PEMBIMBING
dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S
PENULIS
Avilla Ane Lukito
030.13.033
Bell’s palsy adalah paralisis nervus kranialis VII atau nervus fasialis yang
idiopatik. Penyakit ini diteliti pertama kali oleh Sir Charles Bell pada abad ke-
19.(1,2) Insidens kejadian Bell’s palsy di dunia adalah sekitar 25 kasus per 100.000
kasus per tahun.(3) Sedangkan di Indonesia, prevalensinya sulit ditentukan. Data
yang dikumpulkan dari 4 rumah sakit di Indonesia menyatakan insidens Bell’s
palsy adalah 19,5%. Dari semua usia, biasanya Bell’s palsy mengenai usia 21-50
tahun dan puncaknya pada usia 15-45 tahun. Jenis kelamin tidak berpengaruh
dengan angka kejadian Bell’s palsy. (4,5)
Berbagai teori mencoba menerangkan abnormalitas yang terjadi, salah
satunya adalah keterlibatan virus Herpes Simplex tipe 1, tetapi ini masih menjadi
tahap penelitian. Selain itu, banyak penelitian menghubungan paparan cuaca
dingin dengan Bell’s palsy. Tetapi hal ini masih diperdebatkan hingga sekarang.
Jadi hingga sekarang, etiologi Bell’s palsy masih idiopatik.(6,7)
Kontroversi dalam tata laksana masih diperdebatkan, walaupun hampir
sebagian besar kasus (85%) sembuh sempurna dalam 1-2 bulan.(3) Tatalaksana
yang diperdebatkan adalah pemakaian anti-viral pada kasus ini. De Almeida et al
menyarankan penggunaan kombinasi antiviral dan kortikosteroid pada kasus
Bell’s palsy dengan paralisis berat hingga paralisis total.(8)
Rekurensi terjadi pada 2-9% kasus. Biasanya 70% pasien rekurensi
pertama timbul saat 10 tahun pertama. Perbandingan prevalensi rekurensi
ipsilateral dan kontralateral dari Bell’s palsy pertama adalah 2:1. Rekurensi
ipsilateral biasanya memberikan prognosis yang jauh lebih buruk dibanding
kontralateral.(9,10)
Pada pasien dengan diabetes mellitus, terdapat iskemia kronik pada
nervus-nervus perifer dikarenakan kurangnya oksigen pada endoneurial,
kurangnya aliran darah pada nervus, dan terdapat epineural arteriovenous
shunting. Hal-hal ini yang menyebabkan Bell’s palsy menjadi salah satu
komplikasi dari diabetes mellitus, yaitu neuropati diabetes.(11,12)
3
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Ny. H
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 53 tahun
Tempat tanggal lahir : Ujung pandang. 17 Juli 1965
Alamat : Duren Sawit
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : S1
Status pernikahan : Menikah
Tanggal datang ke poli : 27 Juli 2018
No. RM : 01141277
Ruang : Poliklinik Saraf
5
E. RIWAYAT PENGOBATAN
Pasien sudah berobat pada hari pertama sakitnya ke RS Premier Jatinegara
dan didiagnosa Bell’s palsy oleh dokter. Pasien diberi obat Acyclovir 5x400 mg,
Metilprednisolon 3x8mg, Gliquidone 1x30 mg, Mecobalamin 3x500mg diberikan
selama 5 hari. Namun pengobatan ini belum memberi perbaikan yang signifikan
terhadap pasien.
G. RIWAYAT SOSIOEKONOMI
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pasien berobat dengan BPJS.
6
SpO2 : 99%
Status Generalis
Kepala : Normocephali, kelainan pada kepala (-)
Rambut : Hitam, distribusi tidak merata dan tidak mudah dicabut
Wajah : Wajah tidak simetris, luka/jaringan parut (-), malar rash (-)
oedem pipi (-)
Mata
Oedem palpebra : (-/-) Visus : tidak dilakukan
Ptosis : (-/-) Lagoftalmos : (+/-)
Sklera ikterik : (-/-) Cekung : (-/-)
Konjungtiva anemis : (-/-) Injeksi : (-/-)
Eksoftalmos : (-/-) Endoftalmos : (-/-)
Strabismus : (-/-) Pupil : bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung (+/+), tidak langsung (+/+)
Telinga
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang +/+ Cairan : -/-
Serumen : -/- Ruam merah : -/-
Membran timpani : sulit dinilai
Refleks cahaya : sulit dinilai
Hidung
Bentuk : Simetris, tidak tampak deviasi
Napas cuping hidung : (-/-)
Mukosa hidung : Hiperemis (-/-)
Sekret : (-/-)
Bibir : Mukosa berwarna merah, kering (-), sianosis (-)
Mulut : Trismus (-), halitosis (-), mukosa gusi dan pipi merah
muda, oral hygiene baik
Lidah : Normoglosia, mukosa merah muda, atrofi papil (-),
tremor (-), coated tongue (-)
7
Tenggorokan : Arkus faring simetris, hiperemis (-), uvula ditengah,
tonsil (T1-T1)
Leher : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran
tiroid maupun KGB, tidak tampak deviasi trakea, tidak
teraba pembesaran tiroid maupun KGB, trakea teraba di
tengah. Buffalo hump (-) JVP 5+3cm
Toraks
Inspeksi : Bentuk dada normal, petechie (-), gerak dinding dada
statis dan dinamis simetris, tipe pernapasan
thorakoabdominal, pulsasi ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : Pernapasan simetris, vokal fremitus simetris, ictus cordis
teraba pada ICS V Midclavicularis sinistra.
Perkusi : Hemitoraks kanan dan kiri sonor, batas paru dan hepar
setinggi ICS VI linea midclavicularis dekstra, batas paru
dan lambung setinggi ICS VIII linea axillaris anterior
sinistra.
Batas jantung kanan setinggi ICS VI linea
midclavicularis dekstra, batas jantung kiri setinggi ICS
VII linea axilla anterior, batas atas jantung setinggi ICS
II linea parasternalis sinistra.
Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Bunyi jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut datar, tidak dijumpai adanya efloresensi pada kulit
perut,kulit keriput (-), venektasi (-), gerak dinding perut
saat bernapas simetris
Auskultasi : Bising usung (+)
Perkusi : Shifting dullness (-),
Palpasi : Supel, defense muscular (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)
Hepar dan lien tidak membesar, ballottement ginjal (-),
undulasi (-), turgor kulit kembali cepat.
8
Genitalia : Jenis kelamin perempuan
Kelenjar getah bening
Preaurikular : Tidak teraba membesar
Postaurikular : Tidak teraba membesar
Submandibula : Tidak teraba membesar
Mentale : Tidak teraba membesar
Supraklavikula : Tidak teraba membesar
Aksila : Tidak teraba membesar
Inguinal : Tidak teraba membesar
Ekstremitas atas dan bawah
Inspeksi : Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang,
edema (-/-) pada ekstremitas bawah, hiperemis (-),
sianosis (-)
Palpasi : Capillary filling time < 2 detik, akral hangat pada keempat
ekstremitas, edema pretibial (-/-), teraba hangat, nyeri
tekan (-).
Kulit
Sawo matang, tidak tampak sianosis, tidak tampak ikterik, tidak
tampak ruam, turgor kulit kembali cepat < 2 detik.
Status Neurologis :
Kesadaran : Compos mentis
Tanda rangsang meningeal
Kaku kuduk : - (negatif)
Brudzinki I : - (negatif)
Brudzinki II : - (negatif)
Laseque : - (negatif)
Kernig : - (negatif)
9
Nervus Kranialis
10
Mengangkat bahu Tidak ada hambatan, normotonus, kekuatan
N XI
Menoleh motorik: 5
Pergerakan lidah Simetris kanan - kiri
N XII
Disartria (-)
Pemeriksaan motorik
Pemeriksaan Extremitas atas Extremitas bawah
Kanan Kiri Kanan Kiri
Atrofi - - - -
Tonus Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus
Gerakan - - - -
involunter
11
IV. RESUME
Ny. H, perempuan, usia 53 tahun datang ke poli saraf RSUD Budhi Asih
dengan keluhan kaku di wajah sebelah kanan sejak 6 hari yang lalu. Kaku di
wajah timbul setelah pasien bangun tidur di pagi hari. Setelah pasien bercermin
didapatkan mulut mencong ke kiri, tidak bisa mengangkat alis kanan, dan mata
kanan tidak bisa berkedip. Keluhan dirasakan setelah pasien terkena AC dan kipas
angin pada muka sebelah kanan sejak 7 hari yang lalu. Keluhan ini bukan yang
pertama kali. Pasien sudah 2 kali mengalami hal yang serupa, yaitu pada tahun
1985 dan 1990. Riwayat DM sejak 1 tahun yll dan tidak berobat secara teratur.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan hipestesia wajah sebelah kanan. Pada
pemeriksaan nervus fasialis, didapatkan pasien tidak dapat mengerutkan dahi
sebelah kanan, terdapat lagoftalmus pada mata kanan, tidak tampak lipatan
nasolabial kanan, dan pipi kanan tidak dapat menggembung dengan kuat.
V. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : Hipestesi wajah dextra, lagoftalmus dextra,
paralisis fasialis grade VI
Diagnosis Topis : Foramen Stylomastoideus
Diagnosis Etiologi : Bell’s palsy
Diagnosis Patologi : Inflamasi
VI. TATALAKSANA
1 Rawat Jalan
2 Lindungi mata
3 Mecobalamin 3x500 mg
4 Gabapentin 2x100 mg
5 Atorvastatin 1x20 mg
6 Fisioterapi konsul Sp.RM
12
VI. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia
13
BAB II
ANALISIS KASUS
Pasien perempuan, usia 53 tahun, datang ke poli saraf RSUD Budhi Asih
untuk memeriksakan keluhan kaku di wajah sebelah kanan sejak 6 hari yang lalu.
Pada kasus ini, usia pasien termasuk dalam usia puncak insidens kejadian
Bell’s palsy. Angka kejadian tertinggi adalah pada usia 15 sampai 45 tahun.
Sedangkan jenis kelamin tidak mempengaruhi kejadian Bell’s palsy.(4)
Pasien sering terkena AC dan kipas angin di muka sebelah kanan. Menurut
penelitian, terdapat inflamasi nervus fasialis. Nervus fasialis adalah nervus
terpanjang dalam tulang, sehingga jika terdapat inflamasi tulang disekitarnya
dapat mengkompresi proses inflamasi tersebut. Tetapi hal ini masih menjadi
perdebatan di banyak penelitian.(6,7)
Pasien memiliki DM yang tidak terkontrol dalam satu tahun terakhir.
Diabetes mellitus, hipertensi dan ibu hamil masa perinatal merupakan faktor
risiko dari Bell's palsy.(3) Namun beberapa penelitian menyatakan bahwa hal-hal
ini kurang signifikan menjadi faktor risiko Bell’s palsy. Hipertensi dan diabetes
mellitus membuat penyembuhan dari Bell’s palsy menjadi lebih lama. Hal ini
disebabkan pada diabetes mellitus sudah terjadi mikroangiopati, sehingga perfusi
ke jaringan perifer menurun. Pada diabetes mellitus terjadi iskemia kronik pada
nervus-nervus perifer dikarenakan kurangnya oksigen pada endoneurial,
kurangnya aliran darah pada nervus, dan terdapat epineural arteriovenous
shunting. Kelainan dari pembuluh darah endoneurial, seperti penebalan membrane
basal dan proliferasi sel endothelial, berkontribusi pada iskemia. Kondisi
hiperglikemia juga menyebabkan cedera secara langsung terhadap nervus dengan
mekanismenya, yaitu meningkatkan stress oksidatif, akumulasi proses glikasi
lanjut, transport aksonal yang rusak, dan kerusakan pada jaras polyol. Hal-hal
tersebut menyebabkan skor pada The House –Brackmann Facial Nerve Grading
System menjadi buruk. Bell’s palsy menjadi salah satu komplikasi dari diabetes
mellitus, yaitu neuropati diabetes.(11,12)
Patologi terjadinya Bell’s palsy merupakan inflamasi dari nervus fasialis
pada ganglion genikulatum. Inflamasi ini menyebabkan kompresi, demyelinasi
dan iskemia nervus fasialis. Hal ini menyebabkan manifestasi klinis yang berbeda
tergantung topis yang terkena.(13,14) Contohnya pada pasien ini, kemungkinan lesi
ada pada foramen stylomastoideus karena manifestasi klinis pasien hanya
kelumpuhan perifer otot-otot ekspresi wajah dan hipestesia wajah tanpa adanya
lakrimasi, gangguan pengecapan ataupun gangguan pendengaran.
15
trigeminus untuk somatosensorik. Hipestesia wajah kanan pada pasien ini karena
serabut somatosensorik juga berjalan melewat ganglion genikulatum dan
mencapai foramen stylomastoideus, sehingga terdapat overlapping inervasi dari
somatosensorik nervus V.(15)
Pada pasien ini, diedukasi untuk melindungi mata kanannya. Karena mata
tidak bisa menutup secara sempurna, mata harus terlubrikasi. Pemberian lubrikan
topikal pada mata baik untuk menghindari adanya keratopati. Biasanya diberikan
air mata buatan pada siang hari dan salep lubrikan pada malam hari. Memakai
patch atau menggunakan micropore dengan tujuan agar mata menutup saat malam
hari, juga membantu mengurangi lesi erosi pada kornea.(16)
Pada pasien diberikan kortikosteroid yaitu metilprednisolon pada saat hari
pertama pasien merasakan keluhan dengan dosis 3x8mg. Pada saat datang ke
poliklinik Saraf RS Budhi Asih, pasien sudah meminumnya selama 7 hari. Tujuan
pemberian kortikosteroid ini untuk meminimalisir kerusakan pada nervus dan
meningkatkan prognosis menjadi lebih baik dengan tingkat pemulihan yang lebih
cepat. Pengobatannya dimulai dengan dosis 60mg per hari selama 5 hari.
Kemudian dilakukan tapering off 5 hari selanjutnya 10mg per hari. Pemberiannya
dibagi menjadi 50mg – 50mg dengan total pemberian 10 hari. Pemberian
kortikosteroid harus dimulai pada onset 72 jam jika tidak ada kontraindikasi
pemberian kortikosteroid.(14,17) Menurut penelitian, pada pasien yang memiliki
diabetes mellitus, terapi kortikosteroid masih menjadi perdebatan.(11,18) Bayram
Ali et al mengatakan bahwa tanpa terapi kortikosteroid, penyembuhan paralisis
fasialis pada pasien Bell’s palsy dengan diabetes mellitus lebih baik dengan syarat
pemantuan kadar gula darah harus normal dan stabil.(19)
Ada perdebatan tentang pemberian antivirus. Karena ada beberapa peneliti
menyebutkan bahwa virus HSV-1 adalah etiologi dari Bell’s palsy. Para ahli
mengatakan bahwa antivirus tidak bermanfaat jika digunakan tunggal. Kombinasi
dari antivirus dan kortikosteroid atau medikasi dengan kortikosteroid tunggal
lebih meningkatkan prognosis pemulihan Bell’s palsy. Biasanya diberikan
acyclovir 5x400mg per hari selama 7 hari atau valacyclovir 3x1gr selama 7
hari.(2,8)
16
Mecobalamin 3x500 mg diberikan pada pasien ini. Tujuan pemberian
mecobalamin karena dapat membantu dalam sintesis selubung myelin, regenerasi
saraf axonal dan bersifat neuroprotektif.(20) Pemberian gabapentin pada pasien ini
adalah untuk neuropati DM pasien. Gabapentin sebagai analog neurotransmitter
GABA yang bekerja langsung pada otot. GABA akan bekerja menginhibisi
eksitatori.
Pada pasien ini, dikonsulkan ke rehab medik untuk menjalani fisioterapi.
Terapi non medikamentosa ini masih menjadi kontroversial. Ada sebuah konklusi
yang menyatakan belum ada bukti yang nyata fisioterapi wajah dapat
meningkatkan fungsi dari otot-otot wajah. Fisioterapi yang dilakukan lebih awal
dapat menurunkan recovery time, menyebabkan paralisis jangka panjang dan
meningkatkan banyak kasus-kasus kronik.(21) Hal ini juga dinyatakan oleh
Almeida et al, bahwa efek fisioterapi wajah sangat minimal terhadap perbaikan
fungsi wajah.(8) Tetapi menurut Kumar dan Bagga, teknik neuromuscular
retaining dan proprioceptive neomuscular facilitation dapat mengurangi asimetri
wajah dan meningkatkan fungsi motoriknya setelah mendapatkan fisioterapi
selama 4 minggu dengan syarat setelah fase akut telah selesai, yaitu 5-7 hari
setelah onset pertama.(22)
Pasien ini sudah mengalami rekurensi sebanyak 2 kali sejak pertama kali
pasien mengalaminya. Rekurensi terjadi pada 2-9% kasus. Biasanya 70% pasien
rekurensi pertama timbul saat 10 tahun pertama.(23) Perbandingan prevalensi
rekurensi ipsilateral dan kontralateral dari Bell’s palsy pertama adalah 2:1.
Rekurensi ipsilateral biasanya memberikan prognosis yang jauh lebih buruk
dibanding kontralateral.(9,10) Rekurensi ipsilateral maupun kontralateral
menandakan bahwa mungkin ada penyakit serius yang mendasarinya. Tumor
ditemukan pada 30% kasus rekurensi ipsilateral paralisis fasial. Ada juga yang
mengatakan, keterlibatan dari nervus kranialis adalah tanda dari neuro-meningeal
limpoma. Diabetes mellitus meningkatkan resiko dari rekurensi Bell’s palsy.(23)
Prognosis pasien Bell’s palsy bisa diperiksa dengan EMG. EMG dapat
memberitahu apakah otot-otot wajah yang dipersarafi masih bisa melakukan
fungsinya atau tidak.(24)
17
DAFTAR PUSTAKA
18
13. Warner MJ, Dulebohn SC. Bell’s Palsy. USA: StatPearls Publishing LLC.
2018.
14. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Edisi 4. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2016. 151-2.
15. Goldberg S. Clinical Neuroanatomy: Made Ridiculously Simple. Miami:
MedMaster Inc. 1989. 29
16. Alsuhaibani AH. Facial Nerve Palsy: Providing Eye Comfort and Cosmesis.
Middle East African Journal of Opthalmology 2010. 17(2). 142-7
17. Murthy JMK, Saxena AB. Bell’s palsy: treatment guidelines. Annals of Indian
Academy of Neurology 2011. 14(Suppl1). S70-72.
18. Kanazawa A, Haginomori S, Takamaki A, Nonaka R, Araki M, Takenaka H.
Prognosis for Bell’s palsy: a comparison of diabetic and nondiabetic patients.
Acta Otolaryngol 2007;127:888–91
19. Bayram A, Sahin M, Dogan M, Mutlu C. Do diabetic patients with Bell’s
Palsy benefit from corticosteroids?. J ENT Updates 2017. 7(3). 149-53
20. Gupta JK and Sana QS. Potential Benefits of Methylcobalamin: A
Review.Department of Pharmacology, GLA University Mathura, India. 2015.
1-4.
21. Somasundara D, Cheesbrough GF. Management of Bell’s Palsy. J Ausst
Pressor 2017. 40(3). 94-7
22. Kumar C, Bagga TK. Comparison between Proprioceptive Neomuscular
Facilitation and Neuromuscular Re-Education for Reducing Faxial Disability
and Synkinesis in Patients with Bell’s Palsy: A Randomized Clinical Trial. Int
J PhysMed Rehabil 2015. 3(4)
23. Baloğlu HH, Savaş S, Süslü FE, Tüz M. Recurrent Idiopathic Facial Paralysis:
A Case Report. Turk J Rheumatol 2010. 25(3). 162-4
24. Mannarelli G, Griffin GR, Kileny P, Edwards B. Electrophysiological
measures in facial paresis and paralysis. J Operative Techniques in
Otolaryngology 2012. 23(4). 236-47
19