Disusun oleh:
Dimas Arya Pradana 030.11.078
Federika Rosilawati 030.11.099
Malvin Christo Wijaya 030.10.169
I Gede Putu Arsa 030.10.128
Pembimbing:
dr. Satria Nugraha W., Sp. THT-KL
Disusun oleh:
Dimas Arya Pradana 030.11.078
Federika Rosilawati 030.11.099
Malvin Christo Wijaya 030.10.169
I Gede Putu Arsa 030.10.128
Telah diterima dan disetujui oleh dr. Satria Nugraha W., Sp. THT-KL
Selaku dokter pembimbing departemen Ilmu Penyakit THT RSUD Bekasi
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Deteksi Dini Gangguan
Pendengaran pada Bayi dan Anak” ini. Penulis juga turut menyampaikan ucapan terima
kasih kepada pembimbing, dr. Satria Nugraha W., Sp. THT-KL , yang telah menyediakan
waktu untuk membimbing serta memberikan banyak tambahan ilmu dan informasi mengenai
referat ini.
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas akhir dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit THT RSUD Bekasi. Penulis sangat menyadari bahwa referat ini masih
banyak terdapat kekurangan, baik mengenai isi, tata bahasa dan informasi ilmiah di
dalamnya. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran. Semoga referat
ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
Penulis
3
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan...................................................................................................................2
Kata Pengantar...........................................................................................................................3
Daftar Isi....................................................................................................................................4
Bab I Pendahuluan...............................................................................................................5
Bab II Tinjauan Pustaka........................................................................................................6
Epidemiologi gangguan pendengaran pada bayi dan anak...............................6
Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak.....................................7
Jenis gangguan pendengaran............................................................................7
Skrining pendengaran.......................................................................................8
Skrining pendengaran di Indonesia..................................................................23
Bab III Kesimpulan.................................................................................................................25
Daftar Pustaka..........................................................................................................................26
4
BAB 1
PENDAHULUAN
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
Obat-obatan ototoksik (misalnya gentamisin) yang diberikan lebih dari
5 hari atau digunakan sebagai kombinasi dengan loop diuretic.
Hanya 10% neonatus termasuk dalam kategori risiko tinggi. Bayi dengan salah
satu/lebih faktor risik tersebut di atas harus menjalani evaluasi pendengaran dalam 2
bulan pertama kehidupan dan terus dievaluasi lebih lanjut walau hasilnya normal.
Bayi dengan 1 faktor risiko mempunyai kemungkinan menderita gangguan
pendengaran 10,1 kali dibandingkan bayi yang tidak mempunyai faktor risiko, bayi
dengan 2 faktor risiko mempunyai kemungkinan 12,7 kali sedangkan bila terdapat 3
faktor risiko maka kemungkinan meningkat menjadi 63,2 kali. Cone-Wesson dkk
seperti dikutip dari the Joint Committee on Infant Hearing Screening tahun 2000
melaporkan gangguan pendengaran terjadi pada 11,7% bayi dengan sindrom
diantaranya Trisomi 21, sindrom Pierre-Robin, dan atresia choanae. Adanya riwayat
keluarga dengan gangguan pendengaran mempunyai prevalensi 6,6%, meningitis
5,5% dan anomali kraniofasial 4,7%. Pasien yang mendapat antibiotik aminoglikosid
mempunyai prevalensi hanya 1,5%. Namun pada kenyataannya 50% bayi dengan
gangguan pendengaran bermakna ternyata tidak mempunyai faktor risiko tersebut,
sehingga bila hanya menggunakan kriteria risiko tinggi tersebut maka banyak bayi
yang tidak terdiagnosis.
AAP merekomendasikan bahwa semua neonatus harus menjalani skrining,
metode skrining yang digunakan harus dapat mengidentifikasi semua bayi dengan
gangguan pendengaran bilateral, harus mempunyai false positive ≤3%, false negative
0% dan angka refer (rujuk) untuk uji audiologik formal setelah skrining tidak boleh
melebihi 4%. Bayi yang lahir di rumah atau fasilitas kesehatan lain harus dirujuk
untuk menjalani skrining sebelum usia 1 bulan, sedangkan bayi yang dirawat di NICU
harus menjalani skrining sebelum bayi pulang dari rumah sakit. Bila terdapat risiko
gangguan pendengaran, walaupun hasilnya normal anak harus kontrol teratur setiap 6
bulan sampai usia 2 tahun.5
7
Gangguan pendengaran konduktifmenurunkan kekerasan suara, tetapi tidak
menyebabkan distorsi atau efek negatif terhadap kejernihan suara.
Kebanyakan gangguan pendengaran konduktif dapat diperbaiki dengan
pengobatan.
2. Gangguan pendengaran sensorineural
Gangguan pendengaran akibat kerusakan pada telinga bagian dalam
dan atau jalur ke otak. Gangguan pendengaran sensorineural tidak hanya
mengurangi kenyaringan suara, tetapi juga dapat membuat hilangnya kejelasan
memahami pembicaraan. Kehilangan pendengaran sensorineural biasanya
permanen dan tidak dapat diperbaiki dengan pengobatan.
3. Gangguan pendengaran campuran
Kombinasi keduanya komponen konduktif dan sensorineural.1,3
8
Untuk bayi yang lulus skrining pendengaran, dengan perkataan lain
pendengarannya baik, tetap harus dilakukan evaluasi berkala. Karena pada bayi
yang lebih besar atau anak, dapat terjadi risiko lain seperti infeksi telinga tengah,
trauma ataupun terpapar dengan suara keras (bising). Berdasarkan pertimbangan
tersebut lakukan pemeriksaan pendengaran berkala pada usia 4, 5, 6, 8 10, 12, 15
dan 18 tahun; ataupun setiap saat bila ada kecurigaan gangguan pendengaran.
Pada prinsipnya metode tes pendengaran pada anak dibedakan menjadi tes yang
subyektif berdasarkan pada pengamatan perilaku anak terhadap rangsang suara
dan tes yang non behavioral atau obyektif dengan menggunakan alat
elektrofisologik.5
9
3. Kondisi ini berlanjut terus sampai anak memperlihatkan perilaku
(jatuhnya balok pada kontainer atas keinginan sendiri).
4. Earphone digunakan pada anak dan tes dilanjutkan dengan 500 dan
2000 Hz untuk yang pertama, kemudian 1000 dan 4000 Hz untuk
setiap telinga.
2. Timpanometri
Timpanometri dilakukan untuk mengetahui keadaan di telinga tengah,
misalnya ada cairan, ada gangguan rangkaian tulang pendengaran (ossicular
chain), dan kekakuan gendang telinga atau gendang telinga terlalu lentur.
Kegunaan timpanometri :
Pada orang dewasa atau bayi berusia > 7 bulan digunakan probe tone
dengan frekuensi 226 Hz. Pada bayi berusia < 6 bulan digunakan probe tone
dengan frekuensi tinggi ( 668, 678, atau 1000 Hz ) karena akan terjadi
resonansi pada liang telinga.
Hasil timpanogram :
1. Tipe A Normal
10
2. Tipe AD Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran
11
4. Tipe B Cairan di dalam telinga tengah
12
5. Tipe C Gamgguan fungsi tuba eustachius
13
Koklea yang normal tidak hanya menerima suara; tetapi juga
menghasilkan suara intensitas rendah yang disebut OAEs. Suara ini diproduksi
khusus oleh koklea dan, kemungkinan besar, oleh sel-sel rambut luar koklea saat
mereka berekspansi dan kontraksi. Kehadiran emisi dari koklea adalah hipotesis
pada tahun 1940-an atas dasar model matematika koklea non-linear. Namun,
OAEs tidak dapat diukur sampai pada akhir 1970-an, ketika diciptakannya
teknologi mikrofon yang sangat sensitif terhadap suara rendah yang dibutuhkan
untuk merekam respons dari koklea ini. Empat jenis emisi otoacoustic adalah
sebagai berikut:
Pada Pure-Tone (PT) Audiometry, yang diperiksa adalah seluruh telinga luar,
telinga tengah, cochlea, saraf kranial (CN) VIII, dan sistem pendengaran pusat.
Namun, OAE hanya mengukur sistem pendengaran perifer, yang meliputi telinga luar,
telinga tengah, dan koklea. Suara tanggapan hanya berasal dari koklea, tapi telinga
luar dan tengah juga harus mampu mengirimkan suara yang dipancarkan kembali ke
mikrofon rekaman.
Pengujian OAE sering digunakan sebagai alat skrining untuk menentukan ada
atau tidaknya fungsi koklea, meskipun begitu OAE tidak dapat digunakan untuk
sepenuhnya menggambarkan ambang pendengaran seseorang, tetapi mereka dapat
membantu memvalidasi ambang batas pendengaran individu (misalnya, dalam
14
dicurigai [pura-pura] gangguan pendengaran fungsional), selain itu juga dapat
memberikan informasi tentang lokasi lesi.
Semua OAEs dianalisis relatif terhadap kebisingan lantai; Oleh karena itu,
pengurangan fisiologis dan akustik ambient noise sangat penting untuk rekaman yang
baik. Karena tidak ada respon perilaku diperlukan, OAEs dapat diperoleh bahkan dari
pasien yang koma. Untuk pasien tenang dan kooperatif, rekaman biasanya
membutuhkan kurang beberapa menit per telinga. Untuk pasien yang tidak kooperatif
atau berisik, rekaman yang memakan lebih lama atau mungkin mustahil untuk
mendapatkan pada kunjungan diberikan.
Parameter perekaman
15
dianggap tanggapan. Data yang tidak berkorelasi dianggap noise. Ketika hadir,
TOAEs umumnya terjadi pada frekuensi 500-4000 Hz. Data dalam domain waktu
kemudian dikonversi ke domain frekuensi, biasanya dalam analisis band oktaf.
Rangsangan terdiri dari 2 nada murni pada 2 frekuensi (yaitu, f1, f2 [f2> f1])
dan 2 tingkat intensitas (yaitu, L1, L2). Hubungan antara L1-L2 dan f1-f2
menentukan respons frekuensi. Rasio f1 / f2 menghasilkan DPOAEs terbesar di 1,2
untuk frekuensi rendah dan tinggi dan 1,3 untuk frekuensi menengah. Untuk
menghasilkan respon optimal, mengatur intensitas sehingga L1 sama atau melebihi
L2. Menurunkan intensitas mutlak stimulus menerjemahkan DPOAEs lebih sensitif
terhadap kelainan. Pengaturan 65/55 dB SPL L1 / L2 sering digunakan. Tanggapan
biasanya paling kuat dan dicatat pada frekuensi yang dipancarkan dari 2 f1-f2;
Namun, mereka umumnya memetakan menurut f2 karena daerah yang mendekati
wilayah frekuensi koklea menghasilkan respon.8,9
16
Prosedur pemeriksaan meliputi anak (dan biasanya orang tua) duduk di dalam
bilik suara. Suara dengan intensitas yang bervariasi disajikan kepada anak melalui
speaker yang sudah dikalibrasi atau melalui earphone. Suara dapat berupa pidato atau
musik dalam frekuensi spesifik. Audiolog kemudian mencari dan mencatat respon dari
anak terhadap suara paling lembut yang disajikan dan mencatatnya dalam bentuk grafik
yang disebut audiogram. BOA mencakup metode berikut untuk usia perkembangan
tertentu:
17
Penggunaan tes BERA dalam bidang ilmu audiologi dan neurology sangat
besar manfaatnya dan mempunyai nilai obyektifitas yang tinggi bila dibandingkan
dengan pemeriksaan audiologi konvensional. Penggunaannya yang mudah, tidak
invasive, dan dapat dilakukan pada pasien koma sekalipun; menyebabkan pemeriksaan
BERA ini dapat digunakan secara luas.
BERA merupakan alat yang bisa digunakan untuk mendeteksi dini adanya
gangguan pendengaran, bahkan sejak bayi baru saja dilahirkan. Istilah lain yang sering
digunakan yakni Brainstem Auditory Evoked Potential (BAEP) atau Brainstem
Auditory Evoked Response Audiometry (BERA). Alat ini efektif untuk mengevaluasi
saluran atau organ pendengaran mulai dari perifer sampai batang otak. Tes BERA ini
dapat menilai fungsi pendengaran bayi atau anak yang tidak kooperatif. Yang tidak
dapat diperiksa dengan cara konvensionil.
BERA mengarah pada pembangkitan potensial yang ditimbulkan dengan suara
singkat atau nada khusus yang ditransmisikan dari transduser akustik dengan
menggunakan earphone atau headphone (headset). Bentuk gelombang yang
ditimbulkan dari respon tersebut dinilai dengan menggunakan elektrode permukaan
yang biasannya diletakkan pada bagian vertex kulit kepala dan pada lobus telinga.
Pencatatan rata-rata grafiknya diambil berdasarkan panjang gelombang/amplitudo
(microvoltage) dalam waktu (millisecond), mirip dengan EEG. Puncak dari gelombang
yang timbul ditandai dengan I-VII. Bentuk gelombang tersebut normalnya muncul
dalam periode waktu 10 millisecond setelah rangsangan suara (click) pada intensitas
tinggi (70-90 dB tingkat pendengaran normal/normal hearing level [nHL]).
Meskipun BERA memberikan informasi mengenai fungsi dan sensitivitas
pendengaran, namun tidak merupakan pengganti untuk evaluasi pendengaran formal,
dan hasil yang didapat harus dapat dihubungkan dengan hasil audiometri yang biasa
digunakan, jika tersedia.
Brainstem Evoke Response Audiometri (BERA) biasanya menggunakan
rangsangan suara klik yang menghasilkan respon dari regio basilar cochlea. Sinyalnya
berjalan melalui jalur pendengaran/auditori pathway dari kompleks inti cochlear,
proksimal ke colliculus inferior. Gelombang BERA I dan II berkaitan dengan potensial
aksi yang benar. Gelombang selanjutnya mungkin menggambarkan aktivitas
postsinaptik pada pusat auditori batang otak utama that secara bersamaan menimbulkan
bentuk gelombang puncak dan palung. Puncak positif dari bentuk gelombang
18
menunjukkan aktivitas aferen kombinasi (dan kemungkinan juga eferen) dari jalur
axonal pada batang otak auditory.
Di Ameriksa Serikat, bentuk gelombang biasanya di plot dengan elektroda
pada vertex dengan amplifier tegangan input positif, sehingga menimbulkan gelombang
puncak pada I, III, dan V. Di negara-negara lainnya, gelombangnya di plot dengan
tegangan negatif.
Reaksi yang timbul sepanjang jaras-jaras saraf pendengaran dapat dideteksi
berdasarkan waktu yang dibutuhkan (satuan milidetik) mulai dari saat pemberian
impuls sampai menimbulkan reaksi dalam bentuk gelombang. Gelombang yang terjadi
sebenarnya ada 7 buah, namun yang penting dicatat adalah gelombang I, III, dan V.13
Gelombang I: Respon gelombang BERA I merupakan gambaran yang luas dari potensial
aksi saraf auditori gabungan pada bagian distal dari nervus cranialis (CN) VIII. Respo
tersebut dipercaya berasal dari aktivitas aferen dari serabut saraf CN VIII (neuron urutan
pertama) saat meninggalkan cochlea dan masuk ke canalis auditori internal.
Gelombang II: gelombang BERA II ditimbulkan oleh nervus VIII proksimal saat memasuki
batang otak.
19
Gelombang III: gelombang BERA III muncul dari aktivitas aktivitias saraf urutan kedua
arises from (diluar CN VIII) di dalam atau di dekat nukleus cochlearis. Literatur menyatakan
bahwa gelombang III ditimbulkan pada bagian caudal dari pons auditori. Nukleus cochlearis
mengandung hampir 100,000 neuron, kebanykan dipersarafi oleh sembilan serabut saraf.
Gelombang IV: gelombang BERA IV, yang sering memiliki puncak yang sama dengan
gelombang V, diperkirakan muncul dari neuron urutan ketiga pontine yang kebanyakan
terletak pada kompleks olivary superior, tetapi kontribusi tambahan untuk terbentuknya
gelombang IV dapat datang dari nukleus cochlearis dan nukleus dari lemniskus lateral.
Gelombang VI dan VII: Gelombang VI dan VII dianggap berasal dari thalamus (medial
geniculate body), tetapi tempat pembentukan sebenarnya masih diragukan.13
Penemuan yang menandakan adanya patologi retrocochlear pathology dapat meliputi satu
atau lebih dari tanda berikut ini:
20
Latensi absolut dan latensi interval antar puncak gelombang I-III, I-V, III-V –
memanjang dibandingkan dengan data normatif
Tidak adanya respon auditori batang otak pada telinga yang dilakukan pemeriksaan.
Secara umum, pemeriksaan BERA menujukkan sensitivitas lebih dari 90% dan spesifisitas
mendekati 70-90%.13
21
ambang dengar pada subjek dengan gangguan pendengaran sangat berat atau
dengan kata lain dapat menentukan sisa pendengaran. ASSR tidak dipengaruhi
oleh soundfield speaker atau hearing aid amplifier karena respons pada ASSR
sifatnya steady-state dan stimulusnya simultan, sehingga ASSR dapat digunakan
untuk memperkirakan ambang dengar pada pasien implan koklea atau untuk
kepentingan pemasangan alat bantu dengar.
Kelemahan pemeriksaan ASSR ini adalah tidak dapat menentukan lokasi
lesi dan belum banyak data yang dipublikasikan mengenai pemeriksaan hantaran
tulang. Sampai saat ini penelitian mengenai ASSR masih banyak dilakukan di
sentra-sentra pendengaran terkemuka, namun belum ada data mengenai
sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini.
Selain itu, ASSR dan ABR memiliki perbedaan penting juga. ASSR
menggunakan amplitudo dan fase dalam spektral frekuensi. ASSR ditimbulkan
menggunakan rangsangan suara disajikan pada tingkat pengulangan yang tinggi,
sedangkan ABR ditimbulkan menggunakan suara singkat disajikan pada tingkat
pengulangan yang relatif rendah. Pada ABR biasanya menggunakan click pada
satu telinga pada saat pemeriksaan sedangkan ASSR dapat digunakan pada kedua
telinga secara bersamaan. ABR berguna dalam memperkirakan ambang
pendengaran yang berkisar dari 1.000 Hz ke 4.000 Hz. ASSR juga dapat
memperkirakan mendengar ambang batas di kisaran yang sama seperti ABR, tapi
ASSR menawarkan informasi lebih lanjut spektral lebih cepat, serta dapat
memperkirakan dan membedakan mendengar dalam rentang gangguan
pendengaranyang lebih berat.
Seperti halnya ABR, ASSR dapat digunakan untuk memperkirakan
ambang pendengaran bagi mereka yang tidak dapat atau tidak akan berpartisipasi
dalam tindakan pemeriksaan konvesional. Oleh karena itu, penggunaan
pemeriksaan ASSR mencakup: bayi baru lahir, bayi di unit perawatan intensif
neonatal (NICU), dan pasien tidak responsif.14
Saat ini, tidak ada standar universal untuk instrumen ASSR. Stimulus
dan alat perekam parameter serta metode dirancang oleh masing-masing
produsen.
22
V. Skrining pendengaran di Indonesia
Di Pusat Kesehatan Telinga dan Gangguan Komunikasi,SubBagian THT
Komunitas, Bagian THT RSCM, sejak tahun 2002 telah mulai dilakukan skrining
gangguan pendengaran terhadap neonatus risiko tinggi. Skrining pendengaran
menggunakan 2 tahapan pemeriksaan (EOAE dilanjutkan dengan AABR) dengan
tujuan mengidentifikasi bayi dengan tuli koklea dan retrokoklea.5
23
Gambar. Skema alur pemeriksaan pendengaran bayi baru lahir di
RSCM
24
BAB III
KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Jerger J.F. and Hayes, D. The Cross-check Principle in Pediatric Audiometry. Arch
Otolaryngol. 1976. 102 : 614-620.
2. Finitzo-Hieber T. Auditory Brainstem Response. Its place in Infant Audiological
Evaluations. Sem Speech Lang and Hear. 1982. 3: 76-86.
3. Northern J.L. and Down M.P. Behavioral Hearing Testing in Children. In : Hearing test in
Children. 4rd ed. Williams & Wilkins. 1991. pp 139-187
4. Sirlan F, Suwento R. Hasil survei kesehatan indera penglihatan dan pendengaran 1994-
1996. DEPKES RI, 1997.
5. Rundjan L, Amir I, Suwento R, Mangunatmadja. Skrining Gangguan Pendengaran pada
Neonatus Risiko Tinggi. Sari Pediatri, vol 6. 2005: h. 149-54.
6. Shoup AG, Roeser RJ. 2007. Audilogic Evaluation of Special Populations. Dalam: Roeser
RJ, Valente M, Hosford-Dunn H, penyunting. 2007. Audiology: Diagnosis.Edisi ke 2.
New York: Thieme. h. 315-34.
7. Fowler, C. G., & Shanks, J. E. (2002). Tympanometry. In J. Katz (Ed.), Handbook of
clinical audiology (5thed.). (pp. 175 – 204). Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins.
8. McPherson B, Li SF, Shi BX, Tang JL, Wong BY. Neonatal hearing screening: evaluation
of tone-burst and click-evoked otoacoustic emission test criteria. Ear Hear. 2006 Jun.
27(3):256-62.
9. Helleman HW, Dreschler WA. Overall versus individual changes for otoacoustic
emissions and audiometry in a noise-exposed cohort. Int J Audiol. 2012 May. 51(5):362-
72.
10. Hicks, C. B., Tharpe, A. M., and Ashmead, D. H. (2000). Behavioral auditory
assessment of young infants: methodological limitations or natural lack of auditory
responsiveness? American Journal of Audiology, 9, 124–130.
11. Nozza, R. (2006). Developmental psychoacoustics: auditory function in infants and
children. Paper presented at the 4th Widex ongress of Paediatric Audiology, Ottawa,
Canada, May 19–21, 2006.
26
12. Widen, J. E., and Kener, S. (2003) Diagnostic testing for hearing loss in infants and
young children. Mental etardation and Developmental Disabilities Research Reviews, 9,
220–224
13. Bhattacharyya, Neil. Auditory Brainstem Response Audiometry. Available at:
http://emedicine.medscape.com. Accessed: January 9th, 2017
14. Herdman AT, Picton TW, Stapells DR. Place specificity of multiple auditory steady-
state responses. J Acoust Soc Am 2002;112(4):1569-82
27