Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN KASUS

“Perempuan Usia 48 Tahun dengan Kelemahan Wajah Kiri”

Pembimbing
dr. Dwi Dewi Kusuma., Sp. S
 
 
Disusun oleh:
Firda Athaya Nadhirah
H3A021011

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2022
I. IDENTITAS PASIEN

1. Nama lengkap : Ny. N


2. Jenis kelamin : Perempuan
3. Umur : 48 Tahun
4. Suku bangsa : Indonesia
5. Status perkawinan: Sudah Menikah
6. Agama : Islam
7. Pekerjaan : Buruh borongan tetap
8. Pendidikan : -
9. Alamat : Jati Wetan RT 7/ II
10.Tanggal masuk RS : 8/4/2022
II. ANAMNESIS
 Keluhan utama :
Wajah kiri terasa tebal
 RPS :
Pasien datang kontrol ke Poli Saraf RS Aisyiyah Kudus pada hari Jum’at, 8 April 2022 dengan
wajah sebelah kiri terasa tebal dan mencong ke sebelah kanan sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu.
Pasien mengaku sebelum serangan wajah pasien terasa sedikit kebas namun oleh pasien dihiraukan
sehingga pada malam hari pasien tetap bekerja seperti biasa. Ketika bangun tidur pasien tiba-tiba
merasakan bibir mencong ke sebelah kanan dan sulit digerakkan. Pasien mengatakan pada saat makan
kering tanpa kuah, nasi selalu tejatuh keluar dari mulut, mata kiri terasa pedas dan air mata terus
keluar.
Pasien menyatakan tidak demam, tidak pernah keluar cairan dari telinga, mendengar bunyi
berdenging tidak ada, tidak ada keluhan nyeri kepala, kelemahan anggota tubuh lainnya tidak ada,
tidak ada kesulitan minum, tidak tersedak, BAB dan BAK lancar. Kejadian ini adalah pertama kali
dialami oleh pasien.
 RPD:
1. Riwayat Hipertensi : disangkal
2. Riwayat DM : disangkal
3. Riwayat Alergi : disangkal
4. Riwayat trauma/jatuh : disangkal
5. Riwayat stroke : disangkal

 RPK :
1. Riwayat Hipertensi : disangkal
2. Riwayat DM : disangkal
3. Riwayat stroke : disangkal
 Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien seorang karyawan swasta, berobat saat ini dengan BPJS Non PBI. Kesan ekonomi cukup.

 Riwayat Pribadi :
1. Pasien seorang karyawan swasta yang banyak bekerja pada malam hari dengan menggunakan
transportasi truk terbuka.
2. Merokok : disangkal
3. Alkohol : disangkal
4. Obat-obatan : disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : baik
Kesadaran : Compos mentis, GCS 15 (E4M6V5)

2. Vital sign :
• TD : 120/80 mmHg
• Nadi : tidak dilakukan
• RR : tidak dilakukan
• Suhu : 36,50C

3. Generalisata :
• Kepala : Bentuk mesocephal, wajah asimetris.
• Mata : Reflex cahaya (+/+), pupil bulat isokor (3 mm / 3 mm), gerak bebas ke segala arah,
lagoftalmus (-/+)
• Telinga : tidak dilakukan pemeriksaan
• Hidung : simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-)
• Mulut : merot ke kanan, lidah simetris, karies gigi (+)
• Leher : pembesaran kelenjar thyroid dan kelenjar getah bening tidak dilakukan
• Thoraks : tidak dilakukan
• Abdomen : tidak dilakukan
• Ekstremitas
STATUS NEUROLOGIS
1. Kesadaran : Compos mentis, GCS 15 (E4M6V5)

2. Gerakan Abnormal : Tidak ada

3. Nervus Cranialis :
3. Nervus Cranialis :
4. Sistem Motorik Tubuh
5. Gerakan Involunter
6. Fungsi Sensorik
 baik, terasa sedikit baal wajah sisi kiri
7. Fungsi Autonom
8. Keseimbangan dan koordinasi
DIAGNOSIS

- Diagnosis klinis : Paralisis N.VII perifer sinistra


- Diagnosis etiologi : idiopatik (Bell’s Palsy)
- Diagnosis topis : N.VII perifer dibawah foramen stylomastoid
DIAGNOSIS

- Diagnosis klinis : Paralisis N.VII perifer sinistra


- Diagnosis etiologi : idiopatik (Bell’s Palsy)
- Diagnosis topis : N.VII perifer dibawah foramen stylomastoid
PENATALAKSANAAN
1. Non medikamentosa
 Edukasi kepada pasien bahwa penyakit yang dialami ini
bukan gejala stroke. Penyakit ini dikarena adanya kelemahan otot
wajah.
 Kompres air hangat pada bagian yang sakit ± 20 menit dan bagian
mata kiri.
 Massage wajah kearah atas.
 Dianjurkan untuk menjalani fisioterapi.
 Gunakan kacamata saat beraktivitas.
 Disarankan untuk mengganti shift malamnya.
PENATALAKSANAAN
2. Medikamentosa :
- Methilprednisolon 3 x 8 mg No. XXIV
- Mecobalamin 2x500mg No. XVI
- Ibu profen 2x200mg No. XVI
- Cendo lyteers 4x1 gtt OS No.I
- Gentamicin 1% 4x1 OS No. I
PROGNOSIS
- Ad vitam : ad bonam
- Ad fungsionam : ad bonam
- Ad Sanationam : Dubia ad bonam
ANALISIS KASUS

Pasien perempuan datang dengan keluhan bibir mencong ke sebelah kanan


sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu SMRS, tanpa penurunan kesadaran dan
dengan gejala yang menetap dapat mengerucutkan ke beberapa sebab yaitu Bell’s
Palsy dan Stroke non hemoragik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tidak ada kerutan dahi bagian kiri,
lagophtamus, parese dan hipestesi wajah bagian kiri memberikan gambaran
gangguan pada N.VII perifer. Dengan demikian diagnosis bisa lebih mengerucut
ke arah Bell‘s Palsy.
ANALISIS KASUS
Dengan dasar penegakan diagnosis sbb :
- Paralisis N.VII perifer
- Hipestesia wajah kiri
- Tidak ditemukan adanya gangguan mendengar
- Tidak ditemukan adanya kelumpuhan dibagian lain
- Gejala timbul mendadak
Gejala – gejala tersebut timbul dikarenakan gangguan pada N.VII yang
mempersarafi wajah untuk fungsi motorik dan sensorik. Gangguannya
bersifat unilateral dan ipsilateral dimana N.VII mempersarafi otot oblikularis
okuli, oblikularisorim temporal, servikal, bukal dan zygomatik yang berfungsi
sebagai penggerak wajah.
Pada pasien tampak lagophtamus dan mulut mencong pada sisi yang terkena.
Hipestesia terjadi dikarenakan N.VII dan N.V mempunyai nucleus
somatosensory yang sama namun pada kasus ini rasa baal terjadi karena gangguan
dari motorik sehingga memberikan efek kepada rasa baal.
Dasar diagnosis klinis ditemukan kelumpuhan wajah sebelah kiri yang
memberikan kesan paralisis N.VII perifer. Grade untuk Bell’s Palsy menurut
House-Brackmann yaitu, Pada pasien ini ditemkan asimetris kedua sisi terlihat
jelas, tidak ditemukan synkinesia, namun mata dapat tidak dapat ditutup dengan
usaha minimal dan sekilas tampak asimetris, bibir mencong dapat digerakan dengan
usaha maksimal sehingga didapatkan pada pasien ini masuk ke grade III.

Bell‘s Palsy sendiri merupakan sebuah kelainan yang digambarkan dengan


kelumpuhan N.VII perifer (unilateral). Sifatnya idiopatik, akut dan tidak disertai
gangguan neurologis lain. Berdasarkan penyebab Bell‘s palsy masih belum
diketahui dengan pasti namun ada beberapa hipotesis yang berkembang seperti
infeksi pada Herpes Simpleks Virus yang menyebabkan inflamasi pada ganglion
genikulatum, penyakit autoimun, penyakit mikrovaskuler dan juga dikaitkan
dengan paparan udara dingin.
Pada pasien ini penyebab terjadinya Bell‘s Palsy dikarenakan paparan udara
dingin. Paparan udara dingin menyebabkan Bell‘s Palsy
dikarenakan dingin dapat mengiritasi N.VII,dimana secara anatomis N.VII adalah
nervus cranialis yang melewati kanal-kanal dalam tengkorak, sehingga disaat
teriritasi oleh dingin, terjadi oedem dan akhirnya tertekan oleh kanal-kanal sempit
pada tulang tengkorak.
Pada kasus ini tidak terdapat keterlambatan penanganan. Maka dari itu
pemberian kortikosteroid dianjurkan dengan asumsi bahwa masih terjadi oedem
pada N.VII.
Proteksi mata dianjurkan saat pasien mengalami lagophtalmus untuk
menghindari iritasi pada kornea. Pemberian obat tetes mata untuk menjaga
kelembaban mata, juga salep mata saat pasien tidur.

Diagnosis topis ditegakkan dari gambaran klinis dimana pada pasien ini
hanya didapatkan gangguan pada otot ekspresi wajah, namun tidak
didapatkan hiperakusis, gangguan perasa dan gangguan pendengaran. Namun
didapatkan hipestesi sehingga topis pada kasus ini bisa diperkirakan terjadi di
bawah foramen stylomastoideus.
Tinjauan Pustaka.
 DEFINISI
 ANATOMI
 EPIDEMIOLOGI
 ETIOLOGI & FAKTOR RISIKO
 PATOFISIOLOGI
 PENEGAKAN DIAGNOSIS
 DIAGNOSIS BANDING
 TATALAKSANA
 PENCEGAHAN
 KOMPLIKASI & PROGNOSIS
Bell’s Palsy adalah nama
sejenis penyakit kelumpuhan
perifer akibat proses (non
suppuratif, non neoplasmatik,
non degeneratif primer),
namun sangat mungkin akibat
edema pada nervus fasialis
pada distal kanalis fasialis.

DEFINISI
ANATOMI

N. Facialis [N.VII] terdiri dari 4 macam


serabut :
1. Serabut motorik : memepersarafi otot
wajah
2. Serabut viseromotor (serabut
parasimpatis): mempersarafi mukosa
hidung, sinus paranasal, dan glandula
submaksilaris, sublingualis dan lakrimalis
3. Serabut viserosensoris : menghantarkan
impuls dari 2/3 anterior lidah, dasar lidah
dan palatum mole
4. Serabut somato-sensoris :
menghantarkan rasa nyeri, suhu, raba,
daerah kulit dan mukosa yang diinervasi
N. Trigeminal [N.V]
EPIDEMIOLOGI
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak
dari paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi
ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden
terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika
Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus
per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan.
Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000
populasi. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2
minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s
palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa
mencapai 10 kali lipat. Penderita diabetes mempunyai
resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes.
ETIOLOGI
 Penyebab pasti Bell’s palsy masih belum diketahui. Tetapi penyakit ini
dianggap memiliki hubungan dengan virus, bakteri, dan autoimun.
 Bell’s palsy meliputi inflamasi saraf atau blokade sinyal muscular dari
HSV 1 lewat karier yang belum diketahui, ketidakseimbangan imunitas
atau apapun yang secara langsung maupun tidak langsung menekan
sistem imun seperti:
- Infeksi bakteri pada Lyme disease
- Otitis media,
- Tumor,
- Kelainan kongenital
- HIV/AIDS,
- Trauma
- Serta apapun yang dapat menyebabkan inflamasi dan edema nervus
fasialis (N.VII) dapat memicu terjadinya bell’s palsy.
Faktor resiko

 Usia di atas 60 tahun


 Paralisis komplit
 Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva
pada sisi yang lumpuh,
 Nyeri pada bagian belakang telinga dan berkurangnya
air mata.
Lesi : Dapat PATOFISIOLOGI
berupa inflamasi
demyelinasi, 1. Lesi setinggi Porus acusticus internus
iskemia, kompresi Mengganggu N. Facialis dan N.
N.VII Vestibulocochlearis
 Gejala : paresis motoris N. facialis tipe perifer,
gangguan pendengaran (tuli), gangguan
keseimbangan
2. Lesi setinggi ganglion geniculatum
 Paresis motoris N. facialis tipe perifer,
gangguan gustatorik, lakrimasi dan salivasi
3. Lesi setingggi antara N. stapedius sampai N.
petrosus major
 Paralisis motoris, gangguan salivasi dan
gustatorik, hiperakusis akibat paralisis M.
stapedius
4. Lesi setinggi chorda tympani sampai N.
stapedius
 Paralisis motoris, gangguan salivasi dan
gustatorik
5. Lesi setinggi foramen stylomastoideum
 Paralisis motoris facialis tipe perifer
Anamnesis
Gejala pada sisi wajah ipsilateral Residual
- Kelemahan otot wajah ipsilateral - Mata terlihat lebih kecil
- Kerutan dahi menghilang ipsilateral - Kedipan mata jarang atau tidak sempurna
- Tampak seperti orang letih - Senyum yang asimetri
- Tidak mampu atau sulit mengedipkan mata - Spasme hemifasial pascaparalitik
- Hidung terasa kaku - Otot hipertonik
- Sulit berbicara - Sinkinesia
- Sulit makan dan minum - Berkeringat saat makan atau saat
- Sensitif terhadap suara (hiperakusis) beraktivitas
- Salivasi yang berlebihan atau berkurang - Otot menjadi lebih flaksid jika lelah
- Pembengkakan wajah - Otot menjadi kaku saat letih atau
- Berkurang atau hilangnya rasa kecap kedinginan
- Nyeri di dalam atau disekitar telinga
- Air liur sering keluar

Gejala pada mata ipsilateral


- Sulit atau tidak mampu menutup mata
ipsilateral
- Air mata berkurang
- Alis mata jatuh
- Kelopak mata bawah jatuh
- Sensitif terhadap cahaya
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan nervi cranialis N. Facialis [VII]
● Inspeksi
- Kerutan dahi
- Pejaman mata
- Lipatan nasolabialis
- Sudut mulut

● Motorik
- Saat pasien diminta untuk mengerutkan dahi  bagian yang mengalami parese tidak dapat
mengerutkan dahi.
- Saat pasien diminta untuk menutup mata dengan kuat  bagian yang mengalami parese tidak
dapat menutup mata dengan kuat.
- Jika pasien diminta untuk menutup mata maka mata akan berputar-putar ke atas (fenomena
bell’s)
- Saat pasien diminta untuk meringis / tersenyum  sudut mulut yang mengalami parese akan
terkulai.
Sensorik
○ Schirmer test
Digunakan untuk mengatahui fungsi produksi air • Pengecapan 2/3 anterior lidah
mata. Menggunakan kertas lakmus merah 5x50 mm Menggunakan cairan Bornstein (4% glukosa, 1% asam
dengan salah satu ujung dilipat dan diselipkan di sitrat, 2,5% sodium klorida, 0,075% quinine hcl). Penderita
kantus medial kiri dan kanan selama 5 menit. diminta menjulurkan lidah kemudian dikeringkan dahulu
Normal: menjadi biru dan basah antara 20-30 mm. baru di tes dengan menggunakan lidi kapas. Setelah selesai
pemeriksaan, penderita berkumur dengan air hangat lalu
dikeringkan dahulu baru lanjut ke pemeriksaan
selanjutnya.
Klasifikasi Sistem grading dikembangkan oleh
House and Brackmann dengan skala I sampai VI :
Grade I adalah fungsi fasial normal.

Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut :


- Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetil.
- Sinkinesis ringan dapat terjadi.
- Simetris normal saat istirahat.
- Gerakan dahi sedikit sampai baik.
- Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha.
- Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.

Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:


- Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.
- Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat ditemukan
- Simetris normal saat istirahat.
- Gerakan dahi sedikit sampai moderat.
- Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha.
- Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.
Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya sebagai berikut:
- Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
- Simetris normal saat istirahat.
- Tidak terdapat gerakan dahi.
- Mata tidak menutup sempurna.
- Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal.

Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:


- Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.
- Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.
- Tidak terdapat gerakan pada dahi.
- Mata menutup tidak sempurna.
- Gerakan mulut hanya sedikit.

Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:


- Asimetris luas.
- Tidak ada gerakan.
Pemeriksaan penunjang
● Pemeriksaan penunjang berupa pencitraan seperti MRI Kepala atau CT-Scan. Pada
pemeriksaan MRI tampak peningkatan intensitas N.VII atau di dekat ganglion
genikulatum. Sedangkan pemeriksaan CT-Scan tulang temporal dilakukan jika
memiliki riwayat trauma.
● Contoh gambaran MRI
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk
menentukan letak lesi dan derajat kerusakan n. fasialis:
1) Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang
listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika
lebih 20 mA menunjukkan kerusakan n.fasialis ireversibel.
2) Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajatdenervasi dengan cara mengukur
kecepatan hantaran listrik pada nervus fasialis kiri dan kanan.
3) Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot
wajah
4) Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah
5) Uji Schirmer
Diagnosis banding
● Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)
● Otitis Media Supurativa dan Mastoiditis
kemungkinan adanya paresis fasialis, maka ditemukan adanya rasa nyeri di dalam atau di
belakang telinga. Pada foto mastroid ditemukan gambaran infeksi. Pada otitis media
terjadi proses radang di dalam kavum timpani sehingga dinding tulang kanalis fasialis
ikut mengalami kerusakan sehingga terjadi paresis fasialis
● Trauma kapitis
misalnya fraktur os temporal, fraktur basis kranii atau trauma lahir/forceps) atau
karena operasi
● Sindroma Guillain – Barre dan Miastenia Gravis
gambaran penyakitnya khas dan paresis hampir selalu bilateral.
● Tumor Intrakranialis
● Leukimia
TATALAKSANA
1. Pengobatan Inisial
a. Kortikosteroid (Prednison) dosis 1 mg/kg atau 60 mg/ hari selama 6 hari, diikuti
penurunan bertahap total selama 10 hari.
b. Asiklovir dapat diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari selama 7-10 hari.
Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800 mg oral 5 kali/hari.

2. Lindungi mata

3. Perawatan mata
Lubrikasi ocular topical dengan air mata artificial (tetes air mata buatan) dapat
mencegah corneal exposure.

4. Fisioterapi atau akupuntur dapat dilakukan setelah melewati fase


akut kurang lebih 2 minggu.
Pencegahan
 Makan makanan bergizi seperti buah-buahan dan sayuran
 Berolahraga rutin setiap pagi hari minimal 3 kali seminggu
 Beristirahat cukup
 Menghindari terkena angin terus menerus atau dingin pada salah satu sisi wajah, misal saat di
dalam kendaraan disebelah jendela, tidur di lantai, terkena kipas angin, AC.
Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang tidak dapat
diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy, adalah
(1) Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh
atau beberapa muskulus fasialis,
(2) Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia
(hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan
stimuli normal), dan
(3) Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat
menyebabkan:
- sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul
gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat
memejamkan mata
- crocodile tear phenomenon
- clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada
wajah yang dapat terjadi pada satu sisi
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik, kondisi terkendali dengan
pengobatan pemeliharaan. Kesembuhan terjadi dalam waktu 3 minggu
pada 85% pasien. Dapat meninggalkan gejala sisa (sekuale) berupa
kelemahan fasial unilateral atau kontralateral, sinkinesis, spasme
hemifasialis, dan terkadang terjadi rekurensi sehingga perlu evaluasi
dan rujukan lebih lanjut. Kriteria rujukan :
- Bila dicurigai kelainan lain (lihat diagnosis banding)
- Tidak menunjukkan perbaikan
- Terjadi kekambuhan/ komplikasi

Prognosis :
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Terimakasih
Mohon Arahan Ddan Bimbinganya Dokter

Anda mungkin juga menyukai