Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

EPIDURAL HEMATOMA

Pembimbing:
dr. Mahyudaniel, Sp.BS
Disusun Oleh:
Mohammad Haekal 140100190
Ananta Septriandra 140100152
Ricky Kurniadi 140100226
Wirda Zamira Lubis 140100077
Henny Wahyuni 140100205

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


DEPARTEMEN ILMU BEDAH SARAF
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Epidural Hematoma” Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat
menyelesaikan kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas KedokteranUniversitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.


Mahyudaniel, Sp.BS, selaku supervisor pembimbing yang telah meluangkan waktu
dan memberikan masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis
dapat menyelesaikannya dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan.Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi perbaikan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya.Semoga laporan kasus ini
bermanfaat.Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, September 2019

Penulis
ii

DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB1 PENDAHULUAN ........................................................................................ 1


1.1.Latar Belakang ............................................................................. 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3


2.1. Anatomi....................................................................................... 3
2.2. Duramater ................................................................................... 7
2.3. Patofisiologi ............................................................................... 8
2.4. Gambaran Klinis ......................................................................... 10
2.5. Pemerikssaan Penunjang ............................................................. 13
2.6. Tatalaksana ................................................................................. 17

BAB 3 STATUS PASIEN ............................................................................ 22


BAB 4 FOLLOW UP ................................................................................... 29
BAB 5 DISKUSI KASUS ............................................................................. 30
BAB 6 KESIMPULAN ................................................................................ 31
DAFTAR PUSTAKA
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera kepala mempunyai angka kejadian yang masih relative tinggi. Data
pasien trauma kepala akibat kecelakaan maupun tindakan kekerasan yang dibawa ke
instalasi gawat darurat dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Di Amerika tiap
tahunnya didapatkan 1.500.000 kasus cedera kepala,sekitar 50.000 meninggal dan
80.000 mengalami kecacatan. Saat ini terdapat sekitar 5.300.000 warga Amerika yang
mengalami cacat permanen karena kasus cedera kepala. Berdasarkan data, 2% dari
seluruh kasus cedera kepala adalah epidural hematoma (EDH), dan sekitar 5 – 15%
pada pasien dengan cedera kepala berat adalah EDH.1,2
Epidural hematoma adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang
umumnya terjadi karena fraktur calvaria akibat cedera kepala sehingga menyebabkan
pecahnya pembuluh darah dan darah terakumulasi dalam ruang antara durameter dan
calvaria. EDH akan menempati ruang dalam intracranial, sehingga perluasan yang
cepat pada lesi ini dapat menimbulkan penekanan pada otak yang dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran, kecacatan baik bersifat reversible
maupun irreversible dan bahkan kematian.Umumnya ini disebabkan karena trauma
tumpul pada kepala, yang mengakibatkan terjadinya fraktur liner. Lokasi yang paling
sering adalah di bagian temporal atau temporoparietal (70%) dan sisanya di bagian
frontal, oksipital, dan fossa serebri posterior.3,4
Sumber perdarahan yang paling lazim adalah dari cabang arteri meningea media,
akibat fraktur yang terjadi dibagian temporal tengkorak. Namun kadangkala dapat
pula dari arteri atau vena lain, atau bahkan keduanya. Hematoma yang sumber
perdarahannya dari vena, umumnya tidak besar, sebab tekanan yang ditimbulkan
2

tidak besar. Hal ini berbeda dengan sumber perdarahan dari arteri yang bertekanan
kuat, yang bahkan mampu mendesak perlekatan duramater pada tulang tengkorak.4
EDH adalah 2% komplikasi dari seluruh trauma kepala dan 5-15% trauma kepala
berat dengan rata-rata 40.000 kasus per tahun di USA. EDH merupakan komplikasi
serius pada trauma kepala sehingga membutuhkan diagnosis yang segera dan
penanganan secepatnya. Berdasarkan onsetnya EDH dapat dibagi menjadi akut
(58%), subakut (31%) dan kronik (11%). EDH spinal dapat terjadi karena trauma
maupun spontan. EDH spinal terjadi 1 diantara 1.000.000 populasi di USA. Alkohol
dan berbagai macam intoksikasi dikatakan terkait dengan tingginya insiden EDH.
Angka kejadian EDH secara internasional tidak diketahui, diduga pararel dengan
angka kejadian di USA.5
Angka mortalitas yang terkait dengan EDH diestimasikan 5-50% yang
dipengaruhi oleh tingkat kesadaran, jumlah perdarahan dan lokasi. Pada pasien
dengan kesadaran penuh angka mortalitas 0%, pada penurunan kesadaran ringan
sampai sedang 9% dan pada pasien koma 20%. Angka mortalitas pada EDH
intrakranial mencapai 15-20% dan EDH di fossa posterior mencapai 26%.3
EDH intrakranial maupun spinal banyak terjadi pada laki-laki dengan rasio 4:1
namun tidak terkait dengan ras tertentu. EDH intrakranial jarang terjadi pada usia di
bawah 2 tahun dan juga di atas 60 tahun karena pada usia lanjut duramater lebih
melekat pada kalvaria. Insiden EDH spinal mencapai puncak pada usia anak-anak dan
antara usia 50-60 tahun sehingga pada usia tersebut cenderung memiliki resiko tinggi
mengalami komplikasi EDH setelah menjalani operasi di daerah spinal. 1
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita seperti
adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu,
sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan
malapetaka besar bagi seseorang.Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari
cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan di temukan secepatnya dari tim
medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental
dan fisik dan bahkan kematian.6
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa,
padat dapat di gerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma
eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan
membrane dalam yang mengandung pembuluh-pembuluih besar. Bila robek
pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan
darah yang berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala.7
Tepat di bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena
emisaria dan diploika.Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit
kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa
pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala yang seksama bila galea
terkoyak.Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan intracranial. Cedera kepala dapat melibatkan setiap
komponen yang ada, mulai dari bagian terluar (SCALP) hingga bagian terdalam
(intrakranial). Setiap komponen yang terlibat memiliki kaitan yang erat dengan
mekanisme yang terjadi.7
4

Secara umum otak dilindungi oleh:6


1. Kulit kepala (SCALP)
Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan, 3 lapisan pertama saling melekat dan bergerak
sebagai satu unit. Kulit kepala terdiri dari:
 Skin atau kulit, tebal, berambut dan mengandung banyak kelenjar sebacea.3
 Connective tissue atau jaringan penyambung, merupakan jaringan lemak
fibrosa yang menghubungkan kulit dengan aponeurosis dari m.
occipitofrontalis di bawahnya. Banyak mengandung pembuluh darah besar
terutama dari lima arteri utama yaitu cabang supratrokhlear dan
supraorbital dari arteri oftalmik di sebelah depan, dan tiga cabang dari
karotid eksternal-temporal superfisial, aurikuler posterior, dan oksipital
disebelah posterior dan lateral. Pembuluh darah ini melekat erat dengan
septa fibrosa jaringan subkutis sehingga sukar berkontraksi atau
mengkerut. Apabila pembuluh ini robek, maka pembuluh ini sukar
mengadakan vasokonstriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang
bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.
 Aponeurosis atau galea aponeurotika, merupakan suatu jaringan fibrosa,
padat, dapat digerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan
trauma eksternal, menghubungkan otot frontalis dan otot occipitalis.
 Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, menghubungkan
aponeurosis galea dengan periosteum cranium (pericranium). Mengandung
beberapa arteri kecil dan beberapa v. emmisaria yang menghubungkan
v.diploica tulang tengkorak dan sinus venosus intracranial.
Pembuluhpembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai
jauh ke dalam tengkorak, sehingga pembersihan dan debridement kulit
kepala harus dilakukan secara seksama bila galea terkoyak.
 Pericranium merupakan periosteum yang menutupi permukaan tulang
tengkorak, melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini
5

periosteum akan langsung berhubungan dengan endosteum (yang melapisi


permukaan dalam tulang tengkorak).
2. Tulang tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis cranii (bagian
terbawah). Pada kalvaria di regio temporal tipis, tetapi di daerah ini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii terbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak
saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselarasi. 4 Pada orang dewasa, tulang
tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan terjadinya perluasan
isi intracranial.
Tulang tengkorak terdapat tiga lapisan, yaitu tabula eksterna, diploe, dan
tabula interna. Dinding luar disebut tabula eksterna, dan dinding bagian dalam
disebut tabula interna. Tabula interna mengandung alur-alur yang berisi arteria
meningea anterior, media dan posterior. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa
yaitu fosa anterior yang merupakan tempat lobus frontalis, fosa media yang
merupakan tempat lobus temporalis, fosa posterior yang merupakan tempat bagian
bawah batang otak dan cerebellum.
3. Meningens
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu:
 Duramater adalah selaput keras yang terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang
melekat erat pada permukaan dalam kranium. Karena tidak melekat pada
selaput arakhnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdura) yang terletak antara durameter dan arakhnoid yang kaya akan
pembuluh vena, sehingga apabila terjadi robekan pada dura, terjadi
perdarahan yang akan menumpuk pada ruangan ini yang dikenal sebagai
perdarahan subdural.
6

 Selaput arakhnoid adalah membran fibrosa halus, tipis, elastis, dan tembus
pandang. Di bawah lapisan ini terdapat ruang yang dikenal sebagai
subarakhnoid, yang merupakan tempat sirkulasi cairan LCS.
 Piamater adalah membran halus yang melekat erat pada permukaan korteks
cerebri, memiliki sangat banyak pembuluh darah halus, dan merupakan satu-
satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus

semua girus.
Gambar 2.1. Tulang tengkorak dan Meningens

Gambar 2.2 : Lapisan-lapisan meningen


7

2.2 DURAMETER
Secara konvensional, durameter diuraikan sebagai dua lapisan, lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan endosteal tidak lebih dari suatu periosteum
yang menutupi permukaan dalam tulang – tulang cranium. Pada foramen
magnumlapisan endosteal tidak berlanjut dengan durameter medulla spinalis. Pada
sutura, lapisan endosteal berlanjut dengan ligamentum sutura. Lapisan endosteal
paling kuat melekat pada tulang diatas dasar cranium.7
Lapisan meningeal merupakan durameter yang sebenarnya. Lapisan
meningeal merupakan membrane fibrosa kuat, padat menutupi otak, dan melalui
foramen magnum berlanjut dengan durameter medulla spinalis. Lapisan meningeal
ini memberikan sarung tubuler untuk saraf – saraf kranial pada saat melintas melalui
lubang – lubang cranium. Kedalam lapisan meningeal membentuk empat septa, yang
membagi rongga cranium menjadi ruang – ruang yang berhubungan dengan bebas
dan merupakan tempat bagian –bagian otak.8
a. Persarafan Durameter
Persarafan ini terutama berasal dari cabang n. Trigeminus, tiga saraf servikalis
bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan n.Vagus. Reseptor – reseptor
nyeri dalam durameter diatas tentorium mengirimkan impuls melalui n.Trigeminus,
dan suatu nyeri kepala dirujuk ke kulit dahi dan muka. Impuls nyeri yang timbul dari
bawah tentorium dalam fossa kranialis posterior berjalan melalui tiga saraf servikalis
bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk kebelakang kepala dan leher.
b. Perdarahan Durameter
Banyak arteri mensuplai durameter, yaitu: arteri karotis interna, arteri
maxilaris, arteri paringeal asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis. Dari segi
klinis, yang paling penting adalah arteri meningea media, yang umumnya mengalami
kerusakan cedera kepala.
Arteri meningea media berasal dari arteri maxillaries dalam fossa temporalis,
memasuki rongga kranialis melalui foramen spinosum dan kemusian terletak antara
8

lapisan meningeal dan endosteal durameter. Arteri ini kemudian terletak antara
lapisan meningeal dan endosteal durameter.
Vena- vena meningea media terletak dalam lapisan endosteal durameter. Vena
meningea media mengikuti cabang - cabang arteri meningea media dan mengalir
kedalam pleksus venosus pterygoideus atau sinus sphenoparietalis. Vena terletak
dilateral arteri.
c. Sinus Venosus Durameter
Sinus- sinus venosus dalam rongga kranialis terletak diantara lapisan – lapisan
durameter. Fungsi utamanya adalah menerima darah dari otak melalui vena – vena
serebralis dan cairan serebrospinal dari ruang – ruang subarachnoidea melalui villi
arachnoidalis. Vena emissaria menghubungkansinus venosus durameter dengan vena-
vena diploika cranium dan vena – vena dikulit kepala.
d. Fisiologi Durameter
Durameter mempunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai
peiosteum tulang – tulang cranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan meningeal
yang berfungsi melindungi jaringan saraf dibawahnya serta saraf – saraf kranial
dengan membentuk sarung yang menutupi setiap saraf kranial. Sinus venosusterletak
dalam durameter yang mengalirkan darah venosa dari otak dan meningen ke vena
jugularis interna dileher.
Pemisah durameter berbentuk sabit yang disebut falx serebri, yang terletak
vertical antara hemisfer serebri dan lembaran horizontal, taitu tentorium serebelli,
yang berproyeksi kedepan diantara serebrum dan serebelli yang berfungsi untuk
membatasi gerakan berlebihan otak dalam cranium.

2.3 PATOFISIOLOGI
EDH biasanya karena fraktur di daerah temporoparietal. Penyebab utamanya
adalah trauma kapitis atau fraktur kranium. Fraktur yang paling ringan adalah fraktur
linear namun gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang
(stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam
9

ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio).
EDH yang terjadi ketika pembuluh darah ruptur biasanya arteri meningea media
kemudian darah mengalir ke dalam ruang potensial antara duramater dan tulang
kranium sedangkan pada perdarahan subdural terjadi akibat trauma kepala hebat,
seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan rupture bridging vein yang
terjadi dalam ruangan subdural.9
Fraktur kranium terjadi pada 85-95% kasus dewasa, jarang terjadi pada anak-
anak-anak karena plastisitas pada kranium yang masih imatur. Laserasi arteri
maupun vena menyebabkan perluasan perdarahan yang cepat. Manifestasi kronis atau
tertunda dapat terjadi bila perdarahan berasal dari vena. Perluasan perdarahan atau
hematom tidak melewati suture line karena duramater melekat ketat, hanya pada
sebagian kecil kasus yang sedikit melewati suture line. 1
Sumber perdarahan EDH yaitu arteri meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam ),
sinus duramatis dan diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a.
diploica dan vena diploica. EDH sebagian besar berasal dari rupturnya arteri
meningea media (66%), meskipun arteri etmoidalis anterior mungkin bisa terlibat
dalam cedera kepala di daerah frontal, sinus transversus atau sinus sigmoid pada
cedera oksipital, dan sinus sagital superior pada trauma verteks. EDH bilateral terjadi
2-10% dari semua kasus EDH akut pada orang dewasa tetapi sangat jarang terjadi
pada anak-anak. EDH pada fossa posterior mencapai 5% dari semua kasus
perdarahan epidural. 2
EDH spinal dapat terjadi spontan atau akibat trauma minor, seperti pungsi
lumbal atau anestesi epidural. EDH spinal dapat berhubungan dengan antikoagulan,
trombolisis, diskrasia darah, koagulopati, trombositopenia, neoplasma, atau
malformasi vaskuler. Pleksus vena peridural biasanya terlibat, meskipun perdarahan
dari arteri juga terjadi. Aspek dorsal di daerah thorakal atau lumbal yang paling
umum terkena, dengan ekspansi terbatas pada beberapa tingkat vertebra. 9
Penyebab EDH baik intrakranial maupun spinal dapat dibagi menjadi trauma
dan non trauma. Penyebab trauma sering berupa benturan tumpul pada kepala akibat
10

serangan, terjatuh, atau kecelakan lain; trauma akselerasi-deselerasi dan gaya


melintang. Selain itu perdarahan epidural intrakranial pada bayi baru lahir dapat
terjadi akibat distosia, ektraksi forseps, dan tekanan kranium berlebihan pada jalan
lahir. 8
Penyebab non trauma perdarahan epidural diantaranya adalah obat
antikoagulan, agen trombolisis, lumbal pungsi, anesthesia epidural, koagulopati,
penyakit hepar dengan hipertensi portal, kanker, alkholisme kronik malformasi
vascular, herniasi diskus, penyakit paget pada tulang, valsava manuever. Gangguan
sinus venosus dura (sinus transversum atau sigmoid) oleh fraktur dapat menyebabkan
EDH di fossa posterior sedangkan gangguan sinus sagitalis superior dapat
menyebabkan perdarahan epidural pada vertex. Sumber perdarahan epidural yang
non arterial diantaranya adalah venous lakes, dipoic veins, granulatio arachnoid dan
sinus petrosus. 9

Gambar 2.3 Perdarahan epidural dan perdarahan subdural

2.4 GAMBARAN KLINIS


Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.
Pasien EDH, 22 – 56 % berada dalam keadaan penurunan kesadaran saat masuk ke
rumah sakit atau beberapa saat sebelum operasi. Secara klinis disebut “Lucid
11

Interval”. Pada anamnesa didapatkan riwayat cedera kepala dengan penurunan


kesadran. Pada kurang lebih 50 % kasus kesadaran pasien membaik dan adanya lucid
interval diikuti adanya penurunan kesadaran secara perlahan sebagaimana
peningkatan TIK.8
Pasien dengan kondisi seperti ini sering kali tampak memar di sekitar mata
dan di belakang telinga.Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung
atau telinga.Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki
kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala
yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala. Gejala yang sering tampak :10
• Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
• Bingung
• Penglihatan kabur
• Susah bicara • Nyeri kepala yang hebat
• Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
• Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
• Mual
• Pusing
• Berkeringat
• Pucat
• Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Gangguan kesadaran yang terjadi langsung setelah cedera umumnya bukan
karena terjadinya hematoma epidural, melainkan karena teregangnya serat-serat
formasio retikularis di dalam batang otak. Mekanisme ini merupakan mekanisme
yang sama yang terjadi pada hilangnya kesadaran saat terjadi komosio serebri.
Setelah beberapa saat, dimana hematoma yang terjadi telah mencapai sekitar 50 cc
barulah gejala neurologis akibat hematoma bermanifestasi. Gejala neurologis ini
muncul terutama karena efek penekanan massa terhadap jaringan otak, bukan efek
terjadinya iskemia jaringan otak.8
12

Penekanan hematoma menyebabkan pendorongan otak dan menimbulkan


herniasi yang menekan batang otak. Setelah efek regangan pada serat formasio
retikularis di batang otak telah pulih, umumnya pasien akan segera sadar kembali
sampai akhirnya hematoma yang terjadi sudah cukup besar sehingga menyebabkan
terjadinya defisit neurologis, termasuk penurunan kesadaran. Masa dimana penderita
sadar sebelum kemudian mengalami penurunan kembali ini disebut masa interval
lusid. Walaupun lucid interval kerap dianggap ciri klasik dari hematoma epidural,
tetapi sesungguhnya bukan merupakan hal yang patognomik, dan hanya dijumpai
pada sepertiga kasus.10
Pada dasarnya lucid interval dapat saja dijumpai pada setiap cedera kepala
yang disertai lesi intrakranial yang memberikan efek massa, yang menekan jaringan
otak secara progresif. Hematoma yang terjadi di daerah temporal akan menyebabkan
gejala neurologis yang cukup progresif. Pasien akan semakin menurun kesadarannya,
seperti hendak tidur terus tetapi tidak dapat dibangunkan. Hematoma yang semakin
besar akan mendorong jaringan otak ke bawah, ke arah insisura tentorii, sehingga
terjadilah herniasi jaringan otak yang menekan nervus okulomotorius pada sisi yang
sama. Sebagai dampaknya, akan terjadi miosis beberapa saat, yang kemudian
midriasis, pada mata sisi ipsilateral dengan hematoma yang tidak lagi berespon
terhadap cahaya, dan terjadilah anisokoria.9
Defisit neurologis lainnya yang dapat dijumpai dapat berupa hemiparesis,
kejang, muntah, dan pada pemeriksaan fisik dapat pula dijumpai refleks Babinsky
kontralateral yang positif. Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa
dijumpai hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalananya, pelebaran pupil
akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi
negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial.Terjadi pula kenaikan tekanan
darah dan bradikardi.8
Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral
juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi
cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul
13

berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak. Jika Epidural


hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak akan
terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.8

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih
mudah dikenali .8
1. Foto Polos Kepala
Pemeriksaan ini untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur tulang
tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya EDH. Fraktur dapat berupa
fraktur impresi (depressed fracture), fraktur linier dan fraktur diastasis. Fraktur
diastasis lebih sering terjadi pada anak dan terlihat sebagai pelebaran sutura. Pada
foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural hematoma.
Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami trauma
pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria
meningea media.

Gambar 2.4 : Fraktur temporoparietal yang berakibat perdarahan epidural


14

2. Computed Tomography (CT-Scan)


Indikasi pemeriksaan CT scan pada kasus trauma kepala adalah sebgai
berikut:
- Trauma kepala berat (GCS <8)
- Defisit neurologis yang persisten
- Amnesia antegrade
- Pupil anisokor
- Penurunan kesadaran lebih dari 5 menit
- Fraktur depress pada tulang tengkorak
- Adanya luka penetrasi
- Adanya tanda perdarahan
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi
cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single)
tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering
di daerah temporoparietal.Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas,
midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural
hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan
adanya peregangan dari pembuluh darah. Pada pemeriksaan CT Scan kepala, akan
ditemukan gambaran sebagai berikut:11
a. Hiperdens ellips yang bikonveks dengan batas tegas
b. Densitas yang bervariasi menunjukkan adanya perdarahan aktif
c. Hematoma tidak menyebrangi garis sutura kecuali jika terjadi fraktur sutura yang
diastatik
d. Dapat memisahkan sinus vena dari cranium; epidural hematoma merupakan satu-
satunya bentuk perdarahan intrakranial yang dapat memberikan gambaran seperti ini.
e. Adanya efek massa yang bergantung pada ukuran perdarahan dan berhubungan
dengan edema.
f. Perdarahan vena dapat memberikan gambaran yang lebih bervariasi.
g. Garis fraktur yang berkaitan dapat dilihat.
15

Gambar 4 : Perdarahan epidural intrakranial di temporoparietooccipital sinistra (A,B), nampak


garis fraktur (C, anak panah)

Epidural Hematoma dapat dibedakan dari Subdural hematoma dengan bentuk


bikonveks dibandingkan cressent – shape dari hematoma subdural. Dengan bentuk
bikonveks yang khas,elips, penampilan CT scan hematoma ekstradural tergantung
pada sumber perdarahan, waktu berlalu sejak cedera, dan itngkat keparahan
perdarahan. Karena dibutuhkan diagnosis yang akurat dan perawatan yang cepat,
diperlukan pemeriksaan CT scan EDH dengan cepat dan intervensi bedah saraf. CT
scan adalah pemeriksaan pilihan dalam evaluasi kasus yang dicurigai EDH namun
terkadang sulit juga untuk dideteksi dengan CT scan.8
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis. MRI pada perdarahan
intracranial dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya darah, untuk mengetahui
lokasi dan membedakan perdarahan (ekstr – aksial dibandingkan intra – aksial),
untuk membedakan perdarahan subarachnois (SAH), subdural hematoma, dan EDH,
juga untuk menentukan sudah berapa lama perdarahan terjadi dan membantu
penatalaksanaan dan prognosis pasien.8,9
16

Gambar 2.5 : T1 MRI kepala potongan


koronal, didapatkan gambaran perdarahan
epidural di daerah vertex

Gambar 2.6 : T2 MRI kepala potongan


sagittal, nampak perdarahan epidural pada
region parietoccipital dekstra (kanan)

Gambar 2.7 : Perdarahan epidural di spinal


17

4. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang penting dikerjakan diantaranya:5,6
1. Darah lengkap : penting untuk menilai kadar trombosit dan hematokrit terkait
perdarahan non traumatik juga menilai adanya penanda infeksi untuk menyingkirkan
diagnose banding
2. Faal hemostasis : penting untuk menilai ada tidaknya gangguan koagulopati
3. Serum elektrolit, tes fungsi ginjal, tes fungsi hepar, kadar glukosa darah juga
perlu diperiksa untuk menemukan adanya komplikasi metabolik perdarahan epidural
intrakranial maupun spinal
4. Toksikologi dan kadar alkohol dalam darah juga perlu diperiksa terkait
penyebab trauma kepala dan adanya sindroma putus obat
5. Golongan darah : penting untuk persiapan transfusi dan tindakan operatif
darurat

2.6 TATALAKSANA
1. Primary survey dan resusitasi12
a. Airway
Jalan nafas harus dibersihkan dari benda asing, lender, atau darah.Terhentinya
pernafasan sementara dapat terjadi pada cedera otak, dan dapat mengakibatkan
gangguan sekunder.Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada penderita
koma.
b. Breathing
Pada penderita dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%.Tindakan hiperventilasi
harus dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera otak berat yang menunjukkan
perburukan neurologis akut.
c. Circulation
Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, kecuali pada
stadium ter syok hemoragik.Hipotensi menunjukkan adanya kehilangan darah yang
cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas.
18

2. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status
kardiopulmoner penderita stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari GCS dan reflex cahaya
pupil. Pada penderita koma, respon motorik dapat dibangkitkan dengan
merangsang/mencubit otot trapezius atau menekan dasar kuku penderita.
3. Secondary survey
Pemeriksaan neurologis serial (GCS, lateralisasi, dan refleks pupil) harus
selalu dilakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi
lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap
cahaya. Adanya trauma langsung pada mata sering merupakan penyebab
abnormalitas respon pupil dan dapat membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit.
Setelah kondisi stabil,maka dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
- Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu bebas, bersihkan lendir dan darah yang dapat
menghalangi aliran udara pemafasan.Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan
pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena, gunakan
cairan NaCl 0,9% atau dextrose in saline.
- Mengurangi edema serebri
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:13
a. Cairan intravena
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam
keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya.
Namun harus diperhatikan untuk tidak memberikan cairan yang berlebihan. Jangan
berikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebabkan hiperglikemia yang 15 berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena
itu cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau atau
ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus dipertahankan untuk mencegah
terjadinya edema otak. Strategi terbaik adalah mempertahankan volume intravaskular
19

normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik. Saline hipertonik bisa
digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa menyebabkan edema otak.
b. Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan PCO2darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan
metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat
diperiksa, PO2dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2diantara 25-30 mmHg.
c. Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan manitol 20% per infus untuk "menarik" air dari
ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui
diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol harus diberikan dalam
dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan 0,25-1 gram/kg BB
dalam 10-30 menit, secara bolus intravena. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang
menunggu tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek
rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam
atau keesokan harinya.
d. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa
waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa
kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya
berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis
parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi: Dexametason 16 pernah dicoba
dengan dosis awal 10 mg sampai 100 mg bolus yang kemudian dilanjutkan 4 mg tiap
6 jam. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg
dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.
e. Barbiturat
Digunakan untuk ”membius” pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan
serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena
kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan
20

akibat hipoksia, walaupun suplai oksigen berkurang (efek protektif terhadap otak dari
anoksia dan iskemik ). Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang
ketat. Barbiturat juga dapat dipakai untuk mengatasi tekanan inrakranial yang
meninggi. Dosis yang biasa diterapkan adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30
menit dan kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1
mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum 3-4mg%.
f. Fenitoin
Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin
(24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk
penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.
g. Cara lain Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-2000
ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan yang menyatakan
bahwa posisi tidur dengan kepala (dan leher) yang diangkat 30° akan menurunkan
tekanan intrakranial dan meningkatkan drainase vena. Posisi tidur yang dianjurkan,
terutama pada pasien yang berbaring lama adalah: - kepala dan leher diangkat 30° -
sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150° - telapak kaki diganjal, membentuk sudut
90° dengan tungkai bawah.8
Indikasi tindakan bedah pada perdarahan epidural intrakranial yang
disarankan Bullock dkk tahun 2006 yaitu :14
- Volume hematom > 30 ml
- Keadaan pasien memburuk
- Pendorongan garis tengah > 5 mm
- Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depresi dengan kedalaman
>1 cm
- Ketebalan hematom lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS
8 atau kurang
- Terdapat tanda-tanda neurologis lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg
21

Penanganan darurat dengan cara:8


 Dekompresi dengan trepanasi sederhana (burr hole).
 Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma. Indikasi operasi di
bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving. Jika
untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergensi.
Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang.
22

BAB III

STATUS PASIEN

Identitas Pasien
Nama : Muhammad Riandi
No RM : 78.96.57
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 06/10/2000
Usia : 18 tahun – 11 bulan- 3 hari
Alamat : Jl. Nenas, Kel. Pdang Bulan, Kec. Rantau Utara, Labuhan
Batu

Anamnesis

Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran

Telaah :
Hal ini dialami pasien sejak 7 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien
sebelumnya sedang mengendarai sepeda motor kemudian tabrakan dengan sepeda
motor lainnya. Pasien tidak memakai helm saat kejadian. Riwayat muntah
menyembur dijumpai sebanyak 3 kali setelah kejadian Riwayat kejang tidak dijumpai
Riwayat keluar darah dari telinga sebelah kiri dijumpai Riwayat keluar darah dari
hidung tidak dijumpai. Pasien rujukan dari RS Umum Rantau prapat.

RPT : Tidak Jelas


RPO : Tidak Jelas
23

Pemeriksaan Fisik
Status Presens
Sensorium : E2M5V2
Nadi : 116 x/menit
Frekuensi Nafas : 22 x/menit
Temperatur : 36,8oC

Status Generalisata
Kepala : Tampak luka robek pada wajah sebelah kiri ukuran 2 cm x 1
cm dasar subkutis. Krepitasi (-)
Mata : Pupil anisokor bulat 3 mm/ 4 mm, reflek cahaya +/+
Telinga : dalam batas normal
Hidung : Septum deviasi (-), pernapasan cuping hidung (-)
Mulut : Sianosis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran tiroid (-)
Toraks
Inspeksi : Simetris Fusiform, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Stem Fremitus ka = ki
Perkusi : Sonor pada kesua lapangan paru
Auskultasi : Suara pernafasan : vesikuler
Suara Tambahan :ronki - / -
Jantung : S1, S2 (+) N, murmur (-)
HR= 116 x/menit; RR = 22x/menit
Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, H/L/R tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
24

Genitalia : Laki-laki . Dalam batas normal


Inguinal
Inspeksi : Dalam batas normal
Palpasi : Dalam batas normal, tidak teraba adanya benjolan
Anorectal
Digital Rectal Examination : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
Superior : akral hangat, edema (-/-), CRT <3 detik
Inferior : akral hangat, edema (-/-), CRT <3 detik

STATUS NEUROLOGIS
Sensorium : GCS E2M5V2
Pupil : anisokor, diameter 3mm/4mm
Motorik : lateralisasi (-)
Sensorik : Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks Primitif : (-)

TANDA PENINGKATAN INTRAKRANIAL

Nyeri kepala : Tidak jelas


Muntah proyektil : Tidak jelas
Pupil Edema : Tidak dilakukan pemeriksaan

TANDA PERANGSANGAN MENINGEAL

Kaku kuduk : Tidak dijumpai


Brudzinski I : Tidak dijumpai
Brudzinski II : Tidak dijumpai
Brudzinski III : Tidak dijumpai
25

Brudzinski IV : Tidak dijumpai


Kernig sign : Tidak dijumpai

PEMERIKSAAAN NERVUS KRANIALIS

CN I : sulit dinilai
CN II : Pupil anisokor, φ 3mm/4mm, RC (+/+)
Funduscopy ODS : Tidak dilakukan pemeriksaan
CN III,IV,VI : sulit dinilai
CN V : sulit dinilai
CN VII : wajah simetris
CN VIII : sulit dinilai
CN IX,X : sulit dinilai
CN XI : sulit dinilai
CN XII : lidah istirahat medial

Rencana

- Darah Lengkap, KGD, RFT, Elektrolit


- Head CT Scan
26

Hasil Laboratorium (Tgl : 08-09-2019)

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan


Hematologi

Hemoglobin (HGB) 12,8 g/dL 13 – 18


Eritrosit (RBC) 4,65 juta/ μL 4.50 – 6.50

Leukosit (WBC) 17.250/ μL 4,000 – 11,000

Hematokrit 37 % 39 – 54

Trombosit (PLT) 313,000/μL 150,000-450,000

Ginjal

BUN 12 9 – 21
Ureum 26 mg/dL 19 – 44

Kreatinin 0.88 mg/dL 0,7 – 1,3

Elektrolit

Natrium 134 mEq/L 135-155


Kalium 3.8 mEq/L 3.6-5.5
Klorida 104 mEq/L 96-106
KGD 149 mg/dL < 200
Hematologi
PT 17,5 (14,00)
INR 1.26 0.8 – 1.3
apTT 65,2 (33,9) 27-39
27

Pemeriksaan Lainnya
Radiologi :
CT SCAN 08/09/2019

Kesimpulan : Perdarahan epidural pada daerah temporo-occipito-parietalis kiri


dengan pneumosefal mendorong ventrikel lateralis kiri menyebabkan herniasi
subfalksin ke kanan disertai edema serebri. Perdarahan intraserebral pada lobus
frontalis dan temporalis bilateral serta occipitalis kiri. Perdarahan subarachnoid
mengisi sebagian kortikal sulci hemisfer kiri dan sisterna basalis.

Diagnosa Kerja : EDH (L) TP + Contusio bifrontal + Contusio (L) Temporal +


Fr (L) Basis Cranii + Fr Linear (L) Temporal

Terapi
28

- Head Up 30-450
- IVFD R Sol 20 gtt/I
- Manitol 125 cc/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj. Fenitoin 100mg/8jam
- Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
- Inj. As. Tranexamat 500 mg/8 jam

Rencana :
- Rujuk ke Bedah Saraf (Craniostomy)
29

BAB IV
FOLLOW UP

Follow up 08/09/2019 – 10/09/2019


S Penurunan Kesadaran
O A : Clear
B : Spontan, terpasang NRM 10L/I
C : TD : 130/80 mmHg HR : 112 x/i
D : GCS E2M4V2
Pupil isokor d= 3mm/3mm, RC +/+
A EDH (L) TP + Contusio bifrontal + Contusio (L) Temporal + Fr (L)
Basis Cranii + Fr Linear (L) Temporal
P R/ Head CT-Scan
- operasi craniostomy
- Konsultasi anastesi
- Konsultasi Interna
- Terapi sesuai RM 8.1

Follow up 09/09/2019 – 11/09/2019


S Penurunan Kesadaran
O A: clear
B: spontan, terpasang NRM 10L/I, RR: 24x/i
C: HR: 110 x/i
D: GCS E3M4V2
Pupil isokor d= 3mm/3mm, RC +/+
A Post Craniotomy Evakuasi EDH
P Terapi sesuai RM 8.1
Rawat ICU Pasca Bedah
Pantau tanda-tanda vital dan peningkatan TIK

Follow up 12/09/2019 – 14/09/2019


S Penurunan Keasadaran
O A: clear
B: spontan, terpasang NRM 10L/I, RR: 20x/i
C: HR: 96 x/i
D: GCS E4M5V3
Pupil isokor d= 3mm/3mm, RC +/+
A Post Craniotomy Evakuasi EDH
P Terapi sesuai RM 8.1
Rawat ruangan
30

Pantau tanda-tanda vital dan peningkatan TIK


R/ Fisioterapi
31

BAB V
DISKUSI KASUS

Teori Diskusi
Definisi - Hal ini dialami pasien sejak 7 jam sebelum
Epidural Hematama adalah terakumulasinya masuk rumah sakit. Pasien sebelumnya
volume darah dalam suatu ruang antara sedang mengendarai sepeda motor kemudian
cranium dengan selaput durameter, yang tabrakan dengan sepeda motor lainnya.
berpotensi dan dapat mengakibatkan - Pasien tidak memakai helm saat kejadian.
peningkatan tekanan intracranial. - Riwayat muntah menyembur dijumpai
sebanyak 3 kali setelah kejadian
Tanda dan Gejala klinis: - Riwayat kejang tidak dijumpai
- Penurunan kesadaran progresif - Riwayat keluar darah dari telinga sebelah kiri
- Adanya “lucid interval” dijumpai
- Tanda peningkatan TIK - Riwayat keluar darah dari hidung tidak
- Adanya defisit neurologis dijumpai
- Pemeriksaan Fisik - Pasien rujukan dari RS Umum Rantau prapat
- Pada inspeksi kepala : Tampak luka robek
pada wajah sebelah kiri, ukuran 2 cm x 1 cm
dsar subkutis. Krepitasi (-)
Pemeriksaan lanjutan Pada pasien ini hasil pemeriksaan yang
1. Pemeriksaan Laboratorium ditemukan:
2. Foto Polos Kepala : untuk melihat 1. Lab Darah lengkap: Hb/Ht/Leu/Plt: 12.8/
displacement tulang tengkorak 37/ 17.250/313.000
3. Head CT scan : Tampak lesi 2. Head CT Scan: Perdarahan epidural pada
hiperdens bikonveks daerah temporo-occipito-parietalis kiri
4. MRI: Untuk melihat ada tidaknya dengan pneumosefal mendorong ventrikel
darah, untuk mengetahui lokasi dan lateralis kiri menyebabkan herniasi
membedakan perdarahan (ekstra- subfalksin ke kanan disertai edema
aksial dan intra-aksial), untuk serebri. Perdarahan intraserebral pada
menentukan sudah berapa lama lobus frontalis dan temporalis bilateral
pedarahan terjadi, penatalaksanaan serta occipitalis kiri. Perdarahan
dan menentukan prognosis. subarachnoid mengisi sebagian kortikal
sulci hemisfer kiri dan sisterna basalis.
Penatalaksanaan Pada pasien ini diberikan tatalaksana:
- Head Up 30-450
 Primary Survey dan resusitasi. - IVFD R Sol 20 gtt/I
 Terapi Konservatif - Manitol 125 cc/6 jam
 Tindakan Pembedahan - Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj. Fenitoin 100mg/8jam
- Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
- Inj. As. Tranexamat 500 mg/8 jam
32

BAB VI
KESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus, seorang pasien MR, Laki- Laki , 18 tahun
datang dengan Penurunan Kesadaran telah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang kemudian pasien didiagnosis dengan EDH (R) Parietal +
Kontusio (L) Frontal + ICH dan dirawat di RA4BS, ditatalaksana awal dengan
- Head Up 30-450

- IVFD R Sol 20 gtt/I

- Manitol 125 cc/6 jam

- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam

- Inj. Fenitoin 100mg/8jam

- Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam

- Inj. As. Tranexamat 500 mg/8 jam


DAFTAR PUSTAKA

1. Dawodu ST, Campagnolo DI, Yadav RR. Traumatic Brain Injury (TBI) –
Definition, Epidemiology, Patophysiology. Emedicine medcape. 2011.
2. Langlois DA, Brown WR, Thomas KE. Traumatic Brain Injury in the United
States:Emergency Department Visits Hospitalization, and Deaths. CDC. 2011.
3. Santoso MIE, Rahayu M, Balafif F. Correlation of Severe Head Injury Epidural
HematomaTrepanation Respond Time With Outcome. MNJ:Bedah Saraf Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya. 2015. 2(1):14-18.
4. Li C, He R, Li X, Zhong Y, Ling L, Li F. Spontaneous spinal epidural hematoma
mimicking transient ischemic attack: A case report. 2017.
5. Adeleye AO, Olowookere KG. Central nervous system congenitalanomalies: a
prospective neurosurgical observational study from Nigeria.Congenit Anom
[internet]. 2009 [disitasi 2012 Nov 7] 49(4):258-61.Diunduh dari:
www.ncbi.nlm.nih.gov
6. Snell, S Richard. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian
3.EGC.Jakarta. 2006. p.250-255.
7. Netter, F. H., Craig, J. A., Perkins, J., Hansen, J. T., & Koeppen, B. M. (n.d.).
Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology Special Edition:Arteries to Brains
and Meningens, NJ : 2012.
8. Dharmajaya R. Perdarahan Ekstradural.USU Press. 2017.
9. Ganz, Jeremy, The lucid interval associated with epidural bleeding: evolving
understanding, page 739–745, United Kingdom: 2013.
10. Shah, M. V, Commentary Conservative Management of Epidural Hematoma: Is It
Safe and Is It Cost-Effective?, Indianapolis: 2011.p. 115–116.
11. Abelsen Nadine, Mitchell, Neurotrauma: Managing Patients with Head Injuries,
A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, Wichester USA: 2013.
12. Lee Kewon, NeuroICU book Neurocritical Care Disease Section : Neurotrauma,
The McGraw-Hill Companies, Inc, USA : 2012
13. Visocchi, M., & Iacopino, D. G, Conservative vs . Surgical Management of Post-
Traumatic Epidural Hematoma : A Case and Review of Literature, 811–817:
2015, http://doi.org/10.12659/AJCR.895231
14. Bullock, Chesnut, R., & Gordon, D, Surgical Management of Acute Epidural
Hematome : 2006, http://doi.org/10.1227/01.NEU.0000210363.91172.A8

Anda mungkin juga menyukai