Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fraktur Terbuka

2.1.1. Definisi

Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat hubungan fragmen fraktur


dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur tersebut yang menembus dari
dalam hingga kepermukaan kulit atau kulit dipermukaan yang mengalami
penetrasi suatu objek yang tajam dari luar hingga kedalam. (7)

Komplikasi yang paling sering timbul pada fraktur terbuka adalah infeksi.
Infeksi bisa berasal dari flora normal di kulit ataupun bakteri pahthogen
khususnya bakteri gram (-). Golongan flora normal kulit, seperti Staphylococus,
Propionibacterium acne , Micrococus dan dapat juga Corynebacterium. Selain
dari flora normal kulit , hasil juga menunjukan gambaran bakteri yang bersifat
pathogen, tergantung dari paparan (kontaminasi ) lingkungan pada saat terjadinya
fraktur. Seperti cedera pada lingkungan perkebunan, sering terjadi bakteri
golongan Clostridium perfringens, tapi berbeda lagi Jika terpapar lingkungan
berair akan dijumpai bakteri golongan Pseudomonas. Infeksi nosokomial juga
sering sebagai penyebab infeksi luka pada fraktur terbuka. Kuman yang paling
sering dijumpai adalah Staphylococcus Aureus.(8)

2.1.2. Klasifikasi

Klasifikasi fraktur terbuka berdasarkan Gustilo : (7,8)

1). Tipe I :
Fraktur terbuka dengan luka kulit kurang dari 1 cm dan bersih
Kerusakan jaringan minimal,biasanya dikarenakan tulang menembus kulit
dari dalam. Konfigurasi fraktur simple,transvers atau simple oblik.

2). Tipe II :

Fraktur terbuka dengan luka lebih dari 1 cm, tanpa ada kerusakan
jaringan lunak, kontusio ataupun avulsi yang luas. konfigurasi fraktur
berupa kominutif sedang dengan kontaminasi sedang.

3). Tipe III :

Fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang luas,


kontaminasi berat, biasanya disebabkan oleh trauma yang hebat, dengan
konfigurasi fraktur kominutif.

Fraktur tipe III dibagi menjadi tiga yaitu :

Tipe IIIa : Fraktur segmental atau sangat kominutif penutupan tulang


dengan jaringan lunak cukup adekuat.

Tipe IIIb : trauma sangat berat atau kehilangan jaringan lunak yang cukup
luas , terkelupasnya daerah periosteum dan tulang tampak terbuka , serta
adanya kontaminasi yang cukup berat.

Tipe IIIc : Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan pembuluh


darah tanpa memperhatikan derajat kerusakan jaringan lunak.

2.1.3. Penanganan fraktur terbuka

Prinsip penanganan fraktur terbuka (8)

1. Semua fraktur terbuka dikelola secara emergensi.


2. Lakukan penilaian awal akan adanya cedera lain yang dapat
mengancam jiwa
3. Berikan antibiotika yang sesuai dan adekuat
4. Lakukan debridement dan irigasi luka
5. Lakukan stabilisaasi fraktur
6. Lakukan rehabilitasi ektremitas yang , mengalami fraktur

Penanganan awal fraktur terbuka tetap mengedepankan keadaan umum (life


threatening) pasien terlebih dahulu yaitu : memasang cairan intravena dua jalur,
pemeriksaan klinis dan radiologi terhadap toraks, abdomen, cervical dan lain-lain,
pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin dan urinalisa dan pemeriksaan lain
sesuai indikasi. Hal yang paling penting dalam penangan fraktur terbuka adalah
untuk mengurangi atau mencegah terjadinya infeksi. (8,12)

Antibiotika

Untuk fraktur terbuka antibiotika yang dianjurkan adalah golongan


cephalosporin,dan dikombinasi dengan golongan aminoglikosida. Untuk fraktur
terbuka tipe I diberikan inisial 2 gram golongan cephalosporin, dan dilanjutkan
dengan pemberian 1 gr setiap 6 sampai 8 jam selama 48 sampai 72 jam. Pada
fraktur terbuka tipe II dan tipe III pemberian antibiotika kombinasi sangat di
anjurkan untuk dapat mencegah infeksi dari bakteri gram positif ataupun gram
negatif. Kombinasi antibiotika yang dianjurkan adalah golongan cephalosporin (2
gr) dikombinasikan dengan golongan aminoglikosida (3 5 mg/kg) diberikan
inisial, dilanjutkan selama 3 hari. 10.000.000 unit penisilin diberikan terhadap
luka sangat kotor (farm injuries). Anti tetanus di indikasikan untuk semua fraktur
terbuka.(8,11,12)

Debridement

Debridement adalah pengangkatan jaringan yang rusak dan mati sehingga luka
menjadi bersih. Untuk melakukan debridement yang adekuat, luka lama dapat
diperluas, Debridement yang adekuat merupakan tahapan yang sanagat penting
untuk pengelolaan fraktur terbuka. Debridement harus dilakukan sistematis,
komplit serta berulang. Untuk. fraktur terbuka tipe I diperlukan cairan normal
saline yang bejumlah 1-2 liter , sedangkan tipe II dan tipe III diperlukan cairan
sebanyak 5-10 liter.(7,8)

Stabilisasi fraktur

Pada fraktur terbuka, stabilisasi fraktur berguna untuk memberikan


perlindungan terhadap kerusakan jaringan yang lebih parah, mempermudah akses
dalam melakukan perawatan luka, mempermudah pasien dalam melakukan
mobilisasi, dan pasien dapat melakukan isometric muscle exercise serta
melakukan gerakan sendi di atas ataupun dibawah garis fraktur baik secara aktif
ataupun pasif.(8,12)

Stabilisasi pada fraktur terbuka di bagi dua cara yaitu dengan menggunakan
fiksasi internal (intramedullary nails atau plate and screw) dan fiksasi eksternal.
Pemilihan implant didasarkan dari lokasi cedera, konfigurasi fraktur, tipe fraktur
terbuka, cedera lain yang menyertai fraktur terbuka dan kemampuan dari ahli
bedah.(8)

2.1.4. Komplikasi

Komplikasi yang paling sering adalah infeksi akut, osteomyelitis, non union,
mal union dan gangguan atau kehilangan fungsi.(13)

2.1.5. Infeksi pada fraktur terbuka

Satu hal yang harus diingat adalah bahwa komplikasi yang paling sering
terjadi pada fraktur terbuka adalah infeksi.

Insidensi terjadinya infeksi luka pada fraktur terbuka memiliki hubungan


secara langsung terhadap kerusakan jaringan. Rata rata infeksi yang dapat
terjadi berdasarkan klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo adalah : (8)

Tipe I : 0 % sampai 2 %
Tipe II : 2 % sampai 7 %
Tipe III : 10 % sampai 25 %
Tipe IIIA :7%
Tipe IIIB : 10 % sampai 50 %
Tipe IIIC : 25% sampai 50% dengan rata rata amputasi 50 % atau
lebih

Diagnosis awal terhadap infeksi pada fraktur terbuka dapat ditegakkan


berdasarkan tanda dan gejala dari inflamasi. Anamnesa yang baik sangat di
perlukan untuk menegakkan dan mencegah terjadinya infeksi pada fraktur
terbuka. Gas gangrene dapat muncul 24 sampai 48 jam setelah infeksi.
Peningkatan suhu tubuh yang terjadi pada hari ke 3 setelah pembedahan dapat
dijadikan dugaan yang sangat kuat terhadap terjadinya infeksi luka. (9)

Tanda dan gejala kardinal dari infeksi luka adalah :

1) Peningkatan suhu
2) Nyeri
3) Kemerahan
4) Discharge serous sampai purulent
5) Bau
6) Septikemia atau bakteremia
7) Laboratorium abnormal seperti leukositosis dan peningkatan ESR
8) Pada pemeriksaan X- ray dijumpai adanya gas, reaksi periosteal, dan
sequester
9) Bone scan abnormal
10) Kultur positif

Gardner et al mengembangkan suatu daftar (checklist) untuk


menggambarkan tanda dan gejala klinis luka infeksi, yang terdiri dari 12 tanda
yaitu :(17)

1) Nyeri
2) Eritema
3) Edema
4) Panas
5) Eksudat purulen
6) Eksudat serous yang disertai inflamasi
7) Penyembuhan yang lambat
8) Diskolorisasi jaringan granulasi
9) Jaringan granulasi yang rapuh
10) Pocketing pada dasar luka
11) Bau
12) Kerusakan luka

Penanganan infeksi pada fraktur terbuka

Prinsip penangangan infeksi akut pada fraktur terbuka atau infeksi akut pada
reduksi terbuka dan internal fiksasi pada fraktur tertutup adalah (9) :

1) Debridement radikal pada jaringan nekrotik dan tulang yang mati


2) Antibiotik yang tepat
3) Pemberian antibiotic beads secara lokal
4) Menjaga stabilitas fraktur
5) Rawat luka terbuka
6) Penutupan luka pada hari ke 7 sampai ke 14
7) Penundaan cancellous bone grafting

Radikal debridement dan irigasi

Luka harus dibuka lebih lebar dengan melakukan insisi longitudinal


(Henrys extensile exposure). Pus harus dievakuasi secara tuntas, jaringan
nekrotik dan tulang yang mati harus di eksisi seluruhnya. Kemudian
dilakukan irigasi yang berulang ulang tehadap luka dengan
menggunakan larutan normal saline sebanyak 5000 sampai 1000 mL, dan
dilanjutkan dengan pemberian larutan bacitracin-polymyxin 0,1%
sebanyak 2000 sampai 3000 mL, pemberian antibiotic beads dan luka
dibiarkan terbuka. Debridement diulang pada hari ke 2 atau ke 3 dan
penutupan luka dilakukan pada saat ini tanpa adanya tension pada
penutupan luka.(9)

Pemberian antibiotik

Antibiotik segera diberikan tanpa harus menunggu hasil kultur.


Beberapa penelitian menunjukan bahwa antibiotik golongan cephalosporin
merupakan pilihan untuk kebanyakan kasus. Setelah hasil kultur dan tes
sensitivitas ada, diberikan 2 gr inisial dan 1 sampai 2 gr setiap 4 sampai 6
jam tergantung dari luas infeksinya. Antibiotik intravena diberikan selama
4 sampai 6 minggu.(9)

Menjaga stabilitas fraktur

Mempertahankan stabilitas fraktur dapat mengurangi resiko


terjadinya infeksi pada luka. Pada kasus infeksi berat pada fraktur, skeletal
traksi dapat digunakan secara temporer untuk mempertahankan stabilitas
fraktur. Pin atau pun plaster of paris dapat digunakan apabila material
fiksasi eksternal tidak tersedia. Fiksasi internal seperti plate atau nailing
harus dihindari, dan dapat di pasang 4 5 hari kemudian setelah tanda
tanda infeksi menghilang.(9)

Penutupan luka

Sebelum dilakukan penutupan luka ada dua hal yang harus


diperhatikan yaitu pertama infeksi sudah terkontrol dan tidak dijumpai
lagi tanda tanda inflamasi lokal seperti eksudat purulen, kemerahan
ataupun bengkak, dan yang kedua tidak ditemukan lagi tanda dan gejala
sistemik dari infeksi seperti demam, menggigil, atau peningkatan nyeri
dan sel darah putih harus dalam batas normal. Ada 4 masalah yang
ditemukan dalam melakukan penutupan luka pada infeksi fraktur terbuka
yaitu :(9)
Penutupan jaringan lunak dan tulang yang adekuat.
Penutupan jaringan lunak yang tidak adekuat, ekspos dari tulang
namun tidak ada kehilangan jaringan tulang.
Penutupan jaringan lunak yang tidak adekuat, ekspos dari tulang
dan dijumpai adanya kehilangan sebagian jaringan tulang (gaps)
atau defek parsial.
Ekspos dari material fiksasi

Cancelleous bone graft

Menurut Gustilo, fraktur terbuka tipe III dengan kerusakan


jaringan yang luas memiliki komplikasi delayed union atau non union
hingga 60%. Cancelleous bone graft dianjurkan diberikan setelah luka
benar benar sembuh yaitu 4 6 minggu setelah prosedur penutupan luka.
Pada kasus infeksi open fraktur dengan defek jaringan lunak yang luas dan
bone loss, Cancelleous bone graft dianjurkan 2 4 minggu segera setelah
jaringan granulasi yang sehat muncul (papineau et al), dan kemudian
dilakukan split-thickness skin graft.(9)

2.2. C-Reactive Protein

2.2.1. Definisi

C reactive protein (CRP), disebut demikian karena ketika pertama kali


ditemukan merupakan suatu substansi pada pasien dengan inflamasi akut yang
bereaksi dengan C- (capsular) polysaccharida dari pneumococcus.(14)

CRP pertama kali ditemukan oleh Tillet dan Francis pada tahun 1930. Ketika
itu, kedua peneliti tersebut sedang mengadakan studi klinis dan laboratorium
untuk mengembangkan terapi bagi infeksi pneumococcal pneumonia. Mereka
menemukan suatu antigen baru yang disebut Fraksi C dan melanjutkannya dengan
pemeriksaan imunologi terhadap pasien penderita infeksi pneumonia. Tilett dan
Francis membuktikan bahwa Fraksi C dapat bereaksi kuat terhadap pasien yang
berada dalam tahap awal infeksi dan infeksi akut, namun setelah pasien sembuh
maka reaksi dengan Fraksi C menghilang. Dalam percobaan lanjutan, ternyata
Fraksi C tersebut juga dapat bereaksi dengan pasien penderita penyakit atau
inflamasi lainnya, seperti endocarditis dan demam rematik akut. (14,15)

CRP adalah suatu protein fase akut yang dapat menggambarkan suatu respon
fase akut pada inflamasi. Fase akut tersebut dapat bersifat lokal dan sistemik. Fase
akut inflamasi yang bersifat lokal diantaranya adalah vasodilatasi, agregasi
platelet, neutrophil chemotaxis dan pelepasan enzim lysosomal. Sedangkan fase
akut inflamasi yang bersifat sistemik adalah demam, leukositosis, dan perubahan
pada sintesis protein fase akut di hepar.(4,6,10,14,15,17)

Efek fase akut (acute phase response) yang timbul dapat dijumpai pada
berbagai macam cedera jaringan seperti infeksi, reaksi imunoalergi, cedera
thermal, hipoksia, trauma, pembedahan dan keganasan. Secara klinis,
pemeriksaan dari acute phase protein berguna untuk membantu menegakkan
diagnosa. Dikarenakan protein ini tidak bersifat spesifik, maka lokasi atau letak
organ yang mengalami infeksi atau inflamasi tidak dapat diketahui sehingga kadar
dari pemeriksaan acute phase protein ini dapat digunakan untuk menilai
perluasan aktivitas penyakit. Serupa dengan tumor markers, acute phase protein
dapat digunakan untuk memonitor perkembangan penyakit terhadap respon terapi
yang telah diberikan.(15)

CRP bukan satu-satu nya protein fase akut. Protein fase akut lainnya adalah
transport protein (hepatoglobin, ceruloplasmin,1-trypsin inhibitor dan lain-lain),
coagulation protein (fibrinogen, protrombin dan lain-lain) dan komponen
komplemen (C3, C4, C5 dan lain-lain). CRP lebih dipilih untuk memonitor fase
akut ini dikarenakan konsntrasi CRP meningkat relatif lebih tinggi dibandingkan
konsentrasi dasarnya, bila dibandingkan dengan ESR CRP juga memiliki waktu
yang singkat dan lebih sensitif dalam merespon suatu inflamasi. Selain itu tidak
diperlukan biaya yang tinggi untuk melakukan pemeriksaan CRP. (15,19)
2.2.2. Sintesis dan struktur CRP

CRP disintesis oleh hepatosit dan digolongkan sebagai suatu acute phase
protein. CRP akan meningkat didalam konsentrasi plasma apabila terjadi infeksi
ataupun inflamasi. Apabila terjadi infeksi, sel-sel inflamasi seperti neutrophil
granulocyte dan makropag akan melepas cytokines yaitu : IL-1, IL-6, IL8 dan
lain- lain. Cytokines, terutama IL-6, merangsang sintesis CRP di dalam
hepar.(14,15,17)

Sintesa CRP di hati berlangsung sangat cepat setelah ada sedikit rangsangan,
konsentrasi serum meningkat diatas 5mg/L selama 6-8 jam dan mencapai puncak
sekitar 24-48 jam. Waktu paruh dalam plasma adalah 19 jam dan menetap pada
semua keadaan sehat dan sakit, sehingga satu-satunya penentu konsentrasi CRP di
sirkulasi adalah menghitung sintesa IL-6 dengan demikian menggambarkan secara
langsung intensitas proses patologi yang merangsang produksi CRP. Kadar CRP
akan menurun tajam bila proses peradangan atau kerusakan jaringan mereda dan
dalam waktu sekitar 24-48 jam telah mencapai nilai normal kembali .Kadar CRP
stabil dalam plasma dan tidak dipengaruhi variasi diurnal. (17)
Clearance rate CRP adalah konstan, oleh karena itu kadar CRP di dalam darah
hanya diatur oleh sintesis. CRP berfungsi sebagai opsonin terhadap bakteri,
parasit dan kompleks immune. Pengukuran serial CRP dapat digunakan sebagai
diagnostik untuk infeksi, monitoring efek terapi, dan deteksi dini pada kasus-
kasus rekuren.(15)

CRP terdapat dalam serum normal walaupun dalam konsentrasi yang amat
kecil. Dalam keadaan tertentu dengan reaksi inflamasi atau kerusakan jaringan
baik yang disebabkan oleh penyakit infeksi maupun yang bukan infeksi,
konsentrasi CRP dapat meningkat sampai 100 kali. Sehingga diperlukan suatu
pemeriksaan yang dapat mengukur kadar CRP.
Gambar 1. Sintesis CRP Sumber : www.flipper.diff.org

Kadar CRP normal di dalam plasma biasanya adalah 1 mg/L dengan batasan
normal <10 mg/L. Kadar CRP di dalam plasma mulai meningkat antara 4-6 jam
setelah trauma dan mencapai puncaknya setelah 24 sampai 48 jam dan kembali
menurun pada hari ke 3. Peningkatan kadar CRP yang menetap setelah hari ke 3
paska pembedahan menandakan adanya infeksi.(4,15)

CRP adalah anggota keluarga dari protein pentraksin, suatu protein pengikat
kalsium dengan sifat pertahanan imunologis. Molekul CRP terdiri dari 5-6 subunit
polipeptida non glikosilat yang identik, terdiri dari 206 residu asam amino, dan
berikatan satu sama lain secara non kovalen, membentuk satu molekul berbentuk
cakram (disc) dengan berat molekul 110 140 kDa, setiap unit mempunyai berat
molekul 23 kDa.
Eisenhardt dkk pada tahun 2009 menemukan bahwa C-Reactive Protein
terdapat dalam 2 bentuk, yaitu bentuk pentamer (pCRP) dan monomer (mCRP).
Bentuk pentamer dihasilkan oleh sel hepatosit sebagai reaksi fase akut dalam
respon terhadap infeksi, inflamasi dan kerusakan jaringan. Bentuk monomer
berasal dari pentamer CRP yang mengalami dissosiasi dan mungkin dihasilkan
juga oleh sel-sel ekstrahepatik seperti otot polos dinding arteri, jaringan adiposa
dan makrofag.(15)
2.2.3. Fungsi biologis CRP

Fungsi dan peranan CRP di dalam tubuh ( in vivo ) belum diketahui


seluruhnya, banyak hal yang masih merupakan hipotesis. Meskipun CRP bukan
suatu antibodi, tetapi CRP mempunyai berbagai fungsi biologis yang
menunjukkan peranannya pada proses peradangan dan mekanisme daya tahan
tubuh terhadap infeksi.
Beberapa hal yang diketahui tentang fungsi biologis CRP ialah: (17)
1) CRP dapat mengikat C-polisakarida (CPS) dari berbagai bakteri melalui
reaksi presipitasi/aglutinasi.

2) CRP dapat meningkatkan aktivitas dan motilitas sel fagosit seperti


granulosit dan monosit/makrofag.

3) CRP dapat mengaktifkan komplemen baik melalui jalur klasik mulai


dengan C1q maupun jalur alternatif.
4) CRP mempunyai daya ikat selektif terhadap limfosit T. Dalam hal ini
diduga CRP memegang peranan dalam pengaturan beberapa fungsi
tertentu selama proses keradangan.

5) CRP mengenal residu fosforilkolin dari fosfolipid, lipoprotein membran


sel rusak, kromatin inti dan kompleks DNA-histon.

6) CRP dapat mengikat dan mendetoksikasi bahan toksin endogen yang


terbentuk sebagai hasil kerusakan jaringan.

2.2.4. Inflamasi dan respon fase akut

Inflamasi merupakan mekanisme proteksi yang terbatas terhadap trauma atau


invasi mikroba dengan reaksi yang menghancurkan atau membatasi bahan yang
berbahaya dan merusak jaringan. Inflamasi diperlukan tubuh untuk
mempertahankan diri dari berbagai bahaya yang mengganggu keseimbangan
tetapi juga dapt memperbaiki kerusakan struktur serta gangguan fungsi jaringan.
Reaksi inflamasi termasuk dalam respons imun nonspesifik. Bila terjadi inflamasi,
sel-sel sistem imun yang tersebar di seluruh tubuh akan bergerak ke lokasi infeksi
beserta produk-produk yang dihasilkannya.(17)
Selama respon ini berlangsung terjadi 3 proses yang penting yaitu:
Peningkatan aliran darah ke daerah infeksi.
Peningkatan permeabilitas kapiler akibat retraksi sel-sel endotel yang
mengakibatkan molekul-molekul besar dapat menembus dinding vaskuler.
Migrasi leukosit ke vaskuler
Gejala inflamasi dini ditandai oleh pelepasan berbagai mediator sel mast
setempat seperti histamin dan bradikinin. Kejadian ini disertai dengan aktivasi
komplemen, sistem koagulasi, sel-sel inflamasi dan sel endotel yang masing-
masing melepas mediator yang menimbulkan efek sistemik seperti panas,
neutrofilia dan protein fase akut. Proses inflamasi akan berjalan terus sampai
antigen dapat disingkirkan.
Sejumlah protein plasma secara bersama disebut protein-protein fase akut.
Protein-protein ini menunjukkan peningkatan dramatis dalam menanggapi
mediator-mediator yang bertindak sebagai tanda bahaya dini.(17)
Suatu sifat utama dari CRP adalah kemampuannya mengikat ( dengan pola
yang bergantung dengan kalsium ) sejumlah mikroorganisme yang mengandung
fosforilkolin dalam membran mereka, kompleks yang berguna untuk
mengaktifkan komplemen ( melalui jalur klasik ). Ini mengakibatkan deposisi C3b
diatas permukaan mikroba yang kemudian diopsonisasi untuk perlekatan pada
fagosit. Aktivasi komplemen berikutnya adalah terjadinya penarikan dan
pemacuan neutrofil, fagosit yang telah aktif terikat pada mikroba yang telah
diselaputi oleh C3b melalui permukaan reseptor C3b dan kemudian menelan
mereka. CRP juga diikat C1q dan karenanya dapat mengaktifkan komplemen atau
bekerja sebagai opsonin melalui interaksi dengan reseptor C1q pada fagosit.
Peningkatan sintesis CRP akan meningkatkan viskositas plasma sehingga laju
endap darah juga akan meningkat. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan
infeksi yang tetap persisten.(15,17)
Pemeriksaan CRP tidak dapat digunakan untuk mendiagnosa penyakit secara
spesifik, namun dapat digunakan sebagai indikator jika ditemukan adanya
inflamasi dan infeksi. Pemeriksaan CRP dapat berguna untuk menilai keadaan
sebagai berikut : (14)
Inflammatory bowel disease
Rheumatoid arthritis
Gangguan system imun (penyakit lupus)
Pelvic inflammatory disease (PID)
Osteomyelitis
Lymphoma
Penyakit jaringan ikat
Penyakit jantung
Infeksi
Pneumonia pcpneumococcal
Demam rheumatik
tuberkulosa
2.3. Kerangka teori

Fraktur
terbuka

Klasifikasi Penatalaksanaan Komplikasi

Gustilo- Debridement Infeksi Non union Malunion Delayed union


Anderson

Grade I Antibotik Akut Kronik

stabilisasi
Grade II fraktur
Gejala klinis laboratorium

Grade IIIa Peningkatan


Peningkatan
rehabilitasi leukosir
Grade IIIb suhu

Grade IIIc
Peningkatan ESR
Nyeri

Peningkatan CRP
Kemerahan

discharge

pembengkakan

Gambar 2. Kerangka teori


2.4. Kerangka Konsepsional

Gambar 3. Kerangka konsepsional

Anda mungkin juga menyukai