3. Etiologi
Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara kedalam
paru-parunya yang mengakibatkan cairan dalam paru-paru keluar dari
alveoli ke jaringan interstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan
ke arteriol pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini
terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap konstriksi, alveoli tetap terisi
cairan dan pembuluh darah sistemik tidak mendapat oksigen. Penyebab umum
gangguan pernapasan pada bayi baru lahir adalah takipnea transien pada
bayi baru lahir (TTN), sindrom gangguan pernapasan (RDS), sindrom aspirasi
mekonium, pneumonia, sepsis, asfiksia lahir, CHD, ensefalopati iskemik
hipoksia dan malformasi kongenital (Hanretty, 2018).
4. Patofisiologi
Faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur
disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang,
pengembangan kurangsempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi
surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada
alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan
perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance)
menurun 25 % dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal
meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan
asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90%
fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan
permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik,
paru-paru tampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati
(Brahmania & Reddy, 2018).
Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi
untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga
udara bagian distal menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding
alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II.
Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi
surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma
atau volutrauma dan toksisitas oksigen, menyebabkan kerusakan pada
endothelial dan epithelial sel jalan napas bagian distal sehingga menyebabkan
eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang
meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium
mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir.
Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan
mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD)
(Brahmania & Reddy, 2018).
5. Manifestasi Klinik
Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat
dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia
kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditujukan. Manifestasi dari RDS
disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerosakan sel dan
selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga
menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul yaitu : adanya sesak
nafas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea
(> 60 x/menit), pernafasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan
sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir (Hanretty,
2018).
C. Faktor Risiko Kejadian Respiratory Distress Syndrome (RDS)
1. Faktor Ibu
1) Usia
Usia memiliki pengaruh penting terhadap perilaku kesehatan ibu
hamil, khususnya pada ibu hamil trimester III. Hal ini sesuai dengan teori
yang dikemukakan oleh (Rinata & Andayani, 2018), bahwa kehamilan
pada usia yang terlalu muda dan tua termasuk dalam kriteria kehamilan
risiko tinggi dimana keduanya berperan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pada ibu maupun janin. Reproduksi sehat paling aman bagi
ibu usia 20-35 tahun, dimana seorang ibu mampu dapat menjaga
kehamilannya tahun karena pada usia tersebut rahim telah matur dan
mampu menerima kehamilan baik ditinjau dari segi psikologi dan fisik
(Rinata & Andayani, 2018). Karena pada usia <20 tahun kondisi fisik
terutama organ reproduksi dan psikologis belum siap menjalani
masa tahun merupakan keadaan dimana fisik ibu mengalami kemunduran
unutk menjalani kehamilan. (Saifudin, 2010). Keadaan tersebut
memberikan predisposisi untuk terjadi perdarahan, plasenta previa, sulosio
plasenta, rupture uteri yang dapat berakhir dengan asfiksia bayi baru lahir.
Dalam penelitian yang dilakukan Caroline, Syuul, & Nancy pada
tahun 2018 menemukan bahwa ibu yang berusia <20 tahun dan >35 tahun
beresiko melahirkan bayi yang mengalami asfiksia bayi baru lahir. Ibu
yang berusia <20 tahun, rahim dan panggul belum berkembang dengan
baik dan ibu yang berusia >35 tahun merupakan usia yang tidak
reproduktif atau memiliki resiko tinggi mengalami gangguan kehamilan
atau alat-alat reproduksinya sudah tidak optimal untuk
mempertahankan kehamilan.
Dalam studi yang dilakukan Chandrasekhar, Mohan, & Lakshami
(2018), bayi yang mengalami gangguan pernafasan dilahirkan oleh ibu
dengan usia > 30 tahun. Namun, hasil yang berbeda ditemukan bahwa usia
ibu tidak berpengaruh terhadap kejadian gangguan pernafasan pada bayi di
semua analisis kategori usia ibu (Condò et al., 2018).
2) Usia Gestasi
Usia getasi atau usia kehamilan adalah masa sejak terjadinya konsepsi
sampai dengan kelahiran dihitung dari Hari Pertama Haid Terakhir
(HPHT). Usia gestasi merupakan perkiraan usia janin atau bayi baru lahir
yang dihitung dalam minggu (Reeder dan Martin, 2018). Klasifikasi bayi
menurut masa gestasi atau usia kehamilan, yaitu (Kasim, 2018) :
a) Bayi Kurang Bulan (BKB) atau prematur, yaitu bayi yang
dilahirkan pada masa gestasi < 37 minggu (<259 hari).
b) Bayi Cukup Bulan (BCB), yaitu bayi yang dilahirkan pada masa
gestasi 37-42 minggu (259-293 hari)
c) Bayi Lebih Bulan (BLB), yaitu bayi yang dilahirkan pada masa
gestasi > 42 minggu (>293 hari).
Pengkajian usia gestasional merupakan kriteria penting dalam
penilaian kesehatan bayi baru lahir karena morbiditas dan mortalitas
perinatal sangat berhubungan dengan usia kehamilan bahkan
mencapai 75% kematian bayi baru lahir akibat prematuritas (Reeder
& Martin, 2018). Tonjolan paru-paru pada janin mulai terbentuk pada
usia gestasi 6 minggu dan akan terus berlanjut sedangkan surfaktan
akan mulai tumbuh pada usia gestasi 22-24 minggu dan baru mulai
aktif pada usia gestasi 24-26 minggu sedangkan surfaktan tersebut
baru akan berfungsi pada usia gestasi 32-36 minggu.
Pada usia gestasi 24 minggu paru-paru mulai mengambil oksigen
meski bayi masih menerima oksigen dari plasenta. Untuk persiapan
hidup di luar rahim, paru-paru bayi mulai menghasilkan surfaktan
yang menjaga kantung udara tetap mengembang. Organ paru-paru
mulai terbentuk aktif pada usia gestasi 25-28 minggu yaitu pada
permulaan trimester ketiga. Surfaktan terdiri dari 90% fosfolipid dan
10% protein. Lesitin dan sfingomielin adalah 2 komponen utama
dalam surfaktan. Lesitin adalah gliserofosfolipid surfaktan utama
sedangkan sfingomielin adalah fosfolipid yang berasal dari jaringan
tubuh kecuali paru-paru. Rasio L/S adalah 1:1 pada usia gestasi 31-32
minggu. Pada usia gestasi 35 minggu. Sebelum kehamilan mencapai
usia 34 minggu, lesitin dan sfingomielin berada dalam konsentrasi
yang sama tetapi pada kehamilan 34 minggu konsentrasi lesitin mulai
naik dan sfingomielin tetap. Jika perbandingan L/S menunjukkan
angka 2:1 berarti paru-paru telah matang sempurna (Hanretty, 2019).
Pada usia kelahiran bayi < 37 minggu, bayi dikatakan
kelahiran premature. Sehingga, terjadi immaturitas paru dimana paru-
paru bayi belum mampu berkembang dengan maksimal, dikarenakan
kurangnya surfaktan yang merupakan substansi pelindung yang
dibutuhkan untuk ekspansi paru pada bayi sehingga terjadi kollaps
paru yang mengakibatkan kegawatan pernafasan (Eliza, Nuryani, &
Rosmiyati, 2018). Normalnya, surfaktan pertama kali diproduksi saat
usia kehamilan sekitar 22 minggu dan meningkat pada minggu 34 dan
36 minggu (Hanretty, 2018). Fungsi plasenta mencapai puncaknya
pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun terutama
setelah 42 minggu, hal ini dibuktikan dengan menurunya kadar estriol
dan plasental laktogen. Selain itu, jumlah air ketuban juga berkurang
akhirnya janin mengalami hipoksia dan kadang terjadi aspirasi
mekonium dan berakhir dengan kelahiran bayi dengan asfiksia.
Bayi kurang bulan (prematur) memiliki resiko mengalami
gangguan pernafasan. Berdasarkan penelitian Swarnkar & Swarnkar
(2018), bayi premature yang mengalami gangguan pernafasan
sejumlah 105/140 kasus (75%). Serupa dengan penelitian yang
dilakukan Tochie, Choukem, Langmia, Barla, & Ndombo (2018)
menemukan hasil yaitu risiko gangguan pernafasan bayi baru lahir
terjadi pada bayi prematur. Berbeda dengan penelitian yang
dilakukan Barkiya, N, & Kuman (2019) kejadian gangguan
pernafasan bayi baru lahir terjadi pada bayi yang lahir dengan usia
cukup bulan (37-41 minggu) sebanyak 56/102 bayi (55%).
3) Paritas
Paritas merupakan factor yang sangat berpengaruh terhadap hasil
konsepsi. Paritas. Paritas adalah jumlah janin yang memiliki berat
badan >500 gram, yang pernah dilahirkan, baik hidup maupun mati
(Lowdermilk et al., 2018). Klasifikasi paritas sebagai berikut :
a) Primiparitas adalah perempuan yang sudah pernah melahirkan
sebanyak satu kali.
b) Multiparitas adalah perempuan yang pernah melahirkan seorang anak
lebih dari satu kali atau 2-4 kali.
c) Grandmultiparitas adalah perempuan yang telah melahirkan 5
orang anak atau lebih.
4) Riwayat Penyakit Ibu
Kondisi kesehatan ibu pada masa awal kehamilan akan
mempengaruhi tingkat keberhasilan kehamilan serta kondisi status
kesehatan bayi yang masih didalam rahim maupun yang sudah lahir
(Lowdermilk et al., 2018). Masa kehamilan merupakan masa yang sangat
rentan bagi kondisi fisik dan psikologis ibu. Masalah kesehatan pada ibu
hamil seperti diabetes, hipertensi dan anemia dapat mengakibatkan
komplikasi untuk ibu dan bayi.
a) Diabetes
Diabetes adalah penyakit kronis yang terjadi dikarenakan
pankreas tidak menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur
gula darah atau glukosa), atau ketika tubuh tidak dapat secara adekuat
menggunakan insulin yang dihasilkannya (Kemenkes RI, 2019).
Diabetes pada ibu hamil terbagi atas dua tipe yaitu diabetes
pregestasional adalah kondisi dimana ibu sudah mengalami
penyakit diabetes sebelum kehamilan baik diabetes tipe 1 dan
diabetes tipe 2.
b) Hipertensi
Peningkatan tekanan darah dalam kehamilan adalah keadaan yang
umum dijumpai. Keadaan ini berpotensi menimbulkan komplikasi
berbahaya bahkan mengakibtkan hamil saat istirahat hampir tidak
pernah diatas 120/80 mmHg. Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih
umumnya dianggap abnormal (Hanretty, 2018).
Hipertensi secara konvensional dibagi menjadi tiga jenis,
yaitu hipertensi yang sebelumnya sudah ada atau terdapat
peningkatan tekanan darah sebelum kehamilan atau pada 20 minggu
pertama kehamilan, preeklampsia ringan dan berat merupakan
kondisi dimana ibu memiliki tekanan darah 140/90 mmHg atau
lebih besar pada paruh kedua kehamilan padahal tekanan darah
sebelumnya normal serta menunjukkan tekanan darah diastolic
sebesar 25 mmHg di atas tekanan darah diastolic saat tidak hamil
atau pada paruh waktu kehamilan disertai dengan gejala proteinuria
dan eklampsia merupakan pre-eklampsia yang disertai terjadinya
kejang pada kehamilan ≥ 20 minggu disertai atau tanpa
penurunan tingkat kesadaran bukan karena epilepsi maupun
gangguan neurologi lainnya (Hanretty, 2018). Menurut penelitian
Brahmaiah & Reddy (2017), ibu dengan penyakit hipertensi
berkaitan dengan kejadian TTN, MAS, asfiksia lahir dan sepsis.
c) Anemia
Ibu dengan penyakit anemia beresiko melahirkan bayi yang
mengalami asfiksia lahir. Anemia dalam kehamilan adalah kondisi
dimana ibu memiliki kadar hemoglobin darah kurang dari 11 gr %
pada trimester pertama dan ketiga atau kadar <10,5 gr % pada
trimester kedua. Penyebab paling umum dari anemia pada kehamilan
adalah kekurangan zat besi. Dengan kata lain, anemia dapat
terjadi jika ibu hamil mengalami kekurangan Vitamin A
yang berperan dalam mobilisasi cadangan besi di dalam tubuh untuk
dapat mensintesis hemoglobin (Marwiyah, 2018).
D. Pemeriksaan Penunjang / Diagnostik
1. Seri rontqen dada, untuk melihat densitas atelektasis dan elevasi diaphragma
dengan overdistensi duktus alveolar.
2. Bronchogram udara, untuk menentukan ventilasi jalan nafas.
3. Data laboratorium
4. Profil paru
a) Untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion (untuk
janin yang mempunyai predisposisi RDS) Lecitin / Sphingomielin (L/S)
ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan maturitas paru Phospatidyglicerol :
meningkat saat usia gestasi 35 minggu Tingkat phosphatydylinosito
b) Analisa Gas Darah, PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 kurang dari 60
mmHg, saturasi oksigen 92% – 94%, pH 7,31 – 7,45
c) Level pottasium, meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel
alveolar yang rusak (Surasmi,dkk, 2018)
E. Penatalaksananaan
Menurut Suriadi dan Yuliani (2018) dan Surasmi,dkk (2019) tindakan
untuk mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :
1) Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2) Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3) Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4) Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5) Mencegah hipotermia.
6) Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
Penatalaksanaan secara umum :
1) Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling
sering dan bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus
dektrosa 5 %
2) Pantau selalu tanda vital
3) Jaga kepatenan jalan nafas
4) Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
5) Jika bayi mengalami apneu
Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
Lakukan penilaian lanjut
Segera periksa kadar gula darah
Gangguan nafas ringan :
Pemberian nutrisi adekuat Setelah menajemen umum, segera
dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan kemungkinan penyebab
dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen spesifik atau
menajemen lanjut.
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas
ringan pada waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient
Tacypnea of the Newborn” (TTN). Terutama terjadi setelah bedah
sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh sendiri
tanpa pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus.
Gangguan napas ringan merupakan tanda awal dari infeksi sistemik.
Gangguan nafas sedang :
1) Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila
masih sesak dapat diberikan o2 4-5 liter/menit dengan sungkup
2) Bayi jangan diberi minum
3) Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan
gentamisin) untuk terapi kemungkinan besar sepsis.
4) Suhu aksiler < 39˚C
5) Air ketuban bercampur meconium
6) Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau
ketuban pecah dini (> 18 jam)
7) Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C tangani untuk
masalah suhu abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam
8) Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada
perbaikan, berikan antibiotika untuk terapi kemungkinan besar
seposis
9) Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali
abnormal ulangi tahapan tersebut diatas.
10) Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah
2 jam
11) Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda
perburukan setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis
12) Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi
o2 secara bertahap . Pasang pipa lambung, berikan ASI peras
setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan
memakai salah satu cara pemberian minum
13) Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan.
Bila bayi kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama
3 hari, minumbaik dan tak ada alasan bayi tatap tinggal di Rumah
Sakit bayi dapat dipulangkan.
Gangguan nafas berat :
1) Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.
2) Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul
gejala sepsis lainnya. Terapi untuk kemungkinan kesar sepsis dan
tangani gangguan nafas sedang dan dan segera dirujuk di rumah
sakit rujukan.
3) Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI
peras dengan menggunakan salah satu cara alternatif pemberian
minuman.
4) Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan
gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas
antara 40-60 kali/menit.
Penatalaksanaan medis :
1) Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
2) Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
3) Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan
caiaran paru
4) Fenobarbital
5) Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
6) Metilksantin (teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk
pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik.
7) Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam
pengobatan RDS adalah pemberian surfaktan eksogen ( derifat dari
sumber alami misalnya manusia, didapat dari cairan amnion atau paru
sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan (Brahmaiah & Reddy,
2018).
F. Komplikasi
Komplikasi jangka pendek dapat terjadi menurut Brahmaiah (2017) :
1. kebocoran alveoli : Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara
( pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema
intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala
klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya
perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana
tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat
respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan
intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
4. Komplikasi jangka Panjang
Dapat disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru,
memberatkan penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju ke otak dan
organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi menurut
Brahmaiah & Reddy (2018) :
a) Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik
yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36
minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang
digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi,
inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan
menurunnya masa gestasi.
b) Retinopathy premature : kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-
70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia,
komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.
Konsep Dasar Keperawatan
A. Pengkajian
1. Anamnesa :
a) Data Demografi
Nama
Usia : bayi yang lahir sebelum gestasi 29 minggu.
Jenis Kelamin
Suku / Bangsa
Alamat
b) Keluhan Utama :
Pasien dengan RDS didapatkan keluhan seperti sesak, mengorok ekspiratori,
pernapasan cuping hidung, lemah, lesu, apneu, tidak responsive, penurunan
bunyi napas.
c) Riwayat Penyakit Sekarang :
Pada pasien RDS, biasanya akan diawali dengan tanda-tanda mudah letih,
dispnea, sianosis, bradikardi, hipotensi, hipotermi, tonus otot menurun, edema
terutama di daerah dorsal tangan atau kaki, retraksi supersternal/ epigastrik/
intercosta, grunting expirasi. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu
muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau
menghilangkan keluhan-keluhan tersebut.
d) Riwayat Penyakit Dahulu :
Perlu ditanyakan apakah pasien mengalami prematuritas dengan paru-paru
yang imatur (gestasi dibawah 32 minggu), gangguan surfactan, lahir premature
dengan operasi Caesar serta penurunan suplay oksigen saat janin saat kelahiran
pada bayi matur atau premature, atelektasis, diabetes mellitus, hipoksia,
asidosis
e) Riwayat Maternal
Meliputi riwayat menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti
perdarahan placenta, placenta previa, tipe dan lama persalinan, stress fetal atau
intrapartus, dan makrosomnia (bayi dengan ukuran besar akibat ibu yang
memiliki riwayat sebagai perokok, dan pengkonsumsi minuman keras serta
tidak memperhatikan gizi yang baik bagi janin).
f) Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang terkena penyakit -penyakit
yang disinyalir sebagai penyebab kelahiran premature / Caesar sehinnga
menimbulakan membrane hyialin disease.
g) Riwayat psikososial
Meliputi perasaan keluarga pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku keluarga pasien terhadap tindakan yang
dilakukan terhadap bayinya.
h) Status Infant saat Lahir
1. Prematur, umur kehamilan.
2. Apgar score, apakah terjadi aspiksia.
3. Apgar score adalah : Suatu ukuran yang dipakai untuk mengevaluasi
keadaan umum bayi baru lahir.
4. Bayi premature yang lahir melalui operasi Caesar
i) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu (> 60 kali/menit), pernafasan
mendengkur, retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung, sianosis
dan pucat, hipotonus, apneu, gerakan tubuh berirama, sulit bernafas dan
sentakan dagu. Pada awalnya suara nafas mungkin normal kemudian dengan
menurunnya pertukaran udara, nafas menjadi parau dan pernapasan dalam.
Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan pernafasan dapat dilihat
dari penilaian fungsi respirasi dan penilaian fungsi kardiovaskuler. Penilaian
fungsi respirasi meliputi :
a) Frekuensi nafas
Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi.
Takhipneu tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha
kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik seperti pada syok, diare,
dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat, dan insufisiensi
ginjal kronik. Frekuensi nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi
pada hipotermi, kelelahan dan depresi SSP yang merupakan tanda
memburuknya keadaan klinik.
b) Mekanika usaha pernafasan
Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung,
retraksi dinding dada, yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan
penyakit alveolar. Anggukan kepala ke atas, merintih, stridor dan ekspansi
memanjang menandakan terjadi gangguan mekanik usaha pernafasan.
c) Warna kulit/membran mukosa
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat
berbercak (mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba
dingin.
d) Kardiovaskuler
Frekuensi jantung dan tekanan darah
Adanya sinus tachikardi merupakan respon umum adanya stress,
ansietas, nyeri, demam, hiperkapnia, dan atau kelainan fungsi jantung.
Kualitas nadi
Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan
aliran sirkulasi perifer nadi yang tidak adekwat dan tidak teraba pada
satu sisi menandakan berkurangnya aliran darah atau tersumbatnya aliran
darah pada daerah tersebut. Perfusi kulit kulit yang memburuk dapat
dilihat dengan adanya bercak, pucat dan sianosis.
e) Pemeriksaan pada pengisian kapiler dapat dilakukan dengan cara :
1. Nail Bed Pressure (tekan pada kuku)
2. Blancing Skin Test, caranya yaitu dengan meninggikan sedikit
ekstremitas dibandingkan jantung kemudian tekan telapak tangan atau
kaki tersebut selama 5 detik, biasanya tampak kepucatan. Selanjutnya
tekanan dilepaskan pucat akan menghilang 2-3 detik.
3. Perfusi pada otak dan respirasi
4. Gangguan fungsi serebral awalnya adalah gaduh gelisah diselingi
agitasi dan letargi. Pada iskemia otak mendadak selain terjadi
penurunan kesadaran juga terjadi kelemahan otot, kejang dan dilatasi
pupil.
f) ADL (Activity daily life)
1. Nutrisi : Bayi dapat kekeurangan cairan sebagai akibat bayi belum
minum atau menghisap
2. Istirahat tidur : Kebutuhan istirahat terganggu karena adanya sesak
nafas ataupun kebutulan nyaman tergangu akibat tindakan medis
3. Eliminasi : Penurunan pengeluaran urine.
B. Diagnosa Keperawatan
1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan imaturitas neurologis (defisiensi
surfaktan dan ketidakstabilan alveolar)
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler
alveolar
3) Hipotermia berhubungan dengan berada di lingkungan yang rendah
4) Defisit nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
5) Resiko ketidakseimbangan cairan
6) Resiko infeksi
DAFTAR PUSTAKA
tidak efektif tindakan pola napas kepatenan cairan 2000 ml/hari, pemberian
keperawatan 2. monitor jalan napas jika tidak kontra brongkodilator
selama 1x 24 jam bunyi dengan head indikasi , ekspektoran,
diharapkan pola napas tilt dan chin- 2. ajarkan teknik batuk mukolitk jika
napas membaik tambahan lift efektif perlu
dengan kriteria 3. monitor 2. posisikan
hasil : sputum semipowler
1. ventilasi atau powler
semenit 3. Berikan
meningkat minum
(5) hangat
2. kapasitas 4. Lakukan
vital fisioterapi
meningkat dada jika
(5) perlu
3. diameter 5. lakukan
thorax penghisapan
anteior- lendir
posterior kurang dari
meningkat(5 15 detik
) 6. lakukan
4. tekanan hiperoksege
ekspirasi nasi sebelum
meingkat (5) penghisapan
5. tekanan endrotrakal
inspirasi 7. berikan
meningkat oksigen, jika
(5) perlu
6. dispnea
menurun (5)
7. penggunaan
otot bantu
nafas
menurun (5)
8. pemanjanga
n pase
ekspirasi
menurun (5)
9. ortopnea
menurun(5)
10. penapasan
purse-lip
menurun (5)
11. pernapasan
cuping
hidung
menurun (5)
12. frekuensi
nafas
membaik (5)
13. kedalaman
nafas
membaik (5)
14. ekskursi
dada
membaik(5)
LuaranKeperawatan IntervensiKeperawatan
LuaranKeperawatan IntervensiKeperawatan
Keperawatan Meningkat Defenisi : mengidentifikasi dan menurunkan risiko terserang organisme patogenik
6. Risiko infeksi setelah dilakukan 1. Monitor tanda 1. batasi jumlah 1. jelaskan 1. kolaborasi
asuhan dan gejala pengunjung tanda dan pemberian
keperawatan infeki lokal 2. berikan gejala imunisasi,
selama 1x 24 jam dan sistemik perawatan infeksi jika perlu
diharapkan tingkat kulit pada 2. ajarkan
infeksi menurun area edema cara
dengan kriteria 3. cuci tangan mencuci
hasil : sebelum dan tangan
1. kebersihan sesudah dengan
tangan kontak benar
meningkat dengan 3. ajarakan
(5) pasien dan etika batuk
2. kebersihan lingkungan 4. ajarakan
badan pasien cara
meningakat 4. pertahankan memeriksa
(5) teknik aseptik kondisi
3. nafsu pada pasien luka atau
makan resiko tinggi luka
meningkat
(5) operasi
4. sel darah 5. anjurkan
putih meningkat
membaik kan asupan
(5) nutrisi
6. anjurkan
eningkatka
n asupan
cairan