PENDAHULUAN
I.2 Tujuan
Tujuan penulisan text book reading ini ialah untuk menambah pengetahuan
pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya tentang Polineuropati Diabetik.
Sehingga kita dapat memahami definisi, epidemiologi, tanda dan gejala klinis,
diagnosis serta terapi Polineuropati Diabetik dan dapat memberikan tatalaksana yang
cepat dan tepat kepada pasien.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Menurut Konferensi Neuropati Diabetika, San Antonio, neuropati diabetika
ditandai dengan kerusakan saraf somatis dan atau saraf otonom yang ditemukan secara
klinis atau subklinis dan semata karena diabetes mellitus, tanpa adanya peyebab
neuropati perifer lainnya. Polineuropati diabetic menggambarkan keterlibatan banyak
saraf tepi dan distribusinya umumnya bilateral simetris meliputi gangguan motorik,
sensorik dan otonom.5,6
Neuropati Diabetika merupakan komplikasi mikrovaskular paling sering dari
diabetes mellitus tipe I (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) maupun tipe II (Non-
Insulin Dependent Diabetes Mellitus). Diabetes melitus dapat berakibat pada system
saraf perifer dan pusat, dimana pada system saraf perifer berhubungan dengan
hiperglikemia yang menyebabkan berkurangnya transport aksonal, sedangkan pada
system saraf pusat berhubungan dengan atherosclerosis.4,5
II. 2 Epidemiologi
Kejadian neuropati diabetika meningkat sejalan dengan lamanya penyakit dan
tingginya hiperglikemia. Diperkirakan setelah menderita diabetes selama 25 tahun,
prevalensi neuropati diabetika adalah 50%. Kemungkinan terjadi neuropati pada kedua
jenis kelamin sama.7
Pravelensi yang terindikasi sekitar 2-7 % dari populasi dan terjadi 25-200 per
100.000 populasi pertahun. Di negara bagian barat, penyebab tersering dari
polineuropati adalah diabetes melitus dan alcohol. 8
Penelitian di Italia mengatakan pada usia 55 tahun terdapat 4% probable
polyneuropathi dan 7% possible di diagnosis polineuropati. Factor resiko terbesar
adalah diabetes, dimana terdapat pada 44% pasien terdiagonsis dengan probable
polineuropati. 6
2
Lamanya diabetes memiliki peranan penting, meningkat sampi 50 % setelah 25
tahun. Sebuah data menunjukan pada 10 % pasien yang terdiagnosis neuropati karena
diabetes akan meningkat sampai 50% setelah 5 tahun diabetes.9,10
Di RSUP Dr.Kariadi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Priyantono,
menunjukan bahwa rentang usia penderita neuropati paling banyak pada usia 45 – 65
tahun. 11
3
Gambar 2. Patofisiologi kerusakan akson dan mielin 12
Apabila terjadi kerusakan akson, secara teori akan terjadi hambatan hantaran
implus saraf baik eferen maupun aferen. Kerusakan pada selubung mielin juga dapat
menyebabkan hambatan implus saraf. Implus saraf yang dihantarkan akson bermielin
akan dikonduksikan lebih cepat dengan cara saltatory conduction ( konduksi
lompatan). Hal ini terjadi karena selubung mielin akson bertindak sebagai isolator
sehingga konduksi listrik melompat dari satu nodus ravier ke nodus ravier berikutnya.
Apabila terjadi kerusakan selubung mielin saraf maka kecepatan konduksi implus saraf
akan jauh menurun atau terhenti. Patofisiologi kerusakan ini dapat dinilai secara klinis
dengan bantuan kecepatan hantar saraf (KHS). 12
Lesi di badan sel saraf dan akson akan diikuti oleh proses degenerasi serabut
akson yang berada di distal dari lesi yang disebut sebagi degenerasi Wallerian.
Degenerasi ini terjadi karena pengaturan metabolism sel saraf berada di dalam sel.
Pengaturan metabolism tersebut diteruskan keakson yang lebih distal melalui satu
mekanisme yang disebut sebagi axonal transport dan terjadi secara anterograde dan
retograd. Apabila hubungan antara badan sel dan akson distal terputus akibat kerusakan
akson diantara keduanya maka axonal transport tidak dapat terjadi sehingga akson
bagian distal tidak dapat mempertahankan metabolisme dan mengalami degenerasi. 12
- Demielinisasi Segemental
Segmen – segmen internodal saraf perifer mengalami demielinisasi, sedangkan
akson masih dalam keadaan utuh. Meskipun demielinisasi telah terjadi secara luas,
namun seringkali aksonnya tidak mengalami perubahan degenerative. Setelah
mengalami demielinisasi, serabut saraf menunjukan adanya proses regenerasi berupa
4
remielinisasi, jumlah sel Schwann akan bertambah banyak. Jika proses patologi
tersebut berlangsung secara kronis dengan demilienisasi dan remielinisasi berulang -
ulang maka akan terjadi poliferasi yang konsentrik dari sel schwann satu struktur seperti
lapisan bawang merah yang disebut onion bulb dengan palpasi akan teraba benjolan
pada saraf.13,14
- Degenerasi Aksonal
Penyebab degenarasi aksonal berupa gangguan nutrisi, metabolic atau toksik
sehingga mengakibatkan gangguan metabolism badan sel, tranpor aksonal serta fungsi
– fungsi lainnya. Bagian ujung distal akson yang pertama mengalami degenerasi dan
apabila proses terus berlanjut degenerasi akan berjalan ke arah proksimal. Proses ini
menimbulkan suatu keadaan yang dikenal sebagai dying back neuropathy.13,14
- Degenerasi Wallerian
Suatu proses mekanik, khemis, termis ataupun iskemik local yang
menyebabkan terputusnya satu serabut saraf secara mendadak, akan diikuti oleh suatu
proses degenerasi aksonal disebelah distal tempat terjadinya perlukaan, yang kemudian
diikuti terputusnya milein secara sekunder. Proses tersebut dikenal sebagai degenerasi
Wallerian. Kelainan mulai timbul anatara 12- 36 jam setelah terjadi perlukaan saraf.
Perubahan awal didapatkan pada akson yang terletak didalam atau di sekitar nodus
Ranvier sepanjang saraf disebelah distal dari tempat perlukaan. Perubahan yang sama
juga terjadi pada akson di sekeliling nodus Ranvier tepat disebelah proksimal dari
perlukaan.13,14
Sel schwann pada bagian ini akan mengalami poliferasi hebat. Makrofag
endoneuron akan membantu sel Schwan dalam menghancurkan mielin yang rusak.
Selubung mielin akan mulai pecah dan berbentuk oval ( ellipsoid). Ukuran mielin yang
mengalami kerusakan dapat berguna untuk melihat lamanya lesi ( dengan biopsy saraf).
Lamina basalis sel Schwann pada bagian distal dari lesi akan rusak sehingga
permukaannya dilapisi langsung galaktoserebrosida. Jumlah protein mielin dari sel
Schwann menurun drastis. Akson sebelah distal dari lesi hancur, aksoplasma dan
aksolema berubah menjadi butir – butir debris dalam 24-48 jam setelah terjadinya lesi
dan butiran tersebut dikeliling oleh mielin yang pecah, selanjutnya akan dihancurkan
oleh makrofag.13,14
5
Gambar 3. Perubahan fisiologi regenerasi akson saraf perifer setelah perlukaan14
Klasifikasi perlukaan saraf oleh Seddon 1943, lesi saraf dibagi menjadi 3
tingkatan, yang paling ringan hanya melibatkan milein, lesi derajat sedang sampai
akson dan yang paling berat bila terjadi diskontinuitas jaringan saraf
1. Neuropraksis
Terjadi hambatan pada fungsi hantaran saraf yang dihubungkan dengan
transient ischemia. Menurut Seddon lesi tipe ini berhubungan dengan keadaan
akut, dimana terjadi kerusakan mielin local disekitar nodus Ranvier (
demielinisasi segmental). Tranmisi implus terputus untuk beberapa waktu tetapi
6
kembali sempurna dalam bebrapa hari hingga minggu.. Pada lesi neuropraksis
kontuinitas akson masih baik.13,14
2. Aksonotmesis
Menunjukan adanya diskontinuitas / terputusnya akson tetapi kerusakan
pada lamina basal sel Schwan dan jaringan endoneural. Terjadi degenerasi
Wallerian dibawah lesi. Lesi ini dapat meninmbulkan gangguan / hilangnya
fungsi sensorik, motoric dan simpatetik karena terputusnya serabut yang tak
bermielin maupun yang bermielin. Prognosis masih baik dengan adanya
regenerasi aksonal yang berlangsung dalam beberapa bulan. 13,14
3. Neurotmesis
Lesi paling berat dengan terputusnya akson termasuk jaringa
penyambung endoneurium, perineurium dan epineurium. Seperti pada
aksonotmesis lesi ini juga berakibat adanya degenerasi Wallerian.
Terputusnya jaringan penyambung /connective tissue ini juga
mengakibatkan terjadinya regenerasi aksonal yang menyimpang ( abberant
regeneration). 13,14
7
Termasuk serabut sensorik yang menghantarkan stimulus sentuhan ringan, nyeri,
suhu, dan serabut saraf otonom preganglion.
- Akson berdiameter kecil – tidak bermielin
Membawa stimulus nyeri, suhu, dan serabut saraf otonom pascaganglion.
Perubahan patologi saraf yang paling besar pada neuropati diabetic terjadi pada
serabut saraf perifer di distal, namun kerusakan tersebut dapat juga terjadi pada
proksimal, baik diganglion radiks dorsalis maupun kornu anterior.12
Teori Metabolik
Hiperglikemia menunjukan kadar glukosa intraselular yang meningat, sehingga
terjadi kejenuhan (saturation) dari jalur glikolitik yang biasanya digunakan. Glukosa
yang berlebihan dialirkan ke jalur poliol ( polyol pathway) dan diubah menjadi sorbitol
oleh enzim aldose reductase dan fruktosa oleh enzim sorbitol dehydrogenase.
Penumpukan dari sorbitol dan fruktosa menyebabkan mengurangnya mioinositol dalam
saraf, menurunnya aktivitas membrane Na+/ K+-ATPase, terganggunya transport akson
dan penghancuran struktur saraf sehingga menyebabkan menurunnya kecepatan
hantaran saraf.4,9,12,13
Mioinositol adalah suatu heksitol siklik yang merupakan bahan utama
membrane fosfolipid dan merupakan komponen vitamin B. Mioinositol berperan dalan
transmisi implus, transport elektrolit dan sekresi peptide. Dalam keadaan normal
mioinositol dalam saraf kurang lebih 100 kali dari kadarnya dalam plasma.13
Teori Autoimun
Suatu penelitian menunjukan bahwa 22 % dari 120 penyandang DM tipe I
memiliki complement fixing antisciatic nerve antibodies dan 25 % pasien DM tipe 2
memperlihatkan hasil yang postif. Hal ini menunjukan bahwa antibody tersebut
berperan pada pathogenesis neuropati diabetic. Bukti lain yang menyokong peran
antibody dalam mekanisme patogenik adalah antineural antiboides pada serum bagian
penyandang diabetes melitus. Autoantibodi yang beredar ini secra langsung dapat
merusak struktur saraf motoric dan sensorik yang bias dideteksi dengan imunofloresens
indirek. Neuropati autoimun bisa terjadi karena perubahan imunogenik dari sel endotel
kapiler. Hal ini juga dapat menerangkan mengapa penggunaan immunoglobulin
intravena (IVIg) bias berhasil untuk mengobati neuropati diabetika.15
Teori laminin
Laminin adalah suatu glikoprotein heteromeric, kuraniform yang besar dan
terdiri dari suatu rantai alfa yang besar dan 2 rantai beta yang lebih kecil, yaitu beta 1
9
dan beta 2. Laminin meperbaiki eksistensi neurit dengan jalan kultur neuron. Bila
terjadi kekurangan ekspresi dari gen laminin beta 2 dapat terjadi neuropati diabetika.15
11
Gambar 7. Neuropati dan Kaki diabetic18
- Neuropati otonom
o Berhubungan dengan keparahan neuropati dan hipotesi ortostatik, penyakit
jantung dan gangguan intestinal, inkontensia alvi atau retensi urin serta
impotensi
- Focal dan multi focal neuropati
o Nyeri akut yang asimetris pada tungkai bawah bagian proksimal yang
disertai kelemahan dan mengecil. Biasanya di quadriseps femoralis dan
flexor pangggul Biasanya pada usia pertengahan atau laki- laki usia lanjut,
dihubungkan pada penyakit setingkat pleksus lumbosacral (diabetic
amyotrphy – Brun- Garland Sindrom ). Deficit sensoris biasanya ringan dan
membaik perlahan ( sampai dengan 2 tahun) dan inkomplet.
o Mononeuropati tungkai biasanya karen nervus terperangkap atau infak.
Cirinya pada nervus yang infark pasien disertai nyeri dan deficit neurologis
fokal, dimana sensoris hilang tiba-tiba tanpa nyeri.
12
o Neuropati / radikulopati truncal, pada pasien NIDDM dan sering pada
radikulopleksopati lumbosacral. Nyeri dan disasthesia di T4-T12 dengan
perbaikan spontan dalam beberapa bulan, tetap tetap dijumpai kelemahan
didinding perut.
o Neuropati kranial, termasuk nervus III, IV, dan VI. Kadang nervus kranial
lain dapat terlibat seperti pada nervus VII.
Staging 15
N0 : tak ada neuropati
N1a : neuropati asimptomatik yang iddeteksi dengan abnormalitas KHS
paling sedikit di 2 saraf
N1b : N1a + pemeriksaan neurologis yang abnormal
N2a : simptomatik neuropati diabetika yang ringan dengan gejala sensorik,
motoric, atau otonom dan pasien masih bias berjalan diatas tumit
N2b : neuropati diabetika yang simptomatik yang berat ( seperti pad N2a,
namun pasien tidak mampu untuk berjalan diatas tumit )
N3 : polineuropati diabetika yang menyebabkan cacat ( disabling)
13
Weisnten, pemeriksaan rasa getar dengan garpu tala 128 Hz yang kemudian dapat
dilanjutkan dengan pemeriksaan vibration perception therehold (VPT) yang
merupakan gold standar dalam diagnosis polineuropati DM. 19
14
skor keterangan
A. Gejala
1. Kaki a. Nyeri 0–1 0= tidak ada
b. Rasa tebal 0–1 keluhan
c. Kesemutan 0–1 1 = ada keluhan
d. lemah 0–1
2. Ataksia 0–1
3. Gejala 0–1
pada
lengan
B. Reflex 0 = normal
kanan a. Patella 0–1–2 1 = menurun
b. Achiles 0–1–2 2 = negative
kiri a. Patella 0–1–2
b. Achiles 0–1–2
15
Pemeriksaan sensasi getar dengan garpu tala 128 Hz. Uji kualitatif sensorik
untuk menilai kemampuan pasien dalam mendeteksi sensasi getar dengan
menggunakan garpu tala 128 hz. Garpu tala dipetik serta diletakan pada penonjolan
tulang di ektremitas bawah. Hasilnya akan dikategorikan sebagai berikut: nilai 0
adalah normal, nilai 1 adalah tergangu pada ibu jari kaki, nilai 2 adalah terganggu
di atas ibu jari kaki dibawah angkle, nilai 3 adalah terganggu diatas angkle.23
II.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan standar yang disarankan American Academy of Neurology
(AAN) diantaranya gula darah puasa, elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hepar, darah
lengkap, hitung jenis, kadar vitamin B12, laju endap darah, fungsi tiroid dan jika
memungkinkan immunofixation electrophoresis (IFE). 5,12
Pemeriksaan tolenransi gula 2 jam pasca puasa lebih sensitive dibandingkan
dengan pemeriksaan HbA1c dan gula darah puasa. Oleh karena itu pemeriksaan ini
perlu dipikirkan jika pemeriksaan awal normal. 5,12
2. Pemeriksaan elektrodiagnostik
Pemeriksaan eltrodiagnostik terdiri dari KHS dan elektromiografi (EMG),
yang standar untuk pemeriksaan neuropati akibat kerusakan serabut saraf besar.
EMG dapat membedakan antara polineuropati dengan miopati, neuropati, plesopati
ataupun poliradikulopati. Pemeriksaan eletrodiagnostik meningkatkan ketajaman
distribusi disfungsi saraf, membedakan keterlibatan motor dan sensorik, tingkat
keparahan. 5,12
Elektromiografi (EMG)
EMG menunjukan bagaiman respons otot terhadap signal elektris yang
ditransmisikan oleh saraf dan ini dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan KHS.
Pemeriksaan EMG pada otot – otot distal pada ekstremitas bawah menunjukan
adanya denervasi dalam bentuk PSW (positive sharp waves ) dan fibrilasi.
Perubahan re-inervasi seperti unit potensial yang mempunyai amplitude tinggi,
duration yang Panjang dan polifasis mencerminkan adanya suatu gangguan yang
kronis.5,12
II.9 Komplikasi
Pasien diabetes rentan terhadap gangguan saraf otonom. Jika terdapat riwayat
hipotensi ortostatik, presinkop, dan hasil pemeriksaan EKG-treadmill menunjukan
gambaran intoleran, kemungkinan pasiennya mengalami cardiac dysautonomia.
Keadaan ini dapat meningkatkan resiko kematian menjadi 2 sampai 5 kali lipat, antara
lain akibat painless myocardical infarct jika pasien mengalami kelelahan hebat dan tiba-
tiba disertai kulit pucat, mual, kebingungan, sesak napas, atau batuk. 12
18
Disfungsi ereksi sebagai salah satu gangguan otonom dapat terjadi pada pasien
DM. Jika didapatkan disfungsi ereksi maka tidak menutup kemungkinan terdapat
penyakit kardiovaskular lainnya yang terkait gangguan otonom.12,17
Diabetes juga meningkatkan resiko berbagai jenis neuropati lainnya. Diabetes
meningkatkan resiko reaktivasi herpes zoster dan painful thoracic radiculopathy. Baal
kedua tangan pada psien diabetes juga masih sangat mungkin karen carpal tunnel
syndrome (CTS) bilateral.12
II.10 Tatalaksana
Non Medikamentosa
Tatalaksana neuropati diabetic sangat beragam. Karen sifatnya sitemik, maka
tatalaksana yang dilakukan harus menyeluruh tidak berhenti sampai pengobatan saja,
namun juga evaluasi sepanjang perjalanan penyakitnya. Pasien diabetes perlu dinilai
sensibilitas daerah distal. Pasien yang tidak dapat merasakan tes monofilament 10g
kemungkinan memiliki diagnosis polineuropati distal simetrik dan cenderung akan
mengalami ulserasi pada telapak kakinya. Oleh karena itu pasien perlu dilakukan
tindakan pencegahan dengan edukasi serta penggunaan alas kaki yang sesuai atau
dirujuk ke ahli kaki ( pediatrist).12
Tujuan dari pengobatan nutrional adalah15 :
- Merubah karakteristik lipid dari sel darah sehingga lebih deformable
- Menginduksi angiogenesis ( meregenerasi kapiler sehingga menghilangkan
konsekuensi hipoksia neural yang terus – menerus )
- Memacu pertumbuhan saraf baru ( Encourage nerve growth)
19
- Menambah kapasitas transportasi oksigen secara menyeluruh.
Medikamentosa
Tatalaksana neuropati diabetes adalah dengan control gula darah yang baik
mendekati normoglikemia atau kadar HbA1c dipertahankan dibawah 7%. Bila
terdapat nyeri, maka obat simtomatik pilihan diantaranya, gabapentin, pregabalin,
karbamazepin, maupun okskarbazepin. Obat – obat nyeri neuropatik tersebut dapat
dikombinasikan dengan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS), analgesic lainnya
ataupun antidpresan. Namun perlu diingat karena ada penyakit sistemik maka
interaksi obat perlu diperhatikan sebelum terapi diberikan.24
Perubahan asam lemak esensial ( essential fatty acid /EFA) menjadi asam
gama linoleic ( gamma linolenic acid (GLA)) tergangggu pada penderita diabetes
yang disebabkan karena deficit produksi enzim delta-6 desaturase. Pada kasus yang
lebih berat, metabolism EFA terganggu pada 2 tempat yaitu juga ada gangguan pada
enzim delta- 5 desaturase sehingga akan terjadi kekurangan GLA dan metabolitnya
yaitu prostasiklin dan prostaglandin. Neuropati diabetika merupakan suatu penyakit
yang progresif yang dapat disebabkan oleh efek dari defisiensi kronik prostaglandin
dan prostasiklin.prostasiklin (PGI2) adal molekul protektif dan fungsi fisiologis
yang multiple dan yang terpenting untuk sintesa PGI2 adalah suatu enzim
sikloogsigenase (COX). Terdapat dua bentuk COX yaitu COX 1 yang
memproduksi prostasiklin dan prostaglandin yang bersifat anti inflamasi dan COX2
yang memproduksi tromboksan A2 (TxA2) dan beberapa prostaglandin yang
menyebabkan inflamasi.15
Tujuan pemberian analgetika adalah mengurangi nyeri dan inflamasi
dengan jalan menghentikan produksi prostaglandin. Analgetika yang ideal adalah
menginhibisi COX2, namun meninggalkan COX1 tetap utuh. Tetapi kebanyakan
anti nyeri merusak COX1 dan COX2 sehingga menghentikan prostaglandin yang
antiinflamasi. Pemakaian analgetik tanpa batas akan menyebabkan gangguan pada
jalur konversi GLA ke PGI2, yang berguna menghilangkan rasa nyeri, sehingga
akan menyebabkan neuropati lebih buruk an menimbulkan defisiensi
prostasiklin.15,24
Penggunaan paracetamol/ acetaminophen sebaiknya tidak digunakan karena
kadar prostasiklin / prostaglandin sangat rendah pada penderita diabetes,
eritrositnya akan rapuh dan tidak bias berlekuk – lekuk ( unable to be deformed).
20
Akibatnya dengan demikian eritrosit yang mentransportau oksigen ini tidak bias
masuk ke pembuluh darah kapiler yang diameternya lebih kecil dan tidak bias
didesak masuk ke dalamnya. Bila pembuluh darah mikro di dalam saraf tersebut
tidak dapat menerima oksigen, maka sel saraf akan mati. Hal tersebut dapat terjadi
pada neuropati dimana hasilnya adalah suatu proses hipoksia endoneurial.7,15,18,24
Bila metabolism EFA terganggu dan suplementasi GLA juga tidak akan
menyebabkan produksi dari zat – zat yang diperlukan dalam jumlah yang cukup (
GLA dan metabolitnya yaitu prostasiklin dan prostaglandin), maka dapat
ditambahkan pentoksifilin. Walopun pentoksifilin dan GLA mempunyai efek
ganda, namun sebaiknya dimulai dengan menggunakan secara bersamaan, dimana
pentosifilin mempunyai efek yang lebih segera dan GLA lebih lambat. GLA
walopun kerjanya lebih lambat namun mempunyai spektrum yang lebih luas dalam
meanggulangi defisiensi lemak esensial penderita diabetes. Pentoksifilin digunakan
secara hati – hati dihentikan setelah GLA sudah cukup efeknya yaitu dalam 2-3
bulan dan dalam jangka waktu tertentu lebih baik untuk memproduksi prostasiklin
secara alamiah dengan memakan GLA. Bila tidak ada GLA dan pentoksifilin, dapat
menggunakan obat – obat lain yang meninggikan GLA, yaitu golongan ACE –
inhibitor, EPA ( asam eikosanpentaenoik- dari minyak ikan), ekstrak gingko biloba,
vitamin C, dan vanadium.12,16
Asupan nutrisi pada penderita polineuropati diabetes juga dapat memberikan
keuntungan, contohnya L-Carnitine. L-Carnitine adalah transporter fatty acid
kedalam mitokondria dengan beta oksidasi. Carnitine dapat ditemukan pada
didaging merah, kacang, labu, bunga matahari, sayuran hijau dan buah seperti
pisang dan apricot. pada pasien nyeri neuropati masih diperdebatkan, tetapi
penggunan suplemen L-Carnitine menunjukan penghambatan progresifitas pada
tikus transgenic dengan mutase gen. Penggunaan pada terapi nyeri neuropatik
perifer menunjukan dapat mengurang VAS score. 25
Rekomendasi terapi dan dosis untuk neuropati diabetika berdasrkan American
Academy of Neurology7 :
Rekomendasi obat dan dosis Obat tidak direkomendasikan
Level A Pregabalin, 300-600 mg/d Oxycarbazepine
Level B Gabapentin, 900-3600 mg/d Lamotrigine
Sodium valproate, 500-1200 mg/d Lacosamide
Venlafaxine, 60-120 mg/d Clonidine
21
Duloxetine, 60-120 mg/d Pentoxifylline
Amitriptyline, 25-100 mg/d Mexiletine
Dextromethorphan, 400 mg/d Magnetic field treatment
Morphine sulphate, titrated to 120 mg/d Low intensity laser therapy
Tramadol, 210 mg/d Reiki therapy
Oxycodone, mean 37 mg/d
Capsaicin, 0,075% QID
Isosorbide dinitrate spray
Electrical stimulation, percutaneous nerve
stimulation ( 3-4 minggu)
22
BAB III
KESIMPULAN
23
Tatalaksana neuropati diabetes adalah dengan control gula darah yang baik
mendekati normoglikemia atau kadar HbA1c dipertahankan dibawah 7%. Bila terdapat
nyeri, maka obat simtomatik pilihan diantaranya, gabapentin, pregabalin,
karbamazepin, maupun okskarbazepin. Obat – obat nyeri neuropatik tersebut dapat
dikombinasikan dengan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS), analgesic lainnya
ataupun antidpresan. Namun perlu diingat karena ada penyakit sistemik maka interaksi
obat perlu diperhatikan sebelum terapi diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
24
9. Ropper AH, Samuels MA. Principles of Neurology. Edisi 9. New York : McGraw Hill.
2009. 140-141.
10. John W scadding and Nicholas A. Clinical neurologi : peripheral neuropathy. 2012.
16(4) : 346-347.
11. Priyantono T. Faktor-faktor resiko yang berpengaruh terhadap timbulnya neuropati
pada diabetes melitus tipe 2. Semarang: Universitas Diponegoro. 2005. 9-15.
12. Anindhita T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Kedokteran
Indonesia. 2017. 663-670
13. Gominak S, Parry GJ. Neuropathies and Diabetes. In : Cros D (ed),Peripheral
Neuropathy. Philadelphia : Lippincot, 2001. 141-56.
14. Mark TJobe, Santos F. Martinez. Peripheral Nerve Injuries. Elsevier. 2016.3(1) : 1-6
15. Soleman E, Gellido C. Diabetic Neuropathy. Emedicine. 2002. 2-6.
16. Pinzon R. Diagnosis nyeri neuropatik dalam praktik sehari-hari. CDK-190. 2012.39(2):
142-144.
17. Lionel Ginsberg. Wiley-blackwell, A john wiley & Sons. Lecture notes neurology. 9th
edition. Ltd Publication. 2010.175-6.
18. Jones R. Netter’s neurology. 2nd edition. Philadelpia : Elsevier, 2012. 16 (2) : 155-162.
19. Bethasiwi Purbasari, Anggraini vivi laras, Pratiwi Made Dinda, Husna MAchluis,
Kurniawan Shahdewi. Uji diagnostic skoring Toronto dan modifikasi Toronto, tes
monofilament, sensasi getar dengan garpu tala 128 hz pada polineuropai diabetikum.
Malang neurologi jurnal. 2018. 4(1) : 25-32
20. Bril V, Perkins BA. Validation of the Toronto Clinical Scoring System for Diabetic
Polyneuropati. Diabetes Care. 2002; 25 (11): 2048-52
21. Bril V, Tomioka S, Buchanan RA, Perkins BA, Group S. original Article :
Complications Reliability and Validity of the Modified Toronto Clinical Neuropathy
Score in Diabetic sensorimotor Polyneuropathy. Diabet Med. 2009. 26 : 240-6.
22. Craig BA. Strauss M, Danileler A, Miller SS. Foot sensation Testing in the patient with
Diabetes : Introdution of the Quick & Easy Assesment Tool. Wound. 2013. 26(8): 221-
31.
23. Meijer, J.W.G, Smit A, Lefrandt J, Van Der Hoeven. Back to Basics in Diagnosing
Diabetic Polyneuropati with the Tuning Fork. Diabetes Care. 2005. 28 (9): 2201-5.
24. Kawano, Takashi. A Current Overview of Diabetic Neuropathy – Mechanisms,
Symptoms, Diagnosis, and Treatment. Japan: Kochi Medical School; 2014. 90-95.
25
25. Ethem Murat Arsava. Nutrition in Neurologic Disorder a pratical guide. Springer.
2017. 174-75.
26