Anda di halaman 1dari 13

RESUME

Tentang:
 Peran Indonesia Dalam Konferensi Asia Afrika
 Peran Indonesia Dalam Gerkana Garuda Di Bawah Pbb
 Deklarasi Juanda
 Peran Indonesia Dalam Organisasi Konfrensi Islam (Oki)
 Peran Indonesia Dalam Jakarta Informal Meeting (Jim)

Disusun Oleh:
 MUH. KHAIRU KHOLQILLAH
 BAIQ MURDINI
 LIANA FITRI
 WIWINDA SEPTIANY

SMA DARUN NAJIHIN NW BAGIK NYALA


TP. 2021/2022
PERAN INDONESIA DALAM KONFERENSI ASIA AFRIKA

Berikut peran Indonesia dalam Konferensi Asia Afrika:


1. Sebagai Salah Satu Pelopor Konferensi Asia Afrika
KAA dipelopori oleh 5 negara, yaitu Indonesia, India, Pakistan,
Burma (sekarang Myanmar) dan Sri Lanka. Indonesia merupakan salah
satu negara yang memprakarsai terselenggarakannya KAA bersama lima
negara lainnya.
2. Konferensi Colombo
Konferensi Colombo diadakan pada tangga 28 April hingga 2 Mei
1954 di Colombo, Sri Langka.
Konferensi ini diikuti oleh perwakilan dari 5 negara yaitu:
a. Indonesia: Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo
b. India: Perdana Menteri Shri Pandit Jawaharlal Nehru
c. Pakistan: Perdana Menteri Mohammad Ali Jinnah
d. Burma: Perdana Menteri Unu
e. Sri Lanka: Perdana Menteri Sir John Kotelawala
Konferensi Colombo ini menghasilkan beberapa keputusan sebagai
berikut
a. Negara-negara yang berada di kawasan Indochina dan Asia Afrika
harus memperoleh kemerdekaan
b. Tunisia dan Maroko harus merdeka dan terbebas dari jajahan Bangsa
Eropa
c. Negara Indonesia menjadi tempat untuk menyelenggarakan Konferensi
Asia Afrika
Konferensi Colombo ini menjadi cikal bakal konferensi Asia Afrika
yang akan dilaksanakan di Bandung.
3. Konferensi Bogor
Konferensi Bogor atau disebut juga Konferensi Panca Negara II
dilaksanakan pada tanggal 18 – 31 Desember 1954 di Bogor.
Konferensi ini dihadiri oleh lima negara dengan perwakilan yang
sama seperti saat di Konferensi Colombo.
Pertemuan ini diadakan untuk mematangkan rencana penyelenggaraan
Konferensi Asia Afrika (KAA) di Indonesia. Konferensi ini menghasilkan
keputusan sebagai berikut.
a. KAA akan diselenggarakan di Bandung yang dihadiri 5 negara
(Indonesia, India, Pakistan, Burma, Sri Lanka) sebagai negara sponsor
atau pengundang.
b. KAA akan mengundang sekitar 25 negara yang berada di kawasan
Asia Afrika.
Konferensi bogor ini menyempurnakan hasil rapat dari konferensi
Colombo yang sudah dilaksanakan sebelumnya.
4. Sebagai Tuan Rumah Konferensi Asia Afrika
Peran Indonesia selanjutnya yaitu menjadi tuan rumah Konferensi
Asia Afrika. Hal ini terjadi karena dalam dua konferensi sebelumnya,
sudah disetujui bahwa KAA akan diselenggarakan di Bandung.
Berikut ini merupakan penjelasan tentang KAA yang diselenggarakan di
Indonesia.
1. Konferensi Asia Afrika Tahun 1995
Konferensi Asia Afrika pertama kali diselenggarakan pada tanggal 18
hingga 24 April 1955 di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia.
KAA pertama ini menghasilkan Dasasila Bandung yang merupakan
10 poin deklarasi atas dukungan bagi kedamaian dan kerja sama dunia. 10
poin Dasasila Bandung antara lain adalah
1) Menghormati Hak-Hak Dasar Manusia
2) Menghormati Kedaulatan Negara Lain
3) Mengakui Persamaan Ras
4) Tidak Melakukan Intervensi Kepada Negara lain
5) Menghormati Hak Tiap-Tiap negara Untuk Mempertahankan Diri
6) Tidak Menggunakan Pertahanan Kolektif dengan Negara Besar untuk
menekan Negara Lain
7) Tidak Melakukan Tindakan atau Ancaman Agresi
8) Menyelesaikan Semua Masalah Dunia dengan Perundingan atau
Penyelesaian Secara Hukum yang Berlaku Internasional
9) Memajukan Kerjasama di Segala Bidang untuk Kepentingan Bersama
10) Negara Asia Afrika Menghormati Hukum-Hukum dan Kewajiban-
Kewajiban Internasional
Dasasila ini menjadi komitmen bersama yang dipegang oleh negara-
negara yang mengikuti konferensi pertama ini. Dasa sila ini juga sesuai
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila serta kebijakan luar
negri Indonesia.
2. Konferensi Asia Afrika Tahun 2005
Para Kepala Negara di kawasan Asia Afrika diundang ikut serta dalam
pertemuan untuk memperingati 50 tahun semenjak pertemuan bersejarah
KAA tahun 1955.
Pertemuan ini juga dihadiri oleh Koffi Anan yang merupakan
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Konferensi Asia Afrika ini diadakan di Jakarta pada tanggal 19 hingga
23 April 2015 dan di Bandung pada tanggal 24 April 2005. Sebagian dari
pertemuan diadakan di lokasi yang sama dengan pertemuan KAA tahun
1955 lalu, yaitu Gedung Merdeka.
3. Konferensi Asia Afrika Tahun 2015
KAA tahun 2015 merupakan pertemuan yang ke-60. KAA ini
diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 19 – 23 April 2015 dan di
Bandung pada tanggal 14 April 2015.
Konferensi ini dihadiri sebanyak 89 Kepala Negara di kawasan Asian
Afrika, 17 negara pengamat, 20 organisasi internasional, serta 1.426
perwakilan media lokal dan asing.
KAA ini menghasilkan tiga dokumen, yaitu:
a. Bandung Message (Pesan Bandung)
b. Deklarasi New Asian-African Strategic Partnership (NAASP) atau
Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika
c. Deklarasi kemerdekaan Negara Palestina
Disini, Indonesia juga berperan besar karena pertemuan-pertemuan ini
dilakukan dalam wilayah Indonesia.
1. Sebagai Panitia KAA
2. Sebagai Pendiri Museum Konferensi Asia Afrika

PERAN INDONESIA DALAM GERKANA GARUDA DI BAWAH PBB


A. Peran Indonesia dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB
Komitmen Indonesia untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial merupakan
amanat dari alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945. Komitmen ini senantiasa diwujudkan melalui partisipasi dan
kontribusi aktif Indonesia di dalam MPP PBB.
Saat ini, jumlah personel Indonesia yang tengah bertugas dalam berbagai
MPP PBB (sesuai data gabungan per 30 November 2018) adalah
sejumlah 3.544 personel (termasuk 94 personel perempuan), dan
menempatkan Indonesia di urutan ke-7 dari 124 Troops/Police Contributing
Countries (T/PCC). Personel dan Pasukan Kontingen Garuda tersebut
bertugas di 8 (delapan) MPP PBB, yaitu UNIFIL (Lebanon), UNAMID
(Darfur,Sudan), MINUSCA (Repubik Afrika Tengah), MONUSCO
(Republik Demokratik Kongo), MINUSMA (Mali), MINURSO (Sahara
Barat), UNMISS (Sudan Selatan), dan UNISFA (Abyei, Sudan).
B. Guna Mendukung Tata Kelola Nasional Dan Mendorong Peningkatan
Partisipasi Indonesia pada MPP PBB
Telah dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Pembentukan Tim Koordinasi Misi Pemeliharaan Perdamaian (TKMPP)
melalui Peraturan Presiden No. 85 Tahun 2011, yang diketuai Menteri
Luar Negeri dan beranggotakan Menteri/Pemimpin Lembaga terkait MPP
PBB.
2. Penetapan Vision 4,000 Peacekeepers yang telah dibakukan dalam suatu
peta jalan (Roadmap) guna menempatkan Indonesia pada jajaran 10
besar negara penyumbang personel pada MPP PBB melalui kontribusi
hingga 4.000 personel di akhir tahun 2019. Untuk itu, Menteri Luar Negeri
RI selaku Ketua TKMPP telah menerbitkan Peraturan Menteri Luar
Negeri RI No. 5 Tahun 2015 Tentang Peta Jalan Visi 4.000 Personel
Pemelihara Perdamaian 2015-2019 sebagai acuan strategis dalam
mewujudkan Vision 4,000 Peacekeeperstersebut.
3. Pendirian Pusat Misi Pemeliharaan perdamaian (PMPP) TNI pada tahun
2012 sebagai pusat pelatihan personel TNI yang akan dikirimkan ke MPP
PBB, sekaligus hub bagi pusat pelatihan serupa di kawasan. Kedepannya
Kepolisian RI juga akan membangun pusat pelatihan bagi personel Polri
yang akan dikirimkan ke MPP PBB.
4. Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2015 tentang Pengiriman
Misi Pemeliharaan Perdamaian. Perpres ini menjadi landasan hukum
payung bagi pengiriman personel dan pasukan Indonesia pada berbagai
MPP, baik yang digelar oleh PBB maupun organisasi regional.
C. Tim Koordinasi Misi Pemeliharaan Perdamaian (TKMPP).
TKMPP mempunyai tugas menyiapkan perumusan kebijakan dan
mengoordinasikan langkah-langkah yang diperlukan dalam pelaksanaan
partisipasi Indonesia pada misi-misi pemeliharaan perdamaian dunia
berdasarkan kepentingan nasional. Sedangkan untuk melaksanakan tugas itu,
TKMPP melaksanakan fungsi: a) pengoordinasian perencanaan, persiapan,
pelaksanaan, dan penghentian partisipasi Indonesia pada misi-misi
pemeliharaan dunia; b) penyiapan kajian komprehensif dan penyiapan
rekomendasi tentang kebijakan bagi partisipasi Indonesia pada misi-misi
pemeliharaan dunia; c) penyiapan dan perumusan posisi dan strategi
Indonesia dalam perundingan mengenai partisipasi Indonesia pada misi-misi
pemeliharaan perdamaian dunia berdasarkan kepentingan nasional; dan d)
pemantauan dan evaluasi partisipasi Indonesia pada misi-misi pemeliharaan
perdamaian dunia.
D. Keanggotaan Tidak Tetap Indonesia di DK PBB 2019-2020
Isu UN peacekeeping merupakan salah satu prioritas keanggotaan tidak
tetap Indonesia di DK PBB, dalam upaya Indonesia memberikan kontribusi
terhadap penguatan ekosistem/geopolitik perdamaian dan stabilitas global.
Pengusungan isu peacekeeping antara lain juga didasarkan pada kredensial
Indonesia sebagai T/PCC terbesar untuk MPP PBB di antara kelima belas
negara anggota DK PBB tahun 2019-2020. Indonesia oleh karenanya akan
memberikan perhatian besar kepada isu-isu peacekeeping, termasuk aspek
keselamatan dan keamanan personel dan aspek peningkatan
peran peacekeeper perempuan. 

DEKLARASI JUANDA
A. Sejarah
Sejarah Deklarasi Djuanda terjadi tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi
ini dicetuskan oleh tokoh yang menjabat Perdana Menteri indonesia kala itu,
Djuanda Kartawidjaja. Lantas, apa sebenarnya Deklarasi Djuanda, tujuan,
hasil, serta dampaknya?
Deklarasi Djuanda pada intinya menyatakan tentang wilayah negara
Republik Indonesia. Sebelum ada deklarasi ini, wilayah negara Indonesia
masih mengacu kepada peraturan zaman kolonial Hindia Belanda yaitu
Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939).
Dalam TZMKO 1939, tertulis bahwa wilayah perairan Indonesia hanya
selebar 3 mil laut yang mengelilingi tiap pulau. Dengan demikian, kapal-
kapal asing diperbolehkan melintasi perairan yang memisahkan pulau-pulau
itu.
B. Latar Belakang dan Tujuan Deklarasi Djuanda
TZMKO 1939 membuat wilayah Indonesia terpecah-belah dan tidak
berada dalam satu kesatuan. Pulau-pulau yang ada di dalam wilayah
Indonesia tidak saling terhubung dan dipisahkan oleh perairan internasional.
Perairan internasional adalah zona yang bebas untuk dilayari oleh kapal-
kapal negara asing. Tiap negara boleh untuk melaksanakan kegiatan apa pun,
baik yang menguntungkan atau merugikan kedaulatan Indonesia.
Indonesia keberatan dengan peraturan tersebut karena TZMKO 1939 tidak
memperhatikan sifat khusus negara Indonesia sebagai negara kepulauan
(archipelago). Padahal, Indonesia memiliki 17 ribu pulau yang harus dijaga
kesatuan dan pertahanannya
Oleh karena itu, dibutuhkan peraturan yang mampu untuk melindungi
wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, dan Deklarasi Djuanda
menjadi pembuka jalan untuk melawan TZMKO 1939 dan usaha untuk
mendapatkan pengakuan internasional.
Deklarasi Djuanda merupakan akar dari Pasal 25 Undang-Undang Dasar
(UUD 1945). Dalam pasal tersebut, Indonesia mengesahkan identitasnya
sebagai “negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah dan batas-
batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.”
Merujuk pada modul Sejarah Indonesia (2020:8) yang diterbitkan oleh
Kemendikbud, tujuan dari Deklarasi Djuanda adalah untuk mewujudkan
wilayah negara Indonesia yang utuh, menentukan batas wilayah Indonesia
yang sesuai dengan asas kepulauan, dan untuk mengatur lalu lintas pelayaran.
C. Tokoh dan Isi Deklarasi Djuanda
Tanggal 13 Desember 1957, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja selaku Perdana
Menteri Republik Indonesia kala itu mendeklarasikan “Pengumuman
Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia” atau yang
kemudian disebut sebagai Deklarasi Djuanda.
Isi Deklarasi Juanda sebagai berikut:
1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai
corak tersendiri
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu
kesatuan
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah
keutuhan wilayah Indonesia
Deklarasi Djuanda ditetapkan secara konstitusional melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam peraturan
tersebut, lebar laut Indonesia yang awalnya hanya 3 mil berganti menjadi
seluruh “laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia.”
D. Hasil dan Dampak Deklarasi Djuanda
Dampak Deklarasi Djuanda secara internasional bahkan mengubah
peraturan batas laut secara internasional.
Awalnya, Deklarasi Djuanda tidak dapat diterima secara internasional.
Deklarasi ini dikhawatirkan oleh sejumlah negara tetangga akan membatasi
pergerakan akses perairan ke daerah penangkapan ikan.
Indonesia juga dikecam karena telah berpotensi mengganggu mobilitas
perairan internasional. Selain itu, Indonesia dianggap telah melanggar
TZMKO 1939 terkait batas wilayah laut.
Agar kedaulatan mutlak atas perairan negara diakui, Indonesia terus
mengupayakan adanya peraturan perairan baru melalui forum-forum
internasional.
Perjuangan Indonesia berhasil. Melalui Konvensi Hukum Laut PBB di
Montego Bay, Jamaika, kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan dan
peraturan tentang batas laut diakui dunia.
Selanjutnya, Indonesia meneguhkan konvensi tersebut melalui Undang-
Undang nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang
Hukum Laut.

PERAN INDONESIA DALAM GERAKAN NON-BLOK (GNB)


1. Ikut Menggagas Gerakan Non-Blok (GNB)
Sebelum GNB terbentuk, gagasannya sudah ada terlebih dahulu lima tahun
sebelumnya. Kala itu, Presiden Soekarno mengadakan pertemuan dan
mengundang pemimpin negara di Asia dan Afrika yang baru merdeka ke
Bandung.
Pertemuan itu melahirkan sebuah gagasan yang disebut dasasila. Gagasan
ini yang kemudian menjadi cikal bakal terlahirnya gagasan GNB. Pertemuan
ini dikenal sebagai Konferensi Asia-Afrika (KAA).
2. Memimpin Gerakan Non-Blok
Setelah aktif terlibat merintis GNB, Indonesia akhirnya berkesempatan
memimpinnya. Kepemimpinan Indonesia dimulai dari tahun 1992-1995,
dipimpin oleh Presiden Soeharto. Selain itu, Indonesia juga menjadi tuan
rumah Konverensi Tingkat Tinggi X Gerakan Non-Blok pada 1-6 September
1992.
3. Mengupayakan Perdamaian Dunia
Salah satu pokok gagasan dari Gerakan Non-Blok ialah politik bebas aktif.
Bebas artinya tidak memihak salah satu blok kekuatan. Dan aktif artinya giat
menciptakan perdamaian dunia.
Dalam beberapa pertemuan GNB, Indonesia mendukung kemerdekaan
Palestina, meminta diskriminasi ras di Afrika Selatan diakhiri, dan menolak
penggunaan senjata nuklir. Indonesia juga turut membantu meredakan
ketegangan di Yugoslavia pada tahun 1991.

PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI

KONFRENSI ISLAM (OKI)

1. Hadir dalam KTT I di Rabat


Indonesia menjadi salah satu dari 24 negara yang menghadiri KTT I di
Rabat, Maroko yang menjadi awal berdirinya OKI. Pada tahun-tahun awal
peran Indonesia di OKI masih terbatas. Keanggotaan Indonesia di OKI
sempat menjadi perdebatan, baik di kalangan OKI maupun di dalam negeri.
Saat piagam pertama OKI dicetuskan pada tahun 1972, Indonesia menolak
menandatangani dan menahan diri untuk menjadi anggota resmi OKI. Hal ini
karena berdasarkan UUD 1945, yakni Indonesia bukanlah negara Islam.
2. Gagasan “Tata Informasi Baru Dunia Islam”
Indonesia mempelopori gagasan perlunya “Tata Informasi Baru Dunia
Islam”. Hal ini dikemukakan dalam konferensi Menteri-Menteri Penerangan
OKI tahun 1988.
3. Ketua Committee of Six
Peran aktif Indonesia di OKI yang menonjol adalah saat tahun 1993.
Indonesia menerima mandat sebagai ketua Committee of Six. Indonesia
bertugas memfasilitasi perundingan damai antara Moro National Liberation
Front (MNLF) dengan Pemerintahan Filipina.
4. Tuan Rumah Konferensi Tingkat Menteri (KTM-OKI) ke-24
Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTM-OKI) ke-
24 di Jakarta pada tahun 1996. KTM ini dilaksanakan tanggal 9 -13 Desember
1996. Pada KTM tersebut fokus pembicaraan menyangkut citra Islam dunia
internasional. Pada KTM OKI tersebut diputuskan beberapa masalah regional
dan internasional, yakni sebagai berikut:
a. Masalah Palestina ialah persoalan utama bagi dunia Islam
b. Mengecam keras kebijakan Israel yang menghambat proses perdamaian
c. Mengakui integritas & kedaulatan Bosnia Herzegovina sesuai batas-batas
wilayahnya secara internasional
d. Menghimbau diadakannya perundingan damai di wilayah Jammu dan
Kashmir, menegaskan perlunya dihormati hak rakyat Kashmir untuk
menentukan nasib sendiri, dan mengecam tegas pelanggaran hak-hak
asasi manusia di kawasan itu
5. Mendukung pelaksanaan OIC’s Ten-Year Plan of Action
Indonesia mendukung pelaksanaan dari OIC’s Ten-Year Plan of Action
pada KTT OKI ke-14 di Dakar, Senegal. Indonesia mempunyai ruang untuk
lebih berperan dalam memastikan implementasi reformasi OKI tersebut
dengan diadopsinya piagam ini. Indonesia berkomitmen untuk menjamin
kebebasan, toleransi, harmonisasi dan memberikan bukti nyata akan
keselarasan antara Islam, modernitas, dan demokrasi. Baca juga peran
Indonesia dalam perdamaian dunia, peran Indonesia dalam globalisasi,
dan peran Indonesia dalam Misi Garuda.
6. Tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi OKI 2014
Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi OKI 2014,
yakni di Jakarta.
7. Tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa OKI
Indonesia menjadi tuan rumah dari Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa
OKI, tepatnya di Jakarta. Konferensi ini diadakan tanggal 6 – 7 Maret 2016.
Menurut Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Lestari Priansari Marsudi,
KTT Luar Biasa OKI ini diadakan sebagai bentuk nyata upaya negara-negara
OKI untuk mendorong penyelesaian konflik di Palestina. Situasi di Palestina
semakin hari semakin memburuk. Hal ini utamanya terkait status kota Al
Quds (Yerusalem) yang diokupasi oleh Israel. Palestina telah diakui oleh 137
negara dan berhasil menjadi negara peninjau PBB. Keberhasilan ini
merupakan keberhasilan dari proses komunitas internasional, termasuk
Indonesia.
8. Mendamaikan negara-negara Islam yang bersengketa
Indonesia banyak menjadi penengah dari pertentangan antara kelompok
progresif revolusioner dengan kelompok konservatif. Hal tersebut
dikarenakan Indonesia menganut politik luar negeri bebas aktif, sehingga
tidak memihak kepada siapapun termasuk Bangsa Arab. Indonesia berperan
dalam mendamaikan sengketa antara Pakistan dan Bangladesh. Hal tersebut
diakui oleh negara Islam. Indonesia juga memperjuangkan masalah minoritas
Muslim Moro di Filipina Selatan dalam forum OKI.

PERAN INDONESIA DALAM JAKARTA


INFORMAL MEETING (JIM)
A. Latar Belakang Jakarta Informal Meeting
Kamboja dan Vietnam merupakan dua negara yang sudah berkonflik
cukup lama hingga menelan banyak korban. Mengutip jurnal ilmiah berjudul
Peran Indonesia dalam Proses Penyelesaian Konflik Kamboja (Periode 1984-
1991) yang ditulis oleh Maradona Runtukahu, konflik antara Kamboja dan
Vietnam dipicu oleh pergolakan dan besarnya ketegangan politik dalam
negeri.
Puncak konflik Kamboja-Vietnam terjadi pada akhir 1978 ketika terjadi
bentrokan antara rezim Khmer Merah dengan Vietnam. Dalam bentrokan
tersebut terjadi pembantaian warga keturunan Vietnam di Kamboja yang
membuat Vietnam akhirnya menyerbu Kamboja dengan tujuan menghentikan
genosida tersebut.
Rezim Khmer Merah pun akhirnya berhasil digulingkan berkat invasi
Vietnam pada Januari 1979. Kemudian, Vietnam mendirikan rezim baru di
Kamboja yang dipimpin oleh Heng Samrin.
Namun, tindakan ini tentu mendapat penolakan dari berbagai pihak
Kamboja dan menyebabkan perang yang terus berlanjut dan terus memakan
korban tanpa ada tanda-tanda penyelesaian.
B. Pelaksanaan Jakarta Informal Meeting
Mengutip buku Sejarah Indonesia Kelas XII: Peran Indonesia dalam
Perdamaian Dunia oleh Kemdikbud, Jakarta Informal Meeting dilaksanakan
sebanyak dua kali. Jakarta Informal Meeting pertama berlangsung di Istana
Bogor pada 25-28 Juli 1988. JIM pertama lebih ditujukan untuk memediasi
kubu-kubu yang bertikai di Kamboja.
Sekitar tujuh bulan kemudian tepatnya 19-21 Februari 1989 di Jakarta
digelar Jakarta Informal Meeting kedua. Kali ini dihadiri oleh 6 Menteri Luar
Negeri (Menlu) ASEAN, Menlu Vietnam, dan kelompok yang bertikai di
Kamboja. Hasil dari Jakarta Informal Meeting adalah:
1. Gencatan senjata di seluruh wilayah Kamboja
2. Segera setelah gencatan senjata diikuti penarikan pasukan dan
persenjataan Vietnam dari Kamboja paling lambat tanggal 30 September
1989.
3. Akan dibentuk pemerintahan yang mengikutsertakan keempat kelompok
yang bertikai di Kamboja
Pengawasan internasional atas penarikan pasukan tersebut serta aspek
yang berkaitan.
Pada akhirnya, konflik Kamboja-Vietnam berhasil diselesaikan melalui
Perjanjian Paris pada 23 Oktober 1991. Indonesia ikut ambil bagian dalam
pasukan perdamaian United Nations Transitional Authority in Cambodia
(UNTAC) melalui pengiriman pasukan.

Anda mungkin juga menyukai