Anda di halaman 1dari 19

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi kasus
1. Definisi

Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif,

non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema

jinak pada bagian nerveus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit

proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh tanpa

pengobatan. Bell’s palsy hampir selalu unilateral dan jarang sekali bilateral.

Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah sesisi ( Sidharta, 1999).

Menurut Lee (1990), Bell’s palsy adalah lesi perifer unilateral akut dari

nervus ke 7 yang sering kali disebabkan karena penekanan yang dikibatkan dari

peradangan saraf di dalam kanalis fasialis.

Istilah Bell’s palsy biasanya digunakan untuk kelumpuhan nervus VII jenis

perifer yang timbul secara akut yang penyebabnya belum diketahui, tanpa adanya

kelainan neurologik lain. Pada sebagian besar penderita Bell’s palsy kelumpuhan

akan sembuh total, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya

sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini dapat berupa kontraktur,

sinkinesia atau spasme spontan (Lumbantobing, 2006).

2. Anatomi fungsional

Nervus fasialis adalah saraf otak ke VII yang keluar dari permukaan lateral

batang otak sebagai gabungan antara nervus fasialis dan nervus intermedius.
6

Keduanya berjalan melalui meatus akustikus internus. Meatus akustikus internus

adalah bagian paling dalam dari kanalis fasialis yang terdapat di os petrosium

yang berakhir di stilomastoideus. Dari meatus akustikus internus menuju ke genu

kanalis fasialia (bagian dari kanalis fasialis) nervus fasialis berjalan bersama-

sama nervus oktavus (saraf yang menghantarkan impuls pendengaran dan

keseimbangan ke medula oblongata). Kemudian serabut-serabut dari nervus

fasialis dalam perjalanan ke perifer mengikuti khorda timpani dan nervus

lingualis untuk menyampaikan impuls kepada ganglion submandibularis di dalam

mulut untuk mensarafi glandula saliva (kelenjar ludah). Setelah itu pada foramen

stilomastoideus, nervus fasialis meninggalkan tengkorak untuk menuju otot-otot

wajah (Sidharta, 1999).

Nervus VII terbagi menjadi 3 percabangan saraf yaitu : (1) n.

ophytalmicus akan mensarafi daerah dahi, palpebra superior, conjunctiva, dan sisi

hidung sampai ke ujungnya, (2) n. maxillaris yang akan mensarafi kulit bagian

posterior sisi hidung, palpebra inferior, pipi, bibir atas, dan sisi lateral orbita, (3)

n. mandibularis mensarafi kulit bibir bawah, wajah bagian bawah, daerah

temporal dan sebagian auricular (Snell, 1997).

Nervus fasialis bercabang-cabang dan mensarafi otot-otot wajah. Otot-otot

tersebut dapat dilihat pada gambar 2.2


7

Gambar 2.1

Perjalanan nervus fasialis (Kartika, 2008)


8

Gambar 2.2

Otot-otot wajah yang disarafi oleh nervus VII (Putz, 2005)

Keterangan gambar 2.2 :

1. M. frontalis 7. M. Zygomaticum mayor


2. M. Corrugator supercili 8. M. Zygomaticum minor
3. M. Procerus 9. M. Orbicularis oris
4. M. Orbicularis oculi 10. M. Buccinator
5. M. Nasalis 11. M. Mentalis
6. M. Depresor anguli oris 12. M. Platysma

TABEL 2.1

OTOT-OTOT WAJAH YANG DISARAFI OLEH NERVUS VII


9

No Nama otot Origo Insertion Fungsi Persarafan


1 M. Frontalis Margo supra Galea Mengangkat N.
orbitalis oponeurotika alis Temporalis
2 M. Corrugator Os. Frontalis, Pars Kulit alis Mendekatkan N.
supercili nasalis mata kedua Zigomaticu
pangkal alis m, N.
Temporalis
3 M. Procerus Tulang dorsumnasi Kulit glatella Mengernyitk N.
an hidung Zigomatiku
m, N.
Temporalis,
N. Buccal
4 M. Orbicularis Maxilla, Procesus Disekeliling Menutup N. fasialis,
occuli frontalis, Sudut mata aditur orbitae kelopak mata N.
bagian medial Temporalis,
N.
Zigomatikus
5 M. Nasalis Diatas akar Tendo di atas Mengembang N. Fasialis
denscaninus hidung kan caping
hidung
6 M. Depresor Dasar mandibula Angulus oris Menarik N. Fasialis
angulioris dan labrium ujung mulut
inferior ke bawah
7 M. Os. Zigomaticum Angulus oris Tersenyum N. Fasialis
Zigomaticum facies lateralis
mayor
8 M. Os. Zigomaticum Angulus oris Tersenyum N. Fasialis
Zigomaticum facies lateralis
minor
9 M. Orbicularis Pars marginalis dan Bagian utama Bersiul N. Fasialis,
oris Pars labialis sebelah bibir N.
lateral angulus oris Zigomatiku
m
10 M. Buccinator Bagian belakang Angulus oris Meniup N. Fasialis,
Proc Alveolaris ambil N.
maxillae, Raphe menutup Zigomatiku
pterygomandibularis mulut m, N.
bagian belakang Buccal
Proc alveolare
mandibulare
11 M. Mentalis Jugum alveolare, Kulit dagu Mengangkat N. Fasialis,
gigi seri lateral dagu N. Buccal
12 M. Platysma Basis mandibulae, Kulit di Meregangkan N. Fasialis
Fascia parotidea bawah kulit leher
clavicula,
Fascia
pectoralis
(Putz, 2005).

3. Etiologi
10

Secara pasti etiologi Bell’s palsy belum diketahui, menurut Thamrinsyam

(1991) ada beberapa teori yang berhubungan dengan etiologi Bell’s palsy, antara

lain:

a. Teori ischemia vaskuler

Nervus facialis dapat menjadi lumpuh (parese/paralise) secara tidak

langsung karena gangguan sirkulasi darah di kanalis falopii. Kerusakan yang

ditimbulkan oleh tekanan pada saraf perifer, terutama berhubungan dengan oklusi

dari pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut, tidak karena akibat tekanan

langsung pada sarafnya.

b. Teori herediter

Dikatakan bahwa Bell’s palsy bersifat herediter, hal ini berhubungan

dengan adanya kelainan anatomis canalis fasialis yang kecil pada suatu keluarga

sehingga merupakan predisposisi untuk terjadinya paresis facialis.

4. Patologi

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi

akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen

stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun

demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis

bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh (Djamil dikutip oleh Harsono,

1996).

Karena proses yang dikenal awam sebagai masuk angin atau dalam bahasa

Inggris cold, nervus fasialis bisa sembab. Karena itu nervus fasialis terjepit di

dalam foramen stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan fasialis Lower


11

Motor Neuron (LMN). Kelumpuhan tersebut dinamakan Bell’s palsy. Bagian atas

dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh dan dahi tidak dapat dikerutkan.

Fisura palpebra tidak dapat ditutup dan saat memejamkan bola mata terlihat bola

mata terbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat, bibir tidak bisa dicucurkan

dan pada platisma tidak bisa digerakan (Sidharta, 1999).

Sebagaimana saraf perifer lainnya, proses patologi pada kasus Bell’s palsy

yang sesuai dengan tingkat kerusakan saraf perifer adalah (1) neuropraksia, yaitu

suatu paralysis dimana saraf hanya tertekan sehingga terjadi hambatan aliran

impuls, tanpa kerusakan atau degenerasi pada akson dan selubung myelin.

Sehingga apabila tekanan ini hilang maka fungsi saraf akan kembali sempurna

dengan cepat. Keadaan ini sering disebut dengan blockade aksonal fisiologik.

Disini ketiga unsur serabut saraf (akson, selubung myelin dan neurilema) tidak

mengalami kerusakan, (2) aksonotmesis, yaitu suatu paralysis dimana saraf

mengalami penekanan yang cukup kuat sehingga akson disebelah distal lesi akan

mengalami kematian atau degenarasi, pada kondisi ini yang mengalami kerusakan

hanya aksonnya saja sedangkan selubung myelinnya masih utuh, (3) neurotmesis,

yaitu suatu paralysis dimana seluruh batang saraf terputus, pada kondisi ini

seluruh unsur serabut saraf di distal lesi mengalami kerusakan (Thamrinsyam,

1991).

5. Tanda dan gejala klinis

Tanda dan gejala Bell’s palsy tergantung letak atau tempat lesi. Pada

penderita Bell’s palsy sisi yang lesi akan menunjukan tanda dan gejala klinis
12

sebagai berikut: (1) Hilangnya ekspresi fasial, (2) Hilangnya kemampuan untuk

menutup mata, (3) Hilangnya kemampuan untuk mengerutkan bibir atau menarik

sudut mulut, (4) Hilangnya kemampuan untuk mengembungkan pipi pada waktu

mengunyah dan bernapas, (5) Hilangnya rasa pada lidah 2/3 bagian anterior bila

lesi terjadi dibagian proksimal dari kanalis fasialis (Lee, 1990).

Pada awalnya penderita merasakan ada kelainan dimulut pada saat bangun

tidur, menggosok gigi, minum atau berbicara. Mulut tampak mencong terlebih

pada saat meringis kelopak mata tidak dapat dipejamkan, ketika penderita diminta

untuk menutup kelopak matanya maka bola mata tampak terputar keatas (tanda

Bell). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum

maka air akan keluar melalui sisi mulut yang lumpuh (Djamil dikutip oleh

Harsono, 1999).

6. Komplikasi
Komplikasi umum yang sering terjadi pada kasus Bell’s palsy, antara lain:
a. Sinkinesia

Sinkinesia merupakan gerakan asosiasi yang terjadi secara involunter

karena regenerasi serabut saraf mencapai serabut otot yang salah. Pada kondisi ini

otot tidak dapat digerakkan satu per satu, sebagai contoh bila pasien disuruh

memejamkan mata maka otot orbicularis oris pun ikut berkontraksi dan sudut

mulut terangkat (Lumbantobing, 2006).

b. Kontraktur

Kontraktur dapat terlihat jelas pada wajah saat berkontraksi, keadaan ini

ditandai dengan lebih dalamnya lipatan nasobial dan lebih rendahnya alis mata sisi

yang lesi bila di banding dengan sisi yang sehat (Lumbantobing, 2006).
13

c. Sindroma air mata buaya

Sindroma air mata buaya adalah gejala sisa dari paralisis Bell, beberapa

bulan setelah parese yang ditandai dengan keluarnya air mata dari mata yang

mengalami lesi saat penderita makan. Nervus fasialis menginervasi glandula

lakrimalis dan glandula salivarius submandibularis. Pada kondisi normal serabut

otonom seharusnya menuju ke kelenjar saliva, namun karena regenerasi yang

salah serabut otonom menuju ke kelenjar lakrimalis (Djamil dikutip oleh Harsono,

1996).

7. Prognosis

Bell’ palsy merupakan penyakit tidak berbahaya, namun kebanyakan

pasien merasa cukup terganggu, terutama pada penampilan wajah yang menjadi

berubah. Antara 80-85% penderita akan sembuh sempurna dalam jangka waktu 3

bulan. Paralisis ringan atau sedang pada saat awal terjadinya Bell’s palsy

merupakan tanda prognosis baik. Denervasi otot-otot wajah sesudah 2-3 minggu

menunjukkan bahwa terjadi degenerasi aksonal dan hal demikian ini menunjukkan

pemulihan yang lebih lama dan tidak sempurna (Djamil dikutip oleh Harsono,

1996).

Pulihnya daya pengecapan lidah dalam waktu 14 hari pasca awal

terjadinya Bell’s palsy biasanya berkaitan dengan pulihnya paralisis secara

sempurna. Apabila lebih dari 14 hari maka hal tersebut menunjukkan prognosis

yang buruk (Djamil dikutip oleh Harsono, 1996).

8. Diagnosis banding
14

Menurut Sidharta (1999) untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy kita

harus mengetahui beberapa kondisi yang dapat menjadi diagnosis banding untuk

kasus ini, yaitu:

a. Herpes Zoster Otikus

Terjadi infeksi herpes zoster pada ganglion genikuli. Dapat mengakibatkan

rasa nyeri di muka dan telinga serta paresis fasialis. Gambaran penyakit ini

dikuasai seluruhnya oleh adanya gelembung herpes di daun telinga. Beberapa hari

setelah vesikel-vesikel tersebut timbul, tanda-tanda paresis fasialis perifer dan

tinitus serta tuli perseptif dapat dijumpai pada sisi ipsilateral juga.

b. Otitis Media Supurativa dan mastoiditis

Otitis Media bisa menyebabkan paresis fasialis apabila terjadi kerusakan

tulang yang mendidingi kanalis fasialis. Dan keadaan ini selalu menimbulkan

nyeri di dalam kepala.

c. Trauma

Trauma juga dapat menimbulkan paresis fasialis, hal ini terutama terjadi

pada kondisi trauma capitis, yang hampir selamanya mengenai kanalis fasialis,

yaitu fraktur os temporal yang tidak selalu dapat diperlihatkan oleh foto rongent.

Perdarahan dan likwor mengiringi paresis fasialis perifer traumatik.

d. Facial palsy tipe sentral

Pada kelumpuhan wajah tipe ini terlihat jelas bahwa otot-otot bagian

bawah tampak lebih lumpuh dari pada bagian atasnya. Sudut mulut sisi yang lesi
15

terlihat lebih rendah, lipatan nasolabial sisi yang lumpuh lebih mendatar, otot

wajah bagian dahi tidak menunjukkan kelemahan yang berarti selain itu juga tidak

dijumpai adanya tanda dari bell.

B. Problematik fisioterapi

Problematika fisioterapi yang dijumpai pada pasien dengan kondisi Bell’s

palsy adalah: (1) Impairment, (2) Functional limitation, (3) Participation

restriction.

1. Impairment

Impairment yang sering terjadi pada kondisi Bell’s palsy adalah adanya

asimetris pada wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi yang lesi, adanya

penurunan kekuatan otot wajah pada sisi yang lesi , potensial terjadi spasme dan

perlengketan jaringan, dan potensial terjadi iritasi pada mata sisi yang lesi.

2. Functional limitation

Adanya ganguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah, seperti menutup

mata (mata tidak rapat pada sisi yang lesi), berkumur, mengunyah, makan

(makanan terkumpul pada sisi yang lesi ) dan minum, gangguan bicara dan

adanya gangguan ekspresi.

3. Participation restriction.

Pasien cenderung menarik diri dari pergaulan dan lingkungan karena

kurang percaya diri.


16

C. Teknologi intervensi fisioterapi


1. Infra Red (IR)

Infra red adalah pancaran gelombang elektromaknetik dengan panjang

gelombang 7700 – 4 juta A. Klasifikasi infra red berdasarkan panjang

gelombang : (1) Gelombang panjang (non penetrating), adalah panjang

gelombang diatas 12.000 A sampai dengan 150.000 A. Daya penetrasi sinar ini

hanya sampai pada lapisan superfisial epidermis, yaitu sekitar 0,5 mm, (2)

gelombang pendek (penetrating), adalah gelombang yang dengan panjang

gelombang antara 7.700 – 12.000 A. Daya penetrasi lebih dalam dari yang

gelombang panjang, yaitu sampai jaringan subcutan kira-kira dapat

mempengaruhi secara langsung terhadap pembuluh darah kapiler, pembuluh

lymphe, ujung-ujung saraf dan jaringan – jaringan lain di bawah kulit (Sujatno,

dkk, 1993).

Pada dasarnya generator infra red dibagi menjadi dua jenis yaitu generator

non luminous dan luminous, yang mana perbedaan antara kedua jenis generator

tersebut terletak pada jenis sinar yang terkandung pada tiap generator. Perbedaan

kandungan sinar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (1) generator non

luminous, yaitu generator yang hanya terdiri dari sinar infra red saja sehingga

pengobatan menggunakan jenis ini sering disebut “infra red radiation” dan (2)

generator luminous, yaitu generator yang disamping mengandung infra red,

generator ini juga terdiri dari sinar ultra violet, pengobatan dengan menggunakan

generator jenis ini sering disebut sebagai “radiant heating” (Sujatno, dkk, 1993).

a. Metode aplikasi
17

Pada dasarnya metode pemasangan IR dapat diatur sedemikian rupa

sehingga sinar yang berasal dari lampu jatuh tegak lurus terhadap daerah yang di

terapi, hal ini berlaku untuk penggunaan lampu baik jenis luminous maupun non

luminous. Pada kondisi Bell’s palsy IR dapat diaplikasikan pada wajah sisi lesi

dan daerah sekitar foramen stilomastoideus selama 15 menit. Jarak pemasangan

pada lampu luminous antara 35-45 cm sedangkan untuk pemasangan jenis non

luminous antara 45-60 cm. Namun jarak ini bukan merupakan jarak yang mutlak

diberikan karena jarak pemasangan lampu masih dipengaruhi oleh toleransi pasien

dan besarnya watt lampu (Sujatno, dkk, 1993).

b. Efek fisiologis

Pengaruh fisiologis sinar infra red, jika diabsorbsikan ke kulit maka kulit

akan timbul pada tempat dimana sinar tadi diabsorbsi. Pengaruh lainnya antara

lain :

1) Meningkatkan proses metabolisme

Proses metabolisme terjadi pada lapisan superficial kulit akan meningkat

sehingga pemberian oksigen dan nutrisi kepada jaringan lebih diperbaiki, begitu

juga pengeluaran sampah-sampah pembakaran.

2) Vasodilatasi pembuluh darah

Dilatasi pembuluh darah kapiler dan arteriole akan terjadi segera setelah

penyinaran, sehingga kulit akan segera tampak kemerah-merahan tetapi tidak

merata, berkelompok-kelompok atau bergaris-garis. Mekanisme vasomotor

mengadakan reaksi dengan jalan pelebaran pembuluh darah sehingga sejumlah

panas dapat diratakan keseluruh jaringan melalui sirkulasi darah. Dengan sirkulasi
18

darah yang meningkat maka pemberian nutrisi dan oksigen ke jaringan akan

ditingkatkan, dengan demikian kadar sel darah putih dan anti bodies di dalam

jaringan akan meningkat. Dengan demikian pemeliharaan jaringan menjadi lebih

baik dan perlawanan terhadap agen penyebab proses radang juga semakin baik.

3) Pigmentasi

Pigmentasi dapat terjadi karena adanya perusakan pada sebagian sel-sel

merah ditempat tersebut.

4) Pengaruh terhadap jaringan otot

Kenaikan temperatur disamping membantu menjaga rileksasi juga akan

meningkatkan kemampuan otot untuk berkontraksi. Hal ini dapat terjadi karena

pemanasan akan mengaktifkan terjadinya pembuangan sisa-sisa hasil metabolisme

(Sujatno, dkk, 1993).

5) Destruksi jaringan

Hal ini dapat terjadi apabila penyinaran yang diberikan menimbulkan

kenaikan temperatur jaringan yang cukup tinggi dan berlangsung dalam waktu

yang lama sehingga diluar toleransi jaringan penderita (Sujatno, dkk, 1993).

6) Meningkatkan kerja kelenjar keringat

Pengaruh rangsangan panas yang dibawa ujung-ujung saraf sensoris dapt

mengaktifkan kerja kelenjar keringat pada daerah jaringan yang diberikan

penyinaran (Sujatno, dkk, 1993).

c. Efek terapeutik
19

Pengaruh terapeuti dari sinar infra red secara garis besar dapat disebutkan

sebagai berikut: (1) mengurangi rasa sakit, (2) rileksasi otot, (3) meningkatkan

suplai darah, (4) menghilangkan sisa-sisa hasil metabolisme (Sujatno, dkk, 2002).

d. Indikasi

Infra Red dapat diberikan pada kondisi-kondisi sebagai berikut: (1)

kondisi peradangan setelah sub akut, (2) arthritis, (3) gangguan sirkulasi darah, (4)

penyakit kulit.

e. Kontra indikasi

Kontra indikasi dari sinar Infra Red antara lain: (1) luka bakar, (2) elektrik

shock, (3) meningkatnya keadaan gangren, (4) pusing/sakit kepala, (5) demam, (6)

kerusakan pada mata (Sujatno, dkk, 1993).

2. Massage

Pada kondisi Bell’s palsy otot-otot wajah pada umumnya terulur ke arah

sisi yang sehat, keadaan ini dapat menyebabkan rasa kaku pada wajah sisi yang

sakit. Sehingga dengan pemberian massage pada kasus Bell’s palsy bertujuan

untuk merangsang reseptor sensorik dan jaringan subcutaneus pada kulit sehingga

memberikan efek rileksasi dan dapat mengurangi mengurangi rasa kaku pada

wajah (Tappan, 1988).

a. Teknik-teknik massage pada wajah


20

Teknik - teknik massage yang biasa diberikan pada otot-otot wajah, antara

lain (1) stroking, (2) euffleurrage, (3) finger kneading, dan (4) tapotement

(Tappan, 1988).

Stroking adalah manipulasi gosokan yang ringan dan halus tanpa adanya

penekanan, dan biasanya digunakan untuk meratakan pelicin.

Euffleurrage adalah manipulasi gosokan dengan penekanan yang ringan

dan halus dengan menggunakan ujung jari-jari tangan, sebaiknya diberikan dari

dagu menuju ke tengah dahi kemudian kebawah menuju ke telinga. Ini harus

dikerjakan dengan lembut dan menimbulkan rangsangan pada otot-otot wajah.

Finger kneading adalah pijatan jari-jari tangan yang dilakukan dengan cara

melingkar dan disertai dengan tekanan ringan pada kulit wajah. Pijatan ini

diberikan pada seluruh otot-otot wajah sisi yang lesi dengan arah gerakan menuju

ke telinga.

Tapotement adalah manipulasi yang diberikan dengan tepukan yang ritmis

dengan kekuatan tertentu, untuk daerah wajah terutama pada sisi lesi. Pada kasus

Bell’s palsy salah satu tekhnik tapotement yang diberikan adalah tapping. Tapping

merupakan suatu gerakan memukul-mukul wajah pada sisi yang lesi dengan

ujung-ujung jari secara ringan dengan cepat dan berirama.

b. Aplikasi massage pada wajah

Massage dilakukan selama 5-10 menit, 2-3 kali sehari, massage ini

berguna untuk menjaga tonus otot pada otot-otot yang sisi lesi maupun sisi sehat.

Massage dilakukan dengan perlahan-lahan kearah atas dan kesamping (kearah

telinga) pada otot yang terkena (Chusid, 1990).


21

Gambar 2.3

Arah gerakan massage pada wajah menurut Tappan (1988).

b. Efek-efek pemberian massage

Efek-efek fisiologis dari pemberian massage : (1) membantu metabolisme,

(2) mencegah terjadinya venostasis, (3) membantu mengurangi bengkak (Tappan,

1988).

Efek-efek mekanis pemberian massage antara lain, (1) membantu aliran

darah vena, (2) membantu aliran limfe, (3) mengulur dari jaringan superficial, (4)

menghilangkan jaringan parut pada daerah subcutan dengan metode friction yang

dilakukan dengan hati-hati (Tappan, 1988).

c. Indikasi pemberian massage

Beberapa kondisi yang merupakan indikasi pemberian massage, antara

lain: (1) kasus-kasus yang memerlukan rileksasi otot, (2) kasus-kasus oedema

(bengkak) pada kondisi pasca operasi, (3) kasus-kasus yang memerlukan

perbaikan sirkulasi darah.

d. Kontra indikasi pemberian massage

Beberapa kondisi yang merupakan kontra indikasi pemberian massage,

antara lain (1) penyakit yang penyebarannya melalui kulit, limfe dan pembuluh
22

darah, (2) daerah perdarahan, (3) daerah dengan gangguan sensibilitas, (4)

penyakit dengan gangguan sistem kekebalan tubuh, (5) penyakit-penyakit dengan

gangguan sirkulasi, seperti arytmia cordis, tromboplebitis, artherosclerosis berat

dan vena varicose berat (Tappan, 1988).

3. Mirror Exercie

Mirror exercise merupakan salah satu bentuk terapi latihan menggunakan

cermin yang pelaksanaannya menggunakan latihan gerakan-gerakan pada wajah

baik secara aktif maupun pasif. Pada kondisi Bell’s palsy, latihan yang dilakukan

didepan cermin akan memberikan biofeedback, yang dimaksud dengan

biofeedback disini adalah mekanisme kontrol suatu sistem biologis dengan

memasukkan kembali keluaran yang dihasilkan dari sistem biologis tersebut,

dengan tujuan akhir untuk memperoleh keluaran baru yang lebih menguntungkan

sistem tersebut (Widowati, 1993).

Jenis-jenis latihannya yaitu melatih gerakan-gerakan pada wajah, antara

lain: (1) mengangkat alis, (2) menutup mata, (3) tersenyum, (4) bersiul, (5)

menutup dan membuka mulut, (6) menarik sudut mulut kesamping kanan maupun

kiri, (7) mengembang kempiskan cuping hidung. Setiap gerakan dilakukan 10 kali

pengulangan dalam sekali latihan.

Tujuan terapi latihan pada otot wajah adalah untuk menormalkan gerakan

otot wajah, meningkatkan pola gerakan simetris wajah, meningkatkan gerakan

yang disadari wajah, menghambat gerakan-gerakan yang tidak diinginkan (Hailey,

2003).
23

Anda mungkin juga menyukai