Anda di halaman 1dari 10

PARESE NERVUS KRANIALIS KE-7 LMN ET CAUSA BELL’S

PALSY: LAPORAN KASUS

7th Cranial Nerve LMN Paresis Et Causa Bell’s Palsy: A Case Report

Sri Harnani Rafidah Estri*, Titian Rakhma**


*
Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Surakarta
**
Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr. Sayidiman Magetan
Korespondensi: Sri Harnani Rafidah Estri. Alamat Email: j500150084@student.ums.ac.id

ABSTRAK
Bell’s Palsy merupakan suatu penyakit paralisis nervus kranialis ke-7 yang menyebabkan kelemahan
sementara otot-otot wajah sesisi. Penyakit ini seringkali dikaitkan dengan infeksi virus, terutama Herpes
simplex virus (HSV) dan Varicella zoster virus (VZV). Penyebab lain yang mungkin diantaranya infeksi
bakteri, neuropati iskemik, herediter dan autoimun, serta penyakit sistemik seperti diabetes. Secara
global, insidensi Bell’s Palsy mencapai 15 – 20 kasus per 100.000 penduduk dengan 40.000 kasus baru
per tahun. Pada tahun 2017, prevalensi Bell’s Palsy di RSCM Jakarta sebanyak 7,6% dari total kasus
gangguan neuromuskular. Biasanya pasien datang dengan keluhan kelemahan wajah sesisi yang tiba-
tiba, pada beberapa kasus dapat juga disertai dengan gangguan pendengaran seperti tinnitus, gangguan
pengecapan lidah, dan kesulitan menelan. Gejala yang muncul tergantung pada letak lesi nervus facialis
yang terlibat. Berbeda dengan stroke, pada Bell’s Palsy tidak diikuti dengan kelemahan anggota gerak
satu sisi. Oleh karena itu, penting membedakan Bell’s Palsy dengan stroke agar dapat menentukan
penanganan yang tepat bagi pasien.

Kata Kunci:Bell’s Palsy, N. Facialis, Inflamasi, Iskemik Neuropati, LMN

ABSTRACT
Bell’s Palsy is a paralysis of the seventh cranial nerve which cause weaknesses of facial muscles in one
side. This disease often linked with viral infection such as herpes simplex virus (HSV) and varicella zoster
virus (VZV). Other etiologies that might cause Bell’s Palsy are bacterial infection, neuropathy ischemic,
hereditary and autoimmune disease, also other systemic disease such as diabetes. Globally, the incidence
of Bell’s Palsy is 15 – 20 cases per 100.000 population with 40.000 new cases each year. In 2017, Bell’s
Palsy’s prevalence in RSCM Jakarta is 7,6% of all the neuromuscular disorders. Usually, patients come
to the doctor with sudden facial weakness. In some cases, it can also be accompanied by hearing loss
such as tinnitus, tongue taste disorder, and difficulty in swallowing. Symptoms that appear usually
depend on the location of facial nerve lesions involved. In contrast to strokes, Bell's Palsy is not followed
by weakness of one-sided limbs. Therefore, it is important to differentiate Bell’s Palsy from stroke in
order to determine the appropriate treatment for the patients.

Key Words:Bell’s Palsy, N. Facialis, Inflammation, Neuropathy Ischemic, LMN

985
prevalensi Bell’s Palsy mencapai 7,6%

PENDAHULUAN dari seluruh total kasus gangguan

Bell’s Palsy merupakan suatu neuromuskuler. (Dewi, 2018)

penyakit paralisis nervus kranialis ke-7 Hingga saat ini patogenesis Bell’s

yang menyebabkan kelemahan sementara Palsy masih menjadi perdebatan. Infeksi

otot-otot wajah sesisi (Balakrishnan, virus, kompresi serabut saraf, dan

2015). Manifestasi klinis biasanya berupa autoimun dapat mempengaruhi terjadinya

onset yang cepat, unilateral, kelemahan Bell’s Palsy (Eviston, 2015). Namun,

tipe LMN dengan gejala penyerta seperti Bell’s Palsy tidak seharusnya disamakan

nyeri di belakang telinga, dysgeusia, dengan Cerebral Palsy karena keduanya

perubahan sensasi wajah yang subjektif merupakan kondisi yang sangat berbeda.

dan hiperakusis. Manifestasi klinis Pada Bell’s Palsy kelemahan hanya

biasanya dapat dijelaskan berdasarkan mempengaruhi bagian wajah sesisi

struktur anatomi dari nervus facialis. ipsilateral lesi tanpa disertai dengan

(Evistonet al., 2015) kelemahan anggota gerak. (Balakrishnan,

Secara global, insidensi Bell’s Palsy 2015).

mencapai 15-20 kasus per-100.000 LAPORAN KASUS

penduduk dengan 400.000 kasus baru per Seorang laki-laki berusia 75 tahun

tahun. The National Health Service datang ke poliklinik saraf dengan keluhan

(NHS), Inggris, pada tahun 2015 wajah merot ke kanan sejak 2 hari yang

melaporkan 25-35 dari 100.000 orang lalu. Pasien mengatakan wajah merot

menderita Bell’s Palsy (Balakrishnan, tidak disertai dengan rasa nyeri maupun

2015). Sedangkan, di RSCM Jakarta, kesemutan, tidak merasa ngiler terus-

986
menerus, namun merasa air matanya

terus nerocos di sebelah kanan dan kiri.

Pasien tidak mengeluhkan adanya

kelemahan pada anggota gerak, serta

tidak pusing, tapi terkadang harus

berpegangan dulu jika ingin berdiri. Gambar (a) Gambar (b)

Pasien tidak merasa sesak, mual muntah

(-), dan nyeri perut (-).Pasien mengaku

terbiasa tidur dengan menggunakan kipas

angin yang dihadapkan ke wajah dan

sering kencing. Ketika ditanya pernah

memiliki keluhan plenting-plenting Gambar (c) Gambar (d)

(cacar air) maupun herpes pasien Gambar 2: Pemeriksaan N. Facialis pada pasien,
dengan paralisis pada bagian kiri. (a) saat
menyangkal. Namun, pasien mengeluh tersenyum. (b) menutup mata. (c) mengerutkan
dahi. (d) menjulurkan lidah.
gatal-gatal pada ketiak dan

selangkangan.Pasien merupakan

penderita Diabetes Mellitus tipe 2 yang

terkontrol dan memiliki riwayat darah

tinggi. Gambar (a) Gambar (b)

Gambar 1: Pemeriksaan N. Facialis pada pasien,


dengan paralisis pada bagian kiri. (a) saat diam.
(b) saat mencucu. (c) saat meringis. (d)
mengangkat alis.

Gambar (c) Gambar (d)

987
fisiologis pada kedua ekstremitas bernilai
Pemeriksaan tanda vital didapatkan
+2 dan tidak didapatkan refleks patologis
tekanan darah 130/90 mmHg, frekuensi
pada pasien.
nadi 67x/menit, frekuensi napas
Pasien kemudian diberi terapi
o
20x/menit, suhu 36,4 C, dan SpO296%.
prednisone tab 5 mg 3x4 tablet selama 7
Pada pemeriksaan fisik didapatkan
hari, mecobalamin tablet 500mg 2x
inspeksi wajah kelopak mata kiri tampak
sehari selama 7 hari, dan artificial tears 3
lebih turun dan sudut bibir kanan tampak
tetes/kali apabila mata terasa kering.
lebih tertarik. Pada pemeriksaan N.
Pasien juga diusulkan untuk menjalani
Facialis (VII) tampak ketidaksimetrisan
terapi elektrostimulasi dan diedukasi
otot dahi, tinggi alis, sudut mata, sudut
mengenai mirror therapy dan masase
mulut, dan sudut nasolabial baik saat
wajah.
diam maupun bergerak. Ditemukan
PEMBAHASAN
Bell’s Phenomenon (+) pada pasien saat
N. Facialis memiliki nucleus yang
memejamkan mata. Saat meringis, bagian
terletak di dalam medulla oblongata.
wajah sebelah kanan lebih tertarik
Serabut sarafnya muncul di permukaan
dibandingkan bagian wajah sebelah kiri.
anterior antara pons dan medulla
Tidak didapatkan adanya kelainan pada
oblongata. Akar sarafnya berjalan
pemeriksaan nervus cranialis yang lain.
bersama N. Vestibulocochlearis dan
Pemeriksaan ekstremitas atas
masuk ke meatus acusticus internus. N.
maupun bawah didapatkan kekuatan otot
Facialis memiliki beberapa percabangan,
bernilai 5 di kedua lengan dan tungkai,
diantaranya adalah N. Petrosus
tidak terdapat atrofi, dan tonus kedua
Superficialis Mayor (menginervasi
ekstremitas dalam batas normal. Refleks

988
glandula lacrimalis dan kelenjar hidung), stroke. Sedangkan lesi LMN, seperti pada

N. Stapedius (menginervasi M. Bell’s Palsy akan menyebabkan

Stapedius), cabang pada chorda timpani, kelemahan otot-otot wajah unilateral

N. Auricularis Posterior (menginervasi termasuk M. Frontalis dan M. Orbicularis

auricular dan M. Temporalis), dan lima oculi. Pasien tidak dapat menutup mata

cabang terminal untuk otot-otot mimik

wajah (cabang buccal, cabang

mandibular, cabang temporal, cabang

zigomaticus, dan cabang cervical).

(Mujaddidah, 2017)

Paralisis facialis dibagi menjadi dua

jenis, yaitu lesi UMN (upper motor


Gambar 3: Perbedaan lesi UMN dan
neuron) dan lesi LMN (lower motor LMN(https://www.ebmconsult.com/articles/anato
my-stroke-vs-bells-palsy, 2015)
neuron). Neuron yang menginervasi dengan pupil mendelik keatas (Bell’s
wajah bagian bawah menerima phenomenon) dan mengangkat alis pada
persarafan UMN dari korteks motorik satu sisi. Gejala yang timbul biasanya
kontralateral. Lesi UMN akan sesuai dengan letak lesi. Lesi LMN tidak
menyebabkan paralisis facial unilateral diikuti dengan kelemahan anggota gerak,
tanpa adanya gangguan fungsi M. sehingga pasien pada laporan kasus ini
Frontalis dan M. Orbicularis oculi. Lesi mengalami paralisis facialis tipe LMN.
UMN seringkali disertai dengan (Newadkar, et al., 2017)
hemiparesis ekstremitas akibat kerusakan

cerebrokortikal yang besar seperti pada

989
Bell’s Palsy dapat disebabkan oleh strangulasi nervus facialis. (Zhang, et al.,

karena adanya infeksi virus seperti 2019)

Herpes simplex virus dan Varicella zoster Inflamasi juga memiliki peran dalam

virus. Selain itu, penyebab yang lain terjadinya Bell’s Palsy. Pada beberapa

merupakan terjadinya iskemia. penelitian, sampel serum pasien dengan

Iskemia ini kemudian dibedakan Bell’s Palsy diteliti dan ditemukan

menjadi iskemia primer, iskemia peningkatan konsentrasi sitokin seperti

sekunder, dan iskemia tersier. Iskemia interleukin-1 (IL-1), IL-6, dan tumor

primer merupakan hasil necrosis factor-alpha (TNF-α), penurunan

dari vasospasme pembuluh darah sel T-CD3 dan T-CD4, serta limfosit B

yang menurunkan aliran pembuluh darah pada fase akut. (Zhang, et al., 2019)

dan menyebabkan inflamasi akut. Penyebab lain yang diperkirakan

Iskemia sekunder terjadi akibat konstriksi dapat mengakibatkan Bell’s Palsy

awal dari arteriol, diikuti dengan dilatasi diantaranya adalah infeksi bakteri, faktor

kapiler yang menyebabkan peningkatan herediter dan imunologi. Infeksi

permeabilitas dan eksudasi terus dihubungkan dengan timbulnya inflamasi

menerus. Eksudat kemudian dapat dan edema yang membuat nervus facialis

menekan kelenjar limfe dan terjepit sehingga terjadi kerusakan saraf

menyebabkan iskemia regional. Iskemia sementara maupun permanen. Iskemia

tersier timbul dari berkembangnya pada Bell’s Palsy kemungkinan dapat

iskemia sekunder. Vasospasme yang disebabkan karena adanya penyakit

progresif menyebabkan fibrosis dan sistemik yang menyertai seperti diabetes

penebalan selubung saraf sehingga terjadi

990
seperti yang ditemukan pada pasien ini. System

(Mujaddidah, 2017) merupakan

Dari anamnesis dapat ditanyakan metode

tentang riwayat infeksi virus HSV atau standar

VZV sebelumnya, riwayat keluarga, atau untuk

riwayat penyakit lain yang menyertai mengukur

yang merupakan faktor risiko Bell’s fungsi

Palsy. Gejala yang muncul berbeda pada

setiap orang. Gejala dapat meliputi

berkedut, kelemahan pada sesisi wajah,

penurunan kelopak mata dan sudut bibir,

nyeri kepala, hipersalivasi, kering pada

mulut dan mata, gangguan pengecapan,

dan produksi air mata berlebih pada sisi Gambar 5: Yanagihara Grading System
(Axelsson, 2013)
yang sakit. Selain itu dapat juga
nervus facialis. Sistem ini dapat secara
ditemukan nyeri disekitar telinga dan
akurat mendeskripsikan fungsi otot wajah
dagu, tinnitus, hipersensitivitas terhadap
pasien (Song, et al., 2013).
suara, cedal, pusing, dan kesulitan
Yanagihara Grading System
menelan. (Prabasheela, et al., 2017)
merupakan sistem grading yang sering
Bell’s Palsy memiliki dua sistem
digunakan di Jepang. Sistem ini menilai
grading yaitu House-Brackmann
10 aspek dari fungsi otot wajah, masing-
Grading System dan Yanagihara Grading
masing bernilai 0-4, untuk memberikan
System. House-Brackmann Grading

991
skor maksimal 40. Namun sistem ini deltasone. Kortikosteroid dapat

tidak termasuk evaluasi terhadap mencegah atau mengurani edema saraf,

sinkinesis dan kontraktur. (Axelsson, inflamasi, dan pembengkakan pada kanal

2013) facial. Terapi lain seperti artificial tears

Berdasarkan kedua sistem grading dan vitamin dapat pula ditambahkan pada

ini, pada pasien didapatkan hasil House- pasien. (Prabasheela, 2017)

Brackmann Grading System bernilai 4 Dapat juga dilakukan terapi non-

untuk masing-masing dahi, mata, dan medikamentosa seperti masase wajah

mulut, atau sama dengan disfungsi yang mampu meningkatkan sirkulasi

sedang berat. Sedangkan menurut wajah dan mencegah kontraktur. Selain

Yanagihara Grading System, pasien itu, elektrostimulasi dapat menyebabkan

mendapatkan skor 20. kontraksi pada otot-otot yang telah

Tatalaksana yang dapat diberikan kehilangan inervasi dan mempengaruhi

pada pasien Bell’s Palsy diantaranya fase awal regenerasi saraf. (Prabasheela,

adalah analgesik steroid seperti 2017)

acetaminophen, aspirin, atau ibuprofen Komplikasi yang dapat terjadi pada


pasien dengan Bell’s Palsy diantaranya
apabila ditemukan nyeri pada pasien. Jika
adalah sinkinesis fasialis, crocodile tears
pasien memiliki riwayat infeksi VZV
phenomenon, dan clonic facial spasm.
atau HSV dapat dibeikan acyclovir, Sinkinesis facialis merupakan gerakan
volunteer otot wajah yang diikuti gerakan
famciclovir, dan valaciclovir. Steroid oral
involunter otot wajah yang lain akibat
dapat meningkatkan prognosis dan
adanya regenerasi motor neuron yang
kualitas hidup pasien. Dapat digunakan meninervasi otot-otot yang tidak tepat.
Crocodile tears phenomenon adalah
prednisone, methyl prednisolone, dan
suatu gejala dimana air mata pasien

992
diproduksi secara berlebihan dan tidak Balakrishnan, A. 2015. Bell’s Palsy:
Causes, Symptoms, Diagnosis, and
wajar (contoh: keluar air mata saat
Tratment. J. Pharm. Sci. & Res. Vol.
makan). Clonic facial spasm yaitu 7(11), 1004-1006. Chennai: Saveetha
Dental College
kedutan yang timbul secara tiba-tiba pada
sisi wajah yang sakit dan lama kelamaan Busti, J.A., Kellog, D. 2015. Anatomy
Stroke vs Bell’s Palsy. Evidence-
dapat terjadi di sisi wajah kontralateral. Based Medicine Consult. Diakses
(Mujaddidah, 2017) Tanggal 22 Februari 2020.
<https://www.ebmconsult.com/articl
KESIMPULAN DAN SARAN es/anatomy-stroke-vs-bells-palsy>
Pada laporan kasus ini pasien Dewi, M.M., et al. 2018. Prevalensi,
Spektrum Klinis, dan Gambaran
merupakan penderita paralisis facialis Neurofisiologi Kasus
Neuromuskular. Sai Pediatri Vol. 20
tipe LMN karena Bell’s Palsy dengan No. 4. Jakarta: FK UI

faktor risiko diabetes. Hal ini diperkuat Eviston, T.J., et al. 2015. Bell’s Palsy:
Aetiology, Clinical Features, and
dengan gejala kelemahan wajah sesisi Multidiciplinary Care. J Neurol
Neurosurg Psychiatry;86:1356–
tanpa disertai dengan kelemahan anggota 1361. Sydney: University of NSW

gerak dan Bell’s phenomenon (+). Mujaddidah, N. 2017. Tinjauan Anatomi


Klinik dan Manajement Bell’s Palsy.
Meskipun demikian, masih perlu Qanun Medika Vol. I No. 2.
Surabaya: FK Universitas
dilakukan pemeriksaan penunjang lebih Muhammadiyah Surabaya

lanjut untuk mengetahui penyebab Newadkar, U.R., et al. 2017. Facial


Palsy: A Disorder Belonging to
terjadinya Bell’s Palsy pada pasien ini Influencial Neurological Dynasty:
Review of Literature. North
agar dapat diberikan terapi yang lebih American Journal of Medical
Sciences, Volume 8, Issue 7. India:
tepat. ACPM Dental College

REFERENSI Prabasheela, B., et al. 2017.


Understanding Bell’s Palsy: A
Axelsson, S. 2013. Bell’s Palsy: Medical Review. Pharmaceutical and
Treatment and Influence of Biological Evaluations; Vol. 4 (3):
Prognostic Factors. Swedia: Lund 130-134. India: Aarupadai veedu
University Institute of Technology

993
Zhang, W., et al. 2019. The Etiology of
Bell’s Palsy: A Review. Journal of
Neurology (Springer). China: Shanxi
Medical University School and
Hospital

994

Anda mungkin juga menyukai