Anda di halaman 1dari 33

KAMPUNG SIAGA BENCANA SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN

PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS DI INDONESIA:


POLITIK PEMBANGUNAN DAN PARTISIPASI DALAM DISKURSUS
PEMBANGUNAN KEBENCANAAN

DISASTER-AWARE VILLAGE AS COMMUNITY-BASED DISASTER RISK REDUCTION


POLICY INSTRUMENT IN INDONESIA: POLITICS OF DEVELOPMENT AND
PARTICIPATION IN DISASTERS-DEVELOPMENT NEXUS DISCOURSE

Muhammad Belanawane S.
Peneliti Puslitbang Kesos, Kementerian Sosial RI
Jl. Dewi Sartika No. 200, Cawang III, Jakarta Timur, Telp. (021) 8017146 Fax. (021) 8017126
E-mail: mbs010104@gmail.com

Diterima: 5 Januari 2015; Direvisi: 15 Januari 2016; Disetujui: 15 Januari 2016

Abstrak
“Berbasis-komunitas” merupakan ‘kesayangan’ baru dalam perbendaharaan pembangunan di dunia yang
semakin mengglobal, dan saat ini seperangkat konsep dan model diskursif tersebut telah menyapu hampir
seluruh lanskap pembangunan, tanpa terkecuali dalam bidang kebencanaan melalui apa yang disebut
kerangka kerja pengurangan risiko bencana. Indonesia sebagai salah satu negara yang paling terdampak
oleh bencana baik alam maupun buatan manusia, pun benar-benar merangkul inisiatif ini, tidak hanya
secara legal-formal melalui peratifikasian agenda global dalam manajemen risiko bencana, tetapi juga
hingga secara domestik mempraktikkannya melalui program berskala besar seperti Desa Tangguh Bencana
(DTB) dan Kampung Siaga Bencana (KSB). Tulisan ini, dengan menggunakan studi kasus KSB, ingin
mengargumentasikan bahwa inisiatif kebijakan ini merupakan bagian dari pergeseran paradigma yang lebih
luas dalam pembangunan dari bentuk dipimpin-negara ke dipimpin-pasar yang sekarang telah semakin
mengambil bentuknya di Indonesia setelah era-otoriter Orde Baru. Lebih jauh lagi, dengan mengeksplorasi
teori dan praktik diskursus yang berkembang dalam bidang kajian titik temu pembangunan-bencana, seperti
partisipasi, desentralisasi, komunitas, penulis menemukan bahwa terdapat kesalah-kaprahan reduksionis
dan penyederhanaan yang melekat dan berlaku dalam memahami konsep-konsep yang sebenarnya sangat
sarat-nilai ini pada ranah kebijakan kebencanaan di Indonesia. Akibatnya, dan ini menjadi temuan sekaligus
rekomendasi sentral penelitian ini, karena dilatar-belakangi diskursus dan praktik kebijakan politis, aktivitas
berbasis-komunitas menjadi diperlakukan sebagai hasil, bukan lagi menjadi fundamen bagi partisipasi
masyarakat yaitu dengan memperlakukannya sebagai proses, dalam pengurangan risiko bencana.
Kata Kunci: pengurangan risiko bencana, berbasis komunitas, agenda internasional, pembangunan,
partisipasi, desentralisasi, governance, kampung siaga bencana.

Abstract
Community-based is the new darling in the vast repertoire of development initiatives around our globalised
world, and this discursive set of concepts and tools has swept away almost every developmental lanscapes,
including the field of disasters with it’s so-called disaster risk-reduction (DRR) frameworks. Indonesia, as
one of the most potentially impacted countries in natural (and man-made) disaster, is embracing this new
initiatives, not only jurisdically through the ratification of global agenda on disaster risk management, but
also went as far as practicising it nationally with scalling up programs such as Disaster-Resilient Village
(DTB) and Disaster-Aware Village (KSB). This paper, using case study on KSB, argues that this policy
initiative is part of a broader paradigm shift in development from state-led to market-led that is taking
shape in post-Authoritarian Indonesia. Further more, by exploring theories and practices surrounding
discourses of development-disaster nexus, such as participation, decentralization, community, the author

292 SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015
found that there is inherent and prevailing reductionist and oversimplification fallacies in understanding
these value-laden concepts in policy realm of disasters in Indonesia. As a result, the argument is directed
to the discourse and skewed practice of community-based activities, as an outcome, rather than to the
fundamentals of people’s participation, as a process, in disaster risk reduction.

Keywords: disaster risk reduction, community-based, international agenda, development, participation,


decentralization, governance, disaster-aware village.

PENDAHULUAN atau bahkan perubahan pendekatan yang lebih


Latar Belakang Kebencanaan di Indonesia signifikan dalam manajemen bencana alam. Ini
khususnya pada aspek sistem peringatan dini,
Indonesia merupakan negara yang
kewaspadaan risiko bencana dan kecakapan
diperhitungkan sebagai salah satu yang paling
manajemen bencana lokal. Sistem Peringatan
rentan bencana alam, dengan berbagai jenisnya,
Dini Tsunami Indonesia yang dimulai pada
di dunia. Sebagai gambaran awal, sekitar 13
tahun 2005 pun masih dalam tahap awal
persen gunung berapi dunia ada di wilayah
pengembangan. Oleh karena itu menjadi jelas,
kepulauan Indonesia, dan seluruhnya berpotensi
walaupun relatif terjadi peningkatan inisiatif
menimbulkan bencana alam dengan intensitas
dan langkah-langkah yang diambil untuk
dan kekuatan yang berbeda-beda.
menangani kerawanan bencana alam, kapasitas
The 2010 Asia-Pasific Disaster Report lokal dan resiliensi (ketahanan) masyarakat
menyatakan bahwa masyarakat di kawasan dianggap masih sangat kurang.
Asia Pasifik 4 kali lebih rentan terkena dampak
Pada masa lalu, berbagai kelompok baik
bencana alam dibanding masyarakat di wilayah
itu pemerintah, swasta maupun organisasi
Afrika dan 25 kali lebih rentan daripada di
masyarakat di Indonesia merespons bencana
Amerika Utara dan Eropa. Laporan PBB
melalui operasi pertolongan bencana dan
tersebut memeringkatkan Indonesia ke dalam
aktivitas kesiapan menghadapi bencana. Akan
peringkat 4 sebagai negara paling rentan terkena
tetapi, mereka kemudian menyadari bahwa
dampak bencana alam di Asia Pasifik. Laporan
aktivitas-aktivitas ini tidaklah cukup sehingga
yang sama juga mengestimasikan bahwa lebih
dengan berjalannya waktu dikembangkanlah
dari 18 juta jiwa terkena dampak bencana
sebuah kerangka kerja pengurangan risiko dan
alam di Indonesia, dari tahun 1980 sampai
manajemen bencana alam berbasis komunitas
2009. The 2009 Global Assessment Report
yang lebih komprehensif untuk mengarahkan
on Disaster Risk Reduction juga memberikan
pekerjaan mereka. Kerangka kerjanya itu
pemeringkatan yang fantastis untuk Indonesia
sendiri memuat 3 fase penanganan bencana alam
pada level pengaruh bencana terhadap manusia
sekaligus, yaitu: kesiapan dan mitigasi; respons
peringkat 3 dari 153 untuk gempa bumi, dan 1
darurat bencana; dan, rehabilitasi dan pemulihan
dari 265 negara untuk tsunami (Kuntjoro, I. dan
bencana. Tujuan utama kerangka kerja ini
Jamil, S. 2010).
nantinya adalah, diklaim, untuk meningkatkan
Meskipun perkembangan manajemen kapasitas dan sekaligus mengurangi kerawanan
bencana di Indonesia telah meningkat sejak komunitas dalam menghadapi bahaya bencana
bencana tsunami tahun 2004, berbagai bencana alam di lingkungannya.
alam yang terjadi selanjutnya seolah-olah
menunjukkan diperlukannya peningkatan

Kampung Siaga Bencana sebagai Instrumen Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana


Berbasis Komunitas di Indonesia: Politik Pembangunan dan Partisipasi dalam
293
Diskursus Pembangunan Kebencanaan, Muhammad Belanawane S.
Mempertemukan Kebencanaan dan risiko bencana tersebut dalam konteks
Pembangunan: Dialektika Kebijakan pembangunan berkelanjutan.
dan Konsep
Secara konseptual, bencana dan
Dalam konteks agenda kebijakan
pembangunan dapat berada dalam satu ruangan
internasional, kebencanaan merupakan
yang sama jika kita dapat menerima premis
penghalang terbesar dalam mencapai
bahwa terdapat interdependensi yang rekat
pengurangan kemiskinan sebagaimana
antara risiko dan ‘pembangunan’ (Hewitt 1995,
termaktub dalam Millennium Development
Morren 1983). Lebih jauh lagi, jika memang
Goals (MDGs) yang ditetapkan oleh Persatuan
pembangunan berkelanjutan itu benar-benar
Bangsa Bangsa (PBB) dan berakhir pada
ada, kebencanaan dapat menjadi ancaman hebat
tahun 2015 ini serta agenda kelanjutannya,
atasnya, atau tanda akan kegagalannya.
Sustainable Development Goals (SDGs) yang
dimulai tahun 2015 ini juga. Oleh karena itu, Secara akademik, relasi atau bahkan
mengurangi risiko bencana dan dampaknya ketergantungan yang kuat antara kebencanaan
telah menjadi isu pembangunan penting secara dengan pembangunan pertama kali diungkap
terpisah. Sejak the United Nations Conference dalam kajian-kajian ekonom seperti Amartya
on Environment and Development (UNCED) di Sen dalam persoalan kelaparan terutama di
Rio de Janeiro pada 1992, pengurangan risiko negara-negara Selatan setelah era Perang
bencana telah ditemukenali sebagai komponen Dingin dan peran pembangunan pertanian
integral pembangunan berkelanjutan (Chapter 3 dalam hubungannya dengan keamanan pangan
dari Agenda 21). Karakteristik lintas-sektor dari global. Penelitian-penelitian penting ini telah
pengurangan risiko bencana ini kemudian digaris menunjukkan bahwa kelaparan di masa modern
bawahi lagi di tahun 2002 pada World Summit on bukanlah merupakan hasil dari kegagalan
Sustainable Development di Johannesburg. untuk meningkatkan produksi pangan sesuai
dengan mulut yang akan diberi makan, bukan
Akhirnya, kesadaran politik global akan
juga karena kekurangan absolut pangan karena
keterkaitan antara kebencanaan dengan
kondisi ekonomi kaum papa yang kelaparan
pembangunan berkelanjutan mencapai titik
tersebut, bukan juga karena krisis jangka pendek
kulminasinya dengan diratifikasinya Hyogo
yang diakibatkan oleh misalnya, kekeringan
Framework for Action (HFA) 2005-2015. HFA
atau paceklik. Akan tetapi, orang miskin yang
adalah sebuah rencana 10 tahun yang diadopsi
memang sejak awal kesulitan memenuhi
oleh 168 anggota PBB pada 2005, tidak
kebutuhan pangan menjadi korban utama
lama setelah bencana Tsunami Aceh (lebih
kelaparan karena kondisi (struktur) sosial dan
dikenal sebagai the Indian Ocean tsunami.
ekonomi yang mencegah mereka mendapatkan
HFA menjelaskan peran yang perlu dilakukan
akses kepada ketersediaan pangan (Dreze dan
berbagai sektor, seperti komunitas, lembaga-
Sen 1990). Dengan demikian kelaparan berarti
lembaga donor, sektor swasta, dan termasuk
merupakan tipikal jenis kasus kebencanaan
pemerintah, untuk mengurangi kerugian-
yang diciptakan oleh ‘keterbelakangan’
kerugian bencana. Ketika sebuah negara telah
(underdevelopment) atau kondisi antitesis dari
berkomitmen menyetujui dan menandatangani
‘pembangunan’ (Susman et al. 1983). Lebih
HFA, itu artinya pemerintah negara tersebut
jauh lagi, perubahan sosial yang berhubungan
telah berjanji untuk mempromosikan dan
dengan ‘pembangunan’ adalah bagian dari
melembagakan upaya-upaya pengurangan
permasalahan kelaparan ini. Di Afrika misalnya,

294 SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015
kelaparan telah diidentifikasikan sebagai ‘harga Dalam pada itu, tulisan ini mendiskusikan
dari pembangunan,’ peranan kekeringan yang agenda kebijakan kebencanaan yang sedang
jamak ditemui di sana menjadi diperparah diimplementasikan oleh Kementerian Sosial
dengan ‘perencanaan, penerapan teknologi yang melalui program nasional Kampung Siaga
tidak sesuai dan kelemahan administratif’ (Cuny Bencana yang dimaksudkan sebagai upaya
1983). Di India, paling tidak sejak 1850, kelaparan mempertemukan mitigasi bencana dengan
yang tadinya dianggap semata sebagai bencana pembangunan berkelanjutan yang bersandar
alam kemudian diubah menjadi masalah sosial pada sejumlah konsep kompleks seperti
kaitannya dengan kemiskinan dan kelangkaan partisipasi, governance, perencanaan dan lain-
(Bhatia 1991). Dalam perkembangannya, lain. Ironinya, dari sekian dokumen kebijakan
kelaparan dan fenomena sejenis akan semakin maupun praktik implementasinya di lapangan,
diperuncing, bahkan dipicu, oleh gejolak kenyataan kompleksitas konsep yang coba
sosial dan konflik bersenjata yang biasanya diterapkan secara top-down ini sebenarnya
muncul di belakang tuntutan eksternal untuk tidak disadari (atau sengaja diabaikan?) semata
memodernisasi (Bohle 1993), atau ringkasnya, untuk meraih output program yang ditargetkan.
‘pembangunan’. Artinya, persoalan kelaparan Permasalahan ini menjadi semakin menarik
yang menunjukkan betapa bencana tidak bisa ketika ia ditempatkan dalam konteks pergeseran
lepas dari konstruksi sosial-ekonomi merupakan paradigma yang lebih luas dalam diskursus
contoh yang dianggap bisa mewakili bencana pembangunan dari bentuk dipimpin-negara ke
lainnya, bukan kasus terisolir. Ia merupakan dipimpin-pasar yang sekarang telah semakin
rules dan bukan sekedar exception. mengambil bentuknya di Indonesia setelah era-
otoriter Orde Baru.
Meskipun pembicaraan tulisan ini
mengambil studi kasus pada masyarakat yang Bagaimanapun nyatanya partisipasi
terpapar bencana gunung meletus, pandangan itu, perlu disadari bahwa ada ‘kehidupan’
tentang kelaparan sebagai fundamen dasar di belakang setiap wacana yang paling
menjadi penting untuk memahami perdebatan mendominasi sekalipun. Oleh karena itu, dalam
yang lebih umum mengenai kebencanaan bagian berikutnya penulis akan menganalisis
dan pembangunan. Di satu sisi, kelaparan, dinamika di balik wacana reposisi keterlibatan
paceklik dan sejumlah kejadian luar biasa masyarakat ke dalam pengarus-utamaan
yang mencerabut manusia dari habitat budaya kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin
dan sosialnya, adalah sumber pemiskinan dan besar dorongannya akhir-akhir ini. Di samping
kematian terbesar. Di sisi lain, seperti halnya juga fakta bahwa Kampung Siaga Bencana
bentuk bencana lainnya, itu semua adalah itu sendiri merupakan salah satu representasi
bencana yang secara stereotip diidentifikasikan wacana tersebut di level kebijakan nasional.
sebagai bencana alam atau kekuatan impersonal Dengan kata lain, melalui tinjauan konseptual
sosiobiologis, atau yang lebih dikenal dengan, ini, penulis ingin berargumen bahwa ada
‘populasi’. Ini merupakan persoalan dan koherensi logis antara partisipasi dengan
karakteristik umum dari diskursus kebencanaan, pergeseran pendekatan penanggulangan
yaitu ketika seluruh jenis bencana direduksi bencana melalui apa yang disebut ‘kerangka
sedemikian rupa menjadi sebatas persoalan kerja pengurangan risiko bencana’ yang ingin
‘mekanisme alam’ yang kosong dari penetrasi dicapai melalui program Kampung Siaga
kekuasaan dan campur tangan manusia. Bencana ini.

Kampung Siaga Bencana sebagai Instrumen Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana


Berbasis Komunitas di Indonesia: Politik Pembangunan dan Partisipasi dalam
295
Diskursus Pembangunan Kebencanaan, Muhammad Belanawane S.
Metode Penelitian ‘Berbasis masyarakat’ secara operasional-
Tulisan ini menggunakan pendekatan instrumental dalam konteks kebijakan artinya,
kualitatif dengan menggunakan analisis tema. jika program ini berhasil, ke depannya program
Tema yang akan dianalisis di sini adalah latar ini akan menjadi ‘milik’ masyarakat dan
belakang kebijakan mulai dari agenda hingga pengelolaannya pun akan diserahkan kepada
kerangka kerja Internasional-nasional yang masyarakat. Pemerintah dalam hal ini hanya
melatar-belakangi lahirnya program ‘Kampung menginisiasi kebijakan melalui perencanaan,
Siaga Bencana’ yang diluncurkan oleh model pelaksanaan dan merancang proses
Direktorat Penanggulangan Bencana Alam, monitoring dan evaluasi.
Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan
Data-data penelitian ini diperoleh melalui
Sosial, Kementerian Sosial RI sebagai semacam
studi lapangan yang dilakukan pada tahun 2013
pilot project pemerintah dalam penanganan
di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan,
masalah kebencanaan dan manajemen pra,
Kabupaten Sleman, Provinsi DI Yogyakarta
ketika, dan pasca bencana berbasis komunitas
dan data primer yang didapat dalam wawancara
di Indonesia.
tidak terstruktur yang dilakukan beberapa kali
KSB adalah program yang telah diaplikasikan setelahnya dengan pejabat yang berwenang di
secara nasional meskipun peluncurannya sendiri satuan kerja yang menangani kebencanaan di
baru diujicobakan sekitar 2 tahun lalu (Latief, Kemensos. Selain itu, data sekunder didapatkan
2012). Oleh karena itu, penelitian ini bukanlah dari studi kepustakaan, baik itu literatur
penelitian evaluatif atau analisis implementasi, tentang kebencanaan-pembangunan, maupun
melainkan penelitian analisis kritis kebijakan peraturan, buku-buku petunjuk teknis dan
yang nantinya dibutuhkan dalam manajemen petunjuk pelaksanaan yang dikeluarkan instansi
kebencanaan berbasis partisipasi masyarakat serta lembaga teknis terkait yang menangani
yang akan diterapkan melalui program KSB bencana alam di Kementerian Sosial secara
ataupun program sejenis di masa depan. khusus maupun dokumen kebijakan Pusat/
Daerah lainnya.
Jenis bencana yang dimaksud dalam
program dimaksud di sini adalah sebagaimana Kerangka Konseptual
batasan yang diuraikan dalam UU Nomor 24
Partisipasi dan Pembangunan Partisipatoris
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
Gagasan tentang partisipasi sipil berusia
Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, Bencana
setua gagasan demokrasi itu sendiri; ia eksis
Alam (1) gempa bumi, (2) tsunami, (3) gunung
pada banyak kebudayaan berbeda sepanjang
meletus, (4) banjir, (5) kekeringan, (6) angin
sejarah umat manusia (Mansuri, G., and Rao, V.
topan, (7) tanah longsor; Bencana Non-Alam
2013: 20-25). Teori modern tentang partisipasi
(8) gagal teknologi, (9) gagal modernisasi,
sendiri pertama kali diartikulasikan pada abad
(10) epidemi, (11) wabah penyakit; Bencana
ke-18 oleh Jean-Jacques Rousseau, pengarang
Sosial (12) konflik sosial antarkelompok atau
The Social Contract. Rousseau menjabarkan
antarkomunitas masyarakat, (13) teror. Secara
sebuah pandangan tentang demokrasi dimana
konsep, batasan bencana akan lebih luas
warga yang dianggap setara berkumpul untuk
dan kompleks sebagaimana diuraikan dalam
membuat keputusan dalam cara yang saling
Kerangka Teoretik.
bergantung dan disengaja, untuk menyingkap

296 SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015
apa yang Rousseau sebut “the general will” Mill mengaplikasikan logika ini untuk
yaitu untuk membentuk sebuah kebijakan pengertian partisipasi dalam industri, dimana,
dimana keuntungan dan beban, hak dan ia berargumen, manajemen kolektif dapat
tanggung-jawab dibagi secara sama rata menyebabkan individu-individu menilai
(Pateman 1976). Ketika itu Rousseau sedang kepentingan publik di atas kepentingan
dalam pencarian akan sebuah pandangan individu. Pandangan Mill tentang masyarakat
tentang kemajuan manusia dimana komunitas partisipatoris diambil alih lagi oleh G.D.H. Cole,
dan keterhubungan dapat melengkapi Henry Maine dan filsuf lain (dikenal sebagai
perumusan Abad Enlightenment tentang Pluralits English), yang menolak gagasan
kebebasan individu, dan bahwa jiwa manusia negara yang terpusat dan berargumen bahwa
adalah lebih penting dari ilmu pengetahuan “kebebasan individu akan dapat diwujudkan di
(Damrosch 2007). Bagi Rousseau, partisipasi dalam kelompok dan asosiasi yang membentuk
lebih dari sekedar sebuah metode pembuatan tatanan masyarakat sipil modern” (Mantena
keputusan. Ia adalah sebuah proses yang 2009).
dengannya seorang individu mengembangkan
Henry Maine adalah sosok dengan
empati untuk sudut pandang lain dan belajar
relevansi penting bagi pemikiran pembangunan
untuk menerima kepentingan publik dalam
kontemporer. Dikirim ke India salah satu daerah
rangka meraih kooperasi. Oleh karenanya
koloni Inggris terbesar pada masa kolonialisme
partisipasi berfungsi sebagai fungsi edukatif
untuk memberi masukan ke Kerajaan Inggris
yang penting: individu belajar bagaimana untuk
dalam persoalan-persoalan legal, dia menjumpai
menjadi (bagian dari) penduduk publik dan
beberapa temuan oleh pemerintah kolonial
anggota komunitas (dalam) mengembangkan
Inggris ketika itu tentang berkembangnya
rasa memiliki. Rousseau mengaitkan gagasan
sistem adat pemerintahan otonom desa di India
partisipasi dengan perkembangan kehidupan
yang memiliki sekian banyak karakteristik
sipil sebuah gagasan yang memiliki pengaruh
demokrasi partisipatoris. “Data-data” ini
luas dalam pemikiran politik pada masa-masa
menuntunnya untuk mengartikulasikan sebuah
berikutnya.
teori tentang komunitas desa sebagai alternatif
Di antara banyak filsuf abad 19 yang dari negara terpusat (Maine 1876 melalui
mengikuti pemikiran ini, mungkin yang Mansuri and Rao 2013). Dalam pandangan
paling dikenal adalah John Stuart Mill (1859, Maine, komunitas desa yang dipimpin oleh
1879), yang menggaris-bawahi nilai edukatif dewan tetua (panchayat), tidaklah tunduk pada
partisipasi. Dipengaruhi oleh tulisan Alexis seperangkat hukum yang diartikulasikan dari
de Tocqueville dalam Democracy in America atas tetapi memiliki struktur pengaturan dan
(1838) yang memuji-muji institusi politik lokal legal yang lebih cair yang menyesuaikan dengan
di Amerika Serikat dan semangat demokrasi kondisi yang berubah sambil tetap menjaga
partisipatoris yang ia bina, Mill menjadi sangat kepatuhan yang tegas akan adat tradisional
skeptis terhadap bentuk pemerintahan yang (Mantena 2009).
tersentralisasi. Sikap skeptisnya menyebabkan
Pembangunan komunitas dan desentralisasi
ia untuk berargumen bahwa partisipasi dalam
pemerintahan oleh karenanya memiliki sejarah
pemerintah nasional tidak banyak berguna jika
intelektual yang serupa, beranjak dari anggapan
warga tidak siap untuk berpartisipasi di tingkat
tentang partisipasi yang memiliki sekaligus nilai
lokal.
instrinsik (substantif) maupun instrumental

Kampung Siaga Bencana sebagai Instrumen Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana


Berbasis Komunitas di Indonesia: Politik Pembangunan dan Partisipasi dalam
297
Diskursus Pembangunan Kebencanaan, Muhammad Belanawane S.
(teknis). Maine percaya bahwa partisipasi kekayaan dan teknologi yang dianggap terlalu
dalam pembuatan keputusan membuat individu berorientasi pada rezim kekuasaan untuk
menjadi warga publik dengan melatih mereka dialihkan ke orang-orang miskin.
untuk berpikir dalam konteks barang publik
Freire dipengaruhi oleh Fanon dan para
ketimbang sekedar kepentingan privat; ia
ideolog kebebasan di Brasil. Komitmen
membangun kapasitas untuk aksi kolektif
hidupnya yang dihabiskan untuk pendidikan
dan apa yang oleh teoretikus sosial modern
membantunya dalam mengeksplorasi cara-
sebut “agency”. Partisipasi juga memiliki
cara agar kaum tertindas dapat mengatasi
nilai instrumental dalam mengembangkan
ketidakberdayaan dan keterkungkungan
kemampuan penduduk untuk menuntut
mereka. Dalam Pedagogy of the Oppressed,
tanggung-jawab Negara dan pasar, serta
dia menekankan pentingnya mengembangkan
untuk mempengaruhi keputusan-keputusan
sistem pendidikan yang lebih “dialogis”,
yang menyangkut kehidupan mereka. Dalam
mengakar pada pengalaman hidup siswa, dan
perkembangan konseptualnya, muncul dua
yang menghargai kelokalan serta variasi jenis
bentuk partisipasi: partisipasi dalam pengertian
pengetahuan. Pendidikan seperti ini menjadi
Rousseau dalam rangka membangun identitas
alat penyadaran total (conscientization1) untuk
kolektif; dan partisipasi dalam pengertian untuk
penduduk yang buta huruf dan tertindas.
memilih pemerintah yang representatif.
Sebagai akibatnya, Freire mendesak sebuah
Rousseau, Mill, dan Maine sama-sama model pendidikan yang tidak menganggap
memiliki pengaruh yang penting pada pemikiran pikiran siswa sebagai apa yang ia sebut
kolonial, dan ini terlihat dalam evolusi tabula rasa (kertas kosong). Sebaliknya, peran
konseptual maupun kebijakan partisipasi di pendidikan adalah untuk membuat siswa lebih
sejumlah wilayah kolonial besar, baik itu sadar-diri dan sensitif pada posisi mereka dan
jajahan Inggris, Perancis maupun Spanyol- pada posisi orang lain sebuah tema yang sangat
Portugis. mirip dengan gagasan Rousseau tentang ‘the
general will’ kehendak umum (Mansuri, G.,
Ketika perhatian lembaga donor pada
and Rao, V. 2013).
pembangunan partisipatoris lokal memudar,
justru muncul ketertarikan baru di antara Kata ‘partisipasi’ dan ‘partisipatoris’ dalam
para akademisi dan pemikir radikal. Paling konteks kebijakan muncul pertama kali sebagai
berpengaruh di antaranya adalah dengan jargon pembangunan pada era 1950 hingga
dipublikasikannya tulisan Frantz Fanon, The 1960an. Para aktivis dan pekerja lapangan
Wretched of the Earth (1961) dan Paulo Freire, sosial ketika itu, yang setelah sebelumnya
Pedagogy of the Oppressed (1970). Karya ikut arus pembangunan dalam harapan agar
Fanon, yang ketika itu dituduh memprovokasi mereka dapat menolong kaum tertindas, justru
pembacanya pada kekerasan, lahir karena dihadapkan dengan realitas yang sama sekali
frustasi mendalam akan rasisme, penyiksaan dan berbeda dari ekspektasi mereka sebelumnya,
nafsu balas dendam pada pemerintah kolonial terlebih setelah menyebarnya paham Fanonian
Perancis di Aljazair. Dalam The Wretched dan Freireian. Hal ini membuat mereka
of the Earth, ia mengeritik imperialisme dan menyimpulkan bahwa kegagalan hasil proyek-
nasionalisme serta menyerukan redistribusi proyek pembangunan adalah disebabkan oleh
1. Sebuah konsep dalam ilmu sosial yang bertolak dari Marxist critical theory yang fokus pada pencapaian sebuah pemahaman mendalam akan
dunia, yang memungkinkan adanya persepsi dan keterpaparan akan kontradiksi sosial-politik yang dirasakan seseorang.

298 SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015
masyarakat yang ‘hendak dibangun’ itu sendiri pembangunan yang konvensional, teknokratik
justru dipisahkan dari seluruh proses desain, dan top-down tidak berhasil” (1995: 4).
formulasi dan implementasi proyek-proyek Bahkan, pertumbuhan kekinian aktivitas
tadi. Ketika semakin tumbuh, merekapun partisipatoris dalam pembangunan dapat dilihat
mulai memperjuangkan berakhirnya sebagai gelombang ketiga partisipasi sejak
strategi pembangunan ‘top-down’ dan juga 1945 (Nelson and Wright 1995, White 1999).
mentahbiskan metode interaksi partisipasi- Gelombang pertama, gerakan ‘community
partisipatoris sebagai dimensi fundamental development’ yang secara umum berguguran
dalam pembangunan. pada awal 1960an, yang memiliki akar sejarah
pada aktivitas kesejahteraan kolonial praperang
Di sisi lain, pemapanan pembangunan
yang dilakukan pemerintah Inggris dan Perancis
kemudian diwajibkan, beberapa tahun
dan mendapat dukungan dari Amerika Serikat
kemudian, untuk mengenali dan merespons
ketika itu. Gelombang kedua, pada dekade
krisis struktural ketika itu. Para donor maupun
1970an diasosiasikan dengan pergeseran
pemerintahan negara penerima menyaksikan
sistem bantuan oleh PBB yang dengan gencar
fakta bahwa miliaran Dollar yang dihabiskan
didorong secara global saat itu, dimana
untuk program-program pembangunan
terdapat perubahan pendekatan ke kebutuhan
telah gagal untuk menghasilkan tujuan yang
dasar (basic needs) dan meningkatnya
diharapkan, seringkali justru makin menambah
perhatian pada pembangunan desa. Sayangnya
persoalan. Bahkan McNamara, Presiden Bank
gelombang kedua dianggap lebih condong ke
Dunia ketika itu, pada 1973 harus mengakui
retorika ketimbang praktik riil. Gelombang
bahwa ‘pertumbuhan belum [tidak] dapat
ketiga, yang mengambil momentum pada
menggapai orang miskin secara sepantasnya’.
1980an, diawali oleh upaya terencana banyak
Dalam pandangannya, pertumbuhan telah
lembaga donor bilateral mengadopsi teknik
disertai dengan ‘maldistribusi pendapatan yang
partisipatoris dan meningkatnya kue bantuan
lebih besar di banyak negara berkembang’.
yang disalurkan melalui LSM ketika itu. Pada
(Rahnema 1995: 128).
1990an gelombang ketiga ini turut melanda
Mengikuti rekomendasi dari banyak ahli Bank Dunia, terutama dengan dibentuknya
mereka sendiri, sejumlah besar organisasi Learning Group on Participatory Development
bantuan internasional menyetujui bahwa pada 1990, lalu pemublikasian Participatory
program-program pembangunan telah Source Book (World Bank, 1995) dan sejumlah
menjadi sedemikian centang-perenang karena aktivitas partisipatoris yang dihubungkan
‘meninggalkan orang’. Ditemukan bahwa, dengan assessment kemiskinan yang akhirnya
justru setiap kali orang lokal dilibatkan, dan menempatkan Bank Dunia ke panggung
berpartisipasi secara aktif di dalam program- utama dalam perdebatan partisipasi. Sejak
program tersebut, dengan sumber daya yang itu, partisipasi telah menjadi bagian yang
jauh lebih kecil dapat meraih hasil lebih besar, penting dalam retorika pembangunan pada
meskipun hanya dalam artian finansial. hampir semua lembaga bantuan, termasuk
pemerintahan.
Diskursus partisipatoris dalam
pembangunan, sebagaimana dipaparkan Nelson Tipologi Partisipasi
dan Wright, “pada tahun 1980an mulai tumbuh Partisipasi yang digunakan sebagai kerangka
diskusi tentang mengapa 30 tahun bentuk berpikir dalam tulisan ini menggunakan tipologi

Kampung Siaga Bencana sebagai Instrumen Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana


Berbasis Komunitas di Indonesia: Politik Pembangunan dan Partisipasi dalam
299
Diskursus Pembangunan Kebencanaan, Muhammad Belanawane S.
yang dibagi menjadi dua: organik dan induktif. Partisipasi induktif, sebaliknya, merujuk
Upaya mencapai participatory governance dan pada partisipasi yang dipromosikan melalui
membangun kapasitas sipil secara historis selalu kebijakan negara dan diimplementasikan oleh
merupakan mekanisme organik ketimbang birokrasi (termasuk dalam kategori ini adalah
sebuah proses yang dipimpin negara. Partisipasi lembaga-lembaga bilateral dan multilateral,
organik biasanya disetir oleh gerakan sosial yang yang biasanya juga beroperasi dengan izin
bertujuan untuk melawan pihak-pihak penguasa negara yang berdaulat). Partisipasi induktif
dalam lingkungan pemerintahan maupun swasta datang dalam dua bentuk: desentralisasi dan
dan meningkatkan bekerjanya mekanisme ini pembangunan berbasis komunitas.
melalui proses akomodasi hingga konfrontasi
Perbedaaan penting antara partisipasi
dan konflik. Proses ini seringkali efektif karena ia
organik dan induktif adalah bahwa institusi
muncul secara alamiah, biasanya memanfaatkan
yang kuat secara ekstrinsik mempromosikan
perubahan politik negara dan dipimpin oleh figur
partisipasi induktif, biasanya hanya dengan
karismatik yang dapat memobilisasi massa untuk
cara yang mempengaruhi sejumlah besar
menyalurkan aspirasi terhadap kepentingan
masyarakat pada waktu yang sama. Sebaliknya,
mereka hingga mengeksploitasi peluang politik.
partisipasi organik secara intrinsik didorong
Pergerakan sosial menuntut perubahan dengan
oleh aktor lokal yang ingin mengubah.
melawan situasi yang mereka anggap tidak dapat
dipertahankan; mereka dapat mencapai tujuan Governance
ketika mereka dapat mempengaruhi proses
Perubahan paradigma dalam praktik
politik atau menggapai kekuatan politik. Mereka
pembangunan selama tiga dekade terakhir, dari
melibatkan diri dalam proses yang disebut
state-led (dikomando pemerintah/berorientasi
Mansuri dan Rao (2013) dengan ‘penghancuran
negara) ke market-led (berorientasi pasar)
kreatif.’
telah menyapu lanskap kebijakan publik di
Partisipasi organik, adalah sebuah proses banyak negara, tidak terkecuali di Indonesia.
yang diinisiasi kelompok sipil yang bergerak Ini artinya, pemerintah tidak lagi menangani
di luar bahkan beroposisi dengan pemerintah. permasalahan-permasalahan pembangunan
Ia merupakan istilah yang luas yang mencakup masyarakat dari hulu ke hilir, tetapi adanya
berbagai jenis aktivitas-ekpresi sipil. Termasuk keterlibatan/partisipasi aktif masyarakat-
pergerakan sosial yang berjuang untuk komunitas akan penentuan dan pengelolaan
mendapatkan hak ekspresi demokratis dan permasalahan dan potensi yang ada pada
hak atas kaum tertindas, seperti gerakan anti- mereka. Ini tentunya menimbulkan tidak hanya
apartheid di Afrika Selatan. Ia juga termasuk representasi aspirasi masyarakat di akar rumput
upaya untuk membangun organisasi berbasis- lebih terlihat (bottom-up), tetapi juga membuka
keanggotaan untuk meningkatkan mata peluang dan kemungkinan pemberdayaan
pencaharian dan standar hidup, seperti Grameen masyarakat yang sangat luas.
Bank di Bangladesh atau Self-Employed
Pergeseran paradigma pembangunan
Women’s Association di India. Partisipasi
masyarakat dari Tata Pemerintahan ke
organik juga mencakup pergerakan buruh
Governance ini, dalam ranah kajian administrasi
yang membentuk asosiasi pekerja dan dagang
publik, politik-ekonomi internasional dan
yang dibentuk untuk melindungi dan mewakili
antropologi-sosiologi kebijakan, telah menjadi
kepentingan industri tertentu.
jargon yang secara jamak dikenal dalam wacana

300 SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015
sosial dan politik. Latar belakang pergeseran maju maupun negara berkembang, untuk bukan
ini bisa ditelusuri melalui pudarnya paham saja meningkatkan partisipasi atau keterlibatan
Negara Kesejahteraan (welfare state), semakin publik, namun juga menjadikan partisipasi-
mengglobalnya ideologi neoliberalisme dan keterlibatan itu sebagai sentral dalam arah
pasar bebas, dan menguatnya gelombang pengambilan kebijakan.
demokrasi selama beberapa dekade terakhir yang
Menurut Setiyanto (2007, VII(1): 25),
kesemuanya dapat dilihat sebagai sumber-sumber
istilah governance (kepemerintahan),
utama mengapa dibutuhkan model baru dalam
meskipun terdapat pengkategorisasian yang
pembangunan dan pengembangan masyarakat.
berbeda-beda dari sejumlah besar ahli, dapat
Terlepas dari sumber-sumber utama dikarakteristikkan menjadi sebagai berikut: (1)
tersebut, terdapat fenomena sosial-politik mode pengaturan masyarakat; (2) melibatkan
berupa gerakan-gerakan sosial baru dan civil multi-aktor dalam keberagaman bentuk dan
society terutama di negara-negara Afrika, Eropa perannya di dalam jaringan masing-masing; (3)
Timur, Amerika Latin dan Asia yang secara sebagai sebuah hasil dari berubahnya realitas
signifikan ikut menekan munculnya model baru politik lokal maupun internasional; dan, (4)
tentang bagaimana masyarakat itu harus/perlu dalam rangka untuk mendapatkan proses yang
diatur. Konsekuensinya, banyak proyek-proyek lebih baik dalam pencapaian tujuan-tujuan
baru dilakukan oleh pemerintah, baik di negara bersama.

Gambar 1. Posisi Kepemerintahan (Governance) dalam 3 domain besar kehidupan bernegara


(Pemerintah, Civil Society, Pasar)
Sumber: Setiyanto, 2007: 26.

Kampung Siaga Bencana sebagai Instrumen Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana


Berbasis Komunitas di Indonesia: Politik Pembangunan dan Partisipasi dalam
301
Diskursus Pembangunan Kebencanaan, Muhammad Belanawane S.
Gambar 1 menunjukkan bahwa governance Oleh karena itu, proses interaktif di antara
dibentuk oleh tiga domain yang masing- ketiga domain ini tidak dapat begitu saja
masingnya memiliki karakteristik khas. Secara direduksi pemaknaannya hanya sebagai proses
normatif, lingkaran yang memiliki ukuran sama kolaborasi (atau kita sering menyebutnya,
ini mewakili kekuasaan setara dari setiap domain ‘sinergitas lintas-sektor’), tetapi juga sebagai
sehingga governance adalah arena segitiga elips proses kompetisi di antara para aktor di mana
yang merupakan irisan dari kekuasaan yang hubungan-hubungan kekuasaan di antara
dikontestasikan di antara pemerintah, pasar, mereka akan mewarnai penampilan maupun
dan masyarakat sipil (civil society) tersebut. output dari persinggungan di antara mereka.
Bagaimanapun, karena governance itu sendiri
Persoalan lainnya adalah, apakah kemudian
lebih fokus pada apa yang terjadi ketimbang
peranan pihak-pihak lain (masyarakat sipil
apa yang seharusnya terjadi, lingkaran yang
dan pasar/swasta) di luar pemerintah dalam
merepresentasikan kekuasaan akan berbeda
memerintah/mengatur kehidupan masyarakat
menurut konteks waktu dan ruangnya. Oleh
betul-betul disengaja atau terjadi dengan
karena itu, governance sebagai mode/cara
sendirinya tanpa perencanaan (organic versus
dalam memerintah/mengatur masyarakat
induced governance/participation)? Dalam
memungkinkan keterlibatan-partisipasi
banyak negara berkembang, ketika segala
berbagai aktor yang dalam sebagian kasus akan
sesuatunya seperti diregulasikan, keterlibatan
memiliki batasan yang kabur.
pihak lain lain dalam proses kepemerintahan
Di sisi lain, ketiga lingkaran ini secara sebenarnya diciptakan, atau paling tidak
jelas merepresentasikan bahwa setiap domain diketahui oleh pemerintah sehingga meskipun
memiliki karakteristik masing-masing tidak berada di bawah kekuasaan langsung
seperti rasio (logika berpikir), norma, dan pemerintah, pada taraf-taraf tertentu ia bisa
logika bertindak. Sebagai contoh, Gambar dikontrol oleh pemerintah. (2007, VII(1): 26-
1 menunjukkan bahwa terdapat irisan 27).
(intersection) antara misalnya, pasar dengan
masyarakat sipil, atau masyarakat sipil dengan Kebencanaan
pemerintah, atau juga pemerintah dengan pasar. Pandangan teknokratik utama terhadap
Irisan-irisan tadi bisa saja mewakili misalnya, bencana alam mulai muncul dan dominan
sebuah perusahaan pemerintah yang fokus pada di tahun 1990an. Hal ini paling terlihat pada
pengumpulan pendapatan pemerintah tetapi agenda-agenda PBB dan sejumlah inisiatif
berjalan sebagaimana layaknya perusahaan global seperti dekade pengurangan bencana
swasta manapun yang profit-oriented. Lalu alam (UNDRO 1990). Proposal kunci dari
yang kedua, dapat menggambarkan permisalan inisiatif tersebut seperti dinyatakan sebagai
tentang organisasi masyarakat (ormas) yang berikut (Eighth World Conference on
menyediakan jasa layanan air bersih tetapi Earthquake Engineering 1984, melalui Hewitt
mereka juga beroperasi sebagai penyedia air 1995),
bersih swasta atau bahwa sebenarnya mereka
“Strategies for cooperative worldwide
dibiayai oleh pemerintah, dan seterusnya dari
endeavours in the collection, dissemination,
sekian banyak kemungkinan yang menggaris-
and application of existing knowledge in
bawahi ketidakstabilan atau bahkan ambiguitas loss-reduction measures; the identification
kekuasaan yang dipraktikkan dalam governance. of gaps in knowledge and the initiation of

302 SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015
new research to fill them; the acceleration of Ironisnya di lapangan, pendekatan
continuing research that can yield additional teknokratik dan inisiatif-inisiatif berteknologi
insight into the physical processes of natural tinggi yang sepertinya ia tuntut ini, sering kali
disasters; and transfer of technology.” lebih merupakan bagian dari permasalahan
Dalam rumusan lanjutan, tujuan yang ketimbang solusi terhadap peningkatan
dipublikasikan dari IDNHR (International kuantitas dan pergeseran jalur bencana yang
Decade for Natural Hazards Reduction) adalah semula menginspirasi dirumuskannya protokol-
untuk ‘mengurangi kerugian kehilangan jiwa, protokol tadi. Sebelumnya, pendekatan
kerusakan properti, dan gangguan sosial- teknokratik telah dihubungkan sebagai sebab
ekonomi dari bencana alam.’ Ini dapat dicapai kegagalan program kebencanaan, bahkan
melalui ‘penelitian kerjasama, proyek ujicoba, di kasus-kasus besar di negara-negara
diseminasi informasi, asistensi teknis, transfer maju dimana pengeluarannya sangat besar.
teknologi, dan pendidikan-pelatihan.’ Aktivitas Sayangnya, ‘kegagalan’ tersebut hampir selalu
ini ‘akan disesuaikan dengan bencana dan dilihat sebagai akibat dari kekurang-layakan
lokasi spesifik yang mengizinkan adanya organisasi dan komitmen bukan sebab lain yang
diversitas budaya dan ekonomi’ (Hewitt 1995). lebih struktural. Fakta ini menjadi semakin
Tujuan-tujuan ini mungkin sepenuhnya terpuji, problematik jika kita mengingat bahwa IDNHR
namun asumsi-asumsi tentang bencana di dan agenda Internasional sejenis akan lebih
belakang strategi, kewajaran dan kemungkinan mungkin untuk menghadapi sumber daya
keberhasilan/kegagalan prioritas dan aktivitas yang terbatas, dalam lingkungan implementasi
dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut yang kebijakan yang kurang kondusif, misalnya
dapat kita dipertanyakan. Ia jelas bersandar dalam situasi hutang negara yang besar dan
pada sejumlah pernyataan tegas tentang apa krisis ekonomi global (Mitchell, J.K. 1988).
yang ‘Kami’ (pihak eksternal yang hendak Akan tetapi bagaimanapun permasalahan pada
mengubah) seharusnya tahu, dan dapat atau pilihan perspektif, epistemologi dan pengaturan
butuhkan untuk dilakukan. Pada prinsipnya, organisasional masih belum seberapa dibanding
ia menegaskan kembali suatu visi top-down, dengan apa yang oleh inisiatif-inisiatif
teknokratik dan keahlian Barat yang merupakan kebijakan itu tangkap dan gagal tangkap
logika modernisme yang dijual pembangunan. mengenai bencana.
Logika yang menggaris-bawahi inisiatif ini
PEMBAHASAN
adalah bagaimana keahlian Negara maju
dapat digunakan dan diteruskan ke pemerintah Agenda Kebijakan Kebencanaan
dan program (‘Dunia Ketiga’) lainnya, dan Internasional dan Regional dan
untuk melatih ‘manajer bencana’ di negara Pengaruhnya di Indonesia
lain itu. Ini kemudian diperlakukan sebagai Meningkatnya intensitas bencana alam
narasi atas kemajuan atau peningkatan yang di Indonesia, baik dari segi besaran maupun
diasumsikan paling baik atau bahkan terbaik frekuensinya, telah menyadarkan banyak
dalam transparansi dan efektivitas, betapapun pihak, khususnya masyarakat sipil (terkadang
acuh tak acuhnya ia pada konteks sosial dan dicampur-adukkan dengan istilah NGO/LSM)
ekologis, pada sumber-sumber kerentanan untuk mengimplementasikan kegiatan-kegiatan
yang mayoritasnya sosial dan pada bagaimana tanggap darurat untuk masyarakat yang terkena
hubungannya dengan ‘pembangunan’. dampak langsung bencana. Program-program
ini biasanya lebih banyak difokuskan pada

Kampung Siaga Bencana sebagai Instrumen Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana


Berbasis Komunitas di Indonesia: Politik Pembangunan dan Partisipasi dalam
303
Diskursus Pembangunan Kebencanaan, Muhammad Belanawane S.
pemulihan pasca-bencana untuk penanganan Secara umum, kerangka kerja pengurangan
kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, dan risiko dan manajemen bencana menemu-
tempat pengungsian sementara. Pihak-pihak kenali tiga tahapan intervensi: prabencana; saat
organisasi kemasyarakatan ini, biasanya akan bencana; dan pascabencana. Tahapan intervensi
membuat semacam gudang-gudang (buffer prabencana secara garis besar menyangkut
stock) untuk menampung kebutuhan-kebutuhan persoalan kesiapsiagaan dan aktivitas mitigasi;
tadi sehingga dapat segera didistribusikan begitu intervensi pada saat bencana menyangkut
bencana menimpa di lingkungan masyarakat tahapan tanggap darurat; sementara aktivitas
tempat mereka tinggal. pascabencana berkenaan dengan rehabilitasi
dan pemulihan. Seluruh dari aktivitas ini akan
Sungguhpun demikian, pihak-pihak ini
mengantarkan pada peningkatan kapasitas
nampaknya memahami bahwa kegiatan-
masyarakat dan diharapkan dapat mengurangi
kegiatan seperti ini tidaklah cukup. Ada
kerentanan mereka terhadap bencana.
semacam kesadaran kolektif yang terbangun
di tingkat akar rumput masyarakat bahwa para Peraturan perundang-undangan ini juga
warga dan keluarga perlu dipersiapkan untuk berarti sebuah produk kebijakan publik
menghadapi keganasan bencana alam yang tentang komitmen Pemerintah Indonesia
seringkali datang tiba-tiba. Melalui pengaruh untuk meratifikasi atau mematuhi sejumlah
agenda Internasional dan upaya tak kenal lelah hukum dan protokol internasional menyangkut
berbagai pihak, mulai dari akademisi, ormas, kebencanaan yang telah disepakati oleh banyak
tokoh masyarakat, dan LSM yang bergerak di negara.
bidang lingkungan hidup, akhirnya pemerintah
Indonesia melalui DPR mengesahkan Undang- Kerangka Kerja Agenda Kebijakan
Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Internasional dalam Pengurangan Risiko
Penanggulangan Bencana dan Peraturan Bencana yang Mengadopsi Diskursus
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penggabungan Kebencanaan-Pembangunan
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Dalam konteks menjelaskan bagaimana isu
kebencanaan dan pembangunan diwacanakan
Kedua peraturan perundang-undangan ini dalam agenda kebijakan internasional, terdapat
pada dasarnya merupakan langkah penting setidaknya tiga framework yang menurut
menuju operasionalisasi visi pengurangan risiko penulis paling relevan dalam menjelaskan
dan manajemen bencana berbasis masyarakat/ pengaruhnya pada kebijakan kebencanaan
komunitas sebagai sebuah proses dimana partisipatoris yang mulai marak di Indonesia:
komunitas rentan bencana dilibatkan secara
aktif dalam identifikasi, analisis, penanganan, a. Hyogo Framework for Action (HFA)
monitoring-evaluasi risiko bencana dalam HFA telah mengidentifikasi lima aksi
rangka mengurangi kerentanan sekaligus prioritas, bersama dengan prinsip-prinsip
meningkatkan kapasitas mereka. Bahkan secara petunjuk untuk mencapai ketahanan
ambisius, upaya untuk memosisikan masyarakat (resiliensi) terhadap bencana, antara lain
di tengah-tengah pengambilan keputusan dan sebagai berikut (UNISDR, 2007):
implementasi seluruh aktivitas pengurangan
Aksi Prioritas 1: Memastikan bahwa
risiko dan manajemen bencana.
pengurangan risiko bencana merupakan
prioritas nasional dan lokal dengan

304 SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015
basis institusional yang kuat sebagai Aksi Prioritas 4: Mengurangi faktor-
implementasinya. Negara-negara faktor yang menggarisbawahi risiko
yang mengembangkan kerangka kerja bencana. Risiko bencana terkait dengan
politik, legislatif, dan institusional untuk kondisi sosial, ekonomi, lingkungan
pengurangan risiko bencana, serta yang dan penggunaan lahan yang berubah. Di
mampu mengembangkan dan melacak samping tentunya dampak dari bahaya yang
kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya berhubungan dengan kejadian-kejadian
melalui indikator-indikator yang spesifik geologis, keragaman cuaca, air, iklim,
dan terukur, memiliki kapasitas yang dan perubahan iklim, yang kesemuanya
lebih besar untuk mengelola risiko dan ini harus menjadi perhatian khusus dalam
meraih konsensus yang luas dalam rangka perencanaan-program pembangunan lintas-
mewujudkan keterlibatan dan keserasian sektor (prabencana), sebagaimana halnya
dengan ukuran-ukuran pengurangan risiko dalam situasi pascabencana.
bencana di seluruh sektor masyarakat.
Aksi Prioritas 5: Menguatkan kesiap-
Aksi Prioritas 2: Mengidentifikasi, siagaan bencana dalam rangka terciptanya
mengenali, dan memonitor risiko bencana respons bencana yang efektif pada semua
dan meningkatkan ketanggapdaruratan. level. Pada saat bencana terjadi, dampak
Titik awal dalam rangka mengurangi risiko dan kerugian dapat secara substansial
bencana dan mempromosikan budaya dikurangi jika pihak pemerintah, individu
resiliensi bencana terletak pada pengetahuan dan komunitas di lingkungan rawan bahaya
bahayanya, serta kerentanan fisik, sosial, bencana telah siap (well prepared) dan
ekonomi, dan lingkungan terhadap bencana siap untuk bertindakserta telah dilengkapi
yang akan dihadapi masyarakat. Selain dengan pengetahuan dan kapasitas yang
juga pada bentuk-bentuk perubahan tingkat efektif bagi manajemen bencana.
bahaya dan kerentanan pada jangka pendek
maupun panjang, yang mesti diikuti oleh b. ASEAN Agreement on Disaster
aksi yang ditempuh dengan berlandaskan Management and Emergency Response
(AADMER)
pada pengetahuan itu.
The ASEAN Agreement on Disaster
Aksi Prioritas 3: Menggunakan Management and Emergency Response
pengetahuan, inovasi, dan pendidikan (AADMER) diratifikasi oleh sepuluh
untuk membangun budaya aman dan negara anggota ASEAN pada Juli 2005 dan
resilien pada semua level. Risiko bencana mulai berlaku sejak 24 Desember 2009.
dapat secara mendasar dikurangi jika Persetujuan ini merupakan instrumen tindak
masyarakat memiliki bekal informasi (well lanjut pertama HFA di dunia. Melalui visi
informed) dan motivasi yang baik menuju untuk mencapai “disaster resilient nations
budaya pencegahan dan resiliensi bencana, and safer communities in the ASEAN region
yang pada gilirannya membutuhkan by 2015”, AADMER menargetkan untuk
pengumpulan, pengompilasian dan secara substansial mengurangi korban jiwa.
pendiseminasian pengetahuan dan informasi
yang relevan terhadap bahaya, kerentanan AADMER memiliki tiga tujuan utama
dan kapasitas (terhadap bencana). (Reyes, 2010):

Kampung Siaga Bencana sebagai Instrumen Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana


Berbasis Komunitas di Indonesia: Politik Pembangunan dan Partisipasi dalam
305
Diskursus Pembangunan Kebencanaan, Muhammad Belanawane S.
• meningkatkan kapasitas negara-negara diciptakan dalam masyarakat global dengan
ASEAN untuk assessment risiko pengaruh filsafat modernisme-positivistik
bencana regional melalui aktivitas Barat yang kuat2, tetapi juga keadaan
tanggap darurat regional dan monitoring sosial dan ekonomi yang dapat membuat
berkelanjutan untuk respons bencana penduduknya memenuhi kebutuhan-
yang target dan aktivitas-aktivitas kebutuhan dasarnya. Dari sini, tentu saja
perbaikannya jelas; kita bisa langsung memahami bahwa MDGs
• membantu negara anggotanya dalam dan logika yang mendasarinya diambil dari
pengarusutamaan (mainstreaming) konsepsi human development.
pengurangan risiko bencana ke dalam
kebijakan pembangunan nasional, Pendekatan pembangunan manusia
membantu terwujudnya rencana dan adalah sebuah gagasan tentang upaya
program sektoral dalam memformulasi mengembangkan kekayaan hidup
dan mengimplementasikan ukuran- manusia, ketimbang kekayaan ekonomi
ukuran pengurangan risiko bencana yang manusia itu hidup di dalamnya. Ia
yang dapat menghubungkan adaptasi merupakan pendekatan yang fokus pada
perubahan iklim dengan sektor-sektor manusia dan peluang serta pilihan mereka.
kunci dalam rangka memastikan Sebelum MDGs lahir, PBB melalui United
pembangunan berkelanjutan; Nations Development Program (UNDP)
• dan, memperkuat kesiap-siagaan di bawah supervisi sejumlah ekonom yang
bencana para negara anggota sekaligus dipimpin Mahbub Al-Haq dan dibantu oleh
meningkatkan responsivitas ASEAN ekonom peraih nobel Amartya Sen telah
terhadap bencana-bencana besar dengan meluncurkan Human Development Index
sikap yang kolektif, cepat, handal dan (HDI) secara tahunan sejak tahun 1990 yang
sesuai dengan standar kemanusiaan
memperkenalkan gagasan pembangunan
melalui prosedur-mekanisme
manusia sebagai alat ukur untuk mengukur
operasional baku serta mobilisasi
keberhasilan pembangunan negara-negara
sumberdaya yang tanggap.
seluruh dunia.
c. Millennium Development Goals (MDGs)
MDGs mengombinasikan pendekatan
Menurut naratif yang diciptakan dalam
berbasis hak yang diperkenalkan dengan
MDGs, koherensi pembangunan secara
dipublikasikannya Human Development
konseptual dibangun di atas kemampuan
Report dengan pendekatan penguantifikasian
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan manusia dalam Human
dasar (basic needs) mereka. Ini berarti,
Development Index yang keduanya
Negara bukan hanya wajib menjaga
dikeluarkan UNDP. HDI berfungsi sebagai
‘pertumbuhan ekonomi’ yang ia sendiri
target pembangunan yang harus dicapai oleh
merupakan naratif ‘Pembangunan’ yang

2. Dengan menelusuri sejarah ‘Pembangunan’, kita dapat memahami kompleksitas asal-muasal makna pembangunan yang akhirnya menjadi
‘seragam’ pada akhir masa kolonial yaitu dengan berakhirnya Perang Dunia Ke-2. Menurut Castoriadis (1991: 186), ‘Pembangunan’ datang
untuk menandakan pertumbuhan tak terbatas, kedewasaan dan kapasitas untuk tumbuh tanpa akhir. Bayangan sosial ini seiring-seirama dengan
sejumlah dalil pembangunan seperti kemahakuasaan teknik, asumsi asymptotic (berdekatan) berkaitan dengan ilmu pengetahuan, rasionalitas
mekanisme ekonomi dan pra-asumsi tentang rekayasa sosial sebagai prasyarat pertumbuhan. Oleh karena itu, Castoriadis berpendapat (1991:
186), pembangunan, dalil-dalilnya dan signifikansi imajinernya saat ini telah terbaring di reruntuhannya sendiri karena “signifikansi-signifikansi
imajinernya semakin lemah penerimaannya di dalam masyarakat.” Menurut Watts (1995: 48), siapapun, tentu saja, dapat mengeritik pandangan
dan penemukenalan krisis pembangunan yang diajukan sejumlah besar sarjana kritikus pembangunan semisal Castoriadis, tetapi krisis ini,
sebagaimana dahulu, telah dibangun di dalam pembangunan dari awal kali ia ‘ditemukan’.

306 SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015
seluruh negara anggota PBB, khususnya daya lingkungan hidup. Target MDGs
negara-negara Selatan atau ‘Dunia Ketiga’ ini secara garis besar bersesuaian dengan
dan juga sebagai kerangka kerja untuk prinsip-prinsip pengurangan risiko bencana
program pembangunan di lingkungan PBB. yang menangani keprihatinan terhadap
Target-target yang diklaim measureable perubahan iklim, seperti penggundulan
(dapat diukur) ini mencakup 8 tujuan yang hutan dan berkurangnya emisi gas rumah
harus diraih pada 2015, sebagai berikut, kaca (Bawagan, 2010).
1. untuk memberantas kemiskinan dan Kompleksitas dan Dinamika dalam Proses
kelaparan ekstrim Lahirnya Regulasi-Kebijakan Kebencanaan
2. untuk mencapai pendidikan dasar di Indonesia: Pengaruh Demokrasi Sipil
universal atau Kontestasi Politik Pembangunan?
3. untuk mempromosikan kesetaraan Regulasi pertama yang dibuat Indonesia
gender dan pemberdayaan perempuan dalam merespons bencana dibuat pada awal
4. untuk mengurangi tingkat kematian kemerdekaan dimana situasi perang belum lagi
anak mereda, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun
5. untuk meningkatkan kesehatan ibu 1946 tentang Situasi Kedaruratan. Regulasi
hamil/menyusui terakhir sebelum UU 24/2007 adalah Keppres
6. untuk memerangi HIV/AIDS, malaria, 43/1990 tentang Badan Koordinasi Nasional
dan penyakit lainnya Penanggulangan Bencana (Bakornas PB). Ini
artinya, sebelum pembentukan BNPB pada
7. untuk memastikan kelestarian
2008, Indonesia sebenarnya tidak memiliki
lingkungan
institusi permanen dengan kewenangan penuh
8. untuk mengembangkan suatu kemitraan karena semua institusi yang dibuat sebelumnya
global untuk pembangunan.
hanya bersifat sementara. Bahkan institusi-
Dalam kaitannya dengan target MDGs institusi ad hoc ini hanya menjadi tempat
dalam konteks pembangunan kebencanaan, penampungan para purnawirawan jenderal
Indonesia, utamanya harus menetapkan atau politikus yang dianggap “kurang memiliki
pengurangan risiko bencana sebagai kapasitas manajemen respons bencana” dan
komponen penting bagi pembangunan “kurang memahami konsepsi pengurangan
berkelanjutan, sehingga pengurangan risiko bencana” (Sugiono 2013). Lemahnya
risiko bencana sudah seharusnya dasar institusional dan legal manajemen bencana
diarusutamakan ke dalam proses legislasi sebelum 2007 ini membuat praktis tidak ada
dan perencanaan. MDG Nomor 7 berisi aktivitas permanen berkaitan dengan kebijakan
tentang kewajiban untuk memastikan manajemen bencana atau pengurangan risiko
keberlanjutan lingkungan hidup dengan bencana di Indonesia pada masa-masa itu.
salah satu targetnya mengintegrasikan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan Fase-fase kebijakan dan regulasi
pada kebijakan dan program-program kebencanaan di Indonesia dari sejak
nasional, sekaligus mengembalikan kemerdekaan hingga saat ini bisa dilihat pada
kerugian dampak pengambilan sumber Tabel 1 di bawah,

Kampung Siaga Bencana sebagai Instrumen Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana


Berbasis Komunitas di Indonesia: Politik Pembangunan dan Partisipasi dalam
307
Diskursus Pembangunan Kebencanaan, Muhammad Belanawane S.
Tabel 1. Kebijakan dan Regulasi Kebencanaan di Indonesia dari Masa ke Masa
Tahun Kebijakan-Regulasi Keterangan
1945-1965 ◦ 20 Agustus 1945, Pemerintah Indonesia membentuk Dibuat dalam konteks situasi perang
Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). pasca-kemerdekaan Indonesia.
Badan ini bertugas untuk menolong para korban perang
dan keluarga korban semasa perang kemerdekaan.
◦ Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1946 tentang Situasi
Darurat, dan amandemennya, UU 1/1948. Termasuk
juga UU 33/1948 tentang Pengalihan Kekuasaan kepada
Presiden dalam Kondisi Darurat.

1966-1979 ◦ Keppres 54/1961; 312/1965 tentang Komite Pusat untukPenanggung jawab Menteri Sosial,
Penampungan Bencana Alam; aktivitas BP2BAP berperan pada
◦ Keppres 256/1966 tentang pembentukan Badan penanggulangan tanggap darurat
Pertimbangan Penanggulangan Bencana Alam Pusat dan bantuan korban bencana.
(BP2BAP); Melalui keputusan ini, paradigma
◦ Tahun 1967 Presidium Kabinet mengeluarkan penanggulangan bencana berkembang
Keputusan Nomor 14/U/KEP/I/1967 yang bertujuan tidak hanya berfokus pada bencana
untuk membentuk Tim Koordinasi Nasional yang disebabkan manusia tetapi juga
Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA). bencana alam.
1979-1990 ◦ Keppres 28/1979 tentang Badan Koordinasi Nasional Merupakan respons darurat yang ad hoc
Penanggulangan Bencana terhadap bencana alam.
1990-2001 ◦ Keppres 43/1990 tentang Badan Koordinasi Nasional ◦ Perluasan lingkup tugas dari
Penanggulangan Bencana (Bakornas PB); Bakornas PB ke non alam dan sosial.
◦ Keppres 106/1999 tentang Badan Koordinasi ◦ Penegasan perlunya penanggulangan
Penanggulangan Bencana. bencana lintas-sektor, lintas-pelaku
dan lintas-disiplin yang terkoordinasi.
2001-2005 Keppres 3/2001 dan Amandemennya Keppres 111/2001 Indonesia mengalami krisis
tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan multidimensi berupa bencana sosial
Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP). yang terjadi di beberapa tempat yang
memunculkan permasalahan baru
terkait dengan pengungsian.
2005-2007 Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang Badan ◦ Gempa bumi dan tsunami Aceh tahun
Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB). 2004 telah mendorong perhatian
serius Pemerintah Indonesia
dan dunia internasional dalam
manajemen bencana.
◦ Lahirnya HFA yang menjadikan
pendekatan pengurangan risiko
bencana sebagai perhatian utama.
2008 ◦ Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang ◦ Legislasi, lembaga maupun
Penanggulangan Bencana. penganggaran yang dibangun
◦ Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan dalam merespons tuntutan domestik
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). dari masyarakat sipil dan tuntutan
internasional dari peratifikasian HFA.
◦ Pembagian kewenangan Pusat-
Daerah dan antar-Kementerian/
Lembaga.
◦ Restrukturisasi dan perluasan
wewenang-fungsi pengkoordinasian
penanggulangan bencana BNPB.
Sumber: BNPB 2015; dan Sugiono 2013.

308 SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015
Dalam kaitannya dengan upaya Pemerintah terhadap bencana, sebuah pendekatan yang
Indonesia dalam meratifikasi HFA, Undang- merefleksikan pengaruh MDGs. Bukan hanya
Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang itu, sejumlah peneliti kebencanaan Indonesia
Penanggulangan Bencana mengandung bahkan menyinyalir adanya pengaruh UNDP
sejumlah nilai yang terdapat di dalam HFA. dalam penyusunan dan penetapan dokumen
Seperti misalnya, pada Pasal 6, dinyatakan RAN-PRB melalui sejumlah proyek yang
bahwa pengurangan risiko bencana akan mereka danai di Indonesia. (Sugiono et al. 2013).
diintegrasikan dengan pembangunan melalui
Selain persoalan pendekatan hak, RAN-
kebijakan pemerintah. UU ini juga menegaskan
PRB juga memberikan posisi penting
kembali bahwa Pemerintah bertanggung jawab
pada akuntabilitas sebagai nilai krusial
untuk menjamin masyarakat dari dampak
untuk pengurangan risiko bencana yang
bencana, memenuhi hak dasar warga (termasuk
diimplementasikan melalui pengayaan
pengungsi) dengan didasarkan pada standar
partisipasi, kesetaraan, keadilan dan kebijakan
minimal pelayanan publik, dan mengalokasikan
sensitif terhadap gender (Bappenas 2006).
anggaran yang layak dalam pengurangan risiko
bencana. Pasal 13 juga memberikan mandat Jadi dapat disimpulkan bahwa jika UU
konstitusional untuk membentuk Badan 24/2007 menyediakan dasar dan kerangka
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kerja legal formal sebagai upaya mereformasi
sebagai institusi pusat yang mengoordinasikan regulasi kebencanaan Indonesia, RAN-
manajemen bencana dalam dua level: PRB masuk dalam konteks kebijakan
pembuatan kebijakan dan implementasi. sebagai upaya mereformasi kebijakan dan
(Pemerintah Republik Indonesia, 2007). pengoperasionalisasian proses perencanaan
pembangunan yang mengiringi regulasi
Akan tetapi UU 24 Tahun 2007 dianggap
kebencanaan, termasuk mengisi kekurangan
belum menegaskan basis kelembagaan yang kuat
UU 24/2007.
untuk menjamin keberlangsungan kebijakan
pengurangan risiko bencana di Indonesia Secara kasat mata, mungkin dapat dikatakan,
(UNDP 2007, Sugiono et al. 2013). Di sinilah apakah untuk alasan kepentingan nasional
RAN-PRB yang disusun oleh Bappenas untuk atau karena tekanan Internasional, bahwa HFA
diaplikasikan pada 2006-2009 dan tambahan telah berhasil dimasukkan ke dalam kebijakan
pada 2010-2012 masuk ke dalam arena. RAN- kerangka kerja kebencanaan nasional di
PRB, yang memiliki wilayah jurisdiksi seluruh Indonesia. Akan tetapi sejumlah peneliti bencana
instansi-lembaga pemerintah yang memiliki telah mengeritik formulasi UU Penanggulangan
bidang tugas kebencanaan, bertujuan untuk Bencana dan RAN-PRB. Pertama, UU 24/2007
membangun pendekatan yang komprehensif dan RAN-PRB dianggap terlalu state-centrist.
dan berkelanjutan dalam mengelola kebijakan Keduanya menempatkan Negara sebagai aktor
pengurangan risiko bencana Indonesia. sentral dalam manajemen bencana dan sangat
sedikit memberikan perhatian pada partisipasi
Menurut Sugiono et al. (2013), poin paling
masyarakat. Sebagai contoh, pada UU 24/2007,
penting dalam RAN-PRB adalah dimasukkannya
‘keterlibatan masyarakat’ dalam manajemen
sejumlah pendekatan berbasis hak dalam melihat
bencana hanya disinggung dalam dua (Pasal 26
bencana seperti afirmasi atas hak untuk hidup dan
dan 27) dari 85 pasal. Dua pasal ini pun hanya
tanggung jawab pemerintah dalam mengurusi
dengan rancu menerangkan hak dan kewajiban
kehidupan masyarakat dalam konteks ketahanan

Kampung Siaga Bencana sebagai Instrumen Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana


Berbasis Komunitas di Indonesia: Politik Pembangunan dan Partisipasi dalam
309
Diskursus Pembangunan Kebencanaan, Muhammad Belanawane S.
masyarakat dalam pengurangan risiko bencana. RAN-PRB merefleksikan sebuah keterkaitan
Meskipun pada pasal 26 ayat 1 menegaskan hak yang disengaja dengan tiga kerangka kerja
individu/masyarakat dalam “(e) berpartisipasi kebijakan Internasional relevan yang disebutkan
dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan sebelumnya, HFA, MDGs dan AADMER. Dalam
penanggulangan bencana, khususnya yang hal ini institusi PBB seperti UNDP memainkan
berkaitan dengan diri dan komunitasnya; dan (f) peranan yang signifikan dalam mempengaruhi
melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme bangunan kebijakan kebencanaan nasional tadi,
yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan mungkin bukan saja karena posisi Indonesia yang
bencana,” ironisnya ayat 2 hanya menjelaskan, penting dalam konstelasi negara-negara Dunia
“Setiap orang yang terkena bencana berhak Ketiga tetapi juga untuk mengamankan sejumlah
mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan megaproyeknya di Indonesia.
dasar,” Tidak ada pasal yang menerangkan
Selain itu, penulis juga berargumen bahwa
bagaimana membangun mekanisme partisipatoris
dua program penanggulangan bencana yang lahir
yang dapat menempatkan individu/masyarakat
hampir bersamaan, Kampung Siaga Bencana
sebagai subyek ketimbang sekedar obyek/korban
(KSB) oleh Kementerian Sosial dan program
bencana.
Desa Tangguh Bencana (DTB atau Destana)
Kedua, dengan dugaan ketimpangan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana
kekuasaan yang condong ke Negara pada (BNPB), muncul sebagai respons teknokratik
UU 24/2007 dan RAN-PRB, dikhawatirkan terhadap kondisi kompleksitas dan kebingungan
ketika keduanya dimasukkan ke dalam agenda kebijakan dalam pembangunan kebencanaan di
pembangunan nasional, proses pengarus- Indonesia pra- dan pasca- lahirnya dua regulasi
utamaan kebijakannya menjadi terlalu terdepan dalam pengurangan risiko bencana
teknokratik. Terlebih dengan diberlakukannya Indonesia, UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang
otonomi daerah sejak tahun 2004 yang men- Penanggulangan Bencana dan Rencana Aksi
transfer kekuasaan pembangunan ke daerah. Nasional-Pengurangan Risiko Bencana (RAN-
Dengan mengingat proses pembangunan PRB).
daerah spesifik yang justru dianggap telah
dilupakan di dalam UU 24/2007 maupun RAN- Instrumen Kebijakan Pengurangan Risiko
PRB, dikhawatirkan kedua regulasi tersebut Bencana Berbasis Komunitas di Indonesia:
justru bertabrakan dengan proses pembangunan Kampung Siaga Bencana (KSB) di Sleman,
daerah. (Sugiono et al. 2013). DI Yogyakarta
Mengutip dokumen pembentukannya,
Sebagai konsekuensinya, dikhawatirkan “Kampung Siaga Bencana (KSB) adalah
manuskrip-manuskrip ini akan berpengaruh sebuah wadah penanggulangan bencana
hingga ke level implementasi dimana otoritas berbasis masyarakat yang dijadikan kawasan/
Negara menjadi terlalu dominan dan sedemikian tempat untuk program penanggulangan
rupa menyempitkan keterlibatan masyarakat bencana” yang diluncurkan pada tahun
dalam upaya pengurangan risiko bencana. 2011 oleh Direktorat Perlindungan Sosial
Korban Bencana Alam, Direktorat Jenderal
Oleh karena itu, selaras dengan beberapa
Perlindungan dan Jaminan Sosial, Kementerian
penelitian sebelumnya (Sugiono et al. 2013, UNDP
Sosial RI. KSB dibentuk dengan maksud “untuk
2007), dapat disimpulkan bahwa proses formulasi
memberikan perlindungan kepada masyarakat
regulasi dan kebijakan dalam UU 24/2007 dan

310 SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015
dari ancaman dan risiko bencana dengan cara Jadi bisa disimpulkan bahwa tujuan-tujuan
menyelenggarakan kegiatan pencegahan dan KSB dan DTB ini sangat identik jika disandingkan
penanggulangan bencana berbasis masyarakat satu sama lain, dengan berputar pada dua fokus,
melalui pemanfaatan sumber daya alam dan yaitu (1) mengurangi faktor dan kerentanan
manusia yang ada pada lingkungan setempat.” bencana; dan (2) meningkatkan kapasitas
(Kementerian Sosial 2011a). kesiapsiagaan, yang keduanya paling tidak secara
ideal, direncanakan dan diimplementasikan oleh
Pembentukan KSB bertujuan untuk, masyarakat sebagai aktor utama.
“a) memberikan pemahaman dan kesadaran
Pada tahun-tahun tersebut, sekitar 2010-
masyarakat tentang bahaya dan risiko bencana;
2011, kejadian bencana yang relatif paling
b) membentuk jejaring siaga bencana berbasis
menarik perhatian di Indonesia mungkin adalah
masyarakat dan memperkuat interaksi sosial
bencana meletusnya Gunung Merapi pada tahun
anggota masyarakat; c) mengorganisasikan
2010. Gunung Merapi (ketinggian puncak 2.968
masyarakat terlatih siaga bencana; d) menjamin
m dpl, per 2006) adalah gunung api yang paling
terlaksananya kesiapsiagaan bencana berbasis
aktif di Indonesia dan telah beberapa kali meletus
masyarakat yang berkesinambungan; dan e)
sejak 1548. Merapi letaknya mencakup wilayah
mengoptimalkan potensi dan sumber daya
Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dan
untuk penanggulangan bencana.” (Kementerian
hanya berjarak 28 km ke Utara dari Yogyakarta,
Sosial 2011a).
sebuah kota besar dengan penduduk area kota
Dari membaca wacana yang ingin mencapai 2,4 juta jiwa. Relevansi penyebutan
dinarasikan melalui pernyataan di atas kertas ini tentu saja adalah karena masih terdapat
ini, langsung dapat dipahami bahwa tipologi ribuan orang yang tinggal di lereng gunung,
partisipasi yang dipromosikan adalah partisipasi dengan sejumlah pedesaan yang berada sampai
yang diturunkan dari luar (partisipasi induktif). di ketinggian 1700 m di atas permukaan laut.

Desa Tangguh Bencana (DTB) adalah Oleh karena itu, dapat dimengerti ketika
program sejenis yang juga merupakan salah program-program penanggulangan bencana
satu upaya pengurangan risiko bencana berbasis berbasis komunitas seperti KSB dan DTB
masyarakat yang lahir pada masa bersamaan banyak dirancang di wilayah-wilayah dengan
dengan KSB. Dalam dokumen resmi DTB, kerentanan bencana yang tinggi, khususnya
disebutkan bahwa “pengurangan risiko bencana daerah berpenduduk sekitar area bencana. Dalam
berbasis masyarakat adalah segala bentuk hubungannya dengan bencana gunung meletus
upaya untuk mengurangi ancaman bencana di Merapi, Sleman di Provinsi DI Yogyakarta
dan kerentanan masyarakat, dan meningkatkan yang biasanya dianggap sebagai kabupaten
kapasitas kesiapsiagaan, yang direncanakan paling rentan. KSB adalah program pemerintah
dan dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pertama yang masuk ke wilayah lereng Merapi,
pelaku utama. Dalam Desa/Kelurahan Tangguh bahkan ketika Badan Penanggulangan Bencana
Bencana, masyarakat terlibat aktif dalam Daerah Provinsi DI Yogyakarta belum terbentuk,
mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, yaitu di Desa Umbulharjo (Kec. Cangkringan,
mengevaluasi dan mengurangi risiko-risiko Kab. Sleman, rentan erupsi lahar-debu panas dan
bencana yang ada di wilayah mereka, terutama gempa vulkanik). DTB sendiri dibentuk pertama
dengan memanfaatkan sumber daya lokal demi kali di DI Yogyakarta pada awal 2012, tepatnya
menjamin keberkelanjutan.” (BNPB 2012). di Desa Sidoharjo (Kec. Samigaluh, Kab.

Kampung Siaga Bencana sebagai Instrumen Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana


Berbasis Komunitas di Indonesia: Politik Pembangunan dan Partisipasi dalam
311
Diskursus Pembangunan Kebencanaan, Muhammad Belanawane S.
Kulonprogo, rentan longsor), Desa Glagah (Kec. tinggi hingga bisa mencapai dua kali dalam
Temon, Kab. Kulonprogo, rentan tsunami), Desa setahun; serta (2) kerentanan bencana yang
Terbah, Desa Semoyo, and Desa Nglegi (Kec. tinggi dari segi demografis dan sosiologis-
Patuk, Kab. Gunung Kidul, rentan longsor). antropologis yang disebabkan karakteristik
Selain KSB dan DTB, juga terdapat beberapa padat pemukimannya yang tidak lazim. Oleh
program serupa yang sepertinya tidak bertahan karena itu, secara purposive, penelitian ini
lama, yaitu di Desa Purwobinangun (Kec. Pakem, difokuskan pada KSB yang berada di Desa
Kab Sleman, rentan erupsi), yang dibentuk oleh Umbulharjo, Cangkringan, Sleman.
Palang Merah Indonesia (PMI), dan di Desa
Program KSB diimplementasikan di Desa
Gadingsari serta Desa Poncosari (Kab. Bantul,
Umbulharjo dengan metode partisipasi yang
rentan gempa dan tsunami), dibentuk oleh
sangat induktif. Meskipun sebab pemilihan desa
Kementerian Koordinator Kesejahteraan.
awalnya didasarkan pada proposal yang dikirim
Tulisan ini berdasarkan pada penelitian di desa ke Kementerian Sosial di Jakarta melalui
wilayah Sleman yang dipilih dengan setidaknya perantaraan pemerintah daerah (Dinas Sosial
dua alasan, yaitu (1) risiko bencana yang tinggi Provinsi/Kabupaten yang berada di bawah
dari segi geologis, topografis dan klimatologis jurisdiksi daerah), hampir segala sesuatunya
yang disebabkan frekuensi erupsi Merapi yang dirancang dari pemerintah pusat/daerah.3

Gambar 2. Tahapan pembentukan Kampung Siaga Bencana


Sumber: Kementerian Sosial, 2011.

3. Ini berbeda dengan skema pemberian bantuan pada DTB yang dilakukan di Desa Sindumartani, sebuah desa bertetangga dengan Umbulharjo.
Proses bantuan pembangunan di Sindumartani menggunakan sebuah proses yang dinamakan Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang). Untuk mendapatkan kucuran bantuan, masing-masing warga desa harus datang ke Musrenbang untuk mengaspirasikan kebutuhan
mereka di forum pertemuan tersebut. Prosesnya akan melalui negosiasi di antara para warga desa yang hadir. Jika Musrenbang Desa meloloskan
aspirasi itu, mereka harus berkompetisi di Musrenbang tingkat lebih tinggi (kecamatan dan kabupaten) dengan desa dan kelompok aspirasi lain
di tingkat pemerintah daerah kabupaten. (Sugiono et al. 2013).

312 SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015
Gambar 3. Komponen utama manajemen bencana dalam Kampung Siaga Bencana.
Sumber: Kementerian Sosial, 2011.

Dalam skema KSB sebagaimana pada Gambar Kemensos, yang mungkin berbeda-beda pada
2 dan 3, terdapat tiga komponen penting. Gardu masing-masing KSB tergantung prioritas dan
sosial, yaitu suatu tempat untuk menghimpun atau intensitas bencana.
menyimpan barang persediaan-logistik untuk
Selain perangkat keras seperti alat, fasilitas
pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana;
dan sumber daya manusia, Kemensos juga
dan lumbung sosial, yaitu sekretariat atau tempat
menyediakan bagi koordinator dan pendamping
dilakukannya tukar informasi dan pendapat antar
program KSB dengan pelatihan kebencanaan,
anggota KSB yang dapat berfungsi sebagai pusat
termasuk sosialisasi dan edukasi manajemen
kendali operasi (pusdalop) pada saat terjadi
bencana yang diberikan kepada perwakilan 50-
bencana dan berfungsi sebagai pusat layanan
60 warga dalam satu KSB. Total pendanaan
komunitas untuk bidang kesejahteraan sosial
yang dikucurkan Kemensos untuk satu KSB,
pada saat kondisi normal. Komponen ketiga
menurut data tahun 2013 (biasanya mengalami
adalah peta kawasan (diistilahkan dengan keliru
peningkatan setiap pergantian tahun), mencapai
dalam dokumen KSB sebagai roadmap), yaitu
100 sampai dengan 120 juta. Perencana
seluruh data tentang kerentanan, ancaman dan
program juga membuka peluang pendanaan dari
risiko meliputi data geografi, data demografi, data
sumbangan atau hibah dari “masyarakat; badan
potensi dan sumber-sumber, data aksesibilitas,
usaha; bantuan asing; dan sumber pendanaan yang
data jejaring yang diintegrasikan dalam bentuk
sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
direktori roadmap kawasan. Perlengkapan dan
undangan.” (Kemensos 2011b: 34-35, 62).
logistik bagi ketiganya seluruhnya disuplai oleh

Kampung Siaga Bencana sebagai Instrumen Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana


Berbasis Komunitas di Indonesia: Politik Pembangunan dan Partisipasi dalam
313
Diskursus Pembangunan Kebencanaan, Muhammad Belanawane S.
Organisasi KSB sendiri terbentuk ke dalam Tahun 2011 tentang Kampung Siaga Bencana,
sebuah tim yang terbagi menjadi pengurus yang di dalamnya dinyatakan dengan penuh
dan anggota. Pengurus KSB terdiri dari percaya diri perubahan paradigma yang coba
ketua, sekretaris dan bendahara serta dibantu ditempuh program,
oleh anggota yang terbagi dalam sekurang-
“bahwa guna mendukung perubahan
kurangnya 4 bagian yang mencakup, (a) bagian
paradigma penanggulangan bencana
evakuasi; (b) bagian dapur umum; (c) bagian
yang hanya berorientasi pada
logistik; dan (d) bagian hunian sementara. penanggulangan kedaruratan bencana,
Jangka waktu kepengurusan tim KSB adalah 3 perlu juga berorientasi pada mitigasi dan
tahun. Kepengurusan selanjutnya dapat dipilih kesiapsiagaan penanggulangan bencana
kembali melalui mekanisme musyawarah. yang terkonsentrasi pada pencegahan dan
Secara total, keanggotaan tim KSB berjumlah pengurangan risiko bencana;
30-50 orang dari masyarakat yang diharuskan
bahwa untuk melaksanakan mitigasi dan
memenuhi syarat, (a) bersifat sukarela; (b)
kesiapsiagaan penanggulangan bencana,
telah melakukan pelatihan penanggulangan
diperlukan adanya peran masyarakat dalam
bencana atau sejenis; dan (c) bertempat tinggal
suatu wadah formal berbasis masyarakat,
di kawasan dimaksud. dari, oleh, dan untuk masyarakat melalui
Termasuk sumber daya yang disediakan pembentukan Kampung Siaga Bencana.”
Kemensos adalah memanfaatkan Taruna Siaga Kemudian dalam Petunjuk Teknis Kampung
Bencana (Tagana), relawan bencana rekrutan Siaga Bencana (KSB) hal yang sama dinyatakan
Kemensos yang diambil dari unsur masyarakat (Kementerian Sosial RI, 2011: 1-2),
lokal, dibentuk terpisah dan jauh sebelum KSB
ada. Hanya saja, selain keterangan bahwa “Seiring dengan terbitnya UU Nomor
Tagana boleh menjadi anggota (Kemensos 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana dan UU Nomor 11 Tahun
2011b: 33), jenis dan keterlibatan mereka tidak
2009 tentang Kesejahteraan Sosial
diatur dengan operasional dalam aturan main
bahwa Kementerian Sosial mengubah
maupun yang dijumpai di lapangan penelitian,
arah kebijakan dalam penanggulangan
dan oleh karenanya tidak dielaborasi lebih bencana yang awalnya bantuan sosial
lanjut dalam tulisan ini. menjadi perlindungan sosial. Kegiatan
Penelitian ini menggunakan dua tingkatan unit penanggulangan bencana pada bantuan
sosial arahnya lebih kepada karikatif
analisis, yaitu (1) analisis tema pada pernyataan-
sedang bidang perlindungan sosial
pernyataan formal yang coba dinarasikan kepada
memiliki kegiatan yang lebih luas, [yaitu
subyek pembangunan kebencanaan; dan (2)
bahwa] kegiatan penanggulangan bencana
analisis tema pada bagaimana framework legal- diarahkan dalam upaya mencegah dan
formal tersebut bekerja di lapangan melalui menangani permasalahan sosial yang
pernyataan pengakuan, pendapat, opini, berita diakibatkan oleh guncangan (shock).”
kejadian, pengalaman dan observasi yang
ditemui di lapangan penelitian, betapapun Beberapa deklarasi formal ini menegaskan
terlihat nonformalnya. bahwa KSB dimaksudkan sebagai scalling
up program yang diimplementasikan secara
Tingkatan analisis pertama bisa ditemui nasional yang menandai perubahan pendekatan
pada Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 128 dalam kebijakan pembangunan kesejahteraan

314 SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015
dari bentuk yang residual ke developmental bahwa Urusan Pemerintah bidang sosial
yang berkembang melalui dinamika eksternal merupakan salah satu urusan yang dibagi
maupun internal. Dinamika pergeseran eksternal kewenangannya dengan Pemerintah
melalui ekonomi-politik kebijakan nasional Daerah. Kementerian Sosial dalam upaya
bisa dijelaskan dalam terbitnya sejumlah memberikan perlindungan sosial kepada
regulasi penting pasca-Reformasi sebagaimana masyarakat yang bermukim di daerah
tercermin pada dua Undang-Undang (dasar rawan bencana mengembangkan suatu
model kebijakan penanggulangan yang
hukum tertinggi di Indonesia) yang dikutip
berbasis masyarakat yaitu Kampung Siaga
di atas. Adapun dinamika perubahan internal
Bencana (KSB) dimana [ini menjadi] urusan
dalam naratif Kemensos, menurut penulis,
bersama antara Pemerintah Provinsi dan
bisa diidentifikasi melalui, di antaranya, Kabupaten/Kota.
kemunculan sejumlah besar pejabat-pejabat
muda yang setelah menamatkan pendidikan Kampung Siaga Bencana merupakan
Pascasarjana di beberapa Universitas lokal dan program nasional yang tersebar di
sebagian kecil, Luar Negeri, turut membawa seluruh wilayah Indonesia. Dalam KSB
ini, masyarakat yang berada di daerah
pemikiran-pemikiran progresif mutakhir
rawan bencana diberdayakan dengan
dalam studi pembangunan ke dalam kubik
cara meningkatkan kapasitas mereka
dan ruangan rapat di internal Kementerian.
dan sekaligus menginisiasi adanya suatu
‘Pemikiran progresif-mutakhir’ yang terlihat prasarana penanggulangan bencana
paling populer dalam interaksi formal maupun tingkat komunitas seperti Lumbung Sosial
informal yang penulis geluti selama ini seperti Penanggulangan Bencana, Gardu Sosial
misalnya partisipasi, desentralisasi, community yang di dalamnya dilengkapi cara-cara
development dan sejumlah buzzword sejenis.4 lokal (setempat) dalam menanggulangi
bencana serta identifikasi potensi dan
Dalam kaitan dengan desentralisasi sebuah sumberdaya lokal untuk penanggulangan
konsep setali mata uang dengan partisipasi, bencana.”
misalnya, pada halaman dokumen yang sama
tepat setelah paragraf yang dikutip di atas, Tingkatan analisis kedua, terlihat dalam
dinyatakan dengan percaya diri (Kementerian sebuah pernyataan cukup mengejutkan dari
Sosial RI, 2011: 1-2), seorang warga Umbulharjo yang dibenarkan
oleh beberapa warga lain yang diutarakan
“Berkaitan dengan UU Nomor 32 dalam diskusi kelompok terarah (FGD) yang
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dilakukan di Balai Desa Umbulharjo,

4. Buku-buku rujukan penting tentang ‘Pembangunan’ dan jargon-jargonnya (buzzwords) sebagai diskursus adalah Wolfgang Sachs (ed.), The
Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power (Zed Books: 1992, 2010); Jonathan Crush (ed.), The Power of Development (Routledge,
1995); Raymond Apthorpe & Des Gasper (eds.), Arguing Development Policy: Frames and Discourses (Frank Cass: 1996); Katy Gardner &
David Lewis, Anthropology and Development: The Postmodern Challenge (Pluto: 1996); Ralph D. Grillo & Roderick L. Stirrat, Discourses
of Development: Anthropological Perspectives (Berg: 1997); Majid Rahnema & Victoria Bawtree (eds.), The Post-Development Reader (Zed
Books: 1997); Andrea Cornwall & Deborah Eade (eds), Deconstructing Development Discourse: Buzzwords and Fuzzwords (Practical Action
Publishing & Oxfam GB: 2010). Sedangkan literatur jurnal seperti Katy Gardner & David Lewis, ‘Dominant paradigms overturned or ‘business
as usual’’? Development discourse and the White Paper on International Development’ (2000), Critique of Anthropology 20(1): 15-29; Andrea
Cornwall & Karen Brock, ‘What do Buzzwords do for Development Policy? A critical look at ‘participation’, ‘empowerment’ and ‘poverty
reduction’’ (2005), Third World Quarterly 26(7): 1043-1060. Untuk memberikan pemahaman sejarah asal-muasal diskursus ‘Pembangunan’
ini, baca Wolfgang Sachs, ‘The Archaeology of the Development Idea’ (1990), Interculture 23(4); Arturo Escobar, ‘Discourse and power in
development: Michel Foucault and the relevance of his work to the Third World’ (1984), Alternatives 10: 377-400; dan ‘Power and visibility: the
invention and management of development in the Third World’ (1988), Cultural Anthropology 4(4): 428-443. Dalam konteks praktik diskursus
pembangunan ini di Indonesia, salah satu yang terdepan adalah Tania Murray Li dalam The Will to Improve: Governmentality, Development, and
the Practice of Politics (Duke UP: 2007, edisi Indonesia diterbitkan Marjin Kiri, 2011).

Kampung Siaga Bencana sebagai Instrumen Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana


Berbasis Komunitas di Indonesia: Politik Pembangunan dan Partisipasi dalam
315
Diskursus Pembangunan Kebencanaan, Muhammad Belanawane S.
“Ketika KSB di-launching [pertama kali berargumen bahwa dilihat dari sebabnya dan
diluncurkan], di ruangan ini juga.. Acaranya bukan hasilnya, ‘kegagalan’ ini justru konsisten
besar dan rame. Banyak pejabat. Sampai dengan perencanaan awal program dengan
Pak Menteri [Sosial ketika itu, Salim Segaf “pengakuan” untuk mempromosikan partisipasi
Al-Jufri] datang jauh-jauh membuka dari induktif, bukan organik.
Jakarta. Ada pemotongan pita merah, papan
nama KSB yang ditutup [kain] tirai terus Sebagaimana dibuktikan dalam sejumlah
dibuka pak Menteri. Banyak warga yang besar penelitian postdevelopment yang
diundang [ke Balai Desa] ndak tahu hadir mengeritik megaproyek ‘Pembangunan’,
untuk acara apa. Kami baru tahu setelah mungkin saja apa yang paling penting diungkap
tirainya dibuka. Setelah itu, berbulan-bulan tentang program-proyek ‘Pembangunan’
tidak ada berita apa-apa [tentang KSB].” bukanlah apa yang ia gagal capai tetapi apa
Kehebohan seremonial yang diikuti yang ia capai melalui efek samping dari
ketidakjelasan komunikasi seperti yang kegagalannya tadi. Ketimbang terus-menerus
dinyatakan informan di atas merupakan mengajukan pertanyaan yang naif secara
paradoks yang besar untuk KSB sebagai sebuah politis seperti “Apakah program bantuan ini
program ambisius berskala nasional yang benar-benar dapat menolong orang miskin/
mengklaim untuk mempromosikan partisipasi rentan?”, mungkin kita harus menginvestigasi
sipil. Dalam perjalanan ke Desa Umbulharjo, pertanyaan yang lebih tajam seperti, “Apa
hal yang sama juga terjadi ketika penulis sempat yang program bantuan ini lakukan selain gagal
berkunjung ke sejumlah kantor pemerintah menolong orang miskin/rentan?”. (Ferguson
daerah lokal. Dalam sebuah pertemuan formal, and Lohmann 1994: 180).
penulis sempat terkejut dengan kenyataan
Ekonom politik kiri sering berargumen
dimana hampir semua petugas yang ditemui
bahwa tujuan sebenarnya dari program
di sana, termasuk seorang pejabat lokal,
‘pembangunan’ adalah untuk membantu
tidak mengetahui eksistensi KSB kecuali
penetrasi kapitalis ke negara-negara Dunia
sedikit sekali yaitu sekedar keberadaannya di
Ketiga. Di Umbulharjo, walaupun dengan
Cangkringan.
penelitian singkat dan sederhana, dapat
Dari pernyataan etnografis di atas, dikatakan bahwa proyek ambisius semisal itu
dapat dipahami bahwa rezim pembangunan tidak berhasil dalam memperkenalkan relasi
kebencanaan yang dipraktikkan melalui produksi yang baru (kapitalis atau apapun), tidak
instrumen kebijakan ‘berbasis-komunitas’ KSB juga ia membawa modernisasi atau transformasi
di Umbulharjo tidak mampu menggerakkan ekonomi yang signifikan. Meskipun waktu 1-2
partisipasi masyarakat karena tidak dengan tahun tidak cukup untuk mengevaluasi secara
tegas melepaskan aparatus birokrasinya, menyeluruh sebuah program besar seperti
sehingga operasionalisasi program hanya KSB, sulit untuk membayangkan keberhasilan
bergerak sebatas teknis-prosedural, atau yang KSB dalam mengurangi risiko bencana jika
sebelumnya kita sebut pendekatan teknokratik. masih menggunakan pendekatan teknokratik.
Ini bisa saja dianggap sebagai sebuah Akan tetapi, KSB memiliki dampak yang kuat
kegagalan model, sehingga yang dibutuhkan dan menjangkau jauh di wilayah tersebut.
untuk keberhasilan dan keberlanjutan program Walaupun KSB belum dapat mentransformasi
ini di masa depan hanyalah modifikasi/ kerentanan bencana, ia berhasil memanfaatkan
revisi model program. Akan tetapi, penulis keberadaannya untuk menarik simpati warga

316 SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015
Umbulharjo yang berhasil mengaktifkan modal yang ditargetkannya, dan ketiga, mengapa
sosialnya dengan mengembangkan wisata aparatus pembangunan memiliki efek yang
ekologis seperti Merapi Tour, komunitas ojek, secara konsisten memperluas dan menguatkan
sepeda motor gunung (Gadung Melati Trail kekuatan birokratis negara.
Club) dan komunitas Merapi Land Cruiser
Dalam perspektif ini, mengikuti
Community (MLCC), Jeep 86 Tour Community,
teoretisasi Ferguson (1990 & 1994), aparatus
dan lain-lain. Meskipun ia tidak berhasil
‘pembangunan’ kebencanaan di Umbulharjo
mempromosikan desentralisasi dan partisipasi
bukanlah sebuah mesin untuk mengeliminasi
sipil, ia instrumental dalam mengenalkan
kerentanan dan risiko bencana yang secara
kepada masyarakat metode-metode modern
kebetulan disentuh oleh birokrasi negara
yang dirancang sedemikian rupa di bawah istilah
(Pemerintah Pusat dan Daerah). Akan tetapi
seperti ‘manajemen bencana’, ‘pengurangan
bahwa, ia berfungsi sebagai mesin untuk
risiko bencana’ sebagai cara “baik dan benar”
memperkuat dan memperluas pengaplikasian
dalam mengurangi kerentanan dan menghindar
kekuatan birokratis negara, yang secara
dari risiko bencana. Cara-cara ini secara
kebetulan mengangkat “kerentanan dan risiko
kognitif menemu-kenalkan kepada masyarakat
bencana alam letusan Gunung Merapi” sebagai
lokal yang secara tradisional telah memiliki
titik masuk dan pembenaran melalui sebuah
coping strategies sendiri akan teknikalitas
intervensi yang mungkin saja tidak punya efek
permasalahan. Yaitu premis ‘pembangunan’
apapun terhadap dampak bencana itu sendiri
bahwa segala permasalahan bisa diatasi
tetapi justru berefek nyata pada hal lainnya.
dengan teknik. Bukan untuk menolak secara
total metode modern tentu saja, tetapi pada Secara eksplisit, sejumlah pernyataan formal
gilirannya, sebagaimana temuan banyak tadi cukup jelas dalam menyiratkan perubahan
penelitian bencana, ini justru akan membuahkan atau paling tidak upaya yang sangat konsisten
ketergantungan kepada si pemberi bantuan, si untuk mengubah pendekatan pembangunan
penginisiasi program. dalam dinamika internal kebijakan dari residual
yang cenderung menunggu dan kuratif ke
Dalam banyak hal, ini sangat mirip
developmental yang condong untuk ekspansif
dengan kajian antropolog Amerika, James
dan preventif-progresif. Dengan kata lain,
Ferguson tentang Proyek Pembangunan
sejumlah realita etnografis tadi, sebagaimana
Thaba-Tseka di Lesotho sebuah negara kecil
uraian tentang kompleksitas dan dinamika
yang terletak di tengah-tengah Afrika Selatan
regulasi-kebijakan sebelumnya, bukan sekedar
dari 1975-1984. Dalam The Anti-Politics
menunjukkan pengaruh pergeseran menuju
Machine: “Development,” Depoliticization
pendekatan pembangunan manusia utamanya
and Bureaucratic Power in Lesotho (1990),
melalui konsep-konsep seperti partisipasi,
Ferguson menguraikan sebuah pendekatan
desentralisasi dan komunitas sebagaimana
kritis Foucaldian terhadap aparatus
yang terkandung dalam HFA dan MDGs yang
pembangunan yang menjelaskan, pertama,
diratifikasi Indonesia terhadap konfigurasi
bahwa diskursus pembangunan memproduksi
kebijakan bencana di Indonesia, tetapi lebih
sebuah fantasi akan “negara berkembang,”
jauh lagi, bahwa pergeseran tersebut bukanlah
kedua, bagaimana fantasi itu bersimpangan
sesuatu yang sepele, teknis, teknokratik,
dengan kenyataan yang menyebabkan gagalnya
sebagaimana metode yang ia tempuh, tetapi
proyek pembangunan dalam mencapai tujuan
pergeseran paradigmatik dari state-led menuju

Kampung Siaga Bencana sebagai Instrumen Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana


Berbasis Komunitas di Indonesia: Politik Pembangunan dan Partisipasi dalam
317
Diskursus Pembangunan Kebencanaan, Muhammad Belanawane S.
ke market-led, yang menggaris-bawahi adanya mitigasi, niscaya akan menggeser power
pengaruh paham ekonomi pasar radikal atau (1995). Analisis partisipasi dalam kerangka
neoliberalisme. studi kasus instrumen kebijakan seperti KSB,
baik secara kebijakan maupun implementasi,
KESIMPULAN menyugestikan bahwa, paradoksnya, ia lebih
Upaya tulisan ini untuk menguak genealogi condong ke peredaan/mitigasi tadi ketimbang
dan sejarah pembangunan kebencanaan sisi spektrum pergeseran kekuasaan. Temuan
kontemporer secara umum, terutama dalam ini sekali lagi tidak eksklusif pada kebijakan
konteks praktik partisipatoris, semakin kebencanaan Indonesia/Kemensos saja tetapi
membeberkan bagaimana sebuah salah dapat diperoleh dari analisis pada institusi
kaprah terhadap kekuasaan telah mendasari bantuan pembangunan lain (Nelson and Wright
kebanyakan diskursus tentang partisipasi. 1995, Eyben and Ladbury 1995).
Identifikasi tentang (mis)interpretasi bagaimana
Oleh karenanya penekanan analisis politik
dan dimana kekuasaan itu diekspresikan
dalam studi ini adalah untuk meng-highlight
di dalam/melalui partisipasi memaksa kita
jurang antara ideal yang ingin dicapai dengan
untuk mempertimbangkan ulang gagasan
realita yang ditemui. Dalam konteks ini, terdapat
pemberdayaan, dan klaim untuk memberdayakan
setidaknya dua hal yang dapat disimpulkan
yang dibuat oleh banyak praktisi pembangunan
terhadap gap tersebut. Pertama berkaitan
partisipatoris. Oleh karena pemahaman konsep
dengan pengadopsian praktik partisipatoris di
‘pemberdayaan’ itu sendiri didasarkan pada
lembaga bantuan itu sendiri. Kedua berkaitan
pengejawantahan tertentu akan akar konsepnya,
dengan permasalahan inheren dalam mencapai
yaitu ‘power’ (kekuasaan), dan karena aspek
partisipasi secara terpisah.
ini telah disederhanakan demikian rupa dalam
teori dan praktik partisipasi. Sebagaimana telah Lembaga pemberi bantuan, baik swasta
diargumentasikan dalam tulisan ini, makna maupun pemerintah, beroperasi di bawah
yang disandarkan pada kondisi pemberdayaan bermacam batasan. Pertama, adalah bantuan
dan klaim yang dibuat untuk pencapaiannya program seperti KSB digunakan untuk mencapai
bagi mereka yang telah dimarginalisasikan juga berbagai tujuan pemberi donor utama dalam hal
haruslah mengalami pemeriksaan lebih lanjut. ini pemerintah Indonesia, dimana pembangunan
kebencanaan hanyalah salah satu di antaranya
Judul tulisan ini, ‘politik pembangunan’ atau
(meskipun mungkin yang paling penting).
diksi eksplisitnya, ‘politisasi pembangunan’
Kedua, persyaratan akuntabilitas publik pada
bukan dimaksudkan mengangkat persoalan
dana publik yang dikeluarkan pemerintah
ini sebuah sesuatu yang baru. Pembangunan,
mengharuskan agar pemberi bantuan dapat
dimana dan bagaimanapun, eksplisit maupun
tetap mendikte syarat dan bentuk bantuan yang
implisit, selalu merupakan sebuah proses politis.
diberikan. Ketiga, adanya tekanan birokratis
Jika benar diperlakukan sebagai alat untuk
dan operasional di dalam setiap bantuan
pemberdayaan, pembangunan partisipatoris
pemerintah yang bertabrakan dengan praktik
sebenarnya dapat menggeser keseimbangan
partisipatoris. Tekanan yang paling sering
kekuasaan ke pangkuan orang miskin/rentan.
dijumpai adalah kebutuhan untuk membagi-
Sebagaimana Nelson dan Wright katakan,
bagi anggaran, walaupun sistem perencanaan
“partisipasi, jika ia dimaksudkan lebih dari
dan monitoring yang terlalu birokratis juga
sekedar sebuah peredaan, lebih dari sekedar
dapat menjadi penghalang yang sama. Oleh

318 SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015
karena itu, reformasi terhadap struktur lembaga di negara tersebut (etnis atau agama) dan
pemerintah yang memberi bantuan menjadi inilah yang kemudian membawa pemberi
sangat dibutuhkan jika praktik partisipatoris bantuan mau tidak mau masuk ke arena politik.
benar-benar hendak dijalankan. Sejumlah kemajuan yang berhasil dibuat dalam
mengembangkan teknik-teknik partisipatoris
Strategi reformasi kelembagaan tersebut
pada dekade ini dan sebelumnya, ternyata
dapat mencakup hal-hal sebagai berikut, (i)
tidak menyediakan jawaban bagi persoalan-
mengidentifikasi dan menghilangkan batasan-
persoalan yang diangkat oleh kekhasan politik
batasan untuk membagi-bagi anggaran; (ii)
pembangunan. Pengakuan yang lebih sungguh-
meningkatkan akses kelompok miskin ke proses
sungguh akan fakta persoalan mendasar ini dari
pembuatan keputusan lembaga bantuan; (iii)
para lembaga pemberi bantuan, tanpa terkecuali
meningkatkan penggunaan pendekatan multi,
Kementerian Sosial dalam konteks KSB ini,
bahkan inter-disiplin pada tingkatan lapangan;
akan menjadi permulaan yang krusial.
(iv) meningkatkan “kesadaran akan partisipasi”
pada para profesional pembangunan yang Berbagai program dan kegiatan yang
dikirim dari pusat (misalnya, Bank Dunia pada akan diimplementasikan ke dalam fase-fase
masa Wolfensohn yang merancang skema manajemen bencana (sebelum, ketika, sesudah)
domisili temporer pada staf Bank Dunia yang melalui kerangka kerja manajemen bencana
dikirim ke wilayah pendapatan rendah di negara dan pengurangan risiko bencana berbasis
berkembang). Walaupun langkah-langkah ini masyarakat ini menunjukkan pentingnya
biasanya dibutuhkan sebagai prasyarat untuk mengorganisasi komunitas dan merancang
partisipasi yang sukses, ia masih belum cukup proses-proses partisipatoris dalam perencanaan
sebagai persyaratan umum karena pengalaman dan implementasi program Kampung Siaga
pembangunan partisipasi yang disuntik dari luar Bencana. Pemerintah dalam hal ini, hendaknya
tetap mengisyaratkan adanya persoalan mendasar- tidak langsung turun ke masyarakat dalam
struktural yang menghalangi pencapaiannya. menginisiasi program ini. Akan tetapi terlebih
dahulu melibatkan secara aktif dan integral para
Persoalan mendasar dalam partisipasi
pekerja-penyuluh sosial, aktivis community
disebutkan para sarjana merupakan bagian
development, sosiolog-antropolog, apakah
dari pelajaran yang didapat dari kegagalan
berasal dari instansi pemerintah terkait, NGOs,
gerakan community development sebelumnya.
kampus, ataupun ormas tingkat lokal. Selain
Pelajaran penting yang didapat utamanya
itu juga perlu dirumuskan sebuah kerjasama
bersumber pada realita bahwa komunitas itu
komprehensif dengan organisasi internasional
tidaklah homogen, tetapi entitas yang secara
yang berpengalaman menangani bencana untuk
sosial berbeda-beda dan dipenuhi dengan
merancang sebuah implementasi program
kepentingan-kepentingan yang saling beradu.
lintas-negara, khususnya dari negara-negara
Kita akan menjumpai di masyarakat manapun
tetangga yang memiliki kontur dan karakteristik
struktur kelompok formal dan informal yang
kebencanaan domestik seperti Filipina,
eksis, dan pemahaman akan realitas sosial pada
Thailand, Jepang, dan lain-lain.
masing-masing situasi sosial-politik spesifik
ini merupakan prasyarat untuk intervensi Pemerintah juga perlu membuat akses
partisipatoris terencana, seperti halnya KSB. yang memudahkan bekerjanya mekanisme
Varian struktur ini mungkin juga menyesuaikan pengurangan risiko bencana yang terlembagakan
dengan pemisahan-pemisahan yang berlaku secara sosiokultural di masyarakat melalui

Kampung Siaga Bencana sebagai Instrumen Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana


Berbasis Komunitas di Indonesia: Politik Pembangunan dan Partisipasi dalam
319
Diskursus Pembangunan Kebencanaan, Muhammad Belanawane S.
penyesuaian-pengaktifan peraturan-peraturan sifatnya yang alamiah, tetapi perlu disadari
nasional maupun kearifan lokal, membangun bahwa dampak bencana terhadap masyarakat
kantor-kantor dan komite-komite pengurangan akan selalu terkonstruksi secara sosial.
risiko dan manajemen bencana dari tingkat Pemahaman akan dampak bencana yang
nasional hingga ke level lokal terbawah (desa/ terkonstruksi secara sosial ini akan berujung
RT/RW). pada pertimbangan tentang bagaimana struktur
hubungan-hubungan sosial-ekonomi-politik
Kesemua koordinasi dengan berbagai
dapat memengaruhi realitas fisik bencana dan
aktor dan saling mengisi akan peran mereka
sekaligus memberikan bentuk terhadap dampak
menjadi sangat krusial untuk mencapai tujuan
bencana nantinya. Artinya di sini, bukan saja
meningkatkan kapasitas mayarakat dan
bencana memiliki konsekuensi-konsekuensi
mengurangi kerentanan mereka. Ini bukan saja
sosial-ekonomi, tetapi juga bahwa struktur-
target jangka pendek berupa berkurangnya
struktur sosial-ekonomi akan memengaruhi
jumlah korban jiwa dan kerusakan harta benda,
bagaimana berbagai kalangan masyarakat
namun juga secara jangka panjang menuju
dalam mengalami keganasan bencana.
keberdayaan masyarakat dalam menghadapi
situasi kerentanan apa saja, apakah itu bencana UCAPAN TERIMA KASIH
ataupun selain bencana.
Tulisan ini awalnya disusun sebagai bagian
Terkait dengan proyeksi ke depan program dari proses penyusunan Karya Tulis Ilmiah
Kampung Siaga Bencana ini, melalui pada Diklat Jabatan Fungsional Peneliti
penggabungan antara analisis konseptual LIPI Tahun 2012. Pada awal dan akhir tahun
mengenai partisipasi publik, persoalan civil 2015, tulisan direkonstruksi ulang dengan
society, dan arah kebijakan sosial bencana dengan memasukkan beberapa sudut pandang, literatur
analisis tentang kerangka kerja pengurangan dan termasuk data baru. Penulis menyampaikan
risiko-manajemen bencana serta pembangunan terima kasih kepada Prof. Dr. Muhammad
komunitas resilien terhadap bencana, akan Hisyam, M.A. atas segala masukan-kritikan
terlihat bahwa penanganan bencana harus selama proses pembimbingan penulisan.
diposisikan dalam suatu kerangka kebijakan Demikian juga terima kasih dan penghargaan
sosial dan strategi penanganan kemiskinan sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada
inklusif terkait kondisi sebelum (pengurangan seluruh 30 rekan-rekan peserta Diklat Jabatan
risiko dan kerentanan, mitigasi dan perlindungan Fungsional Peneliti LIPI, Gelombang XXI,
sosial), ketika (respons tanggap darurat), dan Tahun 2012, atas kebersamaan, diskusi dan
setelah bencana (rehabilitasi-rekonstruksi kenangan selama proses penyusunan Karya
dan revitalisasi komunitas). Ini artinya, jika Tulis Ilmiah ini maupun pelaksanaan diklat.
manajemen bencana tidak diposisikan dalam Tulisan ini bersumber dari penelitian Pusat
konteks kebijakan sosial yang inklusif tadi, Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan
maka penanganan bencana hanya akan menjadi Sosial, Kementerian Sosial RI, sebagai bagian
kegiatan rutinitas yang bersifat amal (bukan dari proyek penelitian tahun 2013. Saya ingin
pemberdayaan), reaktif (bukan aktif), dan berterima kasih kepada Gunawan sebagai
residual (tidak berkelanjutan). peneliti kolega lapangan saya di Yogyakarta,
Teti Ati Padmi (ketua tim penelitian) dan
Fenomena bencana alam tentu saja Sugiyanto. Pada akhirnya, saya menyampaikan
berimplikasi langsung secara fisik karena penghargaan kepada masyarakat dan aktivis

320 SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015
PRB di Sleman dan Lereng Merapi, khususnya Bohle, H-G. (Ed.) (1993). Worlds of Pain and
Desa Umbulharjo, yang telah berkenan Hunger: Geographical Perspectives on
diwawancarai berkaitan dengan penelitian ini. Disaster Vulnerability and Food Security,
Freiburg Studies in Development
DAFTAR PUSTAKA Geography, No. 5. Saarbrücken: Verlag
Breitenbach.
Agrawal, A. (2005). “Environmentality:
Community, Intimate Government, and Cernea, M. (1985). Putting People First:
the Making of Environmental Subjects in Sociological Variables in Rural
Kumaon, India.” Current Anthropology Development. New York: Oxford
46(2): 161-89. University Press.
Appadurai, A. (2004). “The Capacity to Aspire: Chambers, R. (1983). Rural Development:
Culture and the Terms of Recognition”, Putting the Last First. Harlow, U.K.:
dalam Rao, V., and Walton, M. (Eds.) Pearson Education.
Culture and Public Action, 59-84.
Cornwall, A., and Brock, K. (2005). ‘What
Stanford, CA: Stanford University
do Buzzwords do for Development
Press.
Policy? A critical look at ‘participation’,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana RI. ‘empowerment’ and ‘poverty
(2012). Peraturan Kepala BNPB Nomor reduction,’’ Third World Quarterly
01 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum 26(7): 1043-1060.
Desa-Kelurahan Tangguh Bencana.
Crush, J. (Ed.). (1995). The Power of
Jakarta: BNPB.
Development. London: Routledge.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Cruz, L.P., Ferrer, E.M., and Pagaduan.
(2006). Rencana Aksi Nasional
(2010). Building Disaster-Resilient
Pengurangan Risiko Bencana, 2006-
Communities: Stories and Lessons from
2009. Jakarta: Bappenas dan UNDP.
the Philippines. Quezon City: CSWCD-
Bankoff, G. (2004). “The Historical Geography UP.
of Disaster: ‘Vulnerability’ and ‘Local
Cuny, F.C. (1983). Disasters and Development.
Knowledge’ in Western Discourse”,
Oxford: Oxford University Press.
dalam Bankoff, G., Frerks, G., Hilhorst,
D. (Eds.) Mapping Vulnerability: Damrosch, L. (2007). Jean-Jacques Rousseau:
Disasters, Development and People, 25- Restless Genius. New York: Mariner
36. London: Earthscan. Books.
Bawagan, A.B. (2011). “Community- Dreze, J., and Sen, A.K. (1990). The Political
Based Disaster Risk Reduction and Economy of Hunger, Volumes 1-3.
Management Projects: Pre-, During and Oxford: Clarendon Press.
Post- Disaster Phases.” ASEAN Social
Work Journal 1(1): 21-42. Eyben, R., and Ladbury, S. (1995). “Popular-
participation in aid-assisted projects:
Bhatia, B.M. (1991). Famines in India 1860- why more in theory than in practice?”,
1990. Delhi: Konark Publishers. dalam Nelson, N., and Wright, S. (Eds.).

Kampung Siaga Bencana sebagai Instrumen Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana


Berbasis Komunitas di Indonesia: Politik Pembangunan dan Partisipasi dalam
321
Diskursus Pembangunan Kebencanaan, Muhammad Belanawane S.
Power and Participatory Development: Kementerian Sosial RI. (2011a). Peraturan
theory and practice. London: Menteri Sosial RI Nomor 128 Tahun
Intermediate Technology Publications. 2011 tentang Kampung Siaga Bencana.
Jakarta: Kementerian Sosial RI.
Ferguson, J. (1990). The Anti-Politics Machine:
‘Development,’ Depolitization, and ........... (2011b). Keputusan Direktur Jenderal
Bureaucratic Power in Lesotho. Perlindungan dan Jaminan Sosial,
Cambridge, U.K.: Cambridge University Kementerian Sosial RI Nomor: 193/
Press. LJS/X/2011 tentang Petunjuk Teknis
Kampung Siaga Bencana. Jakarta:
Ferguson, J., and Lohmann, L. (1994). “The
Kementerian Sosial RI.
Anti-Politics Machine: “Development”
and Bureaucratic Power in Lesotho,” Kuntjoro, I. dan Jamil, S. (2010). “Natural
dalam The Ecologist 24(5): 176-181. Disasters in Indonesia: Strengthening
Disaster Preparedness.” (http://www.
Guggenheim, S. (2006). “Crises and
eastasiaforum.org/2010/11/17/natural-
Contradictions: Understanding the
disasters-in-indonesia-strengthening-
Origins of a Community Development
disaster-preparedness/, diakses 30
Project in Indonesia,” dalam A.
November 2012).
Bebbington, S. Guggenheim, E. Olson,
and M. Woolcock (Eds.). The Search for Latief, M. (2012). 2013, Realisasi Pertama
Empowerment: Social Capital as Idea Kampung Siaga Bencana di Bandung.
and Practice at the World Bank, 111-44. (http://properti.kompas.com/
Hartford, CT: Kumarian. read/2012/11/23/15434128/2013.
Realisasi.Pertama.Kampung.Siaga.
Gunewardena, N., and, Schuller, M. (2008).
Bencana.di.Bandung, diakses 30
Capitalizing on Catastrophe: Neoliberal
November 2012).
Strategies in Disaster Reconstruction.
Plymouth, U.K.: AltaMira Press. Mansuri, G., and Rao, V. (2004). “Community-
Based and -Driven Development: A
Harriss, J. (2001). Depoliticizing Development:
Critical Review.” World Bank Research
The World Bank and Social Capital.
Observer 19(1): 1-39.
New Delhi: LeftWord Books.
........... (2013). Localizing Development: Does
Hewitt, K. (1995). “Sustainable Disasters?
Participation Work? Washington, DC:
Perspectives and powers in the discourse
World Bank.
of calamity,” dalam Crush, J. (Ed.).
The Power of Development. London: Mantena, K. (2009). Alibis of Empire. Princeton,
Routledge. NJ: Princeton University Press.

Hickey, S., and Mohan, G. (2004). Participation: Mitchell, J.K. (1988). ‘Confronting natural
from tyranny to transformation? disasters: an international decade for
Exploring new approaches to natural hazards reduction’. Environment
participation in development. London 30: 25-29.
and New York: Zed Books.
Mosse, D. (2001). “People’s Knowledge,
Participation, and Patronage:

322 SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015
Operations and Representations in Rural Putnam, R. (1993). Making Democracy Work:
Development,” dalam B. Cooke and U. Civic Traditions in Modern Italy.
Kothari (eds). Participation: The New Princeton, NJ: Princeton University
Tyranny. London: Zed Books. Press.

........... (2003). “The making and marketing Rahnema, M. (1992). “Participation,” dalam
of participatory development,” dalam Sachs, W. (Eds). The Development
Quarles van Ufford, P., and Giri, A.K. Dictionary. London: Zed Books.
(Eds). A Moral Critique of Development:
Rao, V., and M. Walton, eds. (2004). Culture
In search of global responsibilities.
and Public Action. Palo Alto, CA:
London and New York: Routledge.
Stanford University Press.
........... (2005). Cultivating Development: An
Reyes, M.L. (2010). AADMER Work
Ethnography of Aid Policy and Practice.
Programme 2010-2015 (http://www.
London: Pluto Press.
pasificdisaster.net/pdnadmin/data/
Nelson, N., and Wright, S. (Eds.). (1995). Power original/ASEAN_AADMER_2010_
and Participatory Development: theory IAP_work_prgrmm.pdf, diakses 30
and practice. London: Intermediate November 2012).
Technology Publications.
Sachs, W. (2010). The Development Dictionary:
Pateman, C. (1976). Participation and A Guide to Knowledge as Power.
Democratic Theory. Cambridge, U.K.: Second Edition. London & New York:
Cambridge University Press. Zed Books.

Pemerintah Republik Indonesia. (2007). Scott, J. (1999). Seeing Like a State: How
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Certain Schemes to Improve the Human
tentang Penanggulangan Bencana. Condition Have Failed. New Haven,
CT: Yale University Press.
........... (2008). Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Setiyanto, B.D. (2007). “Governance by
Penanggulangan Bencana. Accident in Indonesian Disaster
Mitigation: A Theoretical Literary
........... (2008). Peraturan Pemerintah Nomor
Review”. Renai. VII(1): 25.
22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan
Pengelolaan Bantuan Bencana. Sugiono, M., Umar, A.R.M., and Prameswari, D.
(2013). International Policy Framework
........... (2008). Peraturan Pemerintah Nomor
for Building Disaster Resilient
23 Tahun 2008 tentang Peran Serta
Community: The Case of Sleman.
Lembaga Internasional dan Lembaga
Osaka: Institute for Academic Initiatives
Asing Nonpemerintah dalam
Group 5 (RESPECT Program).
Penanggulangan Bencana.
Susman, P., O’Keefe, P., and Wisner, B.
Prud’homme, R. (1995). “The Dangers of
(1983). ‘Global disasters, a radical
Decentralization.” World Bank Research
interpretation’, dalam Hewitt, K. (Ed.)
Observer 10(2): 201-20.
Interpretations of Calamity. London:
Allen and Unwin.

Kampung Siaga Bencana sebagai Instrumen Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana


Berbasis Komunitas di Indonesia: Politik Pembangunan dan Partisipasi dalam
323
Diskursus Pembangunan Kebencanaan, Muhammad Belanawane S.
UNDRO. (1990). ‘World launches International Watts, M. (1995). “‘A New Deal in Emotions’:
Decade for Natural Disaster Reduction,’ Theory and practice and the crisis of
dalam UNDRO News, Special Issue, development”, dalam Crush, J. (Ed.).
Jan/Feb.. Geneva: United Nations The Power of Development. London:
Disaster Relief Organization Routledge.

United Nations Development Programme. White, H. (1999). “Politicising Development?


(2004). Reducing Disaster Risk: A The Role of Participation in the Activities
Challenge for Development. New of Aid Agencies”, dalam Gupta, K.L.
York: Bureau for Crisis Prevention and (Eds.). Foreign Aid: New Perspectives.
Recovery, UNDP. New York: Springer Science+Business
Media, LLC.
United Nations Development Programme
Indonesia, and BNPB. (2007). Lessons White, S. (2011). “Depoliticizing development:
Learned: Disaster Management Legal the uses and abuses of participation”,
Reform. The Indonesian Experience. dalam Cornwall, A. (Ed.). The
Jakarta: UNDP Indonesia. Participation Reader. London: Zed
Books.
UNISDR. (2007). Hyogo Framework for
Action. (http://www.unisdr.org/we/ World Bank. (1995). World Bank Participation
coordinate/hfa, diakses 30 November Source Book. Washington D.C.: World
2012). Bank.

324 SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015

Anda mungkin juga menyukai