Anda di halaman 1dari 22

TUGAS KEPERAWATAN ANAK

ASUHAN KEGAWATDARURATAN PADA ANAK APNEA OF INFANCY YANG


DISEBABKAN OLEH RDS

DISUSUN OLEH :

Cut Eka Prastiawati (19216227)


Dara Nurhidayati (19216228)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) YATSI TANGERANG


FAKULTAS PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
Jl. Aria Santika No.40A, RT.005/RW.011, Margasari, Kec. Karawaci,

Kota Tangerang, Banten 15114


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apnea adalah berhentinya napas yang patologis yang menyebabkan perubahan


fisiologis, (seperti penurunan rangsang sentral, perfusi perifer, siaosis, bradikardia,
hipotonia) dan memerlukan penanganan. Batasan apnea adalah bila henti napas >20 detik
atau henti napas berapapun lamanya yang disertai bradikardia (denyut jantung <100
x/menit) atau desaturasi oksigen/sianosis, pucat dan atau hipotoni. Sedangkan apnea
prematuritas adalah apnea yang terjadi pada neonatus  yang lahir dengan umur kehamilan
<37 minggu.  Apnea berbeda dengan pernapasan periodik, yang merupakan hal yang
normal pada bayi prematur dan tidak berhubungan dengan perubahan fisiologis dan tidak
memerlukan pengobatan. Pada pernapasan periodik siklus napasnya regular dengan
durasi 10-18 detik yang diikuti henti napas 3-10 detik. Kejadian pernapasan periodik juga
meningkat dengan umur kehamilan, pada bayi cukup bulan sekitar 2-6% dan pada bayi
prematur meningkat menjadi 25%.

Penyebab Apnea pada neonatus yaitu Apnea of prematurity dan Penyebab


sekunder meliputi gangguan suhu (hipo/hipertermia), gangguan saraf (trauma, obat-
obatan, infeksi susunan saraf pusat, perdarahan intrakranial, asfiksia, obat anestesi),
penyakit paru ( Respiratory distress syndrome, pneumonia, penyakit paru kronik/chronic
lung disease, perdarahan paru, sumbatan jalan napas, pneumotoraks,),  penyakit jantung
(kelainan jantung bawaan sianotik, hipo/hipertensi, gagal jantung, duktus arteriosus
persisten),  gangguan gastroinrestinal (refluks gastroesofageal, esofagitis), gangguan
hematologi (anemia, polisitemia), infeksi (sepsis, enterokolitis nekrotikans), gangguan
metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hipo/hipernatremia), dan inborn error of
metabolism.  
Gagal nafas pada neonatus merupakan masalah klinis yang sangat serius, yang
berhubungan dengan tingginya morbiditas, mortalitas, dan biaya perawatan. Sindroma
gagal nafas (respiratory distress sindrom, RDS) adalah istilah yang digunakan untuk
disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang
berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak adekuatnya
jumlah surfaktan dalam paru(Marmi & Rahardjo, 2012). Respiratory Distress Syndrom
(RDS) atau Sindrom Distres Pernapasan merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari
dispnea, frekuensi pernapasan yang lebih dari 60 kali per menit, adanya sianosis, adanya
rintihan pada saat ekspirasi serta ada retraksi dinding dada saat inspirasi. Penyakit ini
merupakan penyakit membran hialin dimana terjadi perubahan atau kurangnya komponen
surfaktan pulmoner. Komponen ini merupakan suatu zat aktif pada alveoli yang dapat
mencegah kolapsnya paru. Fungsi surfaktan itu sendiri adalah merendahkan tegangan
permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara pada
akhir ekspirasi. Penyakit ini sering terjadi pada bayi prematur mengingat produksi
surfaktan yang kurang (Hidayat, 2003).

Angka kematian bayi merupakan indikator yang digunakan untuk melihat status
kesehatan anak, dan kondisi ekonomi penduduk secarakeseluruhan. Kematian bayi adalah
kematian yang terjadi padaperiode sejak bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu
tahun. Kematian bayi dipengaruhi oleh jumlah kematian neonatal Angka kejadian RDS di
Eropa sebelum pemberian rutin antenatal steroid dan postnatal surfaktan sebanyak 2-3 %,
di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidup periode 1998 - 1987. Secara tinjauan kasus, di
negara-negara Eropa sebelum pemberian rutin antenatal steroid dan postnatalsurfaktan,
terdapat angka kejadian RDS 2-3%, di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidupperiode
1986-1987. Sedangkan jaman moderen sekarang ini dari pelayanan NICU turun menjadi
1% di Asia Tenggara. Di Asia Tenggara penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan
kematian pada bayi prematur adalah RDS. Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang
bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram. Angka kejadian berhubungan dengan
umur gestasi dan berat badan dan menurun sejak digunakan surfaktan eksogen. Saat ini
RDS didapatkan kurang dari 6% dari seluruh neonatus (WHO, 2012). Gangguan dan
kelainan pernapasan menjadi penyebab utama kematian neonatal (35,9%), lalu
prematuritas (42,4%) dan sepsis (12%).
Gagal nafas dapat terjadi pada bayi dengan gangguan pernafasan yang dapat
menimbulkan dampak yang cukup berat bagi bayi berupa kerusakan otak atau bahkan
kematian. Akibat dari gangguan pernafasan adalah terjadinya kekurangan oksigen
(hipoksia) pada bayi. Bayi akan 3 beradaptasi terhadap kekurangan oksigen dengan
mengaktifkan metabolisme anaerob yang akan menghasilkan asam Laktat. Dengan
memburuknya keadaan asidosis dan penurunan aliran darah ke otak maka akan terjadi
kerusakan otak dan organ lainkarena hipoksia dan iskemia. Hal ini dapat menyebabkab
kematian pada neonatus (Ainsworth, 2006). Penatalaksanaan utama gagal nafas pada
neonatus adalah terapi suportif dengan ventilasi mekanis, dan oksigenasi konsentrasi
tinggi. Terapi lainnya meliputi high-frequency ventilator, terapi surfaktan, inhalasi nitrat
oksida dan extracorporeal membran oxigenation (ECMO).

Penanganan neonatus yang mengalami gagal napas memerlukan suatu unit


perawatan intensif, dan penatalaksanaan yang optimal tergantung pada sistem perawatan
neonatal yang ada yaitu ketersediaan tenaga ahli, fasilitas yang memiliki kemampuan
dalam menilai dan memberikan tatalaksana kehamilan resiko tinggi, serta memiliki
kemampuan menerima rujukan dari fasilitas kesehatan dibawahnya (Surasmi 2013)
Peningkatan kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu prioritas pembangunan
nasional 2015-2019. Upaya penurunan kematianbayi memerlukan informasi tentang
model intervensi pelayanan kesehatanbayi yang sesuai di Indonesia.Tujuannya untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan bayi dalam
rangka menurunkan angka kematian bayi di Indonesia. Peningkatan status kesehatan dan
gizi ibu dan anak adalah satu dari enam sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian
Kesehatan 2015-2019 menyatakan bahwa Program Indonesia Sehat dilaksanakan dengan
3 pilar utama meliputi paradigma sehat, penguatan pelayanan kesehatan dan jaminan
kesehatan nasional.Pada pilar penguatan pelayanan kesehatan menggunakan pendekatan
continuum of caredan intervensi berbasis risiko.

Ibu dan anak merupakan kelompok rentan karena berisiko tinggi terhadap
kesakitan dan kematian. Status kesehatan ibu dan anak yang dinyatakan dalam angka
kematian ibu (AKI) dan angka 4 kematian bayi (AKB) di Indonesa saat ini tinggi dan
termasuk tinggi bila dibandingkan dengan negara Association of Southeast Asian Nations
(ASEAN)lainnya. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya pemerintah dalam
menurunkan kematian bayi,antara lain adalah bantuan operasional kesehatan (BOK),
jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), jaminan persalinan semesta (Jampersal) dan
program rutin lainnya. Program tersebut dilaksanakan samadi seluruh Indonesia dengan
indikator-indikator pencapaian yang juga sama (Jurnal Kesehatan, 2017). Dengan melihat
latar belakang diatas maka saya melakukan Studi Kasus Asuhan Keperawatan pada Bayi
Ny. T dengan Apnea of infancy (RDS)

1.2 Tujuan Studi Kasus

1. Tujuan Umum

Mahasiswa dapat mendeskripsikan asuhan kegawatdaruratan Apnea of


infancy pada By.Ny.T dengan RDS (Respiratory Distress Syndrome).

2. Tujuan Khusus

Mahasiswa dapat:

1) Melakukan Asuhan Kegawatdaruratan Pada anak : Apnea of infancy

2) Melakukan Pengkajian Keperawatan pada By. Ny. T dengan RDS

2) Menetapkan Diagnosa Keperawatan pada By. Ny. T dengan RDS

3) Menyusun Intervensi Keperawatan pada By. Ny. T dengan RDS

4) Melakukan Implementasi Keperawatan pada By.Ny.T dengan RDS

5) Melakukan Evaluasi Keperawatan pada By. Ny.T dengan RDS

1.3 Manfaat Studi Kasus

1. Manfaat Teoritis Hasil Studi Kasus ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
masukan dan tambahan bagi pengembangan ilmu keperawatan khususnya bidang
ilmu keperawatan anak yang berkaitan pada asuhan kegawatdaruratan apnea of
infant pada bayi dengan RDS.
2. Manfaat Praktisi
1. Bagi Lahan Praktek Sebagai masukan bagi perawat dalam memberikan
Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan khususnya pada bayi dengan RDS.
2. Bagi Institusi Sebagai acuan dalam memberikan asuhan keperawatan
kegawatdaruratan khususnya pada bayi dengan RDS.
3. Bagi Penulis Menambah wawasan dalam bidang ilmu keperawatan anak
tentang asuhan keperawatan Kegawatdaruratan yang diberikan pada bayi
dengan RDS.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Apnea Pada Neonatus


1. Pengertian

Neonatus adalah individu yang baru saja mengalami proses kelahiran


dan harus menyesuaikan diri dari kehidupan intrauterine ke kehidupan
ekstrauterin, Neonatus merupakan bayi dengan umur 0-28 hari, yang
mempunyai risiko gangguan kesehatan paling tinggi dan berbagai masalah
kesehatan yang bisa muncul, sehingga tanpa penanganan yang tepat, bisa
menyebabkan komplikasi pada neonatus (Lia Dewi, 2014).
Berdasarkan American Academy of pediatric, Apnea adalah suatu
episode henti nafas selama 20 detik atau lebih, yang berkaitan dengan kondisi
bradikardi (minimal < 100 x per menit), sianosis (desaturasi oksigen), Pucat dan
atau Hipotonia yang jelas. Apnea of Infant merupakan apnea yang terjadi pada
Neonatus yang cukup bulan. Sedangkan Apnea of prematurity merupakan
periode pernapasan dengan apnea patologis pada bayi preterm.
Apnea adalah berhentinya napas yang patologis yang menyebabkan
perubahan fisiologis, (seperti penurunan rangsang sentral, perfusi perifer,
sianosis, bradikardia, hipotonia) dan memerlukan penanganan. Batasan apnea
adalah bila henti napas >20 detik atau henti napas berapapun lamanya yang
disertai bradikardia (denyut jantung <100 x/menit) atau
desaturasi oksigen/sianosis, pucat dan atau hipotoni. Sedangkan apnea
prematuritas adalah apnea yang terjadi pada neonatus  yang lahir dengan umur
kehamilan <37 minggu.  Apnea berbeda dengan pernapasan periodik, yang
merupakan hal yang normal pada bayi prematur dan tidak berhubungan dengan
perubahan fisiologis dan tidak memerlukan pengobatan. Pada pernapasan
periodik siklus napasnya regular dengan durasi 10-18 detik yang diikuti henti
napas 3-10 detik. Kejadian pernapasan periodik juga meningkat dengan umur
kehamilan, pada bayi cukup bulan sekitar 2-6% dan pada bayi prematur
meningkat menjadi 25%.

2. Etiologi
1. Apnea of prematurity
 Berkaitan dengan imaturitas dari mekanisme yang mengontrol pernapasan.
 Imaturitas neuron-neuron dalam mengatur pernapasan
 Imaturitas dari fungsi batang otak
 Imaturitas chemoreseptor
- Menurunnya respon central chemoreseptor terhadap level CO2
- Tumpulnya respon peripheral chemoreseptor
 Keterlambatan aktivasi dari otot-otot pernapasan atas misalnya
genioglossus
 Refleks yang abnormal atau hiperaktif pada bayi preterm.
 Kondisi ini biasanya muncul setelah 1-2 hari kehidupan dan dalam 7 hari pertama.
 Apnea yang muncul dalam 24 jam pertama atau >7 hari usia bukanlan Apnea of
prematurity.
2. Penyebab Sekunder
 Temprature : Hipotermia dan Hipertermia
 Neurologis :
 Trauma lahir
 Obat-obatan
 Infeksi Intracranial
 Perdarahan Intracranial
 Asphyxia Neonatal
 Obat anastesi
 Pulmonal:
 Respiratory distress syndrome (RDS)
 Pneumonia
 Chronic lung disease
 Perdarahan pulmonal
 Obstructive airway lesion
 Pneumothorax
 Cardiac
 Penyakit jantung congenital sianosis
 Hipo/hipertensi
 CHF
 PDA
 Gastrointestinal
 GERD
 Esopharingitis
 Hematologi
 Polisitemia
 Anemia
 Infeksi
 Sepsis
 Necrotizing enterocolitis/distensi
 Metabolic
 Hipoglikemia
 Hipocalsemia
 Hiponatremia
 Hipernatremia
 Inborn error of metabolism

3. Epidemiologi
Kejadian apnea berbanding terbalik dengan umur kehamilan; pada umur
kehamilan <34 minggu, 25% neonatus memerlukan intervensi farmakologis dan
ventilator karena apnea berulang. Pada umur kehamilan 30-31 minggu kejadian
apnea sebesar 50%, dan meningkat menjadi 80% pada bayi 30 minggu serta hampir
100% pada neonatus sangat prematur. Sedangkan pada  bayi berat lahir ekstrim
rendah (BBLER) kejadian apnea 84%. 
4. Klasifikasi
Klasifikasi apnea of prematurity:
Ada 3 macam tipe apnea yaitu apnea sentral, apnea obstruktif dan campuran.
Pada apnea sentral tidak ada usaha napas, aliran udara masuk, dan gerakan
dinding dada. Kejadiannya sekitar 40%. Sedangkan pada apnea obstruktif ada
usaha napas namun tidak ada aliran udara masuk. Pada keadaan ini bayi berusaha
untuk bernapas melawan obstruksi saluran napas. Kejadian apnea obstruktif
sekitar 10%. Pada apnea tipe campuran merupakan campuran kedua tipe di atas.
Tipe ini banyak terjadi pada bayi prematur. Kejadiannya sekitar 50%.

 Central apnea (35%)


 Depresi pusat pernapasan primer(imaturitas neuron-neuron,
imaturitas fungsi batang otak  sinyal impuls bernapas terhadap
otot-otot pernapsan(-) atau tidak adekuat  aktivitas otot-otot
pernapasan << apnea
 Apnea yang ditemui berupa tidak ada pergerakan dinding dada
( usaha bernapas ) dan aliran udara.

 Obstructive apnea( 5-10%)


 Berhentinya Ventilasi alveolar akibat obstruksi dari saluran napas
ata khususnya pada pharynx.
 Bayi preterm  otot-otot yang bertanggung jawab untuk menjaga
saluran napas agar tetap terbuka masih sangat lemah (genioglossus
dan geniohyoid)  saat inspirasi tekanan negative mengakibatkan
faring kolaps  saat kolaps , mukosa yang melekat menghambat
reopening saluran napas saat ekspirasi.

 Mixed apnea (15-20%)


 Bisa terdapat central apnea dan obstructive apnea pada saat yang
sama atau berbeda dari proses bernapas.
5. Patofisiologi
Pusat pernapasan terdapat di batang otak, pengaturannya tergantung pada
asupan rangsang dari kemoreseptor di arteria karotis, mekanoreseptor di paru dan
jalan napas,serta korteks serebri. Pada bayi premature mekanisme tersebut belum
berkembang sempurna. Pada bayi prematur jumlah sambungan sinaps, dendrit dan
mielinisasi masih terbatas sehinga konduksi batang otak lebih lama. Respon
terhadap Hiperkapnea, hipoksia dan respon inhibitor berlebihan merupakan
manifestasi imaturitas pusat napas. Usaha napas (inspirasi) pada bayi prematur juga
masih lemah seperti aktifitas refleks pernapasan , kelemahan diafragma dan otot
dinding dada.
6. Penatalaksanaan
Apnea adalah suatu keadaan darurat, walaupun dapat membaik dengan
sendiri nya atau dengan Tindakan yang sederhana, kadang diperlukan tindakan
resusitasi. Tatalaksana meliputi pemberian obat-obatan , oksigen bantuan napas.
Tindakan Umum:
 Atur suhu lingkungan yang optimal
 Mengurangi manipulasi untuk mengurangi refleks yang dapat menimbulkan
apnea
 Amati bayi secara ketat terhadap periode apnea berikutnya dan bila perlu
rangsang pernapasan bayi dengan mengusap dada atau punggung
 Bila bayi mengalami apnea lebih dari sekali, sampai membutuhkan resusitasi
tiap jam jangan beri minum paling tidak 24 jam, pasang jalur IV dan berikan
cairan rumatan, bila bayi tidak mengalami episode apnea dan tidak
memerlukan resusitasi selama 6 jam, bayi di perbolehkan menyusu.
 Lakukan perawatan lekat atau kontak kulit bayi dengan ibu bila
memungkinkan, dengan car aini serangan apnea berkurang dan ibu dapat
mengamati bayinya dengan ketat
 Nilai kondisi bayi setiap 3 jam
 Jaga jalan napas
 Hindari pengisapan orofaring berlebihan
 Terapi penyebab yang mendasari: sepsis, anemia, polisitemia, hipoglikemia,
hipokalsemia, penyakit membrane hialin

Tindakan Emergensi:
Pada keadaan Emergensi harus diperiksa Bradikardia, sianosis dan
obstruksi jalan napas. Leher diposisikan sedikit ekstensi isap orofaring dan
rangsang taktil dilakukan, kebnyakan serangan apnea berespon terhadap rangsang
taktil.berikan oksigen bila pasien mengalami hipoksia (jaga saturasi 92-95%)
dengan head box atau kanul nasal. Memulai pemberian CPAP (Continuous
positive airway pressure), Bila bayi tetap apnea dan berespon dengan rangsang
taktil, ventilasi tekanan positif (VTP)dengan balon dan sungkup dengan oksigen
100% harus segera dimulai. Bila VTP gagal untuk menginisisasi respirasi maka
harus dilakukan napas dengan ventilator.
Pemeriksaan Klinik :
Investigasi penyebab yang mendasari apnea:
pemeriksaan Labolatorium
a. CBC, kultur darah, urine dan CSF, C Reaktif protein  untuk mengetahui
curiga adanya infeksi bakteri atau jamur yang serius.
b. Kadar ammonia, asam amino dan level asam-asam organic dalam darah dan
urine  untuk mengetahui curiga adanya kelainan metabolik(peningkatan
asam piruvat dan laktat di CSF penanda kelinan di metabolik, peningkatan
keton urine mengindikasikan organic acidemia.
c. Elektrolit serum, kalsium, magnesium dan kadar glukosa digunakan untuk
menilai adanya metabolic stress atau hipoventilasi kronik.
d. Analisis tinja jika curiga adanya gangguan akibat toksin botulism yang
bergejala apnea, konstipasi, hypotonia, kesulitan menelan dan hilangnya
Gerakan mata.

Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Thoraks jika terdapat gejala gangguan-gangguan lower airway
( wheezing, repetitivregurgitasi setelah menyusui)
b. Intracranial imaging studies jika curiga perdarahan intracranial, ditemukan
gejala dismorfik wajah, kelainan neurologik
c. Barium swallow study jika terdapat kesulitan menelan atau anomaly
anatomi
d. A Gastric emptying dan abdominal sonography jika ada gejala gangguan
motilitas GIT atau pyloric stenosis.

2.2 KONSEP TEORI


2.2.1 Pengertian RDS (Respiratory Distress Syndrome)
Sindroma gagal nafas (respiratory distress sindrom, RDS) adalah istilah yang
digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit
yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak
adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. (Marmi & Rahardjo,2012) Sindrom gawat
napas RDS (Respiratory Distress Syndrom) adalah istilah yang digunakan untuk
disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang
berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru. Gangguan ini
biasanya juga dikenal dengan nama hyaline membran desease (HMD) atau penyakit
membran hialin, karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang
melapisi alveoli (Surasmi, dkk, 2003).

2.2.2 Etiologi RDS (Respiratory Distress Syndrome)

Penyebab kegagalan pernafasan pada neonatus yang terdiri dari faktor ibu, faktor
plasenta, faktor janin dan faktor persalinan.Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, usia
ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, gravida empat atau lebih, sosial
ekonomi rendah, maupun penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu pertukaran gas
janin seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, dan lain-lain. Faktor plasenta
meliputi solusio plasenta, perdarahan plasenta, plasenta kecil, plasenta tipis, plasenta
tidak menempel pada tempatnya.

Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher,
kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir,gemeli, prematur, kelainan kongenital
pada neonatus dan lain-lain. Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan
tindakan dan lain-lain.

Sindroma gagal nafas adalah perkembangan imatur pada sistem pernafasan atau tidak
adekuatnya jumlah surfaktan pada paru-paru-paru. Sementara afiksia neonatorum merupakan
gangguan pernafasan akibat ketidakmampuan bayi beradaptasi terhadap asfiksia. Biasanya
masalah ini disebabkan karena adanya masalah-masalah kehamilan dan pada saat persalinan
(Marmi & Rahardjo, 2012).

2.2.3 Patofisiologi RDS (Respiratory Distress Syndrome)

Kegawatan pernafasan dapat terjadi pada bayi dengan gangguan pernafasan yang
dapat menimbulkan dampak yang cukup berat bagi bayi berupa kerusakan otak atau
bahkan kematian. Akibat dari gangguan pada sistem pernafasan adalah terjadinya
kekurangan oksigen (hipoksia) pada tubuh bayi akan beradaptasi terhadap kekurangan
oksigen dengan mengaktifkan metabolisme anaerob. Apabila keadaan hipoksia semakin
berat dan lama,metabolisme anaerob akan menghasilkan asam laktat.

Dengan memburukya keadaan asidosis dan penurunan aliran darah keotak maka
akan terjadi kerusakan otak dan organ lain karena hipoksia dan iskemia. Pada stadium
awal terjadi hiperventilasi diikuti stadium apneu primer. Pada keadaan ini bayi tampak
sianosis,tetapi sirkulasi darah relative masih baik. Curah jantung yang meningkat dan
adanya vasokontriksi perifer ringan menimbulkan peninggkatan tekanan darah dan reflek
bradikardi ringan. Depresi pernafasan pada saat ini dapat diatasi dengaan meningkatkan
implus aferen seperti perangsangan pada kulit.Apneu normal berlangsung sekitar 1-2
menit.Apnea primer dapat memanjang dan diikuti dengan memburuknya sistem sirkulasi.
Hipoksia miokardium dan asidosis akan memperberat bradikardi,vasokontraksi dan
hipotensi. Keadaan ini dapat terjadi sampai 5menit dan kemudian terjadi apneu sekunder.
Selama apneu sekunder denyut jantung,tekanan darah dan kadar oksigen dalam darah
terus menurun. Bayi tidakbereaksi terhadap rangsangan dan tidak menunjukkan upaya
pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadikecuali pernafasan buatan dan
pemberian oksigen segera dimulai (Marmi & Rahardjo, 2012)

2.2.4 Manifestasi klinis

Berat atau ringannya gejala klinis pada penyakit RDS (Respiratory Distress Syndrom) ini
sangat dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan,
semakin berat gejala klinis yang ditunjukan. Gejala dapat tampak beberapa jam setelah kelahiran.
Bayi RDS (Respiratory Distress Syndrom)yang mampu bertahan hidup sampai 96 jam pertama
mempunyai prognosis yang lebih baik. Gejala umum RDS yaitu: takipnea (>60x/menit),
pernapasan dangkal, mendengkur, sianosis, pucat, kelelahan, apnea dan pernapasan tidak teratur,
penurunan suhu tubuh, retraksi suprasternal dan substernal, pernapasan cuping hidung ( Surasmi,
dkk 2013)

2.2.5 Komplikasi

Menurut Cecily & Sowden (2009)

Komplikasi RDS yaitu:

1. Ketidakseimbangan asam basa


2. Kebocoran udara (Pneumothoraks, pneumomediastinum, pneumoperikardium,
pneumoperitonium, emfisema subkutan, emfisema interstisial pulmonal)
3. Perdarahan pulmonal
4. Penyakit paru kronis pada bayi 5%-10%
5. Apnea
6. Hipotensi sistemik
7. Anemia
8. Infeksi (pneumonia, septikemia, atau nosokomial)
9. Perubahan perkembangan bayi dan perilaku orangtua
Komplikasi yang berhubungan dengan prematuritas
1. Paten Duktus Arteriosus (PDA) yang sering dikaitkan dengan hipertensi pulmonal
2. Perdarahan intraventrikuler
3. Retinopati akibat prematuritas
4. Kerusakan neurologis

2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Cecily & Sowden (2009)pemeriksaan penunjang pada bayi dengan RDS yaitu:

1. Kajian foto thoraks

a. Pola retikulogranular difus bersama udara yang saling tumpang tindih.


b. Tanda paru sentral dan batas jantung sukar dilihat, hipoinflasi paru
c. Kemungkinan terdapat kardiomegali bila sistem lain juga terkena (bayi dari ibu
diabetes, hipoksia atau gagal jantung kongestif)
d. Bayangan timus yang besar
e. Bergranul merata pada bronkogram udara yang menandakan penyakit berat jika
muncuk pada beberapa jam pertama
2. Gas darah arteri-hipoksia dengan asidosis respiratorik dan atau metabolic

a. Hitung darah lengkap


b. Elektrolit, kalsium, natrium, kalium, glukosa serum
c. Tes cairan amnion (lesitin banding spingomielin) untuk menentukan maturitas
paru
d. Oksimetri nadi untuk menentukan hipoksia
2.2.7 Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan medis

Menurut Cecily & Sowden (2009) penatalaksanaan medis pada bayi RDS
(Respiratory Distress Syndrom) yaitu:

1) Perbaiki oksigenasi dan pertahankan volume paru optimal

a. Penggantian surfaktan melalui selang endotrakeal


b. Tekanan jalan napas positif secara kontinu melalui kanul nasal untuk
mencegah kehilangan volume selama ekspirasi
c. Pemantauan transkutan dan oksimetri nadi
d. Fisioterapi dadaTindakan kardiorespirasi tambahan
2) Pertahankan kestabilan suhu

3) Berikan asupan cairan, elektrolit, dan nutrisi yang tepat

4) Pantau nilai gas darah arteri, Hb dan Ht serta bilirubin

5) Lakukankan transfusi darah seperlunya

6) Hematokrit guna mengoptimalkan oksigenasi

7) Pertahankan jalur arteri untuk memantau PaO₂ dan pengambilan sampel darah

8) Berikan obat yang diperlukan

2. Penatalaksanaan Keperawatan Menurut Surasmi (2003)


Penatalaksanan keperawatan terhadap RDS meliputi tindakan pendukung
yang sama dalam pengobatan pada bayi prematur dengan tujuan mengoreksi
ketidakseimbangan. Pemberian minum per oral tidak diperbolehkan selama fase
akut penyakit ini karena dapat menyebabkan aspirasi. Pemberian minum dapat
diberikan melalui perenteral.

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan

2.3.1 Pengkajian Keperawatan

Pengkajian adalah proses pengumpulan data untuk mendapatkan berbagai


informasi yang berkaitan dengan masalah yang dialami klien. Pengkajian
dilakukan dengan berbagai cara yaitu anamnesa, observasi, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dilaboratorium. (Surasmi dkk,2013).
Data yang dicari dalam riwayat keperawatan adalah
a. Kaji riwayat kehamilan sekarang (apakah selama hamil ibu menderita
hipotensi atau perdarahan )
b. Kaji riwayat neonatus (lahir afiksia akibat hipoksia akut, terpajan pada
keadaan hipotermia)
c. Kaji riwayat keluarga (koping keluarga positif
d. Kaji nilai apgar rendah (bila rendah di lakukkan tindakan resustasi pada
bayi). 5) Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda dan gejala RDS.
Seperti: takipnea (>60x/menit), pernapasan mendengkur, retraksi dinding
dada, pernapasan cuping hidung, pucat, sianosis, apnea.

2.3.2 Diagnosa Keperawatan

Setelah didapatkan data dari pengkajian, data tersebut dianalisis.


Selanjutnya semua masalah yang ditemukan dirumuskan menjadi diagnosa
keperawatan untuk menentukan intervensi keperawatan (Cecily & Sowden, 2009).
Diagnosa keperawatan dari RDS yang sering muncul (Nanda, 2015).

a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran


alveolar-kapiler
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
c. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan
sekret pada paru-paru
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, terpajan kuman
patogen
e. Hipotermia berhubungan dengan adaptasi lingkungan luar Rahim.

2.3.3 Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan merupakan tahap ketiga dalam proses keperawatan .


intervensi disusun berdasarkan NANDA (2015-2017), NOC dan NIC.
No Diagnosa Keperawatan NIC NOC
1. Gangguan pertukaran Setelah dilakukan Terapi Oksigen:
gas berhubungan tindakan keperawatan 1. Kelola humidifikasi
dengan perubahan selama 1x24 jam, oksigen sesuai
membran pertukaran gas pasien peralatan
alveolarkapiler Batasan menjadi efektif dengan 2. Siapkan peralatan
karakteristik: -Takipneu kriteria hasil: oksigenasi
-Dispnea -Nafas cuping 1. Ventilasi dan 3. kelola O₂ sesuai
hidung -Sianosis oksigenasi indikasi
adekuat 4. 4. monitor terapi
2. Bebas dari osigen dan observasi
tanda -tanda tanda keracunan O₂
distress
pernafasan
2. Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan Monitor pernafasan:
nafas berhubungan tindakan keperawatan 1. Monitor kecepatan,
dengan hiperventilasi selam 2x24 jam irama, kedalaman
Batasan karakteristik: diharapkan pola nafas dan upaya naik
-ada retraksi dinding efektif dengan kriteria 2. Monitor pergerakan,
dada hasil kesimetrisan dada,
-takipneu 1. pernafasan retraksi dada, dan
-dispnea dalam batas alat bantu
-nafas pendek normal (40- 3. Monitor adanya
-suara nafas tambahan 60x/menit) pernafasan cupinh
2. pengenbangan hidung
dada simetris 4. Monitor pola nafas
3. irama nafas bardipnea,
teratur -tidak takipnea,hiperventi,la
ada retraksi si, lusmaul,dan apnea
dinding dada 5. Monitor adanya
4. tidak ada suara kelemahan otot
nafas tambahan diagfragama
-tidak takipneu 6. Auskultasi suara
nafas, catat area
penurunan dan
ketidakadanya
ventilasi dan bunyi
nafas
3. Ketidakefektifan Setelah dilakukan Manajemenjalan nafas:
bersihan jalan nafas tindakan keperawatan 1. Bersihkan sluran
berhubungan dengan selama 1x24 jam pasien pernafasan dan
penumpukan sekret dapat meningkatkan pastikan airway
Batsan karakteristik: - status pernafasan yang paten
batuk tidak efektif adekuat dengan kriteria 2. Monitor perilaku dan
-dispneu hasil: status mental pasien,
-Gelisah -sianosis 1. Tidak ada suara kelelahan agitasi dan
-bunyi nafas tambahan nafas tambahan 3. konfus
-sputum berlebih 2. Tidak ada 4. Posisikan klien
retraksi dinding dengan elevasi
dada tempat tidur
3. Sekret 5. Monitor efek sedasi
berkurang dan anlgetikpada
4. Pernafasan pola nafas klien
dalam batas 6. Berikan posisi semi
normal(40- fowler dengan posisi
60x/menit) lateral 10 – 15
5. Tidak sianosis derajat atau sesuai
toleransi

Resiko infeksi
4. berhubungan dengan Kontrol infeksi:
terpajannya kuman 1. Bersihkan lingkungan
patogen batasan setelah dipakai
karakteristik: 2. Pertahankan teknik
-tanda gejala infeksi Dalam jangka waktu 1 X isolasi 3. Batasi
-kulit kemerahan 24 Jam pasien akan pengunjung bila perlu
-kenaikan suhu tubuh. terbebas dari resiko 3. Intruksikan
infeksi dengan kriteria pengunjung untuk
hasil: mencuci tangan
1. Bebas dari sebelum dan sesudah
tanda tanda berkunjung
infeksi 4. Gunakan sabun
2. Kemampuan antimikrobauntuk
mencegah cuci tangan 6. Cuci
infeksi tangan sebelum dan
3. Jumlah sesudah perawatan
leukosit pasien
dalam batas 5. Pertahankan
normal lingkungan aseptik
4. Suhu dalam selama pemasangan
batas alat.
Hipotermia normal
berhubungan dengan Perawatan hipotermia
5. adaptasi lingkungan 1. Monitor suhu tubuh
Batasan karakteristik: - tiap 2 jam
suhu dibawah batas 2. Monitor warna kulit
normal -pucat -kulit dan suhu kulit
dingin -kuku sianosis 3. Kaji tanda tanda
hipertermi atau
Dalam jangka waktu 1 hipotermi
jam pasien akan 4. Tingkatjkan intake
terbebas dari hipotermi nutrisi dan cairan
dengan kriteria hasil: - 5. Selimuti pasien intuk
suhu dalam batas mencegah hilangnya
normal -nadi dan HR kehangatan tubuh
dalam batas normal -
tidak sianosis -tidak
pucat -kulit hangat

2.3.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan


oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
ke status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan. Implemetasi keperawatan adalah kategori serangkaian perilaku
perawat yang berkoordinasi dengan pasien, keluarga, dan anggota tim kesehatan
lain untuk membantu masalah kesehatan pasien yang sesuai dengan perencanaan
dan kriteria hasil yang telah ditentukan dengan cara mengawasi dan mencatat
respon pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.

2.2.5 Evaluasi Keperawatan

Menurut Surasmi (2013) Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yg menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Mengakhiri rencana tindakan (klien telah mencapai
tujuan yg ditetapkan).

Anda mungkin juga menyukai