Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Sinus paranasal

Sinus paranasal merupakan rongga yang berisi udara yang dilapisi

oleh membran mukosa yang berada disekitar rongga hidung. Rongga udara

yang mengisi sinus paranasal biasanya disebut dengan accessory nasal

sinus (Bontrager, 2010).

Sinus paranasal dibagi menjadi 4 kelompok menurut letak tulang,

yaitu sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidalis dan sinus

sphenoidalis. Sinus maksilaris termasuk bagian dari tulang wajah sedangkan

frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis dimasukkan ke dalam golongan

tulang cranium (Bontrager, 2010).

Sinus paranasal mulai mengalami perkembangan pada fetus, tetapi

hanya sinus maksilaris yang memperlihatkan suatu rongga yang

perkembangannya begitu terbatas. Sinus frontalis dan sinus sphenoidalis

mulai tampak pada gambaran radiografi pada umur 6 – 7 tahun. Sinus

ethnoidalis adalah sinus yang mengalami perkembangan paling terakhir

dibandingkan yang lainnya. Semua sinus paranasal mengalami

perkembangan secara maksimal pada akhir masa remaja. Masing-masing

bagian sinus akan dipelajari, dimulai dari sinus yang paling besar, yaitu sinus

maksilaris (Bontrager, 2010).

1. Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris merupakan sinus yang paling besar. Dulu istilah

yang digunakan untuk sinus maksilaris adalah “antrum” singkatan dari

“Antrum of High More”. Masing-masing sinus maksilaris memiliki bentuk

8
9

yang menyerupai suatu pyramid bila dilihat dari anterior, bila dilihat secara

lateral sinus maksilaris lebih nampak seperti kubus.

Sinus maksilaris memiliki dinding tulang yang sangat tipis bagian

bawah dari sinus maksilaris super posisi dengan bagian bawah tulang

nasal. Bila dilihat pada bagian bawah sinus maksilaris adalah terlihat

beberapa coni celekations berhubungan dengan gigi molar 1 dan 2

bagian atas. Ada kalanya batas bawah sinus maksilaris mengalami

perforasi atau mengalami perlobangan dan mengakibatkan terjadinya

infeksi pada gigi, mempengaruhi bagian molar dan premolar dan

merambat naik ke sinus maksilaris.

Semua rongga sinus paranassal saling berhubungan dengan

lainnya dan berhubungan juga dengan rongga hidung, yang mana dibagi

menjadi dua ruangan yang sama atau disebut dengan fossa. Pada kasus

sinus maksilaris lokasi penghubung antara nasal dan maksilari

merupakan permukaan masuknya ke muiddle nasal meatus dan

kemudian diteruskan ke superior medial aspek dari rongga sinus itu

sendiri.

2. Sinus Frontalis

Sinus Frontalis berada diantara bagian dalam dan luar os frontal,

ke posterior membentuk glabela dan jarang berbentuk sebelum umur 6

tahun. Sinus frontalis pada umumnya dipisahkan oleh septum yang

menyimpang dari satu sisi dengan sisi yang lainnya, dan menghasilkan

satu rongga tunggal. Bagaimanapun rongga yang ada memiliki

bermacam-macam ukuran dan bentuk. Biasanya pada laki-laki ukuranya

lebih besar dari wanita (Bontrager, 2010).


10

3. Sinus Ethmoidalis

Sinus ethmoidalis adalah termasuk didalam masses lateral atau

labirin dari tulang ethmoid. Rongga udara sinus ethmoidalis

dikelompokkan menjadi anterior, middle dan posterior collections, tetapi

semua yang ada diatas tidak saling berhubungan (Bontrager, 2010).

4. Sinus Sphenoidalis

Sinus sphenoidalis berada didalam bodi tulang sphenoid yang

berada dibawah sela tursika. Bodi dari tulang sphenoid terdiri dari sinus

yang berbentuk kubus dan dibagi oleh suatu sekat tipis untuk membentuk

dua rongga. Septum dan sphenoid mungkin tidak sempurna dan

menghasilkan hanya satu rongga karena sinus sphenoid sangat dekat

dengan dasar cranium, kadang-kadang proses pathologi dari cranium

mengakibatkan efek pada sinus tersebut. Suatu contoh adalah

demonstrasi dari suatu air fluid level di dalam sinus sphenoid yang

kemudian mengakibatkan trauma tulang tengkorak. Ini mungkin

membuktikan bahwa pasien mempunyai suatu fraktur dasar kepala yang

disebut dengan “sphenoid effusion”.


11

Keterangan gambar:

1. Right temporal bone


2. Sinus frontale
3. Sinus ethmoid
4. Sinus spenoid
5. Sinus maxillary

Gambar 2.1 Aspek anterior Sinus paranasal (Bontrager, 2010).

Keterangan gambar:

1. Sinus Frontal
2. Sinus ethmoid
3. Sinus maxilary
4. Sinus Sphenoid
5. Left temporalbone

Gambar 2.2 Aspek lateral Sinus paranasal (Bontrager, 2010).


12

B. Patologi Sinus paranasal

1. Sinusitis

Menurut Malueka (2006), Sinusitis adalah peradangan sinus

paranasal. Definisi lain menyebutkan, sinusitis adalah inflamasi dan

pembengkakan membran mukosa sinus di sertai nyeri lokal. Infeksi pada

sinus paranasal dapat merupakan penyebaran dari kavum nasi. Infeksi

sinus maxillaris dapat pula berasal dari abses gigi molar atas. Sinusitis

sering di sebut rhinosinusitis karena sinusitis sering di dahului rhinitis dan

jarang terjadi karena tanpa disertai inflamasi cavum nasi. Rhinosinusitis

adalah kumpulan gejala yang di sertai adanya inflamasi pada kavum nasi

dan sinus paranasalis yang berlangsung terus menerus selama 12

minggu.

Menurut Tambayong (2002). Sinus-sinus nasal tambahan yang

berhubungan dengan rongga hidung dan ruang-ruang dalam tulang-

tulang adalah: sinus sfenoid, frontal. sfenoid, maksila, Mereka di lapisi

epitel bersilia dengan yang di hidung. Silianya melecut searah

bergesernya lapisan mukus, yaitu ke rongga hidung. Mukosa sinus sedikit

tipis dan mengandung lebih sedikit kelenjar mukosa yang lebih kecil,

dibandingkan yang di hidung. Lamina propria tak dapat di tentukan

sebagai lapisan terpisah dari periosteum tulang-tulang tempatnya melekat

dengan erat, Sinus-sinus paranasal sering merupakan tempat timbulnya

radang, Yaitu sinusitis dan kadang-kadang memerlukan tindakan secara

bedah.
13

2. Rhinosinusitis

Sinus biasanya steril dalam kondisi fisiologis. Produk sekresi yang

dihasilkan dalam aliran sinus dikeluarkan dengan aktivitas silia melalui

ostia dan ditiriskan ke dalam rongga hidung. Pada individu yang sehat,

aliran sekresi sinus selalu searah (yaitu, menuju ostia), yang mencegah

kontaminasi sinus kembali. Dalam sebagian besar individu, sinus

maksilaris memiliki ostium tunggal (2,5 mm2, 5 mm2 di daerah

penampang) yang berfungsi sebagai satu-satunya saluran keluar untuk

drainase. Saluran ramping ini terletak tinggi di dinding medial rongga

sinus. Kemungkinan besar, edema mukosa di lubang ini dapat mencapai

1 sampai 3 mm yang akan menyebabkan kongesti dengan beberapa cara

(misalnya, alergi, virus, dan iritasi kimia) yang mengakibatkan obstruksi

saluran keluar dan stasis sekresi bertekanan negatif, yang mendukung

terjadinya infeksi oleh bakteri (Brook, 2005).

3. Komplikasi Sinusitis

Menurut Netters (2007) Komplikasi yang biasanya terjadi pada

sinusitis akut atau pada sinusitis kronik adalah:

a. Osteomilitis dan Abses Subperiostal.

Sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada

anak-anak.

b. Kelainan Orbita

disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata

(orbita). Yang paling sering adalah sinusitis etmoid kemudian sinusitis

frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis

dan perkontinuitatum.
14

c. Kelainan Intra Cranial.

Berupa meningitis abses ekstradular atau subdural, abses otak dan

thrombosis sinus karvenosus

C. Dasar-dasar dan Komponen Computed Tomography (CT) Scan.

1. Bebarapa Generasi CT-Scan

a. Scanner Generasi Pertama

Prinsip scanner generasi pertama, menggunakan pancaran

sinar-x model pensil yang diterima oleh satu detektor. Waktu yang

dicapai 4,5 menit untuk memberi informasi yang cukup pada satu slice

dari rotasi tabung dan detektor sebesar 180 derajat. Scanner ini hanya

mampu digunakan untuk pemeriksaan kepala saja (Bontrager, 2010).

b. Scanner Generasi Kedua

Scanner generasi ini mengalami perkembangan besar dan

memberikan pancaran sinar-x model kipas dengan menaikkan jumlah

detektor sebanyak lebih dari 30 buah. Dengan waktu scanning yang

sangat pendek, yaitu antara 15 detik per slice atau 10 menit untuk 40

slice (Bontrager, 2010).

c. Scanner Generasi Ketiga

Scanner generasi ketiga ini, dengan kenaikan 960 detektor

yang meliputi bagian tepi, berhadapan dengan tabung sinar-x yang

saling rotasi memutari pasien dengan membentuk lingkaran 360º

secara sempurna untuk menghasilkan satu slice data jaringan. Waktu

scanning pada scanner generasi ketiga ini berkurang sangat signifikan


15

jika dibandingkan dengan scanner generasi pertama dan kedua

(Bontrager, 2010).

d. Scanner Generasi Keempat

Sekitar tahun 1980 scanner generasi ini diperkenalkan dengan

teknologi fixed-ring yang mempunyai 4800 detektor atau lebih. Saat

pemeriksaan berlangsung, X-ray tube mampu berputar 360 derajat

mengelilingi pasien yang diam (Bontrager, 2010).

e. Scanner Generasi Kelima (Electron Beam Technique)

Pada Electron Beam Technique tidak menggunakan tabung

sinar-x, tapi menggunakan electron gun yang memproduksi pancaran

electron berkekuatan 130 KV. Pancaran electron difokuskan oleh

electro-magnetic coil menuju fokal spot pada ring tungsten. Proses

penumbukkan electron pada tungsten menghasilkan energy sinar-x.

Sinar-x akan keluar melewati kolimator yang membentuknya menjadi

pancaran fan beam. Kemudian sinar-x akan mengenai obyek dan hasil

atenuasinya akan mengenai solid state detector dan selanjutnya

prosesnya sama dengan prinsip kerja CT-scan yang lain.

Perbedaannya hanya pada pembangkit sinar-x nya bukan

menggunakan tabung sinar-x tetapi menggunakan electron gun.

f. Scanner Generasi Keenam (Spiral / Helical CT)

Akuisisi data dilakukan dengan meja bergerak sementara

tabung sinar-x berputar, sehingga gerakan tabung sinar-x membentuk

pola spiral terhadap pasien ketika dilakukan akuisisi data. Pola spiral

ini diterapkan pada konfigurasi rancangan CT generasi ketiga dan

keempat. Pengembangan dari generasi III dan IV X-ray:


16

Gerakan : stationary-rotate system scanning (spiral CT)

Detektor : Multi detector (424-2400) slip ring detector

Rotasi : 360 derajat

Waktu : <10 detik / scan slice

App : Whole body scanner (multi slice, 3D, 4D).

g. Scanner Generasi Ketujuh (Multi Array Detector CT / Multi Slice CT)

Dengan menggunakan multi array detector, maka apabila

kolimator dibuka lebih lebar maka akan dapat diperoleh data proyeksi

lebih banyak dan juga diperoleh irisan yang lebih tebal sehingga

penggunaan energy sinar-x menjadi lebih efisien.

h. Scanner Generasi Kedelapan (Dual Source CT)

Dual Source CT (DSCT) menggunakan dua buah tabung sinar-

x dan terhubung pada dua buah detector. Masing-masing tabung sinar-

x menggunakan tegangan yang berbeda. Yang satu menggunakan

tegangan tinggi (biasanya sekitar 140 KV) dan tabung yang lainnya

menggunakan tegangan rendah (sekitar 80 KV). DSCT berguna untuk

menentukan jenis bahan atau zat. Dari perkembangan teknologi CT

Scan dapat diperoleh indicator perkembangannya sebagai berikut:

1) Makin compact / ringkas komponennya 5) Makin banyak manfatnya

2) Makin cepat scanning time nya 6) Makin kecil bahayanya.

3) Makin halus resolusinya 7) Makin luas dimensinya

4) makin banyak slice nya

2. Komponen Dasar CT Scan

CT Scan memiliki komponen utama yaitu: Komputer, gantry dan meja

pemeriksaan (couch), serta operator konsul. Gantry dan couch berada di


17

dalam ruang pemeriksaan sedangkan komputer dan operator konsul

diletakkan terpisah dalam ruang kontrol.

a. Komputer

Menyediakan link diantara radiografer dengan komponen lain

dari sistem imejing. Komputer dalam CT Scan mempunyai 4 fungsi

dasar, yaitu: sebagai kontrol akuisisi data, rekonstruksi gambar,

penyimpanan data gambar, dan menampilkan gambar scanning.

b. Gantry dan meja pemeriksaan (couch)

Gantry adalah perangkat CT Scan yang melingkar sebagai

rumah dari tabung sinar-x, Data Acquisition System (DAS), dan

detector array. Unit CT terbaru juga memuat continuous slip ring dan

generator bertegangan tinggi di dalam gantry. Struktur pada gantry

mengumpulkan pengukuran atenuasi yang diperlukan untuk dikirim

kekomputer untuk rekonstruksi citra. Gantry bisa disudutkan kedepan

dan kebelakang hingga 300 untuk menyesuaikan bagian tubuh. Meja

pemeriksaan merupakan tempat untuk memposisikan pasien, biasanya

terhubung otomatis dengan komputer dan gantry. Meja ini terbuat dari

kayu atau fiber karbon yang dapat digunakan untuk mendukung

pemeriksaan tetapi tidak menimbulkan artefak pada gambar scanning.

Kebanyakan dari meja pemeriksaan dapat diprogram untuk bergerak

keluar dan masuk gantry, tergantung pada pasien dan protokol

pemeriksaan yang digunakan.


18

c. Tabung sinar-x

Berdasarkan strukturnya, tabung sinar-x sangat mirip dengan

tabung sinarX konvensional tetapi perbedaanya terletak pada

kemampuannya untuk menahan panas dan output yang tinggi.

3. Prinsip Kerja CT scan

Prinsip dasar CT scan mirip dengan perangkat radiografi yang sudah

lebih umum dikenal. Kedua perangkat ini sama-sama memanfaatkan

intensitas radiasi terusan setelah melewati suatu obyek untuk membentuk

citra/gambar. Perbedaan antara keduanya adalah pada teknik yang

digunakan untuk memperoleh citra dan pada citra yang dihasilkan. Tidak

seperti citra yang dihasilkan dari teknik radiografi, informasi citra yang

ditampilkan oleh CT Scan tidak tumpang tindih (overlap) sehingga dapat

memperoleh citra yang dapat diamati tidak hanya pada bidang tegak lurus

berkas sinar (seperti pada foto rontgen), citra CT Scan dapat

menampilkan informasi tampang lintang obyek yang diinspeksi. Oleh

karena itu, citra ini dapat memberikan sebaran kerapatan struktur internal

obyek sehingga citra yang dihasilkan oleh CT Scan lebih mudah dianalisis

daripada citra yang dihasilkan oleh teknik radiografi konvensional.

CT Scanner menggunakan penyinaran khusus yang dihubungkan

dengan komputer berdaya tinggi yang berfungsi memproses hasil scan

untuk memperoleh gambaran panampang-lintang dari badan. Pasien

dibaringkan diatas suatu meja khusus yang secara perlahan – lahan

dipindahkan ke dalam cincin CT Scan. Scanner berputar mengelilingi

pasien pada saat pengambilan sinar rontgen. Waktu yang digunakan

sampai seluruh proses scanning ini selesai berkisar dari 45 menit sampai
19

1 jam, tergantung pada jenis CT Scan yang digunakan (waktu ini

termasuk waktu check-in nya).

Proses scanning ini tidak menimbulkan rasa sakit. Sebelum

dilakukan scanning pada pasien, pasien disarankan tidak makan atau

meminum cairan tertentu selama 4 jam sebelum proses scanning.

Bagaimanapun, tergantung pada jenis prosedur, adapula prosedur

scanning yang mengharuskan pasien untuk meminum suatu material

cairan kontras yang mana digunakan untuk melakukan proses scanning

khususnya untuk daerah perut.

Dengan menggunakan tabung sinar-x sebagai sumber radiasi

yang berkas sinarnya dibatasi oleh kollimator, sinar x tersebut menembus

tubuh dan diarahkan ke detektor. Intensitas sinar-x yang diterima oleh

detektor akan berubah sesuai dengan kepadatan tubuh sebagai objek,

dan detektor akan merubah berkas sinar-x yang diterima menjadi arus

listrik, dan kemudian diubah oleh integrator menjadi tegangan listrik

analog. Tabung sinar-x tersebut diputar dan sinarnya di proyeksikan

dalam berbagai posisi, besar tegangan listrik yang diterima diubah

menjadi besaran digital oleh analog to digital Converter (A/DC) yang

kemudian dicatat oleh komputer. Selanjutnya diolah dengan

menggunakan Image processor dan akhirnya dibentuk gambar yang

ditampilkan ke layar monitor TV. Gambar yang dihasilkan dapat dibuat ke

dalam film dengan Multi Imager atau Laser Imager. Berkas radiasi yang

melalui suatu materi akan mengalami pengurangan intensitas secara

eksponensial terhadap tebal bahan yang dilaluinya. Pengurangan

intensitas yang terjadi disebabkan oleh proses interaksi radiasi-radiasi


20

dalam bentuk hamburan dan serapan yang probabilitas terjadinya

ditentukan oleh jenis bahan dan energi radiasi yang dipancarkan.

Dalam CT Scan, untuk menghasilkan citra obyek, berkas radiasi

yang dihasilkan sumber dilewatkan melalui suatu bidang obyek dari

berbagai sudut. Radiasi terusan ini dideteksi oleh detektor untuk

kemudian dicatat dan dikumpulkan sebagai data masukan yang kemudian

diolah menggunakan komputer untuk menghasilkan citra dengan suatu

metode yang disebut sebagai rekonstruksi.

4. Sistem CT Scanner

Peralatan CT Scanner terdiri atas tiga bagian yaitu sistem

pemroses citra, sistem komputer, dan sistem kontrol. Sistem pemroses

citra merupakan bagian yang secara langsung berhadapan dengan obyek

yang diamati (pasien). Bagian ini terdiri atas sumber sinar-x, sistem

kontrol, detektor dan akusisi data. Sinar-x merupakan radiasi yang

merambat lurus, tidak dipengaruhi oleh medan listrik dan medan magnet

dan dapat mengakibatkan zat fosforesensi dapat berpendar. Sinar-x

dapat menembus zat padat dengan daya tembus yang tinggi. Untuk

mengetahui seberapa banyak sinar-x dipancarkan ke tubuh pasien, maka

dalam peralatan ini juga dilengkapi sistem kontrol yang mendapat input

dari komputer. Bagian keluaran dari sistem pemroses citra, adalah

sekumpulan detektor yang dilengkapi sistem akusisi data. Detektor adalah

alat untuk mengubah besaran fisik dalam hal ini radiasi-menjadi besaran

listrik. Detektor radiasi yang sering digunakan adalah detektor ionisasi

gas. Jika tabung pada detektor ini ditembus oleh radiasi maka akan terjadi

ionisasi. Hal ini akan menimbulkan arus listrik. Semakin besar interaksi
21

radiasi, maka arus listrik yang timbul juga semakn besar. Detektor lain

yang sering digunakan adalah detektor kristal zat padat. Susunan

detektor yang dipasang tergantung pada tipe generasi CT Scanner.

Tetapi dalam hal fungsi semua detektor adalah sama yaitu

mengindentifikasi intensitas sinar-x seletalh melewati obyek. Dengan

membandingkan intensitas pada sumbernya, maka atenuasi yang

diakibatkan oleh propagasi pada obyek dapat ditentukan. Dengan

menggunakan sistem akusisi data maka datadata dari detektor dapat

dimasukkan dalam komputer.

5. System konsul

Konsul tersedia dalam berbagai variasi. Model yang lama masih

menggunakan dua sistem konsul yaitu untuk pengoperasian CT Scan

sendiri dan untuk perekaman dan pencetakan gambar. Bagian dari sistem

konsul ini yaitu:

a. Sistem Kontrol

Pada bagian ini petugas dapat mengontrol parameter-

parameter yang berhubungan dengan beroperasinya CT Scan seperti

pengaturan tegangan tabung (kV), arus tabung (mA), waktu scanning,

ketebalan irisan (slice thickness), dan lain-lain. Juga dilengkapi dengan

keyboard untuk memasukkan data pasien dan pengontrolan fungsi

tertentu pada komputer.

b. Sistem Pencetakan

Gambar Setelah gambaran CT Scan diperoleh, gambaran

tersebut dipindahkan ke dalam bentuk film. Pemindahan ini dengan

menggunakan kamera multiformat. Cara kerjanya yaitu kamera


22

merekam gambaran di monitor dan memindahkannya ke dalam film.

Tampilan gambar di film dapat mencapai 2-24 gambar tergantung

ukuran filmnya (biasanya 8 x 10 inchi atau 14 x 17 inchi).

c. Sistem Perekaman

Gambar Merupakan bagian penting yang lain dari CT Scan.

Data-data pasien yang telah ada, disimpan dan dapat dipanggil

kembali dengan cepat.

d. Display Monitor

Berguna untuk menampilkan data gambar CT Scan pada layar

monitor. Untuk citra CT Scan agar bisa ditampilkan pada layar monitor

Cathode Ray Tube (CRT) harus dalam bentuk yang dapat dikenali

komputer, data CT digital harus dikonversikan menjadi gambar gray-

scale. Data digital gambar CT dapat dimanipulasi untuk memperkuat

tampilan gambar.

e. Multiplanar Reconstruction (MPR)

Keuntungan lain dari gambar digital CT yang asli adalah

kemampuan untuk merekonstruksi gambar axial menjadi coronal,

sagital atau oblik tanpa tambahan radiasi yang diterima pasien.

Rekonstruksi citra dalam berbagai bidang didapatkan dengan

menumpuk beberapa gambar axial yang berdekatan membuat data

volume. Karena nomor CT dari data gambar dalam volume sudah

diketahui, potongan gambar dapat dihasilkan dalam berbagai bidang

yang diinginkan dengan memilih bidang tertentu pada suatu data.


23

D. Parameter Multislice Computerized Tomography (MSCT)

1. Parameter Multislice CT Scan

Parameter pada Multislice CT Scan (MSCT) adalah:

a. Slice Thickness

Slice thickness adalah tebalnya irisan atau potongan dari obyek

yang diperiksa yang mengindikasikan berapa banyaknya organ yang

diperiksa per eksposi (Bontrager, 2010). Slice thickness dipilih pada

konsul secara otomatis melalui pengaturan kolimator yang digunakan.

Semakin tipis slice thickness, maka semakin baik detail gambar yang

diperoleh, keakuratan tinggi serta klasifikasi dapat ditampakan

(Bushong, 2008)

b. Range

Range adalah perpaduan atau kombinasi dari beberapa slice

thickness. Sebagai contoh untuk CT Scan kepala, range dari basis

cranii / foramen magnum sampai vertex dengan slice thickness 2 – 5

mm pada fossa posterior dan 5 – 10 mm dari tentorium sampai vertex

(Seeram, 2009).

c. Faktor Eksposi

Faktor eksposi adalah faktor yang bepengaruh eksposi,

meliputi: tegangan tabung (kV), arus tabung (mA), dan waktu (s).

besarnya tegangan dapat dipilih secara otomatis pada tiap - tiap

pemeriksaan. Pengoperasian konsul yang khas meliputi pengontrolan

dan pengawasan untuk berbagai faktor teknis (Bontrager, 2010).

Pengoperasian biasanya melebihi 120 kVp, sedangkan arus tabung

pada sinar - X yang bersifat kontinyu adalah 100 mA dan untuk sinar -
24

X yang bersifat pulsa maka arus tabung yang digunakan adalah

beberapa ratus mA (Bushong, 2008).

d. Field Of View (FOV)

Field of view adaiah diameter maksimal dan gambaran yang

akan direkonstruksi. Jika FOV diperbesar, dengan ukuran matriks yang

tetap maka ukuran pixel akan mengalami pembesaran yang

proporsional. Sedangkan jika matriks diperbesar, dengan ukuran FOV

yang tetap, maka ukuran pixel akan semakin kecil, sehingga resolusi

gambar semakin baik (Bushong, 2008).

e. Increment

Increment adalah jarak antara image rekonstruksi dalam arah z

direction. Ketika memilih increment yang lebih kecil dari pada slice

thickness, akan membentuk potongan yang overlapping. Teknik ini

berguna untuk mengurangi pengaruh partial volume, memberi detail

anatomi yang bagus dan kualitas 2D dan 3D post processing yang

tinggi (Bontrager, 2010).

f. Pitch

Pitch adalah pergerakan meja perotasi dibagi slice thickness.

Pitch berpengaruh pada kualitas gambaran dan volume gambaran.

Pitch yang tinggi akan meningkatkan volume gambaran karena

berpengaruh pada resolusi gambar sepanjang z-axis (Nagel, 2004).

g. Rekontruksi Matriks

Rekontruksi Matriks adalah serangkaian angka yang diatur

dalam baris dan kolom, yang disebut dengan matriks. Satu buah kotak

atau 1 sel informasi dinamakan picture element (pixel) yang


25

mengandung nilai CT number atau Hounsfield unit (HU) sebagai

perwakilan dari volume jaringan yang digambarkan dalam 2 dimensi.

Setiap nilai yang dikandung tersebut akan ditampilkan sebagai

densitas optik atau tingkat brightness pada video monitor (Bushong,

2008). Ukuran matriks dapat dipilih dari 64 x 64 sampai 1024 x 1024.

Rekonstruksi matriks ini berpengaruh terhadap resolusi gambar yang

akan dihasilkan. Semakin tinggi matriks yang dipakai, maka semakin

tinggi resolusi yang akan dihasilkan (Seeram, 2009).

h. Rekontruksi Algorithma

Rekontruksi algorithma adalah prosedur matematis (algorithma)

yang digunakan dalam merekonstruksi gambar. Hasil dan karakteristik

dari gambar CT Scan tergantung pada kuatnya algorithma yang dipilih.

Sebagian besar CT Scan sudah memiliki standar algorithma tertentu

untuk pemeriksaan kepala, abdomen dan Iain-lain. Semakin tinggi

resolusi algorithma yang dipilih maka semakin tinggi pula resolusi

gambar yang akan dihasilkan. Dengan adanya metode ini maka

gambaran seperti tulang, soft tissue dan jaringan-jaringan lain dapat

dibedakan dengan jelas pada layar monitor, rekonstruksi algorithma

adalah prosedur matematis yang digunakan dalam merekon gambar.

Ada 3 rekonstruksi dasar algoritma yang digunakan pada CT kepala,

cervikal dan tulang belakang (Seeram, 2009).

1) Algorithma standard

Algorithma standard menyediakan resolusi kontras yang

baik dan oleh sebab itu algorithma ini menjadi pilihan untuk
26

pemeriksaan brain. Selain itu juga berguna untuk soft tissue pada

kepala, wajah, dan tulang belakang.

2) Algorithma bone

Algorithma bone membantu meningkatkan spatial resolusi

tetapi menghasilkan resolusi kontras yang buruk. Akibatnya,

jenis algorithma ini hanya digunakan pada area dengan densitas

jaringan yang tinggi seperti Sinus paranasal atau tulang temporal.

3) Algorithma detail

Algorithma detail memberikan cukup resolusi kontras

dengan batas tepi yang baik. Oleh karena itu dapat digunakan

untuk memperoleh definisi yang lebih baik antar jaringan, terutama

pada leher dan wajah.

i. Window Width

Window Width adalah rentang nilai computed tomography yang

dikonversi menjadi gray levels untuk ditampilkan dalam Television (TV)

monitor. Setelah komputer menyelesaikan pengolahan gambar melalui

rekonstruksi matriks dan algorithma, maka hasilnya akan dikonversi

menjadi skala numerik yang dikenal dengan nama nilai computed

tomography. Nilai ini mempunyai nilai satuan HU (Hounsfield Unit)

yang diambil dari nama penemu CT Scan kepala pertama kali yaitu

Godfrey Hounsfield (Bontrager, 2010).

Dasar dari pemberian nilai ini adalah air dengan nilai 0 HU.

Untuk tulang mempunyai nilai +1000 HU kadang sampai +3000 HU.

Sedangkan untuk kondisi udara nilai yang dimiliki -1000 HU. Diantara

rentang tersebut merupakan jaringan atau substansi lain dengan nilai


27

yang berbeda-beda pula tergantung pada tingkat perlemahannya.

Dengan demikian, penampakan tulang dalam layar monitor menjadi

putih dan penampakan udara hitam. Jaringan dan substansi lain akan

dikonversi menjadi warna abu-abu yang bertingkat yang disebut gray

scale. Khusus untuk darah yang semula dalam penampakannya

berwarna abu-abu dapat menjadi putih jika diberi media kontras iodine.

Tabel 2.1 Nilai CT pada jaringan yang berbeda penampakannya pada


layar monitor

Tipe jaringan Nilai CT (HU) Penampakan


Tooling +1000 Putih
Otot +50 Abu-abu
Materi putih +45 Abu-abu menyala
Materi abu-abu +40 Abu-abu
Darah +20 Abu-abu
CSF +15 Abu-abu
Air 0
Lemak -100 Abu-abu gelap ke hitam
Paru -200 Abu-abu gelap ke hitam
Udara -1000 Hitam

Sumber : Buku Bontrager, 2010

j. Window Level

Window level adalah nilai tengah dari window yang digunakan

untuk penampilan gambar. Nilainya dapat dipilih dan tergantung pada

karakteristik perlemahan dari struktur objek yang diperiksa. Window

level ini menentukan densitas gambar yang dihasilkan.


28

E. Proses pembentukan gambar pada CT Scan

Pembentukan gambar oleh CT Scanner terdiri atas tiga tahap, yaitu :

akuisisi data; rekonstruksi citra; dan tampilan gambar, manipulasi,

penyimpanan, perekaman dan komunikasi (Seeram, 2009).

Akusisi data berarti kumpulan hasil penghitungan transmisi sinar-x

setelah melalui tubuh pasien. Sekali sinar-x menembus pasien, berkas

tersebut diterima oleh detektor khusus yang menghitung nilai transmisi atau

nilai atenuasi (penyerapan). Penghitungan transmisi yang cukup atau data

harus terekam sebagai syarat proses rekonstruksi. Pada skema kumpulan

data yang pertama kali tabung sinar-x dan detektor bergerak pada garis

lurus atau translasi melewati kepala pasien, mengumpulkan hasil

penghitungan transmisi selama pergerakan dari kiri ke kanan. Lalu sinar-x

berotasi 1 derajat dan mulai lagi melewati kepala pasien, kali ini dari kanan

ke kiri. Proses gerak translasi-rotasi-stop-rotasi ini dinamakan scanning yang

berulang 180 kali. Permasalahan dasar yang muncul dengan metode

pengambilan data ini adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk

mendapat data yang cukup untuk rekonstruksi gambar. Berikutnya,

diperkenalkan skema scanning pasien yang lebih efisien. Sebagai

tambahan, sinyal dari detektor harus dikonversikan menjadi data yang dapat

dipakai oleh komputer untuk menghasilkan gambar (Seeram, 2009).

Pemrosesan data pada CT Scan terjadi seperti diterangkan pada

gambar dibawah ini, yaitu suatu sinar sempit (narrow beam) yang dihasilkan

oleh X-ray didadapatkan dari perubahan posisi dari tabung X-ray,


29

hal ini juga dipengaruhi oleh collimator dan detektor. Secara

sederhana dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.3. Collimator dan Detektor (Jejak Radiologi (CT).html)

Sinar-X yang telah dideteksi oleh detektor kemudian dikonversi

menjadi arus listrik yang kemudian ditransmisikan ke komputer dalam bentuk

sinyal melaui proses berikut :

Gambar 2.4. Proses pembentukan citra (www.Jejak Radiologi (CT).html)

Setelah diperoleh arus listrik dan sinyal aslinya, maka sinyal tadi

dikonversi ke bentuk digital menggunakan A/D Convertor agar sinyal digital

ini dapat diolah oleh komputer sehingga membentuk citra yang sebenarnya.
30

Hasilnya dapat dilihat langsung pada monitor komputer ataupun dicetak ke

film.

Sistem akusisi data terdiri atas sistem pengkondisi sinyal dan

interfacae (antar muka) analog ke komputer. Metode back projection banyak

digunakan dalam bidang kedokteran. Metode ini menggunakan pembagian

pixel-pixel yang kecil dari suatu irisan melintang. Pixel didasarkan pada nilai

absorbsi linier. Kemudian pixel-pixel ini disusun menjadi sebuah profil dan

terbentuklah sebuah matrik. Rekonstruksi dilakukan dengan jalan saling

menambah antar elemen matrik. Untuk mendapatkan gambar rekonstruksi

yang lebih baik, maka digunakan metode konvolusi. Proses rekonstruksi dari

konvolusi dapat dinyatakan dalam bentuk matematik yaitu transformasi

Fourier. Dengan menggunakan konvolusi dan transformasi fourier, maka

bayangan radiologi dapat dimanipulasi dan dikoreksi sehingga dihasilkan

gambar yang lebih baik.

F. Rekonstruksi Alghorithma

Alghorithma sudah secara umum dikenal dalam bidang radiologi

karena computer digunakan dalam banyak aplikasi pencitraan dan non

pencitraan. Alghorithma berasal dari nama mahasiswa Persia, Ja’far

Mohammed Ibn Musa Alkowarizmi yang buku arithmatiknya secara

significant mempengaruhi matematika selama beberapa tahun. Menurut

Knuth sebuah alghorithma adalah seperangkat peraturan atau petunjuk

untuk mendapatkan sebuah output yang spesifik dari sebuah input yang

spesifik. Solusi dari masalah matematika yang ada di Computed

Tomography (CT) yaitu program komputer atau rekonstruksi alghorithma


31

untuk merekonstruksi gambar (Seeram, 2009).

Pengguna CT-Scan spiral memiliki keuntungan yaitu dalam proses

rekonstruksi gambar, pada tekhnik spiral sebagian besar data tidak benar-

benar diukur dalam irisan yang sedang direkonstruksi. Sebaliknya data di

interpolasikan atau ditambahkan pada data yang terletak paling dekat

dengan irisan dengan kata lain data yang terletak paling dekat dengan irisan

menerima lebih banyak data yang dapat digunakan untuk merekonstruksi

gambar yang diinginkan.

Penggunaan teknik spiral dapat meningkatkan kontras dengan

memilih kuat arus (mA) yang tinggi, meningkatkan resolusi spasial

(ketajaman gambar) dengan mengurangi ketebalan irisan dan menggunakan

pitch untuk menyesuaikan panjang rentang spiral yang diinginkan dengan

mengurangi dosis pasien. Irisan lain dapat diperoleh tanpa meningkatkan

dosis atau menggunakan sinar-x kembali. Teknik ini terutama bermanfaat

bila data diformat ulang untuk membuat tampilan 2D lain seperti Sagital,

Obliq, Coronal, atau 3D.

Gambar 2.5. Rekonstruksi Alghorithma Spiral (Hoffer, 2010).


32

Data yang diperoleh lewat detector diteruskan Dalam bentuk sinyal

listrik yang sesuai dengan atenuasi sinar-x. Sinyal listrik kemudian di

digitalisasikan dan ditransmisikan sebagai gambar.

Prinsip dasar berhubungan dengan proses rekonstruksi gambaran

termasuk algorithma tidak terlepas dari transformasi fourier. Transformasi

fourier dikembangkan oleh ahli matematik Baron Jean Baptiste Joseph

Fourier pada tahun 1807 dan secara luas digunakan didalam ilmu

pengetahuan dan rancang bangun. Transformasi fourier adalah suatu alat

analitik yang bermanfaat pada matematika, ilmu perbintangan, ilmu kimia,

ilmu fisika, pengobatan, dan radiologi. Di radiologi, transformasi fourier itu

digunakan untuk merekonstruksi gambaran-gambaran dari anatomi pasien di

CT Scan dan juga didalam MRI.

Transformasi fourier diperkenalkan satu analogi yaitu gelombang

suara yang datang lalu masuk dalam telinga dan dipisahkan menjadi sinyal

dan intensitas yang berbeda. Sinyal-sinyal ini sampai di otak dan diatur

kembali agar menghasilkan suatu persepsi bunyi yang asli. Bracewell

menggambarkan Transformasi fourier seperti "suatu fungsi yang

menguraikan amplitudo dan tahap-tahap dari tiap sinusoid, yang

berpasangan dengan suatu frekuensi yang spesifik (amplitudo menguraikan

tingginya sinusoid; tahap-tahap spesifik titik awal di dalam siklus sinusoid

itu)". Dengan kata lain, transformasi fourier itu adalah suatu fungsi

matematika yaitu dengan mengkonversi suatu sinyal di dalam suatu daerah

menjadi suatu sinyal didaerah frekuensi.

Transformasi fourier membagi suatu bentuk gelombang (sinusoid)

ke dalam satu rangkaian fungsi cosinus-sinus dari frekwensi yang berbeda


33

dan amplitudo-amplitudo. Komponen ini lalu dipisahkan pada gambaran,

ketika suatu sinar-x melewati pasien, satu profil gambaran yang ditandai oleh

f(x). Ini dapat dinyatakan secara matematik dalam wujud deret Fourier

sebagai berikut :

f(x) = ao/2 + (a1 cos x + b1 sin x) (a2 cos 2x + b2 sin 2x) +

(a3 cos 3x + b3 sin 3x) + …….. + (an cos nx + bn sin nx)

Nilai-nilai ao, a1, b1, dan seterusnya disebut dengan koefisien fourier.

Penggunaan koefisien fourier memungkinkan merekonstruksi satu gambaran

pada CT scan (Seeram, 2009).

Gambar direkonstruksi melalui beberapa tahap antara lain:

1. Preposesing

Tahap ini mencakup koreksi dari data scan yang akan

direkonstruksi misalnya koreksi dosis, kalibrasi, beam hardening dan

lain-lain. Hal ini dilakukan untuk mengurangi beberapa kekurangan

inhernt yang berasal dari tabung dan detektor pada saat pencitraan

2. Back Projection

Meliputi penentuan kembali dari data scan yang telah

dikonvulasikan menjadi matrix gambar 2D yang berasal dari pasien.

Ukuran matrix biasanya terdiri dari 512 x 512 atau 1024 x 1024 picture

element atau biasa disebut pixel. Hasil back projection dalam bentuk

densitas sesuai yang ditunjukan dalam pixel, yang kemudian ditunjukan

dalam bentuk terang atau gelap. Semakin terang semakin tinggi

densitas yang ditunjukan pada pixel (misalnya pada tulang) (Hoffer,

2010).
34

3. Konvolusi

Konvolusi pada dasarnya adalah proses untuk mengoreksi

kelemahan inherent dari back projection. Misalnya phantom air cylindris di

scan dan direkonstruksi tanpa dikonvulasi terlebih dahulu maka gambaran

tepi dari phantom akan menjadi kabur.

Rekontruksi algorithma (Filter atau kernel) adalah prosedur

matematis (algorithma) yang digunakan dalam merekonstruksi gambar.

Sebagian besar CT-Scan sudah memiliki standar algorithma tertentu

untuk pemeriksaan kepala, abdomen dan Iain-lain. Semakin tinggi

resolusi algorithma yang dipilih maka semakin tinggi pula resolusi gambar

yang akan dihasilkan. Dengan adanya metode ini maka gambaran seperti

tulang, soft tissue dan jaringan-jaringan lain dapat dibedakan dengan

jelas pada layar monitor (Seeram, 2009).

Algorithma untuk resolusi tinggi yaitu yang mampu memperjelas

tepian atau ujung-ujung gambar akan menghasilkan image yang lebih

bagus, tetapi level noisenya akan lebih tinggi. Sebaliknya, algoritma

smooth yang memiliki level noise yang rendah, batas gambar menjadi

tidak jelas. Maka untuk studi rutin algorithma standard yang

direkomendasikan. Adanya metode ini maka gambaran seperti tulang,

soft tissue dan jaringan-jaringan lain dapat dibedakan dengan jelas pada

layar monitor (Seeram, 2009).

Pesawat CT-Scan merk General Elektrik (GE) terdapat parameter

pilihan yang di dalamnya terdapat algorithma yang pilihan algorithma

tersebut secara berurutan dari yang paling rendah ke yang paling tinggi

yaitu dari Soft, Standard, Lung, Detail, Bone, Edge dan Bone Plus. Dari
35

buku petunjuk protokol yang ada pada pesawat General Elektrik (GE),

untuk memperlihatkan tulang dengan jelas maka dapat menggunakan

algorithma Bone plus ( Prasojo, 2010).

Pesawat CT-Scan merk Siemens yang parameter algorithma

dikelompokan menjadi tiga golongan utama yaitu smooth, medium, sharp.

Algorithma smooth digunakan untuk memperlihatkan kelainan pada

jaringan lunak, sedangkan algorithma medium digunakan untuk organ

dengan ketebalan standar seperti abdomen, dan algorithma sharp

digunakan untuk memperlihatkan tulang dengan jelas (Application Guide

Siemens).

G. Kualitas Gambar CT Scan

1. Pengertian Kualitas Gambar CT Scan

Kualitas gambar dalam radiologi menurut Bushberg (2003) dan

Neseth (2004) harus dapat memperlihatkan gambaran anatomi yang

sesuai dan dapat memberikan nilai akurasi diagnostik yang tinggi,

sedangkan menurut Bontrager (2010) kualitas gambar meliputi semua

faktor yang berhubungan dengan akurasi dengan menampakkan struktur

dan jaringan ke dalam radiograf atau gambar.

Menurut Vartanian, J (2006), kualitas gambar CT Scan sinus

paranasal yang baik harus dapat memperlihatkan kriteria gambar CT

Scan sinus paranasal dengan jelas.

a. Kriteria gambar CT Scan Sinus paranasal pada Irisan Axial

1) Kedalaman dan rasio septa-septa ethmoid anterior dan posterior

dibandingkan dengan sinus sfenoidalis.


36

2) Ada atau tidak adanya sel sfenoethmoidalis.

3) Derajat indentasi yang ditimbulkan oleh arteri carotis dan nervus

opticus.

4) Posisi uncinatus.

5) Patensi infundibulum ethmoidalis yang bebentuk huruf v.

6) Aligment septum.

Keterangan :
1. : Anterior ethmoid
1 air cell
2. : Posterior ethmoid
air cell
2 3. : Sinus sfenoidalis

Gambar 2.6. Sinus paranasal irisan axial (Vartanian, J, 2006).

2. Resolusi Spasial

Resolusi Spasial adalah kemampuan untuk dapat membedakan

obyek yang berukuran kecil dengan densitas yang berbeda pada latar

belakang yang sama (Seeram, 2009). Resolusi Spasial dipengaruhi oleh

beberapa hal berikut:

a. Faktor Geometri

Faktor geometri adalah faktor yang berhubungan dengan

proses akuisisi data, antara lain meliputi ukuran focal spot, ukuran

dan kemampuan detektor dan slice thickness.


37

Ukuran focal spot yang lebih besar menyebabkan lebih banyak

ketidaktajaman geometri pada gambar dan mengurangi ketajaman

pada tepi struktur organ berkurang pada gambar transaxial

(Bushberg, 2003).

b. Rekonstruksi Algorithma / Filter Kernel

Bentuk dari filter kernel berpengaruh langsung terhadap spatial

resolusi. Filter tulang memiliki spatial resolusi yang paling baik dan

filter jaringan lunak memiliki spatial resolusi lebih rendah (Bushberg,

2003).

Gambar 2.7. (A) algorithma standard dan (B) algorithma bone


(Seeram, 2009)

c. Ukuran Matriks

Resolusi display ditentukan oleh jumlah pixel perdimensi

horisontal dan vertikal dari matriks pada monitor. Semakin tinggi

ukuran matriks maka semakin tinggi resolusi yang bisa ditampilkan

(Seeram, 2009).

d. Pembesaran Gambar (Magnifikasi)

Penambahan magnifikasi menambah kekaburan dari gambar.

Faktor magnifikasi pada CT Scan lebih besar dari pada radiografi

(Seeram, 2009).
38

e. Field of View (FOV)

FOV berpengaruh pada dimensi fisik dari tiap pixel. Untuk dapat

meningkatkan spatial resolusi ukuran pixel harus dikurangi. Hal ini

bisa dilakukan dengan cara menggunakan FOV yang lebih kecil

(Seeram, 2009).

3. Kontras Resolusi

Menurut Seeram (2009), kontras resolusi adalah kemampuan

untuk membedakan suatu penampakan obyek-obyek dengan perbedaan

densitas yang sangat kecil yang dipengaruhi oleh faktor eksposi, slice

thickness, FOV dan rekonstruksi algorithma/filter kernel.

Faktor eksposi dan slice thickness berpengaruh langsung

terhadap jumlah foton sinar X yang digunakan untuk menghasilkan

gambar CT Scan sehingga berpengaruh terhadap signal to noise ratio

(SNR) dan kontras resolusi (Bushberg, 2003).

Pada pengaturan tegangan tabung (kV) dan kuat arus-waktu

(mAs) yang sama, jumlah foton Sinar X yang terdeteksi akan meningkat

secara linier dengan ukuran slice thickness. Contohnya dari slice

thickness 5 mm menjadi 10 mm dengan tegangan tabung (kV) dan kuat

arus-waktu (mAs) sama jumlah foton Sinar X yang terdeteksi akan

meningkat dua kali lipat dan signal to noise ratio (SNR) akan meningkat

41%. Slice thickness yang lebih tebal akan meningkatkan kontras resolusi

(SNR lebih tinggi) tetapi spatial resolusi akan berkurang. Untuk

penggunaan slice thickness yang tipis sebaiknya kuat arus-waktu (mAs)

dinaikkan sebagai kompensasi hilangnya foton Sinar X karena kolimasi

(Bushberg, 2003).
39

Filter tulang akan menghasilkan kontras resolusi lebih rendah,

sedangkan filter jaringan lunak akan meningkatkan kontras resolusi

(Bushberg, 2003).

4. Noise

Menurut Seeram (2009) noise adalah fluktuasi (standar deviasi)

nilai CT number pada jaringan atau materi yang homogen. Sebagai

contoh adalah air memiliki CT number 0, semakin tinggi standar deviasi

nilai CT number pada pengukuran pada titik-titik air berarti noise-nya

tinggi.

Noise akan mempengaruhi kontras resolusi, semakin tinggi noise

maka kontras resolusi akan menurun (Bushberg, 2003). Faktor yang

berpengaruh terhadap noise adalah faktor eksposi, detektor dan slice

thickness.

5. Artefak

Secara umum artefak adalah kesalahan gambar (adanya sesuatu

dalam gambar) yang tidak ada hubungannya dengan obyek yang

diperiksa. Dalam CT Scan artefak sering didefinisikan sebagai

pertentangan atau perbedaan antara rekonstruksi CT number dalam

gambar dengan koefisien atenuasi yang sesungguhnya dari obyek yang

diperiksa (Seeram, 2009).

a. Streak Artifact

Streak artifact adalah artefak yang berupa garis-garis yang

disebabkan oleh bergerakan pasien, beam hardening, metal dan

adanya obyek di luar FOV.


40

b. Shading Artifact

Shading artifact dapat disebabkan oleh pergerakan obyek dan

beam hardening.

c. Ring Artifact

Ring artifact adalah artefak yang berupa garis lingkaran yang

disebabkan oleh adanya kerusakan detector.

d. Partial Volume Artifact

Partial volume adalah artefak yang disebabkan adanya dua

jaringan atau materi yang berbeda CT number dalam satu pixel.

H. Teknik Pemeriksaaan Sinus paranasal

Irisan axial merupakan standar pemeriksaan paling baik yang

dilakukan dalam bidang inferior orbito meatal (IOM), pemeriksaan sinus

paranasal pada irisan axial dilakukan dengan irisan setebal 5 mm, dimulai

dari sinus maksilaris sampai sinus frontalis. Pemeriksaan ini dapat

menganalisis perluasan penyakit dari gigi-geligi dan sinus palatum. Irisan

melalui bidang IOM dapat menyajikan anatomi paranasalis dengan baik dan

gampang dibandingkan dengan irisan standar cross section (Malueka,

2006).

1. Persiapan Pasien

Pasien diberi penjelasan tentang berbagai posisi dan prosedur

pemeriksaan yang akan dilakukan yang akan menambah kenyamanan

pasien dan mengurangi pergerakan pasien selama proses pemeriksaan

(Seeram, 2009).
41

2. Proyeksi Pemeriksaan

a. Proyeksi Coronal

1) Pasien diposisikan prone pada meja pemeriksaan dengan kepala

diletakkan pada head holder.

2) Kepala dan leher ekstensi sehingga OML sejajar meja

pemeriksaan. Kepala di beri fiksasi agar tidak terjadi pergerakan

selama pemeriksaan berlangsung.

3) Kedua tangan di samping tubuh.

4) Proyeksi scanning: Lateral, dimulai dari dagu sampai dengan

vertek.

Gambar 2.8. Scanogram (Hoffer, 2010)

b. Proyeksi Axial

1) Pasien diposisikan supine pada meja pemeriksaan dengan kepala

diletakkan pada head holder.

2) Dagu fleksi sehingga OML tegak lurus meja pemeriksaan.


42

3) Palatum durum tegak lurus meja sehingga canalis auditori

eksternus berada satu garis dengan margo orbitalis inferior.

4) Kepala difiksasi dengan tali pengikat agar tidak terjadi pergerakan

selama pemotretan.

5) Kedua tangan di samping tubuh.

6) Proyeksi scanning: Lateral, dimulai dari dagu sampai dengan

vertek.

I. Hipotesis

Ho : Tidak ada perbedaan informasi anatomi antara rekonstruksi

algorithma standard dengan algorithma bone plus pada pemeriksaan

MSCT sinus paranasal.

Ha : Ada perbedaan informasi anatomi antara rekonstruksi

algorithma standard dengan algorithma bone plus pada pemeriksaan

MSCT sinus paranasal.


43

J. Kerangka Teori

CT Scan sinus paranasal

Axial Coronal

Slice Thicknes
Scan Parameter
Faktor Eksposi

FOV

Matrik
Artefak
Window Width
Noise

Kontras Window Level


Resolusi
Kualitas cira Spasial Kernel
Resolusi

Algorithma Algorithma bone


standard plus

Gambar 2.9. Diagram Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai