“ANOSMIA”
OLEH
NILAM DJAFAR
SAMIONG LAITUPA
SANDRWATY KADJIM
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Keadaan ini diakibatkan oleh beberapa pencetus yang ada, seperti adanya
masa pada hidung sehingga membuat obstruksi dihidung dan juga diakibatkan ada
fungsi saraf yang tidak berfungsi, yakni nervus I (olfaktori) yang berfungsi dalam
mengidentifikasi bau/penciuman.
Untuk itu untuk lebih bisa memahami mengenai gangguan fungsi hidung
ini, maka dilakukan studi telaah pustakan dalam menghimpun segala informasi
yang berkaitan dengan anosmia ini.
8. N. vestibulocochlearis
N. vestibularis Sensoris Posisi dan gerakan
kepala
N. cochlearis Sensoris
Pendengaran
9. N. glossopharyngeus Motoris M. stylopharyngeus;
membantu menelan
Sekretmotorik Glandula saliviari
parasymphatis parotidea
Sensoris Sensasi umum dan
pengecap dari
sepertiga posterior
lidah dan pharynx;
sinus caroticus dan
glomus caroticum
B. DEFINISI ANOSMIA
Anosmia adalah suatu tidak adanya/hilangnya sensasi penciuman, dalam hal
ini berarti hilangnya kemampuan mencium atau membau dari indera
penciuman. Hilangnya sensasi ini bisa parsial ataupun total.
C. ETIOLOGI
1. Defek konduktif
a. Proses inflamasi / peradangan dapat mengakibatkan gangguan
pembauan.
b. Adanya massa / tumor dapat menyumbat rongga hidung sehinga
menghalangi aliran adorant / ke epitel olfaktorius.
c. Abnormalitas development (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga
dapat menyebabkan obstruksi.
d. Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita
hisposmia karena berkurang atau tidak adanya aliran udara yang
melalui hidung.
2. Defek sentral / sensorineural
a. Proses infeksi / inflamasi menyebabkan defek sentral gangguan pada
transmisi sinyal.
b. Penyebab congenital menyebabkan hilangnya struktur syaraf.
c. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM)
berpengaruh pada fungsi pembauan.
d. Trauma kepala, operasi otak atau perdarahan subarachnoid dapat
menyebabkan regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria
yang halus dan mengakibatkan anosmia.
e. Toksitisitas dari obat – obatan sistemik dan inhalasi
f. Definsi gizi (vit A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengarui
pembauan.
Faktor resiko
D. PATOFISIOLOGI
Indra penciuman dan pengecapan tergolong ke dalam system
penginderaan kimia kita (chemosensation). Proses yang kompleks dari
mencium dan mengecap di mulai ketika molekul – molekul dilepaskan oleh
substansi di sekitar kita yang menstimulasi sel syaraf khusus dihidung, mulut
atau tenggorokan. Sel – sel ini menyalurkan pesan ke otak, dimana bau dan
rasa khusus di identifikasi. Sel – sel olfaktori (saraf penciuman) di stimulasi
oleh bau busuk di sekitar kita. Contoh aroma dari mawar adonan pada roti.
Sel –sel saraf ini ditemukan di sebuah tambahan kecil dari jaringan
terletak diatas hidung bagian dalam, dan mereka terhubung secara langsung
ke otak penciuman (olfaktori) terjadi karena adanya molekul – molekul yang
menguap dan masuk kesaluran hidung dan mengenal olfactory membrane.
Manusia memiliki kira – kira 10.000 sel reseptor berbentuk rambut. Bila
molekul udara masuk, maka sel – sel ini mengirimkan impuls saraf.
Pada mekanisme terdapat gangguan atau kerusakan dari sel – sel
olfaktorus menyebabkan reseptor dapat mengirimkan impuls menuju susunan
saraf pusat. Ataupun terdapat kerusakan dari sarafnya sehingga tidak dapat
mendistribusikan impuls reseptor menuju efektor, ataupun terdapat kerusakan
dari saraf pusat di otak sehingga tidak dapat menterjemahkan informasi
impuls yang masuk.
E. MANIFESTASI KLINIK
a. Berkurangnya kemampuan dan bahkan sampai tidak bisa mendeteksi bau.
b. Gangguan pembau yang timbul bisa bersifat total / tidak bisa mendeteksi
seluruh bau.
c. Dapat bersifat parsial / hanya sejumlah bau yang dapat dideteksi.
d. Dapat juga bersifat spesifik (hanya satu / sejumlah kecil yang dapat
dideteksi)
e. Kehilangan kemampuan merasa / mendeteksi rasa dalam makanan yang di
makan.
f. Berkurangnya nafsu makan.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Temuan laboratorium
Telah dikembangkan teknik – teknik untuk biopsi neuroepitelium
olfaktorius.
b. Pencitraan
CT scan dan MRI dibutuhkan untuk menyingkirkan neoplasma pada fossa
kranii anterior yang tidak diduga sebelumnya, sinusitis paranasolik dan
neoplasma pada rongga hidung dan sinus paranasalis.
c. Pemeriksaan sensorik
1) Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif
Untuk menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensori kualitatif.
2) Langkah kedua menentukan ambang deteksi
Setelah dokter menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi
kualitatif, langkah kedua pada pemeriksaan sensorik adalah
menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. Ambang ini
ditetapkan menggunakan rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk
masing – masing lubang hidung ditentukan dengan ambang deteksi
untuk nil-teil metil karbonil. Tahapan hidung juga dapat diukur
dengan rinomanometri anterior untuk masing – masing sisi hidung.
G. PENATALAKSANAAN
MEDIS
a. Pengobatan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kehilangan
sesuai penciuman antara lain antihistamin bila diindikasi penderita
alergi.
b. Berhenti merokok dapat meningkatkan fungsi penciuman.
c. Koreksi operasi yang memblok fisik dan mencegah kelebihan dapat
digunakan dekongostan nasal.
d. Suplemen zink kadang direkomendasikan
e. Kerusakan neuro olfaktorius akibat infeksi virus prognosisnya buruk,
karena tidak dapat di obati.
f. Terapi vitamin A sebagian besar dalam bentuk vitamin A
KEPERAWATAN PENUNJANG MEDIS
a. Merubah / menghentikan obat – obatan yang diduga menjadi
penyebab terjadi kelainan.
b. Menjaga agar mulut tetap basah dengan cara mengulum permen.
c. Menunggu beberapa minggu untuk melihat perkembangan
selanjutnya.
GAMBAR – GAMBAR ANOSMIA
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN