TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Definisi
Komplikasi yang paling sering timbul pada fraktur terbuka adalah infeksi.
Infeksi bisa berasal dari flora normal di kulit ataupun bakteri pahthogen
khususnya bakteri gram (-). Golongan flora normal kulit, seperti Staphylococus,
Propionibacterium acne , Micrococus dan dapat juga Corynebacterium. Selain
dari flora normal kulit , hasil juga menunjukan gambaran bakteri yang bersifat
pathogen, tergantung dari paparan (kontaminasi ) lingkungan pada saat terjadinya
fraktur. Seperti cedera pada lingkungan perkebunan, sering terjadi bakteri
golongan Clostridium perfringens, tapi berbeda lagi Jika terpapar lingkungan
berair akan dijumpai bakteri golongan Pseudomonas. Infeksi nosokomial juga
sering sebagai penyebab infeksi luka pada fraktur terbuka. Kuman yang paling
sering dijumpai adalah Staphylococcus Aureus.(8)
2.1.2. Klasifikasi
1). Tipe I :
Fraktur terbuka dengan luka kulit kurang dari 1 cm dan bersih
Kerusakan jaringan minimal,biasanya dikarenakan tulang menembus kulit
dari dalam. Konfigurasi fraktur simple,transvers atau simple oblik.
2). Tipe II :
Fraktur terbuka dengan luka lebih dari 1 cm, tanpa ada kerusakan
jaringan lunak, kontusio ataupun avulsi yang luas. konfigurasi fraktur
berupa kominutif sedang dengan kontaminasi sedang.
Tipe IIIb : trauma sangat berat atau kehilangan jaringan lunak yang cukup
luas , terkelupasnya daerah periosteum dan tulang tampak terbuka , serta
adanya kontaminasi yang cukup berat.
Antibiotika
Debridement
Debridement adalah pengangkatan jaringan yang rusak dan mati sehingga luka
menjadi bersih. Untuk melakukan debridement yang adekuat, luka lama dapat
diperluas, Debridement yang adekuat merupakan tahapan yang sanagat penting
untuk pengelolaan fraktur terbuka. Debridement harus dilakukan sistematis,
komplit serta berulang. Untuk. fraktur terbuka tipe I diperlukan cairan normal
saline yang bejumlah 1-2 liter , sedangkan tipe II dan tipe III diperlukan cairan
sebanyak 5-10 liter.(7,8)
Stabilisasi fraktur
Stabilisasi pada fraktur terbuka di bagi dua cara yaitu dengan menggunakan
fiksasi internal (intramedullary nails atau plate and screw) dan fiksasi eksternal.
Pemilihan implant didasarkan dari lokasi cedera, konfigurasi fraktur, tipe fraktur
terbuka, cedera lain yang menyertai fraktur terbuka dan kemampuan dari ahli
bedah.(8)
2.1.4. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah infeksi akut, osteomyelitis, non union,
mal union dan gangguan atau kehilangan fungsi.(13)
Satu hal yang harus diingat adalah bahwa komplikasi yang paling sering
terjadi pada fraktur terbuka adalah infeksi.
Tipe I : 0 % sampai 2 %
Tipe II : 2 % sampai 7 %
Tipe III : 10 % sampai 25 %
Tipe IIIA :7%
Tipe IIIB : 10 % sampai 50 %
Tipe IIIC : 25% sampai 50% dengan rata rata amputasi 50 % atau
lebih
1) Peningkatan suhu
2) Nyeri
3) Kemerahan
4) Discharge serous sampai purulent
5) Bau
6) Septikemia atau bakteremia
7) Laboratorium abnormal seperti leukositosis dan peningkatan ESR
8) Pada pemeriksaan X- ray dijumpai adanya gas, reaksi periosteal, dan
sequester
9) Bone scan abnormal
10) Kultur positif
1) Nyeri
2) Eritema
3) Edema
4) Panas
5) Eksudat purulen
6) Eksudat serous yang disertai inflamasi
7) Penyembuhan yang lambat
8) Diskolorisasi jaringan granulasi
9) Jaringan granulasi yang rapuh
10) Pocketing pada dasar luka
11) Bau
12) Kerusakan luka
Prinsip penangangan infeksi akut pada fraktur terbuka atau infeksi akut pada
reduksi terbuka dan internal fiksasi pada fraktur tertutup adalah (9) :
Pemberian antibiotik
Penutupan luka
2.2.1. Definisi
CRP pertama kali ditemukan oleh Tillet dan Francis pada tahun 1930. Ketika
itu, kedua peneliti tersebut sedang mengadakan studi klinis dan laboratorium
untuk mengembangkan terapi bagi infeksi pneumococcal pneumonia. Mereka
menemukan suatu antigen baru yang disebut Fraksi C dan melanjutkannya dengan
pemeriksaan imunologi terhadap pasien penderita infeksi pneumonia. Tilett dan
Francis membuktikan bahwa Fraksi C dapat bereaksi kuat terhadap pasien yang
berada dalam tahap awal infeksi dan infeksi akut, namun setelah pasien sembuh
maka reaksi dengan Fraksi C menghilang. Dalam percobaan lanjutan, ternyata
Fraksi C tersebut juga dapat bereaksi dengan pasien penderita penyakit atau
inflamasi lainnya, seperti endocarditis dan demam rematik akut. (14,15)
CRP adalah suatu protein fase akut yang dapat menggambarkan suatu respon
fase akut pada inflamasi. Fase akut tersebut dapat bersifat lokal dan sistemik. Fase
akut inflamasi yang bersifat lokal diantaranya adalah vasodilatasi, agregasi
platelet, neutrophil chemotaxis dan pelepasan enzim lysosomal. Sedangkan fase
akut inflamasi yang bersifat sistemik adalah demam, leukositosis, dan perubahan
pada sintesis protein fase akut di hepar.(4,6,10,14,15,17)
Efek fase akut (acute phase response) yang timbul dapat dijumpai pada
berbagai macam cedera jaringan seperti infeksi, reaksi imunoalergi, cedera
thermal, hipoksia, trauma, pembedahan dan keganasan. Secara klinis,
pemeriksaan dari acute phase protein berguna untuk membantu menegakkan
diagnosa. Dikarenakan protein ini tidak bersifat spesifik, maka lokasi atau letak
organ yang mengalami infeksi atau inflamasi tidak dapat diketahui sehingga kadar
dari pemeriksaan acute phase protein ini dapat digunakan untuk menilai
perluasan aktivitas penyakit. Serupa dengan tumor markers, acute phase protein
dapat digunakan untuk memonitor perkembangan penyakit terhadap respon terapi
yang telah diberikan.(15)
CRP bukan satu-satu nya protein fase akut. Protein fase akut lainnya adalah
transport protein (hepatoglobin, ceruloplasmin,1-trypsin inhibitor dan lain-lain),
coagulation protein (fibrinogen, protrombin dan lain-lain) dan komponen
komplemen (C3, C4, C5 dan lain-lain). CRP lebih dipilih untuk memonitor fase
akut ini dikarenakan konsntrasi CRP meningkat relatif lebih tinggi dibandingkan
konsentrasi dasarnya, bila dibandingkan dengan ESR CRP juga memiliki waktu
yang singkat dan lebih sensitif dalam merespon suatu inflamasi. Selain itu tidak
diperlukan biaya yang tinggi untuk melakukan pemeriksaan CRP. (15,19)
2.2.2. Sintesis dan struktur CRP
CRP disintesis oleh hepatosit dan digolongkan sebagai suatu acute phase
protein. CRP akan meningkat didalam konsentrasi plasma apabila terjadi infeksi
ataupun inflamasi. Apabila terjadi infeksi, sel-sel inflamasi seperti neutrophil
granulocyte dan makropag akan melepas cytokines yaitu : IL-1, IL-6, IL8 dan
lain- lain. Cytokines, terutama IL-6, merangsang sintesis CRP di dalam
hepar.(14,15,17)
Sintesa CRP di hati berlangsung sangat cepat setelah ada sedikit rangsangan,
konsentrasi serum meningkat diatas 5mg/L selama 6-8 jam dan mencapai puncak
sekitar 24-48 jam. Waktu paruh dalam plasma adalah 19 jam dan menetap pada
semua keadaan sehat dan sakit, sehingga satu-satunya penentu konsentrasi CRP di
sirkulasi adalah menghitung sintesa IL-6 dengan demikian menggambarkan secara
langsung intensitas proses patologi yang merangsang produksi CRP. Kadar CRP
akan menurun tajam bila proses peradangan atau kerusakan jaringan mereda dan
dalam waktu sekitar 24-48 jam telah mencapai nilai normal kembali .Kadar CRP
stabil dalam plasma dan tidak dipengaruhi variasi diurnal. (17)
Clearance rate CRP adalah konstan, oleh karena itu kadar CRP di dalam darah
hanya diatur oleh sintesis. CRP berfungsi sebagai opsonin terhadap bakteri,
parasit dan kompleks immune. Pengukuran serial CRP dapat digunakan sebagai
diagnostik untuk infeksi, monitoring efek terapi, dan deteksi dini pada kasus-
kasus rekuren.(15)
CRP terdapat dalam serum normal walaupun dalam konsentrasi yang amat
kecil. Dalam keadaan tertentu dengan reaksi inflamasi atau kerusakan jaringan
baik yang disebabkan oleh penyakit infeksi maupun yang bukan infeksi,
konsentrasi CRP dapat meningkat sampai 100 kali. Sehingga diperlukan suatu
pemeriksaan yang dapat mengukur kadar CRP.
Gambar 1. Sintesis CRP Sumber : www.flipper.diff.org
Kadar CRP normal di dalam plasma biasanya adalah 1 mg/L dengan batasan
normal <10 mg/L. Kadar CRP di dalam plasma mulai meningkat antara 4-6 jam
setelah trauma dan mencapai puncaknya setelah 24 sampai 48 jam dan kembali
menurun pada hari ke 3. Peningkatan kadar CRP yang menetap setelah hari ke 3
paska pembedahan menandakan adanya infeksi.(4,15)
CRP adalah anggota keluarga dari protein pentraksin, suatu protein pengikat
kalsium dengan sifat pertahanan imunologis. Molekul CRP terdiri dari 5-6 subunit
polipeptida non glikosilat yang identik, terdiri dari 206 residu asam amino, dan
berikatan satu sama lain secara non kovalen, membentuk satu molekul berbentuk
cakram (disc) dengan berat molekul 110 140 kDa, setiap unit mempunyai berat
molekul 23 kDa.
Eisenhardt dkk pada tahun 2009 menemukan bahwa C-Reactive Protein
terdapat dalam 2 bentuk, yaitu bentuk pentamer (pCRP) dan monomer (mCRP).
Bentuk pentamer dihasilkan oleh sel hepatosit sebagai reaksi fase akut dalam
respon terhadap infeksi, inflamasi dan kerusakan jaringan. Bentuk monomer
berasal dari pentamer CRP yang mengalami dissosiasi dan mungkin dihasilkan
juga oleh sel-sel ekstrahepatik seperti otot polos dinding arteri, jaringan adiposa
dan makrofag.(15)
2.2.3. Fungsi biologis CRP
Fraktur
terbuka
stabilisasi
Grade II fraktur
Gejala klinis laboratorium
Grade IIIc
Peningkatan ESR
Nyeri
Peningkatan CRP
Kemerahan
discharge
pembengkakan