Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengetahuan filsafat sering sekali menjadi fokus pengkajian dalam sejarah
perkembangannya dengan tidak menyampingkan ketiga pengetahuan lainnya yang
saling berkontribusi dalam hal menghasilkan ilmu selalu berkembang.
Ketidakpuasan dan kehausan para pemikir dalam menghasilkan ilmu yang
dinamis menjadikan berkembangnya aliran-aliran yang saling mempertahankan
ilmu atau buah pikiran yang telah mereka hasilkan. Hal yang demikian ini juga
terjadi dalam disiplin ilmu filsafat pada umumnya, dan filsafat hukum pada
khususnya.
Filsafat sering dipahami sebagai sebuah falsafah atau sebuah pandangan
mendalam tentang pertanyaan dalam kehidupan yang dijalani manusia, dalam
artian filsafat merupakan sesuatu yang bersifat abstrak. Filsafat adalah
pengetahuan yang membangun banyak dasar-dasar keilmuan atas pengetahuan-
pengetahuan yang dipelajari manusia. Diantara ilmu yang dihasilkan dan
dikembangkan oleh manusia dari berfilsafat antara lain adalah ilmu hukum yang
merupakan salah satun produk dari filsafat. Sebuah adagium mengatakan, ibi ius
ibi societas, yakni dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Sebagian keilmuan,
teori-teori dan penemuan norma-norma dalam hukum didasari oleh filsafat hukum
sebagai cabang dari filsafat.
Berbagai pergulatan pemikiran hukum yang terus menerus berkembang
dalam filsafat hukum, menimbulkan banyak aliran dalam filsafat hukum. Antar
aliran-aliran atau mazhab-mazhab filsafat hukum tersebut terjadi dialektika yang
membahas asal usul terciptanya hukum. Maka dari itu, penulis merangkum
beberapa aliran dari filsafat hukum, aliran utilitarian dan aliran atau mazhab
sejarah dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana aliran filsafat hukum utilitarian?

1
2. Bagaimana mazhab sejarah dalam filsafat hukum?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Aliran Utilitarian
Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakkan keman faatan
sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan
(happiness). Jadi baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, tergantung kepada
apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.
Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak
mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu
dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut
(the greatest happiness for greatest number of people). Aliran ini sesungguhnya
dapat pula dimasukkan ke dalam Positivisme Hukum, mengingat paham ini pada
akhirnya sampai pada kesimpulan tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban
masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada
jumlah orang yang terbanyak. Ini berarti hukum merupakan pencerminan perintah
penguasa juga,
bukan pencerminan dari rasio semata.1
Berikut penulis menguraikan beberapa pendukung dari aliran filsafat
hukum utilitarianisme yang paling penting adalah:
1. Jeremy Bentham (1748-1832)
Jeremy Bentham dilahirkan di Spitalfields, London pada tanggal 15
Februari tahun 1748 dan pada saat usianya tujuh tahun (1775), dia dikirim
oleh ayahnya untuk mengenyam pendidikan di Westminster School. Pada
tahun 1769 ketika usianya dua belas tahun dia melanjutkan pendidikannya
di Queen’s College University of Oxford. Tahun 1763 dia mendaftarkan
dirinya menjadi seorang barrister di The Honorable Society of Lincoln’s Inn,
dan berhasil menyelesaikan ujian barristernya pada tahun 1768.
Setelah merayakan kelulusannya menjadi seorang barrister, dia
kembali ke Queen’s College untuk melakukan voting terhadap pemilihan
1
Serlika Aprita dan Rio Adhitya, Filsafat Hukum, (Depok: PT RajaGrafindo Persada,
2020), hlm. 104-105.

3
parlemen di universitasnya. Sesaat sebelum melakukan voting, dia
mengunjungi perpustakaan universitas dan beristirahat sejenak di kedai kopi
depan perpustakaan tersebut. Disitulah dia kemudian menemukan salinan
pamflet yang baru diterbitkan oleh Joseph Priestley dengan judul “Essay on
Government”. Di dalam pamflet itu dia menemukan istilah paling
terkenalnya, yaitu “The greatest happiness of the greatest number”.2
Jeremy Bentham merupakan filsuf utilitarian Inggris, ahli ekonomi
dan ahli hukum teoritis, yang memiliki pengaruh besar dalam melakukan
reformasi pemikiran pada abad ke-19 baik di Inggris maupun pada level
dunia. Dia dijuluki sebagai Luther of the Legal World (Luther dalam bidang
Hukum). Hal ini dikarenakan pada akhir abad ke-18 M, sistem hukum
Inggris yang kuno, korup dan belum direformasi bisa dipandang sebagai
agama nasional, sementara ia tidak hanya berani menentangnya, akan tetapi
juga mencipta suatu struktur hukum baru, yang menarik banyak penganut
dan pada akhirnya mengilhami terjadinya reformasi. Ia telah melakukan
kritik radikal dan rekonstruksi terhadap semua institusi Inggris baik di
bidang ekonomi, moral, agama, pendidikan, politik maupun hukum.
Bentham berpendapat bahwa alam ini telah menempatkan manusia
dalam kekuasaan, kesusahan dan kesenangan. Karena kesenangan dan
kesusahan itu kita memiliki gagasan-gagasan, semua pendapat dan semua
ketentuan dalam hidup kita yang dipengaruhinya. Siapa yang berniat untuk
membebaskan diri dari kekuasaan ini, tidak mengetahui apa yang akan ia
katakan. Tujuannya hanyalah mencari kesenangan dan menghindari
kesusahan. Memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu
memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahan. Dalam konteks ini,
tidak adanya ruang untuk mendikotomikan kedua variabel Bentham
tersebut. Baginya, kebaikan adalah kebahagiaan, dan kejahatan adalah
kesusahan. Ada keterkaitan yang erat antara kebaikan dan kejahatan dengan

2
Endang Pratiwi, Theo Negoro dan Hussanain Haykal, Teori Utilitarianisme Jeremy
Betham: Tujuan Hukum atau Metode Pengujian Produk Hukum?, Jurnal Konstitusi, Vol. 19, No.
2, (Juni, 2022), hlm. 275.

4
kebahagiaan dan kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan
mencegah kejahatan. Tegasnya, memelihara kegunaan.
Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang
besar terhadap individu. Ia menginginkan agar hukum pertama-tama dapat
memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, bukan
langsung ke masyarakat secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham
tidak menyangkal bahwa di samping kepentingan individu, kepentingan
masyarakat pun perlu diperhatikan. Agar tidak terjadi bentrokan,
kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan sebesar-besarnya itu
perlu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa yang disebut homo homini lupus
(manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain).
Bagi Bentham, tujuan perundang-undangan adalah untuk
menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat. Untuk itu perundang-undangan
harus berusaha untuk mencapai empat tujuan, yaitu to provide subsistence
(untuk memberi nafkah hidup), to provide abundance (untuk memberikan
makanan yang berlimpah), to provide security (untuk memberikan
perlindungan), to attain equality (untuk mencapai persamaan). Menurut
Bentham, para pembuat undang-undang dalam menyusun undang-undang,
harus melibatkan penemuan sarana-sarana untuk mewujudkan kebaikan.
Sang legislator harus mempertimbangkan fakta bahwa, tindakan-tindakan
yang ingin ia cegah adalah keburukan atau kejahatan. Suatu undang-undang
barulah dapat diterima sebagai hukum, jika undang-undang itu bertujuan
untuk mencapai tujuan: kelimpahan, perlindungan terhadap status dan
kepemilikan, serta untuk meminimalisasi ketidakadilan.
Ada dua kekurangan pemikiran Bentham yang dicatat oleh
Friedmann. Pertama, rasionalisme Bentham yang abstrak dan doktriner
mencegahnya melihat individu sebagai keseluruhan yang kompleks. Ini
menyebabkan terlalu melebih-lebihkan kekuasaan pembuat undang-undang
dan meremehkan perlunya individualisasi kebijakan dan keluwesan dalam
penerapan hukum. Ia juga terlalu yakin dengan kemungkinan kodifikasi
ilmiah yang lengkap melalui prinsip-prinsip yang rasional, sehingga dia

5
tidak lagi menghiraukan perbedaan-perbedaan nasional dan historis.
Padahal, pengalaman terhadap kodifikasi di berbagai negara menunjukkan,
bahwa penafsiran yang elastis dan bebas dari hakim senantiasa dibutuhkan.
Kelemahan kedua adalah kegagalan Bentham untuk menjelaskan
konsepsinya sendiri mengenai keseimbangan antara kepentingan individu
dan masyarakat.3
Bentham berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan
kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan
mengurangi kesusahannya. Kebaikan adalah kebahagiaan, dan kejahatan
adalah kesusahan. Ada keterkaitan yang erat antara kebaikan dan kejahatan
dengan kebahagiaan dan kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara
kebaikan dan mencegah kejahatan. Tegasnya, memelihara kegunaan.
Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang besar
terhadap individu. Ia menginginkan agar hukum pertama-tama dapat
memberikan jaminan kebahagiaan individu-individu, bukan langsung ke
masyarakat secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham tidak
menyangkal bahwa di samping kepentingan individu, kepentingan
masyarakat pun perlu diperhatikan. Agar tidak terjadi bentrokan,
kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan sebesar-besarnya itu
perlu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa yang disebut homo homini lupus
(manusia menjadi serigala bagi manusia lain). Untuk menyeimbangkan
antarkepentingan (individu dan masyarakat), Bentham menyarankan agar
ada “simpati” dari tiap-tiap individu. Walaupun demikian, titik berat
perhatian harus tetap pada individu itu, karena apabila setiap individu telah
memperoleh kebahagiaannya, dengan sendirinya kebahagiaan
(kesejahteraan) masyarakat akan dapat diwujudkan secara simultan.4
2. Jhon Stuart Mill (1806-1873)

3
Zainal B. Septiansyah dan Muhammad Ghalib, Konsepsi Utilitarianisme dalam Filsafat
Hukum dan Implementasinya di Indonesia, Ijtihad: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial, Vol.
34, No. 1, (Juni, 2018), hlm. 28-30.
4
Serlika Aprita dan Rio Adhitya, Op. Cit., hlm. 104-105.

6
Lahir di London, Inggris tahun 1806 John Stuart Mill atau
disingkat J. S. Mill dikenal sebagai seorang tokoh sosial-politik dan filsuf
etika, khususnya etika yang beraliran utilitarian. Memiliki ayah yang
bernama James Mill dan berkecimpung di dunia ekonomi, politik, dan
filsafat, membuat Mill muda memiliki masa depan yang cukup menjanjikan.
Bahkan ayahnya sendiri merupakan kerabat dekat dari tokoh etika
utilitarianisme yang pertama yakni, Bentham. Kepribadian dan pemikiran
John Stuart Mill yang kritis sudah mulai dibentuk dari semenjak kecil. Hal
tersebut dapat dilihat dari kemahiran bahasa Yunani yang dimiliki oleh John
Stuart Mill, telah dia asah semenjak usia tiga tahun. Oleh karena itu, diusia
remaja, tepatnya pada usia dua belas tahun, Mill muda sudah tidak asing
lagi dengan teks-teks berbahasa Yunani, dari mulai teks sastra, sejarah,
hingga teks yang membahas ilmu matematika. Inilah yang membuatnya
lebih mudah memahami pemikiran para tokoh filsuf terdahulu, tidak
terkecuali tulisan-tulisan dari bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith.5
Tidak sedikit dari para peneliti ketika menjelaskan mengenai sebuah
konsep atau pemikiran tokoh mengalami kesulitan dalam menguraikannya.
Untuk itu, dalam rangka menjelaskan ide atau gagasan John Stuart Mill
mengenai utilitarianisme, berikut akan dijelaskan secara lebih mendalam
agar memudahkan dalam memahami peta pemikiran utilitarianisme Mill.
Untuk itu perlu kiranya diklasifikasikan menjadi empat poin penting. Poin
yang pertama, dan perlu menjadi catatan bahwa apa yang dilakukan oleh
Mill dengan konsep utilitarianismenya merupakan rekonstruksi ulang dari
utilitarianisme Bentham. Artinya secara ilmiah Mill mencoba memperbaiki
definisi utilitarianisme yang dianggap sebagai faham atau ideologi sesat
akibat kesalahan yang dilakukan oleh utilitarianisme terdahulu.6
Mill memulainya dengan membuat konsep baru mengenai “prinsip
kebermanfaan”. Seperti yang sudah dijelaskan diawal. Hal tersebut mengacu
5
Asep Saepullah, Konsep Utilitarianisme John Stuart Mill: Relevansinya terhadap Ilmu-
ilmu atau Pemikiran Keislaman, Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 11, No. 2,
(Desember, 2020), hlm. 250-251.
6
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm, 181.

7
pada perbuatan-perbuatan baik dan benar apabila memiliki tujuan akhir
sebagai alat pendukung keadilan, dan buruk apabila untuk mendukung
kejahatan. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan.
Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan itu melalui hal-hal yang
membangkitkan nafsunya. Jadi yang ingin dicapai oleh manusia bukan
benda atau sesuatu hal tertentu, melainkan kebahagiaan yang dapat
ditimbulkannya.7
3. Rudolf van Jhering (1818-1892)
Ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme individual,
sedangkan rekannya Rudolf von Jhering (dalam beberapa buku ditulis
Lehering) mengembangkan ajaran yang bersifat sosial. Teori von Jhering
merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuart Mill, dan positivisme
Hukum dari Jhon Austin. Mula-mula von Jhering menganut mazhab sejarah
yang dipelopori von Savigny dan Punchta, tetapi lama-kelamaan ia
melepaskan diri, bahkan menentang pandangan von Savigny tentang hukum
Romawi. Perlu diketahui bahwa pemikiran yang gemilang dari Jhering
memang timbul setelah dia melakukan studi yang mendalam tentang hukum
Romawi. Huijbers memasukkan Jhering sebagai salah satu tokoh penting
Positivisme Hukum.
Menurut von Savigny, seluruh hukum Romawi merupakan
pernyataan jiwa bangsa Romawi, dan karenanya merupakan hukum
nasional. Hal ini dibantah oleh von Jhering. Seperti dalam hidup sebagai
perkembangan biologis, senantiasa terdapat asimilasi dari unsur-unsur yang
mempengaruhinya, demikian pula halnya dalam bidang kebudayaan karena
pergaulan intensif antarbangsa terdapat asimilasi pandangan-pandangan dan
kebiasaan-kebiasaan. Hukum Romawi dalam perkembangannya berfungsi
sebagai ilustrasi kebenaran tersebut. Sudah barang tentu lapisan tertua
hukum Romawi bersifat nasional, tetapi pada tingkat-tingkat
perkembangannya berfungsi sebagai ilustrasi bersifat nasional, tetapi pada
tingkat-tingkat perkembangan yang lebih lanjut hukum itu makin mendapat

7
Serlika Aprita dan Rio Adhitya, Loc. Cit.

8
ciri-ciri universal. Inilah jalan biasa dalam perkembangan suatu sistem
hukum; ciri-ciri hukuman makin diasimilasikan dalam hukum nasional,
sehingga hukum yang pada mulanya nasional makin menjadi hukum-hukum
universal. Dengan mengetengahkan gagasan ini, von Jhering mendukung
pandangan von Savigny bahwa hukum romawi dapat digunakan sebagai
hukum nasional Jerman tetapi alasannya berlainan. Hukum Romawi dapat
menjadi dasar hukum Jerman bukan karena hukum Romawi dalam
perkembangannya sudah berhadapan dengan banyak aturan hidup lain
sehingga hukum itu lebih bersifat universal daripada nasional.
Pertimbangan ini diperkuat oleh von Jhering mengenai timbulnya
hukum. Menurut von Savigny, hukum timbul dari jiwa bangsa secara
spontan, tetapi menurut von Jhering hal ini tidak dapat dibenarkan. Bagi
Jhering, tujuan hukum ialah melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam
mendefinisikan kepentingan-kepentingan ia mengikuti Bentham, dengan
melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari
penderitaan, tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial
dengan menghubungkan tujuan pribadi seorang dengan kepentingan-
kepentingan orang lain.8

B. Mazhab Sejarah
Dalam rentang sejarah, perkembangan aliran pemikiran hukum sangat
tergantung dari aliran pemikiran hukum sebelumnya, sebagai sandaran kritik
dalam rangka membangun kerangka teoritik berikutnya. Disamping itu kelahiran
satu aliran sangat terkait dengan kondisi lingkungan tempat suatu aliran itu
pertama kali muncul. Dengan kata lain lahirnya satu aliran atau mazhab hukum
dapat dikatakan sebagai jawaban fundamental terhadap kondisi kekinian pada
zamannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan kritik positivisme dan aliran
sejarah terhadap aliran hukum alam atau kritik kaum realis terhadap positivistik.
Demikian juga halnya dengan kritik yang ditujukan oleh postmodernisme

8
Sukarno Aburaera and Maskun Muhadar, Filsafat Hukum (Teori Dan Praktik), Filsafat
Hukum (Teori Dan Praktik), (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 1116-117.

9
terhadap kemapanan modernisme. Kelahiran mazhab sejarah dipelopori oleh
Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) melalui tulisannya yang berjudul ”Von
Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtwissenschaft” (Tentang Pekerjaan
pada Zaman Kita di Bidang Perundang-undangan dan Ilmu Hukum), di pengaruhi
oleh dua faktor yaitu pertama ajaran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des
Lois” dan pengaruh faham nasionalisme yang mulai timbul pada awal abad ke 19.
Disamping itu, munculnya aliran ini juga merupakan reaksi langsung dari
pendapat Thibaut yang menghendaki adanya kodifikasi hukum perdata Jerman
yang didasarkan pada hukum Prancis (Code Napoleon). Kedua pengaruh tersebut
bisa digambarkan sebagai berikut:
Menurut Friedmann Aliran ini juga memberikan aksi tertentu terhadap dua
kekuatan besar yang berkuasa pada zamannya. Kedua hal tersebut menurut
Friedmann adalah:
1. Rasionalisme dari abad 18 dengan kepercayaan terhadap hukum alam,
kekuasaan akal dan prinsip-prinsip pertama yang semuanya dikombinasikan
untuk meletakkan suatu teori hukum dengan cara deduksi dan tanpa
memandang fakta historis, cirri khas nasional, dan kondisi sosial;
2. Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan pemberontakannya
terhadap tradisi, kepercayaan pada akal dan kekuasaan kehendak manusia
atas keadaan-keadaan zamannya.9
Sedangkan Lili Rasjidi mengatakan kelahiran aliran/mazhab sejarah
merupakan reaksi tidak langsung dari terhadap aliran hukum alam dan aliran
hukum positif. Hal pertama yang mempengaruhi lahirnya mazhab sejarah adalah
pemikiran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des Lois” yang mengatakan
tentang adanya keterkaitan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya. Menurut
W. Friedman gagasan yang benar-benar penting dari L’esprit des Lois adalah tesis
bahwa hukum walaupun secara samar didasarkan atas beberapa prinsip hukum
alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan seperti: iklim, tanah, agama,
adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya.10

9
Mohammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis dan Problem
Keadilan, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), hlm. 60.

10
Berangkat dari ide tersebut Montesqueu kemudian melakukan studi
perbandingan mengenai undang-undang dan pemerintahan. Seperti yang telah
diuraikan diatas, selain dipengaruhi oleh pemikiran Montesque lahirnya mazhab
sejarah juga banyak dipengaruhi oleh semangat nasionalisme Jerman yang mulai
muncul pada awal abad 19. Dengan memanfaatkan moment (semangat
nasionalisme), Savigny menyarankan penolakan terhadap gagasan Tibhaut tentang
kodifikasi hukum yang tersebar dalam pamfletnya “Uber Die Notwetdigkeit Eines
Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland” (Keperluan akan adanya
kodefikasi hukum perdata negara Jerman).
Hakikat dari setiap sistem hukum menurut savigny adalah sebagai
pencerminan jiwa rakyat yang mengembangkan hukum itu. Dikemudian hari hal
tersebut oleh G. Puchta, murid Savigny yang paling setia, dicirikan sebagai
Volkgeist, menurut Puchta hukum adalah perwujudan dari kesadaran yang umum
ini. Dikatakannya: “Hukum itu bersama-sama dengan pertumbuhan, dan menjadi
kuat bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya ia mati
manakala bangsa itu kehilangan kebangsaannya”.11
Pokok-pokok ajaran mazhab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa
pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Hukum ditemukan, tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah
proses yang tidak disadari dan organis; oleh karena itu perundang-undangan
adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan.
2. Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah
dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam
peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi
menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum
yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum
tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk
memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah
(Kesadaran umum ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran
10
Lili Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm.
64.
11
Sajdipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 285.

11
hukum). Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli
hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada
pembuat undang-undang.
3. Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap
masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai
bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa
bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada
masyarakat lain dan daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam
hukumnya oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist
melalui penelitian hukum sepanjang sejarah.
Dalam perkembangannya, mazhab sejarah ini mengalami modifikasi oleh
pengikutnya Maine mengetengahkan teorinya yang mengatakan bahwa hukum
berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan dengan perkembangan
masyarakat dari sederhana ke masyarakat kompleks dan modern. Pada masyarakat
modern hubungan antara para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak
dan kewajiban yang tertuang dalam bentuk suatu kontrak yang dibuat secara sadar
dan sukarela oleh pihak-pihak yang berkenaan. Dengan demikian, Maine
sebenarnya tidak menerima konsep Volkgeist Savigny yang dianggapnya sebagai
suatu konsep yang diselubungi mistik. Maine justru mengembangkan suatu tesis
yang mengatakan bahwa perjalanan masyarakat menjadi progresif di situ terlihat
adanya perkembangan situasi yang ditentukan oleh status kepada pengguna
kontrak.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ketidakpuasan para sarjana hukum yang melihat lemahnya doktrin legisme-
positvisme tersebut, timbul adanya kebutuhan untuk mengadopsi dan
membangun sebuah paradigma baru untuk menggantikan posisi doktrin
yang sudah tak relavan termakan usia tersebut. Maka ketika itu, ada
beberapa aliran dalam filsafat hukum yang ditawarkan untuk melengkapi
kesenjangan hukum di negeri ini, seperti pernah diutarakan untuk
mempertimbangkan doktrin utilitarianisme tentang kemanfaatan hukum
untuk menyelesaikan (bukan sekedar memutusi) perkara. Bukan logika
hukum para yuris elit yang beroptik formalisme untuk mendahulukan
berlakunya hukum perundang-undangan saja yang terutama harus berbicara
di sini, akan tetapi terutama juga kearifan para pembuat hukum, baik yang
duduk di badan-badan legislatif (sebagai pembuat undang-undang alias
hukum in abstracto) maupun yang duduk di kursi-kursi sidang pengadilan
(sebagai hakim, pembuat hukum in concreto).
2. Dalam perkembangannya, mazhab sejarah ini mengalami modifikasi oleh
pengikutnya Maine mengetengahkan teorinya yang mengatakan bahwa
hukum berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan dengan
perkembangan masyarakat dari sederhana ke masyarakat kompleks dan
modern. Pada masyarakat modern hubungan antara para anggota masyarakat
dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban yang tertuang dalam bentuk
suatu kontrak yang dibuat secara sadar dan sukarela oleh pihak-pihak yang
berkenaan. Dengan demikian, Maine sebenarnya tidak menerima konsep
Volkgeist Savigny yang dianggapnya sebagai suatu konsep yang
diselubungi mistik. Maine justru mengembangkan suatu tesis yang
mengatakan bahwa perjalanan masyarakat menjadi progresif di situ terlihat
adanya perkembangan situasi yang ditentukan oleh status kepada pengguna
kontrak.

13
14
DAFTAR PUSTAKA

Aprita, Serlika dan Rio Adhitya, Filsafat Hukum, Depok: PT RajaGrafindo


Persada, 2020.
Arifin, Mohammad, Teori dan Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis dan Problem
Keadilan, Jakarta: CV. Rajawali, 1990.
Aburaera, Sukarno and Maskun Muhadar, Filsafat Hukum (Teori Dan Praktik),
Filsafat Hukum (Teori Dan Praktik), Jakarta: Kencana, 2013.
Pratiwi, Endang, Theo Negoro dan Hussanain Haykal, Teori Utilitarianisme
Jeremy Betham: Tujuan Hukum atau Metode Pengujian Produk Hukum?,
Jurnal Konstitusi, Vol. 19, No. 2, Juni, 2022.
Rahardjo, Sajdipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.
Rasyidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Saepullah, Asep, Konsep Utilitarianisme John Stuart Mill: Relevansinya terhadap
Ilmu-ilmu atau Pemikiran Keislaman, Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi
Islam, Vol. 11, No. 2, Desember, 2020.
Septiansyah, Zainal B. dan Muhammad Ghalib, Konsepsi Utilitarianisme dalam
Filsafat Hukum dan Implementasinya di Indonesia, Ijtihad: Jurnal Hukum
Islam dan Pranata Sosial, Vol. 34, No. 1, Juni, 2018.
Suseno, Franz Magnis, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
Yogyakarta: Kanisius, 1997.

15

Anda mungkin juga menyukai