Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
• Dermatitis kontak iritan atau DKI merupakan peradangan pada kulit akibat efek sitotosik langsung dari bahan
kimia, fisik, atau agen biologis pada sel-sel epidermis tanpa adanya produksi dari antibodi spesifik.
• Dibagi kepada akut dan kronis
• Pekerjaan mempengaruhi risiko DKI
• Perempuan > Laki-laki
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
• Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah inflamasi pada kulit, akibat respons terhadap pajanan bahan iritan,
fisik, atau biologis yang kontak pada kulit, tanpa dimediasi oleh respons imunologis.
• Terdapat sepuluh subtipe.
Etiologi
• Faktor iritan
• Pencetus DKI adalah bahan yang bersifat iritan (bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif,
enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan kimia higroskopik)
• Ukuran molekul, daya larut, konsentrasi, vehikulum, serta suhu iritan, lama kontak, adanya oklusi, kekerapan, gesekan dan trauma
fisis.
• Faktor lingkungan
• Suhu dan kelembapan
• Ketebalan kulit, usia, ras, jenis kelamin, penyakit kulit yang sedang atau yang pernah dialami.
Epidemiologi
• Banyak kerana pekerjaan, angka sebenar sulit diketahui.
• Di Amerika, DKI sering terjadi pada pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan
berulang pada kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya.
• pembantu rumah tangga, pelayan rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut.
• Prevalensi dermatitis tangan karena pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di intensive care unit dan 69,7%
pada pekerja yang sering terpapar (dilaporkan dengan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap pergantian).
• Di Indonesia, dermatitis kontak melingkupi 50% dari seluruh penyakit kulit okupasional, yang banyaknya
disebabkan oleh iritan.
• Di Bali, berdasarkan penelitian Efek Sampiing Kosmetik pada Pekerja Salon Kecantikan di Denpasar
mencatat 39 pekerja (18,2%) yang mengalami DKI dari 214 pekerja salon.
Faktor Risiko
Patogenesis
• Adanya pajanan langsung terhadap kulit oleh satu atau lebih bahan iritan.
• Kerusakan dapat terjadi pada membran lipid keratinosit  mengaktifkan phospolipase  dikeluarkannya
asam arakidonat dan pembentukan eicosanoids.
• merangsang keluarnya berbagai macam sel inflamasi seperti sitokin.
• Eicosanoids mengaktifkan limfosit T yang merupakan chemoattractant bagi limfosit dan neutrofil.
• Temperatur yang tinggi dan kelembaban lingkungan yang rendah  hiperhidrasi kulit (kulit semakin rentan
terhadap iritasi dan dapat terbentuk eritema dan fisura yang terasa nyeri)
• Dermatitis atopi serta pasien dengan ulkus dan eksem, mempunyai risiko tinggi untuk menjangkit DKI.
Manifestasi Klinis
Akut
• Nekrosis hingga dehidrasi dan kemerahan.
• Kontak yang berulang-ulang dengan zat iritan sepanjang hari akan menimbulkan fissura pada kulit (chapping
reaction), yaitu berupa kekeringan dan kemerahan pada kulit.
• Rasa gatal dapat pula menyertai keadaan ini, tetapi yang lebih sering dikeluhkan pasien adalah rasa nyeri
pada bagian yang mengalami fissure.
• Cepat hilang jika pencetus nya tidak ada.

Kronis
• Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal dan terjadi likenifikasi, batas
kelainan tidak tegas.
• Kontak terus berlangsung  retak kulit (fisura).
• Adakalanya kelainan hanya berupa kulit kering dan skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita.
• Setelah kelainan dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian
Diagnosis
1) Anamnesis
• Basic 4 Sacred 7
• Gejala utama (nyeri, gatal, eritema, rasa terbakar, menyengat, dan ketidak nyamananan), onset
gejala, riwayat alergi, riwayat pekerjaan, riwayat terpapar faktor iritan, dan riwayat
pengobatan.
2) Pemeriksaan fisik
• Efloresensi kulit (makula eritema berbatas tegas, hyperkeratosis, fisura, vesikel, penampilan
epidermis yang mengkilap, kering atau melepuh).
3) Pemeriksaan penunjang
• Tes tempel
• Refrectance Confocal Microscopy
Diagnosis Banding
• Dermatitis atopik
• Dermatitis Kontak Alergi
• Eczema Dishidrotik

Penatalaksanaan
• Kortikosteroid dalam sediaan losyen atau krim (hidrokortison 2,5% dan flucinolol asetonide
0,025%.).
• Pemberian salep pelembap apabila pada efloresensi ditemukan likenifikasi dan hyperkeratosis
• Antibiotik topikal diberikan pada kasus yang terdapat tanda infeksi staphylococcus aureus dan
streptococcus beta hemolyticus.
• Pengobatan sistemik (Mengurangi rasa gatal pada kasus dermatitis berat)
• Kortikosteroid oral (prednisone dan metilprednisolon - dosis awal pemberian prednisone 30 mg pada hari
pertama, kemudian diturunkan secara berkala sebanyak 5 mg setiap harinya)
• Antihistamin diberikan untuk mendapatkan efek sedatif guna mengurangi gejala gatal, dosis dan jenis
antihistamin yang diberikan ialah CTM 4 mg 3-4 kali sehari.
Prognosis
• Akut  prognosis sangat bergantung pada kemampuan menghindari bahan iritan penyebab.
• Kronis  diakibatkan pekerjaan, keluhan dapat bertahan hingga 2 tahun walaupun sudah berganti pekerjaan.

Komplikasi
• DKI meningkatkan risiko sensitisasi pengobatan topical.
• Lesi kulit bisa mengalami infeksi sekunder, khususnya oleh Stafilokokus aureus.
• Neurodermatitis sekunder (liken simpleks kronis).
• Hiperpigmentasi atau hipopigmentasi post inflamasi pada area terkena DKI.
• Jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif atau ekskoriasi

Edukasi
• Mengenai prognosis, informasi mengenai penyakit, serta perjalanan penyakit yang akan lama.
• Mengenai penggunaan alat pelindung diri yang sesuai dengan jenis pekerjaan, bila dermatitis berhubungan dengan kerja.
• Mengenai perawatan kulit sehari-hari dan penghindaran terhadap iritan yang dicurigai.

Anda mungkin juga menyukai