Disusun Oleh:
1
BAB I. PENDAHULUAN
Seperti diketahui, bahwa berbicara tentang kekuatan mengikat dari pada hukum, atau
mengapa hukum ditaati oleh manusia atau masyarakat, maka kita berhadapan dengan adanya
pandangan beberapa aliran atau mazhab dalam kajian Ilmu Hukum secara umum.
Adanya beberapa aliran atau mazhab ini, antara lain ditegaskan oleh Sudarsono dalam
bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum (1991: 103-104) menyatakan; "Permasalahan
pertama berkaitan erat dengan ketaatan terhadap hukum, dalam kaitan ini timbul beberapa
teori dan aliran pendapat di dalam Ilmu Pengetahuan Hukum yang lebih dikenal dengan
adanya mazhab.
Kendati tidak semua ahli merumuskan klasifikasi aliran hukum seperti tersebut, namun
sekedar pegangan dapat dikatakan bahwa membahas tentang kekuatan mengikat hukum
melahirkan sejumlah aliran atau mashab yang antara lain dikemukakan di atas.
Salah satu diantara aliran yang akan dibahas dalam makalah ini, adalah
aliran Utilitarianisme dan aliran historis atau aliran sejarah sebagai salah satu aliran yang
relatif cukup tua dalam sejarah perkembangan hukum.
Utilitarianisme ialah idea atau fahaman dalam falsafah moral yang menekankan
prinsip manfaat atau kegunaan dalam menilai sesuatu tindakan sebagai prinsip moral yang
paling dasar. Dengan prinsip kegunaan dimaksudkan prinsip yang menjadikan kegunaan
sebagai tolok ukur pokok untuk menilai dan mengambil keputusan apakah suatu tindakan itu
secara moral dapat dibenarkan atau tidak. Tindakan yang secara moral benar adalah tindakan
yang berguna. Suatu tindakan dinilai berguna kalau akibat tindakan tersebut, secara
keseluruhan, dengan memperhitungkan semua phak yang terlibat dan tanpa membeza-
bezakan, membawa akibat baik berupa kegembiraan atau kebahagiaaan yang semakin besar
bagi semakin banyak orang.
Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai
tujuan utama hukum. Kemanfaatan ini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi baik
buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan
kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Oleh karena itu tugas hukum adalah mengantarkan
manusia menuju The Ultimate Good. Sehingga esensi hukum harus bermanfaat, artinya
hukum yang dapat membahagiakan sebagaian terbesar masyarakat.
Lahirnya aliran sejarah adalah sebagai akibat adanya keberatan terhadap pandangan
hukum alam yang dapat berlaku secara universal. Latar belakang lahirnya aliran historis
2
tersebut, dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul Ilmu Hukum
(1996: 277) yang menyatakan bahwa "Baik aliran positivisme dan aliran sejarah serta
anthropologi merupakan reaksi terhadap teori-teori hukum alam. Benih-benih bagi
tumbuhnya pendekatan sejarah tersimpan pada abad-abad sebelumnya, terutama dalam
hubungannya dengan dasar-dasar yang dipakai untuk menyusun teori-teori tersebut".
Sebagian dari pokok aliran historis menyatakan bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi
pada hakekatnya lahir dan tumbuh dari dan dengan rakyat, berkembang bersama dengan
rakyat, namun ia akan mati, manakala rakyat kehilangan kepribadiannya (das recht wirdnicht
gemacht, es wachst mit dem volke vort, bilden sich aus mit diesem, und strirbt endlich ab
sowie das volk seineen eigentuum lichkeit verliert). Sumber hukum intinya adalah hukum
kebiasaan adalah volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat.
Teori utilitarianisme yang digagas oleh Jeremy Bentham (juga John Stuart Mill dan
Rudolf von Jhering) adalah bentuk reaksi terhadap konsepsi hukum alam pada abad ke
delapan belas dan sembilan belas. Bentham mengecam konsepsi hukum alam, karena
menganggap bahwa hukum alam tidak kabur dan tidak tetap. Bentham mengetengahkan
gerakan periodikal dari yang abstrak, idealis, dan apriori sampai kepada yang konkret,
materialis, dan mendasar. Sebagai bagian dari etika, Utilitiarianisme merupakan salah satu
teori besar etika yang muncul pada abad 19. Kemunculannya dilatarbelakangi oleh keinginan
besar untuk melepaskan diri dari belenggu doktrin hukum alam.
3
individu-individu, barulah kepada orang banyak. ”the greatest happiness of the greatest
number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya dari sebanyak-banyaknya orang). Prinsip ini
harus diterapkan secara kuatitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama. Untuk
mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat maka perundang-undangan harus
mencapai empat tujuan: (1) to provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup); (2) to
Provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan berlimpah); (3) to provide
security (untuk memberikan perlindungan); dan (4) to attain equity (untuk mencapai
persamaan).
4
kesenangan, keakraban dan jauh dekatnya kesenangan dengan waktu,kemungkinan
kesenangan akan mengakibatkan adanya kesenangan tambahan
berikutnya kemurnian tentang tidak adanya unsur-unsur yang menyakitkan,
dan kemungkinan berbagi kesenangan dengan orang lain. Untuk itu ada sanksi yang
harus dan akan diterapkan untuk menjamin agar orang tidak melampaui batas dalam
mencapai kesenangan yaitu: sanksi fisik, sanksi politik, sanksi moral atau sanksi
umum, dan sanksi agama atau sanksi kerohanian.
5
BAB II. KEUNGGULAN DAN KEKURANGAN MAZHAB UTILITY JEREMY
BENTHAM ( Untuk Pembangunan Hukum Nasional )
6
mengambil keputusan, kebijaksanaan atau untuk bertindak, kedua, etika utilitarianisme
sebagai standar penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan.
8
BAB III. KESIMPULAN
Dari uraian terdahulu dapat disarikan beberapa prinsip pokok utilitarisme Jeremy
Bentham sebagai berikut:
1. Utilitarianisme adalah sebuah teori yang diusulkan oleh David Hume untuk
menjawab moralitas yang saat itu mulai diterpa badai keraguan yang besar, tetapi
pada saat yang sama msih tetap sangat terpaku pda aturan-aturan ketat moralitas
yang tidak mercerminkan perubahan-perubahan radikal di zamannya.
9
2. Utilitarianisme secara utuh dirumuskan oleh Jeremy Bentham da dikembangkan
secara luas oleh James Mill dan John Stuart Mill. Utilitarianisme terkadang
disebut dengan Teori Kebahagiaan Terbesar yang mengajarkan tiap manusia
meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Karena,
kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik ,dan penderitaan adalah satu-
satunya kejahatan intrinsik. Bagi Bentham moralitas bukanlah persoalan
menyenangkan Tuhan atau masalah kesetiaan pada aturan-aturan abstrak,
melainkan tidak lain adalah upaya untuk mewujudkan sebanyak mungkin
kebaahagiaan di dunia ini. Oleh karena itu, Bentham memperkenalkan prinsip
moral tertinggi yang disebutnya dengan ‘Asas Kegunaan atau Manfaat’ (the
principle of utility).
3. Maksud Asas Manfaat atau Kegunaan, kata Bentham, ialah asas yang meyuruh
setiap orang untuk melakukan apa yang menghasilkan kebahagiaan atau
kenikmatan terbesar yang diinginkan oleh semua orang untuk sebanyak mungkin
orang atau masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, menurut pandangan
utilitarian, tujuan akhir manusia, mestilah juga merupakan ukuran moralitas.
Dari sini, muncul ungkapan ‘ tujuan menghalkan cara ’.
4. Bentham memperkenalkan metode untuk memilih tindakan yang disebut dengan
utility calculus. Menurutnya, pilihan moral harus dijatuhkan pada tindakan yang
lebih banyak jumlanya dalam memberikan kenikmatan daripada penderitaan
yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. Jumlah kenikmatan ditentukan oleh
intensitas, durasi, kedekatan dalam ruang,pronian (tidak diikuti oleh perasaan
yang tidak enak seperti sakit atau kebosanandan sejenisnya).
5. Para Utilitarian menyusun argumennya dalam tiga langkah berikut berkaitan
dengan pembenaran euthanasia (mercy killing):
a. Perbuatan yang benar secara moral ialah yang paling banyak memberikan
jumlah kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia.
b. Setidaknya dalam beberapa kesempatan, perbuatan yang paling banyak
memberikan jumlah kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia bias
dicapai melalui euthanasia.
c. Oleh karena itu, setidaknya dalam beberapa kesempatan, euthanasia dapat
dibenarkan secara moral.
10
Sekalipun mungkin argument diatas tampak bertentangan dengan agama,
Bentham mengesankan bahwa agama akan mendukung, bukan menolak,
sudut pandang utilitarian bilamana para pemeluknya benar-benar
memegang pandangan mereka tentang Tuhan yang penuh kasih sayang.
Pada sisi lain, para utilitarian menolak eksperimen-eksperimen saintifik
tertentu yang melibatkan binatang, lantaran kebahagiaanatau kenikmatan
harus dipelihara terkait dengan semua makhluk yang bias merasakannya
terlepas ia makhluk berakal atau tidak. Lagi-lagi buat mereka, melakukan
yang hal yang menambah penderitaan adalah immoral.
Singkatnya, Utilitarianisme Klasik yang diusung oleh Jeremy Bentham,
James Mill, dan anaknya, John Stuart Mill, dapat diringkas dalam tiga
proporsi berikut:
Pertama, semua tindakan mesti dinilai benar/baik atau salah/jelek semata-
mata berdasarkan konsekuensi-konseksuensi atau akibat-akibatnya. Kedua,
dalam menilai konsekuensi-konsekuensi atau akibat-akibat itu, satu-satunya
hal yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau penderitaan yang
dihasilkan. Jadi, tindakan-tindakan yang benar adalah yang menghasilkan
surplus kebahagiaan terbesar ketimbang penderitaan. Ketiga, dalam
mengkalkulasikan kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkan, tidak
boleh kebahagiaan seseorang dianggap lebih penting daripada kebahagiaan
orang lain. Kesejahteraan tiap orang sama penting dalam penilaian dan
kalkulasiuntuk memilih tindakan.
Gagasan Utilitarianisme yang menyatkan bahwa ‘kebahagiaan itu adalah
hal yang diinginkan dan satu-satunya tujuan yang diinginkan, semua hal
lain diinginkan demi mencapai tujuan itu’ jelas mirip dengan gagasan
Hedonisme. Dan Hedonisme seperti kita tahu, adalah keyakinan klasik
bahwa kenikmatan, kebahagiaan atau kesenangan adalah kebaikan tertinggi
dalam kehiupan. Istilah Hedonisme, sendiri berasal dari kata Yunani yang
bermakna kesenangan. Hanya saja, Epicurus, tokoh utama Hedonisme
percaya bahwa manusia seharusnya mencari kesenangan, kebahagiaan
orang bijak harus menghindari kesenangan-kesenangan yang akhirnya akan
berujung pada penderitaan.
Para penggugat Utilitarianisme mengajukan sejumlah keberatan. Antara
lain, Asas kegunaan itu sering bertentangan dengan aturan-aturan moral
11
yang sudah mapan, seperti Jangan Berbohong, Jangan Mencuri, Jangan
Membunuh.
Kedua, Utilitarianisme cenderung mengunggul-kan Asas keggunaan (the
principle of utility) atas Asas Keadilan atau Hak-Hak seseorang. Misalnya,
bila ada dua belah pihak yang bertikai di depan hukum. Salah satunya lebih
kuat dan berkuasa dariada yang lai, sehingga kekalahan pihak yang lebih
berkuasa akan mngakibatkan kesengsaraan atau penderitaan yang lebih
besar pada pihak lawan dan orang-orang sekitarnya; kaum Utilitarian akan
memenangkan pihak yang lebih kuat demi mencapai sedikit mungkin
penderitaan, sekalipun untuk itu asas keadilan atau hak seseorang harus
dikorbankan.
Gugatan lain: Karena Utilitarianisme secara eksklusif mengambil
pertimbangan pertimbangan tentang konsekuensi yang akan terjadi, maka
pandangannya selalu melupakan masa lalu. Misalnya, bila seseorang
berjanji kepada adiknya melakuan sesuatu, lalu mendadak dia harus
melakukan sesuatu yang lain yang juga sama-sama penting dengan janji
tersebut, tetapi pekerjaan tersebut lebih menyenangkan baginya, maka
kaum Utilitarian akan lebih memilih melanggar perjanjian itu. Dengan
demikian, kaum Utilitarian mengabaikan apa yang disebut dengan
kewajiban-kewajiban moral.
1. Untuk menjawab gugatan-gugatan itu, kaum Utilitarian membedakan
Utilitarianisme Tindakan (Act Utilia-rianism) dengan Utilitarianisme
Kaidah (Rule Utilita-rianism). Utilitarianisme Kaidah berpijak pada
pandangan bahwa ‘semua aturan perilaku umum yang cenderung
memajukan kebahagiaan terbesar bagi orang banyak’ harus dikukuhkan.
Jadi, dalam kasus aturan Jangan Berbohong, Utilitarianisme-Kaidah
menyatakan tindakan yang berdasarkan tindakan moral ini lebih sering
menghasilkan konsekuensi kebahagiaan ketimbang Bebohonglah. Dengan
demikian, aturan Jangan Berbohong sesuai dengan Utilitarianisme-Kaidah.
2. Namun, para penggugat kembali menyatakan bahwa gagasan
Utilitarianisme Kaidah terbalik dalam menilai banyak hal. Misalnya,
persahabatan adalah sesuatu yang baik dan benar, sekalipun seringkali ia
tidak menyenangkan atau membuat kita menderita.
12
Kita memiliki sahabat da menghargai persahabatan karena memang itulah
tindakan yang baik dan benar, sekalipun kita tidak tahu konsekuensi atau
akibat dari persahabatan kita. Jadi, terbalik dengan gagasan Utilitarianisme
yang mengajarkan kita untuk mencari kebahagiaan, dalam situasi ini kita
pertama-tama melihat bahwa persahabatan itu baik dan kita bahagia karena
mengerjakan hal yang baik, dan bukan kita mencari sahabat karena dengan
persahabatan itu kita dapat mencapai kebahagiaan.
3. Selain itu, pertanyaan yang paling sulit dijawab kaum Utilitarian
adalah: Apakan hakikat kebahagiaan? Apakah kebahagiaan iyu hasil dari
suatu tindakan, atau dirasakan saat tindakan berlangsung? Apakah
kebahagiaan yang dituju disini bersifat permanen ataukah sementara,
seringkali kebahagiaan yang bersifat sementara berlawanan dengan
kebahagiaan yang bersifat permanen? Bukankah moralitas Utilitarian itu
berpijak pada sesuatu yang akan terjadi atau sesuatu yang belum tentu
terjadi untuk memutuskan tindakan yang seharusnya sgera terjadi?
4. Gugatan lain yang ditujukan atas Utilitarianime: bukankah utility itu
merupakan sesuatu yang relatif? Dan bila relatif, dan memang
demikian adanya, mungkinkah hal yang relatif menjadi ukuran baik
buruk moral bagi suatu tindakan.
13