Key words: Bell’s palsy, facial Palsy, third molar, oral surgery, neurological disorders.
1
dengan mempertahankan jalan pernapasan dan melindungi jika akan dilkukan ekstraksi bedah yaitu dengan cara
pasien dengan menempatkan posisi pasien dengan menghentikan intake heparin 6 sampai 12 jam sebelum
berbaring miring dengan kepala menengadah baik di lantai operasi/tindakan dan diganti dengan antikoagulan lain
atau di kursi. Apabila terjadi hipoksia langsung berikanlah (misalnya Coumadin) dengan persetujuan dokter.
oksigen. Selain itu hindarilah dengan memasukkan alat-alat Kemudian, heparin dapat kembali dikonsumsi setelah
atau bahan-bahan ke dalam mulut pasien, dan apabila terbentuk jendalan darah dalam soket sekitar 6 jam
terjadi epilepsi 3-5 menit, carilah bantuan dan kemudian.
pertimbangan untuk melakukan pemberian diazepam Komplikasi pasca pencabutan kerap kali terjadi, seperti
(valium) 5-10 mg secara IV dengan perlahan-lahan cedera saraf. Cedera saraf yang terjadi dapat berupa
(Pedersen,1996). nauropraksia, aksonotmesis, maupun yang paling parah
Trigeminal Neuralgia merupakan kelainan saraf yang neurotmesis yang dapat berlanjut pada parestesia maupun
mengenai cabang kedua dan ketiga n. Trigeminus ditandai paralisis, tergantung pada saraf yang terkena cedera
dengan rasa sakit yang tajam, menusuk dan hanya sebentar. (Pedersen, 1996).
Sering dilakukan adalah anestesi untuk tujuan diagnostik Saraf yang riskan terhadap tindakan bedah
dengan anestesi lokal untuk menentukan lokasi lesi dan dentoalveolar diantaranya adalah nervus lingualis, nervus
diberi suntikan alkohol absolut (95%). Kemudian dilakukan alveolaris inferior, dan nervus mentalis. Saraf yang sering
rhizotomi periferal atau neurektomi (pemotongan/avulsi) mengalami cedera pada pencabutan gigi M3 yaitu saraf
saraf yang terlibat (Pedersen,1996). alveolaris inferior, karena letak saraf ini dekat dengan
Stroke merupakan cedera serebrovaskular ditandai regio apikal gigi M2 dan M3. Selain nervus ini, walaupun
dengan timbulnya paralisis, hilang sensasi, dan gangguan kerusakan nervus facialis karena pembedahan dentoalveolar
bicara. Adaptasi perawatan dilakukan untuk mencegah jarang terjadi, Bell’s Palsy dapat terjadi setelah
meningkatnya tekanan darah, penggunaan anestesi lokal penyuntikan larutan anestesi lokal ke dalam substansi
yang memadai dan menggunakan sedasi oksigen nitrous glandula parotidea yang terletak di dekat saraf (Pedersen,
sesedikit mungkin (Pedersen, 1996). 1996).
Pada pasien stroke, usahakan tindakan yang Ada beberapa teori mengenai mekanisme patofisiologi
meminimalkan perdarahan dengan tindakan bedah Bell’s Palsy pasca pemberian larutan anestesi. Bell’s Palsy
atraumatik, penjahitan secukupnya dan pemberian yang terjadi pasca pemberian larutan anestesi dibagi
hemostatic agent (Little dkk., 2007). menjadi dua, yaitu tipe langsung/immediate (pasien
Nonadrenergic dan perangkat (stent, elektrokauter) mengalami kelumpuhan otot wajah segera setelah
disiapkan untuk keadaan yang tidak diinginkan. Monitor tindakan), dan tipe tertunda/delayed (Tzermpos dkk.,
tekanan darah dan saturasi oksigen, menggunakan jumlah 2012).
minimum vasokonstriktor dalam anestesi, menghindari Facial palsy tipe langsung disebabkan oleh
epinefrin dalam retraction cord perlu diperhatikan. Kenali teranestesinya satu atau lebih cabang nervus fasialis. Hal ini
tanda-tanda dan gejala stroke, untu memberikan perawatan dimungkinkan ketika suntikan dan larutan anestesi
darurat, dan mengaktifkan sistem dukungan medis darurat mengenai daerah intraglandular. Injeksi yang dilakukan
(Little dkk., 2007). terlalu jauh ke posterior, dapat mengenai substansi parotid,
Pertimbangan pemberian obat-obatan pasca tindakan yang lobus dalamnya meluas sekitar posterior ramus
bedah minor termasuk ekstraksi perlu dipertimbangkan mandibula dan depan pada permukaan medial ramus
pada pasien dengan kelainan saraf. Pemberian obat-obatan (Tzermpos dkk., 2012). Mekanisme ini tidak mungkin
pada pasien Parkinson harus diperhatikan pada beberapa terjadi apabila anestesi nervus alveolaris inferior berhasil.
kasus seperti interaksi antara inhibitor COMT (Tolcapone Namun, mekanisme ini mungkin saja terjadi pada kasus di
[Tasmar], Entacapone [Comtan]) dan epinefrin pada dosis mana kelenjar parotid gagal menyelubungi saraf dan
yang biasanya digunakan dalam kedokteran gigi, oleh divisinya, atau ketika cabang dari nervus facialis tertentu
karena itu disarankan untuk membatasi dosis epinephrine menyimpang pada retromandibular space. Anomali anatomi
sampai 2 karpul yang mengandung 1:100.000 epinefrin (36 nervus facialis memungkinkan nervus berkontak langsung
mg) pada pasien yang mengkonsumsi Inhibitor COMT dengan larutan anestesi bahkan jika anestesi diberikan
(Little dkk., 2007). dengan benar (Tzermpos dkk., 2012).
Pasien epilepsi yang mengkonsumsi antikonvulsan Pada Facial Palsy tipe tertunda/delayed terdapat 4
mungkin menderita dari efek racun dari obat-obatan, dan mekanisme. Yang pertama adalah teori refleks pembuluh
dokter gigi harus menyadari manifestasi dari masing- darah simpatik yang berlanjut pada iskemia dan
masing obat. Fenitoin, karbamazepin, dan asam valproat kelumpuhan pada region foramen stylomastoid. Cairan
dapat menyebabkan penekanan sumsum tulang, leukopenia, anestesi, hasil metabolisme obat, maupun aksi mekanik dari
dan trombositopenia, yang dapat mengakibatkan jarum anestesi, dapat menyebabkan stimulasi pleksus
mengakibatkan peningkatan insiden infeksi mikroba, simpatis yang berhubungan dengan arteri karotis eksterna,
penyembuhan yang lambat, dan perdarahan gingiva dan kemudian dapat berlanjut ke pleksus yang menyuplai arteri
pasca operasi. Asam valporic dapat menurunkan agregasi sylomastoid yang masuk ke kelenjar parotis. Stimulasi
platelet, menyebabkan perdarahan spontan dan petechiae pada pleksus tersebut menyebabkan refleks spasme yang
(Little dkk., 2007). tertunda pada nervus fasialis sehingga dapat menyebabkan
Propoxyphene dan eritromisin tidak boleh diberikan neuritis iskemik dan edema sekunder (Tzermpos dkk.,
kepada pasien yang mengkonsumsi karbamazepine karena 2012).
gangguan metabolisme karbamazepin, yang dapat Mekanisme yang kedua adalah akibat trauma yang
menyebabkan toksisitas dari obat antikonvulsan tersebut. terlibat dalam prosedur anestesi gigi. Hal ini dapat dapat
Eritromisin juga tidak boleh diberikan kepada pasien yang menjadi faktor untuk melepaskan dan mengaktifkan
mengkonsumsi agonis dopamin, pramipexole (Mirapex) kembali infeksi virus laten seperti herpes simpleks virus
misalnya pada penyakit Parkinson. Meresepkan obat (HSV) atau varicella-zoster virus (VZV), sehingga terjadi
penenang untuk keperluan tindakan dental kemungkinan peradangan selubung saraf dan menyebabkan kelumpuhan
akan berefek aditif, karena obat antiparkinson berefek nervus fasialis (Tzermpos dkk., 2012).
depresi Sistem Saraf Pusat (Little dkk., 2007). Mekanisme yang ketiga, facial palsy terjadi hasil
Aspirin dan non-steroid anti-inflammatory drugs pemecahan atau metabolisme obat anestesi membentuk
(NSAIDs) sebaiknya tidak diberikan kepada pasien yang alkohol aromatik di sekitar saraf yang menyebabkan
mengonsumsi asam valproik karena dapat menurunkan kerusakan saraf berkepanjangan (Tzermpos dkk., 2012).
agregasi trombosit, menyebabkan episode perdarahan. Mekanisme terakhir adalah akibat mulut yang
Tidak ada kontraindikasi untuk penggunaan anestesi lokal terbuka/diretraksi dengan instrumental secara
dalam jumlah yang tepat pada pasien ini. berkepanjangan, terjadi peregangan nervus fasialis yang
Pasien stroke biasanya mereka mengkonsumsi obat dapat menyebabkan kelumpuhan (Tzermpos dkk., 2012).
antikoagulan. Tindakan untuk meminimalisir perdarahan
2
Meskipun jarang ditemui, dokter gigi harus menyadari Smeltzer, S.C., Bare, B.G. 2002. Buku ajar keperawatan medikal
bahwa pada prosedur gigi tertentu seperti blok nervus bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
alveolaris inferior bisa menyebabkan paralisis wajah. Sproat, C., Burke, G., McGurk, M. 2006. Essential human disease
for dentists. Philadelphia: Elsevier.
Untuk mencegah terjadinya paralisis wajah pasca
Tzermpos, F.H., Cocos A., Kleftogiannis, M., Zarakas, M., Iatrou,
tindakan, yang dapat dilakukan adalah melakukan anestesi I. 2012. Transient Delayed Facial Nerve Palsy After
sesuai standar. Standar pencegahan seperti aspirasi, injeksi Inferior Alveolar Nerve Block Anesthesia. American
secara perlahan, dan pemantauan terus menerus setelah Dental Society of Anesthesiology 59:22-27.
tindakan bisa meminimalisir efek samping yang mungkin Vasconcelos, B.C.E., Bessa-Nogueira, R.V., Maurette, P.E.,
timbul (Tzermpos, et.al., 2012). Carneiro, S.C.S.A. 2006. Facial Nerve Paralysis After
Pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah edukasi Impacted Lower Third Molar Surgery: A Literature
pasien pasca tindakan bedah minor maupun ekstraksi Review and Case Report. Medicina Oral Patology Oral
CirBucal11:E175-8.
dengan anestesi lokal agar segera menghubungi dokter gigi
apabila terjadi komplikasi, seperti paralisis otot wajah ini.
Respon medis yang segera dapat membuat perbedaan yang
signifikan terhadap tingkat keparahan paralisis dan lama
waktu penyembuhannya (Born, 2005).
Bila pasien datang dengan keluahan paralisis wajah,
segera lakukan pemeriksaan keparahan sesuai dengan
gradenya dan berikan perawatan medikasi yang sesuai, atau
rujuk ke neurologist. Pasien perlu diberitahu dan
ditenangkan dengan penjelasan mengenai komplikasi yang
ia derita dan bahwa kemungkinan pulih kembali masih ada
(Born, 2005).
KESIMPULAN
REFERENSI
Born, B.A. 2005. The essential massage companion. Brekley:
Concepts Born.
Little, J.W., Falace, D.A., Miller, C.S., Rhodus, N.L. 2007. Little:
dental management of the medically compromised
patient, 7th ed. St. Louis: Mosby Elsevier.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan
gangguan sistem persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Pedersen, Gordon W. 1996. Buku ajar praktis bedah mulut.
Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC
Seiden, A.M., Tami, T.A., Pensak, M.L., Cotton, R.T., Luckman,
J.L. 2002. Otolaryngology the essential. Ney York:
Thieme.
3
4