BAB 1
PENDAHULUAN
Cerebral Palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu
kurun waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan
saraf pusat, bersifat kronik dan non progresif akibat kelainan atau cacat. Cerebral Palsy
atau paralisis otak merupakan kelainan dengan beberapa tipe dan tingkatan, dapat
terjadi segera sebelum lahir, pada waktu lahir atau sesaat setelah lahir. Kelainan ini
dapat bermanifestasi mulai pada masa bayi, anak-anak dan menetap seumur hidupnya,
secara klinis berupa gangguan terhadap fungsi otot volunter dan persepsi dan kadang-
kadang disertai gangguan mental. Kelainan tersebut adalah kondisi seumur hidup yang
mempengaruhi komunikasi antara otak dan otot, menyebabkan keadaan permanen dan
sikap gerakan yang tidak terkoordinasi pada jaringan otak yang belum selesai
pertumbuhannya. (Abbaskhanian et al., 2015)
Cerebral palsy memiliki berbagai tipe klinis, komorbiditas, pola imaging brain,
penyebab, dan sekarang varian genetik yang mendasari heterogen juga terdapat
didalamnya. Beberapa penyebab hanya semata-mata karena hipoksia berat atau
iskemia saat lahir. Mitos umum ini telah tertahan penelitiannnya dalam sebab-akibat.
Biaya litigasi memiliki dampak buruk pada layanan bersalin dengan tingkat kelahiran
sesar yang tidak perlu dan morbiditas ibu berikutnya serta kematian. Tingkat CP tetap
sama selama 50 tahun meskipun ada peningkatan 6 kali lipat kelahiran sesar. Studi
epidemiologis telah menunjukkan bahwa asal-usul sebagian besar CP adalah untuk
tenaga kerja. Peningkatan risiko dikaitkan dengan kelahiran prematur, kelainan
bawaan, infeksi intrauterin, pembatasan pertumbuhan janin, kehamilan ganda, dan
kelainan plasenta. Hipoksia saat lahir mungkin primer atau sekunder dari patologi yang
sudah ada sebelumnya dan kriteria internasional membantu memisahkan beberapa
kasus CP karena intrapartum hipoksia akut. Sampai saat ini, 1-2% CP (sebagian besar
keluarga) telah dikaitkan dengan mutasi kausatif. (Levitt & Addison, 2018)
Walaupun sulit, etiologi cerebral palsy perlu diketahui untuk tindakan
pencegahan. Fisioterapi dini memberi hasil baik, namun adanya gangguan
perkembangan mental dapat menghalangi tercapainya tujuan pengobatan. Winthrop
Phelps menekankan pentingnya pendekatan multidisiplin dalam penanganan penderita
cerebral palsy, seperti disiplin anak, saraf, mata, THT, bedah tulang, bedah saraf,
psikologi, ahli wicara, fisioterapi, pekerja sosial, guru sekolah Iuar biasa. Disamping
itu juga harus disertakan peranan orang tua dan masyarakat. (Abbaskhanian et al.,
2015)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi
2.1.1 Anatomi
a. Persarafan
Saraf otak ke VII ( nervus facialis ) mengandung 4 macam serabut, yaitu :
(Westbrook & Varacallo, 2019)
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator
palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual
dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa
raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.
Tabel 2.1 Otot otot wajah berserta fungsinya (Westbrook & Varacallo, 2019)
No Nama Otot Fungsi Persarafan
1. M.Frontalis Mengangkat alis N. Temporalis
2. M.Corrugator Mendekatkan kedua N. Zigomatikum
supercili pangkal alis dan
N.Temporalis
3. M.Procerus Mengerutkan kulit antara N. Zigomatikum,
kedua alis N.Temporalis,
N. Buccal
4. M. Orbicularis Menutup kelopak mata N.Fasialis,
Oculli N.Temporalis, N.
Zigomatikus
5. M. Nasalis Mengembang N. Fasialis
N. Mandibular,
N. Buccal
8. M. Mentalis Mengangkat dagu N. Fasialis dan
N. Buccal
2.2.2 Fisiologi
Sistem saraf tersusun oleh berjuta-juta sel saraf yang mempunyai bentuk
bervariasi. Sistem ini meliputi sistem saraf pusat dan saraf tepi. Dalam kegiatannya,
saraf mempunyai hubungan kerja seperti mata rantai (berurutan) antara reseptor dan
efektor. Reseptor adalah satu atau sekelompok sel saraf dan sel lainnya yang berfungsi
mengenali rangsangan tertentu yang berasal dari luar atau dari dalam tubuh. Efektor
adalah sel atau organ yang menghasilkan tanggapan terhadap rangsangan. (Ho, et al.,
2015)
Sel saraf motorik merupakan bagian dari struktur dan fungsi sistem saraf yang
berfungsi mengirim implus dari sistem saraf pusat ke otot atau kelenjar yang hasilnya
berupa tanggapan tubuh terhadap rangsangan. Badan sel saraf motorik berada di sistem
saraf pusat. Dendritnya sangat pendek berhubungan dengan akson saraf asosiasi,
sedangkan aksonnya dapat sangat panjang. Mekanisme pengiriman informasi antara
reseptor dengan sistem saraf pusat terjadi melalui proses pengiriman impuls dengan
kode irama dan frekuensi tertentu. Saraf eferen disebut sebagai saraf motorik terdiri
dari dua bagian yaitu saraf motorik somatik dan saraf somatik autonom. (Ho, et al.,
2015)
Kinerja motorik bergantung pada otot yang utuh, hubungan neuromuskular
yang fungsional serta traktus nervus kranialis dan spinalis yang utuh. Otot–otot skletal
dan neuron-neuron menyusun susunan neuromuskular volunter, yaitu sistem yang
mengurus dan sekaligus melaksanakan gerakan yang dikendalikan oleh keinginan.
Untuk dapat memahami bagaimana sistem saraf mengkoordinasikan aktivitas otot,
pertama-tama haruslah dapat membedakan antara Upper Motor Neuron (UMN) dan
Lower Motor Neuron (LMN). (Ho, et al., 2015)
Secara anatomik sistem saraf terdiri atas UMN, LMN, alat penghubung antara
unsur saraf dan unsur otot, serta otot skeletal. Saraf yang disalurkan melalui lintasan–
lintasan neuronal adalah potensial aksi, yang sejak dulu dikenal sebagai impuls dan
tidak lain berarti pesan. Impuls yang disampaikan ke otot sehingga menghasilkan gerak
otot dinamakan impuls motorik. (Ho, et al., 2015)
Susunan sistem motorik ialah susunan yang mengurus hal yang berhubungan
dengan gerakan otot-otot skeletal. Terdiri dari dua unsur yaitu unsur saraf dan otot.
Unsur saraf terdiri dari UMN dan LMN. Dalam memulai suatu gerakan, bagian UMN
mengirim pesan kepada bagian LMN untuk melakukan gerakan tertentu. Bagian LMN
ini terdiri dari motor end plate dan otot. Berdasarkan perbedaan anatomi dan fisiologi,
UMN dibagi lagi menjadi susunan piramidal dan ekstrapiramidal. (Ho, et al., 2015)
2.2 Definisi
Cerebral palsy adalah gangguan fungsi dari otak terutama gangguan gerakan
dan postur. Hal ini didefinisikan sebagai istilah umum yang mencakup kelompok non-
progresif, tetapi sering berubah, sindrom gangguan motorik sekunder kepada lesi atau
kelainan dari otak yang timbul pada tahap awal pembangunan. Ini dapat dinyatakan
sebagai ensefalopati statis, meskipun lesi primer, anomali atau cedera yang statis pola
klinis presentasi mungkin berubah dengan waktu karena terdapat gangguan
pertumbuhan dan perkembangan plastisitas dan pematangan sistem saraf pusat. (Liptak
& Murphy, 2011)
2.3 Epidemiologi
CP merupakan kumpulan gejala kelainan perkembangan motorik dan postur
tubuh yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak sejak dalam kandungan atau
di masa kanak-kanak. Kelainan tersebut kerap bersamaan dengan gangguan sensasi,
persepsi, kognisi, komunikasi, tingkah laku, epilepsi, dan masalah muskuloskeletal.
Gejala CP mulai dapat diamati pada anak-anak di bawah umur 3 tahun, yaitu
manifestasi berupa hipotonia awal pada 6 bulan pertama hingga 1 tahun dan umumnya
diikuti spastisitas. Prevalensi CP secara global berkisar antara 1-1,5 per 1.000 kelahiran
hidup dengan insidens meningkat pada kelahiran prematur. Di negara maju, prevalensi
CP dilaporkan sebesar 2-2,5 kasus per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan di negara
berkembang berkisar antara 1,5-5,6 kasus per 1.000 kelahiran hidup. Hingga saat ini,
belum tersedia data akurat perihal jumlah penderita CP di Indonesia, diperkirakan
terdapat sekitar 1-5 kasus per 1.000 kelahiran hidup. (Fidan & Baysal, 2014)
2.4 Etiologi
Cerebral palsy adalah kondisi neurologis yang disebabkan oleh cedera pada
otak yang terjadi sebelum perkembangan otak sempurna. Karena perkembangan otak
berlangsung selama dua tahun pertama, cerebral palsy dapat disebabkan oleh cedera
otak yang terjadi selama periode prenatal, perinatal, dan postnatal. 70-80% kasus
cerebral palsy diperoleh selama masa prenatal dan sebagian besar penyebab tidak
diketahui. (Miller & Bachrach, 2017)
Lebih dari 50 % penyebab cerebral palsy tidak diketahui. Etiologi dapat
diklasifikasikan berdasarkan waktu dari gangguan selama masa prenatal, perinatal, dan
postnatal. Sistem klasifikasi etiologi yang lain berdasarkan penyebab sebenarnya
seperti kongenital (sindroma, malformasi, developmental) atau acquired (trauma,
infeksi, hipoksia, iskemik, infeksi TORCH, dll). Perinatal asfiksia hanya sekitar 8-15%
dari seluruh kasus cerebral palsy dan sekitar 12-21% pada masa post-natal. (Miller &
Bachrach, 2017)
1. Prenatal: (Miller & Bachrach, 2017)
a. Keturunan : Jika di duga lebih dari satu kasus cerebral palsy
ditemukan pada saudara kandung. Terjadinya lebih dari satu kasus
cerebral palsy pada satu keluarga tidak membuktikan adanya kondisi
genetik. Penyebabnya mungkin lesi otak perinatal sebagai
komplikasi persalinan (persalinan prematur) yang dapat terjadi lebih
dari satu kali pada ibu yang sama.
b. Infeksi : Jika ibu mengalami infeksi organisme yang dapat
menembus plasenta dan menginfeksi janin, proses ini meyebabkan
kerusakan otak prenatal. Infeksi janin tersering adalah sifilis,
toxoplasmosis, dan rubella. Semua dapat menyebabkan gejala dan
tanda akut pada neonatus di ikuti dengan kerusakan otak permanen
saat masa kanak-kanak. Didominasi temuan retardasi mental tapi
gangguan gerak juga dapat muncul.
c. Komplikasi lain selama kehamilan : Komplikasi selama kehamilan
seperti episode anoksia, radiasi x-ray, intoksikasi maternal dapat
mempengaruhi fetus. Jika terjadi kondisi yang menyebabkan
gangguan pada otak fetus , biasanya akan terjadi retardasi yang
biasanya dikombinasi dengan cerebral palsy.
2.5 Patofisiologi
Seperti diketahui sebelumnya bahwa cerebral palsy merupakan kondisi
neurologis yang disebabkan oleh cedera pada otak yang terjadi sebelum perkembangan
otak sempurna. Trauma serebral yang menyangkut trauma dari arteri serebral media
adalah rangkaian patologis yang paling sering ditemukan dan dikonfirmasi dari pasien
dengan cerebral palsy spastic hemiplegia dengan menggunakan evaluasi dari
computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI). Penilaian
tersebut telah menunjukkan kehilangan jaringan (nekrosis dan atrofi) dengan atau tanpa
gliosis. Beberapa anak dengan cerebral palsy hemiplegia mengalami atrofi
periventrikular, menunjukkan adanya abnormalitas pada white matter. Pada pasien
dengan cerebral palsy bergejala quadriplegia, gangguan motorik yang terjadi pada
kaki bisa sama sampai lebih berat daripada tangan. Yang terkait dengan cerebral palsy
bentuk ini adalah adanya rongga yang terhubung dengan ventrikel lateral, multiple
cystic lesion pada white matter, diffuse cortical atrophy, dan hydrocephalus. Cerebral
palsy bentuk choreoathetoid yang kadang mengalami spastisitas cenderung terjadi bayi
pada cukup bulan, distonia dari ekskremitas juga sering terjadi bersama spastisitas tapi
cenderung tidak dikenali. (Marret et al., 2013)
Selama 30 tahun terakhir, neuropatologis telah memaparkan bahwa
periventricular white matter merupakan lokasi terpenting dari kelainan yang
menyebabkan disfungsi motorik kongenital. Periventricular leukomalacia adalah
istilah untuk karakteristik lesi nekrosis koagulatif pada white matter yang dekat dari
ventrikel lateral, dengan menggunakan pemeriksaan ultrasound mencari tanda adanya
trauma pada white matter secara virtual seperti kedua area hiperechoic (echodense) dan
hipoechoic (echolusent). Bayi yang lahir pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu
beresiko tinggi terhadap kedua lesi hiperechoic dan hipoechoic. Umumnya lesi
hiperechoic menandakan kongesti vaskuler atau hemorrhage dan penampakan dini dari
kerusakan jaringan. Sedangkan lesi hipoechoic tampak pencerminan dari
pelepasan/kehilangan jaringan nekrotik dan perkembangan struktur seperti kista.
(Marret et al., 2013)
Gambaran klinis CP tergantung pada bagian dan luasnya jaringan otak yang
mengalami kerusakan. (Blair & Sellier, 2018)
Berdasarkan gejala klinisnya
CP dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok, yakni spastik, ataksid,
atetoid atau diskinetik, dan campuran.
Gambar 2.6 Tipe Cerebral Palsy (Blair & Sellier, 2018)
o Spastik
Sebagian besar (kurang lebih 80%) kasus CP adalah jenis spastik. CP
spastik ditandai dengan kaku otot terutama tungkai dan jika dibiarkan
dalam waktu lama dapat menimbulkan kontraktur. Berdasarkan lokasi
yang mengalami kaku otot, CP spastik dikelompokkan lebih lanjut
menjadi : (Blair & Sellier, 2018)
- Spastik Monoplegi: Kaku pada satu anggota gerak, umumnya
lengan
- Spastik Diplegi : Kaku pada keempat anggota gerak, umumnya
tungkai bawah lebih parah
- Spastik Triplegi: Kaku pada tiga anggota gerak, kombinasi dua
lengan dan satu tungkai paling sering ditemukan
- Spastik Kuadriplegi : Kaku pada keempat anggota gerak, yakni
kedua lengan dan tungkai dengan tingkat keparahan yang sama
- Spastik Hemiplegi : Kaku pada satu sisi tubuh, bagian terparah
ada di lengan.
Gambar 2.7 Macam Cerebral Palsy Tipe Spastik (Marret et al.,
2013)
o Ataksid
CP ataksid terjadi pada 5-10% penderita. CP ataksid mengganggu
keseimbangan dan persepsi, umumnya ditandai dengan gangguan
koordinasi saat berjalan, saat melakukan gerakan yang cepat dan tepat,
seperti menulis dan mengancingkan baju. Penderita juga sering
mengalami tremor dan menggigil saat hendak meraih benda. (Blair &
Sellier, 2018)
Gambar 2.8 Cerebral Palsy Tipe Ataksid (Marret et al., 2013)
o Atetoid/diskinetik
CP jenis atetoid/diskinetik terjadi pada 10-20% penderita. Penderita CP
atetoid mengalami fluktuasi tonus otot yang menyebabkan gerakan
lambat dan tidak terkontrol. Jika mengenai otot-otot wajah, penderita
akan terlihat selalu menyeringai dan mengeluarkan air liur. Intensitas
gerakan yang tidak terkontrol akan meningkat pada kondisi stres
emosional, menghilang saat tidur. (Blair & Sellier, 2018)
o Campuran
Sekitar 10% penderita CP mengalami jenis campuran. CP campuran
yang paling sering ditemui adalah kombinasi spastik dan atetoid. Gejala
spastik biasanya muncul pada umur yang lebih muda, dilanjutkan
dengan gejala atetoid pada umur 9 bulan - 3 tahun. (Blair & Sellier,
2018)
Berdasarkan estimasi derajat beratnya penyakit dan kemampuan penderita
untuk melakukan aktivitas normal. (Blair & Sellier, 2018)
Perkembangan
Klasifikasi Gejala Penyakit penyerta
Motorik
Minimal Normal, hanya * Kelainan tonus * Gangguan
terganggu secara sementara komunikasi
kualitatif * Refleks primitif * Gangguan
menetap terlalu lama belajar spesifik
* Kelainan postur
ringan
* Gangguan gerak
motorik kasar dan
halus, misalnya
clumpsy
Ringan Berjalan umur 24 * Beberapa kelainan
bulan pada pemeriksaan
neurologis
* Perkembangan
refleks primitif
abnormal
* respon postular
terganggu
* Gangguan motorik<
misalnya tremor
* Gangguan koordinasi
Sedang Berjalan umur 3 * Berbagai kelainan * Retardasi mental
tahun, kadang neurologis * Gangguan belajar
memerlukan bracing * Refleks primitif dan kominikasi
Tidak perlu alat menetap dan kuat * Kejang
khusus * Respon postural
terlambat
Berat Tidak bisa berjalan, * Gejala neurologis
atau berjalan dengan dominan
alat bantu * Refleks primitif
Kadang perlu menetap
operasi * Respon postural tidak
muncul
Tabel 2.2 Klasifikasi Cerebral Palsy Berdasarkan Derajat Penyakit (Blair &
Sellier, 2018)
2.7 Diagnosis
Penegakan diagnosis adalah hal yang sangat penting dalam mengenali cerebral
palsy, sebagai retardasi mental. Tonggak penetapan adalah saat mencapai akhir dari
kedua kondisi tersebut dan mempelajari secara pelan-pelan akan membantu
membedakan anak-anak dengan keterlambatan pencapaian motorik akibat
keterbelakangan mental dengan lainnya yang cerebral palsy. Perbandingan dibuat
tidak hanya melihat perkembangan pasien dari anak normal yang lain tapi juga dari
fungsi anggota badan kanan dan kiri dan dari tangan dan kaki. Dengan cara ini CP
hemiplegia dan diplegia dapat dicurigai. Pada fase awal dari banyak bentuk CP,
hipotonia adalah hal yang paling menonjol, sedangkan hipertonia dan pergerakan
involunter muncul belakangan. Respon primitif automatis yang persisten seperti
refleks moro, refleks menggenggam,dan tonic neck reflex asimetris menghilang
melebihi dari usia normal seharusnya, dimana hal ini dapat memberikan petunjuk
penting pada fase awal. (Saharso, 2006)
Observasi dari keterlambatan perkembangan motorik, kelainan tonus otot, dan
postur tubuh yang tidak biasa adalah penanda penting dalam mendiagnosis cerebral
palsy. Pada bayi yang tidak mengalami CP, refleks moro jarang terlihat setelah
umurnya lewat 6 bulan, hand preference jarang berkembang sebelum umur 12 bulan.
Hand preference dapat terjadi sebelum umur 12 bulan apabila hemiplegia spastik
terjadi. Tes laboratorium dan cerebral imaging menggunakan computed tomography,
magnetic resonance imaging, dan ultrasound sangat berguna dalam menunjang
diagnosis. Pengawasan terhadap disabilitas seperti gangguan pendengaran dan
penglihatan kejang, dan disfungsi kognitif dapat membantu melengkapi penilaian
klinis dalam menentukan diagnosis. (Saharso, 2006)
Anamnesa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis lengkap tentang riwayat
kehamilan, perinatal dan pascanatal, dan memperhatikan faktor risiko terjadinya
Cerebral Palsy. (Saharso, 2006)
Prenatal :
- Riwayat saat hamil
- Gerakan bayi
Perinatal :
- Letak bayi dan jenis persalinan
- Apgar score
- Komplikasi
- Perdarahan intraventrikular
Riwayat perkembangan :
- Perkembangan Milestones:
- Bicara, termasuk babling, kata, mengerti bagian tubuh, bahasa reseptif dll
Informasi umum :
- Nutrisi, feeding style, kemampuan oral, parameter pertumbuhan
- Kejang
- Gangguan mata, meliputi strabismus, esotropia dll
- Pendengaran
- Kontraktur
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dilihat kelainan tonus otot, kelainan gerak, dan
kelainan refleks pada bayi. Pemeriksaan fisik lengkap dilakukan dengan
memperhatikan perkembangan motorik dan mental dan adanya refleks neonatus yang
masih menetap. Pada bayi yang mempunyai risiko tinggi diperlukan pemeriksaan
berulang kali, karena gejala dapat berubah, terutama pada bayi yang dengan hipotoni,
yang menandakan perkembangan motorik yang terlambat; hampir semua Cerebral
Palsy melalui fase hipotoni. Pemeriksaan fisik yang sering dilakukan : (Saharso, 2006)
1. Pemeriksaan muskuloskeletal
Pemeriksaan muskuloskeletal meliputi evaluasi statik dan dinamik.
2. Pemeriksaan neurologis
o Asesmen tonus otot.
Tonus tergantung pada kecepatan artinya bahwa bila otot diregangkan secara cepat
maka akan terjadi peningkatan tonus yang lebih daripada bila otot diregangkan secara
pelan atau bertahap.
o Asesmen Reflek dan postur
4. Pemeriksaan penunjang
o Tes Laboratorium dan tes pencitraan neurologis
o Evoked Potentials/electrodiagnosis
o Electroencephalography (EEG)
Pemeriksaan khusus
Diperlukan pada anak yang dicurigai atau terbukti cerebral palsy. Pemeriksaan tersebut
adalah : (Saharso, 2006)
1. Semua anak dengan CP harus melakukan pemeriksaan penglihatan dan
pendengaran yang segera dilakukan setelah diagnosis cerebral palsy
ditegakkan. Kerusakan dari indera tersebut sangat mempengaruhi pendidikan
dan pelatihan anak.
2. Pungsi lumbal harus dilakukan untuk menilai cairan serebrospinal , dilakukan
paling tidak satu kali pada anak yang dicurigai CP untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit degeneratif, tumor intrakranial, subdural hygroma. Pada
pasien CP cairan serebrospinal normal.
3. Pemeriksaan EEG dilakukan terutama pada pasien dengan hemiparesis atau
tetraparesis karena beresiko tinggi kejang.
4. Indikasi ultrasound dan computerized tomography kepala sangat membantu
dalam penegakan diagnosis dan mengeliminasi kemungkinan diagnosis
lainnya. CT dan MR akan menunjukkan perkembangan kerusakan dan lokasi
dari infark, kontusio, atau hemorrhage.
5. Pemeriksaan metabolik untuk menyingkirkan penyebab lain dari retardasi
mental. Anak yang di curigai harus di skrining untuk melihat kelainan
metabolik seperti hipoglikemi, hipotiroidisme.
2.9 Tatalaksana
Tidak ada terapi spesifik terhadap Cerebral Palsy. Terapi bersifat simptomatik,
yang diharapkan akan memperbaiki kondisi pasien. Terapi yang sangat dini akan dapat
mencegah atau mengurangi gejala-gejala neurologik. Untuk menentukan jenis terapi
atau latihan yang diberikan dan untuk menentukan keberhasilannya maka perlu
diperhatikan penggolongan Cerebral Palsy berdasarkan derajat kemampuan fungsionil
yaitu derajat ringan, sedang dan berat. (Novak et al., 2017)
Tujuan terapi pasien Cerebral Palsy adalah membantu pasien dan keluarganya
memperbaiki fungsi motorik dan mencegah deformitas serta penyesuaian emosional
dan pendidikan sehingga penderita sedikit mungkin memerlukan pertolongan orang
lain, diharapkan penderita bisa mandiri. Pada anak-anak penanganannya membutuhkan
keterpaduan antara keluarga, ahli rehabilitasi, ahli neurologi, ahli ortopedi, ahli
psikologi, terapi bicara, pekerja medis, sosial dan guru. Sebaiknya pengobatan ini
diarahkan pada suatu tempat/pusat khusus. (Novak et al., 2017)
Manajemen CP memerlukan pengetahuan dasar abnormalitas anatomi-fisiologi
anak, interaksi biologi dan faktor lingkungan. Dengan integrasi pengetahuan dasar
tentang anatomifisiologi anak yang abnormal, maka tim Rehabilitasi bersama dengan
keluarga berusaha mengembangkan kemampuan anak dengan hendaya ke level
motorik, intelektual dan fungsi sosial yang maksimal. Cerebral Palsy sering mengalami
kelainan multisistem. Rehabilitasi melibatkan beberapa profesi. Evaluasi ulang dan
meresepkan program baru sangat penting.
Sasaran utama program rehabilitasi : (Herring, 2013)
Antisipasi komplikasi
Mencapai ketrampilan baru
Intervensi awal
Setelah diagnosis dibuat, intervensi rehabilitasi segera mulai. Tujuannya: (Herring,
2013)
Memperbaiki fungsi
Mengembangkan fungsi kompensasi
Mencapai kemandirian dalam aktifitas sehari-hari, sekolah, kerja dan kehidupan
sosial.
Intervensi awal ini merupakan program untuk memperbaiki interaksi pengasuh,
dorongan keluarga untuk bisa menerima, pengetahuan/ketrampilan merawat anak di
rumah, motorik dan perkembangan lain. Tim tidak hanya bertugas mendidik saja tetapi
juga mendorong keluarga untuk mengidentifikasi dan memfasilitasi kemampuan serta
kebutuhan anak. (Herring, 2013)
Manajemen untuk bayi meliputi : (Herring, 2013)
Pemberian posisi dan alignment yang mencegah bertambahnya postur dan refleks
yang abnormal
Rangsangan sensorimotor
Teknik perawatan yang tepat
Konsep intervensi dini ini sangat penting bagi anak dengan disabilitas. Penelitian
menunjukkan bahwa intervensi dini hasilnya baik dalam perkembangan motorik,
kognitif, penerimaan anak di dalam keluarga, ketrampilan interpersonal, masalah
kesehatan lebih stabil meskipun dengan beberapa keterbatasan, memaksimalkan
kemampuan untuk mandiri dan produktif saat dewasa. (Herring, 2013)
Gambar 2.11 Contoh pemberian posisi yang benar (A) dan latihan luas gerak
sendi (B & C) pada CP (Herring, 2013)
Latihan fungsional
Latihan memerlukan partisipasi yang kooperatif, maka metoda latihan ini tidak
banyak digunakan pada bayi dan anak usia pra-sekolah. Latihan LGS, latihan
penguatan, latihan postural & kontrol motorik, balans dan koordinasi. Sasaran jangka
pendek adalah aktifitas fungsional pada akhir latihan. Kemampuan motorik kasar dan
hand dexterity adalah penentu untuk rencana program ADL. (Herring, 2013)
Ortesa
Ortesa dapat membantu memperbaiki gait saat ambulasi. AFO paling sering diresepkan
untuk mengatur posisi pergelangan kaki dan kaki pada saat jalan. Ortesa diberikan
untuk memberi support, membatasi gerak, memperbaiki fungsi dan mencegah
deformitas. Ortesa digunakan untuk ekstremitas atas atau bawah. Pemilihan ortesa
berdasarkan : (Herring, 2013)
Usia anak
Kontrol motorik
Tipe deformitas
Desain ortesa
Prognosis fungsional jangka pendek dan panjang
Ortesa ekstremitas atas digunakan untuk mempertahankan posisi sendi yang
fungsional. Indikasi pemberian ortesa : (Herring, 2013)
o Anak dengan equinus dinamik, untuk mencapai kaki dalam posisi
plantigrade dan mengurangi genu recurvatum.
o Bila ada drop foot, untuk support kaki dalam posisi dorsifleksi saat fase
swing
o Crouch gait ringan yang bisa membaik dengan AFO
o Pasca operasi
Ortesa sebaiknya sederhana, ringan tapi kuat, mudah dipakai. Yang paling
penting adalah brace bisa memberi dan meningkatkan kemandirian fungsi. (Herring,
2013)
Gambar 2.14 Ortesa anggota gerak bawah. Kiri: ankle foot splint, kanan: sepatu
koreksi (Herring, 2013)
Manajemen spastisitas
Tindakan bedah
Indikasi operasi : (Herring, 2013)
Memperbaiki fungsi dan penampilan
Mencegah atau koreksi deformitas
Tindakan bedah yang dilakukan, bisa berupa tendon lengthening, tenotomy atau
transfer, soft tissue release, derotational osteotomy, arthrodesis, myotomy. (Herring,
2013)
Oleh karena perubahan gait dan maturitas sampai pada usia 7 tahun, maka lebih
bijaksana bila operasi dilakukan pada usia tersebut kecuali bila ada subluksasi hip dan
anak yang hampir mencapai kondisi ambulasi tetapi terhambat dengan adanya
kontraktur. Dalam hal ini, Rehabilitasi berperan penting pasca operasi dan pasca lepas
gips dengan sasaran : (Herring, 2013)
o Memperbaiki LGS
o Meningkatkan kekuatan otot
o Memperbaiki kontrol motorik
o Mengurangi nyeri
o Mengurangi spastisitas
o Mencegah kembalinya deformitas
Psikososial
Proses pertumbuhan dengan disabilitas mempunyai dampak fungsi pada
individu dan keluarga dalam masyarakat. Anak difabel tidak hanya harus hidup dengan
hendaya fisiknya tetapi juga penerimaan masyarakat. Dengan penerimaan hendayanya,
anak menjadi percaya diri, mengeksplorasi dan belajar tentang dunia sekitarnya.
Petunjuk orang tua dalam pengasuhan selama perkembangan anak : (Herring, 2013)
o Jangan overprotection, biarkan anak belajar dengan keterbatasannya.
o Jujur dengan anak
o Buat sasaran yang realistik untuk anak
o Biarkan anak memilih dan mencoba/mengembangkan diri
o Disiplin dan dorong anak agar percaya diri
o Besarkan hati anak
Masa transisi dari lingkungan rumah ke sekolah, perlu waktu. Saat itu anak
sering mengisolasi diri karena mempunyai kesulitan melakukan aktifitas rutin. Masa
transisi tersebut merupakan masa penuh stres tetapi juga merupakan proses maturasi
emosi. Mungkin anak menjadi mandiri atau regresi. Drooling dan inkontinentia
merupakan sisi negatif dalam masyarakat, tetapi bila anak bisa berpartisipasi aktif
dalam kelompok maka akan meningkatkan interaksi sosial. Prinsip bagi difabel,
masyarakat bisa menerima keterbatasannya, kemampuannya bisa ditingkatkan
kemudian. (Herring, 2013)
2.10 Prognosis
Prognosis pada penderita dengan gejala motorik ringan adalah baik. Makin
banyak gejala penyertanya dan makin berat gejala motoriknya makin buruk
prognosisnya. Komplikasi adalah seperti retardasi mental, epilepsi, gangguan
pendengaran dan visual. (Soetjiningsih, 2012)
Anak-anak dengan CP berat dan keterbelakangan mental juga kadang
mengalami epilepsi dan beresiko tinggi mengalami infeksi dada, status epileptikus dan
masalah lainnya. Cerebral Palsy berat juga menyebabkan prognosis yang buruk pada
pasien yang lebih tua. Perkiraan yang tepat dari kelangsungan hidup dari CP berat
sangat sulit, tapi yang penting adalah perencanaan untuk kebutuhan pasien dan
keperluan tujuan medicolegal. (Soetjiningsih, 2012)
BAB 3
KESIMPULAN
Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu
kurun waktu dalam perkembangan anak, di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik
dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai
pertumbuhannya.Walaupun lesi serebral bersifat statis dan tidak progresif, tetapi
perkembangan tanda-tanda neuron perifer akan berubah akibat maturasi serebral.
Kerusakan pada otak yang terjadi pada Cerebral Palsy tidak dapat diperbaiki,
tetapi setiap anak dapat mencoba untuk menggunakan bagian lain dari otak yang tidak
mengalami kerusakan untuk melakukan hal-hal yang diinginkannya. Seorang anak
yang menderita Cerebral Palsy akan menjadi dewasa tetap sebagai penderita Cerebral
Palsy. Mencari kesembuhan mutlak hanyalah mendatangkan kekecewaan. Bantuan
yang dapat diberikan yaitu membantunya untuk dapat melanjutkan hidup dengan
kemampuan yang ada tanpa bergantung kepada orang lain selama ia bisa
melakukannya sendiri
Walaupun sulit, etiologi CP perlu diketahui untuk tindakan pencegahan.
Fisioterapi dini memberi hasil baik, namun adanya gangguan perkembangan mental
dapat menghalangi tercapainya tujuan pengobatan. Pendekatan multi-disiplin penting
dalam penanganan penderita CP, seperti disiplin anak, saraf, mata, THT, bedah tulang,
bedah saraf, psikologi, ahli wicara, fisioterapi, pekerja sosial, guru sekolah Iuar biasa.
Di samping itu juga harus disertakan peranan orang tua dan masyarakat.
Dokter umum sebagai ”ujung tombak” di dalam program pelayanan kesehatan
masyarakat, perlu memahami pengetahuan tentang CP, diharapkan dapat melakukan
deteksi dini. Semakin dini mendapatkan Program Rehabilitasi Medik, semakin besar
harapan untuk mendapatkan hasil yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Abbaskhanian, A., Rashedi, V., Delpak, A., Vameghi, R. and Gharib, M., 2015.
Rehabilitation interventions for children with cerebral palsy: a systematic
review. Journal of Pediatrics Review, 3(1), pp.0-0.
Blair, E., Cans, C. and Sellier, E., 2018. Epidemiology of the cerebral palsies.
In Cerebral Palsy (pp. 19-28). Springer, Cham.
Fidan, F. and Baysal, O., 2014. Epidemiologic characteristics of patients with cerebral
palsy. Open journal of therapy and rehabilitation, 2(03), p.126.
Herring, J.A., 2013. Tachdjian's pediatric orthopaedics e-book: from the Texas
Scottish Rite Hospital for Children. Elsevier Health Sciences.
Ho, M.L., Juliano, A., Eisenberg, R.L. and Moonis, G., 2015. Anatomy and pathology
of the facial nerve. American Journal of Roentgenology, 204(6), pp.W612-W619.
Levitt, S. and Addison, A., 2018. Treatment of cerebral palsy and motor delay. Wiley-
Blackwell.
Liptak, G.S. and Murphy, N.A., 2011. Providing a primary care medical home for
children and youth with cerebral palsy.
Miller, F. and Bachrach, S.J., 2017. Cerebral palsy: A complete guide for caregiving.
JHU Press.
Novak, I., Morgan, C., Adde, L., Blackman, J., Boyd, R.N., Brunstrom-Hernandez, J.,
Cioni, G., Damiano, D., Darrah, J., Eliasson, A.C. and De Vries, L.S., 2017. Early,
accurate diagnosis and early intervention in cerebral palsy: advances in diagnosis and
treatment. JAMA pediatrics, 171(9), pp.897-907.
Saharso D. 2006. Cerebral palsy: diagnosis dan tatalaksana. Dalam: Naskah lengkap
continuing education ilmu kesehatan anak XXXVI kapita selekta ilmu kesehatan anak
VI. Surabaya: RSUD. DR, Soetomo.
Taub, E., Ramey, S.L., DeLuca, S. and Echols, K., 2004. Efficacy of constraint-induced
movement therapy for children with cerebral palsy with asymmetric motor
impairment. Pediatrics, 113(2), pp.305-312.
Westbrook, K.E. and Varacallo, M., 2019. Anatomy, Head and Neck, Facial Muscles.
In StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing.