakan operasi evakuasi
hematoma segera secepatnya.

Metoda
• Pada pasien koma (GCS<9) yang terindikasi tindakan operasi evakuasi SDH, harus menjalani tindakan
kraniotomi dengan atau tanpa pengangkatan tulang kranium dan duraplasti.
Subdural Hematoma Kronik
Epidemiologi

• 5-25% pasien dengan cedera kepala berat.

• 1,5-3 kasus per 100.000 penduduk pertahun.

• Laki-laki > Perempuan (3:1)

• Tertinggi terjadi pada usia 50-70 tahun

• Pada kasus infant dapat terjadi SDH interhemisphere pada kejadian


child abuse
Patofisiologi
• Virchow (1857) “pachymeningitis haemorrhagica interna “

Diperkirakan bahwa infeksi bakteri (meningitis) dikendalikan respon inflamasi


kronis di duramater, menghasilkan eksudat fibrin dan pertumbuhan kapiler baru.

• Inflamasi terjadi juga pada proses cedera kepala.

• Sel-sel inflamasi direkrut masuk kedalam ruang subdural untuk memperbaiki


dural border cells → terbentuk membrane baru dan pembuluh darah baru →
terjadi kebocoran atau perdarahan kecil yang masuk ke ruang subdural
• Bridging vein akan meregang ketika volume otak mengecil walaupun hanya trauma
kecil sehingga dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut.

• Perdarahan akibat robekan vena terjadi secara perlahan.

• Hematoma yang besar dapat menyebabkan terbentuknya membrane vaskuler yang


membungkus hematoma tersebut.

• Pembuluh darah pada membrane tersebut sangat rapuh, sehingga dapat berperan
dalam pertambahan volume dari perdarahan subdural.

• Saat tekanan intracranial terlalu tinggi dan tidak dapat lagi dikompensasi vena,
memicu penurunan perfusi serebral dan iskemia serebral, bahkan dapat pula terjadi
herniasi transtentorial atau subfalksin .
Gejala Klinis
• Dapat terjadi tanpa ada riwayat trauma.

• Gejala umum → sakit kepala yang diikuti dengan penurunan kesadaran .

• Gejala tidak langsung muncul, bisa dalam hitungan hari, minggu bahkan beberapa
bulan setelah cedera pertama.

• Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut


dengan merobek membrane atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah
ukuran dan tekanan hematoma.
• Kerusakan lobus frontalis
- Kerusakan kecil → tidak ada perubahan perilaku yang nyata, namun bisa ada kejang

- Kerusakan luas → menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan inkontinensia.

Kerusakan yang luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan
perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan
kejam
• Kerusakan lobus parietalis
- Kerusakan kecil → mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan.

- Kerusakan luas → apraksia, ketidakmampuan menentukan arah kanan atau kiri, sulit mengenali
bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk
yang sebelumnya dikenal dengan baik ( misalnya bentuk kubus atau jam dinding)

- Linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari
lainnya.

• Kerusakan lobus temporalis


- Kanan → Terganggunya ingatan akan suara dan bentuk

- Kiri → gangguan pemahaman Bahasa, menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya.


Diagnosis
• Adanya gangguan neurologis merupakan langkah pertama untuk
mengetahui tingkat keparahan dari trauma kapitis.
• Pada fase kronis lesi subdural menjadi hipodens dan semua dilihat
pada gambaran CT tanpa kontras
• MRI sangat berguna untuk mengidentifikasi perdarahan
ekstraserebral
• Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat
untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis.
• MRI lebih sensitive untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan,
kontusio dan cedera axonal difus.
Tatalaksana
• medical management : istirahat, diuretic osmotic, dan kortikosteroid

• Konservatif: pada pasien dengan deficit neurologis minimal dan volume SDH kronis minimal

• Pilihan operasi:

- 2 burr hole dengan irigasi dan aspirasi

- 1 burr hole dengan irigasi dan aspirasi

- 1 burr hole dengan meninggalkan subdural drain

- Twist drill craniostomy

- Kraniotomi denan eksisi membrane subdural.


Teknik Operasi
• Pasien diposisikan supine, kepala dirotasi kearah lateral sesuai letak posisi
hematoma.

• Dilakukan insisi 2 garis linier di frontal dan parietal mengikuti kelengkungan atau
konveksitas sesuai letak hematoma.

• Burr hole diameter 1,5cm, burr hole pertama di posteroinferior, burr hole kedua
pada anterior burr hole sebelumnya, duramater dibuka.

• Dilakukan irigasi dengan normal saline, drain dimasukkan kedalam subdural.


Perawatan Pasca-bedah
• Jahitan dibuka pada hari ke 5-7
• Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dilakukan
setelah 6-8 minggu kemudian
• pada sebagian pasien dapat terjadi
• perdarahan ulang yang berasal dari pembuluh darah yang baru terbentuk,
• subdural empiema,
• irigasi yang kurang baik,
• pergeseran otak yang tiba-tiba,
• kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang
kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural.
Perawatan Pasca-bedah
• Pemantauan kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan segera
sejak pasca operasi.
• Serial scanning tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan
• Apabila pasca operasi kesadaran tidak membaik dan untuk menilai
apakah masih terjadi hematoma atau hal lainnya yang timbul
kemudian, scan otak mutlak dilakukan
Komplikasi dan Prognosis
• Sebanyak sepertiga pasien mengalami kejang pasca trauma setelah
cedera kepala akibat Infeksi luka dan kebocoran CSF bisa terjadi
setelah kraniotomi.
• Pada pasien dengan subdural hematoma kronik yang menjalani
operasi drainase, sebanyak 5,4-19% mengalami lomplikasi medis atas
operasinya.
• Pada pasien,timbulnya komplikasi terkait dengan anestesi, rawat inap,
usia pasien, dan kondisi medis secara bersamaan.
Komplikasi dan Prognosis
• Tindakan operasi pada SDH memberikan prognosis yang baik, karena
sekitar 90% kasus pada umumnya akan sembuh total.
• hal yang paling penting untuk meramalkan prognosa ialah ada atau
tidaknya kontusio parenkim otak.
Komplikasi dan Prognosis
• Derajat kesadaran pada waktu akan dilakukan operasi adalah satu-
satunya faktor penentu terhadap prognosa (outcome) penderita SDH
akut.
• Tetapi Richards dan Hoff tidak menemukan hubungan yang bermakna
antara derajat kesadaran dan prognosa akhir.
• Abnormalitas pupil, bilateral midriasis berhubungan dengan
mortalitas yang sangat tinggi.
Kasus SDH di RSUP HAM
• Kasus SDH di RSUP Haji Adam Tahun Jumlah
Malik sebanyak 195 dari tahun 2013 46
2013-2017 dengan 77% terjadi 2014 38
pada laki-laki dan 49% terjadi
2015 35
pada usia Tua (> 40 tahun).
2016 53

2017 23
• Paling banyak didapati SDH
beronset akut sekitar 69 %
Thank You

Anda mungkin juga menyukai