Anda di halaman 1dari 16

Pendarahan Intra kranial

1. Epidural hematom:
Paling sering terdapat di daerah temporal, dengan robeknya arteri meningea media
dan cabang-cabangnya, ini diakibatkan karena fraktur tulang kepala yang terjadi
disana ( 75 % pada trauma kapitis ).
Ditempat lain dapat juga terjadi epidural hematom, seperti di daerah frontal, parietal,
oksipital dan di fossa posterior.
Sinus dapat juga terluka seperti sinus sagitalis superrior, sinus transversus yang mana
ini mengakibatkan epidural hematom.
Tanda klinis neurologis pada epidural hematom ini berjalan cepat. Dikelilingnya juga
akan mengurangi perfusi daerah kejaringan otak lainnya, yang akan mengakibatkan
hipoksemia dan matinya sel otak.
Pada epidural hematom terdapat istilah “free interval time” yaitu setelah terjadi
trauma kapitis si penderita pingsan beberapa detik/menit dan akan sadar kembali
setelah 4-6 jam akan mengalami gangguan kesadaran lagi beserta tanda gangguan
neurologis karena adanya epidural hematom.
Tanda-tanda gangguan neurologis tersebut ialah:
- hemiparese
- disfasis sensorik motorik
- pupil anisokor dan refleks cahaya negatif, ini karena parese
- okulomotorius
- gangguan kesadaran sampai pingsan
- bila terjadi pendesakan di metensefalon akan terjadi pengejangan ekstensi dari
ekstremitas
- bila TIK meningkat terus maka peredaran darah di jaringan otak akan sangat
terganggu dan terakhir bila medulla oblongata sudah tidak berfungsi lagi, maka
akan terjadi apnea dan meninggal.

Pada epidural hematom ini sebenarnya jaringan otak tidak rusak, hanya tertekan.
Dengan diagnosis dan penanganan yang tepat pasien dapat ditolong. Pada trauma
kapitis dengan fraktur didaerah temporal dimana terletak ameningea media, harus
benar diperhatikan selama 12 jam, hal yang berhubungan dengan nadi, tekanan darah,
pernafasan, pupil dan kesadaran. Jangan sekali-kali diberi midriatikum, dengan tujuan
memeriksa fundus. Pemeriksaan foto rontgen kepala sangat berguna, tetapi yang lebih
penting adalah pengawasan terhadap pasien.
Pada saat inilah diagnosis yang cepat dan tepat ialah CT scan kepala, bila tidak ada
dapat dilakukan dengan angiografi.
Kadang bila terpaksa dapat dilakukan “Burr hole trepanasi” dimana dicurigai adanya
epidural hematom, ini sekaligus dapat untuk diagnosis dan dekompresi.
Terapi pada epidural hematom adalah kranitomi.
Epidural hematom merupakan suatu kejadian yang gawat dan harus segera ditangani.

2. Subdural hematom:
Subdural hematom akut:
Terjadi pada trauma kapitis dimana secara patogenesis didapatkan kerusakan/
trauma yang primer/langsung terhadap jaringan otak.
Pada primer kontusio serebri ini, pembuluh darah arteri dan vena di korteks
terluka. Pasien segera pingsan jadi tidak ada “free interval time” disini.
Kadang pembuluh darah besar seperti arteri dansinus dapat juga terluka.
Disini sering dijumpai kombinasi dengan intra serebral hematom, sehingga
mortalitas subdural hematom akut sangat tinggi ( 80 % ).

Subdural hematom sub akut


Kebanyakan terjadi akibat trauma kapitis ringan. Bila juga terjadi pada kontusio
serebri berat.
Setelah beberapa minggu atau bulan tidak ada gangguan neurologis, walaupun ada
kadang hanya sakit kepala atau vertigo, dapat juga lama kelamaan timbul gejala
dan tanda peninggian TIK dan pendesakan jaringan otak.

Diagnosis
- CT scean kepala
- Angiografi
Terapi : burr hole/kraniotomi
3. Intraserbrai hematoma:
Pendarahan di jaringan otak ( intraserebral ) pada trauma kapitis kebanyakan
terjadi karena adanya kontusio di korteks atau sub-korteks.
Lokasi dari peredaran ditentukan oleh beratnya mekanisme cedera di kepala.
Diagnosis : CT scan kepala
Terapi : - operasi eraniotomi
- Konservatif

HEMATOMA EPIDURAL
Perdarahan di antara tabula interna ossis krani dan duramater paling sering
berasal dari robekan arteri meningea media yang disebabkan oleh fraktur
tengkorak yang melintasi sulkus arteri di daerah temporal. Perdarahan arterial
melepaskan duramater dari permukaan tulang dibawahnya dan menimbulkan
perdarahan yang lebih hebat karena vena-vena kecil yang berjalan dari duramater
ke tulang (bridgingvein) terobek. Ukuran hematoma tersebut cepat bertambah dan
menekan korteks serebri. Jika terjadi penekanan hemisfer yang cukup hebat,
bagian medial lobus temporalis (unkus dan girus hippokampus) didorong melalui
incisura tentorii; ini menyebabkan tekanan pada nervus, kranialis ketiga dan
dilatasi pupil pada sisi yang sama. Penekanan hemisfer serebri memindahkan
batang otak ke arah sisi yang berlawanan dari incisura tentorii serebelli; jika
perpindahan ini terlalu jauh, pendarahan vena ke dalam batang otak menimbulkan
defisit neurologik yang tidak dapat diperbaiki lagi atau kematian.
Suatu hematoma epidural dapat berasal dari robekan pembuluh vena di dalam
tulang pada tempat fraktur atau dari sinus venosus duramatris mayoris yang
mengalami laselerasi. Karena tekanan vena rendah, hematoma venosa epidural
biasanya hanya terbentuk dari tulang dan membentuk suatu ruang dimana dapat
timbul hematoma.
Hematoma epidural biasanya terjadi setelah pukulan pada kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran untuk waktu singkat. Setelah pasien tersebut sadar
kembali, mungkin ada suatu “lucid interval”. Selama interval ini tidak ada tanda
atau gejala neurologis yang abnormal. Ketika hematoma tersebut membesar
secukupnya untuk menekan hemisfer serebri, timbul penurunan kesadaran secara
berangsur-angsur yang berkembang menjadi koma dan kematian bila
hematomanya tidak dikeluarkan. Ketika tingkat kesadaran menurun, pupil pada
sisi lesi berdilatasi dan terjadi hemiplegia kontralateral.
Meskipun hematoma epidural merupakan suatu lesi yang dapat disembuhkan,
angka kematiannya tinggi karena pasien tidak diperiksa oleh dokter, atau
gawatnya cedera ini tidak diketahui oleh dokter. Mungkin pasien tersebut
diperiksa selama “lucid interval” dan kemudian dipulangkan. Di rumah, pasien
dengan ini dianggap tertidur ketika, sebenarnya, ukuran hematoma telah
bertambah dan menyebabkan koma, bukan tidur. Mengingat bahaya ini, setiap
pasien dengan riwayat pukulan pada kepala yang menimbulkan ketidaksadaran
untuk waktu singkat saja harus mengalami pemeriksaan neurologik yang cermat
dan dibutuhkan foto rontgen kepalanya. Jika foto rontgen ini memperlihatkan
suatu fraktur, pasien tersebut harus dirawat dirumah sakit dan tingkat
kesadarannya diperiksa paling tidak tiap jam. Jika tidak ada fraktur, pasien
tersebut dapat dipunlangkan, tetapi anggota keluarga yang dapat diandalkan harus
diperintahkan untuk membangunkan pasien tersebut paling tidak tiap jam untuk
memastikan bahwa ia dapat dibangunkan dan tidak berada dalam keadaan koma.
Gangguan sensoris merupakan indikasi pertama bahwa operasi mungkin perlu
segera dilakukan. Ini adalah suatu keadaan darurat yang sebenarnya; jika operasi
ditunda sampai terjadi pendarahan batang otak, kemungkinan besar pasien akan
tetap koma meskipun bekuan darah di epidural telah dikeluarkan.

F. HEMATOMA SUBDURAL
Paling sering terjadi bila vena-bena yang berjalan dari korteks serebri, ke sinus
sagitalis superior di dekat garis tengah robek, atau bila suatu hematoma
intraserbral berhubungan dengan ruang subdural. Perdarahan terjadi diantara
arakhnoid dan duramater; karena rakhnoid melekat dengan kendur pada
duramater, hematoma ini dapat mencapai ukuran yang besar sekali, meskipun
sumber perdarahannya adalah dari vena (tekanannya rendah).
1. Hematoma subdural akut, berhubungan dengan cedera kepala yang hebat. Ia
berasal dari gabungan robekan “bridging veins” dan laserasi piamater dan
arakhnoid dari korteks serebri. Hematoma ini biasanya ditemukan selama CT
scanning, angiografi, atau operasi eksplorasi dengan melubangi tengkorak.
Pengeluaran bekuan darah tersebut dapat menyebabkan perbaikan yang
berarti, tetapi seringkali tetap ada defisit neurologik yang berat, yang
disebabkan oleh kontusio dan atau laselerasi serebri yang bersamaan.
2. Hematoma subdural subakut lesi, ini menjadi nyata 1-15 hari setelah cedera
dan disertai dengan letargi, kekacauan mental, hemiparesis, atau desifit
hemisferik lainnya yang terjadi secara progresif. Pengeluaran hematoma
tersebut biasanya menyebabkan perbaikan yang menyolok.
3. Hematoma subdural kronik, paling sering terjadi pada bayi dan pada orang
dewasa yang berusia lebih dari 60 tahun. Ia berasal dari robekan “bridging
veins” setelah suatu cedera kepala yang ringan. Hematoma tersebut mula-mula
kecil; ia menjadi dikelilingi oleh suatu membrana fibrosa, mencair, dan
perlahan-lahan membesar.
Riwayat penyakitnya biasanya merupakan riwayat perubahan mental atau
kepribadian yang progresif, dengan atau tanpa gejala-gelaja fokal (hemiplegia
progresif, afasia, dan sebagainya). Mungkin ada udem papil penemuan-
penemuan ini sering memberikan kesan diagnosa tumor otak, dan hematoma
tersebut dapat ditemukan secara tak diduga-duga selama angiografi atau CT
scanning.
Terapinya terdiri dari drainase melalui beberapa lubang. Jika cairan berkumpul
kembali, mungkin perlu dilakukan kranitomi untuk mengeluarkan membrana
yang menjadi tempat cairan tersebut.
4. Higroma subdural, adalah kumpulan cairan jernih atau berwarna kuning di
dalam ruang subdural. Ia mungkin terbentuk akibat robekan di dalam
arakhnoid yang memungkinkan likuor serebrospinalis masuk ke dalam ruang
subdural, sehingga menimbulkan gejala-gejala yang sama seperti hematoma
subdural kronis. Keadaan ini diterapi dengan mengeluarkan cairan tersebut
melalui banyak lubang.

Pendarahan extradural dan subdural


Urut-urutan kejadian yang klasik pada pendarahan ini adalah adanya pukulan
di kepala, baik yang diketahui atau tidak diketahui karena terjadi bersamaan
dengan cedera-cedera lain, kemudian disusul adanya kehilangan kesadaran
yang berlangsung singkat yang kemudian sembuh dan tampak sehat kembali,
baru sesudah itu mulailah timbul keadaan bingung, rasa kantuk dan koma yang
berkembang terus menjadi berat. Khas disini, pulsus lambat dan penuh, sedang
pernapasannya lambat dan dalam. Dijumpainya tanda-tanda lateralisasi
neurologis, seperti hemiparesis, reflek-reflek abnormal atau dilatasi pupil
asimetris, merupakan keharusan bagi dilakukannya tindakan darurat bedah
saraf.
Tanda-tanda yang dikemukakan tersebut tidak selalu jelas. Setiap penderita
yang terbukti mendapat trauma kepala dan tampak mengalami gangguan
neurologis yang tetap stabil dan kemudian sesudah waktu tertentu memburuk,
harus dicurigai akan adanya pendarahan intracranial.

Tiga kondisi mematoma yang terjadi akibat pendarahan:


 Epidural hematoma
Terletak pada ruang epidural antara tulang tengkorak dan duramater
Disebabkan oleh trauma pada arteri meningea media. Temporopariental
sering menyebabkan epidural hematoma.
Ditandai dengan : hilang kesadaran singkat diikuti dengan sadar penuh ( 4
- 6 jam ) kemudian hilang kesadaran ( koma ).
Pada saat sadar :
- pasien mual, muntah
- dilatasi pupil ipsilateral karena paralisis okulomotor
ipsilateral
- hemiparesis/hemiplegia kontra lateral
- kejang local
- Babinski positif
- herniasi tentorial
- naik tik  nadi lambat dan pantul, pernapasan lambat,
tekanan darah naik (cushing phenomenon).
 Subdural hematoma
Akumulasi darah pada ruangan antara dua meter dan arachnoid dan terus
membesar dengan menarik cairan dari sekitar jaringan.
Acute subdural hematoma
Gejala timbul beberapa jam setelah injuri
 Sakit kepala pada area mematoma atau dibelakang mata
 Berpikir lambat, confuse, kadang-kadang agitasi
 Kaku sebelah tangan atau hemiparesis kontralateral ringan
 Dilatasi pupil ipsilateral
Choronic subdural hematoma : beberapa minggu setalah injuri
 Absorbsi cairan ke dalam hematoma kecil
 Postur decorticate
 Hemiparesis
 Retrograde amnesia tidak dapat mengingat kembali injuri yang terjadi.
 Intracerebral hemorrhage
Penyebab : - stroke hipertensi
- Tengkorak/trauma tajam
- Penyakit : leukemia, anemia aplasti
Tanda dan gejala:
Mual, muntah, dizziness, sakit kepala, tik tinggi, memiplegia kontralateral.
 Fraktur tulang tengkorak
 Fraktur linear : bengkak, ecckymosis, lembek pada area kulit
kepala
 Fraktur depresi :
 Tertutup : kontusio, edema kulit kepala tanpa laserasi
 Terbuka : kulit kepala laserasi, perubahan loc
 Fraktur basal :
 Fosa amterior : - rhinorrhea jika dura robek
- Ecchymosis mata bilateral ( battle’s eyes )
- Injuri syaraf olfaktorius
 Fosa posterior : - ecchymosis pada tulang mastoid ( battle’s
sign )
- Otorrhea jika dura robek dan rupture
membrane tympani
- Gangguan pendengaran
- Injuri syaraf eranial
Komplikasi trauma kepala tertutup
- Edema otak, hydrocephalus, kejang, naik tik, diabetes, insipidus, gejala
neurologi sisa.
Komplikasi metabolic : insufisiensi pernapasan, infeksi, dan disfungsi
sistemik.

Komplikasi perdarahan intracranial


Hipoksia pernapasan menyebabkan hypoxemia dan hypereapnia. Ini
mengakibatkan naik aliran darah otak  naik tik  disfungis neurologic.
Perdarahan subaranchnoid dan hidrosephalus.
Diabetes insipious karena gangguan hypothalamus dan atau hypophyse.
Stress ulcer berhubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit, kejang dan
infeksi.

Tes diagnostic
 Foto kepala dan srvikal
 CT scan
 Cerebral angioera PHY
 AGD  hematoma intracranial  hiperventilasi  alkalosis reepiratori
Shick  hypoxia  metabolic acidosis

Terapi medik
 Steroid dan oshotic diuresis ( mannitol ) utuk penurunan edema
 Barbiturate untuk membuat pasien coma dengan menekan reticular
activating system ( RAS ). Menyebarkan penurunan metabolisme otak
sehingga penurunan penggunaan glukosa dan O2  penaikan
ketahanan hidup syaraf pada iskemia jaringan otak.
Indikasi terapi barbiturate:
TIK > 20 mmHg selama > 30’ dan tidak berespon terhadap terapi yang
lain.
Penurunan TIK pada terapi barbiturate karena vasokontriksi cerebral,
penurunan volume darah, penurunan produksi dan sekresi CSF.
 Pembedahan : Craniotomy, craniectomy, cranioplasty
Intervensi keperawatan
 Pernapasan tidak efektif
- suction ETT
- observasi penaikan TIK
- monitor AGD  pertahankan PCO2 : 25 – 30 mmHg
- pelihara ventilator mekanik
 Syok hipovolemik
- tinggikan kaki
- tinggikan kepala tempat tidur 15 – 30 derajat
 Infeksi
- beri antibiotic, tetanus toxoid
- ganti balut dengan teknik aseptic
 Penurunan tingkat kesadaran
- kaji respon, kemampuan motorik lokal, reaksi dan ukuran pupil, tanda
vital
 Penekanan tingkat kesadaran selama terapi barbiturate
- monitor TIK jika tekanan darah < 90 mmHg, berikan vasopressor
- monitor tekanan perfusi cerebral ( CPP )
- pelihara CPP antara 60-70 mmHg
- monitor kadar barbiturate dalam darah
 Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
- monitor osmolalitas serum, elektrolit, BUN, creatinine, intake dan
output
 Kekurangan nutrisi
- pelihara status nutrisi, beri hiperaliminiasi parentral, pelihara NGT
 Risti kerusakan kulit konstraktur, thrombus
- sering ubah posisi, gunakan alat untuk cegah kerusakan kulit
 Kecemasan keluarga : beri kesempatan untuk ungkap perasaan, Bantu
pemahaman dan keeping dengan perawatan komprehensif.
CEDERA KEPALA
Anatomi
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya.
Tanpa prlindungan ini otak yang lembut, yang membuat kita seperti adanya, akan
mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron
rusak, tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka
besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera dan
banyak lainnya timbul sekunder dari cedera. Efek-efek ini harus dihindari dan
ditemukan secepatnya oleh tim medis untuk mengindari rangkaian kejadian yang
menimbulkan gangguan mental dan fisik, bahkan kematian.
Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa, padat
dapat digerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma
eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membran
dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek, pembuluh-pembuluh
ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang
berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala. Tepat di bawah galea
terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung bena emisaria dan diploika.
Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke
dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa pentingnya pembersihan dan
debridement kulit kepala yang seksama bila galea terkoyak ( Schwartz, 1989 ).
Pada orang dewasa tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan isi intracranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding
atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga. Diding luar disebut tabula
eksternal, dan dinding dalam disebut tabula internal. Struktur demikian
memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang lebih
ringan. Tabula interna mengandung alur-alur yang berisikan arteria meningea
anterior, media dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan
terkoyaknya salah satu dari arteria-arteria ini, perdarahan arterial yang
diakibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat menimbulkan akibat
yang fatal kecuali bila ditemukan dan diobati dengan segera. Ini merupakan salah satu
keadaan darurat bedah saraf yang memerlukan pembedahan dengan segera.
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges
adalah duramater, araknoid, dan pia mater, masing-masing mempunyai fungsi
tersendiri dan strukturnya berbeda dari struktur lainnya.
Daur adalah membrane luar yang liat, semi transelusen, dan tidak elastis.
Fungsinya untuk:
1. melindungi otak
2. menutupi sinus-sinus vena
3. membentuk periosteum tabula interna.
Dura melekat erat dengan permukaan dalam tengkorak. Oleh karena bila dura robek
dan tidak diperbaiki dengan sempurna dan dibuat kedap udara akan timbul berbagai
masalah, maka kemungkinan fungsi terpenting dari dura adalah sebagai pelindung.
Dapat terjadi perluasan fraktur dan bukanya penyembuhan, dan kebocoran cairan otak
kronik yang dapat menimbulkan sikatriks dan menjadi fokal epilepsy. Tetapi pada
beberapa keadaan dura sengaja dibiarkan terbuka. Misalnya pada edema otak ( utuk
mengurangi tekanan bagi otak yang meonjol ), drainase cairan otak, atau setelah
tindakan trepanasi eksplorasi ( untuk memeriksa dan mengosongkan bekuan darah ).
Dura mempunya suplai darah yang kaya. Bagian tengah dan posterior disuplai oleh
arteria meningea media yang bercabang dari arteria vertebralis dan karotis interna.
Pembuluh anterior dan etmoid juga merupakan cabang dari arteria karotis interna dan
menyuplai darah ke fosa posterior.
Di dekat dura tetapi tidak menempel padanya adalah membrane halus, fibrosa,
dan elastis yang dikenal sebagai araknoid. Membrane ini tidak melekat pada dura
mater, akan tetapi ruangan antara kedua membrane tersebut – ruang subdural –
merupakan ruangan yang potensial. Perdarahan antara dura dan araknoid ( ruang
subdural ) dapat menyebar dengan bebas, dan hanya terbatas oleh sawar falks serebri
dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit
jaringan penyokong an oleh karena itu mudah sekali cedera dan robek pada trauma
kepala ( otak ).
Diantara araknoid dan pia mater ( uang terletak langsung di bawah araknoid )
terdapat ruang subaraknoid, ruangan ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu,
dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal. Pada sinus sagitalis superior dan
transveral, araknoid membentuk tonjolan vilus ( bneda pacchioni ) yang bertindak
sebagai lintasan untuk mengosongkan cairan serebrospinal ke dalam sisten vena.
Pria mater adalah suatu membrane halus yang sangat kaya dengan pembuluh darah
halus. Piamater merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam
semua suklus dan membungus semua girus ; kedua lapisan yang lain hanya
menjembatani sulkus. Pada beberapa fisuara dan sulkus di sisi medial hemisger otak,
piamater membentuk sawar antar ventrikel dan sulkus atau fisura. Sawar ini
merupakan struktur penyokong dari pleksus koroideus pada setiap ventrikel.
Kerusakan otak yang dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui dua cara :
1. efek langsung trauma pada fungsi otak
2. efek lanjutan dari sel-sel otak yang bereaksi terhadap trauma.
Kerusakan neurologik langsung disebabkan oleh suatu benda atau serpihan tulang
yang menembus dan merobek jaringan otak, oleh pengaruh suatu kekuatan atau energi
yang diteruskan ke otak, dan akhirnya oleh efek perepatan-perlambatan pada otak,
yang terbatas dalam kompartemen yang kaku.
Derajat kerusakan yang disebabkan oleh hal ini tergantung kepada kekuatan yang
menimpa – makin besar kekuatan, makin parah kerusakan. Ada dua macam kekuatan
yang dihasilkan melalui dua jalan yang mengakibatkan dua efek yang berbeda.
Pertama cedera setempat yang disebabkan oleh benda tajam dengan kecepatan rendah
dan tenaga kecil. Kerusakan fungsi neurologik terjadi pada tempat yang terbatas dan
disebabkan oleh benda atau fragmen-fragmen tulang yang menembus dura pada
tmepat serangan. Kedua, cedera menyeluruh yang lebih lazim dijumpai pada trauma
tumpul kepala dan setelah kecelakaan mobil. Kerusakan terjadi waktu energi atau
kekuatan diteruskan pada otak. Banyak dari energi diserap oleh lapisan pelindung
yaitu rambut, kulit kepala, dan tengkorak; tetapi pada trauma hebat, penyerapan ini
tidak cukup untuk melindungi otak. Sisa energi diteruskan ke otak dan menyebabkan
kerusakan dan gangguan sepanjang jalan yang dilewati karena jaringan lunak menjadi
sasaran kekuatan itu. Jika kepala bergerak dan berhenti dengan mendadak dan kasar,
seperti pada kecelakaan mobil, kerusakan tidak hanya disebabkan oleh cedera
setempat pada jaringan saja, tetapi juga oleh akselerasi dan deselerasi. Kekuatan
akselerasi dan dekselerasi menyebabkan isi dalam tengkorak yang keras bergerak,
dengan demikian memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat
yang berlawanan dengan benturan. Ini juga disebut cedera contrecoup. Seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, terdapat bagian dalam rongga tengkorak yang kasar dan
bila otak bergerak melewati daerah ini ( misalnya Krista sfenoidalis ), bagian ini akan
merobek dan mengoyak jaringan. Kerusakan diperhebat bila trauma juga
menyebabkan rotasi tengkorak. Bagian otak yang paling besar kemungkinannya
menderita cedera terberat adalah bagian anterior dari lobus frontalis dan temporalis
bagian posterior lobus oksipitalis dan bagian atas mesensefalon. ( Becker, 1988;
Ropper, 1991 ).
Efek sekunder trauma yang menyebabkan perubahan neurologik berat, disebabkan
oleh reaksi jaringan terhadap cedera. Setiap kali jaringan mengalami cedera,
responnya dapat diperkirakan sebelumnya dengan perubahan isi cairan intrasel dan
ekstrasel, ekstravasasi darah, peningkatan suplai ke darah ke tempat itu, dan
mobilisasi sel-sel untuk memperbaiki dan membuang debris selular.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada
suplai nutrient yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen sangat peka terhadap
cedera metabolic apabila suplai terhenti. Sebagai akibat cedera, sirkulasi otak dapat
kehilangan kemampuannya untuk mengatur volume darah beredar yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.

Hematoma Epidural
Hematoma epidural merupakan suatu akibat serius dari cedera kepala dengan
angka mortalitas sekitar 50%. Hematoma epidural paling sering terjadi di daerah
parietotemporal akibat robekan arteria meningea media. Hematoma epidural di daerah
frontal dan oksipital sering tidak dicurigai dan memberi tanda-tanda setempat yang
tidak jelas. Bila hematoma epidural tidak disertai cidera lain dari otak biasanya
pengobatan yang dini dapat menyembuhkan penderita dengan sedikit atau tanpa
deficit neurologik.
Riwayat klasik penderita hematoma epidural adalah terjadinya cedera kepala yang
diikuti keadaan tidak sadar beberapa saat. Periode ini kemudia diikuti oleh suatu
periode lusid. Penting untuk dicatat bahwa interval lusid ini bukan merupakan tanda
diagnosik yang dipercaya bagi hematoma epidural. Pertama, interval lusid mungkin
berlalu tanpa diketahui, terutama bila dalam sekejap saja. Kedua, penderita dengan
cedera otak, berat tambahan dapat tetap berada dalam keadaan stupor ( Becker, 1988 )
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus
temporalis otak kearah luar dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian media lobus
( unkus dan sebagian dari girus hipokampus ) mengalami herniasi dibawah pinggiran
tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat
dikenal oleh tim medis.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formasindo
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini
juga terdapat nuclei saraf klanial ketiga ( okulomotorius ). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons
motorik kolateral ( yaitu berlawanan dengan tempat hematoma ), refleks hiperaktif
atau sangat cepat dan tanda Babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kea
rah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-
tanda lanjut peningkatan intracranial antara lain kekuatan deserbrasi dan gangguan
tanda-tanda vital dan fungsi pernapasan.
Diagnosis pendarahan epidural dibuat berdasarkan arteriogram karotis serta
ekoensefalogram. Pengobatan adalah evakuasi bedah hematoma dan mengatasi
pendarahan dari arteria meningaea media yang terkoyak. Intervensi bedah harus
dikerjakan sejak dini dan sebelum tekanan serius pada jaringan otak menimbulkan
kerusakan. Mortalitas tetap tinggi meskipun diagnosis dan pengobatan dilakukan dini,
yaitu karena trauma dan sekuele berat yang menyertainya.

Hematoma subdural
Sementara hematoma epidural pada umumnya berasal dari arteria, hematoma
subdural berasal dari vena. Hematoma ini timbul akibat rupture vena yang terjadi
dalam ruangan subdural. Hematoma subdural dipilah menjadi tipe-tipe yang berbeda
dalam simtomatologi dan prognosis: akut, subakut, dan kronik.

Hematoma subdural akut


Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik penting dan serius
dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera. Seringkali berkaitan dengan trauma otak
berat, hematoma ini juga mempunyai mortalitas yang tinggi.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan
herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan
pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan
dan hilangnya control atas denyut nadi dan tekanan darah.
Diagnosis dibuat dengan arteriogram karotis dan ekoensefalogram atau CT scan.
Adanya hematoma subdural akut harus selalu dipikirkan pada penderita yang
mendapat trauma neurologik berat yang memperlihatkan tanda-tanda status
neurologik yang memburuk. Karena lebih dari separuh kasus hematoma ini terjadi
bilateral, sangat penting menentukan tipe cedera yang terjadi an melakukannya
tindakan diagnostic yang tepat untuk menyingkirkan kemungkinan hematoma
bilateral.
Pengobatan terutama berupa tindakan pengangkatan hematoma, dekompresi
dengan mengangkat tempat-tempat pada tengkorak, dan jika perlu, bagian-bagian
lobus frontalis atau lobus temporalis, serta melepaskan kompresi dura. Bahkan pada
diagnosis dini dan pembedahan dini sekalipun, angka mortalitas tetap berkisar 60%,
sebagian besar disebabkan oleh trauma otak berat dan kegagalan organ utama yang
menyertai trauma berat.

Hematoma subdural subakut


Hematoma subdural subakut menyebabkan defisit neurologik yang bermakna
dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera ( Schwartz.
1989 ). Seperti hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh
pendarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis yang khas dari penderita hematoma subdural subakut adalah
adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti
perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun setelah jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk.
Tingkatan kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam. Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita dapat
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respons terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Seperti hematoma subdural akut, pengerasan isi
intrakranial dan peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh akumulasi
darah akan menimbulkan herniasi usus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda
neurologik dari kompresi batang otak.
Seperti pada pengobatan hematoma subdural akut, pengobatan hematoma
subdural subakut dilakukan dengan mengangkat bekuan darah secepat dan sesegera
mungkin. Hal ini dapat dilaksanakan dengan berbagai cara tergantung pada keadaan
klinis penderita. Karena banyak bekuan darah ini bersifat bilateral, maka kedua ruang
subdural harus dibersihkan dan bila ada indikasi lakukan bedah eksplorasi ( Schwartz,
1989 ).
Hematoma subdural kronik
Ada hal yang menarik dalam amnesis penderita hematoma subdural kronik.
Trauma otak yang menjadi penyebab dapat sangat ringan sehingga terlupakan.
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan
beberapa tahun setelah cedera pertama.
Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural. Terjadi
perdarahan secara lambat dalam ruang subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah
perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Dengan adanya selisih
tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan
sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan
perdarahan lebih lanjut yang merobek membran atau pembuluh darah disekelilingnya,
menambah ukuran dan tekanan hematoma. Jika dibiarkan mengikuti perjalanan
alamiahnya, unsur-unsur kandungan hematoma subdural akan mengalami perubahan-
perubahan yang khas.
Hematoma subdural kronik sering juga disebut “peniru” karena tanda dan gejala
biasanya tidak spesifik, tidak terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh proses penyakit
lain. Beberapa penderita mengeluh sakit kepala. Tanda dan gejala yang paling khas
adalah perubahan progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati, letargi, dan
berkurangnya perhatian, dan mengurangnya kemampuan untuk mempergunakan
kecakapan kognitif yang lebih tinggi. Hemiapnosia, hemiparisis, dan kelainan pupil
ditemukan kurang dari 50% kasus. Cairan spinal amat jarang, dapat membantu
menegakkan diagnosis, dan dapat saja menunjukan kelainan yang tidak spesifik
dimana terjadi kenaikan kandungan protein dan kantokromia, atau mengandung
sedikit sel darah merah

Anda mungkin juga menyukai