Anda di halaman 1dari 27

DETEKSI DINI GANGGUAN PENDENGARAN

PADA BAYI DAN ANAK

Disusun oleh:
Dimas Arya Pradana 030.11.078
Federika Rosilawati 030.11.099
Malvin Christo Wijaya 030.10.169
I Gede Putu Arsa 030.10.128

Pembimbing:
dr. Satria Nugraha W., Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI
PERIODE 19 DESEMBER 2016 – 21 JANUARI 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul:


“DETEKSI DINI GANGGUAN PENDENGARAN
PADA BAYI DAN ANAK”
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT
Periode 19 Desember 2016 – 21 Januari 2017

Disusun oleh:
Dimas Arya Pradana 030.11.078
Federika Rosilawati 030.11.099
Malvin Christo Wijaya 030.10.169
I Gede Putu Arsa 030.10.128

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Satria Nugraha W., Sp. THT-KL
Selaku dokter pembimbing departemen Ilmu Penyakit THT RSUD Bekasi

Bekasi, Januari 2017


Mengetahui,

dr. Satria Nugraha W., Sp. THT-KL

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Deteksi Dini Gangguan
Pendengaran pada Bayi dan Anak” ini. Penulis juga turut menyampaikan ucapan terima
kasih kepada pembimbing, dr. Satria Nugraha W., Sp. THT-KL , yang telah menyediakan
waktu untuk membimbing serta memberikan banyak tambahan ilmu dan informasi mengenai
referat ini.
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas akhir dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit THT RSUD Bekasi. Penulis sangat menyadari bahwa referat ini masih
banyak terdapat kekurangan, baik mengenai isi, tata bahasa dan informasi ilmiah di
dalamnya. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran. Semoga referat
ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.

Bekasi, Januari 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan...................................................................................................................2
Kata Pengantar...........................................................................................................................3
Daftar Isi....................................................................................................................................4
Bab I Pendahuluan...............................................................................................................5
Bab II Tinjauan Pustaka........................................................................................................6
Epidemiologi gangguan pendengaran pada bayi dan anak...............................6
Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak.....................................7
Jenis gangguan pendengaran............................................................................7
Skrining pendengaran.......................................................................................8
Skrining pendengaran di Indonesia..................................................................23
Bab III Kesimpulan.................................................................................................................25
Daftar Pustaka..........................................................................................................................26

4
BAB 1
PENDAHULUAN

Kesehatan indera pendengaran merupakan syarat penting bagi upaya peningkatan


kualitas sumber daya manusia karena sebagian besar infomasi diserap melalui proses
mendengar yang baik. Bagi anak fungsi pendengaran berpengaruh dalam perkembangan
bicara dan berbahasa, sosialisasi dan perkembagan kognitifnya. Menemukan gangguan
pendengaran pada bayi tidak mudah, gangguan pendengaran sering diabaikan karena orang
tua tidak langsung sadar anaknya menderita gangguan, kadang-kadang anak dianggap
sebagai anak autis atau hiperaktif karena 1 sikapnya yang sulit diatur. Orang tua baru
menyadari adanya gangguan pendengaran pada anak bila tidak ada respons terhadap suara
keras atau belum/terlambat berbicara. Oleh karena itu informasi dari orang tua sangat
bermanfaat untuk mengetahui respons anak terhadap suara dilingkungan rumah, kemampuan
vokalisasi dan cara mengucapkan kata.1,2

Gangguan pendengaran pada anak perlu dideteksi sedini mungkin mengingat


pentingnya peranan fungsi pendengaran dalam proses perkembangan bicara. Identifikasi
gangguan pendengaran secara dini dengan cara mengamati reaksi anak terhadap suara atau
tes fungsi pendengaran dengan metode dan peralatan yang sederhana. Saat ini sudah banyak
metode untuk menilai fungsi pendengaran anak. Tes pendengaran pada anak tidak bisa
ditunda hanya dengan alasan usia anak belum memungkinkan untuk dilakukan tes
pendengaran. Tanpa program skrining pendengaran, gangguan pendengaran baru diketahui
pada usia 18 – 24 bulan.2

Tes pendengaran secara obyektif di bidang audiologi dengan peralatan


elektrofisiologik saat ini sudah banyak dikembangkan di beberapa Rumah Sakit dan klinik
seperti ABR, ASSR, elektroakustik imitans dan OAE yang sangat berharga dalam diagnostik
fungsi pendengaran secara dini tidak tergantung usia. Akan tetapi masalahnya adalah tidak
semua Rumah Sakit memiliki peralatan tersebut dan biaya pemeriksaan yang relatif mahal.
Sekalipun sudah ada tes elektrofisiologik yang canggih, tes pendengaran dengan pengamatan
tingkah laku anak terhadap rangsang suara (behaviour observation audiometry), tetap harus
dilakukan di bidang audiologi pediatri.2,3

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Epidemiologi ganguan pendengaran pada bayi dan anak


Insidens gangguan pendengaran pada neonatus di Amerika berkisar antara
1-3 dari 1000 kelahiran hidup. Sedangkan US Preventive Services Task Force
melaporkan bahwa prevalensi gangguan pendengaran neonatus di Neonatal
Intensive Care Unit (NICU) 10-20 kali lebih besar dari populasi neonatus. Di
Indonesia sampai saat ini belum ada data, karena belum dilakukan program
skrining pendengaran. Data menurut Survei Kesehatan Indera Pendengaran di
tujuh propinsi tahun 1994-1996 didapatkan 0,1% penduduk menderita tuli sejak
lahir.4

II. Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak


Penggunaan daftar indikator risiko tinggi direkomendasikan untuk
mengidentifikasi kemungkinan adanya gangguan pendengaran kongenital maupun
didapat pada neonatus:
 Riwayat keluarga gangguan pendengaran sensorineural permanen
 Anomali telinga dan kraniofasial
 Infeksi intrauterin berhubungan dengan gangguan pendengaran
sensorineural (infeksi toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes,
sifilis)
 Gambaran fisik atau stigmata lain yang berhubungan dengan sindrom
yang diketahui berhubungan dengan gangguan pendengaran
sensorineural, seperti sindrom Down, sindrom Wardenburg
 Berat lahir kurang dari 1500 gram
 Nilai Apgar yang rendah (0-3 pada menit kelima,0-6 pada menit
kesepuluh)
 Kondisi penyakit yang membutuhkan perawatan di NICU 48 jam
 Distres pernafasan (misalnya aspirasi mekoneum)
 Ventilasi mekanik selama 5 hari atau lebih
 Hiperbilirubinemia pada kadar yang memerlukan transfusi tukar
 Meningitis bakterial

6
 Obat-obatan ototoksik (misalnya gentamisin) yang diberikan lebih dari
5 hari atau digunakan sebagai kombinasi dengan loop diuretic.

Hanya 10% neonatus termasuk dalam kategori risiko tinggi. Bayi dengan salah
satu/lebih faktor risik tersebut di atas harus menjalani evaluasi pendengaran dalam 2
bulan pertama kehidupan dan terus dievaluasi lebih lanjut walau hasilnya normal.
Bayi dengan 1 faktor risiko mempunyai kemungkinan menderita gangguan
pendengaran 10,1 kali dibandingkan bayi yang tidak mempunyai faktor risiko, bayi
dengan 2 faktor risiko mempunyai kemungkinan 12,7 kali sedangkan bila terdapat 3
faktor risiko maka kemungkinan meningkat menjadi 63,2 kali. Cone-Wesson dkk
seperti dikutip dari the Joint Committee on Infant Hearing Screening tahun 2000
melaporkan gangguan pendengaran terjadi pada 11,7% bayi dengan sindrom
diantaranya Trisomi 21, sindrom Pierre-Robin, dan atresia choanae. Adanya riwayat
keluarga dengan gangguan pendengaran mempunyai prevalensi 6,6%, meningitis
5,5% dan anomali kraniofasial 4,7%. Pasien yang mendapat antibiotik aminoglikosid
mempunyai prevalensi hanya 1,5%. Namun pada kenyataannya 50% bayi dengan
gangguan pendengaran bermakna ternyata tidak mempunyai faktor risiko tersebut,
sehingga bila hanya menggunakan kriteria risiko tinggi tersebut maka banyak bayi
yang tidak terdiagnosis.
AAP merekomendasikan bahwa semua neonatus harus menjalani skrining,
metode skrining yang digunakan harus dapat mengidentifikasi semua bayi dengan
gangguan pendengaran bilateral, harus mempunyai false positive ≤3%, false negative
0% dan angka refer (rujuk) untuk uji audiologik formal setelah skrining tidak boleh
melebihi 4%. Bayi yang lahir di rumah atau fasilitas kesehatan lain harus dirujuk
untuk menjalani skrining sebelum usia 1 bulan, sedangkan bayi yang dirawat di NICU
harus menjalani skrining sebelum bayi pulang dari rumah sakit. Bila terdapat risiko
gangguan pendengaran, walaupun hasilnya normal anak harus kontrol teratur setiap 6
bulan sampai usia 2 tahun.5

III. Jenis gangguan pendengaran


Ada tiga jenis gangguan pendengaran:
1. Gangguan pendengaran konduktif
Gangguan pendengaran akibat masalah pada telinga luar atau tengah
sehingga suara tidak dapat diteruskan sepenuhnya ke telinga bagian dalam.

7
Gangguan pendengaran konduktifmenurunkan kekerasan suara, tetapi tidak
menyebabkan distorsi atau efek negatif terhadap kejernihan suara.
Kebanyakan gangguan pendengaran konduktif dapat diperbaiki dengan
pengobatan.
2. Gangguan pendengaran sensorineural
Gangguan pendengaran akibat kerusakan pada telinga bagian dalam
dan atau jalur ke otak. Gangguan pendengaran sensorineural tidak hanya
mengurangi kenyaringan suara, tetapi juga dapat membuat hilangnya kejelasan
memahami pembicaraan. Kehilangan pendengaran sensorineural biasanya
permanen dan tidak dapat diperbaiki dengan pengobatan.
3. Gangguan pendengaran campuran
Kombinasi keduanya komponen konduktif dan sensorineural.1,3

IV. Skrining pendengaran


Tujuan skrining pendengaran bayi baru lahir adalah menemukan gangguan
pendengaran sedini mungkin sehingga dapat dilakukan habilitasi segera,
menggunakan pemeriksaan elektrofisiologik yang bersifat obyektif, praktis,
otomatis dan non invasive. Di negara maju program skrining pendengaran sudah
dimulai sejak bayi berusia 2 hari atau sebelum keluar dari rumah sakit. Program
ini dilanjutkan dengan pemeriksaa pendengaran ulangan pada usia 1 bulan. Untuk
bayi yang tidak lulus skrining harus melakukan pemeriksaan ulang pada usia 3
bulan. Gangguan pendengaran pada bayi sudah harus dipastikan pada usia 3
bulan, sehingga bila diketahui bayi mengalami ketulian, upaya habilitasi sudah
dapat dimulai pada saat usia 6 bulan.
Dengan memastikan ketulian pada usia 3 bulan dan memberikan habilitasi
yang memadai diharapkan pada usia 36 bulan perkembangan wicara anak yang
mengalami ketulian tidak terlalu berbeda jauh dengan anak yang pendengarannya
normal. Di Indonesia beberapa rumah sakit telah menjalankan program skrining
pendengaran namun masih bersifat sukarela. Sayangnya tidak semua rumah sakit
yang menjalankan program tersebut memiliki fasilitas yang memadai untuk
pemeriksaan pendengaran lanjutan. Kendala lainnya adalah belum semua orang
tua memahami maksud skrining pendengaran bayi sehingga tidak melalukan
pemeriksaan lanjutan.

8
Untuk bayi yang lulus skrining pendengaran, dengan perkataan lain
pendengarannya baik, tetap harus dilakukan evaluasi berkala. Karena pada bayi
yang lebih besar atau anak, dapat terjadi risiko lain seperti infeksi telinga tengah,
trauma ataupun terpapar dengan suara keras (bising). Berdasarkan pertimbangan
tersebut lakukan pemeriksaan pendengaran berkala pada usia 4, 5, 6, 8 10, 12, 15
dan 18 tahun; ataupun setiap saat bila ada kecurigaan gangguan pendengaran.
Pada prinsipnya metode tes pendengaran pada anak dibedakan menjadi tes yang
subyektif berdasarkan pada pengamatan perilaku anak terhadap rangsang suara
dan tes yang non behavioral atau obyektif dengan menggunakan alat
elektrofisologik.5

Pilihan pemeriksaan untuk skrining pendengaran pada bayi dan anak


1. Conditioned Play Audiometri
Bertujuan untuk menilai ambang pendengaran berdasarkan respons yang
telah dilatih (conditioned) melalui kegiatan bermain terhadap stimulus bunyi.
Stimulus bunyi diberikan melalui ear phone sehingga dapat diperoleh ambang
pada masing-masing frekuensi (frequency-specific) dan masing-masing telinga
(ear specific). Dengan teknik ini, dapat ditentukan jenis dan derajat ganggguan
pendengaran. Dilakukan untuk anak usia 30 bulan - 5 tahun.
Prosedur Pemeriksaan yaitu, terlebih dahulu anak dilatih memberikan
respons melalui kegiatan bermain, misalnya memasukkan sebuah balok ke dalam
kotak; bila anak mendengar suara dengan intensitas (kekerasan bunyi) tertentu.
Selanjutnya intensitas diturunkan sampai diperoleh intensitas terkecil di mana
anak masih memberikan respons terhadap bunyi. Bila suara diganti dengan ucapan
(kata-kata) dapat juga ditentukan speech reception threshold (SRT).6
Langkah-langkah CPA :
1. Dengan bantuan pemeriksa, anak memegang benda misalnya balok,
berdekatan dekat dengan telinga namun tidak sampai menyentuh.
2. Stimulus auditori yang telah diketahui di atas ambang anak
diberikan dan pemeriksa mengarahkan tangan anak untuk membuat
respon seperti menjatuhkan balok dalam suatu kontainer. Pada awalnya
stimulus dapat diberikan intensitas tinggi dari headset portabel. Hadiah
diberikan bila anak dapat berespon.

9
3. Kondisi ini berlanjut terus sampai anak memperlihatkan perilaku
(jatuhnya balok pada kontainer atas keinginan sendiri).
4. Earphone digunakan pada anak dan tes dilanjutkan dengan 500 dan
2000 Hz untuk yang pertama, kemudian 1000 dan 4000 Hz untuk
setiap telinga.

2. Timpanometri
Timpanometri dilakukan untuk mengetahui keadaan di telinga tengah,
misalnya ada cairan, ada gangguan rangkaian tulang pendengaran (ossicular
chain), dan kekakuan gendang telinga atau gendang telinga terlalu lentur.
Kegunaan timpanometri :

1. Untuk mengetahui kondisi telinga tengah


2. Mobilitas gendang telinga (tympanic membrane)
3. Mobilitas tulang-tulang pendengaran
4. Menilai perkembangan keadaan telinga tengah pada pasien dengan
pengobatan
5. Merupakan tes pendahuluan sebelum tes OAE (Otoacoustic
Emission)

Pada orang dewasa atau bayi berusia > 7 bulan digunakan probe tone
dengan frekuensi 226 Hz. Pada bayi berusia < 6 bulan digunakan probe tone
dengan frekuensi tinggi ( 668, 678, atau 1000 Hz ) karena akan terjadi
resonansi pada liang telinga.

Prosedur yang dilakukan :

1. dilakukan pemeriksaan otoskopi : pastikan tidak ada sumbatan pada telinga


dan membran timpani tidak perforasi

2. Probe dimasukkan ke dalam liang telinga  timpanometer mengubah


tekanan di dalam telinga  dialirkan bunyi nada murni  dilakukan
pengukuran respons dari membran timpani terhadap bunyi dengan tekanan
berbeda-beda.7

Hasil timpanogram :

1. Tipe A  Normal

10
2. Tipe AD  Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran

3. Tipe AS  Kekakuan tulang-tulang

11
4. Tipe B  Cairan di dalam telinga tengah

12
5. Tipe C  Gamgguan fungsi tuba eustachius

3. Otoacoustic Emission (OAE)


Tujuan utama dari tes Otoacoustic Emission (OAE) adalah untuk
menentukan status koklea, khususnya fungsi dari sel rambut koklea. Informasi ini
dapat digunakan untuk:

1. screening pendengaran (terutama pada neonatus, bayi, atau individu


dengan gangguan perkembangan)
2. memperkirakan kepekaan pendengaran dalam kisaran yang terbatas
3. membedakan antara komponen sensorik dan komponen saraf
pendengaran dari tuli sensorineural
4. tes untuk pasien dengan kehilangan pendengaran yang funsgional
(pura-pura), dikarenakan informasi dapat diperoleh dari pasien yang
sedang tidur atau bahkan koma karena tidak ada respons perilaku
diperlukan.

13
Koklea yang normal tidak hanya menerima suara; tetapi juga
menghasilkan suara intensitas rendah yang disebut OAEs. Suara ini diproduksi
khusus oleh koklea dan, kemungkinan besar, oleh sel-sel rambut luar koklea saat
mereka berekspansi dan kontraksi. Kehadiran emisi dari koklea adalah hipotesis
pada tahun 1940-an atas dasar model matematika koklea non-linear. Namun,
OAEs tidak dapat diukur sampai pada akhir 1970-an, ketika diciptakannya
teknologi mikrofon yang sangat sensitif terhadap suara rendah yang dibutuhkan
untuk merekam respons dari koklea ini. Empat jenis emisi otoacoustic adalah
sebagai berikut:

 Spontaneous Otoacoustic Emission (SOAE) - Suara-suara yang


dipancarkan tanpa adanya stimulus akustik (atau, secara spontan)
 Transients Otoacoustic Emission (TOAEs) atau transient
Transients Evoked Otoacoustic Emission (TEOAEs) - Suara yang
dipancarkan dalam menanggapi rangsangan akustik dalam durasi
yang sangat singkat; biasanya berupa “klik” tetapi dapat juga
berupa nada-semburan
 Distortion product otoacoustic emissions (DPOAEs) - Suara yang
dipancarkan dalam menanggapi 2 nada simultan dengan frekuensi
yang berbeda
 Sustained-frequency otoacoustic emissions (SFOAEs) - Suara-
suara yang dipancarkan dalam menanggapi nada kontinu

Pada Pure-Tone (PT) Audiometry, yang diperiksa adalah seluruh telinga luar,
telinga tengah, cochlea, saraf kranial (CN) VIII, dan sistem pendengaran pusat.
Namun, OAE hanya mengukur sistem pendengaran perifer, yang meliputi telinga luar,
telinga tengah, dan koklea. Suara tanggapan hanya berasal dari koklea, tapi telinga
luar dan tengah juga harus mampu mengirimkan suara yang dipancarkan kembali ke
mikrofon rekaman.

Pengujian OAE sering digunakan sebagai alat skrining untuk menentukan ada
atau tidaknya fungsi koklea, meskipun begitu OAE tidak dapat digunakan untuk
sepenuhnya menggambarkan ambang pendengaran seseorang, tetapi mereka dapat
membantu memvalidasi ambang batas pendengaran individu (misalnya, dalam

14
dicurigai [pura-pura] gangguan pendengaran fungsional), selain itu juga dapat
memberikan informasi tentang lokasi lesi.

Memasukkan probe dengan ujung fleksibel lembut di liang telinga untuk


mendapatkan segel. Gunakan probe yang berbeda untuk neonatus dan orang dewasa;
probe dikalibrasi berbeda karena perbedaan yang signifikan dalam volume saluran
telinga. Semakin kecil hasil saluran telinga dalam tingkat tekanan suara efektif yang
lebih tinggi (SPL), sehingga probe yang berbeda digunakan untuk mengoreksi
perbedaan.

Semua OAEs dianalisis relatif terhadap kebisingan lantai; Oleh karena itu,
pengurangan fisiologis dan akustik ambient noise sangat penting untuk rekaman yang
baik. Karena tidak ada respon perilaku diperlukan, OAEs dapat diperoleh bahkan dari
pasien yang koma. Untuk pasien tenang dan kooperatif, rekaman biasanya
membutuhkan kurang beberapa menit per telinga. Untuk pasien yang tidak kooperatif
atau berisik, rekaman yang memakan lebih lama atau mungkin mustahil untuk
mendapatkan pada kunjungan diberikan.

Parameter perekaman

Emisi otoacoustic spontan

Tanggapan nonevoked ini biasanya diukur dalam band sempit (<bandwith 30


Hz) frekuensi tercatat dalam saluran telinga eksternal. Tidak ada stimulus diperlukan.
Mendapatkan beberapa rekaman untuk memastikan peniruan dan untuk membedakan
respon dari lantai kebisingan. SOAE rekaman biasanya span 500-Hz hingga 7000 Hz
rentang frekuensi.

Emisi otoacoustic transien

Klik adalah rangsangan yang paling umum digunakan, meskipun rangsangan


nada-pecah dapat digunakan. Paling umum, 80- 85-dB rangsangan SPL digunakan
secara klinis. Tingkat rangsangan kurang dari 60 stimuli per detik. TOAEs umumnya
dicatat dalam domain waktu selama sekitar 20 milidetik. Bolak tanggapan disimpan di
bolak bank memori komputer, A dan B. data yang berkorelasi antara 2 bank memori

15
dianggap tanggapan. Data yang tidak berkorelasi dianggap noise. Ketika hadir,
TOAEs umumnya terjadi pada frekuensi 500-4000 Hz. Data dalam domain waktu
kemudian dikonversi ke domain frekuensi, biasanya dalam analisis band oktaf.

Produk distorsi emisi otoacoustic

Rangsangan terdiri dari 2 nada murni pada 2 frekuensi (yaitu, f1, f2 [f2> f1])
dan 2 tingkat intensitas (yaitu, L1, L2). Hubungan antara L1-L2 dan f1-f2
menentukan respons frekuensi. Rasio f1 / f2 menghasilkan DPOAEs terbesar di 1,2
untuk frekuensi rendah dan tinggi dan 1,3 untuk frekuensi menengah. Untuk
menghasilkan respon optimal, mengatur intensitas sehingga L1 sama atau melebihi
L2. Menurunkan intensitas mutlak stimulus menerjemahkan DPOAEs lebih sensitif
terhadap kelainan. Pengaturan 65/55 dB SPL L1 / L2 sering digunakan. Tanggapan
biasanya paling kuat dan dicatat pada frekuensi yang dipancarkan dari 2 f1-f2;
Namun, mereka umumnya memetakan menurut f2 karena daerah yang mendekati
wilayah frekuensi koklea menghasilkan respon.8,9

Prayarat untuk dapat melakukan OAE meliputi:

 Kanal pada telinga luar tidak terhalang


 Saluran telinga dengan tertutup sempurna probe
 Posisi yang optimal dari probe
 Tidak adanya patologi pada tengah: Jika emisi tidak ditemukan, hasilnya
harus ditafsirkan dengan hati-hati.
 Sel-sel rambut luar koklea yang berfungsi
 Seorang pasien yang dapat diam: gerakan yang berlebihan atau vokalisasi
dapat mengganggu hasil rekaman.
 Lingkungan rekaman yang relatif tenang: Sebuah bilik suara tidak
diperlukan, tapi lingkungan yang bising dapat menghalangi hasil rekaman
akurat.

4. Behavioral Observation Audiometry (BOA)

16
Prosedur pemeriksaan meliputi anak (dan biasanya orang tua) duduk di dalam
bilik suara. Suara dengan intensitas yang bervariasi disajikan kepada anak melalui
speaker yang sudah dikalibrasi atau melalui earphone. Suara dapat berupa pidato atau
musik dalam frekuensi spesifik. Audiolog kemudian mencari dan mencatat respon dari
anak terhadap suara paling lembut yang disajikan dan mencatatnya dalam bentuk grafik
yang disebut audiogram. BOA mencakup metode berikut untuk usia perkembangan
tertentu:

 Behavioral Observation Audiometry (BOA) untuk usia perkembangan 0 - 5 bulan:


respon anak dapat terdiri dari menjadi diam, pelebaran mata, terkejut, dll
 Visual Reinforcement Audiometry (VRA) untuk usia perkembangan 6 bulan sampai 2
tahun: anak berpaling pada stimulus suara dan diberikan pertunjukkan sinar lampu
sebagai hadiah (untuk mendorong) perilaku mendengar anak.
 Conditioned Orientation Reflex (COR) Audiometry: sama seperti VRA, tapi lebih
dari satu sumber suara dan boneka pendorong digunakan. Banyak orang tua
menggambarkannya sebagai "permainan mencari suara."
 Conditioned Played Audiometry (CPA) mulai dapat digunakan sekitar usia 2 tahun
dan konsisten antara usia perkembangan 2 sampai 3 tahun, ini berupa: permainan
mendengarkan yang menggunakan mainan untuk mempertahankan perhatian anak dan
fokus pada tugas mendengarkan. Misalnya, anak memegang sebuah balok, kemudian
menunggu dan mendengarkan suara. Ketika anak mendengar suara, mereka
menjatuhkan balok tersebut ke dalam ember. Ini tidak berbeda dari mengangkat
tangan pada seseorang dalam menanggapi suara, tapi dengan mainan dapat
membangun dan memelihara ketertarikan anak pada tugas mendengarkan lebih lama
daripada tangan mengangkat tangan. “Permainan mendengarkan” ini ditunjukkan
dengan anak oleh audiolog terlebih dahulu, dan sekali anak mengerti permainan
pengujian segera berlangsung.
 Audiometri konvensional konsisten digunakan pada anak-anak usia 5 dan lebih tua:
anak mengangkat tangan atau memberikan respon verbal dalam menanggapi stimulus
suara.10,11,12

5. Brain Evoked Response Audiometry (BERA) atau Auditory Brainstem


Response (ABR)

17
Penggunaan tes BERA dalam bidang ilmu audiologi dan neurology sangat
besar manfaatnya dan mempunyai nilai obyektifitas yang tinggi bila dibandingkan
dengan pemeriksaan audiologi konvensional. Penggunaannya yang mudah, tidak
invasive, dan dapat dilakukan pada pasien koma sekalipun; menyebabkan pemeriksaan
BERA ini dapat digunakan secara luas.
BERA merupakan alat yang bisa digunakan untuk mendeteksi dini adanya
gangguan pendengaran, bahkan sejak bayi baru saja dilahirkan. Istilah lain yang sering
digunakan yakni Brainstem Auditory Evoked Potential (BAEP) atau Brainstem
Auditory Evoked Response Audiometry (BERA). Alat ini efektif untuk mengevaluasi
saluran atau organ pendengaran mulai dari perifer sampai batang otak. Tes BERA ini
dapat menilai fungsi pendengaran bayi atau anak yang tidak kooperatif. Yang tidak
dapat diperiksa dengan cara konvensionil.
BERA mengarah pada pembangkitan potensial yang ditimbulkan dengan suara
singkat atau nada khusus yang ditransmisikan dari transduser akustik dengan
menggunakan earphone atau headphone (headset). Bentuk gelombang yang
ditimbulkan dari respon tersebut dinilai dengan menggunakan elektrode permukaan
yang biasannya diletakkan pada bagian vertex kulit kepala dan pada lobus telinga.
Pencatatan rata-rata grafiknya diambil berdasarkan panjang gelombang/amplitudo
(microvoltage) dalam waktu (millisecond), mirip dengan EEG. Puncak dari gelombang
yang timbul ditandai dengan I-VII. Bentuk gelombang tersebut normalnya muncul
dalam periode waktu 10 millisecond setelah rangsangan suara (click) pada intensitas
tinggi (70-90 dB tingkat pendengaran normal/normal hearing level [nHL]).
Meskipun BERA memberikan informasi mengenai fungsi dan sensitivitas
pendengaran, namun tidak merupakan pengganti untuk evaluasi pendengaran formal,
dan hasil yang didapat harus dapat dihubungkan dengan hasil audiometri yang biasa
digunakan, jika tersedia.
Brainstem Evoke Response Audiometri (BERA) biasanya menggunakan
rangsangan suara klik yang menghasilkan respon dari regio basilar cochlea. Sinyalnya
berjalan melalui jalur pendengaran/auditori pathway dari kompleks inti cochlear,
proksimal ke colliculus inferior. Gelombang BERA I dan II berkaitan dengan potensial
aksi yang benar. Gelombang selanjutnya mungkin menggambarkan aktivitas
postsinaptik pada pusat auditori batang otak utama that secara bersamaan menimbulkan
bentuk gelombang puncak dan palung. Puncak positif dari bentuk gelombang

18
menunjukkan aktivitas aferen kombinasi (dan kemungkinan juga eferen) dari jalur
axonal pada batang otak auditory.
Di Ameriksa Serikat, bentuk gelombang biasanya di plot dengan elektroda
pada vertex dengan amplifier tegangan input positif, sehingga menimbulkan gelombang
puncak pada I, III, dan V. Di negara-negara lainnya, gelombangnya di plot dengan
tegangan negatif.
Reaksi yang timbul sepanjang jaras-jaras saraf pendengaran dapat dideteksi
berdasarkan waktu yang dibutuhkan (satuan milidetik) mulai dari saat pemberian
impuls sampai menimbulkan reaksi dalam bentuk gelombang. Gelombang yang terjadi
sebenarnya ada 7 buah, namun yang penting dicatat adalah gelombang I, III, dan V.13

Gambar yang menunjukkan penempatan BERA electrodes

Komponen Bentuk Gelombang

Gelombang I: Respon gelombang BERA I merupakan gambaran yang luas dari potensial
aksi saraf auditori gabungan pada bagian distal dari nervus cranialis (CN) VIII. Respo
tersebut dipercaya berasal dari aktivitas aferen dari serabut saraf CN VIII (neuron urutan
pertama) saat meninggalkan cochlea dan masuk ke canalis auditori internal.

Gelombang II: gelombang BERA II ditimbulkan oleh nervus VIII proksimal saat memasuki
batang otak.

19
Gelombang III: gelombang BERA III muncul dari aktivitas aktivitias saraf urutan kedua
arises from (diluar CN VIII) di dalam atau di dekat nukleus cochlearis. Literatur menyatakan
bahwa gelombang III ditimbulkan pada bagian caudal dari pons auditori. Nukleus cochlearis
mengandung hampir 100,000 neuron, kebanykan dipersarafi oleh sembilan serabut saraf.

Gelombang IV: gelombang BERA IV, yang sering memiliki puncak yang sama dengan
gelombang V, diperkirakan muncul dari neuron urutan ketiga pontine yang kebanyakan
terletak pada kompleks olivary superior, tetapi kontribusi tambahan untuk terbentuknya
gelombang IV dapat datang dari nukleus cochlearis dan nukleus dari lemniskus lateral.

Gelombang V: pembentukan gelombang V kemungkinan merupakan dari aktivitas dari


struktur auditori anatomik multipel. Gelombang BERA V merupakan komponen yang paling
sering di analisa pada aplikasi klinis BERA. Meskipun terdapat beberapa database mengenai
hal yang tepat dalam pembentukan gelombang V, gelombang V dipercaya berasal dari sekitar
colliculus inferior. Aktivitas neuron urutan kedua mungkin secara sekunder mempengaruhi
beberapa hal dalam pembentukan gelombang V. Colliculus inferior merupakan sebuah
struktur yang komplex, dengan lebih dari 99% akson dari regio auditori batang otak bawah
melewati lemniskus lateral ke colliculus inferior.

Gelombang VI dan VII: Gelombang VI dan VII dianggap berasal dari thalamus (medial
geniculate body), tetapi tempat pembentukan sebenarnya masih diragukan.13

Evaluasi Respon Pendengaran/Auditori Batang Otak

Dalam hal patologi retrocochlear, banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhi


hasil pemeriksaan BERA, termasuk derajat kehilangan pendengaran sensorineural,
kehilangan pendengaran asymmetris, batasan pengujian, dan faktor-faktor pasien lainnya.
Pengaruh ini dapat terjadi saat melakukan pemeriksaan maupun saat menganalisa hasil
pemeriksaan BERA.3

Penemuan yang menandakan adanya patologi retrocochlear pathology dapat meliputi satu
atau lebih dari tanda berikut ini:

 Perbedaan latensi gelombang V interaural absolut (IT5) – memanjang


 Interval antar puncak gelombang I-V interaural - memanajang
 Latensi absolut dari gelombang V – memanjang dibandingkan dengan data normatif

20
 Latensi absolut dan latensi interval antar puncak gelombang I-III, I-V, III-V –
memanjang dibandingkan dengan data normatif
 Tidak adanya respon auditori batang otak pada telinga yang dilakukan pemeriksaan.

Secara umum, pemeriksaan BERA menujukkan sensitivitas lebih dari 90% dan spesifisitas
mendekati 70-90%.13

Automated Auditory Brainstem Response (AABR)

Saat ini telah dikembangkan AABR untuk keperluan skrining


pendengaran. AABR merupakan pemeriksaan BERA otomatis. Pemeriksaan ini
tidak memerlukan interpretasi dari audiologist. AABR hanya mencatat adanya
respons pada intensitas tertentu sebagai pass/refer. AABR ini merupakan
modifikasi dari ABR konvensional, mengukur frekuensi >1000 Hz dengan
rangsangan berupa clicks pada masingmasing telinga, dengan intensitas hanya
sampai 40 dB (ambang batas pendengaran bayi). Sama halnya dengan ABR
konvensional, pada pemeriksaan AABR juga diperlukan elektroda. Pada
pemeriksaan AABR tidak diperlukan lagi analisis gelombang evoked potential
karena hasil pencatatannya sangat mudah dibaca (hanya berdasarkan kriteria
lulus/pass atau tidak lulus/ refer). Sensitivitas AABR mencapai 99,96%
sedangkan spesifisitasnya 98,7% sehingga menjadi gold standard skrining
pendengaran pada bayi.5

6. Auditory Steady-State Response (ASSR)

Dalam beberapa tahun terakhir telah berkembang sebuah teknik


pemeriksaan pendengaran objektif yang dapat menentukan ambang dengar pada
frekuensi tertentu secara spesifik, yaitu auditory steady-state response (ASSR).
Pemeriksaan tersebut merupakan pemeriksaan elektrofisiologis terhadap respons
sistem pendengaran berupa gelombang di otak yang dibangkitkan oleh stimulasi
suara. Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan ambang dengar dengan teknik
ASSR ini lebih cepat karena dapat secara simultan memeriksa empat frekuensi
masing-masing pada kedua telinga.
ASSR dapat memberikan informasi frekuensi spesifik dibandingkan
clickABR yang telah lebih dulu dikenal luas. Dengan pemeriksaan ASSR
intensitas dapat diberikan sampai 127,8 dB, sehingga dapat mengidentifikasi

21
ambang dengar pada subjek dengan gangguan pendengaran sangat berat atau
dengan kata lain dapat menentukan sisa pendengaran. ASSR tidak dipengaruhi
oleh soundfield speaker atau hearing aid amplifier karena respons pada ASSR
sifatnya steady-state dan stimulusnya simultan, sehingga ASSR dapat digunakan
untuk memperkirakan ambang dengar pada pasien implan koklea atau untuk
kepentingan pemasangan alat bantu dengar.
Kelemahan pemeriksaan ASSR ini adalah tidak dapat menentukan lokasi
lesi dan belum banyak data yang dipublikasikan mengenai pemeriksaan hantaran
tulang. Sampai saat ini penelitian mengenai ASSR masih banyak dilakukan di
sentra-sentra pendengaran terkemuka, namun belum ada data mengenai
sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini.
Selain itu, ASSR dan ABR memiliki perbedaan penting juga. ASSR
menggunakan amplitudo dan fase dalam spektral frekuensi. ASSR ditimbulkan
menggunakan rangsangan suara disajikan pada tingkat pengulangan yang tinggi,
sedangkan ABR ditimbulkan menggunakan suara singkat disajikan pada tingkat
pengulangan yang relatif rendah. Pada ABR biasanya menggunakan click pada
satu telinga pada saat pemeriksaan sedangkan ASSR dapat digunakan pada kedua
telinga secara bersamaan. ABR berguna dalam memperkirakan ambang
pendengaran yang berkisar dari 1.000 Hz ke 4.000 Hz. ASSR juga dapat
memperkirakan mendengar ambang batas di kisaran yang sama seperti ABR, tapi
ASSR menawarkan informasi lebih lanjut spektral lebih cepat, serta dapat
memperkirakan dan membedakan mendengar dalam rentang gangguan
pendengaranyang lebih berat.
Seperti halnya ABR, ASSR dapat digunakan untuk memperkirakan
ambang pendengaran bagi mereka yang tidak dapat atau tidak akan berpartisipasi
dalam tindakan pemeriksaan konvesional. Oleh karena itu, penggunaan
pemeriksaan ASSR mencakup: bayi baru lahir, bayi di unit perawatan intensif
neonatal (NICU), dan pasien tidak responsif.14
Saat ini, tidak ada standar universal untuk instrumen ASSR. Stimulus
dan alat perekam parameter serta metode dirancang oleh masing-masing
produsen.

22
V. Skrining pendengaran di Indonesia
Di Pusat Kesehatan Telinga dan Gangguan Komunikasi,SubBagian THT
Komunitas, Bagian THT RSCM, sejak tahun 2002 telah mulai dilakukan skrining
gangguan pendengaran terhadap neonatus risiko tinggi. Skrining pendengaran
menggunakan 2 tahapan pemeriksaan (EOAE dilanjutkan dengan AABR) dengan
tujuan mengidentifikasi bayi dengan tuli koklea dan retrokoklea.5

23
Gambar. Skema alur pemeriksaan pendengaran bayi baru lahir di
RSCM

24
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan pendengaran pada anak perlu dideteksi sedini mungkin mengingat


pentingnya peranan fungsi pendengaran dalam proses perkembangan bicara. Keterlambatan
dalam diagnosis berarti pula terdapat keterlambatan untuk memulai intervensi dan akan
membawa dampak serius dalam perkembangan selanjutnya. Skrining pendengaran pada bayi
baru lahir dapat menemukan gangguan pendengaran sedini mungkin sehingga dapat
dilakukan habilitasi segera, menggunakan pemeriksaan elektrofisiologik yang bersifat
obyektif, praktis, otomatis dan non invasive. Identifikasi gangguan pendengaran secara dini
dapat dilakukan dengan cara mengamati reaksi anak terhadap suara atau tes fungsi
pendengaran dengan metode dan peralatan yang sederhana. Tes pendengaran pada anak tidak
bisa ditunda hanya dengan alasan usia anak belum memungkinkan untuk dilakukan tes
pendengaran. Tes pendengaran secara obyektif dibidang audiologi dengan peralatan
elektrofisiologik sudah banyak dikembangkan di beberapa Rumah Sakit seperti ABR, ASSR,
elektroakustik imitans dan OAE yang sangat berharga dalam diagnostik fungsi pendengaran
secara dini tidak tergantung usia.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Jerger J.F. and Hayes, D. The Cross-check Principle in Pediatric Audiometry. Arch
Otolaryngol. 1976. 102 : 614-620.
2. Finitzo-Hieber T. Auditory Brainstem Response. Its place in Infant Audiological
Evaluations. Sem Speech Lang and Hear. 1982. 3: 76-86.
3. Northern J.L. and Down M.P. Behavioral Hearing Testing in Children. In : Hearing test in
Children. 4rd ed. Williams & Wilkins. 1991. pp 139-187
4. Sirlan F, Suwento R. Hasil survei kesehatan indera penglihatan dan pendengaran 1994-
1996. DEPKES RI, 1997.
5. Rundjan L, Amir I, Suwento R, Mangunatmadja. Skrining Gangguan Pendengaran pada
Neonatus Risiko Tinggi. Sari Pediatri, vol 6. 2005: h. 149-54.
6. Shoup AG, Roeser RJ. 2007. Audilogic Evaluation of Special Populations. Dalam: Roeser
RJ, Valente M, Hosford-Dunn H, penyunting. 2007. Audiology: Diagnosis.Edisi ke 2.
New York: Thieme. h. 315-34.
7. Fowler, C. G., & Shanks, J. E. (2002). Tympanometry. In J. Katz (Ed.), Handbook of
clinical audiology (5thed.). (pp. 175 – 204). Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins.
8. McPherson B, Li SF, Shi BX, Tang JL, Wong BY. Neonatal hearing screening: evaluation
of tone-burst and click-evoked otoacoustic emission test criteria. Ear Hear. 2006 Jun.
27(3):256-62.
9. Helleman HW, Dreschler WA. Overall versus individual changes for otoacoustic
emissions and audiometry in a noise-exposed cohort. Int J Audiol. 2012 May. 51(5):362-
72.
10. Hicks, C. B., Tharpe, A. M., and Ashmead, D. H. (2000). Behavioral auditory
assessment of young infants: methodological limitations or natural lack of auditory
responsiveness? American Journal of Audiology, 9, 124–130.
11. Nozza, R. (2006). Developmental psychoacoustics: auditory function in infants and
children. Paper presented at the 4th Widex ongress of Paediatric Audiology, Ottawa,
Canada, May 19–21, 2006.

26
12. Widen, J. E., and Kener, S. (2003) Diagnostic testing for hearing loss in infants and
young children. Mental etardation and Developmental Disabilities Research Reviews, 9,
220–224
13. Bhattacharyya, Neil. Auditory Brainstem Response Audiometry. Available at:
http://emedicine.medscape.com. Accessed: January 9th, 2017
14. Herdman AT, Picton TW, Stapells DR. Place specificity of multiple auditory steady-
state responses. J Acoust Soc Am 2002;112(4):1569-82

27

Anda mungkin juga menyukai