Anda di halaman 1dari 19

KETAHANAN PANGAN di SULAWESI TENGAH

Dosen Pengampu : Anitatia Ratna Megasari S.KM., M.PH

Di Susun Oleh :
Moh Haikal R.Djalal
P10120009

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,hidayah serta
inayahNya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tanpa suatu halangan
apapun.Shalawat serta salam tak lupa selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Agung
Muhammad SAW.Yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di Yaumil Qiyamah nanti.Ucapan
terima kasih yang mendalam saya haturkan kepada ibu Anitatia Ratna Megasari
S.KM.,M.PH yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyusun makalah ini.
Makalah ini saya susun dengan tema “Ketahanan Pangan di Sulawesi Tengah”.Yaitu
tentang salah satu pembahasan yang ada dalam mata kuliah “Keamanan dan Ketahanan
Pangan” .Makalah ini akan membahas secara rinci dari beberapa referensi yang saya
peroleh.Makalah ini juga saya susun dengan bahasa yang sederhana agar mudah di pahami
oleh pembaca.
Dalam makalah ini saya mengakui masih banyak kekurangan.Oleh Karena,saya
harapkan kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah ini.Akhir kata,dengan segala kerendahan hati saya ucapkan
terima kasih.

Palu, 9 Maret 2022

Moh Haikal R.Djalal


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................2

BAB I..................................................................................................................................4

PENDAHULUAN..............................................................................................................4

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................6

1.3Manfaat...................................................................................................................6

BAB II ...............................................................................................................................7

PEMBAHASAN.................................................................................................................7

2.1 Ketersediaan dan Konsumsi Beras/Serealia di Sulawesi Tengah............................7


2.2 Ketersediaan dan Konsumsi Holtikultura di Sulawesi Tengah................................
2.3 Ketersediaan dan Konsumsi Daging,Ikan,dan Telur di Sulawesi Tengah...............
2.4 Pola Pangan Harapan (PPH) di Sulawesi Tengah....................................................
2.5 Mewujudkan Ketahanan Pangan di Sulawesi Tengah.............................................
BAB III...............................................................................................................................
PENUTUP..........................................................................................................................
3.1 Kesimpulan..............................................................................................................
3.2 Saran........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pangan merupakan kebutuhan dasar dari manusia selain sandang dan papan.
Pangan dibutuhkan sebagai upaya kelangsungan hidup manusia. Terpenuhinya kebutuhan
pangan dari berbagai segi seperti keamanan, keterjangkauan dan aspek lain sering
dikaitkan dengan ketahanan pangan. Kebutuhan dasar manusia salah satunya dicukupi
dari aspek pangan. Pangan mengandung zat gizi yang digunakan untuk mempertahankan
perkembangbiakan dan menjalankan aktivitas dalam kehidupan. Setiap orang berhak
memperoleh makanan yang cukup dan layak disesuaikan dengan kebutuhannya
disamping itu ketahanan pangan adalah hak asasi manusia (HAM) (Damayanti &
Khoirudin, 2016).
Ketahanan pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 adalah
terpenuhinya pangan bagi setiap negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dan
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi,
merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Sedangkan keamanan pangan menurut BPOM adalah kondisi dan upaya yang diperlukan
untuk mencegah pangan dari kemungkinan tiga cemaran yaitu cemaran biologis, kimia
dan benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan
manusisa serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat
sehingga aman untuk dikonsumsi. (Sofyani dkk, 2021). Ketahanan pangan menjadi aspek
yang perlu diperhatikan, khususnya saat penambahan jumlah penduduk dan degradasi
lahan pertanian semakin meningkat. Banyak variabel yang mempengaruhi pengukuran
indeks ketahanan pangan, dan yang seringkali digunakan adalah ketersediaan,
keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan.
Indonesia menjelma menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas dengan
pendapatan per kapita nasional bruto (PPNB) sebesar US$4,050 pada 2019 (World Bank,
2020). Dalam satu dekade terakhir, Indonesia mencatat pertumbuhan tahunan rata-rata
sekitar 5% per tahun. Salah satu hasilnya, Indonesia berhasil secara stabil menurunkan
kemiskinan dari 14,1% pada 2009 menjadi 9,2% pada 2019 (Badan Pusat Statistik,2020),
dan sedikit mengurangi ketimpangan ekonomi dari puncaknya sebesar 4,1 (rasio Gini)
pada 2014 menjadi 3,82 pada 2019 (Badan Pusat Statistik, 2020). Pertumbuhan ekonomi
juga berkontribusi terhadap makin besarnya kelompok kelas menengah. Menurut estimasi
Bank Dunia, satu dari setiap lima penduduk Indonesia (sekitar 52 juta orang) menjadi
bagian dari kelompok ini pada 2017 (World Bank, 2017). Indonesia juga mencatat
perkembangan penting dalam pembangunan manusia. Indeks Pembangunan Manusia
Indonesia meningkat cukup signifikan dari 0,67 pada 2010 menjadi 0,71 pada 2018
(United Nations Development Programme, 2019).
Seiring perkembangan ekonomi tersebut, Indonesia berhasil meraih kemajuan
penting dalam peningkatan ketahanan pangan dan gizi. Akses terhadap pangan meningkat
dan prevalensi gizi kurang (undernutrition) menurun beberapa tahun terakhir. Namun,
status gizi masyarakat Indonesia masih rendah menurut standar internasional dan
variasinya tetap besar antardaerah. Banyak penduduk masih menghadapi risiko kelaparan
dan malnutrisi. Menurut 2018 Global Nutrition Report, Indonesia adalah satu dari tiga
negara dengan jumlah anak dengan kondisi kurus (wasting) (Development Initiatives,
2018). Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2018), 10,2% anak usia di bawah
5 tahun di Indonesia mengalami wasting dan 30,8% berkondisi pendek (stunting)
(Kementerian Kesehatan, 2019). Prevalensi stunting terendah dilaporkan di Gianyar,
Provinsi Bali (12%), sementara prevalensi stunting tertinggi ditemukan di Nias, Provinsi
Sumatra Barat (61%) (Badan Pusat Statistik, 2019). Dalam waktu yang sama, Indonesia
juga menyaksikan kian besarnya tingkat kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas,
serta defisiensi mikronutrien (micronutrient deficiency). Dengan demikian, Indonesia
menghadapi tiga beban malnutrisi, yakni gizi kurang berdampingan dengan kelebihan gizi
(overnutrition) dan defisiensi mikronutrien.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Ketersediaan dan Konsumsi Beras/Serealia di Sulawesi Tengah ?
2. Bagaimana Ketersediaan dan Konsumsi Hultikultura di Sulawesi Tengah ?
3. Bagaimana Ketersediaan dan Konsumsi Daging,Ikan,dan Telur di Sulawesi Tengah ?
4. Bagaimana Pola Pangan Harapan (PPH) di Sulawesi Tengah ?
5. Bagaimana Mewujudkan Ketahanan Pangan di Sulawesi Tengah ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Bagaimana Ketersediaan dan Konsumsi Beras/Serealia di Sulawesi
Tengah.
2. Untuk mengetahui Bagaimana Ketersediaan dan Konsumsi Hultikultura di Sulawesi
Tengah.
3. Untuk mengetahui Bagaimana Ketersediaan dan Konsumsi Daging,Ikan,dan Telur di
Sulawesi Tengah.
4. Untuk mengetahui Bagaimana Pola Pangan Harapan (PPH) di Sulawesi Tengah.
5. Untuk mengetahui Bagaimana Mewujudkan Ketahanan Pangan di Sulawesi Tengah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ketersediaan dan Konsumsi Beras/Serealia di Sulawesi Tengah
Berdasarkan publikasi World Bank pada tahun 2018, Indonesia menduduki peringkat
ke-4 sebagai negara dengan jumlah penduduk paling besar di dunia, hal ini mengakibatkan
konsumsi beras di Indonesia juga besar. Selain jumlah penduduk yang besar, Indonesia juga
dianugerahi oleh potensi sumberdaya wilayah yang cukup besar dengan tingkat keragaman
sumberdaya wilayah yang sangat besar, hal ini dikarenakan kondisi geografis Indonesia yang
sangat mendukung. Salah satu sumberdaya wilayah tersebut terdapat pada sektor pangan
berupa tanaman padi yang dapat tumbuh di sebagian besar wilayah Indonesia.
Beras merupakan komoditas yang penting karena merupakan kebutuhan pangan
pokok yang setiap saat harus dipenuhi. Kebutuhan pangan pokok perlu diupayakan
ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman dikonsumsi, dan mudah
diperoleh dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Konsumsi makanan pokok masyarakat Indonesia yang masih sangat tergantung
dengan beras mengakibatkan pemerintah harus melakukan cara agar dapat mengontrol
ketersedian beras tersebut dengan baik. Hal yang dilakukan pemerintah saat ini adalah
melakukan swasembada pangan. Guna mencapai kesuskesan swasembada pangan
tersebut pemerintah mendorong petani untuk meningkatkan hasil produksi padi dengan
menggunakan inovasi teknologi dan memberikan subsidi pupuk. Hal lain yang
dilakukan pemerintah yaitu dengan menggalangkan kampanye kepada masyarakat dengan
semboyan “satu hari tanpa beras setiap minggunya”. Namun hal ini tetap tidak
berdampak besar terhadap ketahanan pangan dikarenakan hasil produksi padi hanya
sedikit meningkat setiap tahunnya. Hasil produksi padi tahun 2019 adalah 31,31 juta ton,
dan mengalami penururnan sebesar 2,63 juta ton atau 7,75 persen jika dibandingkan dengan
tahun 2018.
Konsumsi beras masyarakat di Provinsi Sulawesi Tengah adalah 111,4 kg
perkapita per tahun. Hal ini lebih tinggi jika di bandingkan dengan Provinsi yang ada
di Sulawesi lainnya seperti Sulawesi Selatan 106,9 kg perkapita per tahun, Gorontalo
107,9 kg perkapita per tahun, dan Sulawesi Tenggara 105,8 kg perkapita per tahun .
Sehingga Provinsi Sulawei Tengah memiliki tugas yang lebih besar untuk
menghasilkan produksi padi yang lebih besar di bandingan provinsil di Sulawesi
lainnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah Provinsi Sulawesi tengah
untuk meningkatkan hasil produksi padinya adalah dengan cara mengetahui faktor-
faktor apa saja yang dapat mempengaruhi hasil produksi padi di provinsi tersebut.

Sejak 2018, BPS bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT), didukung oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
(Kementerian ATR/BPN), Badan Informasi Geospasial (BIG), serta Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional (LAPAN), berupaya memperbaiki metodologi perhitungan luas
panen padi melalui penerapan objective measurement dengan memanfaatkan kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi serta ketersediaan citra satelit resolusi tinggi. Kerjasama
tersebut diwujudkan dalam suatu kegiatan yang bertajuk “Pendataan Statistik Pertanian
Tanaman Pangan Terintegrasi dengan Metode Kerangka Sampel Area (KSA)” atau lebih
dikenal dengan sebutan Survei KSA. Pelaksanaan Survei KSA untuk komoditas padi mulai
diimplementasikan secara nasional pada tahun 2018. Pengamatan segmen dilakukan pada 7
(tujuh) hari terakhir setiap bulan. Berdasarkan hasil Survei KSA, pada 2020, luas panen padi
di Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 178,07 ribu hektar. Sementara itu, produksi padi pada
2020 sebesar 792,25 ribu ton GKG. Jika dikonversikan menjadi beras, produksi beras pada
2020 mencapai sekitar 465,24 ribu ton, atau mengalami penurunan sebesar 30,92 ribu ton
(6,23 persen) dibandingkan dengan produksi beras tahun 2019. Selain menghasilkan estimasi
luas panen, Survei KSA juga memberikan gambaran terkait fase amat padi lainnya, seperti
luas fase vegetatif awal, vegetatif akhir, generatif, puso, serta luas sawah dan ladang yang
sedang tidak ditanami padi.

Wilayah Produksi Beras Menurut Kabupaten / Kota (Ton)


2018 2019 2020
Banggai Kepulauan 1 591,92 1 797,89 1 685, 00
Banggai 99 067,97 96 146,32 90 858,00
Morowali 29 011, 62 26 233,06 24 814,00
Poso 81 367,61 69 755,16 56 733,00
Donggala 37 009,06 34 934,11 36 813,00
Toli – Toli 39 710,56 45 753,62 42 171,00
Buol 13 317,89 10 826,82 12 517,00
Parigi Moutong 156 095,73 149 112,90 128 204,00
Tojo Una – Una 4 653,58 4 249,97 3 633,00
Sigi 57 825,89 38 140,81 48 555,00
Banggai Laut - - -
Morowali Utara 23 829.09 18 940,70 19 040,00
Kota Palu 876,30 268,70 216,00
Sulawesi Tengah 544 357,22 496 160,06 465 239,00
Sumber : BPS Sulawesi Tengah 2021

Berdasarkan tabel di atas bahwa produksi beras tertinggi di Provinsi Sulawesi Tengah
terdapat pada Kabupaten Parigi Moutong yaitu sebesar (156 095,73),pada tahun 2018, pada
tahun 2019 sebesar (149 112,90),pada tahun 2020 sebesar (128 204,00) dan produksi beras
yang terendah terdapat pada Kabupaten/ kota Palu yaitu pada tahun 2018 sebesar
(876,30),pada tahun 2019 sebesar (268,70),dan pada tahun 2020 sebesar (216,00).Selain itu,
di Provinsi Sulawesi Tengah sendiri ketersediaan beras atau produksi beras mengalami
penurunan yang signifikan dari tahun ke tahun yaitu pada tahun 2018 sebesar (544
357,22),pada tahun 2019 sebesar (496 160,06),dan pada tahun 2020 sebesar (465 239,00).

2.2 Ketersediaan dan Konsumsi Holtikultura di Sulawesi Tengah


Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sayuran dan buah - buahan
semusim. Komoditas sayuran dan buah-buahan semusim yang mempunyai kontribusi besar
terhadap produksi hortikultura dan tingkat inflasi adalah bawang merah, bawang putih, cabai

besar, cabai rawit, kentang, tomat, dan wortel. Tanaman Industri dan Hortikultura
merupakan sumber devisa Negara yang sangat besar. Sehingga kedua jenis komoditi ini
merupakan tanaman yang menjanjikan dalam membangun dan menciptakan kesejateraan
masyarakat.
Hortikultura memegang peran penting dan strategis karena perannya sebagai
komponen utama pada pola pangan harapan.Komoditas hortikultura khususnya sayuran
dan buah-buahan memegang bagian terpenting dari keseimbangan pangan, sehingga
harus tersedia setiap saat dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman
konsumsi, harga yang terjangkau, serta dapat diakses oleh seluruh lapisan
masyarakat.Jumlah penduduk Indonesia yang besar sebagai konsumen produk
hortikultura yang dihasilkan petani, merupakan pasar yang sangat potensial, dari tahun ke
tahun menunjukkan kecenderungan semakin meningkat dalam jumlah dan persyaratan mutu
yang diinginkan. Tanaman hortikultura merupakan sumber pangan bergizi, estetika dan
obat-obatan yang sangat diperlukan untuk membangun manusia yang sehat jasmani
dan rohani. Keragaman fungsi dari tanaman dan produk hortikultura tersebut merupakan
potensi ekonomi yang sangat besar untuk menggerakkan roda perekonomian yang dapat
menciptakan pendapatan, peluang usaha, kesempatan kerja, serta keterkaitan hulu-hilir
dan dengan sektor lain.
Sektor hortikultura terbagi menjadi subsektor tanaman sayur-sayuran, subsektor
tanaman buah-buahan, subsektor tanaman hias, dan subsektor tanaman obat-obatan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2019 subsektor tanaman buah-buahan terdiri
dari 26 komoditas, subsektor tanaman sayur-sayuran terdiri dari 25 komoditas, subsektor
tanaman hias terdiri dari 12 komoditas, dan subsektor tanaman obat terdiri dari 7 komoditas.
Produksi tanaman buah-buahan terbesar yang tercatat berada data pada komoditas durian,
pisang, jeruk siam, mangga, dan nenas. Produksi subsektor tanaman sayur-sayuran yang
memiliki produksi tertinggi terdapat pada komoditas tomat, cabai rawit, cabai besar, kubis,
kentang, dan bawang merah. Pada subsektor tanaman hias komoditas yang paling banyak
adalah krisan, sedap malam, dan melati. Sedangkan produksi pada subsektor tanaman obat-
obatan yang paling banyak terdapat pada komoditas jahe dan kunyit. Subsektor tanaman
sayuran dan buah-buahan merupakan tanaman pada sektor hortikultura yang cukup strategis
untuk dikembangkan karena tanaman tersebut dibutuhkan setiap saat serta tidak tergantikan
kedudukannya dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat. Ketua Umum Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia Moeldoko menyebutkan bahwa penyusutan lahan pertanian di
Indonesia terjadi secara signifikan di setiap tahunnya. Selain itu kondisi tanah pertanian yang
sudah rusak, aspek permodalan, manajemen pertanian, minimnya penguasaan teknologi dan
inovasi serta penanganan pasca panen.
Subsektor hortikultura memberikan nilai tambah bruto dalam perekonomian Provinsi
Sulawesi Tengah yang mencapai 3,6 triliyun rupiah di tahun 2017, namun hanya memberikan
kontribusi sebesar 2,68 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi
Tengah. Sementara itu, dari total nilai tambah sektor Pertanian yang mencapai 38,82 trilyun
rupiah, subsektor hortikultura hanya memberikan kontribusi sekitar 9,24 persen.

2.3 Ketersediaan dan Konsumsi Daging, Ikan dan Telur di Sulawesi Tengah

 ketersediaan dan Konsumsi Ikan di Sulawesi Tengah


Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulawesi Tengah, Arif Latjuba
mengatakan angka konsumsi ikan penduduk di Provinsi Sulawesi Tengah pada 2020
mencapai 63,03 kilogram perkapita pertahun. Dibanding angka konsumsi ikan tahun
2019 sebesar 57,74 kilogram perkapita. Terjadi peningkatan sebesar 5,29 kilogram
perkapita pada 2020.Namun demikian, kata Arif Latjuba, sebagai motivasi bagi
kabupaten dan kota se-Sulawesi Tengah, capaian angka konsumsi ikan Sulawesi
Tengah tidak menjadikan kita berpuas diri. Sebab, angka konsumsi ikan Sulawesi

Tengah relatif masih tertinggal dari provinsi yang ada di Pulau Sulawesi. Sebagai

perbandingan,angka konsumsi ikan Sulawesi Tenggara sudah mencapai 77,05 kg


perkapita dan tertinggi di Pulau Sulawesi. Disusul Sulawesi Utara mencapai 73,40 kg
perkapita, Sulawesi Selatan 72,28 kg perkapita, Gorontalo 69,15 kg perkapita,
Sulawesi Barat 64,15 kg perkapita.Walau Sulawesi Tengah di bawah dibanding lima
provinsi di pulau Sulawesi tapi terjadi trend kenaikan angka konsumsi ikan. Pada
2018 misalnya, angka konsumsi ikan Sulawesi Tengah mencapai 56,65 kg perkapita.
Kemudian pada 2019 kembali terjadi kenaikan sebesar 1,09 kg perkapita menjadi
57,74 kg perkapita. Dan, pada 2020 terjadi lonjakan kenaikan sebesar 5,29 kg
perkapita. Sehingga angka konsumsi ikan Sulawesi Tengah sebesar 63,03 kg
perkapita pertahun.Sulawesi Tengah memiliki tiga zona perikanan tangkap meliputi :
Zona I meliputi perairan sebelah selatan Kabupaten Donggala, Barat Daya Tanjung
Manimbaya, Barat perairan Sioyong hingga Laut Sulawesi, Utara Tolitoli hingga

Buol. Zona II meliputi perairan sebelah Timur Ampibabo, Tinombo, Moutong,


Kepulauan Una-Una hingga Boalemo Kabupaten Banggai.Zona III meliputi perairan
Kepulauan Menui, perairan sebelah Timur Bungku hingga Banggai Kepulauan, Selat

Peleng hingga berbatasan dengan Pulau Sonit.Namun,walaupun tingkat penduduk


dalam mengkonsumsi ikan mengalami peningkatan,dalam aspek produksi jutru
mengalami penurunan di setiap tahunnya. Ikan di Provinsi Sulawesi Tengah terdapat
bebrapa kota yang mengalami penurunan ketersediaan ikan yaitu Banggai Kepulauan
dari 32.917,80 (2015) menjadi 13.253,50 (2016), Toli-toli dari 25.830,80 (2015)
menjadi 19.051,40 (2016), sedangkan kota yang mengalami peningkatan yang cukup
signifikan ialah kota Poso dari 23.494,20 (2015) menjadi 53.935,90 (2016).
Berdasarkan Laporan Kinerja Pemerintah Prov. Sulawesi Tengah, 2020 dalam aspek
perikanan, pada tahun 2016 produksi perikanan budidaya mencapai 1.335.116,07 ton
kemudian turun menjadi 1.059.050,74 ton pada tahun 2017. Sementara itu, pada tahun
2016 produksi perikanan tangkap mencapai 212.330,60 ton kemudian turun menjadi
174.049,30 ton pada tahun 2017. Penurunan produksi semakin terlihat pada tahun
2018 yakni 918.174, 41 ton karena Sulawei Tengah terdampak bencana yang
membuat berbagai sektor menjadi menurun termasuk perikanan lalu naik kembali
pada tahun 2019. Pada tahun 2020 Pemerintah Daerah berusaha memaksimalkan
upaya peningkatan produksi sahingga dapat naik pada angka 966.953 ton, pencapaian
ini belum dapat melebihi dari tahun-tahun sebelumnya di karenakan keterbatasan
benih berkualitas, biaya pengiriman yang semakin tinggi, faktor cuaca serta adanya
pandemi Covid-19.(BPS Sulawesi Tengah,2020).
 Ketersediaan dan Konsumsi Telur di Sulawesi Tengah

Provinsi Produksi Telur di Pulau Sulawesi (Ton)

2019 2020 2021

Sulawesi Utara 26 587,86 32 996,22 28 608,67

Sulawesi Tengah 13 834,73 19 360,75 19 845,74

Sulawesi Selatan 194 650,44 180 414,43 174 388,74

Sulawesi Tenggara 2 831,72 3 014,32 2 745,78

Gorontalo 3 819,14 4 177,81 6 089,65

Sulawesi Barat 2 482,08 948,45 1 449,92

Sumber : BPS 2019 – 2021

Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa produksi/ ketersediaan telur


tertinggi di pulau Sulawesi yaitu terdapat di Sulawesi Selatan dengan total (194 
650,44) pada tahun 2019,pada tahun 2020 dengan total (180 414,43),dan pada tahun
2021 dengan total (174 388,74) dan produksi atau ketersediaan telur terendah terdapat
di Sulawesi barat dengan total (2 482,08) pada tahun 2019,pada tahun 2020 dengan
total (948,45),dan pada tahun 2021 dengan total (1 449,92). dan khusus nya di
Sulawesi Tengah sendiri produksi atau ketersediaan telur pada tahun 2019 sebesar
(13 834,73),pada tahun 2020 (19 360,75) dan pada tahun 2021 (19 845,74).

 Ketersediaan dan Konsumsi Daging di Sulawesi Tengah

Pada tahun 2017, jumlah sapi mencapai sekitar 353,000 dan jumlah kerbau
mencapai hampir 3,900 di Sulawesi Tengah dengan Donggala, Sigi, Parigi Moutoung
dan Palu menyumbang sekitar 119.000 (34 persen dari total) ternak. Sulawesi Tengah
menghasilkan daging sapi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
penduduk. Selain itu, daging sapi diekspor ke Kalimantan karena tingginya
permintaan di daerah tersebut. Meskipun Sulawesi Tengah menghasilkan 5,207,468
kg1 daging sapi pada tahun 2016, namun konsumsi daging sapi di Sulawesi Tengah
tergolong rendah (3kg/ kapita/ tahun)

Gempa di Sulawesi Tengah berdampak pada hampir 80 persen peternak ayam


di Palu, Donggala dan Sigi. Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Sulawesi
Tengah menyatakan bahwa 7,970 ayam pedaging dan 190,300 ayam petelur mati di
Palu, Sigi dan Donggala setelah gempa bumi. Data ini diperoleh dari kelompok
peternak di daerah terdampak. Karena hingga saat ini belum ada pernyataan resmi
dari pemerintah daerah tentang area aman untuk peternakan ayam, sebagian besar
peternak enggan untuk melanjutkan usaha mereka, dimana hal ini juga berdampak
pada investasi. Selain itu, karena sebagian besar peternak berada di daerah yang
terkena likuifaksi, mereka belum menemukan tempat untuk melanjutkan bisnis
mereka. Kendala lain adalah kurangnya modal untuk memulai kembali peternakan
ayam mereka.

Pasokan daging sapi ke pasar menurun secara signifikan seminggu pertama


setelah bencana karena hilangnya ternak, tidak dapat diaksesnya beberapa pasar dan
kerusakan rumah potong hewan di Jono Oge (Sigi), Tavanjuka (Palu) dan Banawa
(Donggala). Bencana mengakibatkan kematian total 275 ternak di 3 kabupaten yang
terdampak. Dalam sebulan setelah gempa bumi, sektor ini relatif pulih dan harga
daging sapi kembali stabil di hampir semua pasar.Aktor yang terlibat dalam pasar
peternakan sapi terdiri dari peternak, pedagang di desa, pedagang di kecamatan,
pengumpul pakan, penyembelih dan pengecer daging sapi. Adapun produk yang
diperjualbelikan dalam bentuk ternak hidup dan daging sapi. Ternak hidup
diperdagangankan oleh peternak ke penyembelihan hewan, sementara daging sapi
yang sudah disembelih diperjualbelikan oleh penyembelih ke pengecer daging dan
kemudian ke konsumen.

Menurut data, konsumsi ayam dan daging tertinggi di Sulawesi Tengah adalah
di Kabupaten Banggai dan Morowali, jika dibandingkan dengan Palu, Sigi atau
Donggala. Hal ini karena di kedua kabupaten tersebut terdapat perusahaan gas dan
pertambangan yang mempekerjakan ribuan pekerja.
Selain itu, Berdasarkan hasil Laporan Kinerja Pemerintah Prov. Sulawesi
Tengah, 2020, konsumsi daging dan telur di Sulawesi Tengah masih dibawah standar
gizi. Selain itu, Keterampilan peternak masih rendah dan belum memanfaatkan
teknologi tepat guna seoptimal mungkin. Berdasarkan hasil survei pasar di Sulawesi
Tengah pada tahun 2017.

2.4 Pola Pangan Harapan (PPH) di Sulawesi Tengah

Pola Pangan Harapan (PPH) atau Desirable Dietary Pattern (DDP) adalah susunan


keragaman pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama
pada tingkat ketersediaan maupun konsumsi pangan. PPH merupakan instrumen untuk
menilai situasi konsumsi pangan wilayah yang dapat digunakan untuk menyusun perencanaan
kebutuhan konsumsi pangan ke depan, dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi,
budaya dan preferensi konsumsi pangan masyarakat. Selain itu, PPH juga dapat dijadikan
acuan untuk menentukan sasaran dalam perencanaan dan evaluasi penyediaan khususnya
produksi pangan.

PPH pertama kali diperkenalkan oleh FAO-RAPA pada tahun 1988, yang kemudian
dikembangkan oleh departemen pertanian Republik Indonesia melalui tahap workshop yang
diselenggarakan Departemen Pertanian bekerja sama dengan FAO. Tujuan utama penyusunan
PPH adalah untuk membuat suatu rasionalisasi pola konsumsi pangan yang dianjurkan, yang
terdiri dari kombinasi aneka ragam pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai cita
rasa.
Pola Pangan Harapan merupakan Keragaman dan keseimbangan konsumsi pangan
pada tingkat keluarga akan menentukan kualitas konsumsi pada tingkat wilayah, baik
kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Artinya Kualitas konsumsi pangan penduduk
ditingkat wilayah (makro) ini dicerminkan dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH). Dimana
Ditingkat keluarga dan individu, asupan makanan sesuai prinsip konsumsi pangan Beragam,
Bergizi Seimbang dan Aman (B2SA) untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dapat diketahui
dengan melakukan penilaian konsumsi pangan, melalui pendekatan penghitungan porsi.
2.5 Mewujudkan Ketahanan Pangan di Sulawesi Tengah
 Perluas fokus kebijakan untuk menanggulangi bukan hanya stunting melainkan
juga tiga beban malnutrisi. Pemerintah harus memperluas fokus kebijakannya di
bidang ketahanan pangan dan gizi agar tidak hanya terpusat pada persoalan stunting,
tetapi juga pada aspek-aspek lain malnutrisi, khususnya persoalan wasting, obesitas,
kelebihan berat badan, dan defisiensi mikronutrien. Terkait defisiensi mikronutrien,
survei yang representatif sangat diperlukan untuk memberikan dasar pijakan yang bisa
digunakan untuk membuat perencanaan pemberian suplemen dan fortifikasi pangan.
 Galakkan gizi seimbang melalui komunikasi perubahan sosial dan perilaku yang
efektif dengan masyarakat. Untuk menggalakkan gizi seimbang, pemerintah perlu
untuk tidak hanya memperbaiki strategi komunikasi massanya tetapi juga terus
mendukung masyarakat dalam mewujudkan pesan-pesan kampanye tersebut dalam
praktik sehari-hari. Misalnya, harga pangan yang beragam harus terjangkau oleh
semua lapisan masyarakat, baik secara langsung maupun melalui kebijakan
perlindungan sosial.
 Tingkatkan akses masyarakat terhadap pangan yang beragam melalui
pengembangan sistem pangan yang beragam, tahan terhadap guncangan iklim,
dan peka terhadap kebutuhan gizi. Pemerintah juga harus memastikan ketersediaan
dan akses pangan yang beragam dengan mengembangkan sistem pertanian yang
beragam dan peka terhadap kebutuhan gizi serta tahan terhadap guncangan iklim.
Akses terhadap pangan yang beragam juga dapat ditingkatkan dengan memperbaiki
keterjangkauan pangan dalam masyarakat.
 Pastikan bahwa program perlindungan sosial benar-benar menyasar pihak yang
paling membutuhkan sehingga tidak ada yang tertinggal. Secara keseluruhan,
pendanaan untuk program perlindungan sosial terbatas; oleh karena itu, pemerintah
perlu memastikan bahwa kesalahan dalam memasukkan dan mengeluarkan penerima
manfaat sedapat mungkin dicegah dan membuat program tersebut lebih peka gender
dan penyandang disabilitas, gizisensitif, dan adaptif terhadap guncangan.
 Pastikan pemanfaatan pangan yang tepat. Karena hanya tubuh yang sehat yang
dapat menyerap kandungan nutrisi pangan yang beragam dengan baik, akses terhadap
air bersih dan sanitasi (termasuk fasilitas toilet) masih perlu diperluas, khususnya
untuk kelompok masyarakat miskin dan rentan. Jaminan layanan kesehatan,
khususnya untuk anak-anak serta ibu hamil dan ibu menyusui, juga harus dipastikan
cakupannya bagi kelompok-kelompok ini.
 Atasi ketimpangan gender untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.
Pemerintah perlu mengatasi berbagai masalah yang berkontribusi terhadap
ketimpangan gender yang berkesinambungan dan makin buruk, serta membantu
perempuan agar memiliki akses yang lebih baik terhadap informasi tentang gizi dan
pola pangan yang beragam, sarana produksi dan pemasaran pertanian, layanan
kesehatan, perlindungan sosial, akses pendidikan, dan peluang ekonomi secara umum.
 Perkuat sistem pemantauan dan evaluasi untuk meningkatkan kebijakan dan
program pemerintah di bidang ketahanan pangan dan gizi. Pemerintah harus
memperkuat sistem pemantauan dan evaluasi mereka dalam bidang ketahanan pangan
dan gizi. Pemantauan dan evaluasi yang ketat harus dilakukan dan mekanisme yang
tepat harus ditetapkan demi memastikan bahwa hasil pemantauan dan evaluasi akan
menghasilkan perbaikan kebijakan dan program.
 Perkuat tata kelola ketahanan pangan dan gizi atau sistem pangan secara
keseluruhan dengan membentuk lembaga koordinasi kebijakan yang efektif.
Pemerintah perlu meningkatkan tata kelola ketahanan pangan dan gizi dengan
memperkuat koordinasi kebijakan ketahanan pangan dan gizi di bawah kantor wakil
presiden (Stranas Stunting). Lembaga ketahanan pangan dan gizi yang efektif sangat
diperlukan untuk mengatur dan mengoordinasikan kerja-kerja beragam pemangku
kepentingan yang berbeda di bidang ketahanan pangan dan gizi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ketahanan pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 adalah
terpenuhinya pangan bagi setiap negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dan
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi,
merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Sedangkan keamanan pangan menurut BPOM adalah kondisi dan upaya yang diperlukan
untuk mencegah pangan dari kemungkinan tiga cemaran yaitu cemaran biologis, kimia
dan benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan
manusisa serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat
sehingga aman untuk dikonsumsi. (Sofyani dkk, 2021).
Adapun produksi beras tertinggi di Provinsi Sulawesi Tengah terdapat pada
Kabupaten Parigi Moutong yaitu sebesar (156 095,73),pada tahun 2018, pada tahun 2019
sebesar (149 112,90),pada tahun 2020 sebesar (128 204,00)
hortikultura memberikan nilai tambah bruto dalam perekonomian Provinsi Sulawesi
Tengah yang mencapai 3,6 triliyun rupiah di tahun 2017, namun hanya memberikan
kontribusi sebesar 2,68 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi
Tengah.
konsumsi ikan penduduk di Provinsi Sulawesi Tengah pada 2020 mencapai 63,03
kilogram perkapita pertahun. Dibanding angka konsumsi ikan tahun 2019 sebesar 57,74
kilogram perkapita. Terjadi peningkatan sebesar 5,29 kilogram perkapita pada 2020.
di Sulawesi Tengah sendiri produksi atau ketersediaan telur pada tahun 2019 sebesar
(13 834,73),pada tahun 2020 (19 360,75) dan pada tahun 2021 (19 845,74).
konsumsi ayam dan daging tertinggi di Sulawesi Tengah adalah di Kabupaten
Banggai dan Morowali, jika dibandingkan dengan Palu, Sigi atau Donggala. Hal ini
karena di kedua kabupaten tersebut terdapat perusahaan gas dan pertambangan yang
mempekerjakan ribuan pekerja
3.2 Saran
Dalam mewujudkan ketahanan pangan dan ketahanan gizi di Indonesia perlu adanya

DAFTAR PUSTAKA

(Damayanti & Khoirudin, 2016) Strategi Menghadapi Ketahanan Pangan (dilihat dari
Kebutuhan dan ketersediaan Pangan) Penduduk Indonesia di Masa Mendatang (Tahun 2015-
2040). Jurnal Bumi Indonesia.

BPS 2019 – 2021,PRODUKSI TELUR DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

BPS Sulawesi Tengah 2021,PRODUKSI BERAS PER KABUPATEN

(2020c) Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Menurut Provinsi, 2018-2019 [dalam
jaringan] [25 Juni 2020].

2018) Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2018. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan,
Kementerian Pertanian.

Ketahanan Pangan (2019) Direktori Perkembangan Konsumsi Pangan. Jakarta: Badan


Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian

Saidamon Bodamaev, VAM Activity Manager, Saidamon.Bodamaev@wfp.org,LAPORAN


SURVEI PASAR DI SULAWESI TENGAH
(2018) Statistik Pertanian 2018. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian,
Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai