Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan ruangan-ruangan yang terdapat

di dalam wajah kita yang memiliki saluran keluar ke rongga hidung

dan letaknya di sekitar hidung (Susana, 2017).

Menurut Pharm (2010) sinus paranasal dapat dibagi ke dalam

dua kelompok, anterior dan posterior. Kelompok anterior meliputi

sinus maksila, sinus frontal dan anterior sinus etmoid. Kelompok

posterior meliputi sinus etmoid bagian posterior dan sinus sphenoid.

Menurut Ballinger (1999) sinus paranasal terdiri dari 4

kelompok sinus, yaitu :

a. Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar.

Jumlahnya sepasang dan terletak pada sisi hidung di dalam

tulang maksila, berbentuk seperti limas dan memiliki tiga dinding.

Puncak sinus maksila menjulang ke atas os zygomaticum,

bahkan seringkali memasukinya. Alas limas sinus membentuk

bagian inferior dinding lateral kavitas nasi. Ostium sinus maksila

berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara

9
10

ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Sepasang

sinus maksila memiliki ukuran yang hampir sama dan simetris

Pada orang dewasa, ukuran rata-rata sinus maksila yaitu tinggi

3,5 cm dan lebar 2,5 sampai 3 cm.

b. Sinus Frontal

Sinus frontal merupakan sinus terbesar kedua setelah

sinus maksila. Sinus frontal bentuknya tidak simetris, hal ini

disebabkan karena di sekitarnya terdapat bermacam septum.

Pada masing-masing sisi sinus frontal terletak di antara kedua

tabula tulang frontal di belakang pars medialis arkus superfisialis.

Kedua sinus dipisahkan oleh sebuah septum yang paling sering

berdeviasi ke satu sisi yang lainnya. Sinus frontal ukuran dan

bentuknya bervariasi, kira-kira 2 sampai 2,5 cm sisi lebar atau

tinggi. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus

berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau

lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan

adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang

relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi

dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal

berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal.

c. Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus inilah yang paling

bervariasi. Sinus etmoid mempunyai bentuk yang berongga-

rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang


11

terdapat di dalam massa lateral os etmoid, yang terletak di

antara konka media dan dinding media orbita. Sinus etmoid

terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu anterior, medial dan

posterior. Sarang tawon etmoid di anterior dan medial bervariasi

jumlahnya antara dua hingga delapan, dan tiap kelompok

berhubungan langsung ke meatus nasal medial. Sedangkan

sarang tawon di bagian posterior variasi jumlahnya antara dua

sampai enam atau lebih dan berdrainase ke meatus nasal

superior.

d. Sinus Sphenoid

Secara normal sinus sphenoid jumlahnya sepasang dan

menempel badan dari tulang sphenoid. Sinus ini berada dapat di

bawah sella tursica dan meluas sampai di antara dorsum sella

dan sarang tawon etmoid posterior. Sinus-sinus ini dipisahkan

oleh sebuah septum yang berdeviasi ke salah satu sisi. Setiap

sinus bermuara ke dalam recessus sphenoethmoidalis di atas

konka superior. Sinus sphenoid beragam ukuran dan bentuknya,

yang biasanya tidak simetris.


12

1
5 Keterangan gambar :
2 1. Sinus Frontalis
2. Sinus Etmoidalis
3. Sinus Maksilaris
4. Sinus Sphenoidalis
5. Intersinus Septum
4
.

Gambar 1. Sinus paranasal dilihat dari depan (Ballinger, 1999)

3 2 1

Keterangan gambar :
1. Sinus Frontalis
2. Sinus Etmoidalis
3. Sinus Sphenoidalis
4. Sinus Maksilaris
4

Gambar 2. Sinus paranasal dilihat dari samping (Ballinger, 1999)


1

2 4 Keterangan gambar :
1. Sinus Frontalis
2. Sinus Maksilaris
3
3. Sinus Etmoidalis
4. Sinus Sphenoidalis

Gambar 3. Sinus paranasal dilihat dari atas (Netter’s, 2012)


13

2. Kompleks Osteomeatal

Kompleks osteomeatal merupakan daerah yang rumit dan

sempit sebagai muara-muara dari sinus frontal, sinus maksila dan

sinus etmoid anterior. Fungsi kompleks osteomeatal adalah sebagai

tempat keluarnya cairan yang ada di sinus paranasal. Kompleks

osteomeatal terdiri atas beberapa tulang penyusunnya antara lain

prosesus unsinatus, bula etmoid, infundibulum etmoid, sel agger nasi

dan resesus frontal.


9
6 Keterangan gambar :
5 1. Inferior turbinate
78 2. Middle turbinate
3. Sinus maksilaris
4 2 4. Unsinatus
3 5. Bula etmoid
6. Sinus frontalis
7. Infundibulum etmoid
8. Septum nasi
9. Meatus media
3
1
8
Gambar 4. Kompleks osteomeatal (Vartanian, 2016)

a. Resesus Frontalis

Resesus frontalis merupakan jalur yang berkelok-kelok

yang berjalan mulai dari sinus frontal ke kavum nasi. Di anterior

saluran ini dibatasi oleh sel-sel agger nasi. Dinding lateral resesus

frontalis dibatasi oleh lamina papyracea, batas medialnya adalah

konka media dan di posteriornya dibatasi oleh dinding anterior

bulla ethmoid.
14

b. Infundibulum

Infundibulum adalah saluran utama sinus maksila ke

meatus nasalis media. Dinding medial infundibulum dibentuk oleh

processus uncinatus. Infundibulum etmoid merupakan suatu ruang

yang dibatasi prosesus unsinatus pada bagian medial dan lamina

papyracea pada bagian lateral.

c. Processus Uncinatus

Procesus unsinatus adalah tulang dinding lateral nasal

yang berbentuk kait membentuk batas anterior infundibulum

etmoid, yang mengarah ke ostium sinus maksilaris. Di anterior,

prosesus unsinatus melekat pada os lakrimalis dan di inferior pada

presesus etmoidalis konka inferior. Tepi posteriornya terletak di

hiatus semilunaris inferior. Di superior, prosesus unsinatus dapat

melekat pada konka media, lamina papyracea dan dasar

tengkorak.

d. Sel Agger Nasi

Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior

dari sel-sel etmoid anterior. Sel agger nasi letaknya sangat dekat

dengan resesus frontal, sel ini merupakan patokan anatomi untuk

operasi sinus frontal. Dengan membuka sel ini akan memberi jalan

menuju resesus frontalis.

e. Bulla Ethmoid

Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus,

merupakan sel udara etmoid terbesar dan terletak paling anterior.


15

Bula etmoid datap membengkak sangat besar sehingga menekan

infundibulum etmoid dan menghambat drainase sinus maksila.

3. Fisiologi Sinus Paranasal

Meskipun sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat dari

para ahli mengenai fungsi sinus paranasal, (Ballinger, 1999)

mempercayai bahwa sinus paranasal mempunyai peranan antara lain

sebagai berikut ;

a. Membantu resonansi suara

Dalam hal ini, sinus paranasal berfungsi sebagai rongga

udara dan mempengaruhi kualitas suara.

b. Membantu keseimbangan kepala

Sinus paranasal dapat membantu keseimbangan kepala

karena dapat mengurangi berat tulang muka.

c. Sebagai penjaga kehangatan suhu

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan panas,

melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang

berubah-ubah.

d. Melindungi kepala dari benturan

Udara di dalam rongga sinus paranasal dapat membantu

mengurangi resiko trauma / benturan pada kepala.

4. Patologi Sinusitis

Sinusitis adalah peradangan selaput lendir di dalam sinus.

Peradangan ini dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, alergi

ataupun iritasi lain misalnya polutan (Susana, 2017).


16

Pada tahun 1996, American Academy of Otolaryngology –

Head and Neck Surgery mengusulkan untuk mengganti terminologi

sinusitis dengan rinosinusitis. Istilah rinosinusitis dianggap lebih tepat

karena menggambarkan proses penyakit dengan lebih akurat.

Membran mukosa hidung dan sinus secara embriologis berhubungan

satu sama lain. Sebagian besar penderita sinusitis juga menderita

rinitis, jarang sinusitis terjadi tanpa disertai rinitis (Kentjono, 2004).

Menurut rentang waktu kejadiannya, sinusitis dikelompokkan

kedalam dua golongan yaitu sinusitis akut dan sinusitis kronis.

Sinusitis dikatakan akut jika infeksinya terjadi secara cepat dalam

beberapa hari saja, sedangkan sinusitis kronis terjadi jika sinusitis

akut tersebut menjadi menetap, gejalanya bisa berlangsung

berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun (Pharm, 2010).

Boies (1997), Stafford (1994) dan Pracy (1989) membagi

sinusitis kedalam empat kelompok, yaitu ;

a. Sinusitis Maksila

Sinusitis maksilaris adalah jenis sinusitis yang paling sering

terjadi. Gejala infeksi sinus maksila antara lain demam, nyeri

kepala, wajah terasa bengkak, penuh dan gigi terasa nyeri pada

gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun

tangga.

b. Sinusitis Frontal

Sinusitis frontal merupakan sinusitis yang paling berat.

Panjangnya duktus frontonasalis menyebabkan duktus tersebut


17

peka terhadap sumbatan edema mukosa. Timbul gejala-gejala

seperti nyeri kepala setelah infeksi saluran pernapasan atas.

Sinusitis frontal bisa timbul akibat berenang atau terbang pada

ketinggian pada penderita yang sebelumnya sudah menderita

pilek-pilek.

c. Sinusitis Etmoid

Sinusitis etmoid paling sering terjadi pada anak muda yang

sinus maksilanya tidak berkembang dengan baik. Biasanya

terdapat gejala nyeri kepala persisten dan selulitis orbitalis.

Gejala khasnya selain rasa nyeri di antara dan di belakang mata,

juga sumbatan hidung yang berat mengawali hilangnya rasa

penciuman. Jika sinus etmoid tidak terawat dengan baik, abses

orbita dan kebutaan dapat terjadi.

d. Sinusitis Spenoid

Sinusitis spenoid terisolasi amat jarang (jarang terjadi).

Gejalanya berupa nyeri kepala yang mengarah ke vertex

cranium. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari

pansinusitis, dan oleh karena itu gejalanya menjadi satu dengan

gejala infeksi lainnya.

5. Pengertian FESS

FESS adalah singkatan dari Functional Endoscopic Sinus

Surgery. Soekin (2004) mendefinisikan FESS adalah pembedahan sinus

yang dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang bertujuan

untuk melakukan eradikasi penyakit, memperbaiki pengudaraan (aerasi)


18

dan drainase sinus dengan prinsip mempertahankan fungsi sinus secara

fisiologis.

6. Bidang Irisan Tubuh

Romans (2011), membagi tubuh ke dalam tiga bidang yaitu ;

a. Midsagittal Plane

Midsagittal plane adalah bidang yang membagi tubuh menjadi

dua bagian yang sama yaitu kanan dan kiri.

b. Coronal Plane

Coronal plane adalah bidang yang membagi tubuh menjadi

dua bagian yaitu anterior dan posterior. Mid coronal plane adalah

bidang koronal yang berhimpit dengan mid axillary plane.

c. Axial Plane

Axial plane adalah bidang yang membagi tubuh menjadi dua

bagian yaitu inferior dan superior.

1
Keterangan gambar :
1. Superior
2. Inferior
3. Right
10 4. Left
11
9 5. Anterior
6. Posterior
7. Medial
8. Lateral
8 9. Axial plane
7 10. Coronal plane
8
4 11. Midsagittal plane
6

3 2 5
Gambar 5. Bidang Irisan Tubuh (Romans, 2011)
19

B. Prinsip Dasar MSCT

1. Sejarah MSCT (Romans, 2011 ; Shastri, 2008)

CT Scan pertama kali diketemukan oleh Godfrey Haunsfield

pada tahun 1967. Pada waktu itu CT Scan pertama kali digunakan

untuk memeriksa brain tumor sehingga dikenal dengan “Head

Scanner”. Pada tahun 1973 CT Scan mulai diperkenalkan

penggunaannya lebih luas.

Dinamakan komputer tomografi karena pada saat pemeriksaan

berlangsung dengan bantuan komputer. Gambar diperoleh dengan

cara mengeksposi irisan-irisan tipis tubuh pasien yang dinamakan

“slice”. Pemeriksaan dengan CT Scan merupakan pemeriksaan non

invasif teknik dengan merekonstruksi bidang tomografi tubuh pasien.

Seiring berjalannya waktu, CT Scan mengalami perkembangan

dari generasi awal hingga generasi saat ini. CT Scan yang dari

awalnya Single Slice berkembang menjadi Multi Slice Computed

Tomography (MSCT). Menurut Romans (2011) Multi Slice Computed

Tomography (MSCT) memiliki kesamaan dengan Multi Detector

Computed Tomography (MDCT) atau volume CT, sering disebut juga

dengan Multidetector – Row CT (Springer, 2009). Multi Slice

Computed Tomography (MSCT) adalah suatu kemampuan CT

Scanner untuk memperoleh lebih banyak data dan lebih simultan.

Perkembangan generasi CT Scan adalah sebagai berikut (Ballinger,

1999) dan (Springer, 2003) :


20

a) CT Scan generasi pertama dan kedua

CT Scan generasi pertama menggunakan pencil beam

dengan satu detektor. Waktu yang digunakan untuk mendapatkan

gambaran yang informatif kira-kira 4.5 menit. CT scan generasi ini

hanya mampu untuk memeriksa kepala.

b) CT Scan generasi ketiga

CT Scan generasi ketiga terdiri dari 960 detektor yang

letaknya berlawanan dengan tabung sinar-x, bergerak bersama

mengeliingi pasien dalam 1 putaran penuh (360 derajat). Waktu

akuisisi relatif lebih singkat dibanding dengan CT Scan generasi

sebelumnya.

Gambar 6. CT Scan generasi ketiga, rotasi 360o simultan antara


tube dan detektor (Romans, 2011)

c) CT Scan generasi keempat

CT Scan generasi keempat berkembang di tahun 1980.an

pada waktu yang bersamaan dengan CT Scan generasi ketiga. CT


21

scan generasi ini memiliki fixed ring 4800 detektor bahkan lebih.

Pasien bisa berada di lingkaran penuh gantri.

Gambar 7. CT Scan generasi keempat, detektor diam


(Romans, 2011)

2. Komponen MSCT (Ballinger, 1999 ; Shastri, 2008 ; Seeram, 2000 ;

Romans, 2011 ; Bontrager, 2010 ; Springer, 2003)

Setiap unit pesawat MSCT terdiri dari beberapa komponen

yaitu ;

a. Gantri

Gantri merupakan komponen pesawat MSCT berbentuk

lingkaran yang di dalamnya terdapat x-ray tube, detektor,

kolimator dan sirkuit rotasi. Gantri dapat disudutkan ke arah

depan ataupun belakang sampai 300 sebagai kompensasi dari

letak anatomis organ atau bagian tubuh. Bagian tengah gantri

disebut gantry aperture yang menjadi daerah terbuka dari gantri.


22

Bagian tertutup dari gantri terdiri dari beberapa perangkat keras

antara lain tabung sinar-x, kolimator dan detektor.

Gambar 8. Gantri pesawat CT Scan

b. Tabung Sinar-X

Tabung sinar-x pada pesawat MSCT strukturnya mirip

dengan tabung sinar-x konvensional. Perbedaannya terletak

pada kemampuannya untuk menahan panas dan output yang

tinggi. Panas yang cukup tinggi terjadi karena tumbukan

elektron-elektron. Ukuran fokal spot yang cukup kecil (kurang

dari 1mm) sangat dibutuhkan untuk menghasilkan resolusi yang

tinggi.

c. Kolimator

Kolimator berfungsi untuk mengurangi radiasi hambur,

membatasi jumlah sinar-x yang sampai ke tubuh pasien serta

untuk meningkatkan kualitas citra. MSCT menggunakan 2 buah

kolimator. Kolimator pertama diletakkan pada rumah tabung

sinar-x yang disebut pre pasien kolimator dan yang kedua


23

diletakkan antara pasien per detektor kolimator atau post pasien

kolimator.

d. Detektor

Pesawat MSCT pada umumnya menggunakan solid-state

detektor yang mengandung bahan-bahan sensitif terhadap

radiasi, seperti : Cadmium tungstate, gadolinium oxide atau

gadolineum oxi suffide. Konfigurasi detektor dapat menentukan

lebar, kecepatan waktu scanning, resolusi longitudinal dan

tingkat noise gambar.

MSCT menggunakan multi row detektor array dengan

sistem sinkronisasi antara putaran tabung dengan putaran

detektor. Perputaran ini mengacu pada sistem yang

dikembangkan CT scan generasi ketiga yang tipenya rotate-

rotate dan menggunakan solid state detektor. MSCT

menggunakan dua lajur atau lebih detektor, berbeda dengan

single slice yang hanya menggunakan satu lajur detektor.

1 Keterangan gambar :
2 1. Tube x-ray
2. Kolimator
3. Detektor array

3
2

3
Gambar 9. Konfigurasi detektor pada single slice dan multi slice
detektor (Romans, 2011)
24

e. Table atau meja pemeriksaan CT Scan.

Meja pemeriksaan CT Scan harus kuat menopang berat

tubuh pasien, biasanya terbuat dari fiber karbon. Fiber karbon

tidak menghalangi jalannya sinar-x menuju detektor. Meja

pemeriksaan ini didesain khusus agar secara otomatis bisa

digerakkan vertikal dan horisontal.

f. Komputer console

Komputer console atau sistem kontrol komputer berfungsi

untuk mengontrol kinerja sistem CT secara komplit, memproses

gambar, rekonstruksi gambar dan menyimpan gambar yang

dihasilkan. Komputer ini dilengkapi dengan keyboard untuk

memasukkan data pasien (misalnya nama, tanggal lahir, scan

parameter dll). Selain itu, petugas juga melakukan pengaturan

parameter-parameter yang berhubungan dengan pengoperasian

pesawat MSCT juga dari sini.

g. Komputer

Komputer berfungsi menerima data digital dalam jumlah

yang besar serta raw data yang dikirim dari intensitas transmisi

sinar-x oleh detektor. Tipe tertentu, matriks komputer ini 512 x

512, dan lebih dari 260.000 pixel.

h. Penyimpan memori atau sistem perekaman citra

Sistem ini merupakan bagian penting yang lain dari MSCT.

Raw data hasil proses manipulasi dapat disimpan sehingga

dapat ditampilkan kembali sewaktu-waktu. Biasanya berupa


25

disket optik dengan kemampuan menyimpan citra sampai ribuan

citra. Ada pula yang menggunakan magnetik tape dengan

kemampuan merekam hanya sampai 200 citra.

i. Unit Hard Copy

Gambar yang diperoleh dari pemeriksaan MSCT dapat

didokumentasikan dalam bentuk lembaran film atau kertas.

3. Akuisisi Data Pada MSCT

Menurut Seeram (2001), proses akuisisi data pada pesawat

MSCT adalah sebagai berikut :

a. Tabung sinar-x dan detektor pada satu garis

b. Tabung detektor akan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya

dari atenuasi pasien sebagai bahan untuk pengukuran

c. Berkas dibentuk oleh filter

d. Berkas diatenuasikan sesuai dengan yang dibutuhkan untuk

membuat irisan

e. Berkas diatenuasikan oleh pasien dan transmisi foto tersebut

diukur oleh detektor

f. Detektor akan mengkonversikan foton sinar-x ke dalam signal

converter (Analog to Digital Converter) ke dalam data digital

g. Signal digital akan mengirim ke komputer untuk direkonstruksi

menjadi gambar
26

4. Parameter MSCT (Seeram, 2000 ; Verlag, 1992 ; Silverman, 1998 ;

Romans, 2011)

Ada beberapa parameter yang digunakan dalam MSCT,

antara lain ;

a. Scanogram

Scanogram adalah gambaran pertama yang dihasilkan,

yang dapat sebagai panduan area mana yang akan di scanning.

b. Slice Thickness

Slice thickness merupakan tebalnya potongan/irisan obyek

yang diperiksa, nilainya dapat dipiih antara 1-10 mm sesuai

keperluan klinis. Semakin tebal potongan/irisan, akan semakin

rendah detail gambar yang dihasilkan. Sebaliknya, jika semakin

tipis potongan/irisan maka detail gambar akan semakin tinggi.

c. Pitch

Pitch didefinisikan sebagai jarak pergerakan meja

dibandingkan jumlah irisan/potongan/slice thickness. Pitch

digunakan untuk menghitung ratio pitch terhadap slice thickness.

Pitch = Jarak pergerakan meja selama berputar 3600


Slice thickness

a b

Gambar 10. nilai 1 pitch (a) dan nilai 2 pitch (b) (Romans, 2011)
27

Nilai pitch berpengaruh pada dosis radiasi dan kualitas

gambar. Penurunan dosis radiasi yang diterima oleh pasien jika

nilai pitch semakin besar, yang diiringi dengan kualitas gambar

yang disebabkan nilai noise yang tinggi. Nilai pitch yang kurang

dari 1 mm pada MSCT berarti dosis efektif yang dihasilkan

semakin tinggi, data yang dihasilkan semakin banyak, beban

tabung semakin besar, artefak spiral akan semakin berkurang

(Romans, 2011).

d. Field of View (FOV)

Field of view adalah diameter maksimal gambaran yang

akan direkonstruksi, berada pada rentang 12-50 cm. Pengaturan

FOV akan berpengaruh pada resolusi gambar. FOV yang kecil

akan menghasilkan gambar dengan resolusi tinggi karena akan

mereduksi ukuran pixel. FOV yang terlalu kecil memiliki

kelemahan yaitu area untuk keperluan klinis sulit terdeteksi.

e. Faktor Eksposi

Faktor eksposi adalah faktor-faktor yang berpengaruh pada

eksposi. Faktor eksposi ada tiga, yaitu ; tegangan tabung (kV),

arus tabung (mA) dan waktu lamanya eksposi (s). Besarnya

tegangan tabung dapat dipilih secara otomatis pada tiap-tiap

pemeriksaan.

f. Volume Investigasi

Volume investigasi didefinisikan sebagai titik awal sampai

akhir area yang akan diperiksa.


28

g. Rekonstruksi Algoritma

Rekonstruksi algoritma adalah prosedur secara matematis

yang digunakan untuk merekonstruksi gambar. Semakin tinggi

rekonstruksi algoritma yang dipilih, akan semakin tinggi pula

resolusi gambar yang dihasilkan. Pemilihan rekonstruksi

algoritma yang berbeda-beda, maka gambaran seperti tulang,

soff tissue dan jaringan-jaringan lain dapat dibedakan dengan

jelas.

h. Rekonstruksi Matriks

Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom dari

suatu pixel. Matriks yang digunakan umumnya 512 x 512, yaitu

512 baris dan 512 kolom. Semakin tinggi matriks yang

digunakan, maka akan semakin tinggi resolusi gambar yang

dihasilkan.

i. Window Width

Window width didefinisikan sebagai rentang CT number

yang dikonversi menjadi derajat keabu-abuan untuk dapat

ditampilkan dalam monitor. Setelah komputer menyelesaikan

pengolahan gambar melalui rekonstruksi matriks dan algoritma

maka hasilnya akan dikonversi menjadi skala numerik yang

dikenal dengan nama CT number dengan satuan HU (Hounsfield

Unit).
29

j. Window Level

Window level adalah nilai tengah dari window yang

digunakan untuk menampilkan gambar. Nilainya dapat dipilih,

tergantung pada karakteristik perlemahan struktur obyek yang

diperiksa. Window level menentukan intensitas gambar yang

akan dihasilkan.

5. Aplikasi Software pada MSCT

Ada beberapa aplikasi software yang secara umum digunakan

pada modalitas MSCT, antara lain (Seeram, 2001) :

a. Multi Planar Reformating (MPR)

Aplikasi MPR pada MSCT merupakan tampilan gambar

dalam berbagai bidang baik sagital, aksial maupun koronal.

b. Maximum Intensity Projection (MIP)

MIP merupakan rekonstruksi tiga dimensi ynag digunakan

untuk melihat jaringan tubuh sampai intensitas yang paling

maksimum. Sebagai contoh untuk melihat perdarahan pada

jaringan otak.

c. Shaded Surfaced Display (SSD)

SSD merupakan hasil rekonstruksi tiga dimensi dari bagian

luarnya saja. Sebagai contoh pada rekonstruksi tulang,

gambaran tulang akan tampak dalam tiga dimensi sementara

jaringan otak tidak ditampakkan.


30

d. Volume Rendering

Volume Rendering merupakan hasil rekonstruksi tiga

dimensi yang dibuat dari jaringan terdalam sampai dengan

jaringan terluar. Aplikasi ini digunakan untuk melihat volume

ketika gambar anatomi dibuat dalam sisi potongan yang berbeda.

e. Multi Planar Volume Rendering (MPVR)

MPVR merupakan tampilan gambar dari multi planar

reformat dalam bentuk volume dilihat dari sisi koronal oblik

maupun sagital oblik. Aplikasi ini digunakan untuk mengetahui

seberapa besar penyudutan (seperti kasus impaksi ggi).

f. Smart Score

Aplikasi ini sangat penting dalam pemeriksaan CTA

Cardiac, digunakan untuk menghitung volume atau densitas

area kalsifikasi arteri koronaria. Penilaian smart score berupa

prosentase dan kandungan kalsium pada arteri yang diperiksa.

g. CT Dose Profil

Beberapa parameter dapat dievaluaisi dengan

menggunakan CT Dose Profil secara simultan, antara lain CTDI

Scan, Multi Scan Average Dose (MSAD), CT Beam Fluoro,

variasi arus tabung dan Dose Lenght Product.

C. Prosedur Pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal

1. Persiapan Pasien (Nesseth, 2000)

a. Komunikasi tentang keadaan pasien


31

Rangkaian pemeriksaan terhadap pasien dimulai sejak

pasien datang ke radiologi. Komunikasi yang efektif terhadap

pasien memegang peranan yang penting dalam keberhasilan

sebuah pemeriksaan. Beberapa hal yang perlu ditanyakan

kepada pasien antara lain ;

1) Kejelasan identitas pasien (nama, no rekam medis dan

tanggal lahir).

Ada beberapa pasien memiliki nama yang sama bahkan

tanggal lahir yang sama. Untuk membedakannya, kita perlu

memastikan nomor rekam medis yang dimiliki oleh pasien

tersebut untuk menghindari kesalahan orang yang akan

dilakukan pemeriksaan.

2) Pasien dalam keadaan hamil atau tidak.

3) Pasien memiliki alergi terhadap makanan tertentu atau tidak.

4) Pasien pernah alergi terhadap suatu obat atau tidak.

b. Menjelaskan kepada pasien tentang prosedur pemeriksaan

yang akan dijalani, serta apa tujuan dilakukannya pemeriksaan

tersebut.

c. Menjelaskan informed concent kepada pasien tentang tentang

obat yang akan diberikan jika pada saat pemeriksaan

menggunakan media kontras dan apa tujuan pemberian media

kontras tersebut.

d. Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien nantinya akan

dipersilahkan untuk melepas benda-benda yang dapat


32

menimbulkan artefak pada radiograf (seperti anting, kalung,

penjepit rambut).

2. Persiapan Ruangan, Alat dan Bahan

Sebelum pasien dipersilahkan memasuki ruangan, ada

beberapa hal yang perlu dipersiapkan antara lain ;

a. Pesawat CT Scan yang sudah dikalibrasi dan dipanaskan.

b. Ruangan dalam keadaan bersih dan rapi.

c. Peralatan fiksasi untuk posisioning kepala.

d. Peralatan proteksi radiasi (thyroid dan breast shields) tersedia dan

siap pakai.

e. Pelindung radiasi bagi keluarga pasien (lead apron atau lead

screen) bilamana pasien tersebut harus didampingi.

f. Obat-obatan emergensi untuk mengantisipasi pasien yang

mengalami shock saat pemeriksaan berlangsung.

3. Pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal

Menurut Bruening (2003), langkah-langkah pemeriksaan

MSCT sinus paranasal adalah sebagai berikut :

a. Posisi pasien : pasien berbaring tidur telentang atau supine di atas

meja pemeriksaan. Kedua lengan di samping tubuh, kaki lurus ke

bawah dan kepala berada di atas bantalan kepala.

b. Posisi objek : Kepala diatur tepat di terowongan gantri, midsagittal

plane segaris tengah meja, mid axial kepala tepat pada sumber

terowongan gantri.
33

c. Pemilihan Scan Parameter (Bruening, 2003)

1) Scanogram

Gambar 11. Scanogram kepala lateral (Bruening, 2003)

2) Slice thickness rekonstruksi : 0,75-1 mm

3) Scan range : bagian bawah maandibula sampai sinus

frontalis.

4) Kilo Voltage : 120

5) Kernel : kondisi tulang

6) Scan direction : craniocaudal

7) Reconstruction increment : 0.5

8) Pitch : 0.6–1.0

9) Rotation time : 1

10) Collimation : 0.6-0.625


34

d. Kriteria Radiograf MSCT Sinus Paranasal

1) Potongan Koronal

Keterangan gambar :
1. Kompleks
osteomeatal
2. Prosesus
unsinatus
3. Middle turbinata
4. Hiatus semilunaris
5. Korespondensi ke
scan aksial

Gambar 12. Radiograf MSCT sinus paranasal potongan koronal


(Bruening, 2003)

2) Potongan Aksial
3
1. Keterangan gambar :
2 1. Lamina papyracea
2. Septum nasi
3. Duktus
1 nasolakrimalis
4
4. Anterior dan
posterior etmoid
5. Sinus spenoidalis

5
Gambar 13. Radiograf MSCT sinus paranasal potongan aksial
(Bruening, 2003)
35

3) Potongan Sagital

Keterangan gambar :
3 1. Sel agger nasi
4
2. Resesus frontalis
2 3. Sinus frontalis
4. Anterior dan
1 5 posterior etmoid
5. Sinus spenoidalis

Gambar 14. Radiograf MSCT sinus paranasal potongan sagital


(Huang, 2009)

D. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan landasan teori sebagaimana yang tercantum di atas,

maka timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana persiapan pasien, ruangan, alat dan bahan pada

pemeriksaan MSCT sinus paranasal pada kasus sinusitis di Instalasi

Radiologi RSUP Dr Kariadi Semarang?

2. Bagaimana prosedur tetap (SPO) pemeriksaan MSCT sinus paranasal

di Instalasi Radiologi RSUP Dr Kariadi Semarang?

3. Mengapa pada prosedur tetap (SPO) pemeriksaan MSCT sinus

paranasal di Instalasi Radiologi RSUP Dr Kariadi Semarang hanya

menggunakan dua rekonstruksi irisan (koronal dan aksial)?

4. Bagaimana prosedur pemeriksaan MSCT sinus paranasal pada kasus

sinusitis di Instalasi Radiologi RSUP Dr Kariadi Semarang?


36

5. Apakah yang menjadi alasan ditambahkannya rekonstruksi irisan

sagital pada pemeriksaan MSCT sinus paranasal pada kasus sinusitis

di Instalasi Radiologi RSUP Dr Kariadi Semarang?

6. Bagaimana peranan irisan sagital pada operasi sinusitis?

7. Slice thickness berapakah yang paling tepat untuk menggambarkan

kelainan sinusitis pada masing-masing irisan?

Anda mungkin juga menyukai