Anda di halaman 1dari 19

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN PSIKOLOGIS

( DEPRESI ) PADA LANSIA

D
I
S
U
S
U
N

OLEH:
CHRISMAN HILMER SIBUEA
10.02.166

PROGRAM STUDI ILMU


KEPERAWATAN STIKes MUTIARA
INDONESIA
MEDAN
2012
BAB I
LATAR BELAKANG

1.1.Latar Belakang

Lanjut usia sebagai tahap akhir dari siklus kehidupan manusia, sering diwarnai
dengan kondisi hidup yang tidak sesuai dengan harapan. Banyak faktor yang
menyebabkan seorang lansia megalami gangguan mental seperti depresi. oleh karena
itu seorang pekerja sosial terutama yang bekerja pada setting pelayanan lansia baik itu
berbasisi panti maupun berbasi komunitas.

Depresi dan Lanjut Usia Lanjut Usia sebagai tahap akhir siklus perkembangan
manusia. Masa dimana semua orang berharap akan menjalani hidup dengan tenang,
damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh
kasih sayang. Pada kenyataanya tidak semua lanjut usia mendapatkan ?tiket? yang
sama untuk mengecap kondisi hidup idaman ini. Berbagai persoalan hidup yang
mendera lanjut usia sepanjang hayatnya, seperti: kemiskinan, kegagalan yang
beruntun, stress yang berkepanjangan, ataupun konflik dengan keluarga atau anak,
atau kondisi lain seperti tidak memiliki keturunan yang bisa merawatnya dan lain
sebagainya. Kondisi-kondisi hidup seperti ini dapat memicu terjadinya depresi.
Tidak adanya
media bagi lanjut usia untuk mencurahkan segala perasaan dan
kegundahannya merupakan kondisi yang akan mempertahankan depresinya, karena
dia akan terus menekan segala bentuk perasaan negatifnya kealam bawah sadar.
BAB II
ISI

2.1. PENGERTIAN DEPRESI

Depresi adalah gangguan alam perasaan ( mood)  yang ditandai dengan

kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya

kegairahan hidup, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas ( Reality Testing

 Ability, masih baik), kepribadian tetap utuh atau tidak mengalami keretakan

kepribadian (Splitting of personality), prilaku dapat terganggu tetapi dalam batas-

batas normal (Hawari Dadang, 2001).

Selain itu depresi dapat juga diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan
kejiwaan pada alam perasaan ( afektif mood)  , yang ditandai dengan
kemurungan, kelesuan, ketidakgairahan hidup, perasaan tidak berguna, putus asa dan
lain sebagainya.
Depresi adalah suatu jenis keadaan perasaan atau emosi dengan komponen
psikologis seperti rasa sedih, susah, merasa tidak berguna, gagal, putus asa dan
penyesalan atau berbentuk penarikan diri, kegelisahan atau agitasi (Afda
Wahywlingsih dan Sukamto)

2.2 . PENYEBAB DEPRESI PADA LANSIA


1. Penyakit fisik 
2. Penuaan
3. Kurangnya perhatian dari pihak keluarga
4. Gangguan pada otak (penyakit cerebrovaskular)
5. Faktor psikologis, berupa penyimpangan perilaku oleh karena cukup
banyak lansia yang mengalami peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan
atau cukup berat.
6. Serotonin dan norepinephrine
7. Zat-zat kimia didalam otak (neurotransmitter) tidak seimbang.
Neurotransmitter sendiri adalah zat kimia yang membantu komunikasi antar
sel-sel otak.
2.3. TANDA DAN GEJALA DEPRESI

Tanda dan gejala yang sering timbul dari depresi adalah penurunan energi dan
konsentrasi, gangguan tidur terutama terbangun dini hari dan sering terbangun malam
hari, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan dan keluhan somatik.
Sedangkan menurut Greg Wilkinson, tanda dan gejala depresi terbagi atas:
1. Suasana hati :

 Sedih

 Kecewa

 Murung

 Putus Asa

 Rasa cemas dan tegang

 Menangis

 Perubahan suasana hati

 Mudah tersinggung
2. Fisik

 Merasa kondisi menurun, lelah

 Pegal-pegal

 Sakit

 Kehilangan nafsu makan

 Kehilangan berat badan

 Gangguan tidur
 Tidak bisa bersantai

 Berdebar-debar dan berkeringat

 Agitasi

 Konstipasi
Namun seringkali gejala-gejala fisik tersebut disalah tafsirkan sebagai gejala
akibat penyakit fisik tertentu.
2.4. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DEPRESI

Terjadinya depresi pada lansia :


1. Faktor Psikososial
a. Kunjungan keluarga
Berkurangnya interaksi sosial dan dukungan sosial yang kurang baik dapat
mengakibatkan penyesuaian diri yang negatif pada lansia. Menurunnya
kapasitas hubungan keakraban dengan keluarga, berkurangnya interaksi
dengan keluarga yang dicintai dapat menimbulkan perasaan tidak berguna,
merasa disingkirkan, tidak dibutuhkan lagi dan kondisi ini dapat berperan
dalam terjadinya depresi.
b. Kemampuan adaptasi (lamanya tinggal dipanti)
Sulit bagi lansia meninggalkan rumah lamanya yang selama ini ditempati
bersama-sama orang-orang yang dicintainya. Yang tentu saja mempunyai
kenangan manis. Selain itu sikap konservatif lansia menambah sulit
untuk menyesuaikan diri pada lingkungan baru. Kondisi ini dapat menyebabkan
perasaan tertekan, kesedihan dan keputusasaan.
c. Pekerjaan masa lalu
Nilai seseorang sering diukur dengan produktifitasnya dan identitasnya.
Kondisi ini dikaitkan dengan peranan dan pekerjaannya, kehilangan peran
dalam pekerjaannya akan menurunkan atau menghilangkan kepuasan lansia.
Lansia yang dulunya aktif kemudian berhenti bekerja, mengalami kesulitan
dalam penyesuaian pribadi bahkan tidak jarang menimbulkan kehilangan
gairah hidup.
2. Faktor Psikologi
a. Motivasi Masuk Panti
Motivasi merupakan suatu dorongan dalam pikiran untuk bertindak.
Motivasi sangat penting bagi lansia untuk menentukan tujuan hidup dan apa
yang ingin dicapainya dalam kehidupan di panti. Adanya keinginan yang
muncul dari dalam individu lansia untuk tinggal di panti akan membuatnya
bersemangat meningkatkan toleransi dan merasa berguna. Kondisi ini akan
menimbulkan efek yang baik bagi kehidupan lansia.
b. Rasa rendah diri atau tidak berdaya
Seseorang yang ambisius, merasa dikejar-kejar akan tugas dan selalu
berambisi harus lebih maju, umumnya saat memasuki lansia cendrung untuk:
gelisah, mudah stres, was-was, mudah frustasi, merasa diremehkan, mudah
cemas, sulit tidur, tidak siap hidup dirumah saja, perasaan tidak berdaya dan
tidak berguna. Sebaliknya mereka yang berkepribadian tenang, keinginan
untuk maju diimbangi dengan usaha yang tidak terburu-buru berdasarkan pada
pemikiran yang tenang pada umumnya tidak menunjukkan perubahan
psikologis yang negatif. Mereka pandai mensyukuri segala bentuk kehidupan
dan selalu berpikir positif misalnya: pada saat pensiun mereka mensyukuri
terlepas dari beban pekerjaan dan tanggung jawab, selanjutnya bebas
menyalurkan hobi, hidup santai dan lepas dari masalah dan stres.
3. Faktor Budaya
Budaya barat dengan sifat mandiri dan individual yang sangat menonjol
sering mengganggap lansia sebagai trouble maker. Karena memandang lansia sebagai
kelompok masyarakat yang kurang menyenangkan karena sifat-sifat lansia yang
menjengkelkan, kondisi fisik yang menurun sehingga perlu bantuan dan sering
menjadi beban. Untuk langkah penyelesaiannya adalah dengan menitipkan lansia di
panti. Akibatnya perubahan psikologis lansia cendrung negatif dan cendrung
memperburuk kondisi kesehatan lansia. Disamping itu mendorong lansia merasa
tidak enak dan rendah mutunya, mereka akan cendrung kekurangan motivasi
untuk mengerjakan apa yang seharusnya mampu mereka kerjakan.
4. Faktor Biologik 
Ini disebabkan karena kehilangan dan kerusakan sel-sel saraf maupun zat
neurotransmiter, resiko genetik maupun adanya penyakit misalnya: kanker, Diabetes
militus, post stroke dan lain-lain yang memudahkan terjadinya depresi.
2.5. PENANGANAN DEPRESI SECARA UMUM

Depresi yang merupakan masalah mental paling banyak ditemui pada lansia
membutuhkan penatalaksanaan holistik dan seimbang pada aspek fisik, mental dan
sosial. Di samping itu, depresi pada lansia harus diwaspadai dan dideteksi sedini
mungkin karena dapat mempengaruhi perjalanan penyakit fisik dan kualitas hidup
pasien.
Deteksi dini perlu dilakukan untuk mewaspadai depresi, terutama pada lansia
dengan penyakit degeneratif, lansia yang menjalani perawatan lama di rumah sakit,
lansia dengan keluhan somatik kronis, lansia dengan imobilisasi berkepanjangan serta
lansia dengan isolasi sosial.
Penanganan depresi lebih dini akan lebih baik serta menghasilkan gejala
perbaikan yang lebih cepat. Depresi yang lambat ditangani akan menjadi lebih parch,
menetap serta meminbulkan resiko kekambuhan. Depresi yang dapat ditangani
dengan baik juga dapat menghilangkan keinginan pasien untuk melukai dirinya
sendiri termasuk upaya bunuh diri. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam
terapi depresi pada lansia:
1. Perubahan faal oleh proses menua
2. Status medik atau komorbiditas penyakit fisik 
3. Interaksi antar obat
4. Efektivitas dan efek camping obat
5. Dukungan social
2.6. Penatalaksanaan depresi pada lansia:

1. Terapi biologik :
a. Pemberian obat antidepresan
Terdapat beberapa pilihan obat anti depresi yaitu jenis Selective
Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs): Prozac (fluoxetine); Zoloft (setraine),
Cipram (citalopram) dan Paxil (paroxetine). Jenis NASSA: Remeron
(mirtazapine). Jenis Tricylic antidepresan: Tofranil (imipramine) dan
Norpramin (desipramine). Reversible Inhibitor Mono Amine Oxidase (RIMA)
Inhibitors: Aurorix. Stablon. (Tianeptine).
b. Terapi kejang listrik (ECT), shock theraphy
Penggunaan Electroconvulsive Therapy (ECT) dengan cara
shock therapy untuk pasien yang tidak memberi respon positif terhadap, obat
antidepresan dan psikoterapi. ECT bekerja untuk menyeimbangkan unsur
kimia pada otak, dirasa. cukup aman dan efektif serta dapat diulang 3 kali
seminggu sampai pasien menunjukan perbaikan. Efek samping ECT adalah
kehilangan kesadaran sementara.pada pasien namun cukup efektif
untuk mengurangi resiko bunuh diri pada pasien tertentu.
c. Terapi sulih hormon
d. Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)
2. Terapi psikososial (psikoterapi)
Terapi psikososial (psikoterapi) bertujuan mengatasi masalah psikoedukatif,
yaitu mengatasi kepribadian maladaptif, distorsi pola berpikir, mekanisme koping
yang tidak efektif, hambatan relasi interpersonal. Terapi ini juga dilakukan untuk mengatasi
masalah sosiokultural, seperti keterbatasan dukungan dari keluarga,
kendala terkait faktor kultural, perubahan peran sosial.
Psikoterapi yang dapat ditempuh dengan sesi pembicaraan dengan psikiater
dan psikolog dapat membantu pasien melihat bahwa perasaan yang dialaminya juga
dapat terjadi pada orang lain namun karena menderita depresi ia mengalami kondisi
yang berlebihan atas perasaannya sendiri.Seluruh instrunien yang terdapat pada diri
perawat merupakan alat praktek yang memiliki efek terapi apabila digunakan secara
tepat.
Mata dengan pandangan yang penuh perhatian, mimik muka dan ekspresi
wajah simpati, sikap yang tepat merupakan alat perawat untuk membantu klien
untuk mengembalikan rasa percaya diri serta perasaan diperhatikan dan dihargai sebagai
manusia yang bermartabat. Penerimaan yang tulus dari perawat tanpa ada sentimen
apapun berdasarkan latar belakang merupakan kepuasan tersendiri yang akan diterima
oleh klien jika mendapatkan pelayanan dari perawat.
Dengan telinga perawat bisa mendengarkan segala keluh kesah pada klien
yang mengalami depresi. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa depresi timbul
akibat adanya dorongan negatif dari super-ego yang diresepsi dan lambat laun akan
tertimbun dialam bawah sadar. Sehingga depresi adalah sebentuk penderitaan
emosional. Kekecewaan ataupun ketidakpuasan secara emosional yang direpresi
tidak secara otomatis akan hilang, melainkan sewaktu-waktu akan muncul (return of the
repressed).
Oleh karena itu sebagai toksin (racun) penyebab depresi yang ada pada diri
lansia perlu digali dan dikeluarkan, salah satu medianya dengan percakapan.
Psikoterapi malah sering didefenisikan dengan penyembuhan melalui percakapan.
Menurut para ahli psikoterapi percakapan efektif untuk menyembuhkan kepribadian
yang terluka, jika dirancang dan didesain secara tepat, kontinyu, dilaksanakan dengan
perhatian yang tulus, dimulai dengan hubungan baik, serta mampu menumbuhkan
harapan klien. Dalam percakapan tentu perlu ada yang mendengarkan. percakapan
antara perawat dengan klien bukanlah sekedar pemberian nasehat (advice giving)
dimana perawat memiliki otoritas yang dominan untuk menceramahi klien, dan klien
harus menurut.
Dalam tehnik percakapan ini perawat lebih banyak menjadi pendengar yang
efektif. Saat klien telah mampu mengungkapkan perasaannya maka berilah
kesempatan yang seluas-seluasnya, dengan aman, dan nyaman untuk bercerita.
Dengan bercerita dan perawat mendengar dengan penuh minat, maka klien telah
mulai bekerja mengeluarkan segala kecemasan, serta perasaan-perasaan yang
menekan jiwanya. jika dilakukan secara terencana dan. kontinyu, maka kernungkinan
besar toksin (racun) depresi pada klien akan terangkat seluruhnya sampai bersih.
Tugas perawat adalah mernbantu klien memahami realitas apa yang
sesungguhnya dialami, sehingga klien bisa keluar dari kondisi yang membuatnya
depresi. perawat dalam proses pertolongan agar sangat berhati-hati jangan sampai
timbul proses pemberian nasehat yang justru menimbulkan kesan menghakimi, sebab
penghakiman adalah cairan cuka yang disiranikan pada luka emosional klien. Sikap
yang terkesan menasehati ataupun dengan sengaja menasehati merupakan bakteri/ racun
baru yang akan memperbesar tumor depresi klien. Nasehat yang terlalu dini/ dominan
serta tidak pada tempatnya tidak akan berdampak pada penyembuhan, sebab
sebelum klien butuh nasehat sebagai salah satu ramuan obat, maka klien perlu
mengeluarkan segala bentuk tekanan emosionalnya. Bercerita, berkeluh kesah,
mendesah, mengadu, curhat, ataupun menangis bahkan berontak adalah merupakan
cara alamiah untuk mengernbalikan keseimbangan dan kestabilan emosional klien
serta akan melepaskan energi-energi negatif yang menggantung dan menyesakkan
 jiwanya. Karenanya perawat yang memainkan peran sebagai konselor/ terapis jangan
buru-buru mengeluarkan kata-kata seperti: "oma mesti sabar menghadapi kenyataan
ini" atau "oma, jangan menangis tidak baik" atau "tidak baik berkeluh kesah" dan
sebagainya. Kata-kata seperti itu hanya akan menyumbat upaya klien mengobati
dirinya. Jika klien berkeluh kesah, menangis, mengadu, curhat, maka berilah
kesempatan, karena klien pada saat sedang melepaskan toksin/ racun dalam jiwanya,
yang diharapkan adalah dukungan dan perhatian dari konselor. Jika klien meminta
saran dan tanggapan, maka berikanlah saran dan tanggapan dengan selogis dan
serealistis mungkin, jawaban tidak harus kepastian, tapi usahakan klien diajak berpikir
untuk, menemukan solusi yang paling tepat. Klien perlu dirangsang untuk berpikir
secara positif dan realisitis dalam menghadapi situasi sulit. Menasehati
ataupun mendikte bukanlah cara yang bijak sekalipun nasehat itu cocok untuk dilakukan
oleh klien, sebab akan membuat klien malas berpikir dan tidak pernah
belajar untuk memecahkan masalahnya sendiri. Klien perlu juga diberdayakan, sebab
klien memiliki potensi yang cukup untuk menolong dirinya, perawat perlu
mengingatkan dan memunculkan kembali potensi-potensi tersebut, kuatkan klien dan
kembalikan kepercayaan dirinya untuk melawan depresi.
2.7. Perubahan gaya hidup

Aktivitas fisik terutama olah-raga. Pasien dibiasakan berjalan kaki setup pagi
atau sore sehingga energi dapat ditingkatkan serta mengurangi stress karena kadar
norepinefrin meningkat. Selain itu, pasien juga dapat diperkenalkan pada kebiasaan
meditasi serta yoga untuk menenangkan pikirannya: Setidaknya ada dua alasan
penting mengapa olah raga perlu untuk penderita depresi. Pertama, olah raga
meningkatkan kesadaran sistem syaraf sentral. Denyut nadi meningkat dan
membangkitkan semua sistem. Hal ini berlawanan dengan penurunan kesadaran
syaraf sentral akibat adanya depresi.
Kedua, olah raga bisa memacu sistem syaraf sentral. Endorphin adalah
molekul organik yang seperti halnya norepinephrine dan serotonin, berfungsi sebagai
kurir kimiawi. Kadang endorphin dianggap, sebagai candu (opium) alami yang
berfungsi untuk meningkatkan proses biologic untuk mengatasi depresi. Karenanya
perawat diharapkan bisa mengidentifikasi olah-raga yang disenangi oleh klien yang
terindikasi depresi dan mendesainnya menjadi sebuah program yang kontinyu dan
rutin. Perawat dapat bekerjasama dan berkonsultasi dengan tenaga medis mengenai
berbagai bentuk gerak yang efektif yang bisa menstimulus detak jantung.
Diet sehat untuk mengurangi asupan gizi yang menambah kadar stress juga
perlu dilakukan. Memperhatikan jenis makanan yang akan disajikan kepada lanjut
usia yang mengalami depresi. Depresi berhubungan dengan tingkat kesadaran yang
rendah. Kesadaran mengacu pada proses psikologis yang meliputi hal-hal seperti
misalnya kemampuan untuk memusatkan perhatian seseorang dan kemampuan
untuk bekerja secara efektif. Makanan berat secara otomatis akan memicu tindakan
bagian syaraf parasimpatik yakni cabang dari sistem syaraf otonom yang menurunkan
kesadaran. Darah dialirkan ke proses pencernaan untuk membantu seseorang
mencerna makanan yang dimakan. Sewaktu darah meninggalkan otak dan tangan
serta kaki, tubuh akan merasa lemas dan mengantuk, karena itu makanan berat
cenderung memicu depresi. Karena itu dianjurkan untuk makan makanan ringan,
ketika lapar diantara jam-jam makan, akan tetapi sebaiknya menghindari makanan
yang mengandung kadar gala yang tinggi. Sementara kudapan yang rendah kalori dan
berprotein tinggi akan membuat seseorang tetap segar, memuaskan rasa lapar, dan
tidak mengganggu kesadaran optimal seseorang.
ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
Riwayat : Kaji ulang riwayat klien dan pemeriksaan fislk untuk adanya tanda dan
gejala karakteristik yang berkaitan dengan gangguan tertentu yang
didiagnosis.
Singkirkan kemungkinan adanya depresi dengan scrining yang tepat, seperti geriatric
depresion scale.
Ajukan pertanyaan-pertanyaan pengkajian keperawatan
Wawancarai klien, pemberi asuhan atau keluarga. Lakukan observasi langsung
terhadap :
Perilaku. Bagaimana kemampuan klien mengurus diri sendiri dan
melakukan aktivitas hidup sehari-hari? Apakah klien menunjukkan perilaku yang
tidak dapat diterima secara sosial? Apakah klien sering mengluyur dan
mondar¬mandir? Apakah ia menunjukkan sundown sindrom atau perseveration
phenomena?
Afek. Apakah kilen menunjukkan ansietas? Labilitas emosi? Depresi atau
apatis? lritabilitas? Curiga? Tidak berdaya? Frustasi?
Luangkan waktu bersama pemberi asuhan atau keluarga
Identifikasi pemberian asuhan primer dan tentukan berapa lama ia sudah
menjadi pemberi asuhan dikeluarga tersebut. (demensia jenis alzheimer tahap akhir
dapat sangat menyulitkan karena sumber daya keluarga mungkin sudah habis).
ldentifikasi sistem pendukung yang ada bagi pemberi asuhan dan anggota
keluarga yang lain.
Identifikasi pengetahuan dasar tentang perawatan klien dan sumber daya
komunitas (catat hal-hal yang perlu diajarkan).
Identifikasi sistem pendukung spiritual bagi keluarga.
Identilikasi kekhawatiran tertentu tentang klien dan kekhawatiran pemberi
asuhan tentang dirinya sendiri.
2. DIAGNOSA
a. Kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan konsep diri, depresi, ansietas berat.
b. Gangguan pola tidur b.d ansietas
c. Resiko membahayakan diri b.d perasaan tidak berharga dan putus asa

3. INTERVENSI
Dx 1 : Kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan konsep diri, depresi, ansietas  berat”.

Tujuan :
Pasien mampu berpartisipasi dalam memutuskan perawatan dirinya, Pasien mampu
melakukan kegiatan dalam menyelesaikan masalahnya
Intervensi:

1. Bicara secara langsung dengan klien,hargai individu dan ruang pribadinya jika
tepat
2. Beri kesempatan terstruktur bagi klien untuk membuat pilihan perawatan
3. Beri kesempatan bagi pasien untuk bertanggungjawab terhadap perawatan
dirinya
4. Beri kesempatan menetapkan tujuan perawatan dirinya. Contoh : minta pasien
memilih apakah mau mandi, sikat gigi atau gunting kuku.
5. Beri kesempatan untuk menetapkan aktifitas perawatan diri untuk mencapai
tujuan. Contoh : Jika pasien memilih mandi, bantu pasien untuk menetapkan
aktifitas untuk mandi (bawa sabun, handuk, pakaian bersih)
6. Berikan pujian jika pasien dapat melakukan kegiatannya.
7. Tanyakan perasaan pasien jika mampu melakukan kegiatannya.
8. Sepakati jadwal pelaksanaan kegiatan tersebut secara teratur.
9. Bersama keluarga memilih kemampuan yang bisa dilakukan pasien saat ini
10. Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian terhadap kemampuan yang
masih dimiliki pasien.
11. Anjurkan keluarga untuk membantu pasien melakukan kegiatan sesuai
kemampuan yang dimiliki.
12. Anjurkan keluarga memberikan pujian jika pasien melakukan kegiatan sesuai
dengan jadwal kegiatan yang sudah dibuat.

Dx 2 : Gangguan pola tidur b.d ansietas”


Tujuan :
Pasien mampu mengidentifikasi penyebab gangguan pola tidur, Pasien mampu
memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur
Intervensi
1. Identifikasi gangguan dan variasi tidur yang dialami dari pola yang biasanya
2. Anjurkan latihan relaksasi, seperti musik lembut sebelum tidur
3. Diskusikan cara-cara utuk memenuhi kebutuhan tidur
4. Kurangi tidur pada siang hari
5. Minum air hangat/susu hangat sebelum tidur
6. Hindarkan minum yang mengandung kafein dan coca cola
7. Mandi air hangat sebelum tidur
8. Dengarkan musik yang lembut sebelum tidur
9. Anjurkan pasien untuk memilih cara yang sesuai dengan
kebutuhannyad)Berikan pujian jika pasien memilih cara yang tepat
untuk memenuhi kebutuhan tidurnya
10. Anjurkan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang tenang
untuk memfasilitasi agar pasien dapat tidur.

Dx 3 : Resiko membahayakan diri b.d perasaan tidak berharga dan putus asa”
Tujuan :
Pasien tidak membahayakan dirinya sendiri, Pasien mampu memilih alternatif penyelesaian
masalah yang konstruktif 
Intervensi
1. Identifikasi derajat resiko / potensi untuk bunuh diri
2. Bantu pasien mengenali perasaan yang menjadi penyebab timbulnya ide
bunuh diri.
3. Ajarkan beberapa alternatif cara penyelesaian masalah yang konstruktif.
4. Bantu pasien untuk memilih cara yang palin tepat untuk menyelesaikan
masalah secara konstruktif.
5. Beri pujian terhadap pilihan yang telah dibuat pasien dengan tepat.
6. Anjurkan pasien mengikuti kegiatan kemasyarakatan yang ada di
lingkungannya
7. Lakukan tindakan pencegahan bunuh diri
8. Mendiskusikan dengan keluarga koping positif yang pernah dimiliki klien
dalam menyelesaikan masalah
4. Implementasi
Dx 1 :
1. Membicarakan secara langsung dengan klien, hargai individu dan ruang
pribadinya jika tepat
2. Memberi kesempatan terstruktur bagi klien untuk membuat pilihan perawatan
3. Memberi kesempatan bagi pasien untuk bertanggungjawab terhadap
perawatan dirinya
4. Memberi kesempatan menetapkan tujuan perawatan dirinya. Contoh :
minta pasien memilih apakah mau mandi, sikat gigi atau gunting kuku.
5. Memberi kesempatan untuk menetapkan aktifitas perawatan diri
untuk mencapai tujuan. Contoh : Jika pasien memilih mandi, bantu pasien
untuk menetapkan aktifitas untuk mandi (bawa sabun, handuk, pakaian
bersih)
6. Memberikan pujian jika pasien dapat melakukan kegiatannya.
7. Menanyakan perasaan pasien jika mampu melakukan kegiatannya.
8. Menyepakati jadwal pelaksanaan kegiatan tersebut secara teratur.
9. Bekerja sama bersama keluarga memilih kemampuan yang bisa dilakukan
pasien saat ini
10. Menganjurkan keluarga untuk memberikan pujian terhadap kemampuan yang
masih dimiliki pasien.
11. Menganjurkan keluarga untuk membantu pasien melakukan kegiatan sesuai
kemampuan yang dimiliki.
12. Menganjurkan keluarga memberikan pujian jika pasien melakukan kegiatan
sesuai dengan jadwal kegiatan yang sudah dibuat.
Dx 2:
1. Mengidentifikasi gangguan dan variasi tidur yang dialami dari pola yang
biasanya
2. Menganjurkan latihan relaksasi, seperti musik lembut sebelum tidur
3. Mendiskusikan cara-cara utuk memenuhi kebutuhan tidur
4. Mengurangi tidur pada siang hari
5. Meminum air hangat/susu hangat sebelum tidur
6. Menghindarkan minum yang mengandung kafein dan coca cola
7. Memandikan air hangat sebelum tidur
8. Mendengarkan musik yang lembut sebelum tidur
9. Menganjurkan pasien untuk memilih cara yang sesuai dengan
kebutuhannya)Berikan pujian jika pasien memilih cara yang tepat
untuk memenuhi kebutuhan tidurnya
10. Menganjurkan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang tenang
untuk memfasilitasi agar pasien dapat tidur.
Dx 3:
1. Mengidentifikasi derajat resiko / potensi untuk bunuh diri
2. Membantu pasien mengenali perasaan yang menjadi penyebab timbulnya ide
bunuh diri.
3. Mengajarkan beberapa alternatif cara penyelesaian masalah yang konstruktif.
4. Membantu pasien untuk memilih cara yang palin tepat untuk menyelesaikan
masalah secara konstruktif.
5. Memberi pujian terhadap pilihan yang telah dibuat pasien dengan tepat.
6. Menganjurkan pasien mengikuti kegiatan kemasyarakatan yang ada di
lingkungannya
7. Melakukan tindakan pencegahan bunuh diri
8. Mendiskusikan dengan keluarga koping positif yang pernah dimiliki klien
dalam menyelesaikan masalah

5. Evaluasi
1. Kerusakan mobilitas fisik tidak terjadi
2. Gangguan pola tidur teratasi
3. Resiko membahayakan diri tidak terjadi
DAFTAR PUSTAKA

A.Novitasari...2000.  Diagnosis & Penafsiran Depresi pada Lansia. Semarang :


Badan Penerbit UNDIP.
Hawari Dadang. 2001.  Manajemen Stres, Cemas dan Depresi . Jakarta: EGC.
Nugroho, Wahjudi. 2000  . Keperawatan Gerontik, Edisi ke-2. Jakarta: EGC.
Watson, Roger.2003.  Perawatan Lansia, Edisi ke-3. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai