EPIDURAL HEMATOMA
Pembimbing:
dr. Mahyudaniel, Sp.BS
Disusun Oleh:
Mohammad Haekal 140100190
Ananta Septriandra 140100152
Ricky Kurniadi 140100226
Wirda Zamira Lubis 140100077
Henny Wahyuni 140100205
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Epidural Hematoma” Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat
menyelesaikan kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas KedokteranUniversitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan.Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi perbaikan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya.Semoga laporan kasus ini
bermanfaat.Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I
PENDAHULUAN
tidak besar. Hal ini berbeda dengan sumber perdarahan dari arteri yang bertekanan
kuat, yang bahkan mampu mendesak perlekatan duramater pada tulang tengkorak.4
EDH adalah 2% komplikasi dari seluruh trauma kepala dan 5-15% trauma kepala
berat dengan rata-rata 40.000 kasus per tahun di USA. EDH merupakan komplikasi
serius pada trauma kepala sehingga membutuhkan diagnosis yang segera dan
penanganan secepatnya. Berdasarkan onsetnya EDH dapat dibagi menjadi akut
(58%), subakut (31%) dan kronik (11%). EDH spinal dapat terjadi karena trauma
maupun spontan. EDH spinal terjadi 1 diantara 1.000.000 populasi di USA. Alkohol
dan berbagai macam intoksikasi dikatakan terkait dengan tingginya insiden EDH.
Angka kejadian EDH secara internasional tidak diketahui, diduga pararel dengan
angka kejadian di USA.5
Angka mortalitas yang terkait dengan EDH diestimasikan 5-50% yang
dipengaruhi oleh tingkat kesadaran, jumlah perdarahan dan lokasi. Pada pasien
dengan kesadaran penuh angka mortalitas 0%, pada penurunan kesadaran ringan
sampai sedang 9% dan pada pasien koma 20%. Angka mortalitas pada EDH
intrakranial mencapai 15-20% dan EDH di fossa posterior mencapai 26%.3
EDH intrakranial maupun spinal banyak terjadi pada laki-laki dengan rasio 4:1
namun tidak terkait dengan ras tertentu. EDH intrakranial jarang terjadi pada usia di
bawah 2 tahun dan juga di atas 60 tahun karena pada usia lanjut duramater lebih
melekat pada kalvaria. Insiden EDH spinal mencapai puncak pada usia anak-anak dan
antara usia 50-60 tahun sehingga pada usia tersebut cenderung memiliki resiko tinggi
mengalami komplikasi EDH setelah menjalani operasi di daerah spinal. 1
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita seperti
adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu,
sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan
malapetaka besar bagi seseorang.Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari
cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan di temukan secepatnya dari tim
medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental
dan fisik dan bahkan kematian.6
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa,
padat dapat di gerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma
eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan
membrane dalam yang mengandung pembuluh-pembuluih besar. Bila robek
pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan
darah yang berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala.7
Tepat di bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena
emisaria dan diploika.Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit
kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa
pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala yang seksama bila galea
terkoyak.Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan intracranial. Cedera kepala dapat melibatkan setiap
komponen yang ada, mulai dari bagian terluar (SCALP) hingga bagian terdalam
(intrakranial). Setiap komponen yang terlibat memiliki kaitan yang erat dengan
mekanisme yang terjadi.7
4
Selaput arakhnoid adalah membran fibrosa halus, tipis, elastis, dan tembus
pandang. Di bawah lapisan ini terdapat ruang yang dikenal sebagai
subarakhnoid, yang merupakan tempat sirkulasi cairan LCS.
Piamater adalah membran halus yang melekat erat pada permukaan korteks
cerebri, memiliki sangat banyak pembuluh darah halus, dan merupakan satu-
satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus
semua girus.
Gambar 2.1. Tulang tengkorak dan Meningens
2.2 DURAMETER
Secara konvensional, durameter diuraikan sebagai dua lapisan, lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan endosteal tidak lebih dari suatu periosteum
yang menutupi permukaan dalam tulang – tulang cranium. Pada foramen
magnumlapisan endosteal tidak berlanjut dengan durameter medulla spinalis. Pada
sutura, lapisan endosteal berlanjut dengan ligamentum sutura. Lapisan endosteal
paling kuat melekat pada tulang diatas dasar cranium.7
Lapisan meningeal merupakan durameter yang sebenarnya. Lapisan
meningeal merupakan membrane fibrosa kuat, padat menutupi otak, dan melalui
foramen magnum berlanjut dengan durameter medulla spinalis. Lapisan meningeal
ini memberikan sarung tubuler untuk saraf – saraf kranial pada saat melintas melalui
lubang – lubang cranium. Kedalam lapisan meningeal membentuk empat septa, yang
membagi rongga cranium menjadi ruang – ruang yang berhubungan dengan bebas
dan merupakan tempat bagian –bagian otak.8
a. Persarafan Durameter
Persarafan ini terutama berasal dari cabang n. Trigeminus, tiga saraf servikalis
bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan n.Vagus. Reseptor – reseptor
nyeri dalam durameter diatas tentorium mengirimkan impuls melalui n.Trigeminus,
dan suatu nyeri kepala dirujuk ke kulit dahi dan muka. Impuls nyeri yang timbul dari
bawah tentorium dalam fossa kranialis posterior berjalan melalui tiga saraf servikalis
bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk kebelakang kepala dan leher.
b. Perdarahan Durameter
Banyak arteri mensuplai durameter, yaitu: arteri karotis interna, arteri
maxilaris, arteri paringeal asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis. Dari segi
klinis, yang paling penting adalah arteri meningea media, yang umumnya mengalami
kerusakan cedera kepala.
Arteri meningea media berasal dari arteri maxillaries dalam fossa temporalis,
memasuki rongga kranialis melalui foramen spinosum dan kemusian terletak antara
8
lapisan meningeal dan endosteal durameter. Arteri ini kemudian terletak antara
lapisan meningeal dan endosteal durameter.
Vena- vena meningea media terletak dalam lapisan endosteal durameter. Vena
meningea media mengikuti cabang - cabang arteri meningea media dan mengalir
kedalam pleksus venosus pterygoideus atau sinus sphenoparietalis. Vena terletak
dilateral arteri.
c. Sinus Venosus Durameter
Sinus- sinus venosus dalam rongga kranialis terletak diantara lapisan – lapisan
durameter. Fungsi utamanya adalah menerima darah dari otak melalui vena – vena
serebralis dan cairan serebrospinal dari ruang – ruang subarachnoidea melalui villi
arachnoidalis. Vena emissaria menghubungkansinus venosus durameter dengan vena-
vena diploika cranium dan vena – vena dikulit kepala.
d. Fisiologi Durameter
Durameter mempunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai
peiosteum tulang – tulang cranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan meningeal
yang berfungsi melindungi jaringan saraf dibawahnya serta saraf – saraf kranial
dengan membentuk sarung yang menutupi setiap saraf kranial. Sinus venosusterletak
dalam durameter yang mengalirkan darah venosa dari otak dan meningen ke vena
jugularis interna dileher.
Pemisah durameter berbentuk sabit yang disebut falx serebri, yang terletak
vertical antara hemisfer serebri dan lembaran horizontal, taitu tentorium serebelli,
yang berproyeksi kedepan diantara serebrum dan serebelli yang berfungsi untuk
membatasi gerakan berlebihan otak dalam cranium.
2.3 PATOFISIOLOGI
EDH biasanya karena fraktur di daerah temporoparietal. Penyebab utamanya
adalah trauma kapitis atau fraktur kranium. Fraktur yang paling ringan adalah fraktur
linear namun gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang
(stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam
9
ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio).
EDH yang terjadi ketika pembuluh darah ruptur biasanya arteri meningea media
kemudian darah mengalir ke dalam ruang potensial antara duramater dan tulang
kranium sedangkan pada perdarahan subdural terjadi akibat trauma kepala hebat,
seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan rupture bridging vein yang
terjadi dalam ruangan subdural.9
Fraktur kranium terjadi pada 85-95% kasus dewasa, jarang terjadi pada anak-
anak-anak karena plastisitas pada kranium yang masih imatur. Laserasi arteri
maupun vena menyebabkan perluasan perdarahan yang cepat. Manifestasi kronis atau
tertunda dapat terjadi bila perdarahan berasal dari vena. Perluasan perdarahan atau
hematom tidak melewati suture line karena duramater melekat ketat, hanya pada
sebagian kecil kasus yang sedikit melewati suture line. 1
Sumber perdarahan EDH yaitu arteri meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam ),
sinus duramatis dan diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a.
diploica dan vena diploica. EDH sebagian besar berasal dari rupturnya arteri
meningea media (66%), meskipun arteri etmoidalis anterior mungkin bisa terlibat
dalam cedera kepala di daerah frontal, sinus transversus atau sinus sigmoid pada
cedera oksipital, dan sinus sagital superior pada trauma verteks. EDH bilateral terjadi
2-10% dari semua kasus EDH akut pada orang dewasa tetapi sangat jarang terjadi
pada anak-anak. EDH pada fossa posterior mencapai 5% dari semua kasus
perdarahan epidural. 2
EDH spinal dapat terjadi spontan atau akibat trauma minor, seperti pungsi
lumbal atau anestesi epidural. EDH spinal dapat berhubungan dengan antikoagulan,
trombolisis, diskrasia darah, koagulopati, trombositopenia, neoplasma, atau
malformasi vaskuler. Pleksus vena peridural biasanya terlibat, meskipun perdarahan
dari arteri juga terjadi. Aspek dorsal di daerah thorakal atau lumbal yang paling
umum terkena, dengan ekspansi terbatas pada beberapa tingkat vertebra. 9
Penyebab EDH baik intrakranial maupun spinal dapat dibagi menjadi trauma
dan non trauma. Penyebab trauma sering berupa benturan tumpul pada kepala akibat
10
4. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang penting dikerjakan diantaranya:5,6
1. Darah lengkap : penting untuk menilai kadar trombosit dan hematokrit terkait
perdarahan non traumatik juga menilai adanya penanda infeksi untuk menyingkirkan
diagnose banding
2. Faal hemostasis : penting untuk menilai ada tidaknya gangguan koagulopati
3. Serum elektrolit, tes fungsi ginjal, tes fungsi hepar, kadar glukosa darah juga
perlu diperiksa untuk menemukan adanya komplikasi metabolik perdarahan epidural
intrakranial maupun spinal
4. Toksikologi dan kadar alkohol dalam darah juga perlu diperiksa terkait
penyebab trauma kepala dan adanya sindroma putus obat
5. Golongan darah : penting untuk persiapan transfusi dan tindakan operatif
darurat
2.6 TATALAKSANA
1. Primary survey dan resusitasi12
a. Airway
Jalan nafas harus dibersihkan dari benda asing, lender, atau darah.Terhentinya
pernafasan sementara dapat terjadi pada cedera otak, dan dapat mengakibatkan
gangguan sekunder.Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada penderita
koma.
b. Breathing
Pada penderita dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%.Tindakan hiperventilasi
harus dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera otak berat yang menunjukkan
perburukan neurologis akut.
c. Circulation
Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, kecuali pada
stadium ter syok hemoragik.Hipotensi menunjukkan adanya kehilangan darah yang
cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas.
18
2. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status
kardiopulmoner penderita stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari GCS dan reflex cahaya
pupil. Pada penderita koma, respon motorik dapat dibangkitkan dengan
merangsang/mencubit otot trapezius atau menekan dasar kuku penderita.
3. Secondary survey
Pemeriksaan neurologis serial (GCS, lateralisasi, dan refleks pupil) harus
selalu dilakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi
lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap
cahaya. Adanya trauma langsung pada mata sering merupakan penyebab
abnormalitas respon pupil dan dapat membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit.
Setelah kondisi stabil,maka dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
- Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu bebas, bersihkan lendir dan darah yang dapat
menghalangi aliran udara pemafasan.Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan
pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena, gunakan
cairan NaCl 0,9% atau dextrose in saline.
- Mengurangi edema serebri
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:13
a. Cairan intravena
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam
keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya.
Namun harus diperhatikan untuk tidak memberikan cairan yang berlebihan. Jangan
berikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebabkan hiperglikemia yang 15 berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena
itu cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau atau
ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus dipertahankan untuk mencegah
terjadinya edema otak. Strategi terbaik adalah mempertahankan volume intravaskular
19
normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik. Saline hipertonik bisa
digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa menyebabkan edema otak.
b. Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan PCO2darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan
metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat
diperiksa, PO2dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2diantara 25-30 mmHg.
c. Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan manitol 20% per infus untuk "menarik" air dari
ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui
diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol harus diberikan dalam
dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan 0,25-1 gram/kg BB
dalam 10-30 menit, secara bolus intravena. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang
menunggu tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek
rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam
atau keesokan harinya.
d. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa
waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa
kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya
berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis
parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi: Dexametason 16 pernah dicoba
dengan dosis awal 10 mg sampai 100 mg bolus yang kemudian dilanjutkan 4 mg tiap
6 jam. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg
dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.
e. Barbiturat
Digunakan untuk ”membius” pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan
serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena
kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan
20
akibat hipoksia, walaupun suplai oksigen berkurang (efek protektif terhadap otak dari
anoksia dan iskemik ). Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang
ketat. Barbiturat juga dapat dipakai untuk mengatasi tekanan inrakranial yang
meninggi. Dosis yang biasa diterapkan adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30
menit dan kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1
mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum 3-4mg%.
f. Fenitoin
Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin
(24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk
penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.
g. Cara lain Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-2000
ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan yang menyatakan
bahwa posisi tidur dengan kepala (dan leher) yang diangkat 30° akan menurunkan
tekanan intrakranial dan meningkatkan drainase vena. Posisi tidur yang dianjurkan,
terutama pada pasien yang berbaring lama adalah: - kepala dan leher diangkat 30° -
sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150° - telapak kaki diganjal, membentuk sudut
90° dengan tungkai bawah.8
Indikasi tindakan bedah pada perdarahan epidural intrakranial yang
disarankan Bullock dkk tahun 2006 yaitu :14
- Volume hematom > 30 ml
- Keadaan pasien memburuk
- Pendorongan garis tengah > 5 mm
- Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depresi dengan kedalaman
>1 cm
- Ketebalan hematom lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS
8 atau kurang
- Terdapat tanda-tanda neurologis lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg
21
BAB III
STATUS PASIEN
Identitas Pasien
Nama : Muhammad Riandi
No RM : 78.96.57
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 06/10/2000
Usia : 18 tahun – 11 bulan- 3 hari
Alamat : Jl. Nenas, Kel. Pdang Bulan, Kec. Rantau Utara, Labuhan
Batu
Anamnesis
Telaah :
Hal ini dialami pasien sejak 7 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien
sebelumnya sedang mengendarai sepeda motor kemudian tabrakan dengan sepeda
motor lainnya. Pasien tidak memakai helm saat kejadian. Riwayat muntah
menyembur dijumpai sebanyak 3 kali setelah kejadian Riwayat kejang tidak dijumpai
Riwayat keluar darah dari telinga sebelah kiri dijumpai Riwayat keluar darah dari
hidung tidak dijumpai. Pasien rujukan dari RS Umum Rantau prapat.
Pemeriksaan Fisik
Status Presens
Sensorium : E2M5V2
Nadi : 116 x/menit
Frekuensi Nafas : 22 x/menit
Temperatur : 36,8oC
Status Generalisata
Kepala : Tampak luka robek pada wajah sebelah kiri ukuran 2 cm x 1
cm dasar subkutis. Krepitasi (-)
Mata : Pupil anisokor bulat 3 mm/ 4 mm, reflek cahaya +/+
Telinga : dalam batas normal
Hidung : Septum deviasi (-), pernapasan cuping hidung (-)
Mulut : Sianosis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran tiroid (-)
Toraks
Inspeksi : Simetris Fusiform, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Stem Fremitus ka = ki
Perkusi : Sonor pada kesua lapangan paru
Auskultasi : Suara pernafasan : vesikuler
Suara Tambahan :ronki - / -
Jantung : S1, S2 (+) N, murmur (-)
HR= 116 x/menit; RR = 22x/menit
Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, H/L/R tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
24
STATUS NEUROLOGIS
Sensorium : GCS E2M5V2
Pupil : anisokor, diameter 3mm/4mm
Motorik : lateralisasi (-)
Sensorik : Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks Primitif : (-)
CN I : sulit dinilai
CN II : Pupil anisokor, φ 3mm/4mm, RC (+/+)
Funduscopy ODS : Tidak dilakukan pemeriksaan
CN III,IV,VI : sulit dinilai
CN V : sulit dinilai
CN VII : wajah simetris
CN VIII : sulit dinilai
CN IX,X : sulit dinilai
CN XI : sulit dinilai
CN XII : lidah istirahat medial
Rencana
Hematokrit 37 % 39 – 54
Ginjal
BUN 12 9 – 21
Ureum 26 mg/dL 19 – 44
Elektrolit
Pemeriksaan Lainnya
Radiologi :
CT SCAN 08/09/2019
Terapi
28
- Head Up 30-450
- IVFD R Sol 20 gtt/I
- Manitol 125 cc/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj. Fenitoin 100mg/8jam
- Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
- Inj. As. Tranexamat 500 mg/8 jam
Rencana :
- Rujuk ke Bedah Saraf (Craniostomy)
29
BAB IV
FOLLOW UP
BAB V
DISKUSI KASUS
Teori Diskusi
Definisi - Hal ini dialami pasien sejak 7 jam sebelum
Epidural Hematama adalah terakumulasinya masuk rumah sakit. Pasien sebelumnya
volume darah dalam suatu ruang antara sedang mengendarai sepeda motor kemudian
cranium dengan selaput durameter, yang tabrakan dengan sepeda motor lainnya.
berpotensi dan dapat mengakibatkan - Pasien tidak memakai helm saat kejadian.
peningkatan tekanan intracranial. - Riwayat muntah menyembur dijumpai
sebanyak 3 kali setelah kejadian
Tanda dan Gejala klinis: - Riwayat kejang tidak dijumpai
- Penurunan kesadaran progresif - Riwayat keluar darah dari telinga sebelah kiri
- Adanya “lucid interval” dijumpai
- Tanda peningkatan TIK - Riwayat keluar darah dari hidung tidak
- Adanya defisit neurologis dijumpai
- Pemeriksaan Fisik - Pasien rujukan dari RS Umum Rantau prapat
- Pada inspeksi kepala : Tampak luka robek
pada wajah sebelah kiri, ukuran 2 cm x 1 cm
dsar subkutis. Krepitasi (-)
Pemeriksaan lanjutan Pada pasien ini hasil pemeriksaan yang
1. Pemeriksaan Laboratorium ditemukan:
2. Foto Polos Kepala : untuk melihat 1. Lab Darah lengkap: Hb/Ht/Leu/Plt: 12.8/
displacement tulang tengkorak 37/ 17.250/313.000
3. Head CT scan : Tampak lesi 2. Head CT Scan: Perdarahan epidural pada
hiperdens bikonveks daerah temporo-occipito-parietalis kiri
4. MRI: Untuk melihat ada tidaknya dengan pneumosefal mendorong ventrikel
darah, untuk mengetahui lokasi dan lateralis kiri menyebabkan herniasi
membedakan perdarahan (ekstra- subfalksin ke kanan disertai edema
aksial dan intra-aksial), untuk serebri. Perdarahan intraserebral pada
menentukan sudah berapa lama lobus frontalis dan temporalis bilateral
pedarahan terjadi, penatalaksanaan serta occipitalis kiri. Perdarahan
dan menentukan prognosis. subarachnoid mengisi sebagian kortikal
sulci hemisfer kiri dan sisterna basalis.
Penatalaksanaan Pada pasien ini diberikan tatalaksana:
- Head Up 30-450
Primary Survey dan resusitasi. - IVFD R Sol 20 gtt/I
Terapi Konservatif - Manitol 125 cc/6 jam
Tindakan Pembedahan - Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj. Fenitoin 100mg/8jam
- Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
- Inj. As. Tranexamat 500 mg/8 jam
32
BAB VI
KESIMPULAN
Telah dilaporkan sebuah kasus, seorang pasien MR, Laki- Laki , 18 tahun
datang dengan Penurunan Kesadaran telah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang kemudian pasien didiagnosis dengan EDH (R) Parietal +
Kontusio (L) Frontal + ICH dan dirawat di RA4BS, ditatalaksana awal dengan
- Head Up 30-450
1. Dawodu ST, Campagnolo DI, Yadav RR. Traumatic Brain Injury (TBI) –
Definition, Epidemiology, Patophysiology. Emedicine medcape. 2011.
2. Langlois DA, Brown WR, Thomas KE. Traumatic Brain Injury in the United
States:Emergency Department Visits Hospitalization, and Deaths. CDC. 2011.
3. Santoso MIE, Rahayu M, Balafif F. Correlation of Severe Head Injury Epidural
HematomaTrepanation Respond Time With Outcome. MNJ:Bedah Saraf Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya. 2015. 2(1):14-18.
4. Li C, He R, Li X, Zhong Y, Ling L, Li F. Spontaneous spinal epidural hematoma
mimicking transient ischemic attack: A case report. 2017.
5. Adeleye AO, Olowookere KG. Central nervous system congenitalanomalies: a
prospective neurosurgical observational study from Nigeria.Congenit Anom
[internet]. 2009 [disitasi 2012 Nov 7] 49(4):258-61.Diunduh dari:
www.ncbi.nlm.nih.gov
6. Snell, S Richard. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian
3.EGC.Jakarta. 2006. p.250-255.
7. Netter, F. H., Craig, J. A., Perkins, J., Hansen, J. T., & Koeppen, B. M. (n.d.).
Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology Special Edition:Arteries to Brains
and Meningens, NJ : 2012.
8. Dharmajaya R. Perdarahan Ekstradural.USU Press. 2017.
9. Ganz, Jeremy, The lucid interval associated with epidural bleeding: evolving
understanding, page 739–745, United Kingdom: 2013.
10. Shah, M. V, Commentary Conservative Management of Epidural Hematoma: Is It
Safe and Is It Cost-Effective?, Indianapolis: 2011.p. 115–116.
11. Abelsen Nadine, Mitchell, Neurotrauma: Managing Patients with Head Injuries,
A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, Wichester USA: 2013.
12. Lee Kewon, NeuroICU book Neurocritical Care Disease Section : Neurotrauma,
The McGraw-Hill Companies, Inc, USA : 2012
13. Visocchi, M., & Iacopino, D. G, Conservative vs . Surgical Management of Post-
Traumatic Epidural Hematoma : A Case and Review of Literature, 811–817:
2015, http://doi.org/10.12659/AJCR.895231
14. Bullock, Chesnut, R., & Gordon, D, Surgical Management of Acute Epidural
Hematome : 2006, http://doi.org/10.1227/01.NEU.0000210363.91172.A8